Agus B. Harianto
http://www.sastra-indonesia.com/
Kampung Warna telah terukir dalam black list kepolisian setempat. Setiap intel seringkali mendapati Kartu Tanda Penduduk yang terselip dalam saku celana tahanannya menunjuk alamat kampung itu. Hingga guyonan tersendiri merebak di gedung pemerintah tersebut. Yang lebih menggembirakan lagi, mereka dapat langsung mengarahkan pencarian kala tindak kriminal terjadi di sekitar Surabaya Selatan. Sebagian besar dari penghuni penginapan mereka adalah warga kampung itu.
Berbalik fakta dalam Kampung Warna. Walaupun, kesedihan melanda janda-janda sementara, kesombongan semu tertelan waktu singkat, mengalun syahdu di sela-sela percakapan. Sudah menjadi rahasia umum, sebagian besar penduduk Kampung Warna merupakan residivis kambuhan. Hampir setiap warga merasakan kesenangan tersendiri dengan julukan yang terberi. Akibat yang timbul, kampung itu ditakuti warga kampung lain. Mereka tak pernah perduli dengan anggapan orang lain, tetap melangkah pada keteguhan sikap moral yang terbilang miring.
Letak kampung yang berdekatan dengan salah satu lokalisasi ternama di Surabaya itu, mungkin menjadi faktor utama pembentukan karakter penduduknya. Wanita-wanita hanya sebagai pelampiasan; pemuas birahi saat tidak mendapatkan sasaran empuk. Walau kata cinta menggelayuti nurani-nurani penduduk perempuan.
Tak kalah hebatnya, sebagian kaum hawa kampung tersebut, menafikan seks atas nama cinta pada keluarga. Mereka menjadi sangat liar mencari mangsa di malam hari, di mana saja. Bertebaran layaknya kunang-kunang memberikan sinar di rawa-rawa mistis lelaki hidung belang.
Warna hitam kehidupan terpasung sempurna di kampung itu. Sebagian penduduknya menjalankan ritual hidup yang menyimpang; mengejar gemerlap duniawi dengan segala cara. Di siang hari, rutinitas mereka mengacu pada kegiatan normal pekerja-pekerja kasar. Menyembunyikan kedok. Tanjung Perak ataupun tempat bekerja lain yang masih menerima pekerja yang hanya bermodalkan tenaga kasar, menjadi pelabuhan.
Kebanggaan lain Kampung Lawas, kampung tempat mereka tinggal aman dari maling kelas teri yang usil. Hingga tak jarang dijumpai motor-motor terparkir di halaman rumah tak berpagar pada malam hari, ataupun, barang berharga kainnya. Kalaupun toh ada yang hilang, hanya ulah iseng anak-anak yang keesokan hari telah kembali. Sehingga di kalangan warga sekitar, kampung tersebut menjadi teladan di bidang keamanan.
Tata ruang kampung yang diusulkan Cak Min—orang yang disegani oleh kawan maupun lawan terlebih dalam Kampung Warna. Walau tidak berkenan, predikat Tetua tersandang pada namanya—kepada kepala desa dan warga, kala rembug desa diadakan di balai desa, telah dilaksanakan penataannya beberapa tahu lalu. Menjadikan kampung Warna semakin tak terjangkau oleh kawanan pencuri manapun. Setiap perempatan jalan tembusan yang tak teratur, didirikan bangunan yang berfungsi sebagai pos ataupun sekedar tempat cangkruk pemuda-pemuda desa.
Setiap hari, tanpa memperdulikan waktu, tempat-tempat itu selalu terisi. Meski jauh dari tujuan semula. Ada yang sekedar menghabiskan waktu jenuh dengan bercanda bersama warga yang lain, ataupun sebagai pelabuhan tempat berjudi serta berpesta bersama kawan lain. Bagaimanapun juga, sesemrawut apapun itu, niatan awal tetap tercapai; pencurian-penjarahan tak pernah merambah kampung itu lagi.
Said adalah salah satu preman kambuhan yang memiliki selera humor tinggi, berpendapat dalam hatinya sendiri. Mengulas pekerjaannya dan menghubungkannya dengan usulan Cak Min. Kemudian, dia menjadikannya tebakan sesama saudara sependeritaan. Ketika menghabiskan siang kata bosan dalam gardu-pos yang dibangun. Dia dan beberapa warga yang kebetulan sedang libur ataupun menunggu giliran shift kerja, bercengkerama tanpa ada jurang pemisah di antara dua kalangan masyarakat yang sungguh berlawanan.
“Pekerja apa yang takut pada pekerjaannya sendiri?” tanya Said siang itu.
“Kamu, ada-ada saja, Id. Ya, tidak ada.”
“Ada!”
“Lantas, apa?”
“Ya, pekerjaan kita itu.” Di sambut dengan gelengan dan bibir menganga tanda tak mengerti. “Masih belum mengerti?”
Tak ada yang menjawab. Masing-masing melihat satu sama lain, karena kebebalan nalar mengejawantah artian. Maklum, mereka bukan pemikir, laksana orang-orang di papan atas yang mampu membodohi mereka dengan bermacam dalih. Said membiarkan keadaan itu berselang cukup lama, memancing rasa penasaran dan emosi jiwa meluap-luap.
“Kalian memang dungu, pantas saja kerjaannya maling.” Dengan semangat berucap, bagaikan penyair sedang melantunkan puisi perjuangan.
“Bangsat kau, Id! Apa jawabannya?”
“Pencuri, Tolol!” Sembari berlalu, meninggalkan mereka dalam kejengkelan.
“Diamput!” Disambut tawa ceria yang lain.
***
Bagaimanapun juga, preman juga makhluk sosial. Dalam kampung itu terdapat norma-norma sosial yang tertanam indah dalam benak masing-masing warga. Salah satunya adalah wajib saling menghargai. Meski tak luput dari kata-kata kotor dan cacian yang di luar kampung merupakan kata-kata dan kalimat tabu yang membakar telinga. Kelakar itulah yang justru menjadi salam pengantar dan intermesso perbincangan, tak perduli bocah hingga kakek-kakek, bahkan kaum wanita.
Seperti halnya pagi itu. Beberapa bocah tengah asyik berlarian, mengejar layang-layang putus, dengan latahnya, memaki pemuda seberang desa yang menghalangi. Tak seorang pun berani membalas sapaan akrab yang terjadi karena terpaksa, hanya karena pengucap sapa berasal dari Kampung Warna. Dengan keluguannya, mereka lantas mengambil layang-layang itu di pohon mangga di balik pagar teras perumahan tersebut.
“Hei, lagi ngapain kalian?” tegur dari pemilik pekarangan.
“Diamput, Lek! Aku cuma mengambil layang-layang.”
“Kalian arek mana, hah.”
“Kampung Warna. Memangnya kenapa! Nggak boleh?”
“Ya sudah. Ambillah dan lekas pergi.” Setengah memelas dan terkesan enggan menambah masalah dengan memarahi mereka, pemilik rumah membiarkan tiga bocah lugu tersebut mengacak-acak pekarangan rumahnya.
Pengalaman lalu; seorang pemilik rumah di lain desa, yang seharusnya tidak bersalah menjadi bulan-bulanan beberapa warga Kampung Warna, lantaran mengomeli seorang anak kecil dari Kampung Warna yang mengambil kelerengnya di pekarangan sebuah rumah mewah, dengan tuduhan-tuduhan keji yang dilontarkan oleh pemilik rumah tersebut.
“Iya, Lek. Terima kasih.” Mereka pun pergi sambil berlari meninggalkan pemilik pekarangan dalam kedunguan sikap.
Tiga Begundal Merah yang baru pulang dari mendapatkan sasaran empuk—konon, mereka adalah sahabat Said dari Yogyakarta. Melarikan diri setelah menganiaya anak pejabat teras kota budaya itu. Mereka bertiga bermigrasi kemari—menyaksikan ulah bocah-bocah tersebut, berdecak kagum akan keberanian. Mengingatkan mereka pada saat-saat bahagia masa kecil.
***
Setelah puas bercengkerama di gardu RT. 5 itu, Said membenamkan diri dengan secangkir kopi di warung depan Gedung Serbaguna, yang dulunya adalah telaga tempatnya memancing. Mendengarkan dangdut dari tape recorder yang disetel keras. Kepulan asap Djisamsu memenuhi ruang sempit warung tersebut. Beberapa warga yang nimbrung dalam permainan catur di depan warung, berangsur pulang. Hawa gerah menghunjam kulit.
Entah kenapa dengan matahari. Sudah tujuh hari ini, ia begitu senangnya di bayangi mendung putih. Sinarnya tiada lagi akrab menyapa manusia, khususnya di bumi Kampung Warna. Sebentar menampakkan muka di awal pagi, setelah itu, menghilang di balik kerimbunan pekat.
“Hey, Id. Sendirian, yang lain kemana?” tanya salah seorang Begundal Merah.
“Ngapain ngurus mereka. Mau kemana saja, ya terserah.”
“Kenapa denganmu? Biasanya kau begitu periang.”
“Entahlah, beberapa hari ini perasaanku tak enak. Seringkali merasa was-was. Walau sudah kualihkan pada minuman ataupun canda kelakar bersama yang lain, tetap saja perasaan itu menghantui.”
“Kau punya kasus?” tanya personil Begundal Merah yang lain, sambil menerima kopi pesanan mereka dari penjaga warung.
“Kalian ‘kan tahu, aku sudah lama libur.”
“Terus, kenapa?”
“Sudahlah! Kalian dari mana?”
“Biasa ….”
“O ..”
“Sebentar ya Id!” mereka bertiga pun menyusup ke ruangan kecil di sebelah kanan warung. Sebuah ruangan sempit yang biasanya digunakan sebagai tempat tidur penjaganya.
Langkah gontai ketiga Begundal Merah, semenjak kedatangan mereka, merupakan isyarat tersendiri bagi Said; bergebok-gebok uang terselip di saku-saku mereka. Dan ini mengartikan, salah seorang korban telah terkapar dalam keterpurukan setelah perampokan.
Mereka beradu pandang dalam kepuasan, membagikan uang dalam ruang tertutup warung pinggir jalan. Menyisihkan Said pada lembah-lembah keprihatinan. Dengan beberapa lembar uang puluhan, mereka mengisyaratkan pemilik warung untuk mengamati setiap yang datang.
Suasana warung yang sepi, meleluasakaan mereka bergurau tentang perbuatan mereka semalam, jauh di tepian sudut kota tetangga. Dari kisah pembobolan, penawanan, pengurasan harta, hingga pelarian diri yang sempurna; tanpa diketahui warga yang lain. Setelah membayar, tanpa jengah akan cuaca gerah sedikit gerimis, mereka beranjak.
“Kita ke pos RT 8 saja. Kita main di sana sampai puas.” Ajak Begundal Merah, menyeret teman-temannya dan Said untuk berjudi melawan entah siapa. Dalam benak mereka, pastilah ada arena yang sedang digelar disana.
Benar dugaan mereka. Di tempat itu, telah berkumpul beberapa maniak judi sekaligus peminum berat. Mereka asyik menikmati suasana yang mereka ciptakan sendiri. Said dan tiga Begundal Merah nimbrung, setelah salah seorang Begundal Merah memberikan beberapa lembar uang lima puluhan kepada salah seorang peminum di luar gardu.
Melihat kedatangan Said dan Begundal Merah, para maniak itu pun semakin girang. Kelakar-kelakar jalanan mengalun renyah. Mereka tidak perduli pada adzan dhuhur yang di kumandangkan pak Syaifuddin dari masjid beberapa blok dari tempat mereka bermain. Tetap fokus pada kartu-kartu celaka.
Kyai Darussalam yang melintas menuju masjid—jalan gardu itu sebagai satu-satunya jalan baginya menuju masjid—hanya menggelengkan kepala dengan meninggalkan sapaan hangat seorang kyai. Tak pernah ada sungkan ataupun malu pada lantunan abadi pemanggil jiwa, mereka tetap bersitegang dalam benak masing-masing ingin memenangkan sejumlah uang.
Kyai itu seakan sungkan menegur, teringat akan pertemuannya dengan Cak Min beberapa bulan lalu. Ketika dia memiliki niatan membersihkan kampung dari kemaksiatan, dia pun mendatangi Cak Min guna meminta bantuannya. Namun, yang dia dapatkan tidaklah sesuai dengan keinginan. Tuhan tidak selalu mengabulkan permohonan hamba-hamba-Nya. Hidup tak selalu berjalan mulus sesuai rencana manusia-manusianya.
***
“Permisi, Cak Min. Aku rasa sudah saatnya kita semua kembali ke jalan-Nya.” Kyai Darussalam mengawali perbincangan, setelah berbasa-basi sebentar saat bertamu ke rumah Cak Min, di suatu malam beberapa bulan yang lalu.
“Maksud Pak Kyai?”
“Mungkin sebaiknya Cak Min sebagai orang yang disegani, mengingatkan mereka untuk kembali menyembah-Nya, mengikuti kami meramaikan masjid.”
“Maafkan kami, Pak Kyai. Kami hanya orang-orang yang berkecimpung di lembah hitam.”
“Maka dari itulah, kalian sudah saatnya bertaubat. Tak ada yang abadi di dunia ini, Cak Min.”
“Memang benar. Tetapi, kami merasa merugi jika kami hanya berniat meramaikan masjid. Sedangkan hati kami hanya dan hanya untuk-Nya.”
“Setidaknya, sesekali kalian mengisi ruang-ruang kosong rumah suci tersebut.”
“Maaf, Pak Kyai. Ibadah kami bukan hanya untuk masjid. Kami belum bisa mengikuti program anda. Hati kami sibuk dengan introspeksi diri”
“Kenapa?”
“Secara hakikinya, ketika kita menyembah pada-Nya dan setiap saat hal itu dituntut dari kita. Maka, Dia bukanlah angan-angan ataupun lafadz yang selalu menggelayut dalam benak kita. Sedangkan, ilmu itu menyebutkan, kita selau digerakkan oleh-Nya. Hati kami sibuk dengan kerinduan pada-Nya. Mampukah kami mempraktekkan itu dalam hati?”
“Oleh sebab itu, bukan hanya ilmu tapi juga praktek.” Kelit kyai Darussalam. Setelah lama terpekur, membenamkan diri dalam perenungan dalam.
“Justru itu, kami kian nelangsa dengan menilik sejarah,” lanjut Cak Min, ”tak seorangpun dari hamba mampu bertemu Tuhan sebelum dia mati, kecuali Beliau. Maka kami pun memohon syafaat, melalui sholawat yang kami kumandangkan dari sanubari paling dalam, sekiranya Beliau sudi memohonkan ampunan dengan garis-garis kerasulan beliau. Sudahkah seperti itu? Itulah yang mejadi tanda tanya besar dalam kehidupan kami. Sadarkah kita? Terlebih dengan Dajjal yang menggoda manusia dari berbagai arah, termasuk menggunakan ibadah seorang mukmin sebagai jalan menyesatkannya?”
Kyai Darussalam terperanjat dengan ucapan Cak Min yang terakhir. Dentang jam dinding menggema dalam ruang-ruang kosong. Tak seorang pun mengucap kata. Hanya sanubari-sanubari kecut oleh ketidakberdayaan melawan bisikan halus musuh abadi manusia. Walau, berbagai macam jihad telah dikobarkan. Namun, nafsu-nafsu semakin menjadi. Dia hampir tidak mempercayai pendengarannya, terlebih santrinya.
“Lantas, perbuatan kalian?” Kyai Darussalam memecah kesunyian.
“Mereka sudah tahu dan mengerti hakekat hidup. Maka, biarkan saja mereka menempuh jalan yang mereka pilih. Mungkin, suatu saat nanti masjid kita akan mereka penuhi dengan berjamaah.”
“Baiklah, Cak Min. Terimakasih untuk semuanya, aku pamit.”
“Maaf, Kyai Darussalam. Saya tidak bisa membantu anda”
Setelah mengucap salam, Kyai Darussalam beranjak pergi. Berpasang-pasang mata menaruh kecurigaan pada kehadiran Kyai Darussalam di pusat hitam Kampung Warna. Tetapi, mereka menitipkannya pada lalu-lalang kendaraan lewat dan klotekan pedang-pedagang kaki lima yang kebetulan melintas. Seorang santri yang selalu setia mengiring Kyai Darussalam, selaksa berdendam benak terpancar dari tajamnya sorot mata. Tertunduk lesu mendapati senyuman Kyai Darussalam mengembang penuh arti. Tak seorang pun tahu yang terjadi di dalam sentral kehitaman hidup kampung itu. Hanya dinding-dinding beku menjadi saksi, serta telinga Said yang mencuri dengar pada pembenahan.
Said bersorak penuh riang, bagaikan berlaksa pada tontonan orkes di lapangan kampung tiap bulan Agustus. Dia melihat dua manusia yang selama ini selalu memicingkan mata dari kursinya di teras loteng bangunana megah kehidupan pada kebiasaan kawan sahabatnya itu mendapatkan hantaman telak. Dengan senyum kepuasan yang menganga lebar, dia lantas berlalu menuju gardu-gardu setia tempatnya mangkal.
***
Jalanan lengang siang hari tidak mempengaruhi keramaian yang terjadi. Jalinan kesepakatan seorang warga Kampung Warna dengan berbagai pihak, sungguh rapi meniadakan peraturan yang berlaku. Dengan catatan, seluruh preman yang ada tidak mengacaukan kawasan sekitar. Sehingga tak pernah ada penggerebekan di dalam kampung. Hanya berita-berita tentang salah seorang warga tertangkap di luar kampung dan wilayah kerja polsek setempat.
Said tak mendapatkan tempat. Dengan berat hati, dia pun bergabung dengan peminum-peminum setia dalam kerumunan itu dan sesekali menambah taruhan pada temannya. Kepayahan kalbu, kelelahan raga dan miringnya jiwa-jiwa penat, menjadikan Said bersegera oleng. Sambil sesekali melebarkan mata, dia mengakrabi saudara-saudara senasibnya.
Dari utara, siang itu, angin musim kemarau serasa menidurkan penduduk Kampung Warna dalam pelukan bidadari-bidadari binaannya. Menina-bobokkan mereka dalam mimpi panjang harapan tak bertepi. Sesekali, seringai kemenangan dari seseorang menyembul tiba-tiba dari ketegangan, disambut cacian kesal yang lain.
Mendadak, telinga Said dan yang lain dikejutkan pengeras suara yang berbunyi lama dari biasanya, sebagai tanda sebuah pengumuman penting. Tak seorang pun bersuara demi mengetahui berita. Betapa terkejut mereka setelah sang suara menyebut nama salah seorang yang disegani di kampung ini. ‘Cak Min telah meninggal.’ Secepat kilat, mereka membuyarkan diri, meninggalkan sampah berserakan tak terurusi. Dengan mengantongi puing-puing kemenangan, sekaligus aroma alkohol menyeruak, mereka segera berjalan ke timur, tempat jasad Cak Min disemayamkan, rumah semi permanen yang selama ini menjadi pusat perhatian segenap warga akan kegiatannya yang tidak umum.
Sudah menjadi adat Kampung Warna, setiap ada yang meninggal dunia, warga berduyun-duyun melayat. Warga laki-laki akan menghentikan perkerjaanya setelah mendengar kabar tersebut. Selama perjalanan pulang dapat ditempuh sebelum mayat dikubur, mereka pasti menyempatkan diri, meminta ijin atasan dan meninggalkan pekerjaannya. Kecuali, yang berada jauh di luar area, mereka tidak wajib datang.
Said melihat Kyai Darussalam duduk di kursi panjang bersama para santrinya. Ramai pelayat, membentuk kelompok masing-masing, tak menghalanginya masuk dan melihat jasad Cak Min. Tubuh tak bergerak yang telah dimandikan itu, pernah menolongnya keluar dari masalah rumit yang pernah menimpanya. Dia tertegun pada wajah tegar dan garang, telah pernah melanglangbuana dalam dunia hitam. Kini terbujur lunglai tak bernafas. ‘Semua pasti mati,’ gumamnya.
Dalam lamunannya akan jasa-jasa si mayat, Said dikejutkan Kyai Darussalam yang tiba-tiba menyeruak di sela-sela dirinya dan teman-temannya. Dia pun cukup tahu diri dan memilih duduk di belakang bersama yang lain, hingga cukup bisa melihat, Kyai itu menggelengkan kepala setelah memeriksa keadaan jasad. Dengan segala kemampuannya, Said memanjatkan doa dalam hati.
Tiba-tiba keadaan menjadi gaduh oleh ulah para santri yang saling bergumam dan bertanya-tanya pada Kyai mereka. Hingga ia mengalir mulus dari mulut-mulut yang tak bisa diam akan fenomena keganjilan. Tidak selayaknya orang-orang hitam yang meninggalkan jasadnya; kaku tak bergeming, bahkan menggerakkan tangan-tangannya untuk bersedekap pun susah. Ataupun kaki-kaki menekuk yang sulit diluruskan kembali. Namun, kini yang terpampang di hadapan Kyai Darussalam mewakili ketidakwajaran. Mayat itu lemas-lungai bagaikan pingsan. Ketidakpercayaan benaknya menjadikan dia memeriksa ulang tubuh tak bernyawa tersebut. Tetap tak ada nafas ataupun tanda-tanda kehidupan terpancar.
“Seorang alim, belum tentu mendapatkan keistimewaan ini. Lantas, siapakah orang ini di hadapan-Mu, ya Allah? Ampunilah segala dosaku.” Gumam Kyai Darussalam yang cukup bisa didengar khalayak dalam ruang itu dengan diteruskan para santrinya, memperlakukan jenazah lebih istimewa.
Said bungkam. Dia telah mengetahui sebab-akibatnya. Dia tidak terpengaruh dengan ulah mereka yang menurutnya kelewat batas. Dia bergegas mengajak beberapa saudara menuju tempat pemakaman. Meninggalkan fenomena-fenomena yang baginya adalah kewajaran dari lelaku hati seseorang. Membiarkan Kyai Darussalam dan warga yang lain dalam penasaran. Menyambung doa-doa permohonan ampun.
Surabaya, 1998
NB; Cerita ini berdasarkan kisah nyata yang terjadi di Kampung Banjarsugihan, Surabaya, di sekitar tahun 1996-an. Yang dikisahkan ulang oleh seorang sahabat warga kampung tersebut kepada penulis pada bulan Maret 1998.
*) Cerpenis lahir di Lamongan. Sudah menerjemahkan beberapa antologi puisi, esai, cerpen, dan terjemahan novel dalam proses penyelesaian. Kini sedang menimba ilmu di ICAS Jakarta. Nomor telpon 085731347267
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar