Budi Darma*
http://www.jawapos.com/
ORANG tua Bluke Kecil tinggal di ruang bawah tanah sebuah gedung besar. Sewa ruang bawah tanah memang sangat murah, dan orang tua Bluke tidak mungkin tinggal di ruang lain yang lebih mahal. Tentu saja, ruang bawah tanah tidak sehat. Kalau musim panas sinar matahari jarang menjenguk ruang bawah tanah, dan kalau musim dingin, ruang bawah tanah bukan main dingin. Dan, barang siapa tinggal di ruang bawah tanah pasti tidak mungkin menengok ke luar dengan bebas, sebab jendelanya sangat sempit, dan untuk menjenguk ke luar, mau tidak mau orang itu harus naik ke kursi atau meja. Detik demi detik, dengan sendirinya, ruang bawah tanah pasti mengundang berbagai macam penyakit.
Ayah Bluke Kecil, Stavender namanya, adalah penjinak binatang buas Kebun Binatang Skebersky. Setiap hari, bahkan pada hari-hari libur resmi pun, Stavender berangkat ke kebun binatang menjelang jam enam pagi, dan menjelang jam tujuh malam baru sampai rumah kembali. Begitu tiba di rumah dia menyuruh Bluke Kecil mengambilkan bir, minum bir, batuk-batuk sebentar, kemudian tidur. Hanya kadang-kadang dia mengelus-elus kepala Bluke Kecil, dan hanya kadang-kadang dia berbicara kepada Bluke Kecil.
Ibu Bluke Kecil, Greta namanya, adalah sopir taksi. Lebih kurang satu setengah jam setelah suaminya berangkat ke kebun binatang, Greta juga pergi. Berbeda dengan suaminya, dia tidak bisa menentukan jam berapa kira-kira dia akan pulang. Kalau penumpang banyak maka dia pulang malam, dan kalau kebetulan taksinya sedang tidak laku dia pulang lebih awal. Kadang-kadang, pada saat dia pulang dia dapat bertemu dengan suaminya, dan kadang-kadang, dan ini lebih sering, suaminya sudah tidur dengan dengkur yang memekakkan telinga baik istrinya maupun Bluke Kecil.
Sebagaimana suaminya, begitu sampai di rumah Greta pasti berteriak: ”Bluke Kecil, ibu kamu sudah datang! Ambilkan bir! Apa kerjamu sepanjang hari, Bluke Kecil?”
Setiap hari ibu Bluke Kecil berteriak begitu, dengan nada yang benar-benar sama, tanpa ada perubahan sama sekali. Dan sambil berteriak minta bir, boleh dikatakan hampir selamanya ibu Bluke Kecil tidak pernah menengok ke arah Bluke Kecil. Mungkin, pada suatu saat kalau dia pulang dan Bluke Kecil sudah mati, dia tidak akan tahu bahwa Bluke Kecil, anak darah dagingnya sendiri, sudah tidak bernapas. Sebagaimana suaminya, kadang-kadang dia juga mengelus-elus kepala Bluke Kecil.
Setiap kali ayahnya mengelus-elus kepalanya Bluke Kecil selalu ketakutan, demikian pula setiap kali ibunya mengelus-elus kepalanya. Sambil mengelus-elus, ayahnya selalu bercerita mengenai binatang-binatang buas dan sekian banyak korban yang sudah diganyang binatang buas, atau paling tidak dilukai oleh binatang buas. Bluke Kecil merasa, ayahnya memang sengaja menakut-nakutinya. Dan setiap kali ibunya mengelus-elus kepalanya, ibunya selalu bercerita mengenai sekian banyak laki-laki yang pernah dipukul dan ditendangnya, dan sekian banyak perempuan yang pernah dia tempeleng, atau dia jambak rambutnya. Bluke Kecil merasa ibunya, sebagaimana pula ayahnya, sengaja memberi kesan bahwa dirinya hanyalah makhluk tidak berharga.
Tubuh ibu Bluke Kecil memang luar-biasa besar, namun luar biasa lincah. Bos taksi tempatnya bekerja menyukai dia karena dia jujur, berani, dan tidak pernah ragu-ragu menendang penumpang taksi yang kurang ajar, atau menggebuki teman-teman kerjanya yang bertingkah tidak senonoh. Setelah ibu Bluke Kecil bekerja sekian lama, sebetulnya bosnya ingin dia bekerja di kantor, dan bukan lagi menjadi sopir, namun dia menolak. Dia bilang bekerja sebagai sopir lebih nyaman, karena dia bisa bergerak ke banyak tempat. Dan kalau ada penumpang minta diantarkan ke luar kota, katanya, rasanya lebih nikmat.
Tanpa disangka-sangka, sekonyong-konyong pada suatu hari ayah dan ibu Bluke Kecil bersikap sangat manis. Mereka mengajak Bluke Kecil berjalan-jalan ke kebun binatang, menonton film anak-anak, mengunjungi sekian banyak toko, kemudian masuk ke restoran. Dan akhirnya mereka menonton sirkus.
Setelah sampai di rumah ayahnya berkata, bahwa mulai bulan depan Bluke Kecil harus masuk sekolah. Ayah dan ibu Bluke Kecil telah memilihkan sekolah yang baik, mahal, dan bersih, meskipun jauh. Karena itu, kata ibunya, ayah dan ibunya akan mendidik dia agar dia siap memasuki dunia yang sesungguhnya.
Selama satu bulan penuh ayah dan ibu Bluke Kecil lebih banyak tinggal di rumah.
”Ayah dan ibu tahu, Bluke Kecil, kadang-kadang kamu ke luar rumah pada waktu ayah dan ibu bekerja.”
Bluke Kecil diam.
”Kamu tahu, Bluke Kecil, ayah dan ibu berkali-kali mengatakan kamu tidak boleh ke luar rumah kalau ayah dan ibu sedang bekerja. Kamu melanggar. Dan ayah dan ibu sudah memaafkan kamu.”
Bluke Kecil tetap diam, namun dalam hati berkata: ”Udara ruang bawah tanah tidak sehat. Kalau saya hanya mengeram di sini terus, pasti saya sudah menjadi mayat.”
”Ayah dan ibu tahu, Bluke Kecil, setiap kamu ke luar sendirian, pasti kamu menemui kesulitan. Kamu diejek, dihina, dimintai uang. Kadang-kadang kamu juga ditonjok perut kamu sampai beberapa kali kamu muntah. Dan meskipun kamu jarang kapok, kamu sebetulnya takut.”
Bluke Kecil tetap diam.
”Ayah dan ibu tahu, Bluke Kecil, bahwa uang yang dirampas oleh orang-orang jalanan itu jauh lebih besar dari uang saku kamu. Jangan kamu kira bahwa ayah dan ibu tidak tahu dari mana kamu memperoleh uang sebanyak itu. Ayah dan ibu tahu kamu mencuri, mencuri uang ayah dan ibu kamu sendiri, dari situ, laci meja itu, dari situ, almari itu, dan dari situ, kotak di pojok itu. Kamu memang cerdik. Uang yang ayah dan ibu sembunyikan di bawah kasur supaya tidak mudah kamu endus ternyata juga kamu curi. Dan cara kamu mencuri juga cerdik. Kamu tidak pernah mencuri dalam jumlah besar supaya tidak mencolok. Kamu selalu mencuri dalam jumlah kecil-kecilan tapi terus-menerus.”
Ibu Bluke Kecil mengeluarkan catatan, lalu berkata: ”Inilah daftar uang yang kamu curi, Bluke Kecil. Ada tanggalnya, ada harinya, ada jamnya, ada juga uang dari tempat mana yang kamu curi. Semuanya tercatat serbarinci, serbajeli, serbatepat. Kamu jangan menyangkal. Jangan. Namun ketahuilah, Bluke Kecil, ayah dan ibu sudah memaafkan kamu.”
Lalu ayah dan ibu Bluke Kecil memberi tahu cara-cara untuk mempertahankan diri manakala dalam perjalanan pergi pulang ke sekolah nanti dia dihina, ditempeleng, dan dimintai uang oleh berandal-berandal jalanan.
”Jangan takut kepada mereka, Bluke Kecil. Ayah dan ibu kamu berusaha keras untuk membuat kamu manusia bermartabat, jangan sampai terus-menerus dikalahkan, diinjak-injak, dan tidak ada habisnya dianggap sebagai sampah. Kamu harus melawan, Bluke Kecil, kalau kamu memang akan diinjak-injak. Namun kamu juga harus ingat, Bluke Kecil, kamu tidak boleh menyakiti siapa pun sebelum kamu disakiti terlebih dahulu. Lakukanlah tindakan-tindakan baik kepada semua orang. Namun kalau semua orang membalas perlakuan baik kamu dengan penghinaan, lawanlah mereka.”
Ayah dan ibu Bluke Kecil kemudian mencopot semua pakaian mereka. Dan baru kali itulah Bluke Kecil melihat ayah dan ibunya telanjang. Bagi Bluke Kecil, dalam keadaan telanjang ayah dan ibunya tidak tampak sebagai manusia, tapi sebagai sepasang binatang purba yang amat janggal dan juga amat lucu.
Bluke Kecil yakin, ayah dan ibunya pasti tidak tahu bahwa sebagian uang curian yang dicatat oleh ayah dan ibunya dengan rapi itu sebetulnya dia pergunakan untuk menyewa komik di kios tidak jauh dari jembatan. Hampir setiap hari Bluke Kecil pergi ke kios itu, membaca beberapa komik, lalu membayar sewanya, lalu pergi ke beberapa tempat lain sebelum akhirnya pulang.
Dari komik-komik itulah Bluke Kecil belajar membaca sendiri, dan akhirnya juga belajar menulis sendiri. Dan inilah yang tidak diketahui oleh ayah dan ibu Bluke Kecil. Dan inilah salah satu sebab yang mendorong keyakinan Bluke Kecil bahwa mencuri tidak selamanya jahat.
”Sekarang, Bluke Kecil, copotlah semua pakaian kamu.”
Bluke Kecil terpaksa ikut telanjang. Dalam hati Bluke Kecil ada perasaan ngeri. Seolah-olah dia ikut-ikutan tidak menjadi manusia, namun menjadi binatang purba. Dan bukan hanya itu. Seolah-olah dia tidak mempunyai benteng pertahanan apa pun. Segala sesuatu dalam perasaan dan pikirannya seolah-olah bisa dibaca bukan hanya oleh ayah dan ibunya, namun juga oleh semua seluruh dunia.
”Lihatlah ibu kamu, Bluke Kecil,” kata ayah Bluke Kecil.
Dengan gerak tenang, gemulai, dan meyakinkan, tangan ibu Bluke Kecil menapak lantai, kemudian seluruh berat tubuhnya disangga oleh kekuatan sepasang telapak tangannya. Lalu tubuhnya turun, ganti kepalanya yang menyangga berat tubuh, lalu dalam keadaan kakinya di atas dan kepalanya di bawah, ibu Bluke Kecil bersedekap. Ibu Bluke Kecil bernapas dengan tenang, kemudian tidur dalam keadaan tetap berdiri di atas kepala. Selang lebih kurang sepuluh menit ibu Bluke Kecil melakukan gerakan-gerakan lain, dan ayah Bluke Kecil bertindak sebagai pelatih.
Melalui latihan keras dan melelahkan, dalam waktu sepuluh hari Bluke Kecil sudah sanggup menirukan gerakan-gerakan dasar ayah dan ibunya. Karena Bluke Kecil dapat belajar dengan cepat, ayah dan ibunya menyatakan perasaan bangga mempunyai anak Bluke Kecil.
Dalam latihan-latihan itu perlahan-lahan Bluke Kecil menyadari bahwa sebetulnya ayah, ibu, dan anak saling mencintai. Ada ikatan batin yang sangat kuat di antara mereka. Kendati sampai saat itu Bluke Kecil masih merasa ada tembok-tembok kuat yang memisahkan ayah, ibu, dan dirinya, Bluke Kecil merasa bahwa tembok-tembok kuat itu justru penting untuk mempersatukan kasih sayang mereka.
Selama beberapa kali diajak ke kebun binatang dan perusahaan tempat ibunya bekerja Bluke Kecil benar-benar merasakan bahwa ayah dan ibunya sangat dihormati di tempat kerjanya masing-masing. Bukan hanya pegawai biasa yang menghormati ayah dan ibunya, namun juga atasan-atasan mereka. Rasa hormat itu sama sekali tidak dibuat-buat, namun benar-benar tulus.
Diam-diam Bluke Kecil merasa ayah dan ibunya menuntut agar dia nanti di sekolah juga dihormati, bukan hanya oleh teman-temannya, tapi juga oleh guru-gurunya. Ayah dan ibunya tidak menghendaki Bluke Kecil gagal. Kelak, ketika Bluke Kecil sudah tidak kecil lagi, ayah dan ibunya ingin agar dia menjadi manusia yang mempunyai harkat, derajat, dan martabat tinggi.
Bahwa ayah dan ibunya merasa gagal Bluke Kecil tahu dengan pasti setelah pada suatu malam ayah dan ibunya membuka beberapa peta dunia di meja makan. Bluke Kecil tahu betul bahwa ayah dan ibunya telah menyimpan peta-peta itu di tempat tersembunyi, mungkin dengan harapan Bluke Kecil tidak akan menemukannya dan membuka-bukanya. Namun, sebetulnya, sudah lama diam-diam Bluke Kecil membuka-buka peta-peta itu dan merenungkan apa gerangan makna masing-masing tanda pada peta-peta itu.
Bukan hanya itu. Bluke Kecil sudah lama menyembunyikan radio kecil dengan gelombang panjang dan gelombang pendek, radio yang ditemukannya secara tidak sengaja di tong sampah kira-kira satu kilo dari tempat tinggalnya. Pada waktu Bluke Kecil menemukannya, radio kecil itu dalam keadaan rusak. Dengan tekun Bluke Kecil mengotak-atik radio itu, sampai akhirnya radio itu bisa mengeluarkan suara-suara gembret. Setelah mencuri uang ibunya Bluke Kecil lari ke kedai kelontong, membeli dua baterai kecil, dan keluarlah suara-suara nyaring dari radio kecil itu.
Mulai dari saat itulah Bluke Kecil mempunyai kegemaran yang amat menyenangkan, yaitu mendengarkan siaran-siaran dari luar negeri melalui gelombang pendek. Maka, ketika ayah dan ibunya membuka peta-peta dunia di meja makan tahulah Bluke Kecil makna tanda-tanda pada peta-peta itu. Bluke Kecil tahu bahwa dunia dibagi dalam lima benua, tahu di mana letak negara-negara besar, dan tahu di mana letak negara di mana dia tinggal dan di kota mana dia tinggal. Mencuri uang orang tuanya, dengan demikian, bagi Bluke Kecil bukanlah dosa, karena uang itu untuk belajar membaca dan menulis, dan juga untuk membeli baterai, dan dengan baterai itu Bluke Kecil bisa membayangkan bagaimana dunia ini sebenarnya. Bukan hanya itu. Bluke Kecil juga bisa mendengar beberapa bahasa dari negara-negara lain di lima benua, dan Bluke Kecil juga bisa menirukan berbagai bahasa itu.
Bluke Kecil tahu, ayah dan ibunya mempunyai keinginan besar untuk menjadi pengelana dunia bukan dengan jalan menjadi pegawai perusahaan penerbangan atau pelayaran, dan karena itu bisa ikut terbang dan berlayar, namun sebagai orang-orang terhormat dan terkemuka. Sekali lagi, Bluke Kecil tahu. Dan kelak, ketika Bluke Kecil sudah tidak kecil lagi, tahu bahwa seseorang yang terhormat dan terkemuka pasti diundang ke mana-mana bukan sebagai pegawai, namun sebagai pribadi yang kuat. Karena itu, ayah dan ibu Bluke Kecil juga tidak mau menjadi pengelana dunia sebagai pemain sirkus.
Kalau mau, pasti ayah dan ibu Bluke Kecil bisa menjadi pemain sirkus yang bukan sembarangan. Ingatlah, ayah Bluke Kecil adalah penjinak binatang buas yang amat dihormati, dan sebagaimana ibu Bluke Kecil, tubuh ayah Bluke Kecil juga lentur. Dan Bluke Kecil juga tahu, ayah dan ibunya bukanlah orang-orang bodoh.
Dalam keadaan pura-pura sudah tidur Bluke Kecil pernah menyaksikan sendiri, ayah dan ibunya dalam keadaan sama-sama telanjang memelajari titik-titik kuat dan titik-titik lemah tubuh manusia. Ketika kepala ayah Bluke Kecil dihantam sebilah kayu panjang oleh ibu Bluke Kecil, ayahnya tidak merasa apa-apa. Namun begitu tangan ibu Bluke Kecil menyentuh satu titik tepat di atas pusar, ayah Bluke Kecil menjerit-jerit sambil berjingkrak-jingkrak kesakitan. Lalu, dalam keadaan pura-pura sudah tidur pula, Bluke Kecil pernah menyaksikan ayah dan ibunya, dalam keadaan telanjang pula, menari-nari dengan sangat indah. Dan Bluke Kecil tahu, barang siapa ingin menjadi pemain sirkus harus pandai menari.
Demikianlah, Bluke Kecil dalam keadaan pura-pura sudah tidur sering menyaksikan ayah dan ibunya dalam keadaan telanjang melakukan gerak-gerik yang benar-benar ajaib, kadang-kadang tidak masuk akal, dan kadang-kadang mengerikan juga. Pernah, misalnya, dengan mempergunakan pedang sewaan, ayah dan ibu Bluke belajar bertempur, saling menyerang, dan saling ingin merobohkan.
Bluke Kecil betul-betul tahu bahwa ayah dan ibunya tahu bahwa Bluke Kecil pura-pura sudah tidur namun sebetulnya masih terjaga. Karena itulah, pada suatu malam, sehabis saling menyerang dengan pedang sewaan, ayah Bluke Kecil berkata kepada ibu Bluke Kecil: ”Itu, lho, anak kamu pura-pura tidur.”
Ibu Bluke Kecil menjawab: ”Tinggalkan tempat tidur, Bluke Kecil, lalu, cepat-cepatlah lepas seluruh pakaian kamu.”
Dan setelah Bluke Kecil bangkit dari tempat tidur, ibunya langsung menyodorkan sebilah pedang: ”Seranglah saya, Bluke Kecil.”
Bluke Kecil pun bangkit, lalu menyerang ibunya dengan beberapa ayunan pedang, tapi selalu luput.
”Sekarang seranglah ayah kamu, Bluke Kecil.”
Dan Bluke Kecil pun menyerang ayahnya dengan berbagai ayunan pedang. Tahulah Bluke Kecil, cara ibunya dan ayahnya menghindar dari serangan ayunan-ayunan pedang bukanlah dengan gerak biasa, namun gerak tari yang amat indah.
Waktu satu bulan sudah habis, dan tibalah saatnya bagi Bluke Kecil untuk sekolah.
”Kamu Bluke Kecil, bukan?” tanya guru ketika kelas pertama pada hari pertama baru saja dimulai. ”Ayah dan ibu kamu sudah beberapa kali datang ke sini. Mereka minta izin untuk menyuruh kamu sekolah tiga tahun terlambat. Boleh-boleh saja. Undang-undang negara kita tidak membatasi umur mulai sekolah, asal semua anak akhirnya lulus SD, SMP, dan SMA.”
Bluke Kecil mengangguk-angguk.
”Apa kerja kamu selama tiga tahun, Bluke Kecil? Menjadi pengantar koran? Atau pengantar susu? Undang-undang negara kita tidak melarang anak-anak bekerja, jadi kamu kerja ini atau kerja itu juga tidak apa-apa.”
Bluke Kecil diam, sementara anak-anak lain heran, mengapa ada anak setua itu baru mulai sekolah, dan mengapa pula ada anak sebesar itu dipanggil ”Bluke Kecil”, bukan ”Bluke Besar”, ”Bluke Tua” atau semacam itu. Anak-anak lain keder, karena mereka tahu, anak sebesar ini atau setua ini pasti jauh lebih pandai daripada mereka.
Memang, ternyata benar, Bluke Kecil amat pandai. Bluke Kecil tahu banyak mengenai makna angka dan huruf, ilmu bumi, kata-kata asing, dan sekian banyak hal yang pernah dibacanya dari komik dan didengarnya dari siaran-siaran radio luar negeri, dan juga dari bisik-bisik ayah dan ibunya ketika mereka memperbincangkan dengan nada malu-malu mengenai negeri-negeri jauh. Maka, pada saat guru mengajar Bluke Kecil sering ngalamun.
Bluke Kecil sadar bahwa dirinya asing dengan siapa pun. Ayah dan ibunya tetap berlagak sama seperti dulu, yaitu, ”Bluke Kecil, ambilkan bir”, ”Bluke Kecil, bikinkan kopi”, ”Bluke Kecil, untuk apa kamu mencuri uang lagi?” dan di sekolah dirinya juga asing dengan teman-temannya, asing pula dengan guru-gurunya. Anak-anak di sekitar tempat tinggalnya, seperti yang pernah dikatakan ibunya, mendekati dirinya hanya untuk minta uang, dan kalau tidak diberi uang mereka menempelengi dia. Bedanya, dulu Bluke Kecil ditempelengi dan lari atau menyerah dan memberi uang, dan sekarang Bluke Kecil melawan dan ditakuti. Pelajaran-pelajaran dari ayah dan ibunya telah membentuk Bluke Kecil sebagai anak pemberani, akan diam kalau tidak diapa-apakan, dan akan menghajar tanpa ampun apabila disakiti.
Semua guru juga sadar, Bluke Kecil asing dengan diri mereka. Guru-guru tidak tahu bagaimana caranya menghadapi Bluke Kecil, karena tingkah Bluke Kecil sering menimbulkan tanda tanya. Sering, misalnya, Bluke Kecil tertidur pulas pada waktu guru sedang mengajar, dan karena ayah Bluke Kecil selalu mendengkur keras pada waktu tidur, Bluke Kecil pun sering mendengkur keras pada waktu guru mengajar.
Namun, kendati Bluke Kecil sering tertidur dengan dengkur yang amat meresahkan, ternyata Bluke Kecil sanggup menyimak kata demi kata semua gurunya. Pada suatu hari, misalnya, guru ilmu bumi dengan penuh wibawa mengatakan, ibu kota Nepal adalah Sikkim. Langsung, dalam keadaan matanya masih menutup berat, Bluke Kecil mengacungkan tangan, sambil berkata: ”Kalau petanya kecil, memang tampaknya Sikkim menempel di Nepal. Karena itu, biasalah manakala orang-orang menganggap Sikkim ibu kota Nepal. Namun, Sikkim itu negara tetangga Nepal. Ibu kota Nepal tentu saja Katmandu, dan semua orang seharusnya sudah tahu. Hah, hah, hah …”
Akhirnya, semua guru berusaha untuk senang kepada Bluke Kecil, tapi semua guru tetap tidak senang kepada Bluke Kecil. Dan semua guru juga sadar, mereka hanyalah makhluk-makhluk bodoh, tidak tahu bagaimana harus mengajar karena otak mereka kosong, dan tidak tahu bagaimana berkata-kata dengan meyakinkan di hadapan semua murid, karena Bluke Kecil pasti tahu, apa yang mereka katakan mungkin keliru.
Akhirnya Bluke Kecil juga sadar, ayahnya menjadi penjinak binatang buas bukan sekadar mengikuti darah nenek-moyangnya yang memang sejak dahulu menjadi penjinak binatang buas, namun karena, dan inilah yang penting, ayahnya melarikan diri dari kegagalan. Bluke Kecil dapat menebak, ketika mengelus-elus zripanzea ayahnya merasa sedang berada di Argentina karena asal-usul binatang buas zripanzea adalah Argentina, pada waktu menimang-nimang bayi lodvivalia mamalia layaknya ayahnya sedang berada di Uganda, dan pada waktu memandikan norgazus psinomalia ayahnya merasa seakan-akan berada di Babilon zaman dahulu kala, karena dari situlah asal-usul binatang buas yang sedang dia mandikan.
Bluke Kecil juga menduga, ibunya menjadi sopir taksi, padahal kalau mau pasti mendapat pekerjaan lain dengan gaji lebih baik, karena ibunya, seperti juga ayahnya, adalah makhluk yang gagal. Dengan mengendarai mobil ke mana-mana, meskipun jarang ke luar kota, ibunya membayangkan sedang bepergian ke ujung-ujung lain dunia. Ibunya juga sering mengajak penumpang-penumpangnya untuk berputar-putar menempuh jarak yang lebih jauh sambil mengobrol macam-macam tanpa meminta bayaran tambahan, tidak lain karena, inilah dugaan Bluke Kecil, ibunya membayangkan sedang berkeliling dunia dan mengobrol dengan orang-orang dari negeri antah-berantah yang amat jauh.
Dugaan Bluke Kecil mungkin benar: ibunya sering mendapat tip berupa uang asing, kaos oblong dengan gambar dan kata-kata negeri asing, rokok merek luar negeri, gantungan kunci dari berbagai negara, dan entah apa lagi. Semua barang asing itu sering ditimang-timang ibunya, dan mungkin karena itu pulalah, ibunya tidak pernah memperhatikan Bluke Kecil dengan sungguh-sungguh.
Tanpa diduga-duga, pada suatu hari setelah sekolah usai, seorang guru baru pindahan dari kota lain menahan Bluke Kecil.
”He, Bluke Kecil, boleh kan sekali tempo saya main-main ke rumah kamu?”
Mata Bluke Kecil mendelong.
”Begini, Bluke Kecil. Kamu sekolah terlambat tiga tahun. Lalu kamu sering ngalamun. Sering pula tidur. Ternyata kamu pandai. Inilah ciri-ciri anak melarat. Bukan anak melarat biasa, tapi anak melarat yang sudah tidak mempunyai ayah. Ibu kamu pasti perempuan hebat.”
Tanpa tahu sebabnya, Bluke Kecil menurut ketika Bapak Guru mengajak ke rumah makan.
”Jangan khawatir pulang terlambat, Bluke Kecil. Nanti kamu saya antar pulang. Saya ingin ketemu ibu kamu.”
”Maaf, Bapak Guru, ayah saya masih ada.”
”Kalau begitu, ibu kamu sudah tidak ada.”
”Maaf, Bapak Guru, ibu saya masih ada.”
”Ah, mosok begitu? Kamu pasti punya ibu tapi ayah kamu sudah tidak ada.”
Bluke Kecil diam sebentar, kemudian, dengan malu-malu mengeluarkan sebuah potret dari tasnya. Potret itu diambil ketika ayah dan ibunya bersikap ramah, mengajak Bluke Kecil berjalan-jalan, masuk toko, mengunjungi rumah makan, lalu menonton sirkus. Bluke Kecil sadar, dengan menyimpan potret itu, sebenarnya dia sangat mencintai ayah dan ibunya.
”Maaf, Bluke Kecil, saya kira kamu sudah tidak punya ayah. Begini, Bluke Kecil, saya sudah tidak punya istri. Tuhan Mahabesar. Arwah istri saya, dengan perkenan Tuhan Mahabesar, sekarang sudah berada di surga. Tadi malam saya didatangi arwah istri saya bukan dalam mimpi, namun ketika saya sedang makan. Istri saya minta maaf tidak bisa menemani. Sebelum pergi, istri saya, maksud saya arwah istri saya, minta saya mencari istri baru.”
”Maksud Bapak Guru, Bapak Guru mau mengambil ibu saya menjadi istri Bapak Guru?”
”Ah, itu tidak penting, Bluke Kecil. Yang penting ternyata kamu masih mempunyai ayah.”
Setelah berhenti sebentar, Bapak Guru berkata: ”Begini, Bluke Kecil, katakan kepada ibu kamu, kalau ayah kamu sudah tidak ada, Bapak Guru mau. Bapak Guru setia menunggu.”
”Kalau ayah saya tetap ada, Bapak Guru?”
”Makanya katakan, Bapak Guru mau, Bapak Guru setia menunggu.”
Setelah diam sebentar, Bapak Guru menyambung: ”Apa pekerjaan ayah kamu, Bluke Kecil?”
”Penjinak binatang buas.”
”Itu mungkin agak penting, Bluke Kecil. Sejarah menunjukkan, hampir semua penjinak binatang buas akhirnya diterkam binatang buas.”
”Andaikata ayah saya pilot, Bapak Guru?”
”Pesawat terbang kan bisa jatuh.”
”Andaikata ayah saya kapten kapal, Bapak Guru?”
”Kapal pun pada suatu saat bisa tenggelam.”
”Andaikata ayah saya pegawai kantor pos, Bapak Guru?”
”Pegawai kantor pos kan bisa saja ketabrak mobil.”
”Mengapa Bapak Guru kurang ajar?”
”Hus! Jangan begitu, Bluke Kecil. Kamu kan mengandai-andai. Makanya saya juga mengandai-andai.”
”Tapi ayah saya benar-benar penjinak binatang buas, Bapak Guru.”
”Itu kenyataan, Bluke Kecil. Namun kenyataan pun tidak lepas dari pengandaian. Ingatlah pepatah ‘’senjata makan tuan”. Itu pengandaian, bukan?”
Bluke Kecil dan Bapak Guru saling berpandangan.
”Begini saja, Bluke Kecil. Kamu akan saya ajak nonton teater. Bukan hanya sekali tempo, namun sering. Dengan nonton teater kita dapat melihat cerita-cerita bagus. Kita melihat Van Couver, Shanghai, Sidney, Surabaya, Kopenhagen, Berlin. Semua ada di teater.”
Bluke Kecil berpikir: ”Ini dia, manusia gagal!”
”Bagaimana, Bluke Kecil? Bilang pada ibu kamu, ya, Bapak Guru mau. Bapak Guru setia menunggu.”
Bluke kecil dan Bapak Guru saling berpandangan. ***
———–
*) Novelis, cerpenis, dan guru besar Universitas Negeri Surabaya. Olenka merupakan salah satu karya fenomenalnya.
Minggu, 02 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar