Sitor Situmorang (30 Agustus 1999)
Pewawancara: Dwi Arjanto, Hermien Y. Kleden
http://majalah.tempointeraktif.com/
BUKAN hanya puisi yang bisa dibicarakan dari seorang Sitor Situmorang. Hidupnya yang banyak dilewatkan dalam pengembaraan di luar negeri dan komitmen politiknya yang menyebabkan ia berada dalam posisi berseberangan dengan banyak seniman Indonesia pada awal 1960-an, semua itu merupakan dimensi yang tak dapat diabaikan dari ketokohannya yang penuh warna.
Sosoknya menjadi kontroversi yang tak kunjung selesai dalam dunia sastra Indonesia—sepanjang lebih dari 30 tahun terakhir. Dan laki-laki yang tak lama lagi akan merayakan ulang tahunnya yang ke-76 itu tetap bergairah untuk menulis, berpikir, dan berdebat, terutama tentang beberapa isu besar yang amat berarti dalam hidupnya: politik, seni, sastra, dan Bung Karno.
“Ratusan ribu anak muda tumbuh seiring dengan cita-cita kebangsaan yang dibangun Sukarno. Ia menjadi kiblat dalam masa pertumbuhan saya,” ujarnya meletup-letup. Sitor Situmorang menempati posisi penting dalam sejarah sastra Indonesia—terlebih pada tahun-tahun peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Ia seorang loyalis Sukarno dan anti-Manifes Kebudayaan—dulu sering disingkat sebagai Manikebu.
Melalui Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) yang dia pimpin, Sitor menyalurkan dukungannya terhadap pikiran-pikiran politik dan kebudayaan Bung Karno. Ketika gerakan Manifes Kebudayaan diberangus, begitu juga saat Mochtar Lubis dipenjarakan di bawah rezim Orde Lama Bung Karno (1964), Sitor tidak bersuara—sebuah sikap yang kemudian “digugat” para seniman pada masa awal Orde Baru.
Dan Sitor dipenjarakan oleh rezim Orde Baru selama delapan tahun. Dari beberapa seniman yang dijebloskan ke tahanan tanpa penyidikan dan pengadilan, memang, yang mencuat namanya hanya dua: Sitor dan Pramoedya Ananta Toer. Pada 1 Januari 1974, penyair ini dibolehkan meninggalkan Penjara Salemba, Jakarta. Ia kembali ke alam bebas.
Namun, status tahanan politik telah merampas sejumlah kesempatan dalam hidupnya. Miskin dan menganggur, Sitor hidup dari sumbangan teman-teman dan keluarganya. “Saya menerima penjara sebagai risiko orang berpolitik,” ujar ayah tujuh anak yang tampak segar di usia senja itu. Politik adalah dunia yang membuatnya tertantang, tapi seni dan sastralah yang menjadikan namanya terkenal.
Puisi-puisi Sitor—halus, reflektif, dan acap kali mengandung daya magis—sangat berbeda dari puisi Chairil Anwar dan penyair Angkatan ’45 yang mendahuluinya. Sajak-sajaknya, terutama dalam Surat Kertas Hijau (1953), benar-benar mewakili sosok kepenyairan Sitor yang banyak dikagumi orang pada 1950-an.
Bersama puisi dari dua antologinya yang terbit kemudian (Dalam Sajak, Wajah Tak Bernama, 1955), Sitor mengabadikan dunia yang dekat dengan alam dan sarat dengan kedalaman perasaan. Kekuatan puisinya memang terletak di sana. Ketika sang penyair mulai berkenalan dengan politik, puisi-puisinya masa itu menampilkan pengalaman “di permukaan” yang belum terkristalisasi dengan baik.
Satu-satunya kumpulan sajak Sitor dari masa bergolak Orde Lama berjudul Zaman Baru, yang terbit pada 1962. Pada 1977, tiga tahun setelah keluar dari penjara terbit Peta Perjalanan yang kemudian disusul buku berjudul Angin Danau (1982). Buku kumpulan cerita pendeknya ada dua yakni Pertempuran dan Salju di Paris (1956) dan Pangeran (1963), selain itu ada sebuah drama, berjudul Jalan Mutiara.
Sitor Situmorang lahir di Harianboho, Pulau Samosir, Sumatra Utara, pada 2 Oktober 1923. Setelah menamatkan MULO di Tarutung, ia melanjutkan ke AMS di Jakarta, tapi tidak selesai. Pada 1948 ia berangkat ke Yogyakarta dan sempat ditawan Belanda dalam Aksi Militer II. Dua tahun kemudian ia melawat ke Belanda dan dilanjutkan ke Prancis.
Di sana, ia bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Paris hingga 1953. Antara 1956-1957, ia belajar film dan drama di Los Angeles, AS. Setelah itu, ia kembali ke Tanah Air dan melanjutkan aktifitasnya di bidang sastra dan politik.
Kehidupan pribadinya diwarnai dua pernikahan. Dari Teo Minar Gultom dan Barbara Brouwer, seorang diplomat Belanda, Sitor memperoleh tujuh anak. Sepuluh tahun terakhir, penyair yang sudah kenyang mengembara ini hidup dengan tenang di Appledorn, Belanda, bersama keluarganya. Di sana, ia mengajar, menulis puisi, dan mengikuti perkembangan politik Indonesia dengan mata dan hati yang nyalang.
Perbincangan antara Sitor dan wartawan TEMPO, Dwi Arjanto dan Hermien Y. Kleden, berlangsung tiga kali di sebuah restoran kecil di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Sembari meneguk bir dingin, kopi tubruk, dan mencicipi aneka penganan khas Indonesia, ia meladeni wawancara selama berjam-jam dalam suara lantang. Petikannya:
Anda pernah dianggap memojokkan para penulis Manifes Kebudayaan pada suatu masa. Apa komentar Anda?
Periode itu adalah periode polemik kebudayaan, sehingga istilah memojokkan, saya kira, tidak ada gunanya dipakai sekarang. Saya kira, dalam kilas balik perdebatan, suatu polemik kebudayaan yang wajar dalam dunia kebudayaan haruslah menjadi polemik intelektual, bukan polemik politik. Semua orang atau kelompok yang main pada waktu itu, dalam kilas balik peranannya pada 1960-an, harus bisa melihat posisi berpolemiknya secara obyektif. Entah sebagai pribadi atau kelompok. Tapi itu tidak terjadi dengan jelas.
Tidak semuanya begitu. Goenawan Mohamad melakukan semacam refleksi terhadap polemik itu dengan kelebihan dan kekurangannya dalam sebuah tulisannya pada 1993, Kesusasteraan dan Kekuasaan.
Itu saya anggap pengecualian. Dalam catatan sejarah, Goenawan ikut menandatangani Manikebu. Tapi, sekali lagi, setelah lebih dari 30 tahun, ia tampak berusaha melihat perannya pada masa itu dengan lebih obyektif, tidak terpaku dalam polarisasi politik pada 1960-an. Demikian juga Arief Budiman, yang secara guyon, pernah saya sebut sebagai “Manikebu murni”. Jadi maaf saja, tentang istilah itu: siapa memojokkan, siapa terpojok? Sebab, dalam polemik itu ada elemen pemihakan secara politik kepada peranan militer.
Manifes Kebudayaan disusun bukan sebagai pernyataan membantu komplotan militer menentang “revolusi” melainkan menentang doktrin “realisme sosialis” ala Stalin: politik sebagai panglima yang menentukan isi kesusastraan dan kesenian. Karya-karya Boris Pasternak, misalnya, kemudian membuktikan bahwa doktrin Stalin itu menimbulkan korban. Jadi, bukankah Manifes ada benarnya?
Ada benarnya, kalau dibatasi pada yang terjadi dalam sistem Soviet. Tapi, debat di sini dibuat sedemikian rupa seolah-olah oleh pemerintah komunis dengan sistem Stalinis sudah menguasai Indonesia. Padahal, jelas betul, bahwa tak pernah semenit pun komunis berkuasa di Indonesia sebagai sistem politik, lengkap dengan segala alat represi, seperti yang dikenal dalam sejarah Stalinis.
Jadi, Anda menolak adanya paham yang berkembang pada waktu itu, yang menjadikan politik sebagai panglima yang menentukan isi kesenian dan kesusastraan?
Tidak satu kali pun. Itu bukan kenyataan politik, tapi lebih merupakan refleksi dari polarisasi politik. Kaum Manikebu itu sampai sekarang selalu mengatakan Sukarno itu diktator. Kalau Sukarno itu diktator, tentu ada kediktatoran sebagai sistem. Sekarang, saya tantang orang Manikebu atau bekas Manikebu untuk menggambarkan kepada generasi baru sistem kediktatoran rezim Sukarno.
Kediktatoran memang tidak diterapkan sebagai sistem. Tapi, bagaimana dengan pelaksanaan pemerintahan sejak era Demokrasi Terpimpin yang berbau diktatorial?
Mari kita gambarkan. Sepanjang periode 1959-1965 ada paralel kekuasaan di dalam negara. Ada ABRI dengan Undang-Undang Darurat Perang, atau penguasa perang Jenderal Nasution, ada presiden, dan ada partai-partai dan parlemen yang dikurangi Masyumi dan Partai Nasional Indonesia (PNI) karena dilarang. Konteks ini selalu dibikin kabur, seolah-olah ada diktator bernama Sukarno yang mampu menghitam-putihkan segala perbuatan, seperti melarang Masyumi, melarang PNI, memenjarakan Sjahrir, membredel koran Pedoman dan Abadi. Itu semua ada dalam literatur asing.
Loh, bukannya semua itu ada dalam catatan sejarah?
Saya ringkaskan saja. Sekarang, paling baik bertanya pada saksi mata yang masih hidup. Jenderal besar Nasution, suatu ketika sebagai saksi mata, tolong tanyakan padanya adakah kediktatoran Sukarno. Kalau ada, apa kedudukan ABRI dan Jenderal Nasution dalam kediktatoran tersebut? Apakah bisa Sukarno main tangkap Sjahrir atau Natsir dan mencabut izin Pedoman dan Abadi? Nasution akan sangat berjasa kalau sekarang membuka tabir masa lalu itu. Sitor tidak perlu menjawabnya.
Kenapa Anda harus “meminjam” mulut Jenderal Nasution untuk mengatakan semua itu?
Karena dia masih hidup dan tahu dengan baik banyak hal. Saya tidak menganggap Sukarno pernah tiranis. Menurut saya, Sukarno justru menjadi korban sejarah terbesar dalam hal character assassination. Pada 1956-1957 itu, suasana negara benar-benar seperti setahun lalu (1998). Negara ini tercerai-berai. Dan terang-terangan ada intervensi luar yang disambut di dalam negeri. Maka, berlakulah UU Darurat. Segala sesuatu, seperti mencabut media, melarang partai, membubarkan partai, berdasarkan UU Darurat. Dan sekarang, saya ingin tahu penilaian Nasution, apakah perbuatan Sukarno itu tiranis.
Itu satu soal. Sekarang, tentang peran Anda sebagai seniman yang dekat dengan presiden dan kekuasaan pada waktu itu. Kenapa Anda tidak bersuara saat Manifes Kebudayaan diberangus?
Kenapa Sitor tidak bersuara? Detik itu saya menyayangkan peristiwa tersebut. Tapi waktu itu saya dalam situasi politik, suara saya adalah polemik politik. Saya memimpin Lembaga Kebudayaan Nasional dan anti-Manikebu. Dan bagi saya, sampai sekarang, penandatangan manifes itu isinya hanya “bunga-bunga” saja. Tapi intinya adalah perbuatan politik murni.
Itu terlalu menggeneralisasi. Bukankah ada di antara penandatangan Manifes Kebudayaan itu yang betul-betul ikhlas memperjuangkan kebebasan kreativitas?
Pasti ada. Tapi, perbuatan itu, penandatanganan itu an sich (semata-mata) dari Sabang sampai Merauke, betul-betul suatu tindakan politik.
Anda masih yakin begitu sampai sekarang?
Masih. Dan kalau saya balik pertanyaannya: mengapa para anggota Manifes pernah melakukan tindakan, selain ucapan individual tentang karya Pramoedya yang dilarang?
Wiratmo Soekito pernah mengatakan bahwa ia menulis surat kepada Jaksa Agung. Di surat itu ia menyatakan tindakan melarang buku itu tidak baik.
Oke. Hebat si Wiratmo itu. Tapi, kenapa Wiratmo tidak mengajak lagi tim lama (penandatangan Manifes Kebudayaan—Red.) untuk membikin tanda tangan menuntut, demi demokrasi Orde Baru, bahwa tidak baik melarang-larang karya sastra? Pernahkah mereka melakukan itu? Tidak. Secara individual mereka hanya bilang, “Oh, saya tak setuju Jaksa Agung melarang ini-itu.” Pertanyaan di atas terpaksa saya jawab sendiri. Sebab, mereka tahu betul bahwa mengumpulkan tanda tangan untuk aksi begitu adalah perbuatan politik. Dan Soeharto akan menilainya sebagai perbuatan politik.
Itu sekadar tafsiran atau benar-benar sudah ada tanya-jawab dengan mereka?
Itu tafsiran saya sekarang. Tapi akan saya pertahankan sampai ada jawaban mereka. Mereka betul-betul tunduk dan mendukung politik Orde Baru Soeharto dengan cara-caranya sendiri.
Mengapa Anda begitu keras mengkritik orang-orang Manifes Kebudayaan yang mendukung Orde Baru? Apa bedanya dengan Anda yang dulu amat mendukung Bung Karno melalui Lembaga Kebudayaan Nasional yang Anda pimpin?
Bedanya? Sebagian Manikebu mengaku tidak berpolitik. Sedangkan saya tidak munafik mendukung Bung Karno. Itu pengalaman sejarah bagi saya. Delapan tahun lebih saya dipenjarakan Orde Baru. Tetapi saya tidak lantas mengatakan, saya tidak berpolitik dan tidak mendukung Bung Karno.
Adakah yang Anda sesali dari perseteruan dengan para seniman Manifes Kebudayaan dari masa 1960-an?
Tidak ada sama sekali. Dan tidak sekali pun.
Lalu mengapa Anda minta maaf dalam pertemuan dengan Rendra dan Goenawan Mohamad dalam sebuah diskusi di Studio Oncor, Cipayung, pada 1993?
Saya minta maaf kepada orang-orang seperti Goenawan, Arief Budiman, Rendra—tidak kepada yang lain. Saya menghargai Goenawan karena saya baru mengerti bahwa dia tidak munafik dan betul-betul liberal. Soal maaf itu, dalam bahasa Inggrisnya, I feel sorry. Jadi lebih pada nuansa menyesalkan apa yang terjadi.
Permintaan maaf Anda disiarkan media massa keesokan harinya dan Anda marah. Apa ada yang menekan— misalnya kawan-kawan dari Lekra atau LKN—sehingga Anda kemudian “meralat” penjelasan soal itu?
Itu prasangka paling konyol. Mau minta maaf apa tidak, kan itu urusan saya. Siapa menekan? Apa kepentingannya? Pramoedya (Lekra), misalnya, sampai sekarang tidak pernah mempersoalkan hal itu dengan saya.
Nah, dalam hubungan dengan Pramoedya A. Toer, Mei lalu, dalam wawancara dengan TEMPO ia berpendirian orang yang tidak setuju dengan Bung Karno pada waktu itu harus minggir. Bagaimana pendapat Anda?
Saya kurang paham maksud Pram. Saat itu, dunia retorika ada dalam situasi yang keruh. Semua pihak—pejabat, ABRI, partai politik—mengatakan setuju dengan Sukarno. Dalam konteks itu saya bayangkan Pram ngomong, “Yah, jangan pura-puralah. Kalau tidak setuju minggir. Kalau melawan, melawanlah terang-terangan.” Saya mencoba menganalisis hal ini dari struktur kekuasaan.
Sampai sejauh mana para seniman harus mufakat dengan kekuasaan di bawah Sukarno pada saat itu?
Ini pertanyaan menarik. Menurut saya, tidak ada. Pelarangan musik ngak-ngik-ngok (Koes Plus) itu adalah insiden. Melarang Manikebu, yang buat saya dalam konteks politik bukan sastra, juga insiden. Itu bukan sesuatu yang terorganisasi melalui para agen polisi rahasia atau polisi pikiran. Secara pribadi saya berpendapat, Sukarno sangat liberal dalam gagasan seni.
Lalu, bagaimana penjelasan tentang tekanan terhadap para seniman Manifes Kebudayaan?
Mereka punya bayang-bayang bahwa komunisme akan menang dengan bantuan Sukarno. Mereka takut akan pikiran mereka sendiri. Bayangan, bahaya komunis itu kan cekokan dari Perang Dingin yang dilakukan dengan segala cara. Banyak orang yang takut atau ditakut-takuti dengan cara seperti itu.
Masa? Tulisan-tulisan dalam lembaran Lentera asuhan Pramoedya dalam harian Bintang Timur—koran berhaluan kiri—pada 1960-an itu kan kerap mengganyang para seniman Manifes Kebudayaan?
Ya. Tapi kalau direfleksi kembali, itu aksi-reaksi yang muncul dari dua pihak yang sama-sama ketakutan. Orang Manikebu takut pada bayangan komunisme. Sementara itu, orang macam Pramoedya galak ngomong karena bayangan bahaya fasis militerisme.
Tentang kegiatan kesenian. Apakah aktivitas politik berpengaruh terhadap proses kreatif Anda?
Saya gembira kalau karya saya dinilai. Kadang-kadang orang bingung karena saya seperti hanya aktif berkreasi pada 1953-1954. Ide-ide membanjir. Drama, puisi, dan cerita pendek. Saya dapat hadiah sastra dari Badan Musyawarah Nasional. Setelah saya keluar dari penjara (1978), Dewan Kesenian Jakarta memberikan hadiah sastra. Pada 1960-an, sembari berpartai, saya terus menulis, antara lain bermacam-macam sajak. Ada sajak persembahan dan sajak pesanan. Sejak awal saya bisa dipesan untuk menulis sajak. Jadi, bagi saya, menulis itu tidak bergantung pada suasana dari dalam (hati).
Beberapa pengamat menilai, puncak kreativitas Anda ada dalam kumpulan sajak Surat Kertas Hijau. Setelah itu kreativitas Anda menurun karena kegiatan politik. Benarkah demikian?
Dalam karya kreativitas, Prof. A. Teeuw dari Belanda pernah berkata, “Setelah aktif dalam politik, karya Sitor menurun dan mengecewakan.” Penyair Taufiq Ismail juga menyebutkan hal yang kurang lebih sama, “Sitor yang begitu saya junjung tinggi waktu keluarnya Surat Kertas Hijau terus jadi rusak karena politik.” Penilaian ini, menurut saya, bukan saja tidak ada dasar ilmiahnya, tapi juga bodoh.
Mengapa? Anda kecewa karena dikritik?
Sebab, semua orang ini tidak bisa membuktikan hubungan sebab-akibat antara berpolitik dan berkreativitas seni. Kalaupun mutu saya sebagai penyair itu mundur, politik jangan dibawa-bawa. Sebab, mungkin kreativitas saya memang sudah beku atau mandul.
Apakah Anda setuju dengan pendapat yang menyebutkan sajak-sajak Anda pada era 1960-an sangat berbau propaganda ?
Dalam sejarah sastra dan budaya, faktor-faktor negatif terhadap penciptaan justru melahirkan banyak karya empu. Jadi tidak alasan untuk mengatakan yang jelek-jelek. Akhirnya saya kembalikan semua itu kepada kreativitas sendiri. Pada 1960-an, saya banyak menulis sajak, tapi disimpan oleh Ajip Rosidi. Begitu diterbitkan oleh Ajip Rosidi, ternyata cukup menyentak.
Pada era 1950-an, banyak sajak Anda yang memukau tentang cinta dan dosa. Tapi, pada awal 1960-an ketika pulang dari Cina, Anda mulai menulis sajak yang memuji-muji komunis….
Kalau memuji-muji itu dalam arti menulis sajak, saya gagal. Tapi, dari kunjungan ke Cina itu, saya mengaku hormat terhadap revolusi mereka. Seperti saya juga mengharapkan mereka menghormati revolusi Indonesia.
Mari kita pindah ke pengalaman penjara. Apakah ada semacam dendam kepada Orde Baru karena Anda dipenjarakan tanpa surat penahanan, pemeriksaan, dan pengadilan?
Tidak. Karena saya seorang aktifis politik. Yang terjadi selama delapan tahun itu, saya pandang sebagai risiko berpolitik.
Apa yang Anda lakukan selepas dari Penjara Salemba?
Selepas dari penjara, saya mendapat status tahanan rumah,kemudian tahanan kota (1976-1978). Saya belum punya kartu tanda penduduk, masuk dalam lingkungan eks-tahanan politik, dan belum bisa mencari pekerjaan. Saya dan keluarga tinggal di daerah Karet, Jakarta Pusat. Keadaan kami sangat miskin. Baju hanya di badan. Rumah kami hanyalah gubuk yang atapnya sering bocor.
Bagaimana penerimaan teman-teman seniman?
Macam-macam. Suatu ketika, setelah menjadi tahanan kota, saya berobat ke Rumah Sakit Cikini. Di depan Taman Ismail Marzuki, karena melihat poster berita pameran teman lama saya, pelukis Nashar, saya mencuri-curi masuk. Akhirnya, saya masuk dan bertemu banyak teman lama. Ajip Rosidi, Ketua Dewan Kesenian Jakarta waktu itu, mengajak saya ke kantornya. Saya diundang makan dan minum. Banyak makanan enak di sana. Saya kemudian bilang kepada Ajip, “Saya senang saja dihargai, tapi kalau lantas karena itu kamu jadi kesulitan, tidak usahlah.”
Bagaimana dengan keluarga?
Dengan istri pertama saya, Teo Minar Gultom, kami memperoleh enam anak. Istri saya sudah lama sekali menderita. Nah, setelah keluar penjara, saya banyak mendapat kunjungan di rumah. Dan itu membuat istri saya makin menderita. Dia bilang, “Begitu kau pulang, orang-orang itu menunjukkan mukanya ke sini. Waktu kau dipenjara, tak seorang pun yang datang ke sini.” Dari segi ekonomi kami juga menderita. Sebab, jangankan waktu di penjara, pada masa bebas pun, saya belum pernah memiliki gaji teratur setiap bulan.
Apa yang Anda lakukan untuk memperoleh nafkah setelah bebas?
Saya tidak bisa bekerja. Anak perempuan saya yang bekerja dan memberikan nafkah. Ada bantuan seperti pakaian dan uang dari teman-teman seniman. Guntur Sukarnoputra berkunjung ke rumah. Ia memperbaiki rumah kami sehingga gubuk itu atapnya tidak lagi bocor. Pada 1977, Adam Malik (waktu itu menteri luar negeri) memanggil saya ke kantornya di Jalan Diponegoro. Dia minta maaf atas apa yang terjadi dan minta apa yang menimpa Bung Karno (oleh Orde Baru) tak usah dibicarakan lagi. Dia kemudian memberi bantuan Rp 250 ribu, untuk enam bulan. Saya dan Adam Malik punya hubungan pertemanan yang khusus.
Apa yang Anda lakukan antara 1976-1981 sebelum Anda mengajar di Leiden, Belanda?
Pada 1978, saya diminta membantu Prof. Anton Moeliono untuk membentuk tim penyusun Kamus Manajemen untuk LPPM di Menteng Raya. Saya diminta dalam proyek, bukan menjadi pegawai tetap. Di situ saya berstatus sebagai konsultan bahasa. Kemudian ada tawaran mengajar bahasa di Leiden. Sudah 10 tahun saya bekerja di sana.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar