Minggu, 02 Mei 2010

Bluke Kecil

Budi Darma*
http://www.jawapos.com/

ORANG tua Bluke Kecil tinggal di ruang bawah ta­nah se­buah gedung besar. Sewa ruang bawah tanah memang sa­ngat murah, dan orang tua Bluke tidak mungkin tinggal di ruang lain yang lebih mahal. Tentu saja, ruang bawah tanah tidak sehat. Kalau musim panas sinar matahari jarang men­jenguk ruang bawah tanah, dan kalau musim dingin, ruang bawah tanah bukan main dingin. Dan, barang siapa ting­gal di ruang bawah tanah pasti tidak mungkin menengok ke luar dengan bebas, sebab jendelanya sangat sempit, dan un­tuk menjenguk ke luar, mau tidak mau orang itu harus naik ke kursi atau meja. Detik demi detik, dengan sendirinya, ruang bawah tanah pasti mengundang berbagai ma­cam penyakit.

Ayah Bluke Kecil, Stavender namanya, adalah penjinak bi­natang buas Kebun Binatang Skebersky. Setiap hari, bahkan pada hari-hari libur resmi pun, Stavender berangkat ke kebun binatang menjelang jam enam pagi, dan menjelang jam tujuh malam baru sampai rumah kembali. Begitu tiba di rumah dia menyuruh Bluke Kecil mengambilkan bir, minum bir, batuk-batuk sebentar, kemudian tidur. Hanya kadang-kadang dia mengelus-elus kepala Bluke Kecil, dan hanya kadang-kadang dia berbicara kepada Bluke Kecil.

Ibu Bluke Kecil, Greta namanya, adalah sopir taksi. Le­bih kurang satu setengah jam setelah suaminya berangkat ke ke­bun binatang, Greta juga pergi. Berbeda dengan suaminya, dia tidak bisa menentukan jam berapa kira-kira dia akan pu­lang. Kalau penumpang banyak maka dia pulang malam, dan kalau kebetulan taksinya sedang tidak laku dia pulang le­bih awal. Kadang-kadang, pada saat dia pulang dia dapat bertemu dengan suaminya, dan kadang-kadang, dan ini le­bih sering, suaminya sudah tidur dengan dengkur yang me­mekakkan telinga baik istrinya maupun Bluke Kecil.

Sebagaimana suaminya, begitu sampai di rumah Greta pasti berteriak: ”Bluke Kecil, ibu kamu sudah datang! Am­bilkan bir! Apa kerjamu sepanjang hari, Bluke Kecil?”

Setiap hari ibu Bluke Kecil berteriak begitu, dengan nada yang benar-benar sama, tanpa ada perubahan sama sekali. Dan sambil berteriak minta bir, boleh dikatakan hampir se­lamanya ibu Bluke Kecil tidak pernah menengok ke arah Bluke Kecil. Mungkin, pada suatu saat kalau dia pulang dan Bluke Kecil sudah mati, dia tidak akan tahu bahwa Bluke Kecil, anak darah dagingnya sendiri, sudah tidak bernapas. Sebagaimana suaminya, kadang-kadang dia juga mengelus-elus kepala Bluke Kecil.

Setiap kali ayahnya mengelus-elus kepalanya Bluke Kecil se­lalu ketakutan, demikian pula setiap kali ibunya mengelus-elus kepalanya. Sambil mengelus-elus, ayahnya selalu bercerita mengenai binatang-binatang buas dan sekian ba­nyak korban yang sudah diganyang binatang buas, atau pa­ling tidak dilukai oleh binatang buas. Bluke Kecil me­rasa, ayahnya memang sengaja menakut-nakutinya. Dan setiap kali ibunya mengelus-elus kepalanya, ibunya selalu berce­rita mengenai sekian banyak laki-laki yang pernah dipukul dan ditendangnya, dan sekian banyak perempuan yang per­nah dia tempeleng, atau dia jambak rambutnya. Bluke Kecil merasa ibunya, sebagaimana pula ayahnya, sengaja mem­beri kesan bahwa dirinya hanyalah makhluk tidak berharga.

Tubuh ibu Bluke Kecil memang luar-biasa besar, namun luar biasa lincah. Bos taksi tempatnya bekerja menyukai dia karena dia jujur, berani, dan tidak pernah ragu-ragu me­nendang penumpang taksi yang kurang ajar, atau menggebuki teman-teman kerjanya yang bertingkah tidak senonoh. Setelah ibu Bluke Kecil bekerja sekian lama, se­betulnya bosnya ingin dia bekerja di kantor, dan bukan la­gi menjadi sopir, namun dia menolak. Dia bilang bekerja sebagai sopir lebih nyaman, karena dia bisa bergerak ke banyak tempat. Dan kalau ada penumpang minta diantarkan ke luar kota, katanya, rasanya lebih nikmat.

Tanpa disangka-sangka, sekonyong-konyong pada suatu hari ayah dan ibu Bluke Kecil bersikap sangat manis. Mereka mengajak Bluke Kecil berjalan-jalan ke kebun binatang, menonton film anak-anak, mengunjungi sekian banyak toko, kemudian masuk ke restoran. Dan akhirnya mereka menonton sirkus.

Setelah sampai di rumah ayahnya berkata, bahwa mulai bulan depan Bluke Kecil harus masuk sekolah. Ayah dan ibu Bluke Kecil telah memilihkan sekolah yang baik, mahal, dan bersih, meskipun jauh. Karena itu, kata ibunya, ayah dan ibunya akan mendidik dia agar dia siap memasuki dunia yang sesungguhnya.

Selama satu bulan penuh ayah dan ibu Bluke Kecil lebih banyak tinggal di rumah.

”Ayah dan ibu tahu, Bluke Kecil, kadang-kadang kamu ke luar rumah pada waktu ayah dan ibu bekerja.”

Bluke Kecil diam.

”Kamu tahu, Bluke Kecil, ayah dan ibu berkali-kali me­nga­takan kamu tidak boleh ke luar rumah kalau ayah dan ibu sedang bekerja. Kamu melanggar. Dan ayah dan ibu sudah memaafkan kamu.”

Bluke Kecil tetap diam, namun dalam hati berkata: ”Udara ruang bawah tanah tidak sehat. Kalau saya hanya menge­ram di sini terus, pasti saya sudah menjadi mayat.”

”Ayah dan ibu tahu, Bluke Kecil, setiap kamu ke luar sen­dirian, pasti kamu menemui kesulitan. Kamu diejek, dihina, dimintai uang. Kadang-kadang kamu juga ditonjok perut kamu sampai beberapa kali kamu muntah. Dan mes­kipun kamu jarang kapok, kamu sebetulnya takut.”

Bluke Kecil tetap diam.

”Ayah dan ibu tahu, Bluke Kecil, bahwa uang yang dirampas oleh orang-orang jalanan itu jauh lebih besar dari uang sa­ku kamu. Jangan kamu kira bahwa ayah dan ibu tidak tahu dari mana kamu memperoleh uang sebanyak itu. Ayah dan ibu tahu kamu mencuri, mencuri uang ayah dan ibu kamu sendiri, dari situ, laci meja itu, dari situ, almari itu, dan dari situ, kotak di pojok itu. Kamu memang cerdik. Uang yang ayah dan ibu sembunyikan di bawah kasur supa­ya tidak mudah kamu endus ternyata juga kamu curi. Dan ca­ra kamu mencuri juga cerdik. Kamu tidak pernah mencuri da­lam jumlah besar supaya tidak mencolok. Kamu selalu mencuri dalam jumlah kecil-kecilan tapi terus-menerus.”

Ibu Bluke Kecil mengeluarkan catatan, lalu berkata: ”Inilah daftar uang yang kamu curi, Bluke Kecil. Ada tanggal­nya, ada harinya, ada jamnya, ada juga uang dari tempat ma­na yang kamu curi. Semuanya tercatat serbarinci, serbajeli, serbatepat. Kamu jangan menyangkal. Jangan. Namun ketahuilah, Bluke Kecil, ayah dan ibu sudah memaafkan kamu.”

Lalu ayah dan ibu Bluke Kecil memberi tahu cara-cara un­tuk mempertahankan diri manakala dalam perjalanan pergi pulang ke sekolah nanti dia dihina, ditempeleng, dan di­mintai uang oleh berandal-berandal jalanan.

”Jangan takut kepada mereka, Bluke Kecil. Ayah dan ibu ka­mu berusaha keras untuk membuat kamu manusia bermar­tabat, jangan sampai terus-menerus dikalahkan, diinjak-in­jak, dan tidak ada habisnya dianggap sebagai sampah. Ka­mu harus melawan, Bluke Kecil, kalau kamu memang akan diinjak-injak. Namun kamu juga harus ingat, Bluke Ke­cil, kamu tidak boleh menyakiti siapa pun sebelum kamu di­sakiti terlebih dahulu. Lakukanlah tindakan-tindakan baik ke­pada semua orang. Namun kalau semua orang membalas pe­r­lakuan baik kamu dengan penghinaan, lawanlah mereka.”

Ayah dan ibu Bluke Kecil kemudian mencopot semua pa­kaian mereka. Dan baru kali itulah Bluke Kecil melihat ayah dan ibunya telanjang. Bagi Bluke Kecil, dalam keadaan te­lanjang ayah dan ibunya tidak tampak sebagai manusia, ta­pi sebagai sepasang binatang purba yang amat janggal dan juga amat lucu.

Bluke Kecil yakin, ayah dan ibunya pasti tidak tahu bah­wa sebagian uang curian yang dicatat oleh ayah dan ibunya de­ngan rapi itu sebetulnya dia pergunakan untuk menyewa komik di kios tidak jauh dari jembatan. Hampir setiap hari Bluke Kecil pergi ke kios itu, membaca beberapa komik, lalu membayar sewanya, lalu pergi ke beberapa tempat lain se­belum akhirnya pulang.

Dari komik-komik itulah Bluke Kecil belajar membaca sen­diri, dan akhirnya juga belajar menulis sendiri. Dan ini­lah yang tidak diketahui oleh ayah dan ibu Bluke Kecil. Dan inilah salah satu sebab yang mendorong keyakinan Bluke Kecil bahwa mencuri tidak selamanya jahat.

”Sekarang, Bluke Kecil, copotlah semua pakaian kamu.”

Bluke Kecil terpaksa ikut telanjang. Dalam hati Bluke Ke­cil ada perasaan ngeri. Seolah-olah dia ikut-ikutan tidak men­jadi manusia, namun menjadi binatang purba. Dan bukan hanya itu. Seolah-olah dia tidak mempunyai benteng per­tahanan apa pun. Segala sesuatu dalam perasaan dan pikirannya seolah-olah bisa dibaca bukan hanya oleh ayah dan ibunya, namun juga oleh semua seluruh dunia.

”Lihatlah ibu kamu, Bluke Kecil,” kata ayah Bluke Kecil.

Dengan gerak tenang, gemulai, dan meyakinkan, tangan ibu Bluke Kecil menapak lantai, kemudian seluruh berat tu­buhnya disangga oleh kekuatan sepasang telapak tangannya. Lalu tubuhnya turun, ganti kepalanya yang menyangga berat tubuh, lalu dalam keadaan kakinya di atas dan ke­palanya di bawah, ibu Bluke Kecil bersedekap. Ibu Bluke Kecil bernapas dengan tenang, kemudian tidur dalam ke­adaan tetap berdiri di atas kepala. Selang lebih kurang se­puluh menit ibu Bluke Kecil melakukan gerakan-gerakan lain, dan ayah Bluke Kecil bertindak sebagai pelatih.

Melalui latihan keras dan melelahkan, dalam waktu sepuluh hari Bluke Kecil sudah sanggup menirukan gerakan-ge­rakan dasar ayah dan ibunya. Karena Bluke Kecil dapat be­lajar dengan cepat, ayah dan ibunya menyatakan perasaan bang­ga mempunyai anak Bluke Kecil.

Dalam latihan-latihan itu perlahan-lahan Bluke Kecil me­nyadari bahwa sebetulnya ayah, ibu, dan anak saling mencin­tai. Ada ikatan batin yang sangat kuat di antara mereka. Kendati sampai saat itu Bluke Kecil masih merasa ada tembok-tembok kuat yang memisahkan ayah, ibu, dan dirinya, Bluke Kecil merasa bahwa tembok-tembok kuat itu justru penting untuk mempersatukan kasih sayang mereka.

Selama beberapa kali diajak ke kebun binatang dan perusahaan tempat ibunya bekerja Bluke Kecil benar-benar merasakan bahwa ayah dan ibunya sangat dihormati di tempat kerjanya masing-masing. Bukan hanya pegawai biasa yang menghormati ayah dan ibunya, namun juga atasan-atasan mereka. Rasa hormat itu sama sekali tidak dibuat-buat, namun benar-benar tulus.

Diam-diam Bluke Kecil merasa ayah dan ibunya menuntut agar dia nanti di sekolah juga dihormati, bukan hanya oleh teman-temannya, tapi juga oleh guru-gurunya. Ayah dan ibunya tidak menghendaki Bluke Kecil gagal. Kelak, ketika Bluke Kecil sudah tidak kecil lagi, ayah dan ibunya ingin agar dia menjadi manusia yang mempunyai harkat, derajat, dan martabat tinggi.

Bahwa ayah dan ibunya merasa gagal Bluke Kecil tahu de­ngan pasti setelah pada suatu malam ayah dan ibunya membuka beberapa peta dunia di meja makan. Bluke Kecil tahu betul bahwa ayah dan ibunya telah menyimpan peta-peta itu di tempat tersembunyi, mungkin dengan harapan Bluke Kecil tidak akan menemukannya dan membuka-bukanya. Namun, sebetulnya, sudah lama diam-diam Bluke Kecil membuka-buka peta-peta itu dan merenungkan apa gerangan makna masing-masing tanda pada peta-peta itu.

Bukan hanya itu. Bluke Kecil sudah lama menyembunyikan radio kecil dengan gelombang panjang dan gelombang pendek, radio yang ditemukannya secara tidak sengaja di tong sampah kira-kira satu kilo dari tempat tinggalnya. Pada waktu Bluke Kecil menemukannya, radio kecil itu dalam keadaan rusak. Dengan tekun Bluke Kecil mengotak-atik radio itu, sampai akhirnya radio itu bisa mengeluarkan suara-suara gembret. Setelah mencuri uang ibunya Bluke Kecil lari ke kedai kelontong, membeli dua baterai kecil, dan keluarlah suara-suara nyaring dari radio kecil itu.

Mulai dari saat itulah Bluke Kecil mempunyai kegemaran yang amat menyenangkan, yaitu mendengarkan siaran-siaran dari luar negeri melalui gelombang pendek. Maka, ke­tika ayah dan ibunya membuka peta-peta dunia di meja makan tahulah Bluke Kecil makna tanda-tanda pada peta-pe­ta itu. Bluke Kecil tahu bahwa dunia dibagi dalam lima be­nua, tahu di mana letak negara-negara besar, dan tahu di mana letak negara di mana dia tinggal dan di kota mana dia ting­gal. Mencuri uang orang tuanya, dengan demikian, bagi Bluke Kecil bukanlah dosa, karena uang itu untuk belajar membaca dan menulis, dan juga untuk membeli ba­terai, dan dengan baterai itu Bluke Kecil bisa membayangkan bagaimana dunia ini sebenarnya. Bukan hanya itu. Bluke Kecil juga bisa mendengar beberapa bahasa dari negara-negara lain di lima benua, dan Bluke Kecil juga bi­sa menirukan berbagai bahasa itu.

Bluke Kecil tahu, ayah dan ibunya mempunyai keinginan be­sar untuk menjadi pengelana dunia bukan dengan jalan menjadi pegawai perusahaan penerbangan atau pelayaran, dan karena itu bisa ikut terbang dan berlayar, namun sebagai orang-orang terhormat dan terkemuka. Sekali lagi, Bluke Ke­cil tahu. Dan kelak, ketika Bluke Kecil sudah tidak kecil la­gi, tahu bahwa seseorang yang terhormat dan terkemuka pasti diundang ke mana-mana bukan sebagai pegawai, na­mun sebagai pribadi yang kuat. Karena itu, ayah dan ibu Bluke Kecil juga tidak mau menjadi pengelana dunia sebagai pemain sirkus.

Kalau mau, pasti ayah dan ibu Bluke Kecil bisa menjadi pe­main sirkus yang bukan sembarangan. Ingatlah, ayah Bluke Kecil adalah penjinak binatang buas yang amat dihor­mati, dan sebagaimana ibu Bluke Kecil, tubuh ayah Bluke Kecil juga lentur. Dan Bluke Kecil juga tahu, ayah dan ibu­nya bukanlah orang-orang bodoh.

Dalam keadaan pura-pura sudah tidur Bluke Kecil pernah me­nyaksikan sendiri, ayah dan ibunya dalam keadaan sama-sama telanjang memelajari titik-titik kuat dan titik-titik le­mah tubuh manusia. Ketika kepala ayah Bluke Kecil dihan­tam sebilah kayu panjang oleh ibu Bluke Kecil, ayahnya tidak merasa apa-apa. Namun begitu tangan ibu Bluke Ke­cil menyentuh satu titik tepat di atas pusar, ayah Bluke Kecil menjerit-jerit sambil berjingkrak-jingkrak kesakitan. Lalu, dalam keadaan pura-pura sudah tidur pula, Bluke Kecil pernah menyaksikan ayah dan ibunya, dalam keadaan telan­jang pula, menari-nari dengan sangat indah. Dan Bluke Kecil tahu, barang siapa ingin menjadi pemain sirkus harus pandai menari.

Demikianlah, Bluke Kecil dalam keadaan pura-pura sudah tidur sering menyaksikan ayah dan ibunya dalam keadaan te­lanjang melakukan gerak-gerik yang benar-benar ajaib, kadang-kadang tidak masuk akal, dan kadang-kadang mengerikan juga. Pernah, misalnya, dengan mempergunakan pedang sewaan, ayah dan ibu Bluke belajar bertempur, saling menyerang, dan saling ingin merobohkan.

Bluke Kecil betul-betul tahu bahwa ayah dan ibunya tahu bahwa Bluke Kecil pura-pura sudah tidur namun sebetulnya ma­sih terjaga. Karena itulah, pada suatu malam, sehabis saling menyerang dengan pedang sewaan, ayah Bluke Ke­cil berkata kepada ibu Bluke Kecil: ”Itu, lho, anak kamu pu­ra-pura tidur.”

Ibu Bluke Kecil menjawab: ”Tinggalkan tempat tidur, Bluke Kecil, lalu, cepat-cepatlah lepas seluruh pakaian kamu.”

Dan setelah Bluke Kecil bangkit dari tempat tidur, ibunya lang­sung menyodorkan sebilah pedang: ”Seranglah saya, Bluke Kecil.”

Bluke Kecil pun bangkit, lalu menyerang ibunya dengan be­berapa ayunan pedang, tapi selalu luput.

”Sekarang seranglah ayah kamu, Bluke Kecil.”

Dan Bluke Kecil pun menyerang ayahnya dengan berbagai ayunan pedang. Tahulah Bluke Kecil, cara ibunya dan ayah­nya menghindar dari serangan ayunan-ayunan pedang bukanlah dengan gerak biasa, namun gerak tari yang amat indah.

Waktu satu bulan sudah habis, dan tibalah saatnya bagi Bluke Kecil untuk sekolah.

”Kamu Bluke Kecil, bukan?” tanya guru ketika kelas per­tama pada hari pertama baru saja dimulai. ”Ayah dan ibu kamu sudah beberapa kali datang ke sini. Mereka minta izin untuk menyuruh kamu sekolah tiga tahun terlambat. Boleh-boleh saja. Undang-undang negara kita tidak memba­tasi umur mulai sekolah, asal semua anak akhirnya lulus SD, SMP, dan SMA.”

Bluke Kecil mengangguk-angguk.

”Apa kerja kamu selama tiga tahun, Bluke Kecil? Menja­di pengantar koran? Atau pengantar susu? Undang-undang ne­gara kita tidak melarang anak-anak bekerja, jadi kamu ker­ja ini atau kerja itu juga tidak apa-apa.”

Bluke Kecil diam, sementara anak-anak lain heran, menga­pa ada anak setua itu baru mulai sekolah, dan mengapa pula ada anak sebesar itu dipanggil ”Bluke Kecil”, bukan ”Bluke Besar”, ”Bluke Tua” atau semacam itu. Anak-anak lain keder, karena mereka tahu, anak sebesar ini atau setua ini pasti jauh lebih pandai daripada mereka.

Memang, ternyata benar, Bluke Kecil amat pandai. Bluke Kecil tahu banyak mengenai makna angka dan huruf, ilmu bu­mi, kata-kata asing, dan sekian banyak hal yang pernah di­bacanya dari komik dan didengarnya dari siaran-siaran radio luar negeri, dan juga dari bisik-bisik ayah dan ibunya ketika mereka memperbincangkan dengan nada malu-malu mengenai negeri-negeri jauh. Maka, pada saat guru menga­jar Bluke Kecil sering ngalamun.

Bluke Kecil sadar bahwa dirinya asing dengan siapa pun. Ayah dan ibunya tetap berlagak sama seperti dulu, yaitu, ”Bluke Kecil, ambilkan bir”, ”Bluke Kecil, bikinkan kopi”, ”Bluke Kecil, untuk apa kamu mencuri uang lagi?” dan di sekolah dirinya juga asing dengan teman-temannya, asing pula dengan guru-gurunya. Anak-anak di sekitar tempat tinggalnya, seperti yang pernah dikatakan ibunya, mendekati dirinya hanya untuk minta uang, dan kalau tidak diberi uang mereka menempelengi dia. Bedanya, dulu Bluke Ke­cil ditempelengi dan lari atau menyerah dan memberi uang, dan sekarang Bluke Kecil melawan dan ditakuti. Pelajaran-pe­lajaran dari ayah dan ibunya telah membentuk Bluke Ke­cil sebagai anak pemberani, akan diam kalau tidak diapa-apa­kan, dan akan menghajar tanpa ampun apabila disakiti.

Semua guru juga sadar, Bluke Kecil asing dengan diri me­reka. Guru-guru tidak tahu bagaimana caranya mengha­dapi Bluke Kecil, karena tingkah Bluke Kecil sering menim­bulkan tanda tanya. Sering, misalnya, Bluke Kecil tertidur pu­las pada waktu guru sedang mengajar, dan karena ayah Bluke Kecil selalu mendengkur keras pada waktu tidur, Bluke Kecil pun sering mendengkur keras pada waktu gu­ru mengajar.

Namun, kendati Bluke Kecil sering tertidur dengan dengkur yang amat meresahkan, ternyata Bluke Kecil sanggup me­nyimak kata demi kata semua gurunya. Pada suatu hari, mi­salnya, guru ilmu bumi dengan penuh wibawa mengatakan, ibu kota Nepal adalah Sikkim. Langsung, dalam ke­adaan matanya masih menutup berat, Bluke Kecil menga­cung­kan tangan, sambil berkata: ”Kalau petanya kecil, me­mang tampaknya Sikkim menempel di Nepal. Karena itu, biasalah manakala orang-orang menganggap Sikkim ibu kota Nepal. Namun, Sikkim itu negara tetangga Nepal. Ibu kota Nepal tentu saja Katmandu, dan semua orang seha­rusnya sudah tahu. Hah, hah, hah …”

Akhirnya, semua guru berusaha untuk senang kepada Bluke Kecil, tapi semua guru tetap tidak senang kepada Bluke Kecil. Dan semua guru juga sadar, mereka hanyalah makhluk-makhluk bodoh, tidak tahu bagaimana harus mengajar karena otak mereka kosong, dan tidak tahu bagai­mana berkata-kata dengan meyakinkan di hadapan semua mu­rid, karena Bluke Kecil pasti tahu, apa yang mereka ka­takan mungkin keliru.

Akhirnya Bluke Kecil juga sadar, ayahnya menjadi penji­nak binatang buas bukan sekadar mengikuti darah nenek-mo­yangnya yang memang sejak dahulu menjadi penjinak bi­natang buas, namun karena, dan inilah yang penting, ayahnya melarikan diri dari kegagalan. Bluke Kecil dapat me­nebak, ketika me­ngelus-elus zripanzea ayahnya merasa se­dang berada di Ar­gentina karena asal-usul binatang buas zripanzea adalah Ar­gentina, pada waktu menimang-nimang bayi lodvivalia ma­malia layaknya ayahnya sedang berada di Uganda, dan pa­da waktu memandikan norgazus psinomalia ayahnya me­rasa seakan-akan berada di Babilon zaman da­hulu kala, karena dari situlah asal-usul binatang buas yang se­dang dia mandikan.

Bluke Kecil juga menduga, ibunya menjadi sopir taksi, pa­dahal kalau mau pasti mendapat pekerjaan lain dengan ga­ji lebih baik, karena ibunya, seperti juga ayahnya, adalah makhluk yang gagal. Dengan mengendarai mobil ke mana-mana, meskipun jarang ke luar kota, ibunya membayangkan sedang bepergian ke ujung-ujung lain dunia. Ibunya juga sering mengajak penumpang-penumpangnya untuk berputar-putar menempuh jarak yang lebih jauh sambil mengobrol macam-macam tanpa meminta bayaran tambahan, tidak lain karena, inilah dugaan Bluke Kecil, ibunya membayangkan sedang berkeliling dunia dan mengobrol dengan orang-orang dari negeri antah-berantah yang amat jauh.

Dugaan Bluke Kecil mungkin benar: ibunya sering mendapat tip berupa uang asing, kaos oblong dengan gambar dan kata-kata negeri asing, rokok merek luar negeri, gantungan ku­n­ci dari berbagai negara, dan entah apa lagi. Semua barang asing itu sering ditimang-timang ibunya, dan mungkin karena itu pulalah, ibunya tidak pernah memperhatikan Bluke Kecil dengan sungguh-sungguh.

Tanpa diduga-duga, pada suatu hari setelah sekolah usai, seorang guru baru pindahan dari kota lain menahan Bluke Kecil.

”He, Bluke Kecil, boleh kan sekali tempo saya main-main ke rumah kamu?”

Mata Bluke Kecil mendelong.

”Begini, Bluke Kecil. Kamu sekolah terlambat tiga tahun. Lalu kamu sering ngalamun. Sering pula tidur. Ternyata ka­mu pandai. Inilah ciri-ciri anak melarat. Bukan anak me­larat biasa, tapi anak melarat yang sudah tidak mempunyai ayah. Ibu kamu pasti perempuan hebat.”

Tanpa tahu sebabnya, Bluke Kecil menurut ketika Bapak Guru mengajak ke rumah makan.

”Jangan khawatir pulang terlambat, Bluke Kecil. Nanti ka­mu saya antar pulang. Saya ingin ketemu ibu kamu.”

”Maaf, Bapak Guru, ayah saya masih ada.”

”Kalau begitu, ibu kamu sudah tidak ada.”

”Maaf, Bapak Guru, ibu saya masih ada.”

”Ah, mosok begitu? Kamu pasti punya ibu tapi ayah kamu su­dah tidak ada.”

Bluke Kecil diam sebentar, kemudian, dengan malu-malu mengeluarkan sebuah potret dari tasnya. Potret itu diambil ketika ayah dan ibunya bersikap ramah, mengajak Bluke Ke­cil berjalan-jalan, masuk toko, mengunjungi rumah ma­kan, lalu menonton sirkus. Bluke Kecil sadar, dengan menyimpan potret itu, sebenarnya dia sangat mencintai ayah dan ibunya.

”Maaf, Bluke Kecil, saya kira kamu sudah tidak punya ayah. Begini, Bluke Kecil, saya sudah tidak punya istri. Tu­han Mahabesar. Arwah istri saya, dengan perkenan Tuhan Mahabesar, sekarang sudah berada di surga. Tadi malam saya didatangi arwah istri saya bukan dalam mimpi, namun ke­tika saya sedang makan. Istri saya minta maaf tidak bisa menemani. Sebelum pergi, istri saya, maksud saya arwah istri saya, minta saya mencari istri baru.”

”Maksud Bapak Guru, Bapak Guru mau mengambil ibu sa­ya menjadi istri Bapak Guru?”

”Ah, itu tidak penting, Bluke Kecil. Yang penting ternyata kamu masih mempunyai ayah.”

Setelah berhenti sebentar, Bapak Guru berkata: ”Begini, Bluke Kecil, katakan kepada ibu kamu, kalau ayah kamu su­dah tidak ada, Bapak Guru mau. Bapak Guru setia menunggu.”

”Kalau ayah saya tetap ada, Bapak Guru?”

”Makanya katakan, Bapak Guru mau, Bapak Guru setia me­nunggu.”

Setelah diam sebentar, Bapak Guru menyambung: ”Apa pekerjaan ayah kamu, Bluke Kecil?”

”Penjinak binatang buas.”

”Itu mungkin agak penting, Bluke Kecil. Sejarah me­nunjuk­kan, hampir semua penjinak binatang buas akhirnya di­terkam binatang buas.”

”Andaikata ayah saya pilot, Bapak Guru?”

”Pesawat terbang kan bisa jatuh.”

”Andaikata ayah saya kapten kapal, Bapak Guru?”

”Kapal pun pada suatu saat bisa tenggelam.”

”Andaikata ayah saya pegawai kantor pos, Bapak Guru?”

”Pegawai kantor pos kan bisa saja ketabrak mobil.”

”Mengapa Bapak Guru kurang ajar?”

”Hus! Jangan begitu, Bluke Kecil. Kamu kan mengandai-an­dai. Makanya saya juga mengandai-andai.”

”Tapi ayah saya benar-benar penjinak binatang buas, Ba­pak Guru.”

”Itu kenyataan, Bluke Kecil. Namun kenyataan pun tidak le­pas dari pengandaian. Ingatlah pepatah ‘’senjata makan tuan”. Itu pengandaian, bukan?”

Bluke Kecil dan Bapak Guru saling berpandangan.

”Begini saja, Bluke Kecil. Kamu akan saya ajak nonton teater. Bukan hanya sekali tempo, namun sering. Dengan non­ton teater kita dapat melihat cerita-cerita bagus. Kita melihat Van Couver, Shanghai, Sidney, Surabaya, Kopenha­gen, Berlin. Semua ada di teater.”

Bluke Kecil berpikir: ”Ini dia, manusia gagal!”

”Bagaimana, Bluke Kecil? Bilang pada ibu kamu, ya, Bapak Guru mau. Bapak Guru setia menunggu.”

Bluke kecil dan Bapak Guru saling berpandangan. ***
———–
*) Novelis, cerpenis, dan guru besar Universitas Negeri Surabaya. Olenka merupakan salah satu karya fenomenalnya.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito