Rabu, 18 Agustus 2010

Jalan Teater, Ketunggalan atau Keberagaman?*

Halim HD**
http://www.kompas.com/

KENAPA teater tidak pernah surut dari kehidupan kaum muda, dan kenapa pula jalan itu yang menjadi pilihan bagi mereka untuk mencari dan menyatakan diri mereka? Hidup tampaknya bukan hanya untuk mencari pengisi sejengkal perut di antara kesulitan hidup dan jejalan iklan konsumtif yang selalu menggoda yang ada pada semua ruang. Namun, di situ pula saya menyaksikan, dengan rasa heran yang tak pernah selesai, luapan energi yang menggelegak yang tak pernah sirna dari kedalaman diri kaum muda yang menggabungkan energi mereka ke dalam berbagai grup teater: pencarian diri. Maka, teater menjadi suatu kawah yang menggodok diri mereka ke dalam gabungan arus energi yang tak pernah henti, yang mereka salurkan pula ke dalam kehidupan kemasyarakatan dan dalam proses kebudayaan.

Secara individual dan secara psikologis, teater bisa menjadi suatu proses dari pematangan seseorang kepada pilihan hidupnya yang akan datang; dia menjadi rentangan waktu dalam proses pengujian bagi pencarian kepribadian, dan di dalamnya kita dapatkan berbagai usaha secara individual maupun sosial untuk menyatakan diri secara bersama-sama. Namun, di situ pulalah soalnya; masalah yang tak pernah bisa kita mungkiri bahwa setiap pribadi memiliki kehendak dan tujuan masing-masing. Adakah keunikan, kekhasan kepribadian akan makin berkembang atau sirna di dalam proses pengelompokan, seperti “nasionalisasi massa” (meminjam ungkapan George Mosse, Universitas Wisconsin, dalam bukunya The Nationalization of the Masses, Cornell University Press, 1975) yang gemuruh dan menggerus siapa saja di dalam suatu proses politik dalam penggalangan massa partai ketika kampanye atau pada berbagai ritus politik lainnya?

Dalam suatu keluarga yang ideal kita menemukan suatu proses yang sangat menarik, ketika kedua orangtua tidak lagi memiliki hak dan kewajiban untuk menentukan arah yang paling mendasar dan penting bagi kehidupan seorang anak di dalam pencarian diri mereka. Orangtua hanya sebagai “fasilitator” dalam proses arah yang akan dipilih oleh sang anak. Untuk itulah kebenaran terdapat dalam ungkapan yang bermakna luhur dari pujangga Lebanon, Kahlil Gibran: anakmu adalah panah yang lepas dari busurnya yang menembus kegelapan malam. Di situlah pencarian diri dan misteri kehidupan senantiasa dilakukan dan ditemui oleh setiap orang berdasarkan kapasitas masing-masing.

Erich Fromm, seorang sosialis-humanis di dalam uraiannya yang mendalam tentang hubungan manusiawi dalam bukunya yang sangat terkenal, The Art of Loving yang terbit empat dekade yang lampau mengungkapkan bahwa ada empat hal yang terpenting di dalam proses pengembangan kasih sayang, yang digambarkannya dengan contoh yang sangat menarik tentang hubungan antara orangtua dengan sang anak, yakni: “responsibility” (tanggung jawab), “care” (pemeliharaan), “knowledge” (pengetahuan), dan “respect” (rasa hormat). Adakah teater bisa dimaknai seperti itu pada proses dari setiap orang dalam pencarian dirinya di dalam kebersamaan? Ataukah dia hanya menjadi milik “sang pendiri”, “sang sesepuh”, “sang sutradara”, “sang penentu ideologis teater” yang bagaikan suatu rezim pada sebuah grup, yang pada akhirnya mengulang kembali lubang hitam sejarah berbagai grup yang pernah ada di bumi nusantara ini: raja-raja kecil, dengan sejumlah instruksi yang mesti dituruti. Dan lubang hitam itu makin terhunjam ke dalam kehidupan sosial ketika berbagai lembaga dan sarana demokratisasi tidak berjalan semestinya, dan teater tak mampu mengelakkan dirinya dari godaan untuk menolak kerakusan cara-cara kekuasaan.

Lihatlah sekeliling kita yang kini masih memprihatinkan di dalam kehidupan grup teaternya: fanatisme kelompok, ketidakmatangan di dalam perbedaan pendapat, kontrol yang dominan dari para senior yang menjadi kaum feodal baru, dan berbagai problematik sosial dan psikologis yang ada di dalamnya, yang kesemuanya mencerminkan realitas tentang ketidakpahaman di dalam memaknai teater sebagai jalan dalam kehidupan sosial. Tapi, kondisi seperti itu tidak mengurangi gairah kaum muda untuk menapaki jalan, atau sekadar untuk menjadi anggota sebuah grup. Adakah hal ini sekadar luapan emosional akibat kebuntuan lembaga sosial yang tak mampu menyalurkan berbagai inspirasi, gagasan, cita-cita, dan harapan kaum muda.

Tampaknya, dorongan menapaki jalan teater atau sekadar memasuki sebuah grup bersama teman-teman lainnya untuk bermain teater, bukanlah sekadar soal kebuntuan berbagai institusi sosial yang ada di lingkungan kaum muda. Ada hal yang lebih dari itu yang tampaknya terus menggelitik dan menggoda dirinya untuk memasuki dan menapaki wilayah itu, walaupun sekadar sekejap: sebuah panggung yang dibayangkan akan menampilkan dirinya, dan di situlah dia hadir bersama suatu dunia. Bayangan atau sejenis harapan seperti itu senantiasa menggoda kaum muda yang seakan-akan dunia dalam genggamannya ketika dia berada di atas panggung, yang oleh banyak orang dianggap sebagai kegamangan. Tapi, kondisi psikologis dan eksistensial seperti itu bukanlah hanya milik semata-mata kaum muda saja; di kalangan kaum tua pun senantiasa bermunculan godaan akibat post-power syndrome, yang justru bagaikan ketoprak humor yang sama sekali tidak lucu yang dipenuhi oleh berbagai “fatwa moral” yang instruktif tentang heroisme dan ketaqlidan tatanan kehidupan berdasarkan versi mereka yang tak lagi mampu menciptakan dirinya sebagai panutan sosial, yang pada saat yang sama mengalami berbagai gugatan dari kaum muda.

Panggung teater dan panggung sosial menjadi ajang, dan pada setiap saat di mana saja selalu bermunculan “kudeta terselubung” pada ruang-ruang publik, dan bahkan telah memasuki ruang pribadi, di dalam tatanan rumah tangga. Keretakan hubungan itulah yang tampaknya membawa kaum muda untuk mencari wilayah dan ruang bagi dirinya, ketika lembaga pendidikan, berbagai lembaga sosial menjadi mampat dan buntu serta lembaga keluarga yang tidak lagi memberikan kehangatan. Tapi, risiko untuk memasuki dan menapaki wilayah atau jalan teater itu membawa mereka kepada ikatan baru yang juga tak sepenuhnya ideal sebagaimana mereka bayangkan. Di dalam ruang dan wilayah teater itu sendiri telah ter/di-bentuk sejenis kekuasaan oleh para pendahulunya, yang bahkan kerap lebih keras daripada yang ada di luar wilayah itu. Ironi kehidupan sosial senantiasa terjadi di mana-mana.

Dengan idealisasi dan memperbandingkan serta membayangkan suatu komunitas teater sebagai wilayah yang beragam, yang menampung berbagai keunikan, kekhasan, dan menghormati adanya suatu misteri yang terselubung dalam proses pencarian seseorang yang berada di dalam grup atau jalan teater sebagai harapan yang kita lambungkan pada dunia itu. Adakah jika kita menerapkan perspektif idealisasi itu suatu hal yang mustahil pada grup-grup teater kita? Kita menyaksikan banyak sosok telah lahir, dari waktu ke waktu, sebagai pribadi dari jenis dan bentuk seni pertunjukan yang memang selalu sarat dengan penyajian dan pergulatan berbagai masalah kehidupan. Dan darinya pula setiap orang diharapkan bisa ngangsu kawruh, menimba makna dan nilai-nilai kehidupan, dan nglakoni sebagai proses pencarian jati diri individual maupun sosial.

Namun, realitas kehidupan jelas-jelas tidak semulus harapan yang kita bayangkan; ironi senantiasa pula terdapat di dalam dunia teater. Ada pula begitu banyak orang yang dirinya diidentikkan dengan grup yang memandang dan cara mengembangkan grup atau komunitas lalu menjadi paranoia: mencurigai berbagai perbedaan dan pilihan yang muncul dan datang dari seorang anggota grup/komunitas. Hidupnya sangat obsesif dan posesif terhadap grup, hampir-hampir mendekati fanatisme sektarian yang menggembleng setiap anggota grupnya untuk taqlid dan hanya menurut kepada arah yang diberikan oleh “sang pemimpin”, yang kebetulan juga mendirikan grup yang bersangkutan. Pada kasus lainnya, pada grup yang sudah sirna, dan atau yang sedang tumbuh, terdapat “feodalisme” yang ditancapkan untuk memberikan “bobot” kepada posisi seseorang yang merasa dirinya sebagai “sesepuh”, “sang paling ahli”, yang selalu menganggap dirinya memiliki sentuhan akhir sebelum segala sesuatunya berhadapan di panggung masyarakat.

Dengan dalih itu pula suatu grup teater ingin dikangkangi sebagai milik dirinya, dan sekaligus pula melakukan sensor atas berbagai pemikiran dan arus bawah yang datang dari anggotanya. Tentu selalu ada ungkapan yang menggebu-gebu tentang “keterbukaan”, “partisipasi anggota”, “bebrayan” (hubungan antar-saudara), “solidaritas”, “komitmen”, “dialog”, “diskusi”, yang kesemuanya itu tak lebih dan tak kurang pula bagaikan penjelasan juru penerang departemen di zaman rezim Soeharto-Harmoko, yang kayak “anjing menggonggong”, kata esayis-penyair Afrizal Malna, yang terlampau sadar kepada posisi dirinya bahwa dia memiliki “otoritas” sebagai pendiri (juga biasanya sebagai sutradara, penulis naskah, tentu juga sebagai “sang pemimpin”!). Dirinya ditabalkan sebagai “akar tunggang” dan sekaligus “masa depan” yang akan dan harus diraihnya. Maka para anggota grup teater hanya sekadar jadi “pelengkap penderita” yang notabene juga sebenarnya adalah ikut mendirikan dan ikut pula membesarkan grup yang bersangkutan. Lalu pertanyaan kita: ke mana pula prinsip dan proses “biarkan bunga-bunga berkembang bersama warnanya masing-masing?”

Jadi, betapa ringkih dan rapuhnya jarak-makna yang terbentang antara “grup teater” dengan “jalan teater”, yang kini di hadapi oleh setiap orang yang akan dan sedang mencari serta memahami misteri dan keunikan hidup yang dimaknai oleh usaha pencariannya ke arah kebersamaan. Mungkin dia yang tak mendapatkan tempat pada grup, bisa juga memaknai atau bahkan menjalani “jalan teater” yang sesungguhnya, bahwa hidup itu sendiri suatu “lahan teater” yang terbuka selebar-lebarnya dan senantiasa menampung siapa saja, yang memiliki tangan yang terampil, kaki yang kukuh, pikiran yang jernih dan terbuka serta perasaan mendalam dan kehendak yang tak mudah goyah, yang mendorong metabolisme di dalam dirinya untuk mengucurkan keringat yang bisa membasahi bumi dan tanah yang dipijak olehnya. Di situ pula kita akan menyaksikan tumbuhnya rerumputan dan pepohonan kebudayaan dan kehidupan yang memiliki akar yang lebih kuat dan mendalam.

Dan, teater, sebagaimana selalu saya pahami dan maknai pada kehidupan dan pertumbuhannya senantiasa secara nyata tampak sebagai daur ulang dari berbagai jenis batu nisan yang dipahatkan bagi kehidupan yang akan datang. Di situ pula kita menyaksikan torehan makna dari tangan-tangan yang menggeletarkan energi yang terus meraba tak henti-hentinya di dalam pencarian dan pemahaman misteri serta keunikan hidup.

**) Networker Kebudayaan.
*) digunting dari Kompas, 09 Februari 2003.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito