Senin, 18 Juli 2011

Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

III

Tidak asing lagi, nama Sutardji Calzoum Bachri di belantika kesusastraan Indonesia atas Kredo Puisi-nya. Di bawah ini aku petik sebagian darinya:

Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.

“Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.”…

“Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.” (Bandung, 30 Maret 1973).

***

Secara ringkas ialah sosok penggagas konsep, berkeinginan membebaskan rezim kata-kata dari penjajahan pengertian dari beban idea seperti kamus, moral kata yang ditimpakan masyarakat menemui fungsi asalnya, “mantra”. Dan sudah banyak yang mengupas puisi, cerpen, pun esainya dari kaum kritikus, para penyair seangkatan, juga setelahnya yang muncul di koran-koran dan menjelma buku.

Tapi, aku kira belum ada yang mengupas konsepnya lebih dalam (dari dalam), yakni watak “perdukunan” intelektualnya, mantranya, dari akar-akar lokalitas, sehingga mewujud karya-karyanya. Yang akhir-akhir ini aku mendengar kabarnya menyufi, itu tentu berkat kesetiaanya memegang prinsip.

Namun, bagaimana jika ternyata Tardji berfahamkan: “Secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”, padahal yang aku ketahui, mantra (wabil khusus di bencah tanah Jawa) sangat sarat makna, karena dari maknanyalah, daya aura menembus segala yang dikehendaki menuju batas-batas takaran dan terketahui.

***

Pada buku himpunan kertas kerja seminar internasional dan sejumlah esai tentang Tardji, bertitel Raja Mantra Presiden Penyair terbitan Yayasan Panggung Melayu, 2007, tampak judul seakan-akan harus sangar, dahsyat, hebat, memabukkan, dan tiada tanding. Begitulah pamor Tardji di sekitar orang-orang yang dikenalnya dari jauh maupun dekat. Tidak cukup presiden, raja pun jadi. Dan diriku bersama para bidadari di atas awan, memandangnya sedikit geli.

Dari kritikus Abdul Hadi W.M., Ahmad Kamal Abdullah-Kemala, Koh. Young Hun, Harry Aveling, Maman S. Mahayana, Suminto A. Sayuti, Donny Gahral Adian, hingga penyair Amien Wangsitalaja, terpukaulah mereka. Tapi ada beberapa seakan menutupi atau tiadanya kesampaian mengupas punjernya mantra, maka yang tampak keterpesonaan. Sepertiya Tardji juga terhanyut tidak sadar diri. Dirinya tak meresapi lebih ke hakikat mantra dan hanya maujud sekadar gugusan gagasan nalar yang dilayarkan melalui karya-karyanya semata.

Sebenarnya ada beberapa rupa pembenahan tegur sapa kawan untuk Tardji mengenai tanggung jawab, mungkin jua melaksanakan. Tetapi catatan ini berangkat dari orasinya yang kukira banyak ketidaktepatan. Mungkin tergesa-gesa membuatnya atau seorang yang dilimpahi keyakinan sangat kuat, tiadalah perlu memusingkan perevisian pandang, di sanalah dianggapnya tugas dari para kritikus.

Misalkan mengetengahkan faham Arabi sebagai orasi, padahal kekaryaan Ibnu Arabi dapat dibilang menempati ruang sunyi, kamar khusyuk. Berbeda karya Al-Hallaj maupun Rabi’ah Al-Adawiyah, yang sebagian bisa menembus keramaian pasar. Tentu kita tahu, para pengupas tak lebih sepantulan pengetahuan pengupasnya, maka berbahagialah Tardji dikenali para bagawan sastra Indonesia serta Asia sebagai letak corongnya bersuara.

***

Karena ini mengudar mantra, kuminta bantuan pada roh-roh mau mengikuti atas keseluruhan alam semesta. Aku betot dari alam gelap, mungkin zaman purba prasejarah pula sebelumnya. Maka maafkan jikalau nanti bahasaku ngelantur, tetapi begitulah yang kuresapi.

Tatkala kitab waktu diturunkan, ruang terjabarkan, ditancapi pilar-pilar peradaban, sehembusan bayu menghidupi semua yang tersentuh gerak sepohon keyakinan. Di mana buah-buahnya bergelantungan itu, planet-planet mengelilingi galaksinya, kekuncup sumekar perbarui serupa ketakjuban, kesaksian dirinya di atas air telaga kehidupan. Dan daun-daun kegentingan, roh-roh ditakdirkan fahami kausalitas.

Riwayat lain berkabar, pohon keyakinan terang berkilau di jarak telah ditentukan mencipta bebayang hayati. Ada embun atau entah gerimis mematangkan dedaunannya terpelanting, bebuliran jernih menjelma makhluk hidup, mewujud bentuk sesuai kejatuhannya.

Sebagian pendapat berkata, dari ketinggian uap kekekalan menyentuh lapisan cahaya. Di sanalah derajat penciptaan. Ada pula berfaham asal roh suci ditiup dinaya kuasa, membentuk keseluruhan hayat tampak pun tidak terlihat.

Ada juga memikirkan paras ayu kehidupan ini sekembaran dunia lebih agung, entah nirwana, surga ataupun nama-nama lain, sejumlah kadar keinsafan memahami lokalitasnya. Demikian dongeng-dongeng suci mitologi, kitab-kitab kesusastraan lama memiliki penentu masanya, turun-temurun ajarannya dipelajari demi menyingkap misteri hakiki.

Jiwa-jiwa menyerapi kesadaran angan jauh serasa dekat, terdekat nyata tak terfahami. Pada gubahan lain berkumandang, cahaya membentuk daya dinaya suara perintah, pelaksanaan berkeseluruhan getar saksi hidup dan mati, misteri takdir berpasang atau berlawanan. Mulanya tiada tahu persis; apakah kata, warna, guratan, tiupan, semua yang ada kini sekadar mengikuti kecenderungan hukum-hukum dangkal.

Pada gugusan lain bersuara, kisaran peredaran alam semesta, sekilatan cahaya petir di antara mendung memadati bentuk, setirai-tirai kabut gelap, reribuan hijab pesonakan mata dan telinga. Rasa memberat sepunjer keyakinan menyerupai surya mengucurkan air mata, melayang antara kepadatan dan yang lunak, bergerombol memusar meninggi menancapi kekuatan, manusia mendapati seangin puting beliung, gempa bumi, letusan gunung berapi, lahar, banjir raksasa.

Perihal melampaui batas itu, para insan tertunduk mengakui kerumpilan jiwa, di luar pada gilirannya lebih bergema, tumbuh kewaspadaan, kejelian menyimak isyarat, pun guguran batang pohon, hewan-gemewan tiba-tiba mati, atau berteriak tak terkendali. Para makhluk bernyawa dicekam kekhawatiran, waswas mendera. Dengan pola tidak disadari sebelumnya, tercipta lengkingan menyayat ke bukit dan lembah, bertafakur, memunajat, yang belum ada sifat umpat pemberontakan.

Tubuh-tubuh didiami roh bergolak hebat atas kucurkan keringat dingin, pantai bibir-bibir berdesis, gigi-gigi gemeretak, akhirnya keyakinan pada yang gaib tertanam. Diusahakan mengikuti gejala-gejala tak wajar, terciptalah tari-tarian, kumandang musik, diikutinya bisikan lembut setiap kejadian, terjelma kesadaran berzikir, wirid, sisi lain adanya mantra atas Sang Mahakuasa.

Di semenanjung berbeda, arwah orang-orang telah tiada menempati bukit-bukit, gemunung, lelembah, pepulau terpencil, di kedalaman bumi, menyusupi hewan-gemewan menyifati kelakuan saudara-saudaranya, ini serempak. Dan di senggang masa peralihan, mereka benar-benar menyadari pergolakan, diingat sungguh demi dikisahkan ke anak-anaknya.

Adanya hal tak patut dilampaui, dipandang tajam, dipikir keras, kecuali melewati pantulan kodratnya. Waktu itulah persamaan diukur, perombakan ditakar, melayang turun penyesuaian ke titik laju perjalanan, melangsungkan pergumulan kasih tulus sejajar gelombang lautan, melingkupi bumi kesadaran berdekap sayang, sedaya gravitasi pengetahuan.

Pancangan lain berdasar takaran telah ditentukan, rasa kantuk terlelap, lupa kejadian, terlena hanyut mendiami hangat ruang-waktu meloloskan segenap perihal terhapus, diganti pilar-pilar baru oleh tekanan udara, derajat ditiupkan kepastian mendatang. Kekuasaan mutlak merombak pengertian serupa wewarna bercampur membentuk karakter anyar. Insan diombang-ambingkan ketakpastian selalu penasaran, mencari kekuatan lebih, kuasa tak terjangkau, sifat kecenderungan menempati mentalnya.

Waktu berlalu, setiap kejadian takdir mematangkan diri menempa panggung istirah, goa kemungkinan, kilasan angan bacaan ke peredaran alam, perubahan siang dan malam. Bencana, rasa senang mendadak datang, semua dipelajari, mengamati tetumbuhan mana yang berguna, hewan ancaman, di samping menghibur serta membuat kenyang.

Antara itu, ada khusyuk menyendiri, menyimak alam meneliti, mengelompokkan jauh, mengudar panjang, sehingga Sang Mahawelas merestui kasih sayang pencerah, anugerah menambah terang pandangan. Lalu terbuka hijab, rahmat ayat-ayat menyadarkan perubahan terjadi, rasa gemetar penerima tak lebih keterpesonaan kepada Yang Maha, tapi di bencah itu keraguan tambah membuyarkannya. Lalu tumbuhlah bunga di antara salah dan benar, diteruskan ataukah bergantung, bersama waswas di kepala.

Pada latar tersebut, nama-nama disematkan, diyakini fitrahnya di atas pantulan penyifatan, lelaki-perempuan berkawin, aturan dasar ditetapkan, hukum alam mengikuti jenjang pengetahuan yang mendiami orang-orang yang berpikir. Menyimak suara, dibacalah kelebatan bayang, menunggui kemungkinan berdebar atau senang, kedamaian hadir, ketenteraman menaungi kepunden-kepunden jiwa.

Sampai akhirnya, rasa tak puas didorong penasaran melahirkan penyimpangan, bentuk kembar digagas, penyelewengan menjadi aturan baru. Pada gilirannya kerusakan balik terjadi. Alam khianati penghuninya, menyebarlah wewatak curiga, saling tidak percaya memperparah keadaan, ayat-ayat suci dikhianati, puncaknya diguluk kekuasan. Sedang di senggang waktu bukan berlantas analisis, pun tidak segetaran abiogenesis, ditumbuhkan ulang sehingga kehidupan sampai gulungan terakhir.

Para utusan, orang-orang dirahmati, mendiami letak-letak genting. Hanya umat mengimani diselamatkan dari bencana besar, batu-batu terbang menghujam dari letusan gunung, lahar banjir hebat, awan panas mematikan, angin topan, semuanya menjadi pelajaran kisah-kisah di hari kemudian. Tertulis pada ingatan, daun-daun pula kulit-kulit hewan, batu-batu, ukiran kayu, sampai masa kaum cerdik pandai, tetapi selalu diserang kelupaan.

Hanya yang diizinkan Sang Kuasa menempati bencah lestari, langgeng serupa hikayat-hikayat, mitos purba kitab-kitab susastra lama, serta tak lupa disimpannya hasil-hasil tirakat memaknai kata-kata, benda, roh-roh berkisar di antara hayatnya, pada kotak-kotak dipendam, terpendam datangnya bencana longsor, dan seterusnya. Tapi Yang Asih tiada jemu terus memekarkan pengetahuan. Kepada setiap yang peduli merenungi kejadian, diutamakan hasil-hasilnya untuk warisan demi kelangsungan napas-napas peradaban.

Dan mantra, salah satu hasil tirakat manusia, menghidupi letak terpencil demi menghalau yang tidak disukai, pula meloloskan hasratnya secara di luar lelaku kewajaran. Di dalam nada-nadanya menyusup dinaya keyakinan besar, di samping ada yang berpengetahuan, mencobakan ayat-ayat kitab suci, pula dari penggalan kisah pada kesusastraan tua, dirapalkannya ulang berteguh iman memenuhi hajatnya.

Demikian diperdalam lewat menghindari jenis pantangan, bentuk berbenturan atau berlawanan dengan niatnya, demi keampuhannya bertambah atau tak batal yang diinginkan. Mulanya diucapkan dengan kekhusyukan menghadap kiblat keyakinannya. Lambat laun pengetahuan lebih maju, ucapan-ucapan mantra dituliskan dengan kadar guratan yakin pada masa-masa ditentukan, maka bersebutlah ajimat (jimat).

Di sebagian belahan bumi, jimat dikalungkan pada tubuh, tempat-tempat dianggap penting maupun genting. Ada juga pada kitiran bayu, guna angin menerpanya. Dan hembusan gelombang bayu dianggapnya pengganti ucapan seorang dukun pemberi jimat, seperti komat-kamit bermantra.

Jimat atau mantra tertulis, lebih tepatnya beristilah rajah. Rajah kadang berupa ringkasan kalimat mantra, pula jenis rumusan yang memiliki dinaya sama, ada ditulis utuh yang sejatinya terucap. Tata cara penulisannya pun memakai aturan, ritual khusus menyejajarkan peredaran lintang juga malam pasaran jika di tanah Jawa. Dan menghindari pantangan atau yang dapat menggagalkan waktu dikehendaki diguratkannya rajah, selain melaksanakan penyucian diri sebelum melangsungkannya.

Semua itu dikerjakan orang-orang yang memiliki kesaktian ampuh, minimal punya keyakinan tangguh, bahwa yang diritualkan kelak benar mewujud keampuhan. Laku ini dilakukan dengan kehati-hatian tinggi. Tinta pena untuk menuliskannya dicampur minyak wangi yang juga memiliki ciri khas tertentu kewangiannya atas niat.

Di sini letak tukar pengalaman bertemu, antara ahli minyak, pembuat mantra, dan sebagainya. Media minyak wangi dapat diganti ruapan harum kembang yang direndam. Tetapi di balik itu, ada beberapa rajah kurang kuat daya pamornya jikalau tata cara serta alat-alat ritual tidak lengkap. Biasanya, pembuat rajah mengetahui kadar tingkatannya, sehingga sebelum memberikan pada yang membutuhkan, mengucapkan wejangan yang kelak dibutuhkan rajah tersebut supaya khasiatnya tetap.

Kembali soal mantra. Biasanya berasal dari bahasa asing negeri jauh ataupun kata-kata lama penduduk pribumi yang dituahkan, dianggap suci keramat. Jika tidak lama tak asing, mantra tentu berangkat dari keyakinan teguh terpegang. Di sini keyakinan menjadikan pokok, punjer musabab kejadian, hati kukuh bonggolnya keimanan sanggup menyusupi perasaan diri serta orang sekelilingnya.

Secara garis besar, mantra dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama hasil pencarian seorang waskito, insan selalu mengasah raga-batiniah, menghidupi alam tidak tampak, terlebih meneliti keseimbangan lahiriah, sedangkan jiwanya selalu mawas. Dia mendapati ucapan mantranya kadang melalui bisikan gaib saat-saat bersemedi juga melewati alam antara mimpi juga dalam mimpi.

Ruang-ruang tertidurnya badan itu kesempatan jiwa mengembarai yang digeluti di sebalik hayati sehari-hari. Orang-orang dalam keseharian menajamkan indra rangkap, mendapati temuan murni dihajati. Bagi para seniman, dapat dikatakan menyaksikan jendela inspirasi terbuka lebar di atas kesungguhan bekerja.

Kedua, mantra didapati dari ayat-ayat kitab suci pula kitab-kitab lama, sejenis karangan kesusastraan para leluhur yang diyakini bersimpankan keruhanian gaib, dibandingkan kekaryaan orang biasa. Kitab-kitab itu dipercaya mengandung kesakralan terpendam mana (kesaktian) dan dapat diamalkan.

Mengambil beberapa kalimat mantra sesuai dengan masalah yang dihadapi, untuk dirapal, dibaca ulang, ditirakati menahan haus dan lapar maupun sejenisnya, dilakukan demi kehendak dituju tercapai. Jika kalimat suci atau ayat tersebut dijadikan rajah, diambil beberapa kata pun huruf terpenting darinya maupun ditulis keseluruhan.

Sebelum mengudar jauh memahami cermat seksama hakikat mantra, yang hendak aku benturkan-konsep mantranya Tardji. Bagian ini aku ucapkan terima kasih kepada almarhum Prof. Dr. Koentjaraningrat (15 Juni 1923—23 Maret 1999) atas bukunya: Beberapa Pokok Antropologi Sosial, terbitan PT Dian Rakyat, cetakan V, 1981. Selain itu, abstraksi dari bacaan-bacaan sebelum dan sesudahnya, semisal kitab Daqooiqul Akhbar, Menyingkap Asal Mula Kejadian Mahkluk, karya Al Imam Abdurrohim Bin Ahmad Qodhi, terbitan Husaini Bandung, Februari 1992, penerjemah Abdul Ghoni Asykur, Shoib dan Slamet Ilyas, di samping Kitab Para Malaikat, terbitan PUstaka puJAngga, 2007, karyaku sendiri.

Karena ini membahas mantra, maka pokok segalanya keyakinan, sedangkan bukti keimanan merupakan penampakan dinaya supranatural. Kudunya berkenan dibuktikan, jikalau tersebut benar-benar karya pemilik rohaniah sekelas mantra.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito