Selasa, 27 Juli 2010

28 Sajak Persembahan Nurel Javissyarqi

[UNTUK PUTRI BENGAWAN SOLO]

Rupanya terjerat benang halus kasat mata
menaiki ketinggian ombak ke mana perginya
:
bersamamu tujuan musim perasaan muda.

Jari-jemari tangan bergelayut ke mega-mega,
hujan menyirami mimpi-mimpi hampir musnah.

Perbaiki langkah keluar menjelajahi rahasia,
takkan muncul jika tak ke penghujung masa.

Selendang kau terbangkan nyata warnanya
berganti-ganti sulaman tiadalah memudar
:
aku menyimak bau harum semerbak rupa.

Sanggullah mahkotamu membuhul tanggul,
sesekali geraikan kecupan gerimis kesucian.

Awan menyisiri tangkai bayu pesonakanmu,
cahaya berhamburan senyanyian rambutku.



[MATA KAKI PETAPA]
Untuk Suryanto Sastroatmodjo

Nafas-nafas gelombang
mengukir batuan karang,
gelak busa saksi matahari.

Sejauh hempasan ke pantai,
terjatuh di mata kaki petapa.

Rentangan sayap di angkasa
kedip bebintang disapu gerimis.

Jantung ombak memompa awan,
direngkuh malam-malam bestari.

Suara-suara sedari laut, ganggu
tidur panjang butir-butiran garam.

Unggun menghibur sederu arang
menghampiri batas pedalaman.

Memburu arak-arakan sang fajar,
decak kangen lengkungan pantai.

Sejauh tarian di relung samudra,
gemuruh samadi mengangkasa.



[TEBING NASIB]
Untuk Alexander Pushkin

Meratapi tebing nasib
hatinya mendekap belukar.

Dibawanya kutukan para nabi
hidup yang perih
merongga kekal.

Ketika angin di jemarinya,
merambati leliku waktu.

Tubuh terbenam malam,
dikepakkan sayap lautan.



[PENYIMPAN KARAGUAN]
Untuk Wislawa Szymborska

Keraguan apa kau pendam?
Hingga dunia terkagum
senyuman gaibmu.

Aku mengenalmu sejauh senja
namun kerut pada wajah
tidak tampak kecewa.

Dengan kacamata apa
kau melihat cakrawala
Wislawa?

Bertahun-tahun
aku renungkan keraguanmu
yang kudapati selalu saja semu.

Oh, di mana kita dapat berjumpa?
Di negara apa kita bisa bertemu?
Apakah di Polandia?

Terangkan keraguanmu padaku,
agar kudapat menenggaknya
penuh sungguh.

Dan kurang berapa dalam,
aku gali pekuburan waktu?

Beri pidatomu Szymborska
dalam mimpi-mimpiku.



[PANCARAN WAKTU]
Untuk Jawaharlal Nehru

Ia setia merawat zaman menyendiri
merangkai warna cahaya renungan.

Seharum waktu dipeluk matahari
melampaui perbincangan sejarah.

Surat terkelupas dari jeruji penjara,
waktu-waktu berdekatan nafasnya.

Angin mengeja rambut kesadaran
yang panjang menggalang angan.

Dialah pemetik alunan rindu tanah air
gemericik menari-nari di altar nurani.

Menemukan kuncupan mekar negeri
pada segaris kening jiwa-jiwa murni.

Atas debu-debu kitab suci cakrawala
yang selalu membuka pepintu dunia.



[PENGUMBAR]
Untuk Johann Christian Günther

Ruhmu melayang-layang
mencari titik-titik keabadian.

Melepaskan tubuh mendesir
bergema di rerongga nafas.

Adakah dirimu terus gelisah
di alam keabadian masa?

Memburu cahaya
memahat senjakala.



[PINTU WAKTU]
Untuk Konstantin Dimitriwitsj Balmont

Dengan bulan putih menggantung
pelapar kenyang dalam lamunan.

Menembus batas pintu gerbang
menakar awan dan gemintang
:
ditaksirnya hati merenda kekal.



[NAFAS SEKAM]
Untuk Alexander Blok

Abu hitam paling purba
luruh padam hatimu.

Ranting kayu hutan
sekelam arang tidak menjalar.

Namun, desir angin membangkit
selentik biji api menyalakan jiwa.



[WAKTU BEKU]
Untuk Jalaluddin Rumi

Aku menjenguk dirimu di sekapan waktu
tiada murung walau terkuliti dingin beku.

Jiwa khusyuk menyendiri di alam semedi
terbasuh embun kembang kesucian hati.

Sebening sungai menggelinjaki batu-batu
menyeruak ilalang kala pekabutan subuh.

Kenang tertampung di kelopakan malam
dipandang purnama menemui kediaman.

Membimbing pengorbanan kasih hening
ribuan gemintang menerangi rumputan.

Rongga pernafasan petir ditempa angin
menyambar kesadaran bulu-bulu mata.

Berabad lambaian wangimu pengekang,
aku pasir pesisir ditiup ombak berulang.



[SEBUTIR JAGUNG]
Untuk Thales

Kau sebar butiran jagung ke tengah laut,
digulung ombak memukul batuan karang.

Terhempas ke pantai-pantai, didorongnya
seperti sampan menyaksikan pedalaman
:
disapu bayu-bayu terpendam masa silam.

Bertahun-tahun sedenyut air serasi jiwa,
awan-gemawan selimuti bumi makin tua.

Membangkitkan hantu-hantu, petir murka
membelah langit lempengkan air samudra
:
sejauh-jauh matahari terlempar senjakala.

Hukum waktu menemukan belahan benua
kaktus-kaktus meliar menjebak ikan-ikan
:
lengking tanah merah di negeri balik bulan.

Kau tinggalkan aku sebatang di ujung waktu
bibir merayu putuskan sepuluh jemari meragu
:
menyisiri anak-anakan rambut panjang usia.

Aku dipersunting takdir, hamil keyakinanmu,
aku bijian jagung, rindu sejarah lemparanmu.



[HAIFA, KAU SAJAK PERTAMAKU]
Untuk Haifa Puspita Surya Dewi

Simaklah syair wahai putri
suara kisah tentang diri ini
terasa sudah saat sendiri
di Denanyar penjara suci.

Tak jauh dari Jombang kota,
di embong miring ada cerita
disinari bulan separuh rata
di sanalah pokok legenda.

Seorang gadis ayu permai jelita,
rambut tergerai anggun mahkota
aku berbondong menghampirinya,
sambil membawa setangkai cinta.

Bibirnya mengatup suatu hari
jawaban lembut laksana peri,
bijaksananya serupa Srikandi
ucap terlambat sebelum pergi.

Jiwaku tak bisa berkata-kata
sukmaku diam seribu bahasa
mendengar tutur sang juwita,
aku terimalah kenyataan luka.

Puspita Surya Dewi sebutannya
banyak yang tahu kian ke sana
cantik manis memikat hati
mata menawan tiap lelaki.

Ini sajak pertamaku padamu
sedurung tinggalkan kotamu,
bacalah kidungan permai ini
untuk kenal bayang sendiri.

Diriku ke Jogja perdalam seni
menggurit waktu kian misteri,
menambah tebal asalnya rindu
yang berlalu biarlah bayu setuju.

Menterjemah-jamah ruh tubuh
melampiaskan takdir kaweruh
lantaran tetap tidak berjodoh
berpisah sudahlah sayangku.

Tinggal kenang di ujung ingatan
aku menjelma diri petanda jaman
dan kau menjadi ibunda kegaiban,
segalanya mengalirkan denyutan.

Kasih sayang bersayaplah pantai
laut berbilang kepak gelombang,
aku mewujud rindu gentayangan
antara mereka pendam cemburu.

Simaklah ini kembali Dewiku
aku tambahkan berpantulan,
agar tak habis ditelan malam
tak busuk dimakan kesiangan.

Harus aku jujur kepadamu
kalbuku berkembang lara,
sebab waktu mencabik usia
meradang samping wanita.

Tuhan perbuat segalanya
aku tertunduk takdir-Nya,
berlari-lari menjemput kau
sampai keringat habis cerai.

Kalau kau siulan bayu
hisaplah kelembutanku,
itu milikmu jua. Melumati dunia
dengan kenyataan pahit sejarah.

Jikalau kau air telaga desamu
biarkan aku gelembung udara
pun tiada pelangi di sana
penyair memperolehnya.

Denanyar 1994



[ANGGUR NABI]
Atas Ibn Rushd (Averroes)

Segelas anggur dari tuangan kendi abad silam
tersimpan di kediaman tuan.

Aku bertamu, tuan persilahkanku meminumnya
kuteguk dalam kesunyian lama
gemerincing menjalari tenggorokan.

Jiwaku segar berpandangan jernih bukan samar,
menggelegak ke lambung kerinduan.

Jangkauanku bertanya: apa yang tuan suguhkan?
Jawabnya: itulah hasil perasan tangan anak yatim,
dia hadiahkanku saat kembara, bersinggah kemari.

Dadaku tiba-tiba terguncang meninggikan debaran,
sebelum terus bertanya, tuan lenyap dari hadapan.



[PEMECAH TAKDIR]
Untuk Iman Budhi Santosa

Arak-arakan kecemburuanku padamu
mendung melengkung di langit ungu.

Meratap-ratap menimbun cerita lalu,
di negeri semalam ditempa hara-huru.

Lengan pepohonan hangus terbakar
jilati petir lecutan pecut menyambar.

Menjatuhkan kecupan maut ke batu
merindu bayang tundukkan dendam.

Kabarnya pemecah takdir akan datang
segenggam palu memukul serat waktu.

Pada kening kerutan kabut pegunungan
sejauh hati terhempas buih-buih pantai.

Yang tersimpul dalam lelaku penafsiran
memasuki tarian jiwa bertujuan pulang.

Bersimpan dinaya terjang kemungkinan,
lebih ngeri dari seunggun penghianatan.



[KIDUNG PERSEMBAHAN]
Untuk Rabindranath Tagore

Aku simak kidung persembahanmu
alunannya menghanyutkan zaman.

Burung-burung kau beri kebebasan
bersarang pucuk bambu menjulang.

Desau malam memikat para kekasih
sedenyut bayu keagungan pangkuan.

Kau berlaksa stupa candi sumringah,
pebukitan jua kaki gelombang cerita.

Anak-anak lepaskan pelukan selenda
ibunda memandang lekuk hembusan.

Pemotong bambu rapikan mata kaki,
di taruhnya nyala lilin pada cekungan.

Bumbung dibasuh rindu penerangan,
dipandang purnama perkampungan.

Bebocah melantunkan tetembangan,
kelanggengan wengi ke pembaringan.



[KUAS BULU KUDA]
Untuk Jean Paul Sartre

Sebelum matahari dibuka bijian mimpi
menyisiri rambut menaburi usia bulan
segoresan maut pertimbangkan nalar.

Sayap lembut birahi memasuki lukisan,
bulu-bulu kuda jantan lepas dari kendali,
kering sentuhan tertampar kuas revolusi.

Atas panggung, garis tegak tampak sayu
menyapu alis malammu ke ujung awan,
kelana pengantin musim peperangan.

Lembut terkantuk dinaya mengawang,
ngapung tersentak senja perbincangan
: jejiwa merdeka bertempur kecurigaan.



[TAMU KESUNYIAN]
Pada Marguerite Yourcenar

Depan pintu tertulis kalimah:
“Masuk lepaskan nama idola,
akan keluar membawa pelita.”

Pada pintu tertempel tanda
yang ikut gagal berlalu suara.

Kepulan asap cerutu meragu
harapan tidak kunjung menepi
padahal nafas pastikan selesai.

Hujan lebat pucatkan langit
mengapung membelah biru
bertengger di siang klawu.

Kehampaan tubuh terjatuh
dingin kata terlampiaskan
ketinggian angin membisu.

Menguras tarian pena ke jurang
petik gerimis pebukitan curam.

Kembarai musim tangan waktu
bawa takdirmu mencintai abadi.

Jejiwa gentayangan ditebus awan
mengurai detakan jantung kelabu,
tersimpan dalam tabung rencana.

Segelantung kembang teras rumah
tangkainya menjalari pribadi utama.



[PERNIKAHAN MATA]
Untuk K’tut Tantri

Jiwa-jiwa muksa bertarian sukma
ruh berbangkit di tengah gerimis.

Gemerincing binggel kaki penari
kisahkan tarian di tanah pertiwi.

Mata anak-anak berkulit coklat
tangan menyatukan fajar laut.

Menyentakkan bambu runcing
menyobek leher para penjajah.

Daya-dinaya muncratkan darah
seharum melati sepanas mawar,
kain merah putih membalut luka.

Jika petang gerilyawan mengintai
di balik lintang bukit karang nurani
menggelegak jantung menghujam.

Penciuman angin di langit kemboja
belai uban-ubun ditempa purnama.

Sewarna perak pernikahan mataku
di tengah wengi penuh cahaya tinta.



[KEMBANG GAPURA]
Untuk Samira Mahmalbaf

Dari gapura negeri Iran
kepak putri sayap elang.

Kekuatan jiwanya risau
melintasi pusaran awan.

Ketinggian ombak kebisuan
serupa kekupu sebrangi teratai.

Katupan sayap buku di pangkuan
mata mungilnya menggoda insan.

Pangeran melirik dari singgasana
dinaungi cahaya ketenangan senja.

Selaguan seruling lembah gembala
menarik mahabbah jejanur kurma.

Diajaknya menjelma matahari
kibaskan gemuruh angin, pada
debu-debu memusari bara rindu.

Menggelinding gosongkan usia,
keringat mendidih gelora pecah
karang terlempar jelma purnama.

Malam harum kembang kanthil
sekuat stupa candi tegak kukuh
sepohon bergetah takkan runtuh.

Kembarai mimpi tempaan empu
sewaktu asah keris berkelok tujuh
kegigihan menerima takdir waktu.

Awan sejarah sederu jiwa semesta.
Entah di manakah dirinya sekarang?
Semoga tetap mencintai tlatah Iran.



[RAJA PELAMUN]
Untuk Kahlil Gibran

Menuang keganjilan bertemu genap
diikuti arus deras,
gemerincing anggur ke batu-batu
busanya meluap,
menelenjangi tubuh sungai malam
mendenyutkan nafas.

Jalan membentang kenangan
rerambut cemara menari-nari
sederai gerimis patahkan hati.

Ranting sayap kabut pebukitan
bergelembung embun terjatuh
dirawatnya ke tanah kelahiran.

Angkat dayung keringat lengan,
setinggi gemawan digiring angin
terpenggal lecutan dahan cahaya.

Bebuah terdampar menuju fajar
melamun di bencah batas desa
ke tangga pesawahan lembah.

Dicecapnya bulan yang dingin
terpahat tetembangan lama,
dicukupkan bersarang setia.



[DI YOGYA SUATU MALAM]
Untuk Pantomimer Enderiza

Melewati ribuan lampu
terbalut putih tubuhnya
: ia bermandikan cahaya
wajah berbedak purnama.

Jiwanya remuk dipukuli waktu
mata berkeping-keping berita:
ia lebih waras dari yang berlalu
sadarnya kaki-kaki melangkah
lentur menggapai muasal kata.

Terangnya serpihan kalimah
selembut lembaran malam
meleburkan tarian ragawi
merasuki sukma berlaksa.

Kaki-kakinya terus berjalan
hingga membatu tegak tugu
di tengah-tengah kota Yogya:
sekuat tabah setua zamannya.



[SANDIWARA SOEKARNO DI ENDEH FLORES]

Menyaksikan kulit-kulit lumut terkelupas
dari daging karang atas sobekan mentari.

Batuan cadas terlempar membisu panas
ditempa besi baja tapal kuda ke jalanan.

Semakin jauh pilunya seperti para janda,
tetangkai kelapa diderai angin kembara.

Melumpuhkan debu-debu kemarau
tangisannya sampai daun rumput
pulau Bunga.

Nafas tersengal udara menyumbat
lempengan padat awan-gemawan
terhempas ke kaki-kaki senjakala.

Menapaki tanjung ujung pesisir
atas tubuh lusuh tenggelam
dalam riak duri-duri malam.

Tanpa peduli gemintang
bulan berkaca samudra
kala danau matanya
menjadikan muara.



[SAYAP SELENDANGMU]
Untuk Penari Saraswati

Waktu sayap selendangmu hilang ditelan panggung
bayangannya sampai ke mari, diantar cahaya pagi.

Matahari melukis cakrawala mengepak arus sungai
olehnya lupakanlah khilafku, lantas maafkan diriku.

Wahai siur rambut kelapa janur-janur hijau embun
menuju ombak angkasa jiwaku bersalam padamu:

Hukum langit memberi kasih serupa sayang ampun
darimu, selalu memberkati tapak-tapak langkahku.



[BENGAWAN SOLO]
Untung Gesang Martohartono

Aliranmu berkisah lelaki tua
duduk di gugusan tanah liat.

Menatapi gulungan ombak
belaian kabut dan matahari.

Kelambu angin berdetakan
sekuat dada pejala curiga.

Menggali pedalaman watak
menyanyikan keroncong jiwa.

Bunga tak bernama dari desa,
persekutuan jiwa musim sunyi.

Menggayuh perahu ribuan masa
terhapus tangis setegar pohon jati.

Kidung-kidunganmu alirkan rindu
hingga menembus batas empedu.



[MEMBACA BAYANGAN]
Untuk Suhrawardi

Bayangan hadir menggoda malam
diterpa cahaya memburu putaran.

Mengejar jarak lengkingan nurani
kembarai tanah liat hening sunyi.

Gerakan nafas gelisah memberat
sesayup kalimah ketiadaan hadir
memberi punggung belati elang.

Kiranya renung kesiaan mencari
hikmah tipudaya telusuri muasal
sepohon melepas daun ke telaga.



[POTRET DIRI]
Untuk Van Gogh

Melihatmu, jantungku berdetak keras
meronceng kalbu mencerca cemburu.

Adakah senja lamban menyimak usia?
Sedang guratanmu tanpa ragu-ragu.

Sapuan kering kuasmu melumat dunia
segetaran penyangga awan berpindah.

Campuran warnamu buyarkan batu
mata kikisan duri tumpulkan belati.

Van Gogh, berilah aku kenekatan
: memotong telingamu yang satu.



[NYAI LORO KIDUL]
(Putri Lara Kadita)

Oh, masuklah penuh kelembutan
seharum bunga sedap malam
nan dinanti di sebrang lautan.

Bayu berkabar bukit keabadian
pesisir remang sekecupan bulan
seranting kayu tinggallah lamunan.

Kelepak rambut akasia terhempas
dada berbangkit bawa kalbu sunyi
menjulur berpisah Prabu Siliwangi.

Berderap kencana menggulung awan
ikuti hasrat musim semi menari-nari,
menembusi abad sedari silam lestari.

Gemintang bersekutu peputik ranum
tutuplah pintu agar matamu terlelap
saat bangun, mimpi dalam dekapan.

Kidung serangga langgam pelaminan
kekal penggalan hati rintihan bambu,
tinggalkan nestapa ditiup kabut rindu.



[UNTUK YANG MERASA]

Sampaikan salam pertiwi
lantunkan hujan purbawi,

pengisi dengar para insani
bertembang senjakala hati.

Pahatan malam bersungguh
nyala obor terangi jalan itu
:
menelanjang ke altar nurani.

Tuntun gemerincing jiwa-jiwa
sedari kemabukan abad lama.

Gemerlap kota-kota lembah
dermaga dicahayai purnama
segurau gemintang angkasa.

Mentari sebar putik kembang
selautan dengar ikan perkasa.

Jangan terlena
agar bayu tak sobekkan layar
:
lembar waktu rambahi rahasia,
berlaksa maknawi satukan rasa.



[MENAMPUNG DANAU BALADA]
Untuk W.S. Rendra

Sampailah salam ke lembah-lembah berbaur kabut hijrah
dituntun jalanan setapak bukit tua memetik angin cahaya.

Kicauan burung kabarkan sarang biru, embun terpelanting
menepati janji kenai lantai marmer pendapa nan menyerap.

Kucuran keringat bocah bermelodi kangen halaman rumah
serta rerumputan bersalam pagi membasahi lembaran hati.

Dalam tanjakan gerimis, degup elang melintasi cakrawala
sayap-sayap perkasa selengking gayuhan kisah negeri ini
: orang-orang berduyun pada gerbang kota tertelan warna.

Tatap saja saat ragu, kan diperlihatkan kasih sayang merdu
airmata ketenangan jiwa menampung danau-danau balada,
dan prahara tinggalkan kelopak-kelopak tanah kan bersemi.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito