Tembakau sebagai Penawar Ketidakadilan
S. Jai*
http://ahmad-sujai.blogspot.com/
DOKUMENTARI dengan penekanan sudut pandang humanis (feature) seringkali dianggap sebagai kegagalan film dokumenter. Lalu mengapa saya justru tergelitik menawarkan feature? Salah satunya saya berhasrat menggarap estetika yang tak sepenuhnya feature tetapi juga tanpa meninggalkan esensi dokumenternya yaitu fakta, data, tulisan, artefak demi mempertahankan objektivitas pesan. Film Pita Buta berkisah tentang semangat narator menyelidik alur cukai rokok di Kediri. Alur film dokumentari ini mengetengahkan tiga muatan, pertama ketimpangan antara peraturan pemanfaatan dana bagi hasil cukai dengan gagasan dikenakannya cukai terhadap suatu hasil produksi; kedua mengenai misteri pemanfaatan dana bagi hasil cukai; ketiga ditemukannya pita cukai palsu di pasaran.
Pesan utama yang berusaha disampaikan melalui film dokumenter ini adalah persoalan tembakau tidak sebatas kebiasaan, tetapi melibatkan modal dan kekuasaan yang hampir tanpa batas dan menembus ruang dan waktu. Di masa lampau, Roro Mendut menggunakan rokok untuk menyelamatkan dirinya dari hasrat sexual Tumenggung Wiraguna. Dengan berjualan rokok yang dibumbui dengan olahan sexual, Roro Mendut berhasil meraup dana besar untuk disetorkan kepada sang Tumenggung sebagai ganti dirinya.
Dengan entry point permasalahan cukai, dokumentari ini mengedepankan kekuatan penyatuan (inhern) antara gambar, prespektif, dan petualangan menggali materi tanpa harus terjebak pada feature, subjektivitas, profil atau kampanye kepentingan tertentu. Demi mempertahankan keaslian dan menghindari kekakuan semua nara sumber, wawancara pun dilakukan dengan bahasa lokal, dengan harapan keramahan teknis investigasi ini tidak sampai memaksa para nara sumber merubah mindsetnya secara drastis ketika berhadapan dengan kamera. Kalau muncul kesan hadirnya tokoh dalam dokumentari ini, hanyalah sebatas kesan—sesungguhnya penokohan hanya terbatas pada teknik untuk mengikat alur.
Dorongan naluri kebebasan dan martabat Roro Mendut
SETIAP hendak memasuki Kediri dari arah Surabaya, seperti malam itu, saya selalu disambut dengan aroma khas tembakau dan cengkeh dari dalam pabrik rokok PT Gudang Garam. Apalagi, malam itu hujan gerimis, tentu makin membuat pekat menusuk ketika memasuki kurang lebih tiga kilometer dari gerbang salah sebuah bangunan pabrik di kawasan Semampir dan Gampeng Rejo Kediri.
Aroma yang amat mengganggu setidaknya bagi mereka yang memiliki penciuman peka barangkali ragu, berbahaya atau tidakkah aroma tersebut. Untuk sementara, mengganggu adalah kosa kata yang tepat untuk kondisi ini. Meskipun dalam catatan sejarah metode penggunaan tembakau, dulu sebelum lahir dalam bentuk sigaret pemakaian tembakau dikenal dengan cara menghirup daun kering tembakau. Tehnik tempo dulu yang setidaknya sebanding dengan kebiasaan nginang yang masih dilakukan oleh kalangan uzur pedesaan. Seperti yang sudah-sudah, ketika memasuki gerbang kota Kediri, imajinasi saya bergerak liar berterbangan. Tak terkecuali dengan asumsi saya menyangkut geliat kota, penduduk Kediri, pemerintah, industri rokok yang bukan kebetulan salah satu yang terbesar di negeri ini. Harus diakui memang mengasyikan membuai diri dengan setumpuk obsesi, asumsi dan tentu saja tanggung jawab di punggung terkait industri rokok, distribusi cukai, buruh pabrik, sikap birokrat pemerintah. Itu semua perlu kesabaran dan proses yang melelahkan untuk mengurainya.
Rokok dalam catatan sejarah, akan menggiring ingatan kita pada Roro Mendut. Ia memang bukan perempuan Kediri, tapi sosok itu seperti hidup melampaui ruang dan waktu. Juga di sini! Kisah Roro Mendut menjadi sangat mistis, makamnya pun ramai jadi tempat wisata religi– istilah baru yang sangat euphemistic yang diciptakan untuk melegitimasi kehausan mistis masyarakat kita, di tengah-tengah masyarakat agamis. Tidaklah mengheran bila makam Roro Mendut lebih sering dikunjungi oleh para pedagang rokok, upaya mistis demi memuluskan dagang rokok.
Syahdan, Sultan Agung Mataram hendak menguasai kerajaan-kerajaan kecil yang masih berserak di pulau Jawa, maka ia pun mengutus Tumenggung Wiroguno untuk menaklukkan Pati dengan cara damai—salah satunya dengan meminta Pati mengirim kembang-kembang desa ke Mataram, diantaranya Roro Mendut. Mendut yang terlebih dulu telah merajut cinta dengan Pronocitro, dibuntuti oleh Pronocitra hijrah ke Mataram. Kisah klasik cinta segitiga antara Roro Mendut, Pronocitro, dan Tumenggung Wiroguno pun tak terhindarkan. Tumenggung Wiroguno yang terbuai dengan kecantikan Roro Mendut menerima kenyatakan pahit. Ia pun lalu menciptakan kondisi yang menyulitkan Roro Mendut secara ekonomi dengan menimpakan setoran ringgit yang tinggi kepada Wiroguno jika Roro Mendut menolak Wiroguno. Pantang tunduk dengan birahi Wiroguno, Roro Mendut memilih menyetor ringgit daripada menyetor tubuh ke Wiroguno. Munculah kemudian usaha rokok termasyur dalam catatan sejarah oleh Roro Mendut. Mungkin mustahil untuk memisahkan antara apakah para pelangganya yang semuanya lelaki tersihir dengan kecantikan Roro Mendut atau tersihir karena jilatan lidah Roro Mendut disetiap batang rokok yang dijualnya.
Roro Mendut adalah fakta sejarah yang menegaskan bahwa rokok adalah produksi tanpa modal, hanya membutuhkan image dan sugesti akan mengemukkan pundi-pundi bagi siapa pun yang memproduksinya. Akan tetapi karena besarnya kebutuhan mempertahankan atau menciptakan image tertentu yang selalu semu, produksi rokok selalu memerlukan penguasa untuk melindungi imaji tersebut. Begitu pula yang terjadi saat ini, melalui iklan dan sikap apriori pemerintah, image yang mengada-ada tetap menjadi kekuatan utama produksi rokok.
Rokok adalah produksi yang sama sekali tidak membawa sisi manfaat bagi rakyat, tetapi mendatangkan keuntungan yang tiada tara justru bagi mereka yang tidak terlibat secara langsung dalam proses produksinya, diantaranya penguasa (pemerintah), pemilik. Sementara mereka yang terlibat secara langsung mulai dari petani tembakau dan buruh pabrik rokok hanya menerima ampasnya. Dengan segala peraturan dan retorikanya, penguasa seringkali bertingkah sebagai hansip bagi image rokok atau pabrik rokok. Kisah Roro Mendut adalah bukti sejarah bahwa kekuatan kapital tembakau yang dari masa ke masa selalu digunakan membeli kebebasan maupun penawar ketidakadilan.
Cukai sebagai penawar ketidakadilan
PENGGUNAAN cukai dikenakan pada setiap barang produksi yang menimbulkan dampak buruk pada masyarakat pengguna atau pembeli. Cukai dimaksudkan untuk membiaya upaya mengontrol dampak negatif tersebut. Logikanya, cukai rokok seharusnya digunakan untuk pendidikan penyadaran agar masyarakat tidak merokok, atau setidaknya pendidikan mengenal dampak rokok. Tetapi seperti peraturan dan logika hukum yang lain, selalu tersumbat diranah aplikasi.
Apabila kita renungkan akan seberapa besar kekuatan pabrik rokok dan daya tawarnya kepada penguasa negeri ini, coba kita simak, Dana Bagi Hasil Cukai Kediri saja, pada tahun 2009 senilai 41 miliar (sebelumnya 9,5 miliar). Penggunaannya tentu akan menyibukan aparat karena penggunaan dana ini yang sangat spesifik seperti ditegaskan dalam Peraturan Menteri. Di luar dana kampanye, baik partai politik tingkat lokal maupun nasional maupun berbagai sumbangan sosial yang wajib lainnya, pabrik rokok juga menjadi sapi perahan pemerintah dengan berbagai alasan. Kewajiban di luar pajak bagi pabrik rokok besar seperti Gudang Garam termasuk memberikan THR kepada PNS yang jumlahnya mencapai 6800 PNS maupun anggota Dewan, yang beberapa waktu lalu ditolak oleh PT Gudang Garam. Setoran tidak wajib PT. GG ke Istana pun juga tidak ditutup-tutupi, misalnya saja, tahun 2005 lalu, PT. Gudang Garam diakui secara terbuka oleh Ketua BPK Anwar Nasution bahwa PT. Gudang Garam menyumbangkan sejumlah mobil untuk acara Konferensi Asia Afrika.
Yang tak kalah penting adalah keberadaan cukai palsu di pasaran. Banyak perusahaan rokok kecil menyisipkan pita cukai palsu karena selain status pabrik yang tidak memiliki ijin, cukai palsu lebih terjangkau bagi banyak pabrik rokok rumahan. Demi mendapatkan label cukai palsu tersebut, beberapa pabrik rokok rumahan mendapatkannya dari pihak tertentu yang melibatkan aparat keamanan. Yang lebih unik lagi, pabrik rokok kecil memiliki kebiasaan menarik kembali pita cukai dari pembeli dengan imbalan. Setiap sepuluh pita cukai yang utuh dari bekas rokok mereka, bisa ditukar dengan sebungkus rokok. Label cukai ini kemudian ditempelkan kembali untuk dilempar kembali ke pasar.
Seringkali para pemilik pabrik rokok maupun pemerintah berdalih akan jasa besar pabrik rokok dalam menyediakan lapangan kerja. Bahkan, seringkali mereka memberikan kesan bekerja sebagai pabrik rokok seolah mendapat perlakukan lebih manusiawi daripada pekerja pabrik lainnya. Tentu saja, ini bukan image dan informasi yang keliru, tetapi adalah kebohongan dan pembodohan. Perlakuan, upah, dan beban kerja pekerja pabrik rokok tidak berbeda dengan buruh pabrik lainnya, beban kerja mereka tidak sebanding dengan upah yang diterima. Setiap harinya, para pekerja harus melinting seribu hingga dua ribu lima ratus untuk mendapat hak upah antara Rp.18,000-Rp. 45,000. Jumlah lintingan ini tidak termasuk hasil lintingan yang menurut pengawas di bawah standar pabrik yang tentu saja tidak bisa dihitung. Bukan ini saja, ancaman dan tekanan termasuk keresahan akibat kebijakan pemerintah terkait dengan upaya pemerintah mengontrol produksi rokok juga ditimpakan kepada pekerja.
Birokrat, produk perundangan, sistem kekuasaan-politik, dan kemiskinan bergengaman dalam mengambil peran membentuk lingkaran untuk saling menopang, memanfaatkan, dan menghisap. Melenyapkan lingkaran setan ini adalah cita-cita yang hampir mustahil untuk diraih. Namun tidak terlambat bila kita mulai dari sini, mencerahkan diri kita sendiri, keluarga, saudara, teman dan orang-orang yang kita cintai untuk membangun kekuatan menolak dihisap oleh mereka yang lebih kuat dari kita.
*) Penulis adalah ketua Divisi Budaya CeRCS yang juga kreator dokumentari Pita Buta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar