Selasa, 21 Desember 2010

Estetik Sajak Syaiful Anam Assyaibani

Imamuddin SA
http://sastra-indonesia.com/

dengan bismillah segala pintu kan terbuka
mengajarkan degup jantung mengeja langkah
atas nama cinta

Ada dua hal yang memengaruhi perkembangan pribadi seorang manusia. Dua hal itu yaitu bakat dan lingkungan. Bakat mengarah pada suatu pembawaan sejak lahir. Sedangkan lingkungan merupakan stimulan dalam merangsang bakat sebagai kesempurnaan perwujudan. Ibarat tanaman yang berkuncup dan pada suatu ketika akan merekah berbunga bahkan menyembulkan wewangi khasnya.

Salah satu bakat yang dimiliki oleh seorang manusia yaitu kemampuan untuk berbahasa. Secara normal, semua orang yang dilahirkan ke dunia, kemampuan berbahasa menjadi bekal pokoknya. Hal itu menjadi sarana dalam mengembangkan potensi kepribadiannya yang lain. Tinggal di mana orang tersebut berada, maka bahasa yang terbentuk adalah sesuai dengan lingkungannya.

Yang berkaitan dengan bahasa dan merupakan sebagian bentuk dari pengembangan kemampuan berbahasa adalah sastra. Dalam mencipta karya sastra konstruksi bahasa tidak akan terlepas darinya. Bahasa sastra merupakan bahasa pengembangan pribadi manusia yang berkonotasi pada nilai estetis. Bahasa ini pada dasarnya dibentuk sama dengan bahasa-bahasa pada umumnya, yaitu melalui proses interaksi dengan lingkungan yang bertumpu pada pembawaan.

Seseorang menuturkan bahasa disebabkan oleh adanya wacana lingkungan, baik lingkungan fisik maupun psikis. Lingkungan itulah yang menjadi media pemicu akan hadirnya ujaran bahasa termasuk sastra. Orang tersebut bermaksud ingin menyampaikan pesan tertentu atas fenomena yang telah ditangkapnya. Oleh sebab itulah, estetika bahasa dalam sastra merujuk pada dua hal yaitu estetika struktural dan estetika semiotik. Estetika struktural (puisi) diwakili dengan adanya perwujudan nilai puitis yang berhubungan dengan diksi, rima, irama, aliterasi, asonansi, permajasan, persajakan, enjambemen, tipografi. Estetika semiotika berorientasi pada makna dan nilai-nilai yang hendak disampaikan pengarang melalui karya sastra yang diguratnya.

Untuk mencapai kedua estetika tersebut, seorang pengarang tidaklah sertamerta atau spontanitas menggenggamnya. Seorang pengarang harus menempuh proses tertentu dalam menggauli dan mengintimi sastra. Proses tersebut dapat ditempuh dengan dua jalan, yaitu menghujani pikiran dengan bacaan-bacaan dan bertukar pikiran atau bertukar pengalaman dengan kawan yang sama-sama gandrung dengan sastra. Kedua hal itu tentunya tidak terlepas dari faktor lingkungan juga. Sebab fenomena lingkunganlah yang mengilhami akan hadirnya sebuah karya dari pribadi seseorang.

Kedua estetika di atas pada gilirannya akan menjelma sebagai suatu kekuatan yang sungguh luar biasa dalam karya sastra. Dapat dikatakan bahwa dua hal itu seiring sejalan. Yang satu sebagai jasad dan yang lainnya sebagai ruh. Jasad tanpa ruh maka tak ada kehidupan. Ruh tanpa jasad maka tak tampak jejak keberadaannya.

Dalam puisi Indonesia mutakhir, pemanfaatan estetika struktural tidak diterapkan secara total. Seorang penyair kadang kala hanya menyematkan beberapa bagian saja. Misalnya hanya ada yang menyematkan konstruksi majas dan mengabaikan rima, asonansi, aliterasi, dan lain-lain. Hal itu sangatlah wajar sebab yang dijadikan patokan dalam perpuisian adalah nilai rasa dan selera pengarangnya. Oleh sebab itulah, bentuk puisi yang hadir di kalangan pembaca selalu berubah-ubah dalam setiap zamannya. Entah selera apa lagi yang akan melingkupi puisi Indonesia mendatang. Kita nantikan tanggal mainnya. Semoga kita jeli dan arif dalam mengantongi perkembangan zamannya.

Tengok saja dua puisi Saiful Anam Assyaibani berikut yang secara bentuk memiliki satu perbedaan. Padahal itu hanya berselang dua tahun saja. Dan perbedaan itu tentunya dipengaruhi oleh selera pengarang guna menciptakan suatu tampilan yang baru dalam karyanya. Biar sajak tampak terlihat segar. Namun perubahan dan perbedaan bentuk itu bisa jadi mengarah pada satu usaha pencarian karakter karya yang pasti sebagai ciri khas penyair itu sendiri. Baik secara estetika struktural maupun estetika semioik.

LAKILAKI TAK BERNAMA

lakilaki tak bernama itu berjalan sepanjang jalan raya
hidup dan mati sepanjang jalan raya
ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut
saat bayangbayang matahari jatuh
di lengkung langit utara
ia menggiring senja ke ujung paling sudut
takdir hidup ini

lakilaki tak bernama itu
khusyuk, membaca semburat waktu
membaca perubahan cuaca
yang berpendar di belantara sunyi
ingatan
cinta dan kegelisahan

lakilaki tak bernama itu
mengukir sejarah tubuhnya sendiri
menjadi gelombang gelap
menjadi hujan yang tak henti meneteskan luka

lakilaki tak bernama itu
menyeretku ke dasar laut
tak bernama…

Lamongan, 2008


LAGU SURGA

aku membaca surga di halaman matamu
kutemukan seayat sungai mengalir bening

tak bisa kutolak khuldi menggantung ranum di dadamu
dan kita menikmatinya dalam hentian waktu
yang merampas keabadian.

Lamongan, 2008


JALAN KETIADAAN

bacalah maktab tubuhmu
dan kau kan temukan
BETAPA RAPUH PERJALANAN SETAPAK MENEMU DIRI
BETAPA TUBUH HANYA SEMACAM RANJANG KUMAL
tempat terlelap dalam fana

maka mengeranglah dalam kasidah doadoa
biarkan ia membakar rasa bersalah
kepada jalan ketiadaan yang pernah kau lewati
murnikan dalam sungai
tubuhmu yang mengalir
hingga kau lihat dasar
di pedalaman dadamu

adalah ziarah dalam diri
simpuh sepi dalam ketakterhinggaan waktu
pengembaraan sesaat
dalam isyarat beribu rindu
dalam bismillah.

Lamongan, 2010

Tiga sajak di atas tipografinya memiliki konstruksi bentuk yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada penulisan huruf kapital pada sajak Jalan Ketiadaan. Penyair selain berusaha menciptakan stile bentuk yang baru dalam karyanya, penulisan tersebut dapat berupa suatu tindak penegasan atau penekanan esensi dasar sajaknya. Nilai yang terkandung dalam ujaran yang tercetak kapital menjadi poros utama pesan yang hendak disampaikan kepada pembaca. Penyair berusaha memberikan penekanan dalam bentuk kesadaran bagi pembaca melalui ujaran kapital tersebut.

Dalam ranah kepenulisan, konsistensi karya itu penting. Hal itu disebabkan oleh adanya tindak pengaruh pemahaman terhadap karakteristik pengarang. Jika perubahan-perubahan bentuk tersebut dilakukan secara serampangan oleh penyair, itu dapat menjadikan sesuatu yang kurang baik bagi keberadaan karya dan penyairnya. Berbeda lagi jika itu dilakukan secara berkala atau dalam kurun waktu tetentu, ini dapat menjadi kekuatan yang dahsyat yang mampu mewarnai khasanah kesusastraan yang ada.

Jika diuraikan lebih panjang, secara keseluruhan sajak di atas tidak memanfaatkan estetika struktural yang berupa rima. Hal itu tampaknya dilkukan oleh penyairnya sebagai usaha penyelarasan selera perpuisian Indonesia mutahkhir yang bersifat sedikit longgar dengan aturan-aturan kepuitisan yang ada. Meskipun demikian, penyir masih menyematkan kostruksi estetika struktural yang lain yang berupa asonansi, aliterasi, citraan, dan majas. Entah itu dilakukan secara sengaja atau tidak oleh penyairnya. Yang jelas konstruksi tersebut telah hadir dalam sajak.

Aliterasi tampak pada sajak Lakilaki Tak Bernama yang ditandai dengan ungkapan “ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut” dan “ia menggiring senja ke ujung paling sudut”, pada sajak Jalan Ketiadaan : “maka mengeranglah dalam kasidah doadoa”. Asonansi terdapat pada sajak Lakilaki Tak Bernama : “membaca perubahan cuaca”, sajak Lagu Surga : “aku membaca surga di halaman matamu”, sajak Jalan Ketiadaan : “beribu rindu”.

Citraan juga tersematkan dalam tiga puisi di atas. Citraan penglihatan terdapat pada sajak Lakilaki Tak Bernama : “ lakilaki tak bernama itu berjalan sepanjang jalan raya // hidup dan mati sepanjang jalan raya // ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut // saat bayangbayang matahari jatuh // di lengkung langit utara (bait 1), lakilaki tak bernama itu // khusyuk, membaca semburat waktu // membaca perubahan cuaca // yang berpendar di belantara sunyi (bait 2), menjadi gelombang gelap // menjadi hujan yang tak henti meneteskan luka (bait 3)”. Pada sajak Lagu Surga : aku membaca surga di halaman matamu // kutemukan seayat sungai mengalir bening (bait 1), tak bisa kutolak khuldi menggantung ranum di dadamu (bait 2)”. Pada sajak Jalan Ketiadaan : “murnikan dalam sungai // tubuhmu yang mengalir // hingga kau lihat dasar // di pedalaman dadamu (bait 2)”.

Citraan gerak terdapat pada sajak Lakilaki Tak Bernama : “lakilaki tak bernama itu berjalan sepanjang jalan raya // hidup dan mati sepanjang jalan raya // ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut // saat bayangbayang matahari jatuh // di lengkung langit utara // ia menggiring senja ke ujung paling sudut // takdir hidup ini (bait 1), lakilaki tak bernama itu // mengukir sejarah tubuhnya sendiri // (bait 3), lakilaki tak bernama itu // menyeretku ke dasar laut // tak bernama… (bait 4)”. Pada sajak Lagu Surga : “kutemukan seayat sungai mengalir bening (bait 1), yang merampas keabadian (bait 2). Pada sajak Jalan Ketiadaan : “BETAPA RAPUH PERJALANAN SETAPAK MENEMU DIRI (bait 1), biarkan ia membakar rasa bersalah (bait 2), tubuhmu yang mengalir (bait 2), adalah ziarah dalam diri (bait 3), pengembaraan sesaat (bait 3)”.

Citraan perasaan terdapat pada sajak Lakilaki Tak Bernama : “yang berpendar di belantara sunyi // ingatan // cinta dan kegelisahan (bait 2), menjadi hujan yang tak henti meneteskan luka (bait 3). Pada sajak Jalan Ketiadaan : “biarkan ia membakar rasa bersalah (bait 2), simpuh sepi dalam ketakterhinggaan waktu (bait 3), dalam isyarat beribu rindu (bait 3)”. Citraan pendengaran pada sajak Jalan Ketiadaan : “maka mengeranglah dalam kasidah doadoa” (bait 2). Adapun citraan pikiran terdapat pada seluruh sajak Lagu Surga yang berkonotasi pada tragedi Adam dan Hawa saat melanggar larangan Tuhan agar tidak memakan buah khuldi yang menyebabkannya terusir dari keabadian surga hingga berada di bumi. “tak bisa kutolak khuldi menggantung ranum di dadamu // dan kita menikmatinya dalam hentian waktu // yang merampas keabadian (bait 2).

Majas yang disematkan juga terdapat majas metafora. Dalam sajak Lakilaki Tak Bernama, Tuhan diibaratkan sebagai laut, yaitu sosok tanpa batas yang tak bermula dan tak berakhir: “ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut” (bait 1). Hari tua atau usia tua dimetaforkan dengan senja : “ia menggiring senja ke ujung paling sudut” (bait 1). Perjalanan dan prahara hidup yang suram dimetaforkan dengan delombang gelap : “menjadi gelombang gelap” (bait 3). Perjalanan dan prahara hidup yang penuh dengan keterpayahan dimetaforkan dengan hujan yang tidak pernah berhenti meneteskan luka : “menjadi hujan yang tak henti meneteskan luka” (bait 3). Perenungan, pemahaman, serta pengetahuan yang luas dan mendalam serta penuh misteri dimetaforkan dengan dasar laut yang tak bernama : “lakilaki tak bernama itu // menyeretku ke dasar laut // tak bernama…” (bait 4). Pada sajak Jalan Ketiadaan, getar hati yang paling dalam dimetaforkan dengan sungai tubuh : “murnikan dalam sungai // tubuhmu yang mengalir // hingga kau lihat dasar // di pedalaman dadamu” (bait 2). Majas simile terdapat pada sajak Jalan Ketiadaan dengan membandingkan tubuh dengan ranjang yang kumal : “BETAPA TUBUH HANYA SEMACAM RANJANG KUMAL” (bait 1).

Ada satu hal yang sempat terasa sungsang dari sajak Jalan Ketiadaan. Hal itu mengarah pada penyematan satu diksinya, yaitu: “di pedalaman dadamu”. Kesungsangannya disebabkan oleh ketidakkoherensian dengan larik-larik sebelumnya. Pada larik sebelumnya, penyair menyematkan konstruksi kata dengan fenomena air. Akan tetapi pada penyematan larik “di pedalaman dadamu”, kata pedalaman seolah menggambarkan fenomena untuk kampung atau hutan. Lebih efektif dan koherennya jika disematkan kata “kedalaman” yang sama-sama memiliki konotasi fenomena air.

Dari sisi estetika semiotik, ada pesan yang sangat indah dan menyentuh melalui sajak tersebut. Pesan yang sangat kentara berorientasi pada nilai religius. Sajak di atas pada dasarnya tergolong dalam puisi lirik. Ini merupakan suatu luapan batin penyairnya atas pengalaman ruhaniah yang sangat dalam yang dipicu oleh fenomena lingkungan, baik lingkungan fisik maupun psikis.

Pada sajak Lakilaki Tak Bernama, hadirnya puisi ini diilhami dari suatu fenomena lingkungan yang ada di sekeliling penyair. Fenomena tersebut bersifat sederhana yang kadang kerap tak tersentuh oleh kebanyakan orang. Lakilaki Tak Bernama tampaknya diilhami oleh fenomena orang gila. Sang penyair menangkapnya sebagai ide dasar dalam sajaknya. Penyair yang notabenenya tidak mengetahui nama orang gila tersebut, kemudian menyebutnya dengan istilah laki-laki tak bernama.

Saat itu penyair menyaksikan keberadaan lelaki gila yang tengah berjalan menyusuri jalan raya. Lelaki itu dalam pandangan penyair adalah sesosok manusia yang pada akhirnya nanti menghabiskan masa hidupnya di sepanjang jalan raya. Ia tak memiliki tempat persinggahan dan tujuan hidup yang pasti. Ia melangkah sesuka hati tanpa memahami perjalanan yang ditempuhnya. Lelaki itu saat itu berjalan dari arah utara yang pada gilirannya nanti akan kembali kepada Tuhan pada usia tua. Ia melakoni kegilaannya hingga sampai batas usia yang paling akhir. Yaitu takdir kematian.

lakilaki tak bernama itu berjalan sepanjang jalan raya
hidup dan mati sepanjang jalan raya
ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut
saat bayangbayang matahari jatuh
di lengkung langit utara
ia menggiring senja ke ujung paling sudut
takdir hidup ini (bait 1).

Sungguh liar imajinasi penyair ketika memandang dan menyaksikan lelaki gila itu yang sedang berdiam diri di hadapannya. Kediamannya diimajinasikan oleh penyair sebagai usaha dalam memahami perjalanan waktu yang semakin bertambah sore dan perubahan cuaca saat itu dengan suasana hati yang sunyi. Tak ada seorangpun yang meemani dan memahami keberadaanny. Penyair mengimajinasikan lelaki itu tengah mengingat fenomena dan kenangan masa lalunya tentang cinta dan kegelisahan hati dalam menjalani realitas kehidupan yang menimpa dirinya. Berusaha memahami sebab musbab kegilaannya.

lakilaki tak bernama itu
khusyuk, membaca semburat waktu
membaca perubahan cuaca
yang berpendar di belantara sunyi
ingatan
cinta dan kegelisahan (bait 2)

Penyair kembali memahami bahwa lelaki gila itu dengan kegilaannya pada dasarnya telah membuat sejarah hidupnya sendiri. Ia telah memosisikan dirinya secara alamiah pada prahara hidup yang suram dan selalu berada dalam keterpayahan. Ia dalam caci maki, hinaan, dan keburukan. Hal itu seolah-olah tampak sebagai sesuatu yang pasti yang melekat dalam pribadi lelaki gila tersebut yang tak penah lekang dalam kehidupannya hingga akhir hayatnya. Kecuali ia telah sembuh dari kegilaannya.

lakilaki tak bernama itu
mengukir sejarah tubuhnya sendiri
menjadi gelombang gelap
menjadi hujan yang tak henti meneteskan luka (bait 3)

Pada akhirnya, melalui tindak pengamatan terhadap sosok lelaki gila tersebut, penyair merasa bahwa imajinasi dan perasaannya dibawa masuk dalam pemahaman hakikat hidup sejati yang penuh dengan misteri. Tentang rasa syukur atas rahmat yang menempatkan dirinya sebagai lelaki normal yang tak kehilangan akal sehatnya. Rasa ikhlas dan ridla dalam menerima segala ujian dan coban dari-Nya. Rasa iba dan prihatin atas keberadaan sesama.

lakilaki tak bernama itu
menyeretku ke dasar laut
tak bernama… (bait 4)

Pada sajak Lagu Surga, tampaknya penyair diilhami oleh suasana kebersamaan bersama istrinya. Saat itu penyair diindikasikan tengah bermain cinta dengan istrinya. Penyair memandang kedalaman sorot mata istrinya hingga ia teringat tentang suatu peristiwa di surga. Peristiwa yang terjadi antara Adam dan Hawa yang menjadikannya keluar dari keabadian surga dan berdiam diri di bumi. Peristiwa itulah yang kemudian menjadikan diri penyair seolah-olah mendapatkan petunjuk serta ilham tentang kesucian kehidupan.

aku membaca surga di halaman matamu
kutemukan seayat sungai mengalir bening (bait 1)

Penyair tampaknya tak sanggup memungkiri dan mengakui akan eksistensi khuldi yang dulu sempat terpetik dan termakan oleh Adam dan Hawa. Ternyata, khuldi tersebut merupakan satu jembatan dalam menghadirkan kenikmatan yang lain. Yaitu kenikmatan surga dunia. Khuldi itulah yang pada gilirannya saat ini menjadi stimulus untuk saling berbagi kenikmatan antara lelaki dan perempuan di dunia hingga ia sampai pada puncak kebahagiaannya yang hanya tergapai dalam seper sekian detik saja. Namun semua orang berusaha ingin menggapainya, termasuk penyair dan istrinya yang hendak menikmatinya secara bersma.

Fenomena itu menandaskan bahwa kenikmatan dan kebahagiaan yang terengkuh oleh seseorang di dunia itu bersifat sementara dan hanya sekejap saja. Keberadaannya tidaklah abadi layaknya Adam dan Hawa yang terlempar keluar dari kenikmatan dan kebahagiaan yang abadi, yaitu kenikmatan dan kebahagiaan surga yang sesungguhnya.

Saat itu penyair benar-benar merasakan dan menikmati dengan sendirinya buah dari khuldi bersama sang istri. Ia merasa bahwa benar-benar telah merampas keabadian. Tindak perampasan keabadian itu terwujud dengan adanya peleburan sel kelamin hingga menjadi darah. Darah menjadi daging. Kulit membalut daging. Daging membalut tulang. Tulang membalut sum-sum. Hingga menjadi orok yang pada akhirnya memaksa Tuhan untuk melepaskan sebagian keabadian-Nya dalam wujud ruh guna mendiami tanah sementara waktu. Mengaliri hidup pada jasad mati hingga kembali mati lagi dalam takaran yang telah pasti.

tak bisa kutolak khuldi menggantung ranum di dadamu
dan kita menikmatinya dalam hentian waktu
yang merampas keabadian. (bait 2)

Pada sajak Jalan Ketiadaan, merupakan suatu seruan untuk mengenali jati diri. Barang siapa yang berkenan menginstropeksi diri melalui perjalanan hidup yang telah terlewati, maka ia akan menemukan satu gambaran tentang betapa sulitnya perjuangan dalam mengenali hakikat hidup ini. Seseorang bahkan akan menemukan dan merasakan keputusasaan yang sungguh luar biasa perjuangan pencarian itu. Sebab pada dasarnya tindak pencarian jati diri merupakan suatu proses perjalanan panjang yang melelahkan dan tanpa akhir kecuali dengan kematian jasad. Bahkan di balik kematian jasd itu masih menuntut akan adanya pencarian hakekat ketuhanan. Seseorang akan menemukan bahwa dirinya merupakan sesuatu yang tak berharga yang dijadikan wahana dan berselimutkan kelalaian di dalam dunia yang sementara.

bacalah maktab tubuhmu
dan kau kan temukan
BETAPA RAPUH PERJALANAN SETAPAK MENEMU DIRI
BETAPA TUBUH HANYA SEMACAM RANJANG KUMAL
tempat terlelap dalam fana (bait 1)

Jika seseorang telanh mengethui akan hal tersebut, maka tindakan yang patut dilakukan menurut penyair yaitu mengagungkan nama Tuhan dalam lantunan doa agar Tuhan berkenan melebur dan menghapuskan segala dosa yang telah tercipta yang disebabkan oleh lupa. Rasa bersalah akan terhapus pula atas tindakan peniadaan eksistensi Tuhan dalam diri dan jiwa yang sempat terlewati. Hal itu merupakan suatu usaha dalam hidup dan kehidupan untuk menuju kesejatian, yaitu Tuhan. Ini adalah jalan ketiadaan. Meniadakan eksistensi diri dengan meleburkan diri ke dalam eksistensi tuhan yang sejati. Laa khaula wala kuwwata illa billah.

maka mengeranglah dalam kasidah doadoa
biarkan ia membakar rasa bersalah
kepada jalan ketiadaan yang pernah kau lewati (bait 2)

Dalam usaha mengenali jati diri, hakikat hidup, dan kesejatian Tuhan seseorang harus mengakui bahwa diri pada dasarnya tidak ada tanpa adanya cinta kasih dan kuasa dari Tuhan. Ini termasuk dalam usaha pemurnian hasrat dari unsur nafsiah. Seseorang haruslah membeningkan hati dengan bersikap polos, tulus dan ikhlas hingga ia melihat dan menemukan getar hati yang terdalam yang memancarkan nur ilahiah sebagai risalah kesejatian diri, hidup, dan Tuhan. Jika ini terengkuh maka muncullah istilah tajjali. Penglihatan adalah penglihatan Tuhan. Pendengaran adalah pendengaran Tuhan. Ucapan adalah ucapan Tuhan. Perilaku adalah perilaku Tuhan.

murnikan dalam sungai
tubuhmu yang mengalir
hingga kau lihat dasar
di pedalaman dadamu (bait 2)

Diri seseorang pada dasarnya merupakan suatu tempat yang sakral. Diri itulah yang menjadikan manusia “sempurna” dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lain. Diri itulah yang mampu menampung keberadaan dan tajjali Tuhan. Oleh sebab itu, keberadaanya perlu untuk diziarahi, didatangi, dan dikenal sebagai wahana persemayaman Sang Mahasepi yang tak terbatas oleh ruang dan waktu. Yang harus digapai dalam perjalanan hidup di dunia yang hanya sesaat. Itulah yang disebut pengembaraan sebagai isyarat rindu akan kebersamaan dan keabadiaan Tuhan yang gerbang dan bekal perjalanannya terdapat dalam bismillah. Dalam kesaksian dan pengagungan nama-Nya. Dalam implementasi sifat-Nya.

adalah ziarah dalam diri
simpuh sepi dalam ketakterhinggaan waktu
pengembaraan sesaat
dalam isyarat beribu rindu
dalam bismillah. (bait 3)

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito