Halim HD**
http://www.kompas.com/
KENAPA teater tidak pernah surut dari kehidupan kaum muda, dan kenapa pula jalan itu yang menjadi pilihan bagi mereka untuk mencari dan menyatakan diri mereka? Hidup tampaknya bukan hanya untuk mencari pengisi sejengkal perut di antara kesulitan hidup dan jejalan iklan konsumtif yang selalu menggoda yang ada pada semua ruang. Namun, di situ pula saya menyaksikan, dengan rasa heran yang tak pernah selesai, luapan energi yang menggelegak yang tak pernah sirna dari kedalaman diri kaum muda yang menggabungkan energi mereka ke dalam berbagai grup teater: pencarian diri. Maka, teater menjadi suatu kawah yang menggodok diri mereka ke dalam gabungan arus energi yang tak pernah henti, yang mereka salurkan pula ke dalam kehidupan kemasyarakatan dan dalam proses kebudayaan.
Secara individual dan secara psikologis, teater bisa menjadi suatu proses dari pematangan seseorang kepada pilihan hidupnya yang akan datang; dia menjadi rentangan waktu dalam proses pengujian bagi pencarian kepribadian, dan di dalamnya kita dapatkan berbagai usaha secara individual maupun sosial untuk menyatakan diri secara bersama-sama. Namun, di situ pulalah soalnya; masalah yang tak pernah bisa kita mungkiri bahwa setiap pribadi memiliki kehendak dan tujuan masing-masing. Adakah keunikan, kekhasan kepribadian akan makin berkembang atau sirna di dalam proses pengelompokan, seperti “nasionalisasi massa” (meminjam ungkapan George Mosse, Universitas Wisconsin, dalam bukunya The Nationalization of the Masses, Cornell University Press, 1975) yang gemuruh dan menggerus siapa saja di dalam suatu proses politik dalam penggalangan massa partai ketika kampanye atau pada berbagai ritus politik lainnya?
Dalam suatu keluarga yang ideal kita menemukan suatu proses yang sangat menarik, ketika kedua orangtua tidak lagi memiliki hak dan kewajiban untuk menentukan arah yang paling mendasar dan penting bagi kehidupan seorang anak di dalam pencarian diri mereka. Orangtua hanya sebagai “fasilitator” dalam proses arah yang akan dipilih oleh sang anak. Untuk itulah kebenaran terdapat dalam ungkapan yang bermakna luhur dari pujangga Lebanon, Kahlil Gibran: anakmu adalah panah yang lepas dari busurnya yang menembus kegelapan malam. Di situlah pencarian diri dan misteri kehidupan senantiasa dilakukan dan ditemui oleh setiap orang berdasarkan kapasitas masing-masing.
Erich Fromm, seorang sosialis-humanis di dalam uraiannya yang mendalam tentang hubungan manusiawi dalam bukunya yang sangat terkenal, The Art of Loving yang terbit empat dekade yang lampau mengungkapkan bahwa ada empat hal yang terpenting di dalam proses pengembangan kasih sayang, yang digambarkannya dengan contoh yang sangat menarik tentang hubungan antara orangtua dengan sang anak, yakni: “responsibility” (tanggung jawab), “care” (pemeliharaan), “knowledge” (pengetahuan), dan “respect” (rasa hormat). Adakah teater bisa dimaknai seperti itu pada proses dari setiap orang dalam pencarian dirinya di dalam kebersamaan? Ataukah dia hanya menjadi milik “sang pendiri”, “sang sesepuh”, “sang sutradara”, “sang penentu ideologis teater” yang bagaikan suatu rezim pada sebuah grup, yang pada akhirnya mengulang kembali lubang hitam sejarah berbagai grup yang pernah ada di bumi nusantara ini: raja-raja kecil, dengan sejumlah instruksi yang mesti dituruti. Dan lubang hitam itu makin terhunjam ke dalam kehidupan sosial ketika berbagai lembaga dan sarana demokratisasi tidak berjalan semestinya, dan teater tak mampu mengelakkan dirinya dari godaan untuk menolak kerakusan cara-cara kekuasaan.
Lihatlah sekeliling kita yang kini masih memprihatinkan di dalam kehidupan grup teaternya: fanatisme kelompok, ketidakmatangan di dalam perbedaan pendapat, kontrol yang dominan dari para senior yang menjadi kaum feodal baru, dan berbagai problematik sosial dan psikologis yang ada di dalamnya, yang kesemuanya mencerminkan realitas tentang ketidakpahaman di dalam memaknai teater sebagai jalan dalam kehidupan sosial. Tapi, kondisi seperti itu tidak mengurangi gairah kaum muda untuk menapaki jalan, atau sekadar untuk menjadi anggota sebuah grup. Adakah hal ini sekadar luapan emosional akibat kebuntuan lembaga sosial yang tak mampu menyalurkan berbagai inspirasi, gagasan, cita-cita, dan harapan kaum muda.
Tampaknya, dorongan menapaki jalan teater atau sekadar memasuki sebuah grup bersama teman-teman lainnya untuk bermain teater, bukanlah sekadar soal kebuntuan berbagai institusi sosial yang ada di lingkungan kaum muda. Ada hal yang lebih dari itu yang tampaknya terus menggelitik dan menggoda dirinya untuk memasuki dan menapaki wilayah itu, walaupun sekadar sekejap: sebuah panggung yang dibayangkan akan menampilkan dirinya, dan di situlah dia hadir bersama suatu dunia. Bayangan atau sejenis harapan seperti itu senantiasa menggoda kaum muda yang seakan-akan dunia dalam genggamannya ketika dia berada di atas panggung, yang oleh banyak orang dianggap sebagai kegamangan. Tapi, kondisi psikologis dan eksistensial seperti itu bukanlah hanya milik semata-mata kaum muda saja; di kalangan kaum tua pun senantiasa bermunculan godaan akibat post-power syndrome, yang justru bagaikan ketoprak humor yang sama sekali tidak lucu yang dipenuhi oleh berbagai “fatwa moral” yang instruktif tentang heroisme dan ketaqlidan tatanan kehidupan berdasarkan versi mereka yang tak lagi mampu menciptakan dirinya sebagai panutan sosial, yang pada saat yang sama mengalami berbagai gugatan dari kaum muda.
Panggung teater dan panggung sosial menjadi ajang, dan pada setiap saat di mana saja selalu bermunculan “kudeta terselubung” pada ruang-ruang publik, dan bahkan telah memasuki ruang pribadi, di dalam tatanan rumah tangga. Keretakan hubungan itulah yang tampaknya membawa kaum muda untuk mencari wilayah dan ruang bagi dirinya, ketika lembaga pendidikan, berbagai lembaga sosial menjadi mampat dan buntu serta lembaga keluarga yang tidak lagi memberikan kehangatan. Tapi, risiko untuk memasuki dan menapaki wilayah atau jalan teater itu membawa mereka kepada ikatan baru yang juga tak sepenuhnya ideal sebagaimana mereka bayangkan. Di dalam ruang dan wilayah teater itu sendiri telah ter/di-bentuk sejenis kekuasaan oleh para pendahulunya, yang bahkan kerap lebih keras daripada yang ada di luar wilayah itu. Ironi kehidupan sosial senantiasa terjadi di mana-mana.
Dengan idealisasi dan memperbandingkan serta membayangkan suatu komunitas teater sebagai wilayah yang beragam, yang menampung berbagai keunikan, kekhasan, dan menghormati adanya suatu misteri yang terselubung dalam proses pencarian seseorang yang berada di dalam grup atau jalan teater sebagai harapan yang kita lambungkan pada dunia itu. Adakah jika kita menerapkan perspektif idealisasi itu suatu hal yang mustahil pada grup-grup teater kita? Kita menyaksikan banyak sosok telah lahir, dari waktu ke waktu, sebagai pribadi dari jenis dan bentuk seni pertunjukan yang memang selalu sarat dengan penyajian dan pergulatan berbagai masalah kehidupan. Dan darinya pula setiap orang diharapkan bisa ngangsu kawruh, menimba makna dan nilai-nilai kehidupan, dan nglakoni sebagai proses pencarian jati diri individual maupun sosial.
Namun, realitas kehidupan jelas-jelas tidak semulus harapan yang kita bayangkan; ironi senantiasa pula terdapat di dalam dunia teater. Ada pula begitu banyak orang yang dirinya diidentikkan dengan grup yang memandang dan cara mengembangkan grup atau komunitas lalu menjadi paranoia: mencurigai berbagai perbedaan dan pilihan yang muncul dan datang dari seorang anggota grup/komunitas. Hidupnya sangat obsesif dan posesif terhadap grup, hampir-hampir mendekati fanatisme sektarian yang menggembleng setiap anggota grupnya untuk taqlid dan hanya menurut kepada arah yang diberikan oleh “sang pemimpin”, yang kebetulan juga mendirikan grup yang bersangkutan. Pada kasus lainnya, pada grup yang sudah sirna, dan atau yang sedang tumbuh, terdapat “feodalisme” yang ditancapkan untuk memberikan “bobot” kepada posisi seseorang yang merasa dirinya sebagai “sesepuh”, “sang paling ahli”, yang selalu menganggap dirinya memiliki sentuhan akhir sebelum segala sesuatunya berhadapan di panggung masyarakat.
Dengan dalih itu pula suatu grup teater ingin dikangkangi sebagai milik dirinya, dan sekaligus pula melakukan sensor atas berbagai pemikiran dan arus bawah yang datang dari anggotanya. Tentu selalu ada ungkapan yang menggebu-gebu tentang “keterbukaan”, “partisipasi anggota”, “bebrayan” (hubungan antar-saudara), “solidaritas”, “komitmen”, “dialog”, “diskusi”, yang kesemuanya itu tak lebih dan tak kurang pula bagaikan penjelasan juru penerang departemen di zaman rezim Soeharto-Harmoko, yang kayak “anjing menggonggong”, kata esayis-penyair Afrizal Malna, yang terlampau sadar kepada posisi dirinya bahwa dia memiliki “otoritas” sebagai pendiri (juga biasanya sebagai sutradara, penulis naskah, tentu juga sebagai “sang pemimpin”!). Dirinya ditabalkan sebagai “akar tunggang” dan sekaligus “masa depan” yang akan dan harus diraihnya. Maka para anggota grup teater hanya sekadar jadi “pelengkap penderita” yang notabene juga sebenarnya adalah ikut mendirikan dan ikut pula membesarkan grup yang bersangkutan. Lalu pertanyaan kita: ke mana pula prinsip dan proses “biarkan bunga-bunga berkembang bersama warnanya masing-masing?”
Jadi, betapa ringkih dan rapuhnya jarak-makna yang terbentang antara “grup teater” dengan “jalan teater”, yang kini di hadapi oleh setiap orang yang akan dan sedang mencari serta memahami misteri dan keunikan hidup yang dimaknai oleh usaha pencariannya ke arah kebersamaan. Mungkin dia yang tak mendapatkan tempat pada grup, bisa juga memaknai atau bahkan menjalani “jalan teater” yang sesungguhnya, bahwa hidup itu sendiri suatu “lahan teater” yang terbuka selebar-lebarnya dan senantiasa menampung siapa saja, yang memiliki tangan yang terampil, kaki yang kukuh, pikiran yang jernih dan terbuka serta perasaan mendalam dan kehendak yang tak mudah goyah, yang mendorong metabolisme di dalam dirinya untuk mengucurkan keringat yang bisa membasahi bumi dan tanah yang dipijak olehnya. Di situ pula kita akan menyaksikan tumbuhnya rerumputan dan pepohonan kebudayaan dan kehidupan yang memiliki akar yang lebih kuat dan mendalam.
Dan, teater, sebagaimana selalu saya pahami dan maknai pada kehidupan dan pertumbuhannya senantiasa secara nyata tampak sebagai daur ulang dari berbagai jenis batu nisan yang dipahatkan bagi kehidupan yang akan datang. Di situ pula kita menyaksikan torehan makna dari tangan-tangan yang menggeletarkan energi yang terus meraba tak henti-hentinya di dalam pencarian dan pemahaman misteri serta keunikan hidup.
**) Networker Kebudayaan.
*) digunting dari Kompas, 09 Februari 2003.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar