Jumat, 12 Maret 2010

HANTU JIWA IMAN BUDHI SANTOSA

Imamuddin SA *
 
Iman Budhi Santosa lahir di Magetan, 28 Maret 1948. pendidikan formalnya: S. Pb. M. A. 4 th Yogyakarta (1968) dan Akademi Farming (1983). Ia pernah bekerja pada perkebunan teh di Kendal (1971-1975) dam Disbun Prop. Dati I Jateng (1975-1987). Pada tahun 1969 bersama Umbu Landu Paringgi Cs mendirikan Persada Studi Klub (PSK) komunitas penyair muda di Malioboro. Ia menulis sastra dalam dwi bahasa, yaitu Indonesia dan Jawa. Karya-karyanya kerap mengisi antologi-antologi puisi maupun cerpen di antaranya: antologi puisi Tugi (1986), Tonggak 3 (1987), Zamrud Katulistiwa (1997), Embun Tajalli (2000) dan lain-lain. Cerpenya dalam antologi Lukisan Matahari (1993), Liong Tembang Prapatan (2000), dan lain-lain. Sejak tahun 2004 ia menjadi anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta (DKKY) seksi bahasa dan sastra Jawa.
 
Setiap ujaran bahasa merupakan tanda dari objek yang ditandainya. Tanda-tanda tersebut pada dasarnya memiliki makna, baik hanya sebatas ikon maupun indeks, bahkan bisa jadi itu merupakan simbol. Makna yang dihasilkan ikon biasanya hanya bersifat tersurat, sedangkan makna yang ditimbulkan indeks dan simbol itu bersifat tersirat. Indeks dan simbol maknanya bersifat konotatif.
 
Puisi Iman Budhi Santosa yang berjudul Potretmu, Potretku, Potret Kita Nanti. mengandung makna yang begitu dalam akan realitas kehidupan yang dijalani oleh setiap manusia. Penyair seolah memberikan gambaran dan alarem kepada setiap manusia akan perjalanan hidupnya. Ia memperingatkan bahwa yang mesti ditakuti oleh setiap orang dalam hidupnya bukanlah kematian, melainkan masa tua. Ituah hantu jiwa yang eksistensinya perlu diwaspadai oleh setiap orang.
 
Sungguh bukan maut yang menakutkan // tapi tua terpuruk sendirian (Dunia Semata Wayang, bait 1, hal 34)
 
Kata terpuruk dalam baris kedua puisi di atas menggabarkan bagaimana suatu kondisi seseorang yang berada dalam kesusahpayahan. Kata itu memiliki konotasi makna yang lebih kuat dan mendalam akan gambaran pribadi seseorang yang begitu menyedihkan dan begitu payah. Kata terpuruk tersebut dapat merujuk pada derajat dan martabat. Seseorang hargadirinya digambarkan telah hilang. Ia berada dalam kehinaan.
 
Masa itu sebagaimana gambaran penyair, terjadi saat diri telah renta dan sudah tidak ada lagi orang yang berkenan menemani. Sanak, saudara, teman, bahkan keluarga sudah tidak ada di sisi lagi. Hal itu belum cukup, yang lebih tragis lagi adalah saat tubuh dalam keadaan sakit. Tubuh sudah tidak berdaya dan telah diserang benih-benih penyakit. Saat-saat itulah yang sungguh memrihatinkan bagi setiap orang. Itulah potret manusia ke depan yang harus diwaspadai keberadaannya
 
Dimakan batuk dan kembali ingusan // dijaga tongkat, sapu pengusir lalat // menunggu suapan sanak kerabat (Dunia Semata Wayang, bait 1, hal 34)
 
Ini adalah gambaran realitas yang terjadi di masa tua. Penyair begitu jeli dalam mengungkapkannya. Penyakit yang kerap menghinggapi usia-usia lanjut adalah penyakit batuk dan flu. Lebih dari itu, kata kembali ingusan bahkan tidak sekedar menyaran pada penyakit flu. Kata itu dapat menjadi simbol bagi keadaan saat masa kanak-kanak, di mana mereka kerap ingusan meski tidak terkena flu. Kata tersebut memiliki makna konotasi bahwa seseorang yang telah lanjut usia itu pola pikir dan perilakunya seolah-olah kembali pada masa kanak-kanaknya. Ia menjadi bersikap lebih manja dan ingin perhatian yang lebih dari kerabat dan keluarganya. Tapi bagaimana jika realitas berbicara lain, ketika lanjut usia seseorang tidak ada yang memberi perhatian dan kasih sayang yang lebih kepadanya? Ia tidak ada lagi yang memenuhi kebutuhannya, baik makan, minum, maupun yang lain. Sungguh, betapa terpuruknya ia.
 
Keadaan itu belum melihat dari sisi fisiknya. Di usia tua, tenaga dan kekuatan seseorang telah menurun derastis. Jangankan untuk mengangkat beban, berdiri tegak saja sudah tidak mampu. Ia harus ditopang dengan tongkat penyangga. Kondisi semacam inilah, bagi masyarakat jawa kerap memberi julukan kepada mereka sebagai sapu gerang (sapu pengusir lalat). Sapu yang sudah tidak dapat difungsikan lagi untuk membersihkan tumpukan sampah. Itulah simbol dalam kehidupan masyarakat bagi mereka yang tengah measuk pada kriteria lanjut usia. Ia sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi tenaganya. Yang dapat dilakukanya hanyalah sebatas mengusur lalat saja.
 
Biasanya, ketika sanak-saudara dan keluarga sudah tidak ada di sisi dan tidak mendampingi mereka yang tengah lanjut usia, harapan satu-satunya hanyalah kerabat dan teman sejawat. Tidak adanya keluarga dan famili yang menemani mereka, kemungkinan disebabkan faktor-faktor tertentu, seperti meninggal dunia dan berada di tempat jauh. Itu biasanya yang kerap terjadi.
 
Puisi ini juga mengandung isyarah pengingat untuk mereka yang berada di kejauhan yang sekian lama tengah meninggalkan keluarganya. Apalagi keluarga yang telah lanjut usia, misalkan; orang tua, kakek, nenek, dan lain-lain. Alangkah mulianya mereka yang berkenan mengikat kembali tali silaturrahmi keluarga. Membawa mereka yang tengah lanjut usia keluar dari kesendirian dan keterpurukan usia.
 
Selai itu, puisi tersebut memberi isyarat bagi para lanjut usia, jika terjadi demikian, janganlah berharap sesuatu yang lebih akan kehadiran teman sejawat. Bisa jadi mereka telah wafat terlebih dahulu. Biasanya saat-saat semacam itu, mereka kerap mengenang masa lalu yang indah yang tengah dilewati bersama, entah dengan sanak,-saudara, kerabat, keluarga, maupun teman-teman sejawat. Kini kenagan hanya tinggal kenangan yang tidak mungking diulang kembali di masa depan. Oleh sebab itu, untuk menghadapi kondisi semacam itu, seseorang tidak perlu memberikan harapan kebahagiaan yang berlebihan. Apalagi sampai membongkar kembali kenangan indah masa lalunya. Yang mereka butuhkan hanya satu, yaitu pendekatan diri kepada tuhan. Ajaklah mereka untuk banyak mengingat Tuhan, sebab tujuan mereka yang lanjut usia hanya satu, yaitu menjemput kematian yang ada di depan mata dan hanya tinggal sejengkal saja.
 
Jangan bertanya teman sejawat kemana // sebab lama telah mendahului
Jangan menyapa dengan salam bahagia // karena cita-citanya satu semata. Mati! (Dunia Semata Wayang, bait 2 dan 3, hal 34).
 
Kata mendahului maknanya berkonotasi pada kata mati. Orientasinya adalah keadaan jiwa yang telah kembali pada pemiliknya, yaitu Tuhan. Teman sejawat di sini digambarkan telah terlebih dahulu kembali pada alam keabadian. Ia telah masuk pada alam kehidupan setelah kematian untuk mempertanggungjawabkan diri di hadapan Tuhan atas segala perbuatan yang telah dilakukan. Jadi, keberadaan teman sejawat tidak perlu diharapkan lagi. Kondisinya pun pasti sama sebab keterkaitan usia, bahkan bisa jadi ia telah wafat terlebih dahulu.
 
Fenomena yang tidak dapat dipungkiri dalam realitas kehidupan manusia adalah adanya harapan dalam pribadinya. Ini dimulai dari masa kanak-kanak bahkan jika seorang bayi telah diketahui kehendaknya, ia pasti memiliki kehendak yang sama, yaitu ingin lekas besar dan bercinta. Kehendak inilah yang menyugesti seorang anak untuk selalu mengejarnya. Pada dasarnya mereka selalu dibayang-bayangi dengan fantasi yang indah dan membahagiakan saat beranjak besar, dewasa, dan bertaut dengan cinta. Mereka akan terobsesi dengan kegagahan, ketampanan dan kecantikan atas diri sendiri, sehingga mereka dengan mudah menggaet hati lawan jenisnya untuk masuk dalam dunia percintaan. Dunia yang secara imajinatif digambarkan sebagai dunia yang selalu diselimuti dengan keindahan dan kebahagiaan oleh para remaja.
 
Besar dan bercinta, dulu // anak suka mengejar dan mengecapnya (Dunia Semata Wayang, bait 4, hal 34).
 
Itulah fenomena yang terjadi dalam perkembangan fase seorang anak hingga usia remaja. Apa yang terjadi saat fase tersebut telah terlewati dan mereka telah masuk pada dunia setenga baya? Orientasi kehidupan mereka telah burubah lagi. Dulu yang selalu mendambakan dan mengejar-ngejar cinta kini telah beralih pada pekerjaan. Mereka berfokus pada dunia kerja dan bagaimana cara mempertahankan hidupnya serta keluarganya. Fokusnya adalah mencari nafkah bagi keluarganya, mencukupi kehidupan sehar-hari, dan membesarkan keturunannya.
 
Berbeda lagi saat menjelang usia lanjut melingkupi kehidupanya. Mereka dengan sendirinya akan terbersit benih-benih ketakutan dalam hatinya. Mereka takut akan kecantikan dan ketampanannya memudar. Kulit menjadi keriput. Tulang-tulang renta tak berdaya. Ingatan mulai melemah. Potret semacam inilah yang mesti diwaspadai dalam kehidupan mendatang bagi setiap orang. Apalagi kerabat dan keluarga tiada lagi menjadi pendamping yang setia.
 
Begitu senja merebut, takut // cantik tampan tercerabut // badan jiwa lelah menuntut bicara (Dunia Semata Wayang, bait 4, hal 34).
 
Ungkapan yang menyimbolkan usia tua atau lanjut terdapat pada kata senja. Kata ini menunjukan keberadaan hari yang hedak berganti; siang menjadi malam. Ini berkonotasi pada pergantian hidup di dunia menuju kehidupan akhirat sudah semakin dekat. Kehidupan seseorang telah dekat dengan kematian dan akan menuju kehidupannya yang baru. Keadaan semacam itu hanya tinggal menunggu waktu saja. Kematian akan segera tiba, namun masih menjadi misteri kedatangannya. Ingin rasanya untuk mengakhiri hidup, tapi tidak menemukan jalan kematian yang wajar dan diridhai Tuhan
 
ingin pamit justru lupa alasannya (Dunia Semata Wayang, bait 4, hal 34)
 
_____________________

*) Imamuddin SA, lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim. 13 Maret 1986, nama aslinya Imam Syaiful Aziz. Aktif mengikuti diskusi di Forum Sastra Lamongan [FSL], Candrakirana Kostela, Sanggar Seni Simurg. Sempat sebagai sekretaris redaksi pada Jurnal Sastra Timur Jauh, serta Jurnal Kebudayaan The Sandour. Karya-karyanya terpublikasi di Majalah Gelanggang, Gerbang Masa, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, dll. Karyanya terantologi di Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Khianat Waktu, dan Memori Biru. Antologi tunggalnya: Esensi Bayang-Bayang (PUstaka puJAngga), Sembah Rindu Sang Kekasih (PUstaka puJAngga). http://sastra-indonesia.com/2010/03/hantu-jiwa-iman-budhi-santosa/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito