Jumat, 25 Juni 2010

Dari Masa Roro Mendut hingga Masa Kontemporer

Tembakau sebagai Penawar Ketidakadilan

S. Jai*
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

DOKUMENTARI dengan penekanan sudut pandang humanis (feature) seringkali dianggap sebagai kegagalan film dokumenter. Lalu mengapa saya justru tergelitik menawarkan feature? Salah satunya saya berhasrat menggarap estetika yang tak sepenuhnya feature tetapi juga tanpa meninggalkan esensi dokumenternya yaitu fakta, data, tulisan, artefak demi mempertahankan objektivitas pesan. Film Pita Buta berkisah tentang semangat narator menyelidik alur cukai rokok di Kediri. Alur film dokumentari ini mengetengahkan tiga muatan, pertama ketimpangan antara peraturan pemanfaatan dana bagi hasil cukai dengan gagasan dikenakannya cukai terhadap suatu hasil produksi; kedua mengenai misteri pemanfaatan dana bagi hasil cukai; ketiga ditemukannya pita cukai palsu di pasaran.

Pesan utama yang berusaha disampaikan melalui film dokumenter ini adalah persoalan tembakau tidak sebatas kebiasaan, tetapi melibatkan modal dan kekuasaan yang hampir tanpa batas dan menembus ruang dan waktu. Di masa lampau, Roro Mendut menggunakan rokok untuk menyelamatkan dirinya dari hasrat sexual Tumenggung Wiraguna. Dengan berjualan rokok yang dibumbui dengan olahan sexual, Roro Mendut berhasil meraup dana besar untuk disetorkan kepada sang Tumenggung sebagai ganti dirinya.

Dengan entry point permasalahan cukai, dokumentari ini mengedepankan kekuatan penyatuan (inhern) antara gambar, prespektif, dan petualangan menggali materi tanpa harus terjebak pada feature, subjektivitas, profil atau kampanye kepentingan tertentu. Demi mempertahankan keaslian dan menghindari kekakuan semua nara sumber, wawancara pun dilakukan dengan bahasa lokal, dengan harapan keramahan teknis investigasi ini tidak sampai memaksa para nara sumber merubah mindsetnya secara drastis ketika berhadapan dengan kamera. Kalau muncul kesan hadirnya tokoh dalam dokumentari ini, hanyalah sebatas kesan—sesungguhnya penokohan hanya terbatas pada teknik untuk mengikat alur.

Dorongan naluri kebebasan dan martabat Roro Mendut

SETIAP hendak memasuki Kediri dari arah Surabaya, seperti malam itu, saya selalu disambut dengan aroma khas tembakau dan cengkeh dari dalam pabrik rokok PT Gudang Garam. Apalagi, malam itu hujan gerimis, tentu makin membuat pekat menusuk ketika memasuki kurang lebih tiga kilometer dari gerbang salah sebuah bangunan pabrik di kawasan Semampir dan Gampeng Rejo Kediri.

Aroma yang amat mengganggu setidaknya bagi mereka yang memiliki penciuman peka barangkali ragu, berbahaya atau tidakkah aroma tersebut. Untuk sementara, mengganggu adalah kosa kata yang tepat untuk kondisi ini. Meskipun dalam catatan sejarah metode penggunaan tembakau, dulu sebelum lahir dalam bentuk sigaret pemakaian tembakau dikenal dengan cara menghirup daun kering tembakau. Tehnik tempo dulu yang setidaknya sebanding dengan kebiasaan nginang yang masih dilakukan oleh kalangan uzur pedesaan. Seperti yang sudah-sudah, ketika memasuki gerbang kota Kediri, imajinasi saya bergerak liar berterbangan. Tak terkecuali dengan asumsi saya menyangkut geliat kota, penduduk Kediri, pemerintah, industri rokok yang bukan kebetulan salah satu yang terbesar di negeri ini. Harus diakui memang mengasyikan membuai diri dengan setumpuk obsesi, asumsi dan tentu saja tanggung jawab di punggung terkait industri rokok, distribusi cukai, buruh pabrik, sikap birokrat pemerintah. Itu semua perlu kesabaran dan proses yang melelahkan untuk mengurainya.

Rokok dalam catatan sejarah, akan menggiring ingatan kita pada Roro Mendut. Ia memang bukan perempuan Kediri, tapi sosok itu seperti hidup melampaui ruang dan waktu. Juga di sini! Kisah Roro Mendut menjadi sangat mistis, makamnya pun ramai jadi tempat wisata religi– istilah baru yang sangat euphemistic yang diciptakan untuk melegitimasi kehausan mistis masyarakat kita, di tengah-tengah masyarakat agamis. Tidaklah mengheran bila makam Roro Mendut lebih sering dikunjungi oleh para pedagang rokok, upaya mistis demi memuluskan dagang rokok.

Syahdan, Sultan Agung Mataram hendak menguasai kerajaan-kerajaan kecil yang masih berserak di pulau Jawa, maka ia pun mengutus Tumenggung Wiroguno untuk menaklukkan Pati dengan cara damai—salah satunya dengan meminta Pati mengirim kembang-kembang desa ke Mataram, diantaranya Roro Mendut. Mendut yang terlebih dulu telah merajut cinta dengan Pronocitro, dibuntuti oleh Pronocitra hijrah ke Mataram. Kisah klasik cinta segitiga antara Roro Mendut, Pronocitro, dan Tumenggung Wiroguno pun tak terhindarkan. Tumenggung Wiroguno yang terbuai dengan kecantikan Roro Mendut menerima kenyatakan pahit. Ia pun lalu menciptakan kondisi yang menyulitkan Roro Mendut secara ekonomi dengan menimpakan setoran ringgit yang tinggi kepada Wiroguno jika Roro Mendut menolak Wiroguno. Pantang tunduk dengan birahi Wiroguno, Roro Mendut memilih menyetor ringgit daripada menyetor tubuh ke Wiroguno. Munculah kemudian usaha rokok termasyur dalam catatan sejarah oleh Roro Mendut. Mungkin mustahil untuk memisahkan antara apakah para pelangganya yang semuanya lelaki tersihir dengan kecantikan Roro Mendut atau tersihir karena jilatan lidah Roro Mendut disetiap batang rokok yang dijualnya.

Roro Mendut adalah fakta sejarah yang menegaskan bahwa rokok adalah produksi tanpa modal, hanya membutuhkan image dan sugesti akan mengemukkan pundi-pundi bagi siapa pun yang memproduksinya. Akan tetapi karena besarnya kebutuhan mempertahankan atau menciptakan image tertentu yang selalu semu, produksi rokok selalu memerlukan penguasa untuk melindungi imaji tersebut. Begitu pula yang terjadi saat ini, melalui iklan dan sikap apriori pemerintah, image yang mengada-ada tetap menjadi kekuatan utama produksi rokok.

Rokok adalah produksi yang sama sekali tidak membawa sisi manfaat bagi rakyat, tetapi mendatangkan keuntungan yang tiada tara justru bagi mereka yang tidak terlibat secara langsung dalam proses produksinya, diantaranya penguasa (pemerintah), pemilik. Sementara mereka yang terlibat secara langsung mulai dari petani tembakau dan buruh pabrik rokok hanya menerima ampasnya. Dengan segala peraturan dan retorikanya, penguasa seringkali bertingkah sebagai hansip bagi image rokok atau pabrik rokok. Kisah Roro Mendut adalah bukti sejarah bahwa kekuatan kapital tembakau yang dari masa ke masa selalu digunakan membeli kebebasan maupun penawar ketidakadilan.

Cukai sebagai penawar ketidakadilan

PENGGUNAAN cukai dikenakan pada setiap barang produksi yang menimbulkan dampak buruk pada masyarakat pengguna atau pembeli. Cukai dimaksudkan untuk membiaya upaya mengontrol dampak negatif tersebut. Logikanya, cukai rokok seharusnya digunakan untuk pendidikan penyadaran agar masyarakat tidak merokok, atau setidaknya pendidikan mengenal dampak rokok. Tetapi seperti peraturan dan logika hukum yang lain, selalu tersumbat diranah aplikasi.

Apabila kita renungkan akan seberapa besar kekuatan pabrik rokok dan daya tawarnya kepada penguasa negeri ini, coba kita simak, Dana Bagi Hasil Cukai Kediri saja, pada tahun 2009 senilai 41 miliar (sebelumnya 9,5 miliar). Penggunaannya tentu akan menyibukan aparat karena penggunaan dana ini yang sangat spesifik seperti ditegaskan dalam Peraturan Menteri. Di luar dana kampanye, baik partai politik tingkat lokal maupun nasional maupun berbagai sumbangan sosial yang wajib lainnya, pabrik rokok juga menjadi sapi perahan pemerintah dengan berbagai alasan. Kewajiban di luar pajak bagi pabrik rokok besar seperti Gudang Garam termasuk memberikan THR kepada PNS yang jumlahnya mencapai 6800 PNS maupun anggota Dewan, yang beberapa waktu lalu ditolak oleh PT Gudang Garam. Setoran tidak wajib PT. GG ke Istana pun juga tidak ditutup-tutupi, misalnya saja, tahun 2005 lalu, PT. Gudang Garam diakui secara terbuka oleh Ketua BPK Anwar Nasution bahwa PT. Gudang Garam menyumbangkan sejumlah mobil untuk acara Konferensi Asia Afrika.

Yang tak kalah penting adalah keberadaan cukai palsu di pasaran. Banyak perusahaan rokok kecil menyisipkan pita cukai palsu karena selain status pabrik yang tidak memiliki ijin, cukai palsu lebih terjangkau bagi banyak pabrik rokok rumahan. Demi mendapatkan label cukai palsu tersebut, beberapa pabrik rokok rumahan mendapatkannya dari pihak tertentu yang melibatkan aparat keamanan. Yang lebih unik lagi, pabrik rokok kecil memiliki kebiasaan menarik kembali pita cukai dari pembeli dengan imbalan. Setiap sepuluh pita cukai yang utuh dari bekas rokok mereka, bisa ditukar dengan sebungkus rokok. Label cukai ini kemudian ditempelkan kembali untuk dilempar kembali ke pasar.

Seringkali para pemilik pabrik rokok maupun pemerintah berdalih akan jasa besar pabrik rokok dalam menyediakan lapangan kerja. Bahkan, seringkali mereka memberikan kesan bekerja sebagai pabrik rokok seolah mendapat perlakukan lebih manusiawi daripada pekerja pabrik lainnya. Tentu saja, ini bukan image dan informasi yang keliru, tetapi adalah kebohongan dan pembodohan. Perlakuan, upah, dan beban kerja pekerja pabrik rokok tidak berbeda dengan buruh pabrik lainnya, beban kerja mereka tidak sebanding dengan upah yang diterima. Setiap harinya, para pekerja harus melinting seribu hingga dua ribu lima ratus untuk mendapat hak upah antara Rp.18,000-Rp. 45,000. Jumlah lintingan ini tidak termasuk hasil lintingan yang menurut pengawas di bawah standar pabrik yang tentu saja tidak bisa dihitung. Bukan ini saja, ancaman dan tekanan termasuk keresahan akibat kebijakan pemerintah terkait dengan upaya pemerintah mengontrol produksi rokok juga ditimpakan kepada pekerja.

Birokrat, produk perundangan, sistem kekuasaan-politik, dan kemiskinan bergengaman dalam mengambil peran membentuk lingkaran untuk saling menopang, memanfaatkan, dan menghisap. Melenyapkan lingkaran setan ini adalah cita-cita yang hampir mustahil untuk diraih. Namun tidak terlambat bila kita mulai dari sini, mencerahkan diri kita sendiri, keluarga, saudara, teman dan orang-orang yang kita cintai untuk membangun kekuatan menolak dihisap oleh mereka yang lebih kuat dari kita.

*) Penulis adalah ketua Divisi Budaya CeRCS yang juga kreator dokumentari Pita Buta.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito