Kamis, 24 Juni 2010

DICARI: KRITIK(US) SASTRA INDONESIA

Saut Situmorang
http://apsas.multiply.com/

Bukankah sangat memalukan bahwa kritikus Belanda A Teeuw sampai pernah menulis sebuah esei berjudul “Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi” di mana dia melaporkan tentang “rasa heran”nya atas hasil “analisis” dua sajak modern Indonesia oleh sekelompok dosen sastra kita yang tak satupun berhasil memuaskannya! Walaupun Teeuw mengatakan tidak bermaksud mengkritik “mutu” analisis para dosen sastra kita atas sajak “Salju” Subagio Sastrowardoyo dan “Cocktail Party” Toeti Heraty tersebut, dan malah memutuskan untuk “membela”nya dengan alasan adalah sah bila terjadi interpretasi-jamak atas sebuah karya sastra, bukankah kita pantas untuk jadi was-was: Kalau para dosen sastra sendiri, yang konon sehari-harinya bergelut dengan sastra sebagai sebuah ilmu pengetahuan akademis, mutu analisis sastranya tidak bisa memuaskan kritikus asing seperti A Teeuw, bagaimana lagi kualitas para mahasiswanya yang kelak di kemudian hari mungkin jadi penulis tentang sastra, sastrawan atau malah dosen sastra? Beginikah sosok dunia sastra modern kita?

Yang lebih ironis lagi, kita malah sangat sering mendengar atau membaca tentang adanya “krisis” dalam sastra modern Indonesia. Maksudnya tentu saja “krisis” dalam dunia karya seni sastra, apa itu puisi, cerpen atau novel. Sastrawan Indonesia dikatakan “jalan di tempat”, karena karya mereka begitu-begitu saja, seragam, terlalu sosiologis dan lokal tema/topiknya, tidak cerdas pemakaian bahasanya. Sebagai satu-satunya cara menyembuhkan “krisis” ini sastrawan Indonesia modern/kontemporer dianjurkan untuk berobat ke luar negeri, kalau tidak ke Amerika Serikat atau Eropa, ya ke Amerika Latin. The West is the best, seperti kata Jim Morrison dari The Doors!

Saat ini banyak orang menulis di sastra Indonesia, baik sebagai sastrawan maupun “pengamat” sastra. Penyair merupakan kelompok yang paling banyak jumlah anggotanya. Lihat saja misalnya para penyair yang mendominasi buku Korrie Layun Rampan yang berjudul seram itu: Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Besarnya jumlah seniman sastra, penyair, cerpenis dan novelis, yang ada di Indonesia saat ini membuat isu “krisis sastra” tadi masih bisa dipertanyakan kembali kebenarannya. Soal “kecenderungan” pemilihan tema/topik karya yang terlalu “sosiologis” ataupun “keseragaman” gaya penulisan karya, bagi saya, tidaklah bisa dijadikan alasan untuk begitu saja mengatakan sastra Indonesia mengalami “krisis”. Bukankah kedua hal ini juga yang merupakan ciri-khas utama Realisme-Magis (Magic-Realism) sastra Amerika Latin yang dipuji-puji setinggi langit di Indonesia itu! Secara pribadi saya sangat puas dengan karya-karya sastrawan kita, apa itu puisi, cerpen atau novel, termasuk drama. Walau sejarah sastra modern kita masih muda, kita sudah memiliki monumen-monumen sastra dalam semua genre sastra yang ada. Puisi para penyair seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Toeti Heraty, Afrizal Malna dan Wiji Thukul saja, misalnya, tidak malu kita untuk mengklaimnya sebagai produk-produk terbaik sastra modern Indonesia. Begitu pula dengan karya fiksi seperti Belenggu, Atheis, novel-novel eksperimental Iwan Simatupang, tetralogi novel Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, novel-novel “geisha” Ahmad Tohari, cerita silat Kho Ping Hoo, dan cerpen-cerpen Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Iwan Simatupang, dan Seno Gumira Ajidarma. Drama modern kita juga telah menghasilkan dramawan dan teater yang tidak kalah mutunya dengan apa yang dimiliki negeri lain. Justru yang mesti diungkapkan adalah fakta bahwa dunia sastra Indonesia, mulai sejak zaman Balai Pustaka sampai munculnya antologi CD puisi cyberpunk/Internet Cyberpuitika yang kontroversial itu di awal Agustus 2002, hanya mengenal satu “krisis” saja dan itu masih terus berlangsung sampai hari ini, yaitu krisis kritik(us) sastra. Besarnya rasa pesona segelintir “kritikus sastra” Indonesia pada para novelis Realis-Magis Amerika Latin sementara melecehkan fenomena yang sama pada karya sastra Indonesia, bagi saya, membuktikan adanya krisis kritik(us) sastra ini. Saya mencurigai “pengetahuan” mereka tentang apa yang membuat mereka terpesona itu, apalagi kalau diingat bahwa “pengetahuan” mereka tersebut mereka peroleh hanya melalui versi terjemahan dan bukan bahasa aslinya. Faktor “kecerdasan bahasa” yang mereka klaim dimiliki oleh para novelis Realis-Magis Amerika Latin tapi konon absen dalam fiksi Indonesia kurang meyakinkan justru karena mereka hanya mampu membaca para Realis-Magis tersebut dalam versi terjemahan bahasa Inggris. Dan kita tahu, versi terjemahan sebuah karya sastra (bagaimanapun minimnya tingkat pencideraan pengarangnya) tidak cukup untuk dijadikan bahan sebuah studi yang bersifat “kritik sastra”, apalagi dalam studi yang disebut sebagai “Comparative Literature”, kecuali untuk Translation Studies. Bagi saya, apa yang ditemukan oleh A Teeuw sekitar duapuluhan tahun lalu itu masih tetap merupakan persoalan utama dunia sastra kita saat ini.

Krisis Kritik(us) Sastra Indonesia

Kebanyakan “sejarawan” sastra Indonesia akan setuju bahwa secara formal sastra modern berbahasa Indonesia lahir dengan terbentuknya lembaga penerbitan kolonial Belanda Balai Pustaka di awal abad 20. Periodesasi sejarah sastra modern Indonesia juga biasanya dimulai dari masa ini, yang dikenal dengan nama “Angkatan Balai Pustaka”. Walaupun terdapat beberapa penulis tentang sastra modern Indonesia yang mempertanyakan ketepatan pemilihan waktu lahirnya sastra modern berbahasa Indonesia ini, terutama dalam perspektif Studi Pascakolonial yang memandang periode sebelum berdirinya Balai Pustaka sebagai sebuah “sejarah yang hilang” dalam genealogi sastra Indonesia, namun secara umum “Angkatan Balai Pustaka” masih diakui sebagai angkatan sastrawan pertama dalam sejarah sastra modern Indonesia. Sampai awal abad 21 ini “diperkirakan” sudah ada sekitar 7 angkatan sastrawan modern Indonesia, dengan “Angkatan Sastrawan 2000” sebagai tambahan terakhir untuk sastrawan kontemporer Indonesia.

Terlepas dari perdebatan soal hari lahir sastra Indonesia di atas, bukankah periodesasi sastra modern Indonesia dalam beberapa angkatan itu dengan jelas merujuk ke sosok “sastrawan” atau “pengarang” sastra berbahasa Indonesia, bukan “kritikus” sastra Indonesia! Dari periodesasi historis itu bisa juga diamati bahwa sastra modern Indonesia hanya memiliki sastra Indonesia, hanya memiliki karya seni sastra berupa puisi, cerpen, novel dan naskah drama saja. Dan jumlah karya seni sastra yang sudah diproduksi itu sangat banyak serta pengarangnya pun sangat banyak. Tidak semua memang dari karya seni sastra itu berhasil lulus testing mutu untuk bisa disebut sebagai monumen-monumen sastra modern Indonesia, tapi yang berhasil dan menjadi klasik dan keramat dalam sejarah sastra modern Indonesia yang pendek umurnya itu telah juga berhasil “menciptakan” sebuah sastra-nasional baru sebagai warga baru sastra dunia. Tanpa monumen-monumen karya seni sastra ini, tidak ada itu sesuatu yang disebut orang sebagai “sastra modern Indonesia”, sastra modern dalam bahasa Indonesia.

Bagi saya, periodesasi sejarah itu menunjukkan tidak adanya “kritik sastra” apalagi “tradisi kritik sastra” mendampingi perjalanan sejarah sastra modern berbahasa Indonesia yang usianya pendek itu. Fakta ini sangat menyedihkan mengingat bukankah “kritik sastra” itu semacam pasangan hidup bagi karya seni sastra supaya yang terakhir ini, mengutip seorang penulis dari Bandung yang mengklaim tidak ada krisis kritik(us) sastra dalam sastra Indonesia, tidak hidup kesepian, halusinasif dan kering meranggas!
Di Indonesia ada semacam pendapat umum bahwa segala sesuatu yang berbicara tentang karya sastra, puisi misalnya, bisa dikatakan sebagai “kritik” sastra. Satu buku tebal yang khusus membahas puisi penyair tertentu adalah “kritik” sastra. Satu buku yang berisi kumpulan esei-lepas tentang sastra yang pernah dimuat di koran atau majalah adalah “kritik” sastra. Bahkan resensi buku sastra pun adalah sebuah karya “kritik” sastra. Dan tentu saja semua penulis yang menulis tentang sastra adalah “kritikus” sastra, malah para redaktur sastra koran edisi Minggu di seluruh Indonesia pun termasuk “kritikus” sastra!

Memukul rata dalam generalisasi pemakaian istilah “kritik/kritikus sastra” seperti ini tentu sah-sah saja kalau diingat bagaimana pengertian istilah “kritik” dalam pemakaian sehari-hari di Indonesia. Ada kritik membangun, ada pula kritik tak-membangun alias merusak. Kalau seseorang “dinasehati” oleh kawannya, dikatakannya dia itu dikritik. Kalau ada penyair baca sajak yang pamflet, dia dibilang mengkritik. Dan seterusnya, dan seterusnya . . . Tapi sudah tepatkah pemakaian istilah ini untuk merujuk kepada sebuah aktivitas pembacaan teks sastra yang bersifat sebagai sebuah studi kritis? Maksud saya, sudah tepatkah pemakaian istilah “kritik/kritikus” untuk menyebut tulisan-tulisan dan penulis-penulis kita yang menulis tentang sastra seperti yang umum dilakukan saat ini?

Setelah membaca tulisan-tulisan yang disebut “kritik sastra” Indonesia sejak zaman Balai Pustaka sampai penerbitan buku Korrie Layun Rampan, Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia saja, misalnya, saya menemukan sangat banyak tulisan yang sangat tidak memuaskan dan tidak pantas untuk disebut sebagai “kritik sastra”. Sebagian besar dari tulisan “kritik sastra” tadi sebenarnya lebih pantas dimasukkan dalam kategori tulisan “Apresiasi” atau “Komentar” sastra saja karena, seperti kata penyair Amerika Serikat/Inggris TS Eliot atas isu yang sama, “dikerjakan dengan cara yang tidak semestinya, dipisah-pisah seperti daun sayuran [...] jadi mirip sebuah tipe kuliah-sastra populer, di mana drama dan novel diceritakan kembali ceritanya, motif-motif para karakternya diterangjelaskan, hingga membuat karya sastra itu sangat gampang bagi kaum pemula”. Hal yang sama juga terjadi pada “analisis” puisi yang kebanyakan pseudo-studi-tekstual, pseudo-strukturalis, dengan tekanan hanya pada “makna” kata-kata tertentu atau metafor pada puisi yang sedang dibicarakan, untuk menceritakan kembali alur narasi atau moral puisi, tak lebih dan tak kurang, hingga memberi kesan betapa gampangnya puisi untuk dimengerti! Dan memang banyak dari buku-buku “kritik sastra” Indonesia memiliki Kata Pengantar yang selalu memuat kalimat disklaimer apologis seperti ini: “Buku ini memuat hal-hal yang mudah dipahami, karena dimaksudkan bagi para pemula atau remaja pencinta sastra”!

Menulis tentang karya sastra bagi para pemula atau remaja pencinta sastra tentu saja bukan sebuah pekerjaan yang haram. Malah pantas diacungi jempol tanda kagum karena tujuannya yang mulia untuk membuat para pemula atau remaja mencintai sastra secara dewasa, bukan sekedar cinta monyet yang akan berlalu setelah masa pubertas mereka selesai. Persoalannya adalah terlalu banyak orang yang menulis bagi para pemula dan remaja pencinta sastra hingga para pencinta sastra yang lain yang tidak pemula dan tidak remaja lagi jadi terlupakan! Para penulis tentang karya sastra bagi para pemula dan remaja pencinta sastra ini sepertinya segan untuk menulis bagi mereka yang bukan pemula dan bukan remaja lagi! Akibatnya, para “kritikus” ini terus-terusan mengulang kembali menulis buku-buku “kritik” tentang sastra bagi para pemula atau remaja pencinta sastra sampai jumlah buku-buku mereka mirip katalog perpustakaan ramainya, dan dengan variasi judul buku yang luarbiasa imajinatifnya pula, seperti Jejak Langkah Sastra Indonesia, Wajah Sastra Indonesia, Suara Pancaran Sastra, Katarsis dan yang semacam itu.

Kalau dihitung-hitung berapakah jumlah buku yang pernah ditulis yang berisi analisis kritis (critical analysis) atas karya-karya Amir Hamzah, Chairil Anwar, Idrus, Sitor Situmorang, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Ibrahim Sattah, Subagio Sastrowardoyo, Ahmad Tohari, Toeti Heraty, Nh Dini, Kho Ping Hoo, Afrizal Malna atau Wiji Thukul saja? Apakah nama-nama ini tidak pantas untuk dibahas secara kritis dan serius? Atau memang para “kritikus” sastra Indonesia tidak sanggup untuk meng“kritik” karya-karya mereka, seperti para dosen sastra yang dilaporkan A Teeuw itu?

Seandainyapun eksistensi “kritik sastra” Indonesia mau dianggap ada, maka eksistensinya itu hanyalah sebuah eksistensi yang hidup-segan-mati-tak-mau belaka. Banyak memang penulis Indonesia yang menulis tentang sastra Indonesia, apa itu tentang sebuah karya sastra atau seorang sastrawan, tapi mayoritas tulisan-tulisan yang ada ini, apa itu berupa esei-lepas di koran atau majalah atau hasil penelitian akademis kesarjanaan seperti skripsi, sangat tidak memuaskan isinya untuk bisa disebut sebagai “kritik sastra”. Kementahan analisis yang terungkap dalam pembuatan kesimpulan-kesimpulan asersif yang sangat umum merupakan ciri-khas esei-lepas tentang sastra di majalah atau koran, sementara hasil penelitian akademis kesarjanaan begitu kaku dan dogmatis dalam “penerapan” teori-teori sastra yang dipakainya dengan mengorbankan elaborasi pembahasan yang mendalam dan orisinal. Keluwesan atau kecerdasan berbahasa dalam mengekspresikan isi pembahasan juga rata-rata absen dan merupakan kelemahan tipikal baik “kritik jurnalistik” maupun “kritik akademis” di atas. Tapi secara umum, bagi saya, tulisan-tulisan lepas tentang sastra modern Indonesia di media massa cetak seperti majalah dan koran jauh lebih bermutu karena lebih menarik isi dan bahasa ungkapnya (walau masih begitu banyak bisa ditemukan pemakaian istilah asing atau kutipan dari penulis asing yang cuma sekedar dekorasi teks belaka) dibanding hasil-hasil penelitian akademis kesarjanaan, meskipun untuk bisa pantas dikategorikan sebagai “kritik sastra” seperti yang dipahami di Barat masih jauh dari memuaskan. Kumpulan esei-lepas Subagio Sastrowardoyo berjudul Sosok Pribadi Dalam Sajak, yang berisikan esei-esei tentang beberapa penyair modern Indonesia yang pernah ditulisnya untuk majalah sastra di Indonesia, merupakan tipe analisis interpretatif-evaluatif yang serius dalam bahasa ungkap yang cerdas dan luwes. Begitu pula sebuah esei kata pengantar yang ditulis Ignas Kleden untuk YEL, buku kumpulan cerpen Putu Wijaya. Kalau tulisan kedua orang ini, misalnya, kita bandingkan dengan “kritik akademis” yang menjelma jadi buku seperti Chairil Anwar ?Sebuah Pertemuan, maka akan jelas terlihat mana yang pantas untuk disebut, dan bagi saya merupakan, “kritik(us) sastra” yang sebenarnya.

Pengalaman saya waktu melakukan riset perpustakaan untuk penulisan tesis pascasarjana saya atas Chairil Anwar di Selandia Baru di pertengahan tahun 1990an menunjukkan betapa parahnya krisis kritik sastra yang melanda sastra modern Indonesia. Setelah begitu lama meninggal dunia ternyata hanya HB Jassin, A Teeuw, Boen S Oemarjati dan Subagio Sastrowardoyo saja yang pernah benar-benar melakukan “studi kritis” atas sastrawan terbesar yang pernah dikenal sastra modern Indonesia ini! Tulisan-tulisan lepas di koran dan majalah Indonesia, khususnya, dan skripsi kesarjanaan tentang Chairil Anwar memang banyak, tapi kebanyakan cuma repetisi mandul tak orisinal tentang Chairil, apa sebagai “binatang jalang”, sebagai seorang “eksistensialis”, sebagai seorang “pembaharu” atau sebagai seorang “pahlawan nasional” malah. Herannya lagi, justru yang mampu menulis analisis kritis yang serius dan orisinal dalam bahasa pembahasan yang luwes tidak kaku hingga memberikan satori-teks atau tekstasi pada pembacanya kebanyakan peneliti asing, biasanya dalam bahasa Inggris, dan bukan peneliti Indonesia sendiri. Ini baru tentang satu sastrawan saja. Bagaimana dengan nasib para sastrawan lainnya! Saya bisa bayangkan, dengan sangat prihatin, seandainya Chairil Anwar itu seorang penyair Amerika Serikat maka sudah puluhan buku, tentang berbagai aspek dari puisinya termasuk biografinya, ditulis orang Amerika Serikat sendiri.

Siapa Kritikus Sastra

Menurut kritikus sastra Amerika Serikat MH Abrams, “kritik” adalah istilah yang dipakai untuk studi yang berkaitan dengan pendefinisian, pengelompokan, penganalisisan, penginterpretasian dan pengevaluasian karya sastra. Dalam dunia sastra terdapat dua jenis besar “kritik sastra”, yaitu kritik teoritis dan kritik praktis. Kritik teoritis berfungsi untuk menetapkan, dengan dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat istilah, perbedaan dan kategori untuk diterapkan pada identifikasi dan analisis sastra, termasuk juga menetapkan kriteria (standar, atau norma-norma) untuk mengevaluasi karya sastra atau sastrawan. Sementara kritik praktis, atau kritik terapan, merupakan pembicaraan atas karya sastra, atau sastrawan, tertentu di mana prinsip-prinsip teori yang mendasari analisis, interpretasi dan evaluasi karya tersebut biasanya dibiarkan tidak nampak menyolok, tersirat saja, kecuali kalau memang diperlukan. Dan mereka yang melakukan “kritik” sastra menurut kedua pengertian di atas disebut sebagai “kritikus” sastra.

Bisa dilihat bahwa “teori” punya arti penting dalam kedua kategori kritik sastra di atas. Sebuah pembicaraan atas karya sastra atau sastrawan baru bisa sah disebut sebagai “kritik sastra” kalau dilakukan berdasarkan “prinsip-prinsip teori” yang mendasari identifikasi dan analisis sastra. Dalam kata lain, tiap pembicaraan atas karya sastra atau sastrawan supaya berhak disebut sebagai sebuah pembicaraan “kritik sastra” tidak bisa tidak memiliki seperangkat “teori” analisis, interpretasi dan evaluasi yang berlaku universal. Sebuah “kritik sastra” tidak bisa dilakukan hanya tergantung pada kata hati belaka!

Improvisasi juga bisa dilakukan atas macam “tipe” kritik berdasarkan teori atau ilmu pengetahuan apa yang dipakai dalam menganalisis karya sastra untuk mengetahui pengaruh atau sebab-sebab yang menentukan ciri-ciri tertentu dari karya tersebut. Makanya kita juga mengenal “kritik sejarah”, “kritik biografi”, “kritik sosiologi”, “kritik Marxis”, “kritik psikologi”, “kritik psikoanalisis”, “kritik arketipe atau mitos”, “kritik feminisme” atau “kritik pascakolonial”.

Apa kriteria bagi seseorang untuk berhak disebut sebagai seorang “kritikus” sastra? Disamping keahlian khusus/pengetahuan yang komprehensif atas sebuah genre sastra yang dipilih untuk dikritisi, bukankah sebuah sikap “profesional dan kritis” juga mesti dimiliki oleh seorang kritikus sastra, hingga nanti tulisan-tulisan kritisnya tentang sebuah karya sastra ataupun seorang sastrawan tidak terjebak pada sebuah emosionalisme yang amatiran. Suka atau tidak sukanya “perasaan” seorang kritikus terhadap seorang sastrawan yang sedang dibicarakannya, posisinya sebagai seorang “kritikus” menuntut agar “penilaian” terhadap karya sastrawan tersebut dilakukan menurut etika kritik yang berlaku universal – kritis, adil dan jujur. Karakter pribadi seorang sastrawan, misalnya, apalagi bila kebetulan tidak sesuai dengan standar moral ideal sang kritikus, jangan sampai mempolusi cara menilai karya seninya. Karakter pribadi seorang seniman tidak relevan untuk dijadikan tolak ukur penilaian karyanya, apalagi kalau dijadikan sebagai alasan pelecehan mutu pencapaian karya tersebut. Kritiklah karya sang seniman karena karyanya itulah esensi kesenimanan seorang seniman. Karya adalah identitas eksistensial seorang seniman. Bagaimana kita bisa “mempercayai” pendapat seorang “kritikus”, misalnya, yang tanpa terlebih dulu melakukan “textual study” dan sebagainya yang serius dan menyeluruh atas sebuah karya sastra, seenak perutnya sendiri membuat sebuah vonis menjatuhkan melalui pernyataan-pernyataan asersif yang tidak “kritis” dan “emosional”, apalagi yang tendensius-politis seperti yang umum terjadi di Indonesia!

Untuk bisa diterima sebagai sebuah karya “kritik”, sebuah pembahasan atas sebuah karya sastra atau seorang sastrawan harus dilakukan dengan landasan teori analisis yang jelas. Seorang penulis yang menulis bahwa sajak-sajak seorang penyair tertentu adalah karya seni bermutu tinggi atau sajak-sajak yang berhasil karena “menyenangkan” obsesi-obsesi pribadi si penulis tersebut belumlah bisa disebut sebagai seorang “kritikus” sastra dan tulisannya itu sebuah “kritik” sastra. Begitu pula sebaliknya, kalau seorang penulis menulis bahwa karya seorang sastrawan tertentu bukan karya seni karena tidak “berkomunikasi” dengannya tidak bisa juga disebut sebagai “kritikus” sastra dan tulisannya itu sebagai sebuah “kritik” sastra. Untuk bisa disebut sebagai “kritikus”, seorang penulis tidak bisa “hanya” sekedar “menyimpulkan” pendapatnya saja. Seorang “kritikus” sastra tidak bisa membuat sebuah analisis yang kritis hanya tergantung pada kata hatinya saja, seperti kebanyakan terjadi di Indonesia. Karena kata hati dan rasa bingung saja tidak cukup. Seorang “kritikus” sastra mesti punya landasan teori analisis yang meyakinkan sebelum bisa meyakinkan pembacanya. Dan teori itu sendiri harus diterapkan dalam tahap-tahap pembahasan yang, paling tidak, masuk akal, logis dan ilmiah. Baru setelah prosedur analisis karya sastra seperti ini dilakukan, “pembacaan” yang dilakukannya tadi berhak untuk disebut sebagai sebuah “kritik” sastra, tidak persoalan setuju atau tidak setuju kita para pembacanya nanti dengan kesimpulan “pembacaan” si “kritikus” sastra tersebut.

Kementahan analisis hingga melahirkan kesimpulan-kesimpulan umum bersifat asersif yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah dipamerkan kepada kita baru-baru ini dengan penerbitan buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Penyusunnya Korrie Layun Rampan memberikan alasan penerbitan buku tersebut keyakinannya bahwa telah terjadi sebuah revolusi estetika dalam sastra kontemporer Indonesia, yang, menurutnya, bisa disetarakan dengan apa yang dilakukan Chairil Anwar atau Sutardji Calzoum Bachri, oleh 3 sastrawan dalam 3 genre sastra yang berbeda: Afrizal Malna dalam puisi, Seno Gumira Ajidarma dalam cerpen, dan Ayu Utami dalam novel! Sebagai pembaca bukunya yang judulnya terkesan sensasional itu, saya mengharapkan dia akan membeberkan argumentasinya atas tesisnya yang menimbulkan banyak pro dan kontra tersebut. Saya ternyata mesti kecewa karena Korrie Layun Rampan tidak mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang orisinal yang tidak diketahui publik pembaca sastra Indonesia sebelumnya tentang ketiga sastrawan yang disebutnya sebagai pembaharu estetika penulisan sastra modern Indonesia itu. Begitu juga dengan keberaniannya untuk menyatakan bahwa para sastrawan lain dalam bukunya itu sekedar meneruskan apa yang telah dilakukan ketiga nama di atas tadi, tanpa “pembuktian” dalam bentuk studi perbandingan atau apapun. Setelah membaca bukunya itu saya jadi bertanya-tanya, kenapa seorang “kritikus” sastra seperti Korrie Layun Rampan, yang di Indonesia mungkin paling banyak menulis buku sastra dan tentang sastra itu, gagal melakukan sesuatu yang sudah sangat pantas dilakukan oleh seorang editor buku yang berpretensi hendak memperkenalkan/mengungkapk
an adanya sebuah “revolusi estetika” dalam dunia sastra kontemporer Indonesia. Sementara kelatahannya untuk ikut-ikutan berbahasa Indonesia “posmo” ala Afrizal Malna hanya menambah kecurigaan saya saja atas kedalaman pengetahuannya tentang sastra.

Kalau kita bicara soal “perubahan dalam estetika kesenian”, apa yang kita maksud dengan istilah ini? Sebuah perbedaan gaya pengucapan? Sebuah perbedaan orientasi pemikiran? Keduanyakah? Apakah eksplorasi atas “ambiguitas kata”, atas “makna umum dan tersirat” dari kata, tanpa mesti membuat struktur kalimat jadi tidak baku ala puisi-mantra Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, tidak bisa juga dikatakan sebagai sebuah “perubahan dalam estetika kesenian”? Kalau Afrizal Malna, yang disebut Korrie Layun Rampan sebagai pemimpin Angkatan 2000 itu, dikatakan melakukan sebuah “perubahan dalam estetika kesenian” karena memilih kata dari lingkungan sehari-hari hingga menciptakan (kesan) habitat keseharian kehidupan kita, bagaimanakah dengan apa yang dilakukan oleh penyair-buruh Wiji Thukul? Bukankah idiom-idiom puisi Wiji Thukul jauh lebih dekat dengan “lingkungan sehari-hari” atau “habitat keseharian” Indonesia, paling tidak bagi kalangan buruh dari mana dia berasal, ketimbang intelektualisme benda-benda Afrizal Malna? Kenapa Korrie Layun Rampan sampai “lupa” untuk membicarakan puisi Wiji Thukul yang jauh lebih terkenal di Indonesia dibanding puisi Afrizal Malna itu? Apa arti dari peristiwa “lupa” seorang editor yang konon juga “kritikus” sastra macam begini?
“Pemilihan” nama-nama sastrawan lainnya untuk “menemani” ketiga “pembaharu estetika kesenian” sastra kontemporer Indonesia di atas juga tidak diberikan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan (kecuali bahwa rata-rata mereka pernah ditulis di media massa oleh Korrie Layun Rampan!), termasuk “dilupakannya” beberapa nama sastrawan yang sudah cukup dikenal di Indonesia, seperti para sastrawan yang ada di pulau Bali. Kelemahan khas “politik sastra” seperti ini jadi makin tragis lagi dengan munculnya seorang novelis baru dalam sastra kontemporer Indonesia, tidak lama setelah buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia terbit, yang novelnya Supernova diklaim banyak “kritikus” sebagai jauh lebih inovatif lebih segar lebih seksi kalau tak mau dibilang lebih intelektual daripada Saman yang dijagokan Korrie Layun Rampan!

Kementahan analisis yang terungkap dalam pembuatan kesimpulan-kesimpulan umum bersifat asersif yang tergantung pada kata hati saja semacam ini juga sangat kental mewarnai tulisan jurnalistis “esei koran” seorang Nirwan Dewanto. Walaupun bukan diterbitkan di sebuah halaman seni koran Minggu, sebuah eseinya yang paling tipikal menunjukkan esensi dirinya sebagai hanya sebuah “antologi asersi” belaka adalah yang ditulisnya untuk majalah berita mingguan Tempo edisi khusus “Kilas Balik 2002”, 5 Januari 2003. Dalam esei berjudul “Pinurbo dan Dinar” itu, ketua redaksi jurnal kebudayaan Kalam ini memulai tulisannya dengan bahasa yang sangat khas:

“Setiap akhir tahun saya merasa lara dan terkutuk sebab saya tahu tak banyak karya sastra dalam bahasa nasional kita dalam setahun itu yang layak dikenang. Sebagian besar hanya akan tinggal sebagai bahan dokumentasi. Juga sepanjang 2002. Namun, takut menjadi anak durhaka di kampung halaman sendiri, saya berusaha toleran terhadap mutu sastra, lalu menghibur diri: lihat, bakat baru terus bermunculan. Ajaib, masih ada yang bisa meloloskan diri dari mediokritas yang kian merajalela dalam masyarakat saya. Bagaimana mungkin negeri yang tenggelam dalam kelisanan ini masih bisa menghasilkan penulis unggul?”

Lihatlah betapa hanya dalam satu paragraf saja Nirwan Dewanto sudah membuat begitu banyak kesimpulan dan dia sebagai pembuat kesimpulan diposisikannya sebagai seseorang yang “tahu”, sang pengamat ajaib, yang berdiri di luar lingkaran mediokritas masyarakatnya! Seorang Zarathustra posmo yang tiba-tiba memutuskan untuk membuka jendela menara gadingnya, tanpa mesti turun ke bumi di bawah, dan terpesona pada narsisismenya sendiri! Ajaib, memang, masih ada yang merasa begitu yakin sudah meloloskan diri dari mediokritas yang kian merajalela dalam masyarakat saya!!!

Sekarang baiklah kita ikuti jalan argumen yang ditawarkannya sebagai alasan bagi apa yang akan saya sebut sebagai accusation/defense paragraf pertamanya itu. Puisi Indonesia kontemporer (yang ditulis “para penyair muda usia itu”), katanya sambil meminjam istilah Asrul Sani, masih “puisi emosi” yaitu yang menunjukkan bahwa “[k]etimbang menguasai bahasa, apalagi mencari ungkapan baru, [para penyair muda usia itu] terpenjara kosa-kata dan kosa-bentuk para pendahulu mereka”. Absennya orisinalitas merupakan dosa-asal puisi kontemporer kita. Saya berkhayal: setelah Chairil Anwar, setelah Sutardji Calzom Bachri, setelah Afrizal Malna, tak ada lagi Puisi Indonesia. Yang ada hanya mediokritas “[ke]abstrak[an] dalam arti negatif: tidak sanggup menangkap apa yang konkret, yang dekat dengan nafsu dan daging, justru lantaran mengabaikan intelek dan keperajinan”. Menurutnya, puisi kontemporer kita adalah puisi yang “gampang ambruk, lantaran pelbagai anasirnya tak saling menopang”, “Puisi yang tak sanggup menyegarkan bahasa”. Demikianlah accusation Nirwan Dewanto.
Tapi untunglah masih ada “para penyair cemerlang terdahulu, yang terus memberikan tenaga pada bahasa kita. [Yang] masih giat di gelanggang, bahkan terus memperbarui diri. Lebih penting lagi, masih ada Joko Pinurbo dengan kumpulan sajak Pacarkecilku terbitan Indonesiatera”. Joko Pinurbo adalah “antipoda puisi lirik sekaligus puisi protes”, menurut Nirwan Dewanto, karena “[i]a berhasil membangkitkan bahasa sehari-hari dengan frasa yang terang sebagai alat puitik”, sementara mayoritas penyair (kontemporer) “hanya mendedahkan keruwetan (dan bukan kompleksitas) dengan kalimat patah-patah yang sering mengabaikan logika”.

Bagi Nirwan Dewanto, sekaligus sebagai defense-nya, pemakaian “bahasa sehari-hari dengan frase yang terang” dan “kalimat [tidak] patah-patah yang [tidak] mengabaikan logika” adalah ciri-utama berhasil-tidaknya puisi, penting-tidaknya sebuah kumpulan sajak/penyair. Dan ditambah dengan mesti hadirnya “humor dan main-main”, kisah “alegori” serta “parodi”. Walaupun demikian, Nirwan Dewanto masih melihat adanya tiga kekurangan pada puisi Joko Pinurbo: kalimatnya yang kurang tajam, repetisinya yang sering berlebihan, dan kosakatanya yang kurang kaya.

Betapa susahnya menjadi penyair di Indonesia! Betapa otoriternya seorang ketua redaksi jurnal kebudayaan Indonesia! Hanya dalam lima paragraf, puisi kontemporer Indonesia “dibedah”, dimaki-maki, diangkat sedikit untuk kemudian dibanting dengan keras karena kalimatnya kurang tajam, repetisinya sering berlebihan dan kosakatanya kurang kaya! Dan semuanya itu ditutup dengan kalimat patronising ala seorang empu puisi yang sudah menghasilkan berpuluh buku puisi dan buku tentang puisi: “Demikianlah setiap tahun kita hanya mendapat terlalu sedikit karya unggul lantaran begitu banyak penulis sekadar menjalankan rutin mengelap-ngelap warisan kaum pendahulu, bernikmat-nikmat dengan ukuran dalam negeri”. Ternyata lagi-lagi obat “krisis puisi” Indonesia mesti dibeli di luar negeri! The West is the best!

Kalau Nirwan Dewanto mau sedikit jujur terhadap dirinya sendiri, apalagi mempertimbangkan hobinya/kemampuannya hanya menulis “esei koran” yang narsisistik, dia justru terus menerus melakukan apa yang dia anggap merupakan ciri umum sastra kontemporer kita, yaitu “[m]erosot berbahasa: artinya memudar [...] kemampuan [...] berimajinasi, bergulat, meneliti, mencatat, menilai, menguji, dan mencetuskan-diri [dan] [y]ang lisan mengalahkan tulisan, [dalam arti] basa-basi menaklukkan apa yang rasional [kritis]”, dalam mudahnya dia membuat kesimpulan-kesimpulan mentah yang final tentang karya produk bukan-komunitas-sastranya, tanpa pernah sanggup membuktikannya lewat kritik “close reading” teks dalam bentuk tulisan non-jurnalistik, sementara hanya berbasa-basi puja-puji terhadap produk Komunitas Utan Kayu dari mana dia berasal (ingat, misalnya, klaimnya bahwa Ayu Utami terlahir bukan dari tradisi sastra Indonesia!). Sehingga hanya “kesedang-sedangan, ketakcemerlangan” (dalam repetisi-repetisi bentuk dan isi yang sangat membosankan yang tak lebih dari sekedar pamer daftar bacaan belaka alias name dropping) yang jadi “hasil terbaik” dari reportase bacaannya atas apa yang memang sudah umum dianggap sebagai “kanon sastra internasional” di luar sana yang dengan selektif-heroik dipakainya untuk sebuah “bacaan” pseudo-comparative literature. Saya tentu saja bisa juga menuntut dari dia untuk juga tidak “bernikmat-nikmat dengan ukuran dalam negeri” dalam menulis esei-eseinya karena “[...] saya merasa lara dan terkutuk sebab [...] tak banyak [esei] sastra[nya] dalam bahasa nasional kita [...] yang layak dikenang”, lantaran begitu banyak ide tulisan-tulisannya itu “sekadar menjalankan rutin mengelap-ngelap warisan kaum pendahulu”nya belaka. Satu contoh: Pernahkah dia benar-benar mengelaborasi di mana negatifnya “kelisanan” dan positifnya “keberaksaraan” (dua konsep yang didaur-ulangnya tanpa kritis dari Sapardi Djoko Damono) dalam kebudayaan Indonesia itu?

Tingkat absurditas dan komikal yang sudah dicapai oleh mediokritas pemikiran kritis yang merajalela dalam dunia sastra Indonesia akan dengan gamblang ditunjukkan oleh contoh berikut ini. Saya pernah membaca sebuah buku “kritik sastra” yang ditulis oleh seorang “kritikus sastra” pedalaman dimana di salah satu bab bukunya itu dia mengajak pembaca untuk “membuktikan” kemantraan puisi-mantra Sutardji Calzoum Bachri dengan membacakannya ke buaya!

Absennya cara berpikir kritis dalam membaca karya sastra yang merupakan faktor utama penyebab terjadinya “krisis kritik sastra” di Indonesia lebih banyak bisa dilihat dipamerkan secara menyolok di media massa cetak Indonesia, khususnya koran terbitan Jakarta. Awal bulan Mei 2001 Yayasan Multimedia Sastra (YMS), sebuah yayasan nirlaba yang dikelola sebuah komunitas sastrawan Internet Indonesia, menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi cyberpunk, yaitu puisi yang dikirim oleh para penyairnya baik ke mailing-list penyair@yahoogroups.com maupun situs sastra www.cybersastra.net yang dikelola YMS, berjudul Graffiti Gratitude. Penerbitan buku puisi cyberpunk ini ternyata menimbulkan skandal media massa cetak khususnya koran dengan Graffiti Gratitude sebagai objek “pengadilan puisi”, baik oleh para penyair Indonesia sendiri yang puisinya tidak ada dalam kumpulan ini maupun oleh para “pengamat/kritikus” sastra Indonesia. “Mutu” puisi-puisi yang ada dalam Graffiti Gratitude merupakan satu topik serangan favorit dan, terkait dengan ini, isu tentang “estetika baru” macam apa yang direpresentasikan oleh pemakaian istilah “puisi cyber” pada kulit depan buku juga menjadi isi serangan umum para penghujatnya. Seorang wartawan sebuah majalah berita di Jakarta, Bersihar Lubis, mengklaim bahwa para penyair cyberpunk telah “mengkhianati” hakekat dirinya sendiri karena telah menerbitkan dalam bentuk buku puisi-puisi yang seharusnya dibiarkan tetap berada dalam dunia cyberspace di Internet, sementara seorang “kritikus sastra” yang sekaligus dosen sastra dari Jakarta, Maman S Mahayana, menyatakan bahwa para penyair cyberpunk Indonesia itu belum pantas untuk dikategorikan sebagai “penyair” tapi “penulis puisi” hanya berdasarkan ketidakjelasan produktivitas mereka belaka!

Kalau “pengadilan puisi” atas Graffiti Gratitude ini dilakukan dengan jujur dan adil, walau tidak mesti secara kritis sekalipun, peristiwa media massa cetak ini tentu akan jadi menarik dan perlu. Paling tidak, sebuah “polemik sastra” bisa terjadi dan lalulintas ide atau konsep soal puisi akan berjalan dari kedua belah pihak, pihak Internet dan pihak media cetak. Harapan yang lugu ini ternyata cuma tinggal harapan yang lugu belaka. “Pengadilan puisi” yang diciptakan oleh media massa cetak Indonesia itu ternyata cuma sebuah pameran penghinaan dan ketidakmampuan untuk bahkan melakukan sebuah “pengadilan” yang baik atas Graffiti Gratitude. Bagi mereka yang memilih “mutu puisi” sebagai sasaran serangan, terlihat dengan jelas ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam cara mereka “membaca” buku Graffiti Gratitude. Fokus mereka cuma sajak-sajak yang memang jelas bagi pembaca sastra awam sekalipun tidak berhasil menjadi puisi. Mereka sama sekali tidak membaca sajak-sajak lainnya yang bagus-bagus dan berhasil jadi puisi. “Politik pembacaan selektif” macam ini tentu saja hanya menimbulkan rasa curiga beralasan di kalangan penyair cyberpunk bahwa rasa cemburu atau iri hati karena tidak ikut serta dalam antologi Graffiti Gratitude merupakan alasan utama “pengadilan puisi” amatiran ini. Bukankah sesuatu yang sangat wajar kalau dalam sebuah antologi-bersama akan terdapat sajak-sajak yang gagal? Bukankah sesuatu yang sangat wajar juga bila dalam sebuah antologi-tunggal pun akan terdapat sajak-sajak yang gagal? Kenapa sajak-sajak yang gagal ini yang jumlahnya tak sebanding dengan jumlah keseluruhan isi buku yang justru dijadikan standar ukuran “mutu” keseluruhan antologi tersebut!

Sementara itu mereka yang “menuntut” lahirnya sebuah “estetika baru” dengan munculnya sastra cyberpunk juga melakukan sebuah tuntutan yang tidak jujur dan tidak adil. Kenapa mereka tidak melakukan hal yang sama atas “sastra koran”, “sastra majalah”, atau “sastra antologi” yang umur eksistensinya jauh lebih lama dibanding sastra cyberpunk tapi isi dan gaya produk-produk ketiganya sama sekali tidak menunjukkan “perbedaan estetika” antara satu medium dari medium yang lainnya itu! Demikian pula dengan mereka yang mengklaim bahwa penerbitan puisi cyberpunk dalam bentuk buku adalah sebuah pengkhianatan eksistensial. Betapa lucu dan mengada-ada pernyataan ini! Bukankah apa yang diklaim ini relevan juga untuk diajukan pada “sastra koran”, “sastra majalah” dan “sastra lisan” tapi, anehnya, tidak pernah dilakukan. Kenapa hanya pada sastra cyberpunk klaim yang kalau memang ada kebenarannya ini tiba-tiba dilontarkan! Sekarang saya mau bantu para eksistensialis sastra Indonesia ini untuk memperluas cakupan klaim mereka itu: Kenapa sastra koran, sastra majalah dan sastra lisan mesti dibukukan? Kenapa tidak dibiarkan saja sastra-sastra ini pada medium asalnya masing-masing? Bukankah hal ini sebuah pengkhianatan eksistensial? Pertanyaan yang bernada sama bisa juga disodorkan kepada “kritikus sastra” Maman S Mahayana. Apakah sebenarnya “penyair” atau “sastrawan” itu? Apakah ada relevansi teoritis antara “produktivitas” dan identitas seorang sastrawan? Kenapa Chairil Anwar yang cuma menulis sekitar 70an puisi itu bisa disebut “penyair” sementara bukankah Armijn Pane dan Achdiat K Mihardja dikenal hanya berdasarkan satu novel belaka?
Bagi saya, “pengadilan puisi” atas buku kumpulan puisi cyberpunk Graffiti Gratitude oleh media massa cetak Indonesia ini cuma menguatkan kepercayaan saya bahwa “krisis kritik sastra” di Indonesia bukan saja ada tapi malah sangat parah kondisinya.

Di koran Pikiran Rakyat Bandung di bulan Agustus dan September 2002 terjadi “polemik” atas sebuah produk terakhir dari komunitas sastra cyberpunk Indonesia di bawah naungan YMS. Produk yang menimbulkan persoalan kali ini adalah sebuah antologi puisi digital dalam bentuk CD multimedia yang dinamakan CYBERpuitika. Antologi puisi digital ini dikatakan “multimedia” karena setiap teks puisi di dalamnya dikolase dengan teks visual berupa lukisan atau fotografi dan teks musik. Perkawinan ketiga teks yang mewakili tiga jenis seni yang berbeda ini ternyata menimbulkan suara-suara sumbang yang menuduh bahwa “teks” puisi dalam CYBERpuitika telah dikorbankan statusnya sebagai sebuah “karya seni” karena disandingkan dengan teks visual dan teks musik! Bahkan lebih hebat lagi karena sudah keluar dari konteks “polemik” koran tersebut, ada seorang penyair “senior” lokal dengan lagak seorang “kritikus” selebritis menulis bahwa “dosa” sastra Indonesia di Internet adalah “kebebasan” yang diberikannya bagi “penulis pemula” untuk menulis sastra, seolah-olah seseorang itu baru bisa menulis sastra atau disebut sebagai “sastrawan” kalau sudah mendapat “restu” dari dia! Dengan nada tulisan yang sangat patronising alias sok tahu dan merasa diri sendiri sudah menjadi sastrawan besar Indonesia, penyair pedalaman yang megalomaniak ini mengejek dunia sastra Internet – yang tidak diketahuinya sedikitpun apa dan bagaimana itu – sebagai cuma sekedar “labirin main-main”, sebuah “arena play-group dan play-station” para penulis “pemula” belaka! (Istilah ejekan yang umum dipakai untuk menyerang keberadaan sastra cyberpunk Indonesia, terutama karena kebebasan yang diberikannya kepada siapa saja untuk menulis sastra tanpa mempermasalahkan “jam terbang” karier kepenulisan seseorang, adalah “tong sampah”. Maksud dari istilah yang diciptakan redaktur sastra koran Republika Ahmadun Y Herfanda ini adalah bahwa karya-karya sastra yang disebut sastra cyberpunk Indonesia itu secara umum merupakan karya-karya yang dikirim ke, tapi gagal lolos seleksi untuk bisa muncul di, koran-koran Minggu Indonesia!) Walau pretensi “polemik” media cetak koran itu adalah “diskusi kritis”, apa yang mampu ditawarkannya ternyata hanya merupakan sederetan “pseudo” belaka: pseudo-polemik, pseudo-kritik, pseudo-kritikus dan akhirnya pseudo-sastrawan-senior. Tidak adanya pengetahuan tentang sastra Internet yang disebut “sastra cyberpunk”, tidak adanya pengetahuan tentang hakekat “teks” tulisan dalam dunia Internet yang disebut “hyper-text” dan hubungannya dengan teks-teks lain melalui jaringan “hyper-link” (dan bahkan absennya pemahaman tentang arti istilah “teks” dalam pemakaian sehari-hari dalam wacana kebudayaan saat ini) dan tidak adanya pengetahuan tentang seni kolase (collage art) yang menggabung-gabungkan berbagai bentuk seni menjadi satu seni multimedia, ternyata tidak membuat para penghujat sastra cyberpunk Indonesia di Bandung untuk introspeksi. Mereka “merasa” mereka sudah tahu semuanya!

Persoalan “krisis kritik(us)” tidak hanya terjadi di dunia sastra saja tapi di keseluruhan dunia seni Indonesia. Kalau kita mau sedikit rendah hati, tidak kelewat defensif dan esensialis narsisistik dan belajar dari kenyataan di luar Indonesia terutama di Barat (seperti yang selama ini selalu dilontarkan para “kritikus” lokal khususnya terhadap sastrawan Indonesia dalam konteks rendahnya mutu karya seni sastra kita dibanding karya sastra Barat) maka akan terlihatlah betapa parahnya krisis yang sedang dialami dunia seni kita. Di Barat semua cabang seni yang ada – sastra, teater, seni rupa, musik, tari, film atau fotografi – memiliki tulisan-tulisan “kritik” yang tidak lagi sekedar apresiasi atau pengantar atas sebuah karya seni atau seorang seniman belaka tapi sudah mencapai kualitas mempengaruhi arah perkembangan seni itu sendiri. Dan tidak setiap penulis tentang seni akan dianggap atau bersedia menganggap dirinya sebagai “kritikus” seni, seperti yang biasa terjadi di Indonesia. Arti istilah “kritik(us)” tidak dianggap main-main karena adanya pertanggungjawaban profesional diharapkan dari para “kritikus” yang menulis “kritik” seni, karena “kritikus” adalah sebuah “profesi” sama seperti pengacara atau dokter gigi. Seorang Clement Greenberg, misalnya, tidak bisa dipisahkan kehadirannya dengan gerakan seni rupa Ekspresionisme Abstrak di Amerika Serikat yang diperkenalkan dan dibelanya di tahun 1940an, di masa publik seni rupa Amerika Serikat sendiri masih terperangkap dalam euforia Cubisme Picasso. Seorang diri dia berhasil menjatuhkan pamor mapan Cubisme di New York tahun 1940an dan menggantikannya dengan sebuah gerakan seni lokal yang tidak dianggap apa-apa sebelumnya karena asal-usul lokalnya itu (bukan made-in-Paris, seperti Cubisme), yaitu Ekspresionisme Abstrak, atau Abstract Expressionism. Kontribusi pemikiran dalam memperkenalkan dan membela Ekspresionisme Abstrak (bukan “Abstrak” Ekspresionis seperti yang biasa disalah-terjemahkan di Indonesia!) yang dilakukan Clement Greenberg terutama lewat esei-esei kritisnya mungkin dapat kita sejajarkan dengan apa yang pernah dilakukan oleh kritikus HB Jassin atas Chairil Anwar dalam sastra modern kita. Orisinalitas pemikiran seperti yang direpresentasikan kedua kritikus seni ini secara umum absen dalam dunia seni kita dan fakta inilah yang merupakan alasan utama kenapa saya menganggap tidak ada tradisi kritik(us) seni dalam dunia seni terutama sastra Indonesia. Di dunia sastra Anglo-Saxon yang berbahasa Inggris, esei-esei penyair Amerika Serikat/Inggris TS Eliot begitu berpengaruh hingga memungkinkan munculnya sebuah gerakan kritik sastra baru di sastra Amerika Serikat, yaitu New Criticism yang berusaha membuat kritik sastra menjadi sebuah sains sama seperti sosiologi atau sejarah. Di negeri Inggris, kritikus sastra FR Leavis melakukan hal yang sama lewat tulisan-tulisan kritik sastranya yang membuatnya menjadi semacam “paus sastra” dunia sastra Inggris. Belum lagi kalau kita juga mempertimbangkan sumbangan para “teoritikus/kritikus” asal Prancis yang mendominasi wacana pemikiran intelektual kontemporer internasional seperti Roland Barthes, Michel Foucault, Jacques Derrida, Jacques Lacan, Julia Kristeva dan Jean Baudrillard! Sementara India yang sama seperti Indonesia merupakan negeri Dunia Ketiga itu harum namanya di dunia intelektual internasional dengan sumbangan pemikiran yang dikenal sebagai Kritik Subaltern atau Kritik Pascakolonial. Kapan para “kritikus” Indonesia bisa menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi peradaban manusia!

Krisis “kritik(us)” sastra di Indonesia jauh lebih parah kondisinya daripada “krisis ekonomi” yang, konon, melanda negeri realisme-magis yang terus-menerus dibanjiri dengan mobil mewah, sepeda motor asal Cina dan HP model terakhir ini. Dan masih belum ada tanda-tanda zaman bahwa krisis “kritik(us)” sastra ini akan berakhir dalam waktu dekat. Mungkin penyebab utama terjadinya krisis ini adalah kebiasaan yang umum terjadi di Indonesia bahwa setiap orang yang menulis tentang sesuatu akan dengan mudah langsung saja dianggap sebagai “pakar” sesuatu itu, tanpa ada kekritisan untuk paling tidak “menyangsikan” kebenaran yang dikandung tulisan “pakar” tersebut. Siapa saja menulis “tentang” sastra, misalnya, apalagi kalau dia itu sudah lebih dulu dikenal sebagai sastrawan atau dosen sastra, maka jadi “pakar” atau “kritikus sastra”lah dia. “Kepasrahan” menerima seperti ini kayaknya sudah membudaya hingga hilanglah bekas-bekas “kekritisan” pemikiran yang mungkin pernah ada. Sementara mereka-mereka yang disebut sebagai “pakar/kritikus” itu sendiri nampaknya tidak memiliki problem moral dan intelektual atas sebutan yang diberikan kepada mereka, walau mereka tahu betul bagaimana kebenaran dari realitas intelektual mereka masing-masing.

Ketimbang “menuntut” suatu sikap “I Think, Therefore I Am A Critic” dari mereka-mereka yang mengaku/diakui sebagai “kritikus” sastra Indonesia, kita kayaknya sudah sangat puas dengan sekedar sikap “I Feel (Good), Therefore You Are An Artist” belaka dari mereka! Akibatnya, begitu besarnya rasa percaya diri para “kritikus” ini hingga kalau ada orang yang berani mempertanyakan jatidiri mereka sebagai “kritikus” langsung saja dijawab, seperti yang dilakukan Maman S Mahayana dalam sebuah tulisannya di Kompas beberapa tahun lalu yang berpretensi merespons esei saya tentang krisis kritik(us) sastra, bahwa yang bertanya itu “apriori terhadap kritik” sastra Indonesia. Atau si penanya hanya memiliki “pemahaman yang fragmentaris atas hakikat dan fungsi kritik” sastra! Malah dianjurkannya lagi supaya jangan menyalahkan lantai kalau tak pandai berdansa! Salsa, anyone!

Kalau seorang sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, sudah berkali-kali menjadi nominasi pemenang hadiah sastra paling bergengsi di dunia, yaitu Hadiah Nobel, bukankah sesuatu yang sangat wajar dan tidak keterlaluan kalau kita juga mengharapkan ada “kritikus sastra” Indonesia yang benar-benar bisa menghasilkan karya “kritik” atas karya sastra Indonesia dan tidak melulu melakukan “penceritaan kembali” atas apa yang sudah retak di luar sana?

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito