Ribut Wijoto
http://www.sastra-indonesia.com/
Dalam rentang sepuluh tahun terakhir, telah terjadi krisis kepenyairan di tanah air kita. Banyak sekali bentuk-bentuk puisi yang sebelumnya pernah berkembang, kini, mengalami kemacetan. Padahal bila dikembangkan, bentuk-bentuk puisi itu akan menemukan kemantangannya yang baru.
Pertama, bentuk puisi balada seperti yang dikembangkan WS Rendra. Kedua, bentuk puisi mantra seperti yang dikembangkan Sutardji Calzoum Bachri. Ketiga, bentuk puisi lugas tetapi mengandung filosofi mendalam seperti yang dikembangkan Subagio Sastrowardoyo. Keempat, bentuk puisi kosmopolitan seperti yang dikembangkan Afrizal Malna. Kelima, bentuk sufi seperti yang dikembangkan Abdul Hadi WM. Keenam, bentuk puisi protes sosial seperti yang dikembangkan Wiji Thukul.
Ketujuh, bentuk puisi mbeling seperti yang dikembangkan Remy Sylado. Sungguh disayangkan, tidak ada penyair tanah air kita yang secara intens mengembangkan ketujuh bentuk puisi itu.
Kita semua tahu, bentuk puisi bukanlah sekadar permainan wujud puisi alias otak-atik bahasa. Bentuk puisi juga merepresentasikan penilaian atas realitas dan sikap kepenyairan. Lebih jelas lagi, bentuk puisi mengemban adanya tradisi. Masing-masing bentuk puisi memiliki kesejaharannya tersendiri. Memiliki kewenangan dan tugas yang tidak terakomodasi oleh bentuk puisi lain. Lebih jauh lagi, masing-masing bentuk puisi memiliki “kitab-kitab” yang berseberangan.
Penyair WS Rendra ketika mengungkapkan greget kepenyairannya melalui bentuk puisi balada, dia belajar pada penyair Spanyol Federico Garcia Lorca (1898-1936). Upaya ini sangat rasional, bentuk puisi balada memang pernah memuncak pada puisi Lorca. Justru tanpa belajar pada Lorca, Rendra bisa dituduh tidak berpijak pada tradisi puisi balada. Atas proses kreatif ini, Subagio Sasrowardoyo secara apik menuliskannya dalam esai “Kerancuan Pribadi Rendra-Lorca” (1974).
Rendra tidak hanya meniru puisi, dia sampai menapak-tilasi gaya hidup bohemian Lorca. Tradisi dari Lorca ini dipadukan dengan kepiawaian Rendra mengolah kisah-kisah tokoh fenomenal dari babad maupun serat Jawa. Kadang-kadang dipadukan pula dengan tokoh dalam foklor atau cerita rakyat. Hasilnya sangat mengagumkan. Kepada masyarakat Indonesia, Rendra mampu mempersembahkan puisi-puisi yang tersaji dalam kumpulan Ballada Orang-Orang Tertjinta (1957), Blues untuk Bonnie (1971), dan Sadjak-sadjak Sepatu Tua (1972).
Berpijak pada ranah yang berbeda, Sutardi Calzoum Bachri mengusung bentuk puisi mantra. Untuk kematangan bentuk puisinya, Sutardji mengaku belajar tradisi puisi Arthur Rimbaud dari Prancis. Lebih dari itu, tokoh yang kerap menyebut dirinya “presiden penyair Indonesia” ini juga meneguk daya magis mantra-mantra kuno yang melimpah ruah di bumi Nusantara.
Pilihan bentuk puisi penyair berdarah Melayu Riau ini ditegaskan melalui kredo, “Menulis puisi bagi saya ialah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan Kata Pertama adalah Mantra. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantra”. Kredo ini mengalir deras melalui puisi-puisi yang terkumpul dalam O (1973) dan Amuk (1977).
Sutardji tidak hanya mengusung mantra dalam puisi. Dia juga belajar membaca puisi dengan gaya pawang. Hasilnya Sutardji mampu memukau penonton melalui pembacaan yang penuh daya magis. Begitulah, Sutadji secara total memperjuangkan bentuk mantra dalam kazanah kepenyairan di tanah air. Sebuah perjuangan yang terancam sia-sia karena tidak dikembangkan para penyair terkini.
Eksplorasi pola sintaktik puisi tidak “aneh-aneh” dikembangkan oleh penyair Subagio Sastrowardoyo. Bentuk puisinya sangat lugas. Di balik kelugasannya, ada kedalaman muatan filosofi. Subagio seperti menunjukkan kepada khalayak riuh, menulis puisi tidak harus dengan jungkir-balik bahasa. Puisi justru berharga dengan kesederhaannya. Penyair kelahiran 1924 ini memang berhasil menurunkan beragam kerumitan pemikiran filsafat ke dalam ilustrasi keseharian. Sekali lagi, puisi dengan memakai bahasa keseharian.
Subagio secara sabar memungut tema-tema, pralambang, motif-motif, maupun ajaran filosofi Jawa. Memadukannya dengan beragam wacana lain. Semisal wacana Islam, Kristen, Hindu, Budha, sampai pada filsafat Barat. Kesemuanya diperas dan disaring untuk membicarakan kesepian, cinta jasmaniah, teka-teki kematian, nasib yang tidak menentu.
Bentuk puisi lugas dengan filosofi mendalam, sekarang ini, tampaknya benar-benar kesepian di tengah gegap gempita puisi yang mengedepankan kerumitan metafor. Padahal, kebersahajaan puisilah yang merawat harmonisasi antara bahasa puisi dengan bahasa masyarakat. Artinya, penyair mengkerutkan dahi dan menguras keringat dingin agar mampu mencipta bahasa sederhana.
Tapi memang, pengungkapan sederhana bukan satu-satunya kebenaran dalam puisi. Awal tahun 1980-an, tradisi puisi Indonesia seperti mendapat “tabrakan” keras dari Afrizal Malna. Secara total, penyair yang juga menulis naskah untuk pementasan Teater SAE ini mengabarkan wacara antroposentrisme berbelah. Sebuah penilaian bahwa modernisasi telah melontarkan manusia dalam krisis identitas. Manusia tidak lagi mampu menguasai jati dirinya. Identitas manusia tergantikan dengan jati diri benda-benda hasil ciptaannya sendiri. Afizal berhasil mengadopsi beragam pemikiran postmoderisme ke dalam puisi Indonesia.
Kontribusi Afrizal sangat kentara. Berbagai diksi (pilihan kata) yang semula “seakan” haram masuk puisi Indonesia tiba-tiba bebas “bersliweran”. Misalnya diksi semacam radio, televisi, supermarket, Mc Donald, kolonialisme, dan lain-lain. Kesemuanya memuncak dalam kumpulan puisinya Arsitektur Hujan (1995). Sebuah gerakan puisi yang menghasilkan bejibun “Afrizalian”. Tapi sayang, Afrizal kini kesepian dengan bentuk puisi kosmopolitannya. Sekian banyak penyair yang meniru bentuk puisinya sedikit demi sedikit berguguran. Afrizal memang masih meneruskan tradisi puisinya, hanya saja, pencapaiannya pun menunjukkan grafik menurun. Bandingkan saja pencapaian puisi-puisi Arsitektur Hujan dengan kumpulan puisi Kalung dari Teman (1998), Dalam Rahim Ibu Tak Ada Anjing (2003), dan Teman-Temanku dari Atap Bahasa (2008).
Tradisi puisi sufi Indonesia berutang jasa kepada penyair Abdul Hadi WM. Dialah gambaran penyair yang memiliki ketekunan luar biasa untuk menjabarkan pemikiran teologi para penyair sufi. Baik dari penyair tanah air maupun penyair luar negeri. Melalui seruan “kembali ke akar”, penyair berdarah Cina-Madura kelahiran Sumenep 1946 ini mengajak penyair terkini untuk mengaji lagi warisan dan spirit sastra lama di Nusantara. Khususnya yang bermuatan teologi. Tidak hanya mendedahkan wacana, Abdul Hadi juga menghasilan ribuan karya puisi bertema kesufian.
Saat ini, masih banyak penyair yang menulis puisi bertema sufi. Utamanya penyair berlatarbelakang sekolah agama atau pesantren. Sayangnya, perkembangan puisi sufi tidak memperlihatkan gejala yang menggembirakan. Puisi sufi seperti menghuni wilayah pinggiran. Tidak berani menunjukkan diri sebagai satu entitas penting dalam kazanah kepenyairan di tanah air. Sebetulnya, ada dua penyair yang berpotensi menghasilkan kematangan eksplorasi puisi sufi, yakni Jamad D Rahman dan Acep Zamzam Noor. Keduanya lahir dan besar dengan latarbelakang pesantren. Awal-awal puisinya pun berwatak kesufian. Hanya saja, lama kelamaan, puisi kedua penyair ini lebih mengarah pada pemikiran humanisme daripada pemikiran teologi.
Kalaulah ada penyair yang tewas (tidak diketahui rimbanya) karena menulis puisi, kasus ini menimpa Wiji Thukul. Dia adalah bekas buruh pabrik yang memperjuangkan ketimpangan sosial dan skandal politik melalui puisi. Satu penggalan puisi Wiji Tukul, “satu kata lawan” diteriakkan ribuan mahasiswa dalam unjukrasa menggulingkan rezim Soeharto. Sampai kini, penggalan itu masih kerap menggema dalam aksi-aksi massa.
Wiji Thukul menyadari betul lingkungan puitik puisi protes sosial. Puisi protes sosial tidak bisa sekadar ditulis lantas dikirimkan ke media massa. Puisi protes sosial harus diperjuangkan secara verbal. Memperjuangkan puisi protes sosial sama artinya memperjuangkan kandungan isinya. Bersama Arief Budiman, dia mendatangi para buruh pabrik, berdiskusi dengan mahasiswa, turun ke jalan, mengepung kantor pemerintahan, dan merangsek pertahanan polisi. Memang seperti itulah tuntutan puisi protes. Tanpa aktivitas sosial politik, makna puisi protes bakal kurang greget.
Beberapa penyair sekarang memang masih menulis bentuk puisi protes sosial. Tapi sayangnya, mereka lebih banyak mengurung diri di kamar. Padahal, saat menggulirkan kumpulan puisi Potret Pembangunan dalam Puisi, Rendra pun dulu membacakannya di depan forum mahasiswa.
Nasib sedikit beruntung dialami bentuk puisi mbeling. Beberapa tahun lalu, bentuk ini dikembangkan oleh Joko Pinurbo. Melalui empat kumpulan puisinya, Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), dan Telepon Genggam (2003), Joko Pinurbo meneruskan “keusilan-keusilan kecil” seperti yang pernah digulirkan oleh Remy Sylado dan kawan-kawan pada tahun 1970-an. Kontribusi Joko Pinurbo terletak pada gaya bahasa yang lebih santun dan filosofi pemikiran yang lebih terjaga.
Sayangnya, stamina Joko Pinurbo sepertinya mulai pudar. Usai penerbitan Telepon Genggam, dia kembali lagi pada bentuk-bentuk puisi yang konvensional. Sementara di luar Joko Pinurbo, tidak ada penyair yang secara intens mengembangkan bentuk puisi mbeling.
Penulis menilai, surutnya pengembangan ketujuh bentuk puisi ini sebagai tanda krisis kepenyairan di tanah air. Padahal bila masing-masing bentuk puisi itu dikembangkan, niscaya akan menemukan kematangannya tersendiri. Kematangan bentuk puisi mantra yang berpijak dari Sutardji. Balada yang lebih matang dari puisi karya Rendra. Syaratnya hanya satu, tekun. Penyair harus tekun belajar pada tradisi. Misalkan mengembangkan puisi sufi, seperti yang dilakukan Abdul Hadi WM, penyair harus tekun mempelajari beragam pemikiran melalui bermacam kitab para sufi. Melacak pencapaian puisi sufi mulai dari zaman Raja Ali Haji, suluk para Sunan, sampai puisi hasil karya penyair luar semacam Jalaluddin Rumi.
Mengapa krisis ini sampai terjadi? Ada banyak sebab yang bisa dijadikan alasan. Tetapi jawaban utama hanya dua. Pertama, penyair tanah air telah mulai kehilangan personalitasnya. Penyair ideal adalah sosok yang memiliki personalitas tinggi, kadang justru egois. Penyair ini tidak mau menulis puisi yang sama dengan penyair lain. Dia bersikukuh menciptakan bahasa tersendiri. Sayangnya, personalitas itu kian tipis. Akibatnya, penyair tanah air terpengaruh kode bahasa estetik yang dominan. Kedua, penyair tanah air malas belajar pada sejarah puisi. Mereka merasa bahwa puisi baru saja lahir sejarah sepuluh tahun terakhir. Tidak memahami fakta sejarah; puisi juga telah ditulis sejak 30 tahun lalu, 40 tahun lalu, bahkan ribuan tahun lalu. Akibat dari kemalasan ini, penyair tanah air tidak mengetahui adanya berbagai bentuk puisi yang telah pernah ada. Pengetahuan mereka hanya sebatas puisi-puisi yang ditulis dalam 10 tahun terakhir.
_____Surabaya, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar