Kamis, 30 April 2009

Sajak-Sajak Mujtahidin Billah

http://embun-tajali.blogspot.com
SANG PENYAIR

( I )

Duhai, Penyair, sudah berapa banyak kata yang kautuliskan? Sudah berapa banyak puisi yang kauhasilkan? Apakah hari akan setia menemanimu dengan kata yang kaupetik dari lelangit aksara? Aku menunggu kauserahkan puisi terakhirmu untuk kubacakan di muka para pendengar.

Panggung ini sepi dari para pengunjung sejak kau tinggalkan kursi dan kertas kerja berserakan. Pena ini tak akan kehabisan tinta; lalu apalagi yang kau khawatirkan? Kemarilah, temani aku di sini membaca puisipuisi yang kaugubah.

Sering kunyanyikan lagu dari baitbait puisimu. Pemain kecapi dan seruling telah biasa memadukannya. Kini, apalagi yang kau risaukan? Apakah kau tak lagi dapat menulis, karena jemari telah lemah dan tubuh sudah renta? Puisipuisimu tak akan pernah berhenti mengalir, walau kau hanya sanggup gerakkan mata sebagai tanda.


( II )

Musim semi telah tiba. Bungabunga berubah warna. Daun dan ranting berguguran. Angin mengantar berita dari daerah yang paling jauh. Kemudian, berhenti di depan sosok perempuan berwajah lembut. Ia serahkan surat berisi cerita dari negeri asing. Kabar tentang lelaki merindu senja.

Apakah yang telah membuat gelisah hati perempuan itu? Rasa rindu ingin bertemu? Ataukah nyeri karena perpisahan? Angin masih terdiam menanti jawaban perempuan.

Duhai, Penyair, mengapa kauhentikan goresan demi goresan pena yang biasa menari lincah di atas kertas kerjamu? Bukankah baitbait ini begitu indah? Bahkan mawar pun bersedia menggadaikan wanginya demi mendengarkan baitbait puisi cintamu? Mengapa tak kau lanjutkan kisah cinta dalam setiap puisimu? Apakah nasib memaksamu berhenti dan membuat ingatanmu letih?

Pada akhir surat terselip tandatangan kematian kata; dan Penyair tak lagi bercerita.

(Jombang, 12 Oktober 2008)



BEGITU INDAH.

apa benar Tuhan mengirimmu untuk menjadi kekasihku? menyertai langkah kakiku mengarungi arus nasib ke muara tuju. apa benar kau kasih tercintaku? jika memang kaulah perempuan itu, akan kurapatkan hatiku ke hatimu. tangan saling genggam. kaki sama langkah. bersamamu kusalin cerita ke dalam lagu nan syahdu.

apa benar Tuhan menciptamu sebagai pendampingku? akan kuhambakan diriku. kukuduskan namamu. kusujudkan keningku. kunapaskan namamu.
kau yang begitu indah. perempuan anggun pengusir gundah. pengobat sepi penghibur lara. menarilah dalam jingkat perlahan. satu langkah satu langkah. lentik jarimu gemulai menjelma sayap burung enggang. aku mengikutimu sebagai naga langit terbang. seperti dalam kisah leluhur kita sebelum dayak terbelah.

apa benar Tuhan membelahmu dari satu jiwaku? karena kulihat wajahmu terlihat wajahku. kulihat diriku terlihat dirimu. dari jiwaku yang satu, kita bikin jiwa beribu.



SENJA

lelaki yang terdiri di tepi lautan
menanti kabar tentang senja
serintis angin tak juga kelar beri kabar
perempuan yang mengutuk cintanya
lelaki mencari senja di balik cakrawala
tak juga ia temukan

--sampai kapan?

hari mempertua usia
belum usai pencarian
payah badan tak berdaya
dari balik kabut
sosok bayang menjelma perempuan
lelaki terdiam

“senja

itu bukan kau!”



WAHAY, APA ITU CINTA?

Aku memandang nyalang, pada manusia lalu lalang
Kulihat, tanpa sedikitpun segan, mereka menggamitkan jemari tangan
Kata cinta menguar di angkasa, menghayutkan gemawan mega
Mangaburkan keindahan bintang gemintang, panji dan agungnya bentara
Namun di sini, berdiri aku dalam keraguan
Tak mengerti dan terus bertanya :
Apakah segalon cinta lebih manis ketimbang sececap cita?
Dan apakah bahagia terwujudi harus dengan dimiliki?
Dan apakah seorang pangeran hanya dapat menjadi raja,
Pabila mempersandingkan permaisuri di sisinya?

Dan tanya itu menggiringku masuk ke dalam labirin tua
Lorong pekat penuh lembap yang dindingnya berkeropeng dusta
Penuh tipu daya, tiap simpangannya menyesatkan pengelana
Aku ikuti setitik cahya, dan kulihat jawab di ujungnya

Aku bertanya lantang, “Wahai, apakah itu cinta?”
Kulihat sepasang muda-mudi bergelayutan mesra
Sang gadis tertawa mengikik, sang pemuda menggeliat laknat
Sahutnya, cinta adalah hari ini
Yang tergantikan segera oleh hari esok
Dia adalah kesenangan yang berkelindan selalu
Birahi yang terpuaskan, nikmat yang berseliweran
Aku tercenung, dan terus termenung
Jika cinta adalah pesta pora, lalu apa arti cerita Majnun
Cinta baginya adalah kisaran derita
Tetapi Majnun hanya tahu itu cinta, walau dia buta
Oh, betapa takdir cintanya berakhir nestapa

Aku berpaling dari mereka yang mencemooh nakal
Lalu aku pergi menuju ujung lain lorong teka-teki
Kuikuti suara-suara merdu, tawa, dan musik syahdu
Walau gelap pekat, suara itu menuntunku pasti
Dan akhirnya kulihat panggung megah berdiri kokoh
Dipenuhi penyair dan pujangga sepanjang masa

Dadaku serasa bergolak, aku menyeruak dan berteriak, “Wahai apakah itu cinta?”
Seorang pujangga menoleh, berdiri, dan menjawab panggilanku lalu mulai bersyair,
Cinta adalah roman tanpa batas
Inspirasi yang takkan mati; Api yang takkan padam
Yang geloranya membuatmu remuk redam
Tapi, bagai kecanduan, kau akan terus menyesapnya
Membuatmu merasa terbang menuju menuju mentari yang menyala perkasa
Sekali lagi, keraguan menyelinap dan membisik
Mestikah begitu, sebab kulihat nyala sangat redup
Menyambangi jalinan pernikahan yang suci
Gairah sejoli telah berakhir, tapi tidak memupus ikatannya
Tapi mereka masih menyebutnya cinta
Walau madunya telah habis, Sang kumbang masih hinggap di atas kembang

Aku melengos tak puas, dan berjalan tak tahu ke mana
Kususuri lorong berliku, begitu panjang jalanan, begitu terjal undakan
Dan pada satu tangganya, kulihat seorang pengemis renta mengharap derma
Dia berkata, “berikanlah milikmu yang terbaik, dan kusampaikan kebijaksanaanku”
Aku sebenarnya tak ingin percaya, tapi kakiku terlalu letih mencari jawab
Kuulurkan sebongkah batu mirah sembari bertanya, “Wahai, apakah itu cinta?”

Si pengemis diam dalam takzim, dan menjawab,
Cinta adalah menghamba tanpa bertanya
Ketaatan tanpa memerlukan jawaban
Kau memuja, dan menjadikan dirimu budak dengan sukarela
Kata-kata cinta adalah perintah yang tiada terbantah
Aku terpekur dan tak henti berpikir
Jika cinta merupakan penghambaan, lalu apa arti cinta Ilahi?
Dia yang menurunkan hujan, dan lebih agung dari apapun jua
Dia yang memberikan rizki kepada orang paling durjana sekalipun
Dia yang mencintai makhluk-Nya, dan tak memerlukan apapun dari makhluk-Nya

Aku merasa rugi atas permata yang terbuang percuma
Ini bukanlah kebijaksanaan; melainkan kedunguan!
Cinta si pengemis selamanya menjadikan dirinya pengemis
Yang mengiba, meminta, dan mengharap sejumput kasih
Jika ini dinamakan cinta, maka terkutuklah kata cinta!
Aku muak atas pencarian ini, lalu memutuskan keluar
Labirin tua tak lagi mengurungku, dan bau laut seakan memanggilku
Ini adalah aroma kebebasan yang menarik para pemberani
Dan seperti cerita lama, aku berlayar menuju samudera berombak, –sendiri
Angin kencang membantu lajuku, dan kapalku menuju horizon di tapal batas
Mencari dunia baru untuk ditaklukkan
Di ujung dek aku berteriak penuh kegembiraan
Walau kegembiraan itu kadang dibayar oleh rasa hampa di tengah lautan
Oh, tahun-tahun berselang; musim-musim berganti datang
Waktu-penuh-kenangan yang berkandung duka dan suka
Namun, pada suatu hari yang mengejutkan
Badai datang menenggelamkan apa yang tersisa
Aku lihat puing-puing yang karam, dan onggokan
Sementara aku hanyut ditemani tongkang yang terombang-ambing
Entah mengantarkanku ke mana

Di suatu tempat, saat aku membuka mataku
Aku rasai pasir lembut yang harum baunya
Dan riak ombak bermain-main di sekujur tubuhku
Apakah ini tanah orang- orang mati, ataukah aku masih hidup?
Oh, betapa hausnya aku…seteguk air akan mengobatiku
Dan, aku lihat sesosok datang mendekat
Sorot matanya menatapku lekat
Lalu menuangkan seteguk air pada bibirku yang kekeringan sangat
Pandanganku terasa kabur, dan dunia terasa berputar begitu cepat
Aku berharap dia adalah malaikat tak bersayap yang memberikan jawab
Aku merasa maut sebentar lagi menjemput,
Jadi tak ada salahnya bertanya, toh rasa malu akan terbawa lalu
Setelah sekian lama, sekali lagi aku bertanya, “Wahai, apakah itu cinta?”

Dia termangu,dan hanya tersenyum
Untuk menenangkan jiwaku yang sekarat, dia menatapku lembut
Dan kata-kata bagai menetes dari mulutnya
Kata-kata serasa madu yang manisnya teringat selalu, Jawabnya :
Cinta bukanlah benda untuk dimiliki
Tetapi tindakan untuk diperjuangkan
Cinta adalah kebaikan tanpa imbalan
Pernahkah mentari bertanya padamu atas sinarnya yang terang
Dan pernahkah pepohonan meminta jawaban atas keteduhannya
Jika kau memberikan segelas air pada orang asing,
Dan dia tak berhutang padamu apapun
Itulah cinta.
Bagaikan petani, kau menanam benihnya
Lalu orang lain memakan buahnya, menghilangkan rasa laparnya
Tetap ingatlah, cinta adalah pilihan hatimu
Bukan keterpaksaan dari rasa takut
Sebab cinta tidak pernah membuatmu merasa kehilangan
Dia terus membuat hatimu merasa kaya
Namun, sungguh dunia telah tercerai berai,
Dan manusia menjadi tersesat oleh makna cinta
Tergelincir keserakahan, cinta menjadi memabukkan
Untuk memiliki, bukannya memberikan
Untuk menguasai, bukannya mengasihi
Jika cinta tinggallah nafsu diri belaka
Yang tersisa hanyalah kerusakan semata
Tiada peduli sesama; Semuanya mengagungkan diri jua
Orang menamakannya cinta; tapi itu hanyalah dusta

Hari itu, aku tahu
Bahwa perjalananku bukannya berakhir,
Tetapi baru saja dimulai

Lalu aku mengatup mata
Dan mulai mendoa
Untuk satu pilihan kata di hati.


Kamis, 23 April 2009

MELEBURKAN RUANG WAKTU DUNIA PUITIK

Nurel Javissyarqi*

Inilah gagasan peleburan, demi mencapai keuniversalan makna.
Berbincang mengenai ruang, mau tidak mau menyoal ukuran, bentuk, warna dalam tampakan. Lantas ditariknya sebagai saksi. Menjadi saksi bisu jika tak memiliki waktu.

Ketika membahas waktu, pelaku dihadapkan panjang-pendeknya masa, menggebu-terlena, kejumudan atau hal biasa. Dan ruang itu semacam kata, angka, lebar, lonjong pula bulatan. Sedangkan waktu ialah ruh daripada ruangan.

Jika berbicara waktu tanpa menyoal tempat, seolah membahas hantu, atau waktu-waktu gentayangan tanpa aktivitas kaki-kaki kesadaran. Dan jika membahas ruangan tanpa waktu, bisa dimasukkan sebagai pemberhentian, rumah tidak berpenghuni, kawasan kering yang hanya mementingkan logika. Jikalau ruang-waktu terkumpul, itulah yang dinamakan realitas kesadaran.

Andai dipetakan, ruang semacam pandangan logika, sedangkan waktu membicarakan esensinya. Ketika digabungkan menjelmalah karya bernilai universal, persekutuan materialistis-filosofis, strukturalis yang natural.

Untuk mendedah serpihan di atas, marilah mencoba melancarkan jawab;
“kata” saya masukkan dalam kelompok ruangan, sebab kata-kata bukan kesadaran itu sendiri, meski membentuk susunan. Atau saya berpandangan akan kekuasaan pasar, pembaca itulah yang menentukan logikanya. Kefahaman ialah prodak atas jalinan waktu menyuntuki kata. Persetubuhan ingin mengerti esensi daripada kata atau ruang tersebut.

Dan “angka” saya tempatkan juga di bagian ruang, sebab betapa pun angka berjejer, tidak memiliki makna khusus sebelum menemukan tanda baca atau maksud. Maksud itu sebagaimana perkalian, penambahan, pengurangan, penjumlahan dsb. Di sini, maksud menempati jembatan ruang-waktu. Jalannya nalar waktu sebagai kegiatan perhitungan akan esensi bahasa angka.

Panjang, lebar pun bulatan, merupakan tubuh dari ruangan. Dan itu takkan berarti, jika tidak berada dalam masa-masa bermanfaat, berangkat dari kegunaan waktu-waktu yang dibutuhkan. Ini sedikit membingungkan, namun ketika telah menguasai keberadaan ruang-waktu atas kesadaran mandiri. Maka ketepatannya akan muncul semacam tercerahkan.

Sebelum menginjak keinginan judul. Seyogyanya mengetahui secara detail makna ruang dan waktu. Kita sering terkungkung persoalan yang tidak tepat waktu. Atau ternyata kerja kita diperintahkan ruang dan waktu. Seolah dalam tahanan keduanya, terjebak di salah satunya, juga keinginan diri semata.

Dalam bahasa teater, kita mengenal istilah -tidak menguasai ruangan. Orang semacam ini tidak menyadari kepentingan ruangan. Misalkan, kita tidak dapat berlalu-lalang di tengah jalan terus-menerus, kalau menginginkan keselamatan.

Kalau hanya mengetahui ruang-waktu serta manfaatnya dengan terikat, tidak ubahnya orang gila yang masih menggembol rasa ketakutan, yang berjalan di trotoar. Di pihak lain, kenekatan tidak bisa dihakimi sebagai hal tidak sadarnya pada ruang dan waktu. Jikalau ruang membutuhkan revolusi, atas waktu berkepentingan mendesak lebih bermanfaat.

Kita seharusnya di atas orang-orang gila yang sadar ruang-waktu. Meleburkan keduanya dengan mengambil manfaat sebagai jawaban inti. Yakni hakikat hayat terlaksana, yang tidak terbentur kedua-duanya.

Jangan mandek datangnya senja turunnya malam. Namun ukuran senja dan malam merasuk dalam diri yang terkendalikan semangat, endapan renungan dalam istirah. Dan ruang-waktu dianggap bumbu perjalanan hayat, sejenis iklim atau musim yang berada di luar. Kalau tak ingin terpenjara datangnya musim cuaca terang, dinginnya gelap malam, demi mencapai pribadi yang berkualitas.

Ketika ruang-waktu lebur dalam pribadi. Keduanya bukan yang membentuk kualitas diri, tetapi kitalah yang menciptakan bobot ruang-waktu tersebut. Dan mendapati manfaat, nilai-nilai tidak terpenjara wacana musim gagasan sepihak.

*) Pengelana asal Lamongan. Pengantar diskusi di Universitas Tujuhbelas Agustus Surabaya, 1 Desember 2005.

Minggu, 19 April 2009

Puisi-Puisi Arina Habaidillah

http://artstreet.multiply.com/
Sang Pemimpi

Ia menulis berbait-bait puisi
dan lebih banyak lagi
lalu menghadap langit
mencoba membaca dalam sunyi
potret kesunyian seorang diri
yang sedang menanti
awal kehadiran sang pemimpi

surabaya, 120908



Kebisuan

berbicara padamu sekan berbicara pada
debu
debu-debu yang berterbangan
hanya melewati, tak mengerti arti

aku

kebisuan yang merajalela
tak kau buka barang satu kata
untuk merubah semua yang tersisa

tak

bisakah kau mengucap :
aku rindu
di depanku?

bisu

hanya itu?
ada apa denganmu?
aku tak tahu.
mencoba mencari tau, tapi sekali lagi aku bilang
: percuma

120409



Aku Tak Bisa Membacamu Dalamku

sepatah kata dariku mungkin tak berarti bagimu
aku berucap,kau berpaling
tak mengerti jikaku rindu

aku tak bisa membacamu dalamku
mencoba mengerti, tapi kau memang tak bisa
untuk dimengerti

duniaku terguncang
merasakah kau?
tidak!
apa umpan balik darimu?
hanya diam
tak peduli!

aku tak bisa membacamu dalamku
hanya angan yang terbang tinggi
tak dapat ku geluti buah pikirmu
tak dapat ku nanti sikap manismu

seakan semuanya terkubur bersama luka pilu
hati yang berbunga
ucapan manis darimu
segalanya raib bersama anganku

aku tak bisa membacamu dalamku
mencoba mengerti,tapi tak bisa untuk dimengerti



Hanya Angan

ruang itu membuatku kembali tercekat
dalam buaian anganangan yang tak terlaksana
hanya menarawang jauh
tak mengerti jika hati sedang bertempur
tak ada yang di perebutkan saat ini
sekali lagi itu hanya angan

kala batang itu tua
lalu merapuh
tinggal serpihan
tebuang
tak berarti

hati terhujam rindu
semakin menusuk
dalam.
suatu saat akan ada waktu
harus bertemu
aku harap, itu berwujud nyata


Lamongan 150409



Tak Ada

tak ada yang dapat bertahan
dalam kondisi gelap gulita
tak dapat

tak ada yang bisa tegak berdiri
jika tiada usaha suatu apapun
tak ada

aku menggenggam kuat tanganku
sedikit berkeringat
karna tak ada yang tau
sampai kapan kita bertahan
tertunduk lesu
dalam buaian musikalisasi rindu
tergenggam kuat
dalam alunan melodi amarah
segalanya tak tergambar dalam
layar kehidupan

Lamongan 150409

Puisi-Puisi Imamuddin SA

DI BATAS KABUT MUARA LOKA

ada kersik batin
membangun kesadaran lain
menerawang mata
sejenak menata lelangkah

ah, masa telah menua
seiring jiwa-jiwa lara
menghadap kesejatian raga
di batas kabut muara loka

aku yang masih malu menatapmu
mencoba berbisik
di hening laut
akan tawar air dalam garam bertaut
membenturkan ketakutan ombak
menguji kesetiaan jejak

Kendalkemlagi, Juni 2008



MENGINTIP LOKA GAIB

adalah kesungsangan jiwa
menjelma melodi nyanyian nyawa
mengeringkan embun rindu
pada lambaian daun-daun kalbu

engkau yang setia mengeja aksara
sejenak membatulah
meneteskan sejuk air dari langit-langit goa
menggenggam kedalaman laku samudra
mengintip loka gaib semesta
di batas permainan maya

ah, bangunlah dinding-dinding imanmu
pecahkan kaca kesombonganmu
sebab muaramu masih seribu waktu

Kendalkemlagi, September 2008



MENABUH GAMELAN KESEJATIAN

sayup terhempas
jiwaku
menengadahkan angkuh
membujuk hati dalam keikhlasan lati

ada yang menarik
sebuah persinggahan diri
di kedalaman
-nang
-ning
-nong
-gong
kala panjak kemanusiaan
menabuh gamelan kesejatian

melenggang tangan kanan
menangkap selendang kalam
menghempas sampur kesungsangan
lewat kiri lambaian lengan

ada yang mengawasi;
mata-mata kaki menyisir sisi-sisi sendiri
berdiri dengan satu jari
menapak jejak pada ruas jalan yang bernilai

Kendalkemlagi, 26 September 2008

Kamis, 16 April 2009

Model

Danilo Kis
Penerjemah: Anton Kurnia
http://www.korantempo.com/

MULA-MULA wanita itu melepaskan kerudung merahnya. Lalu, dia menggantungkan mantelnya pada sebuah kaitan dekat podium tempat dia akan berpose. Dia melepaskan gaunnya yang bercorak aneka warna. Kemudian, dia berdiri di sana, dengan tungkai-tungkai telanjang, hanya mengenakan celana dalam. Tanpa melangkah, dia melemparkan sepatu mungil yang mengalasi kakinya dan dengan segera kaki bawahnya pun terbuka. Dengan satu gerakan pasti dan cepat, pakaian mungil terakhir yang dipakainya pun terlepas, dan tiada lagi yang tersisa untuk menutupi ketelanjangannya yang memukau.

Sang pemahat mengikuti setiap gerakan manekinnya, tetapi dengan tatapan mata yang tampak tak suka. Ia memberikan sekian perintah tentang bagaimana sang model harus berpose--pose yang menampilkan ekspresi segenap sensualitas seorang wanita muda.

Kemudian, sang pemahat mulai mengaduk lempung dengan jari-jemarinya, mulai membuat bentuk-bentuk. Namun, sang model di hadapannya mulai memutih pias. Pertama, seluruh tubuhnya menjadi pucat pasi. Setelah itu, ia melihat bahwa setiap gerakan tungkai-tungkai wanita itu, dan bahkan otot-ototnya, membeku diam. Ia takjub, tapi hanya takjub betapa sesosok tubuh mati bisa tetap berdiri tegak di atas sepasang kaki dalam posisi yang semustahil itu, dengan lengan-lengan terlempar ke belakang kepala dan dada membusung. Ia melihat bahwa sang model berhenti mengedip dan kini menatap hampa ke ruang antah-berantah dengan sepasang mata laksana biji mata mayat. Di depan mata itu, ia menundukkan pandangan; sepasang tangannya yang gemetar menciptakan bentuk-bentuk dari lempung basah dan membuat cetakan-cetakan gips. Pada titik itu sang model berhenti bernapas. Kilauan lenyap seketika dari sepasang matanya, anak-anakan matanya sirna entah ke mana di bawah kelopak matanya, dan bulu-bulu matanya mengering seperti duri kaktus.

Sang pemahat berhenti sejenak dan berdiri terpaku, seperti terserang panik. Lalu, ia mengambil cermin dan meletakkannya di atas bibir sang model yang setengah terbuka, kering dan dingin. Cermin itu tak berembun. Kemudian, ia menyentuh sang model dengan telapak tangannya di bawah pangkal atas payudara kirinya. Tubuhnya sedingin dan sekaku pualam putih, dan tangan si pemahat gagal menangkap segala tanda kehidupan. Jantung perempuan itu tak berdetak.

Kini keringat membanjiri wajah sang pemahat. Ia berpikir untuk mencoba memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan kiri sang model. Maka, dengan cepat dia meraih pergelangan tangannya. Lengan itu terjatuh begitu saja. Terlepas pada bagian di atas siku. Namun, tak ada darah yang muncrat dari patahan itu. Dibiarkannya lengan itu terjatuh dan membentur bumi dengan suara nyaring. Teronggok di sana, tak bergerak. Dengan penasaran, ia meraba denyut nadi di lengan kanan sang model. Sentuhannya pasti sangat lembut, bahkan hampir tak menempel. Namun, lengan itu langsung terjatuh seakan terlepas dari sesosok rangka. Ia ingin menutup kelopak mata sang model karena putih matanya tampak mengerikan. Namun, kepala itu mulai bergoyang-goyang dan kemudian rubuh ke lantai seakan-akan hanyalah seonggok tengkorak. Yang ada di depan sang pemahat tinggallah sebentuk torso. Cetakan gips di atas bungkahan payudaranya yang mencuat telah memutih dan kini berkilau dengan sensualitas yang memuncak.

Baru ketika ia hendak membetulkan kaitan stoking sang model, ketika ia melihat kelembutan kulit payudara wanita itu, ketika pakaian telah menutupi pinggul dan pinggangnya--barulah ia sadar bahwa yang ada di hadapannya memang seorang wanita. Tubuh wanita yang berdaging dan dialiri darah. Dan ketika ia membayar honorarium sang model, wanita itu mengambil uang dari tangannya dengan meninggalkan kehangatan sentuhan jemarinya.

Ia mendengar suara sepatu tumit tinggi wanita itu bergema di sepanjang ruangan. Ia bisa melihat, melalui stoking tipis yang dikenakannya, lekuk indah sepasang kaki wanita itu. Lalu seketika, begitu dia lenyap dari pandangan, ia merasa lengannya terbakar pada bekas sentuhan wanita itu. Dan kini, kepalanya terasa pusing akibat hangatnya dengus napas wanita itu. Sepasang mata sang model itulah yang telah membuat jantungnya pun kini berpacu.

Saat menarik napas panjang, ia merasa teracuni: aroma tubuh wanita itu kini melayang-layang di dalam udara studionya laksana selubung kabut putih.

Danilo Kis (1935-1989) adalah penulis Yugoslavia yang menulis dalam bahasa Serbo-Kroasia. Tahun-tahun terakhir hidupnya ia lewatkan di Prancis. Buku-bukunya yang bisa diperoleh dalam bahasa Inggris antara lain A Tomb for Boris Davidovich (novel) dan Encyclopedia of the Dead (kumpulan cerita). Cerita di atas diindonesiakan oleh Anton Kurnia dari terjemahan Inggris John K. Cox.

Rabu, 15 April 2009

REALITAS (SEJARAH) MASA DEPAN

Nurel Javissyarqi*
http://sastra-indonesia.com/

Ini seolah dunia yang diandaikan peramal atau lagu gubahan firasat, namun tidak. Kita memiliki kemampuan tersebut, sebab memperoleh kenangan silam atas perjalanan hayat kesadaran kekinian. Posisi bertahan-menyerang atau penerimaan aktif dari dalam. Realitas masa depan itu, bayangan kemarin kepada kesadaran terkini yang hendak menggapai kemungkinan.

Awal kali bermain catur, tentu memperhatikan yang di depan. Buah catur kita dengan milik lawan dalam dunia permainan. Kesadaran posisi, ukuran jangkauan, gerak langkah atau berhenti mendadak, ialah usaha gerak kekinian menuju masa depan.

Pengetahuan menjelma ilmu saat berulangkali terjadi, menjadi bahan pelajaran pada cita kebenaran melangkah. Dan sebaiknya jebakan dihindari, agar kuda tunggangan tidak terperosok kembali. Situasi di depan itu wajah yang harus diterjemahkan, menjadi pilihan melangkah bertepatan realitas yang gemilang.

Hidup tak lebih permainan berulang, dengan ukuran tidak jauh berbeda, tinggi rendah maupun warna. Datangnya musim atas keadaan pribadi, oleh kesegaran tubuh atau sebaliknya. Bagaimana pengetahuan yang terpegang menjadi memori, bersanggup menggagalkan sandungan, lewat kehati-hatian mawas diri, tak sekadar bersumber pandangan mata.

Cara kerja berfikirnya kawan diperhatikan, dan kebertemuan ialah perwujudan yang terharapkan. Realitas masa depan mudah diterjemahkan, kalau mengambil akar-akar kesadaran tradisi. Ini semesta arus transformasi nilai, jikalau kecondongan perahu bisa terbalik karam.

Ini bukan meramal takdir yang terbeberkan anak manusia menanggapi fenomena yang berkembang, atau menyempit membetot tanggapan. Namun untuk kelanggengan eksistensi dirinya yang berharap masa akan datang.

Keterangan ini bukan pulung jatuh tanpa sebab, tapi ada arus keberaturan yang menentukan tetap menyusuri jalan yang diimpikan. Atas pengalaman tempaan hayat dalam kesadaran manfaat, laku diaktualisasikan lewat pilihan tepat menjadikan realitas.

Dalam permainan sekak (catur), gerak tangan mengambil buah catur dan ditaruh lagi untuk melawan atau bertahan. Saat itu kekuasaan tuhan berbicara. Antara pandangan mata yang menimbang kelangsungan hayat. Sejenis getar-getar penentu berbicara, mendapati respon dari lawan atau alam.

Saat menebang pohon secara serampangan, masa depan terlihat dari beberapa pengalaman silam, erosi berlebih ke lembah-lembah kemanusiaan. Kita para pemain yang sekaligus dipermainkan hasrat diri sendiri, dalam menungguhi hidup di tenggang masa-masa putusan tuhan.

Hikmah terpetik, melihat realitas sekarang akan masa kan datang, dituntut bersungguh menjalankan kereta impian pada jalur yang terharapkan. Atau memungkinkan menjalar dan berlesatannya niatan awal.

Meneliti realitas, kesungguhan kesadaran memproduksi hasil nalar-perasaan, dipersatukan dalam bingkai kefahaman, menanjaki tangga demi kemungkinan berkembang. Dan penambahan diharapkan tak sekadar kuantitas, tetapi kualitas ketabahan jiwa, kematangan-legowo menerima kenyataan esok.

Gerak kesadaran terus bertahap di setiap detik, dan penjumlahan waktu menuntut dikoreksi, seberapa jauh melangkah dari percepatan perubahan di luar diri.

Lantas bagaimana mengambil poin ternilai, guna diwujudkan pada gugusan realitas atas impian. Realitas sekarang menggiring kenyataan mendatang. Semisal buah kelapa jatuh ke tanah, tidak terbang ke awan. Ini pelajaran penting, meski sering kali tergoda imajinasi yang lebih, semacam hasrat tidak tentu arah. Bagaimana hasrat yang tak terarah, memasuki kategori nilai tambah?

Di saat melangkah, dunia sekitarnya juga sama. Kita hidup seperti dalam meja permainan bola sodok, namun bukan benda mati yang tak memiliki inisiatif. Manusia punya banyak perlengkap untuk mendatangkan dirinya menuju impian. Meski begitu, karena semuanya bergerak mengikuti alur sendiri-sendiri. Maka suatu waktu, terjalin perkenalan atau bertabrak sama keinginan.

Dan seolah penunggu aktiflah (konseptor) yang bergerak. Bagaimana pun cepatnya berlari, kalau tidak didukung dunia luar, amat sangat kepayahan mencapai yang diinginkan. Atau suatu gerak menentukan takdir lain. Sebab dalam dunia ini, adanya energi yang bergerak tarik-menarik serta jauh-menjauhi. Sebuah lemparan batu pun sanggup menentukan takdir lain. Atau disamping gerakan terlihat, yang tak tampak pun mampu menentukan nasib seseorang.

Orang gila berlalu lalang di tengah jalan, menentukan takdir lain yang kadang terjadinya kecelakaan. Ini bisa dimaknai, ruang kosong pun menjadi penentu pengisian tempat lain. Atau kekosongan ialah kepenuhan di lain sudut pandang.

Maka kehidupan adalah penjumlahan yang tidak pernah selesai. Evolusi tidak berakhir dengan meninggalkan yang tidak tahan, langgeng bagi sanggup mengikutinya, melesat menuju jaman gemilang. Olehnya, barang siapa yang tak sadar posisi akan terlibas, sebab tidak memiliki realitas kekinian, demi mengerami sejarah masa depan.

Kesadaran itu awal sebuah niatan, menarik dunia lampau yang dipersatukan dalam diri, demi menyunggi harapan mengambil bahan-bahan sekitarnya, untuk dimasukkan pada kesadaran universal.

Saat seseorang dituntut keteraturan jadwal yang ketat, realitas masa depannya pun tidak terganggu gugat, selama masih menentukan pendapatan untuk mencapai dunia yang diharapkan.

Yang tidak memiliki jadwal keinginan pun menuju perbuatan, hasilnya ialah yang tergambarkan. Seorang naturalis mengikuti struktur luaran, namun begitu menggemuruh menuruti kehendak alam hayatinya. Ini memberi kelengkapan dirinya berjiwa universal, pembuka kemungkinan atas kesadaran penerimaan aktif, kepasrahan bola sodok di tangan professional.

Ketika dalam keadaan sakit, jiwa pembuka itu tidak langsung mencari obat, namun menelik sedari mana datangnya dan untuk apa menerimanya, serta kenapa pula rasa sakit disembuhkan. Terlihat di sini, ada ruang-ruang interaksi antara dunia dalam dan luar, realitas juga non relaitas, dipersatukan demi fajar mendepan.

Kesepakatan obat menyembuhkan, semacam penghilangan rasa sakit yang mendatangkan kenikmatan. Ketika berangsur pulih atas rasa bosannya penyakit menggerogoti kepasrahan aktif. Di sini daya tahan berguna menentukan kuatnya penerimaan kesadaran, atas yang dialaminya menjadi membumi.

Memang tiada totalitas hidup jikalau menggaris bahawi hidup adanya istirah, tidur, refresing dsb. Namun karena yang terjadi itu erat terjalin, segeralah ketotalannya menanjaki realitas masa-masa.

Setelah berbaca dari muka. Terketahui realitas masa depan, bukan mimpi di siang bolong, di sini ada ruang diskusi pelaku dengan lingkungan. Kita memiliki jiwa besar yang sanggup menggerakkan diri dalam mengurangi efek buruk luaran, demi menempuh hari-hari yang lebih berarti.

Realitas masa depan ialah ungkapan pembuka, universalitas menarik peluang. Lahirannya bukan tidak tersangkakan, tetapi terjaga dari jalinan kesadaran kenangan, serpihan ingatan, kumparan waktu tergulung sebagai prosesi kemenjadian.

Bukan berarti seekor lebah kecil tidak memiliki pengalaman membuat sarang madu esok hari, yang dituntut atas kedewasaan dirinya yang sedang tertarik menciptakan karya.

Ada kasus sederhana. Seekor semut hitam di tengah cawan mencicipi sisa wedang, sisa wedang itu habis atau kering, maka kadar gula akan merekatkan kaki-kakinya di tengah cawan, tanpa bisa berbuat apa-apa.

Dalam keadaan seperti ini, kita tidak mampu menolong lewat mencukilnya dengan jemari, meski berkelembutan, tentunya ada kemungkinan bisa membunuhnya. Tapi kalau mengalirkan air wedang sedikit di kakinya, akan sanggup bergerak. Namun itu tidak cukup, sebab nantinya akan terjebak seperti sedia kala. Air wedang mengering, kaki-kaki semut tenggelam dalam kerekatan wedang berkadar gula.

Tetapi jika mengalirkan air wedang sedikit ke cawan yang ada semutnya tersebut, untuk di alirkan pada kain taplak meja. Aliran lembut wedang akan menggiring semut itu sedari cawan menuju kain taplak meja.

Dengan posisi ini, wedang sebutir embun mengalir bersama tubuh semut, ia selamat atas resapan kain taplak meja, lalu kaki mungil si semut tidak lagi terseret manisnya wedang. Maka berbahagialan semut itu.

Di sinilah realitas masa depan dengan jarak keamanan. Pengamatan selembut air, sehalus kejernihan fikir mempertimbangkan akibat, kalau pilihan dihadapan akan dijatuhkan. Yang Maha Sebab menjalankan gerak, dan kita yang digerakkan kudunya berada dalam posisi imbang. Di mana selalu belajar waspada atas musabab perbuatan, yang bisa mengecewakan bangunan perasaan.

Ini bukan mengajak tidak bergerak sama sekali atau kelewat hati-hati. Di sini ada ruang renungan, di mana berlari juga menerima saat tertatih. Ruang kendali itu respon diri atas penerimaan dalam sebuah meditasi, sehingga timbangannya tidak bergoyangan oleh was-was.

Gerak itu membutuhkan udara percernah, atas daya fikir perasaan mengamati secara detail obyek yang dipertimbangkan. Namun bukan termasuk sudah dalam memutuskan pilihan. Ada saatnya takdir mengambil pilihan, lantas menuju kesadaran yang lebih tinggi.

Tidakkah orang sehat nafasnya teratur(?). Namun ketika sakit jantung, salurang nafasnya terganjal amarah, yang tentunya menampilkan efek lain. Realitas masa depan itu kesadaran menaiki tangga mengikuti jaluran hasrat yang ditentukan waktu-waktunya.

Masa tidak bisa dimodifikasi, namun dapat dikompromi bersegala daya tarik kita limpahkan. Sampai waktu dihadapkan memberi peluang, atas respon diri dalam ruangan, yang segera diajak mengisi berita acara bernama realitas.

*) Pengelana asal Lamongan, 0609 Jatim, Indonesia.

Kamis, 09 April 2009

Sajak-Sajak Mujtahidin Billah

http://sajaksufi.wordpress.com/
Aku Mencintai Ikan-Ikan Dalam Tubuhku

Telah Kaubina kasus akuarium itu dalam tubuhku aku pun mencintai ikan-ikan dalam air waktu dalam usia karang dalam uban lumut dalam hijab zarah pasir dalam igau buih nafas ikan-ikanku tak mahu lagi mengunyah roti taburkan zikir asma’Mu hanya asma’Mu merasuk di balik sisik-sisik ikan cahaya menembus cahaya gelisah mencakar dinding-dinding kaca air apakah rupa apakah kata-kata apakah lemas ikan-ikan beradu di singgahsana air makrifat sesudah mengenal hakikat akulah itu bercermin dalam warna air tanpa perasingan Kau adalah rahsia kalbu di antara semua kalbu yang mabuk fana terhukum pada makam kematian dan tatkala terbuka pintu kehidupan hanyalah ngalir air di bawah arasy memuarakan rakit doa selaksa abad menanggung rindu atma cinta derita sang maulana musafir resah ikan-ikan yang tak pernah tidur merenangi wilayah sejati mentafsir tirai kebenaran kuleraikan wadi mani manikam kulepaskan semua wajah yang bukan wajahMu di mihrab malakut maka kun jadilah aku asal muasal mentajallikan diri dalam kerajaan air yang kusaskikan hanya Kau di samawi jabarut ghaib di khutub lahut seribu ikan-ikanku menjadi satu di

l a u t a n k h u l z u m



Sang Peribadi
Untuk anggota Kalam_Senja.

Ketika waktu belum Kauciptakan
hanya cinta dalam kebadian
di lautan suara Kau menjaring kata

"Kun....."

di negeri lain Kaurumuskan pelbagai wajah
aku adalah sebutir atom yang pernah memecahkan tangis
menggelepar saat mengupas kulit wajah
seketul daging akal tiba-tiba menguak pintu
saujana cakerawala bernama raga, menapak turun
dari tiap-tiap tangga langit, menjejaki tanah akar
berkelana dengan sebilah wujud tajalli
bukan kerana terusir dari langit, bukan kerana tersalah makan
buah larangan, bukan kerana hasutan ular di bawah redup
pohon syurga, bukan kerana bongkaknya iblis enggan sujud
di kakimu Adam, bukan juga kerana teramat mencintaimu Hawa
sampai terlucut celana dalam tanpa sehelai benang pun
melekat di tubuh

ya Alif,

tatkala kubedah daging akal ini
'aku manusia keterlanjangan!'
namun bukan dari unsur jasad alam semesta
tidak akan hancur walau dikerat dan dibedah
Kaujelmakan ratusan tunas peribadi
berjubah cahaya, aku pun menyarungnya
maka kutahu keberadaan-Mu
di dalam tubuh jagat ini jua, bukan di luar



Di Balik Wajah Kalem
Untuk anggota Antologi Sajak_sufi

Memang bulan pun tidak pernah melihatkan keindahan wajahnya
bila malam terlalu pekat untuk diterangi
warna-warna kelam berbaur dengan dingin malam
mengulit sama rongga si tubuh kerdil dalam laluan jauhnya

Memang begitu lumrah malah kebiasaan yang digumul
bersama ketulan-ketulan rasa mendongkol di dada sebaknya
walaupun belum sampai menitis airmata tapi sendu yang
menggoncang bahu cukup menggegarkan seluruh
keupayaan seorang aku
dalam sia-sisa perjalanan panjangnya

Memang begitulah jika sudah ada tanda-tanda keletihan di mamah usia
yang tidak pernah kenal siapa engkau dulunya
tidak pernah tunduk dan berundur biar sejinjit langkahnya
malah akan terus meraung mengejar dan memburu waktu sisa
yang tinggal bersama kenangan yang mesti dibuang sama
sejak tabir senja tadi telah mengelubungi jagatraya kehidupannya

Memang belum ada yang boleh membantu
selain dari paduan citarasa yang unggul dan jatidiri
di bawah naungan sebuah nama yang dibina di atas
puing-puing kertas dijilat bersama baramasa tak punya ihsan
di balik wajah kalem yang tidak pasti di mana hujungnya
tempat berlabuhnya tubuh di kala panggilan Mu tiba
tanpa di duga tidak boleh dibilang hari begitupun saat
tidak lagi berkesan untuk mengembalikan segala kepayahan
menjadi untaian mutiara

Memang begitulah akhirnya bukan sebuah kesudahan yang direka
sejak tercongolnya jasad telah ditandai dengan tangisan pertama
hingga akhirnya tiada lagi airmata untuk mengiringi
kepergian jauh ke liang kamar sepimu sendiri
dalam tidur yang lama

Memang begitulah segalanya terakam Cuma
di balik wajah kalem
menyimpan dendam – dendam rindu seorang insan
meraih keperluan fitrahnya anak manusia
terlalu pegal-linu
mendenyut-denyut dari langkah ke langkah
sampai bilakah itu yang tidak boleh dibilangnya tapi tahu
pasti bilakah akhir di manakah penghujung penitian usia
yang hampir benar dengan panggilan-panggilan Mu

ya Rabbi!!!

Memang di balik wajah kalem inilah kurakam pendam
kusimpan rapi segalanya hingga di sana kelak dalam
kumpulan besar yang dijanjikan barulah segalanya
terlerai biarpun belum tentu terhurai satu demi satu dalam
kerana aku kau dia dan mereka adalah sama tapi tak
serupa di bawah naungan-Nya

memang di balik wajah kalem inilah kusimpan
rindu dalam diamku.

Senin, 06 April 2009

TANAH-INGATAN, KEKAYAAN BATHIN BAGI ANAK-ANAKNYA

Persembahan kepada Muhammad Iqbal,
Rabindranath Tagore & R.Ng. Ronggowarsito.
Nurel Javissyarqi*

Bagi siapa pun bisa merayakan keheningan dalam percakapan.
ADA yang tergerak saat ingatan diluncurkan. Ingatan itu tangan panjang yang menelisik ceruk dalam. Jika dikelola akan mendapati kesemangatan jiwa. Saat dipersatukan lewat penjabaran, atas lelangkah pengembaraan bathin dalam masa-masa silam bersimpan rindu.

Ketika ingatan dirawat, terwujudlah samudra bersama deretan gelombang gagasannya. Yang selalu bermunculan, manakala angin inspirasi terus dihembuskan kepada yang dahaga menuntut perjumpaan, hingga tercapailah nyanyian jiwa seimbang.

Saat waktu berkelanjutan, ingatan berjalin menjadi gugusan terindah esok hari. Penantian bukan saat-saat membosan, jika yang tertikam mau menterjemah wewaktu luang, sebagai lahan subur kreatifitas (meski) di tikar pesakitan.

Diri yang hendak menyempurna, menggali kedalaman berpijak; mata kaki tangga kemungkinan mendekati realitas yang terharapkan. Dan ingatan yang tertangkap oleh menyoal kepahitan. Namun, usah gusar di kemakanan beban sedih jawaban.

Segalanya mengalir, kita ciptakan tanggul kokoh demi maksud yang tercitakan. Sungguh yang susah payah menuju keberhasilan. Ini jalannya merawat ingatan, agar bertambah menggairahkan di dalam menggugah pengalaman.

Yang terjatuh di lubang serupa, sebab tak menghargai kemarin sebagai bahan pelajaran. Sia-sia jika tak menghadirkan ingatan silam demi tanjakan, padahal perubahan masa mengajaknya menuai makna. Yakni ingatan yang tertumpuk akan melemah, jikalau tak dipelihara lewat mawas diri senantiasa.

Inilah jiwa berkembang, kesadaran mengaca pada sesamanya, esok bakal bercahaya pandangan seorang. Ingatan itu memetik bebuahan yang tertanam, maka mustahil memanen ladang kosong; inilah proses pendewasaan yang kudu dilakukan, kalau berharap limpahan berkah makna.

SEBAGAIMANA tanah sumber kehidupan, anak manusia yang berjalan itu nyala api hayati, menghimpun dinaya yang beredar dari perubahan musim, sebagi tanda kasih langit, tanpa bayang-bayang mega selain kerinduan.

Saat insan terlahir, ia telah bersalam ruh nenek moyang; kejadian bathinnya menjelma bentukan takdir, oleh lelaku kehendak berkuasa di atas kaki-kaki kesadaran dunia.

Inilah pulung memancari malam benderang, pengharapan fajar menyeruak pekabutan, menggulirkan bulir-bulir embun. Lalu makna hayat berbicara, saat bayu meniup pada telinga rindu akan ayunan yang mendewasaan.

Meski merantau ke sebrang, insan tetap merindu-ingat-tanah muasal, kejadian gelombang mengarungi parasaannya yang dalam. Suatu saat dapat mengancam, jika keinginan jahat penunggui di balik badan.

Dalam balutan tubuhnya, denyutan darah perjanjian moyang, nilai-nilai yang diwarisi sejak dalam kandungan. Maka meski jauh merantau, hakikat tanah-kelahiran-ingatan itu tetap terbawa, sampai ajal membaringkannya.

Pengharapan masa baik pada setiap tikungan pergolakan, membuatnya bertahan sebagai lemah-lempung mematangkan jiwa, memaknai dirinya yang dierami tanah-ingatan. Barang siapa bersanggup mengolah keuletannya mencapai kilau cahaya, sebiji jarak bagi minyak lampu di pedusunan jiwa.

Senyum bulan ibunda tetap menyetiai anak-anaknya, memberinya nyenyak selepas merebahkan badan perjuangan. Jikalau teriknya siang, matahari menyengat kulit memberi kesadaran; ia diawasi ayahanda kehidupan dalam setingkap langkah perbuatan, sebagai ejawantah tanah kelahiran ingatan.

Dan jiwa-jiwa tradisi permenungan menjadi daya ketenangan, saat di awang-awang kemungkinan menerbangkan jasad yang keropos. Mimpi sebagai kesucian, ketika tempat melepaskannya menuju ruang kedamaian.

Langit menaungi gemintang saat memanjat ingatan, mununtun kepada kepulangan abadi, membuka pepintu rahasia wengi, kelambu halus tersentuh makna hayati. Tanah tumbuh bebunga beserta duri-durinya, menterjemah perubahan waktu dalam kelopaknya yang menawan.

Bagaimana kembang berbicara kepada manusia, bebatuan kerikil memberi pengajaran. Insan terus mengembara dalam batiniahnya, sebelum menemukan telempap labuhan jiwa.

Menuntunnya membaca tanda di jalan kembara, merawat ruang-waktu yang berkelebatan, sebagian dianggapnya musim tak kekalkan makna. Ia mengabdi pada tumpah darahnya; menyungguhi terjadinya sejarah.

Ketentuan terbentuk setelah berlatih permenungan, menumbuhkan bebulu sayap hasrat menaiki tangga-tangga awan, mengikuti tiupan angin bathiniah.

Seruling jiwanya mengumandangkan hidup menuju tlatah tanpa warna, wilayah yang belum memasuki berita. Lalu mengikuti dengan kehati-hatian membaca, menjabarkan hasrat serta kekinian;

“Air menumbuhkan pohon pada tanah,
menyegarkan lipatan rasa yang terkira.”

Keahlian dapat dipelajari atas penampakan hingga yang terjadi. Di mana yang berselimut kudu dirabah dengan jemari perasaan masa, agar tak lama memaknai usia.

Ini penggalian tanah leluhur, menempa spiritualitas, menggayuh perahu hayat sambil berkidungan, agar fajar terlaksana di kaki-kaki pesisir realita. Sebagaimana seruan ini;

“Wahai tanah kelahiran ingatan
daku tengah membicarakanmu
maka berikan petuah-petuahmu,
lalu lemah-lempung itu menggeliat
selepas terpanasi matahari”

Sebuah kemungkinan, di mana menarik kabut membayang, meyakinkan diri sebagai yang terjadi. Terpana atas kemabukan rahasia, bagi yang tidak sanggup mendegarkannya.

Ini percakapan hening, menterjemah tanah-ingatan manusia, mengembangkan unsur senyawa memercikkan cahaya, merespon sekitar demi teguhnya pendirian. Bukan menujum pembaca melampaui pagar rumah, namun membuka jejaring kemungkinan bagi luasanya jiwa bercakrawala.

*) Pengelana dari desa Kendal, Karanggeneng, Lamongan, Jawa Jimur, Indonesia.
7 Mei 2006, 09 Lampung.

Jumat, 03 April 2009

Samsudin Adlawi, Penerima Penghargaan HSN Center

Tetap Eksis Ketika Sastra Banyuwangi Mati Suri

Aldila Avrikartika
http://indopos.co.id/

Meski dunia sastra Banyuwangi saat ini mati suri, Samsudin Adlawi tetap aktif melahirkan karya sastra. Lembaga penelitian sosial budaya lokal, Hasnan Singodimayan Center (HSN Center) pun memberinya apresiasi khusus.

Suasana seblang room Radar Banyuwangi di jalan Yos Sudarso Banyuwangi, berbeda dari biasanya malam itu. Puluhan pecinta dan penikmat sastra memadati ruangan tersebut. Mereka berdiskusi dalam acara Forum Kemisan dengan tema 'Perkembangan Sastra Modern Indonesia'.

Kalau melihat daftar hadir diskusi, sekitar 75 persen peserta berasal dari Kecamatan Genteng. Daerah tersebut merupakan salah satu kecamatan yang memiliki penikmat sastra cukup tinggi. Sedangkan, peserta diskusi lainnya adalah sastrawan muda yang baru saja meluncurkan buku 'Rhapsodi Banyu Mata Rindu' Ahmad Rai D, Rosdi Bahtiar Martadi, dan Taufik Walhidayat dan beberapa nama lainnya.

Tidak mau ketinggalan, budayawan gaek Hasnan Singodimayan yang juga dewan HSN Center juga hadir. Ada juga penyair Fatah Yasin Noor. Di sela-sela peserta diskusi itu juga tampak Samsudin Adlawi. Dia mengekana jaket warna coklat dengan bawahan celana jins.

Malam itu, para peserta diskusi terlihat cukup ceria. Seskali terdengan canda tawa para peserta. Suasananya mirip reunian para sastrawan. Maklum selama ini, sastra di Banyuwangi dicap mati suri oleh kalangan sastrawan dan penyair itu sendiri. Sehingga, para sastrawan senior dan juniornya tidak pernah bertatap muka. Diskusi Forum Kemisan itu langsung jadi acara kangen-kangenan untuk mengobati rasa rindu mereka.

Malam itu, ternyata juga jadi malam yang spesial bagi Samsudin Adlawi. Tanpa diduga, Hasnan Singodimayan Center (HSN Center) memberinya penghargaan khusus. Lembaga tersebut menilai, Samsudin cukup banyak memberi kontribusi terhadap perkembangan sastra Indonesia modern di Banyuwangi. Piagam itu diberikan langsung oleh Direktur HSN Center Ahmad Rai D.

Rai mengatakan, sebagai penulis sastra junior, dirinya merasa perlu mencontoh apa yang selama ini sudah dilakukan oleh Samsudin. Meski sastra di Banyuwangi sudah mati suri sejak 1998, Samsudin tetap eksis memunculkan karya-karya sastra. Apalagi, medianya selalu memunculkan puisi-puisi. Selama ini, sepengetahuanya masih belum pernah koran yang menampilkan puisi di halaman depan. ''Dengan begitu, tatanan koran bisa lebih bagus dan enak dibaca,'' ujarnya.

Rai mengaku, meski semua sastrawan dan penyair di Banyuwangi sedang tertidur lelap, Samsudin terus menorehkan ide-idenya dan terus bernafas. Sehingga sangat wajar, kalau dia mendapatkan piagam tersebut.

Sementara itu, Hasnan Singodimayan mengaku dirinya sangat terkesan dengan figur Samsudin. Menurutnya, Samsudin berangkat dari sastra dan juga besar di sastra hingga menjadi seorang jurnalis. ''Dulu, dia (Samsudin) dijuluki penyair kambing hitam,'' kata Hasnan.

Hasnan mengatakan, karya-karya sastra Samsudin tidak pernah berhenti di setiap dekade. Kiprahnya di sastra Indonesia patut diacungi jempol. Karena dia menulis dengan sepenuh jiwa. Tidak hanya itu, kecintaanya kepada sastra terutama kepada puisi sudah tidak bisa diukur. Biasanya, ada orang yang menyukai sastra, tetapi setelah terjun di dunia birokrasi maupun politik, dia lalu meninggalkan dunia sastranya. ''Tetapi tidak pada diri Samsudin. Meski sekarang sudah jadi direktur Radar Banyuwangi, dia tetap eksis di dunia sastra,'' katanya.

Sepengetahuan Hasnan, pria kelahiran Banyuwangi 7 April 1970 itu sudah menggeluti sastra sejak kuliah jusrusan Sastra Arab di Malang. Tulisannya berupa opini, resensi, dan puisinya dimuat di beberapa media. Puisinya juga terbit dalam antologi Interupsi, Sajak-Sajak Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (Solo,1995), Bangkit 3, Getar 2 (Batu, 1996), Detak (Banyuwangi, 1997) dan Cadik (Banyuwangi, 1999). Bahkan, Samsudin juga memopulerkan sastra lokal seperti komunitas sastra 'Selasa' yang di Banyuwangi.

Sastrawan muda Banyuwangi, Taufik mengaku, dirinya mengakui senang dengan sosok dan kiprah Samsudin Adlawi. Sebab, mati surinya sastra di Banyuwangi ini, karena penyair maupun sastrawannya tidak produktif. Selain itu, tidak ada saluran dan tidak ada fasilitator. ''Sedangkan Samsudin terus bernafas, di saat sastra mati,'' katanya.

Menurut Taufik, dengan adanya pertemuan sastra dan dinobatkanya Samsudin sebagai sastrawan, kami berharap dunia sastra modern di Banyuwangi mulai menggeliat. Pikiran dan tenaganya sangat kami butuhkan, tidak hanya itu kolom puisi di Radar Banyuwangi juga bisa dimunculkan lagi dengan begitu kami semua memiliki saluran.

Direktur HSN Center, Rai D menambahkan, mereka akan menggelar Pergelaran Akbar Baca Puisi pada 15 Maret 2009 mendatang. Pergelaran itu untuk menggeliatkan kembali sastra di Banyuwangi. Rencananya, mereka juga menggandeng penyair gaek Willy Soemnatri (WS) Rendra. ''Dulu pada tahun 1998, Samsudin juga pernah mendatangkan W.S. Rendra. Semoga langkah awal ini, dunia sastra di Banyuwangi bisa eksis sampai kapan pun,'' harapnya.

Kamis, 02 April 2009

Persoalan Seni Fiksi dan Seni Fakta

Hudan Hidayat
Republika 10 Feb 2008

Mengkritisi tradisi sastra Indonesia terkini yang ditandai kecenderungan menguatnya politik sastra, penyair Ahmadun meminta kita berdialog kembali kepada teks. Sehingga, yang akan terjadi bukanlah “inilah saya”, tapi ”inilah karya saya.”

Opini penyair Sembahyang Rumputan itu nampak mengandung perbedaan yang tegas. Tapi, kalau kita pikirkan lagi, “inilah saya” dan “inilah karya saya” adalah hal yang niscaya. Karena “saya” berada di dalam “karya saya”. Dan saya yang sedang melakukan politik sastra atau politik tekstual sastra, bisa terjadi, atau tak bisa dilepaskan, dari “inilah karya saya”. Atau “inilah karya saya” bisa terjadi, atau tak bisa dilepaskan, dari “inilah saya”.

Kita sangat beruntung memiliki Tuhan. Karena, model pertama “inilah saya” datang dari-Nya. Yang mewujud ke dalam dialog. Tuhan bisa langsung menciptakan manusia (Adam) tanpa harus mengatakannya. Tetapi toh Dia mengatakannya. Akan Kuciptakan manusia ke dunia, kata-Nya. Kata-kata Tuhan ini adalah model “dialog pertama”. Dan, respon iblis menjadi model “konflik pertama”. Maka dialog dan konflik menjadi paket dari pihak yang berkomunikasi.

Karena itu, mengharapkan dunia sepi dari konflik, hampir mustahil. Sama mustahilnya meminta dunia tanpa dialog. Mematikan dialog terasa tak menghormati ajaran Tuhan, atau menantang Tuhan. Kemanakah kita kalau berpaling dari Tuhan? Tak akan kemana, karena kemana pun kau menghadap di sana wajah-Nya juga.

“Inilah saya” oleh Tuhan mewujud ke dalam “inilah karya-Ku” yakni dunia dan isinya. Kau boleh menggunakannya sesuai ajaran-Ku. Tetapi ingat, karena “saya” ada di situ maka kau harus mengingat-Ku dengan menyebut nama-Ku. Banyak memuji dan memuliakan diri-Ku. Segera terlihat Dia yang ingin “diakui”. Dan Dia yang murka bila “eksistensi-Nya” tak diakui. Maka, Tuhan tak cukup hadir beserta karya-Nya tapi hadir juga beserta diri-Nya.

Untuk alasan semacam ini maka saya berpendapat bahwa seni bukan hanya terdedah dalam kata. Tapi, juga dalam manusia. Sehingga dia menjadi “seni fiksi” dan “seni fakta”. Sehingga, sebuah novel bukan hanya mengeram dalam aksara, tapi juga mengeram dalam (diri dan ucapan) manusia. Sehingga, novel menjadi manusia yang berjalan. Persambungan semacam ini mengisyaratkan sebuah dialektik: keindahan yang berjalan bolak-balik, antara novel dan pengarangnya.

Dialog dan konflik dalam sastra Indonesia kini bisa dipandang sebagai jejak dari seni fiksi dan seni fakta yang sedang memainkan perjalanan bolak-baliknya. Pada titik tertentu, seni fakta itu menjadi seni fiksi. Ia menjadi fiksi yang enak juga dinikmati (umpama gerak mata Saut dan Wowok yang seolah mengedip nakal, atau senyum Goenawan yang nampak misteri dan intelektual). Selalu kita bisa mencari atau menemukan sisi-sisi humor dari dunia yang sedang kita hadapi.

Saya telah menjelaskan filsafat “saya” dan “mengada” dari Sidratil Munthaha. Tempat saya mengembalikan segala dialog dan konflik. Tempat nenek-moyang pengetahuan pertama. Maka saya bisa mengerti bila Sutardji Calzoum Bachri tak cukup menuliskan O Amuk Kapak, tapi juga menulis esai. Bisa dikatakan seluruh buku Isyarat adalah manifestasi dari “inilah saya” dalam perspektif “inilah karya saya”.

Itu adalah upaya yang wajar. Karena politik tekstual semacam itu bukan saja dibutuhkan untuk mengawal “saya-nya” Sutardji yang telah terepsentasi dalam “karya Sutardji”. Tapi, ia adalah perwujudan dari seni fakta yang kini menemukan dirinya ke dalam seni esai. Bahkan seni dalam tubuh Sutardji sendiri.

Maka, bisa dipandang, atau dinyatakan, dialog dan konflik sastra yang diminta oleh penyair Ahmadun Yosi Herfanda untuk dikembalikan kepada teks itu adalah seni fakta dalam bentuk ucapan. Dimana sang sastrawan sedang membela “saya-nya” yang telah terepsentasi dalam “karyanya”. Rupa-rupanya telah terjadi ketidak-adilan. Rupa-rupanya mereka sedang memainkan seni yang mengeram dalam tubuh manusia yang berjalan.

Sastra Indonesia tidak akan mati oleh rendezvous dengan model dialog dan konflik seperti yang kita lihat akhir-akhir ini. Tuhan selalu menyimpan rahasia untuk dunia. Dunia yang mengalami kemajuan melalui perbantahan. Maka banyak-banyaklah bersemedi agar rahasia semua ini bisa terkuak dalam hati.

Di luar alur dialog dan konflik semacam itu, dunia sastra Indonesia kehadiran warganya tanpa kita pernah menyadarinya. Saya menemukan Amien Kamil yang berjalan di kota-kota besar Eropa sendirian saja tanpa pernah berkata-kata. Dari perjalanan panjang itu, tiba-tiba Amien hadir dengan Tamsil Tubuh Terbelah.

Mendadak Amien Kamil mensejajarkan diri dengan Binhad Nurrohmat, Fadjroel Rachman, Zain Hae atau Mardi Luhung di ajang Katulistiwa Literary Awards (KLA), yang meski penuh kontroversi, nyata adanya. Kehadiran yang bukan dibingkai oleh kokok ayam bersahutan/dengan suara adzan, seperti larik puisinya. Amien Kamil hadir dengan berkata: Aku pernah juga terpelanting dan terkesima/di lorong-lorong museum, singgah di toko sex/dan tersihir saksikan karnaval keliling kota.

Sebuah buku puisi telah di tangannya. Buku yang dihias lukisan apik, lukisannya sendiri. Buku yang, astaga, semuanya dikerjakannya sendirian saja. Sehingga, kata Iwan Fals di sampul belakang buku, “Kalo soal Om Amien ane percaye aje deh. Die entu kagak ade matinya, idup di segale cuace. Kalo enggak percaye baca aje ni ‘Tamsil’.”

Saya juga menemukan novel Sunar karya Sigit Susanto. Pengarang ini meliuk dari kesusastraan Indonesia yang angker dengan membuat kanal di dunia maya. Yakni milis Apresiasi Sastra. Seperti yang saya lihat juga di kalangan penyair Komunitas Bunga Matahari yang sering saya dengar puisi-puisinya di Radio Prambors. Sunar yang telah kehilangan ibunya tapi mampu tetap kokoh. Terbaca oleh saya sebagai nyanyian pengarangnya sendiri yang kini bermukim di Swiss. Novel Sunar di tulis tahun 1994, tapi baru di ujung tahun 2007 kita “temukan”.

Bila Amien Kamil berjalan di lorong-lorong kota di Eropa untuk menemukan eksistensinya, maka Nurel Javissyarqi berkelana dari pesantren ke pesantren di ujung-ujung Pulau Jawa untuk menghadirkan Kitab Para Malaikat ke tengah kita. Inilah karya penyair yang gemilang, yang mampu berdiam dalam keheningan sumur kata yang dalam.

Kehadirannya tanpa ancang-ancang membuat kita tak mengetahuinya. Tak mengapa. Kita memang mengalami ledakan sastra yang tiba-tiba di tengah persoalan kritikus sastra dan ruang serta interes media massa.

Kehadiran Nurel bisa diletakkan pada perspektif “nilai kata yang lain, atau bentuk sastra yang lain”. Dan, Nurel hadir tidak hanya untuk diri sendiri. Tapi mengajak orang lain menulis melalui penerbitannya, Pustaka Pujangga, yang telah melahirkan banyak penulis di ujung Jawa Timur. Salah satunya, AS Sumbawi, dengan novel Dunia Kecil, Panggung dan Omong Kosong.

Kitab Para Malaikat sampai membuat Maman S Mahayana berkata, “Temukan Nurel di antara Socrates, Plato, Derrida, Iqbal, Sutardji, Afrizal Malna”. Dan, saya ingin menambahkan: temukan juga Nurel di tengah Sembahyang Rumputan.

Saya kira Maman benar. Kitab Para Malaikat memang mencapai tingkatan itu. Seperti terbaca di salah satu larik “kitab” itu sendiri:
Percikan ini berasal bebijian zaitun bersimpankan minyak/cemerlang tanpa nyala api, laksana insan berkehendak tinggi/melebihi kursi kedudukan para Malaikat Ruhaniyyuun.

Lost In Majapahit Segera Digelar

Oleh ogiex69press - Swara Majapahit
http://ogiex69press.wordpress.com/

Informasi tentang dugaan perusakan situs Majapahit kembali memantik beragam kalangan untuk mendatangi lokasi situs di Trowulan Kabupaten Mojokerto. Mereka sangat prihatin mendengar berita itu.

Kondisi ini yang menggugah kelompok dari pekerja seni dan pecinta sejarah serta civitas akademika merapatkan barisan. Di Padepokan Selo Adji di desa Watesumpak, kec. Trowulan, Mojokerto (16/2) para seniman dan budayawan dalam sebuah komunitas Kelompok Pekerja Seni Pecinta Sejarah (KPSPS) berkumpul. Tujuannya satu, berdiskusi tentang upaya pelestarian dan perlindungan benda-benda bersejarah.

Kelompok ini dimotori pelukis Jansen Jasien asal Krian dan Rully Anwar jurnalis radio Suara Surabaya. Mereka memutuskan membentuk KPSPS perwakilan Mojokerto. Hadir pula dalam pertemuan itu, rombongan dari Universitas Ciputra Surabaya diantaranya, Freddy H Istanto, Dekan Fakultas Teknologi dan Desain.

Chairman Surabaya Heritage ini juga mengajak beberapa dosen seperti Yohanes, Direktur Program, Eko. Ibu Ir Jean Francois Poillot, Ir L Maureen Nuradhi, Ibu Ida dan Alwi Sjaaf, peneliti dari Jakarta. Mereka turut pula menyaksikan terbentuknya KPSPS Perwakilan Mojokerto yang mendapuk Jansen Jasien, kelahiran Gresik, 15 april 1974, sebagai ketua.

Jansen Jasien berharap kepengurusan KPSPS Mojokerto nantinya akan berjalan dengan baik dan membawa barokah. Yohannes, selaku Diretur Program Universitas Ciputra Surabaya mengutarakan bahwa saat ini industri kreatif menjadi tren.

Pada dasarnya secara pribadi maupun lembaga dapat menghasilkan entreprenur. Kalau seniman mengetahui apa yang diinginkan market tentu menarik. Ia menceritakan, ketika berkunjung ke Amerika Serikat, ada museum yang menjual replika patung patung yang menjadi koleksi museum di Amerika. Bentuknya kecil dan halus sehingga dapat dijual dengan harga mahal.

Program kerja KPSPS Mojokerto tahun ini adalah mengadakan pameran seni rupa merespon Majapahit. Ada 10 usulan yang akan dipilih sebagai judul pameran yakni Wayahing Majapahit, Ribut ing Majapahit, Goro Goro Majapahit, Nglangut ing Majapahit, Majapahit oh Majapahit, Imajinasi (Memori) Majapahit, Pesan dari Majapahit, Situs yang bergerak, Lost in Majapahit dan Retro of Majapahit.

Secara aklamasi 14 peserta memilih Lost in Majapahit yang bakal dihelat Oktober 2009
di Galeri House of Sampoerna (Surabaya) dan Padepokan Selo Adji (Trowulan).

Pameran akan diikuti perupa dari Semarang, Surabaya, Mojokerto, Lamongan. Mereka adalah: Ribut Sumiyono, Hadi Sucipto, Nanang, Samijan, Muchisun, Nanang Moeny, Joni Ramlan,Nurel Javissyarqi, Jansen Jasien, Hardono, Dukan Wahyudi, Jarwoko, Hari Yong, Iwan Elastis Desain, Andi Prayitno, Sugeng Hariyanto, Saiful Hadjar, Jenny Lee, Peter Wang, Auli Kastari, Asep Leoka.

Peserta bebas mengekspresikan kesan-kesannya pada Majapahit lewat media lukis, sketsa, patung fotografi, instalasi. Untuk membantu mengarahkan tema pameran, Fahrudin Nasrulloh akan membuat esai pengantar pameran.

Program lain yang sedang digagas adalah memberikan penghargaan kepada sejumlah juru kunci candi/situs yang selama ini masih belum mendapatkan penghargaan yang layak atas dedikasinya selama ini.

Pengurus KPSPS Mojokerto
Ketua : Ribut Sumiyono
Wakil Ketua : Hadi Sucipto
Sekretaris : Abdul Malik
Bendahara : Nanang
Alamat : Jl.Raya Jatisumber Desa Jatisumber 11, Desa Watesumpak, Kec Trowulan, Kab. Mojokerto - Jawa Timur
Telp/fax 0321- 496171, Hp 081 232 79 716
Email: ribut.sumiyono@gmail.com http://seloadji.multiply.com

Rabu, 01 April 2009

RINDU-INGATAN DUNIA PUITIS

Untuk sebuah nama, Kavellania
Nurel Javissyarqi*

Rindu merupakan bentuk anganan yang kedalamannya ada kerja penggalian, mengeruk memori demi dihasilkan kepada tataran pengorganisasian ingatan. Atau rindu berdaya magnetik yang jangkauannya halus nun jauh sejenis gravitasi.

Namun kerinduan itu tidak dapat dibuat-buat serupa penciptaan magnit buatan, sebab dirinya berangkat dari daya gugah. Dan ingatan rindu sebagai pembentuk kesadaran akan hasrat menguasai. Yang lama-kelamaan bertambah hingga yang dirindukan menjadi realitas tersendiri, mendapati logika pengayaannya di kala menyampaikan tujuan.

Sangat logis setiap tanda dimaknai sebagai tahap tingkatan proses hayati, yang jabarannya sedari pengembangan asal terindukan. Ingatan sebagai sarana memasuki, sedangkan rindu melogikakan setiap lelapisan rasa, yang melahirkan sosok penentu logika.

Rindu ialah fitroh yang terbentuk melewati pendekatan paling halus, memiliki ikatan emosi di dalam merasai realitas masa depan. Dan insan akan mencapai derajat tertentu, sekumpulan waktu yang sanggup dirindukan. Jika menyetubuhi waktu-waktu intim; kehalusan masa menterjemahkan kesunyian dingin teramat genting.

Hal ini terangkat kalau merenungi ceruk penalaran lain, dengan menggali daya di bawah sadar penciptaan. Sejenis membangkitkan perasaan pembaca dengan kesungguhan -pernah. Rindu dan ingatan selalu beriring menjalani titah tuannya, memiliki kekayaan masing-masing yang saling melengkapi.

Tampilannya sejenis sugesti kepercayaan, keyakinan diri atas dirindukan di depan penalaran yang -nyambung. Pergumulan bathin mengelolah realitas-perasaan, atau kesadaran bersenggama antara data dan anganan.

Lebih jauh memasuki logika rasa dengan tangkapan telinga. Suara-suara terngiang, semisal membaca di kedalaman bathin menggema. Menciptakan kenangan yang turut menjadi fungsionalitas data.

Logikanya serba mungkin, tetapi kadang menangkapnya dengan porsi berbeda. Maka keraguan yang tampil di sana, suatu waktu menjelma penentu jika terus diberlakukan penelitian seksama. Keraguan menjelma kendala hadirnya kenangan, namun bisa juga berubah momok rindu jika melewati tahap-tahap yang sedang kasmaran.

Kerinduan itu hasrat penguasaan dalam, yang berkembang jika dirawat dengan kemampuan merasai, merayu muara waktu menuju jarak terdekat. Kerinduan menerjemahkan lelapisan kalbu, mengusap kekabutan masa, menyingkap gambaran bisu percakapan hening. Lalu memasuki wilayah paling sakral, saat dihadapkan yang dirindukan.

Pertemuan seolah mimpi atau kejadian lepas kendali, kalau tidak ditarik ulang dari mana datangnya. Lamat-lamat tidak menemukan, seumpama menangkap kabut, tak bisa menceritakan lebih. Atau sebuah maksud terimakasih yang tak dapat dikisahkan juah. Sebab ungkapannya begitu dalam, serupa rindu yang tengah tersampaikan, atas ketulusan merajai maksud tujuan.

Ini bukan kawasan sulit diterima, kala mengembangkan rindu demi masa-masa khusyuk. Yang seolah tidak bersambungan, tetapi mengetahui sejauh mana nafas-nafas ikhlas memberi-menerima. Rindu sebelum bertemu itu kebisuan, ingatan terkembang di garis kepayahan. Waktu-waktu lambat penuh perasaan, percepatan memori berkelebat, seolah tak berkaki kesadaran.

Di kedalaman tanah terkandung kepahitan, dingin menusuk hati hingga tak sanggup merasai. Ini rindu meluluh-lantangkan ingatan ke penguburan. Namun ketika angin perasaan tropis bertiup, rerumputan hidup kembali, seolah tak pernah terjadi kemarau panjang.

Dan perasaan perindu terus menyusuri jalan-jalan tiada ujung, kalau tidak meneguhkan niatan ulang, menyetiai sungguh yang terindukan. Lalu kuncup-kuncup bunga bermunculan, bersama nafas-nafas meniup kebahagiaan; kerinduan itu mata rantai kuat akan ingatan.

*) Pengelana 01, 09 Magelang-Lamongan.

SASTRAWAN INDONESIA PASCA-ANGKATAN 66

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

BAGIAN I

Masalah angkatan dalam pelajaran kesusastraan Indonesia di sekolah-sekolah sering kali merepotkan para guru. Apakah setelah Angkatan 66, tidak ada lagi angkatan yang lahir kemudian? Jika ada, angkatan apakah namanya? Siapa pula yang termasuk angkatan ini dan apa saja karya yang telah dihasilkannya? Apa pula ciri-ciri yang menonjol yang diperlihatkan Angkatan pasca-66, sehingga ia berbeda dengan Angkatan 66?

Begitulah, sejumlah pertanyaan itu –yang diajukan siswa– kerap membuat para guru sastra “gelagapan”. Persoalannya bukan karena ketidakmampuan para guru untuk menjawab pertanyaan itu, melainkan lebih disebabkan oleh kekhawatiran mereka jika jawabannya salah. Lebih jauh lagi, kekhawatairan, bagaimana jika kemudian pertanyaan sejenis itu, muncul dalam soal-soal Ebtanas (Evaluasi Belajar Tingkat Nasional/Ujian). Lalu, bagaimanakah para guru harus bersikap atau mencoba menerangkan duduk persoalannya?

Dalam kaitannya dengan masalah tersebut, guru sebaiknya tidak memberi pertanyaan pilihan, tetapi memberi pertanyaan esai. Dalam soal pertanyaan seperti, jawabannya bukanlah terletak pada benar atau salah, melainkan pada logis atau tidak, argumentatif atau tidak. Tujuannya, agar siswa belajar memahami pengetahuan yang didapat dari guru dan buku yang dibacanya. Siswa sekaligus juga belajar mengungkapkan sendiri lewat keterampilannya memahami bacaan dan merumuskan pikiran atau gagasannya dengan bahasanya sendiri.
***

Harus diakui, setelah Angkatan 66 dengan salah seorang tokoh kuncinya, Taufiq Ismail, baru Pamusuk Eneste dalam bukunya Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern (Djambatan, 1988), yang membakukan Angkatan 70-an dalam buku pelajaran sastra untuk SLTA. Jadi, setelah Angkatan 66, sebenarnya telah muncul Angkatan 70-an dan mereka telah menghasilkan karya-karya penting. Justru setelah Angkatan 66 itulah, khazanah kesusastraan Indonesia memperlihatkan kesemarakannya yang luar biasa.

Secara kuantitatif dan kualitatif, karya-karya yang muncul kemudian jauh lebih beragam dan lebih berani menampilkan berbagai eksperimentasinya. Dan yang lebih penting lagi, karya-karya mereka sudah makin memperlihatkan kematangannya. Jika demikian, atas dasar pemikiran apa sehingga karya-karya mereka tidak dimasukkan ke dalam Angkatan 66? Untuk memperoleh gambaran mengenai hal tersebut, perlu kiranya kita menyimak dahulu dasar pemikiran H.B. Jassin dalam penyebutan Angkatan 66.

Dasar pemikiran Jassin mengenai penamaan Angkatan 66, bertumpu pada peristiwa tahun 1966 ketika mahasiswa, pelajar dan para pemuda kita mendobrak kebobrokan dan penyelewengan negara. “… kita pun menyaksikan satu ledakan pemberontakan dari penyair, pengarang dan cendekiawan, yang telah sekian lama dijajah jiwanya dengan slogan-slogan yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.” Selanjutnya Jassin mengatakan: “Siapakah pengarang-pengarang yang termasuk Angkatan 66 ini? Ialah mereka yang tatkala tahun 1945 berumur kira-kira 6 tahun dan … tahun 1966 kira-kira berumur 25 tahun. Mereka … telah giat menulis dalam majalah sastra dan kebudayaan sekitar tahun 55-an, seperti Kisah, Siasat, Mimbar Indonesia, Budaya, Indonesia, Konfrontasi, Tjerita, Prosa, Basis….”

Dengan dasar pemikiran tersebut, maka H.B. Jassin memasukkan nama Motinggo Boesje, Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, Arifin C. Noer, Ramadhan KH, Bur Rasuanto, Rendra, Ajip Rosidi, Subagio Sastrowardojo, Titie Said, Slamet Sukirnanto, Satyagraha Hoerip, N.H. Dini, dan beberapa nama lain. Sebagian besar dari nama-nama itu, memang terlibat aktif dalam pergolakan politik yang terjadi tahun 1960-an. Beberapa dari mereka, terutama Taufiq Ismail, Abdul Wahid Situmeang, Slamet Sukirnanto, Bur Rasuanto, juga menghasilkan karya yang memperlihatkan perlawanannya atas kebrengsekan yang dilakukan pemerintah waktu itu. Jadi, pemikiran Jassin lebih didasarkan pada usia pengarang dan kiprahnya pada pertengahan tahun 1950-an sampai tahun 1966, serta pada karya-karya yang menggambarkan perlawanan atau kritik sosial.

Setelah gerakan mahasiswa tahun 1966 berhasil menumbangkan rezim pemerintahan Orde Lama, kehidupan sosial budaya, terutama sastra, seolah-olah telah memperoleh saluran kebebasan berkreasi. Sejak akhir tahun 1967, dan terutama di awal tahun 1970-an, bermunculanlah karya sastra yang memperlihatkan semangat kebebasan itu. Maka, di antara karya-karya yang konvensional yang terbit tahun 1970-an, tidak sedikit pula yang memperlihatkan semangat kebebasan itu yang diejawantahkan dalam bentuk karya-karya eksperimental. Sementara itu, nama-nama yang oleh H.B. Jassin dimasukkan ke dalam Angkatan 66, dalam tahun 1970-an itu, justru makin memperlihatkan kematangannya.

Jika disederhanakan, sastrawan tahun 1970-an atau sebut saja Angkatan 70-an, berdasarkan karya-karya yang dihasilkannya, dapat dibagi ke dalam tiga kelompok.

Pertama, mereka yang termasuk Angkatan 66 atau yang telah berkarya pada da-sawarsa tahun 1960-an, tetapi mulai makin matang pada tahun 1970-an.Yang termasuk kelompok sastrawan dari golongan ini antara lain, Rendra, Nasyah Djamin, Umar Kayam, N,H. Dini, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Titis Basino, Abdul Hadi WM, Slamet Sukirnanto, Sori Siregar, Gerson Poyk, Wing Kardjo, D. Zawawi Imron, M. Poppy Hutagalung, Husni Djamaludin, Muhammad Fudoli, Leon Agusta, dan Satyagraha Hoerip.

Kedua, mereka yang karya-karyanya baru muncul tahun 1970-an. Yang termasuk sastrawan golongan ini, antara lain, Korrie Layun Rampan, Emha Ainun Nadjib, Rayani Sriwidodo, Sri Rahayu Prihatmi, Wildam Yatim, Marianne Katoppo, Toeti Herati, Abrar Yusra, Aspar Paturisi, Emha Ainun Nadjib, Hamid Jabbar, Putu Arya Tirtawirya, Linus Suryadi, Arswendo Atmowiloto, Marianne Katoppo, dan Seno Gumira Ajidarma

Ketiga, mereka yang menghasilkan karya-karya dengan kecenderungan melakukan bentuk-bentuk eksperimentasi. Di antara mereka ada pula yang sudah berkarya sejak tahun 1960-an. Yang termasuk ke dalam golongan ini, antara lain, Iwan Simatupang, Arifin C. Noer, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Kuntowijoyo, Putu Wijaya, Ikranegara, Budi Darma, Ibrahim Sattah, Leon Agusta, Adri Darmadji Woko, Darmanto Jatman, dan Yudhistira Ardi Noegraha.

Dari kelompok ketiga yang memperlihatkan bentuk eksperimentasi itu, pernyataan sikap penyair Sutardji Calzoum Bachri, dapatlah dianggap mewakili usaha pembaruan yang dilakukan mereka. Pada tanggal 30 Maret 1973, Sutardji Calzoum Bachri menyatakan pendirian kepenyairannya dalam sebuah pernyataan yang disebutnya “Kredo Puisi.” Berikut ini akan dikutip beberapa bagian dari Kredo Puisi tersebut.
“Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari-nari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, ….
Sebagai penyair saya hanya menjaga –sepanjang tidak mengganggu kebebasan-nya– agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa men-dapatkan aksentuasi yang maksimal.
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengembalikan kata-kata pada awal-mulanya. Pada mulanya–adalah Kata. Dan Kata Pertama adalah Mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.”

Ciri-ciri yang menonjol dari eksperimentasi yang diperlihatkan karya-karya yang muncul dasawarsa 1970-an itu, dapatlah disebutkan beberapa di antaranya. Untuk novel dapat diwakili oleh karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya dan Kuntowijoyo. Ciri khas yang menonjol dari karya mereka pada tema yang mengangkat masalah keterasingan manusia dan kehidupan yang absurd. Identitas tokoh menjadi tidak penting. Latar tempat dan latar waktu, dapat berlaku di mana dan kapan saja. Alur tidak lagi menekankan hubungan sebab-akibat (kausalitas). Peristiwa yang dihasilkan oleh lakuan dan pikiran, disajikan secara tumpang-tindih. Akibatnya, peristiwa itu seolah-olah tidak jelas lagi juntrungannya.

Untuk cerpen, dapat diwakili oleh karya-karya Danarto, Putu Wijaya, Kuntowijoyo. Lebih khusus lagi pada cerpen-cerpen Danarto, tokoh-tokoh yang muncul bisa apa saja. Air, batu, khewan, tanaman, atau benda dan binatang apapun, bisa saja menjadi tokoh yang juga dapat berdialog dengan tokoh utama. Kumpulan cerpen Godlob, dapatlah kiranya mewakili bentuk eksperimentasi cerpen Indonesia dasawarsa tahhun 1970-an itu.

Untuk bidang drama, dapat diwakili oleh karya-karya Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Rendra, dan Ikranegara. Ciri khas yang menonjol dari karya mereka adalah terbukanya peluang bagi para pemain untuk melakukan improvisasi. Dalam hal ini, identitas tokoh yang tidak jelas, juga memungkinkan seorang pemain, dapat memainkan peran dua tokoh atau lebih. Ciri khas yang lainnya lagi adalah lepasnya keterikatan pada panggung. Jika dalam naskah-naskah drama sebelumnya, latar tempat dengan materialnya yang serba jelas dan konkret, maka dalam sebagian naskah drama yang muncul tahun 1970-an itu, panggung tidak lagi menjadi penting. Artinya, pementasan itu dapat dilangsungkan di mana saja. Bahkan, Rendra tampil pula dengan drama mini kata, yaitu drama yang sengaja lebih mementingkan lakuan daripada dialog.

Untuk bidang puisi, ikatan pada bait dan larik, sama sekali diabaikan. Puisi tahun 1970-an cenderung lebih mementingkan ekspresi untuk mendukung tema yang hendak disampaikan. Karena itu, ada puisi naratif yang panjang menyerupai bentuk prosa, ada pula yang sengaja disusun pendek-pendek. Selain itu, gencar pula kecenderungan untuk mengali akar tradisi kultural tempat penyair itu lahir dan dibesarkan. Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Adji Darmadji Woko, Darmadji Woko adalah beberapa nama yang menonjol mengangkat tradisi kulturalnya.
***


BAGIAN II

Kesemarakan sastra Indonesia tahun 1970-an, kemudian berlanjut pada tahun 1980-an. Pada dasawarsa tahun 1980-an ini, mereka yang sudah berkarya pada periode sebelumnya, juga masih terus berkarya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan sastrawan tahun 1980-an itu adalah mereka yang karya-karyanya baru muncul pada dasawarsa itu. Sekadar menyebut beberapa nama penting, mereka adalah: Hamsad Rangkuti, Ahmad Tohari, Eka Budianta, Y.B. Mangunwijaya, N. Riantiarno, F. Rahardi, Afrizal Malna, Darman Moenir, Pamusuk Eneste, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Diah Hadaning, Ahmadun Y. Herfanda, Adhi M. Massardi, dan Noorca M. Massardi.

Lalu bagaimanakah semangat yang diperlihatkan sastrawan tahun 1980-an ini? Secara keseluruhan, dibandingkan dengan periode sebelumnya, semangat eksperimentasi sastrawan tahun 1980-an, mulai mengendor, kecuali tampak pada diri Afrizal Malna (puisi), Darman Moenir (novel), Pamusuk Eneste (cerpen) dan N. Riantiarno (drama). Meskipun begitu, bukan berarti karya-karya mereka tidak penting. Novel Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk) dan Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar) merupakan karya penting dalam perjalanan novel Indonesia modern. Demikian pula cerpen Hamsad Rangkuti (Lukisan Perkawinan) merupakan karya yang matang, meski tidak mengangkat tema-tema yang besar.

Dalam tahun 1990-an ini, karya sastra yang muncul lebih banyak lagi. Dalam dasawarsa ini, terjadi inflasi puisi. Begitu banyak penulis puisi, tetapi sangat sedikit yang dapat dimasukkan sebagai penyair. Mereka banyak yang menerbitkan sendiri karyanya dengan biaya swadaya dan format seadanya. Sebagian besar, harus diakui, memperlihatkan talenta yang menjanjikan. Tetapi, untuk menjadi sastrawan besar, tentu saja bakat yang penuh harapan itu, harus pula dibarengi dengan wawasan dan penge-tahuan yang luas. Tanpa itu, sangat mungkin mereka akan kehabisan ide, dan tinggal menunggu namanya tenggelam.

Ciri yang menonjol yang terjadi dalam tahun 1990-an ini adalah adanya gerakan sastrawan daerah. Kondisi itu dimungkinkan oleh adanya majalah dan koran-koran daerah. Jadi, di antara mereka itu, ada yang hanya mempublikasikan karyanya di media massa lokal, tetapi ada juga yang dimuat di media massa ibukota. Dengan demikian, peta kesusastraan Indonesia tahun 1990-an ini, lebih beraneka ragam. Taufiq Ismail, Rendra, Sapardi Djoko Damono (Angkatan 66) masih terus berkarya. Abdul Hadi, Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, Kuntowijoyo, Umar Kayam, Hamid Jabbar, Seno Gumira Ajidarma dan beberapa nama dari Angkatan 70-an, juga masih tetap aktif dan berkarya. Hal yang sama juga dilakukan oleh sastrawan tahun 80-an. Lihatlah Ahmad Tohari dan Hamsad Rangkuti masih menghasilkan sejumlah cerpen, Afrizal Malna, Ahmadun, Soni Farid Maulana atau Acep Zamzam Noor, juga masih menghasilkan antologi puisi.

Demikianlah, dasawarsa tahun 1990-an ini, dipenuhi oleh karya sastra dari beberapa angkatan. Bahwa karya-karya sastrawan Angkatan 66 dan sastrawan tahun 70-an dan 80-an, turut menyemarakkan peta kesusastraan Indonesia tahun 1990-an, masalahnya bahwa karya-karya mereka tidak hanya memperlihatkan kematangannya sebagai sastrawan senior, tetapi juga memang masih sangat menonjol, dibandingkan sastrawan yang muncul tahun 1990-an. Dalam hal ini, terbukti bahwa wawasan dan pengetahuan yang luas, telah memberi kekayaan luar biasa, sehingga mereka tidak kehabisan gagasan dan terus bertahan sampai enah kapan.

Sekadar menyebut beberapa nama penting atau yang potensial menghasilkan karya-karya yang memberi kontribusi bagi pemerkayaan khazanah kesusastraan Indonesia, di antaranya adalah: Gus tf (Padang), Taufik Ikram Jamil (Riau), Agus R. Sarjono, Cecep Samsul Hari, Oka Rusmini, Ahmad Syubbanudin Alwy, Saeful Badar, Karno Kartadibrata, Doddi Achmad Fawzy, Juniarso Ridwan, Beni Setia, Atasi Amin, Ahda Imran (Bandung), Naim Prahana, Hasanuddin Z. Arifin, Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Panji Utama (Lampung), Toto St Radik (Banten), Wowok Hesti Prabowo (Tangerang), Anil Hukma (Ujung Pandang), Dorothe Rosa Herliani, Joko Pinurbo, Mathoti A. Elwa, Amin Wangsitalaja (Yogyakarta), Tomy Tamara (Makasar), dan Aspur Azhar (Jakarta). Selain itu, sejumlah nama lulusan FSUI, agaknya tidak mau ketinggalan. Asep Sambodja, Ihsan Abdul Salam, Purwadi Djunaedi, Rizal, dan belakangan Zeffry J. Alkatiri, memberi warna lain dalam peta puisi Indonesia tahun 1990-an. Antologi puisi yang telah dihasilkan nama-nama tersebut di atas memperlihatkan karya yang menjanjikan dan penuh pengharapan.

Sementara itu, para cerpenis yang muncul tahun 1990-an –yang juga bertebaran di pelosok tanah air ini– beberapa di antaranya niscaya akan menjadi sastrawan penting. Jujur Prananto, Yanusa Nugroho, Kurnia Jaya Raya (Jakarta), M. Shoim Anwar, Sirikit Syah, Kusprihyanto Namma, Aria Kamandaka, Sony Karsono (Surabaya), Kazzaini Ks (Riau). Dari Yogyakarta, dua nama Agus Noor dan Joni Aridinata, juga mulai memperlihatkan kematangannya; di antara penulis wanita, Helvy Tiana Rosa dan Lea Pamungkas, patut pula kita perhitungkan. Karya-karya mereka memperlihatkan kualitas yang mumpuni dan memberi banyak harapan bagi karya-karya selanjutnya.

Bagaimanakah pula dengan prosa Indonesia tahun 1990-an? Dua nama, yaitu Ayu Utami (Saman, Jakarta: KPG, 1998) dan Taufik Ikram Jamil (Hempasan Gelombang, Jakarta: Grasindo, 1998) merupakan dua novel penting yang terbit tahun 1990-an ini. Kedua novel itu memperlihatkan usaha eksperimentasi yag serius. Memasuki tahun 2000, Gus tf Sakai, lewat novelnya, Tambo: Sebuah Pertemuan (Jakarta: Grasinso, 2000), juga sengaja menamp[ilkan bentuk eksperimentasi dengan memasukkan bentuk esai dan pola penceritaan yang gonta-ganti. Pada tahun berikutnya, seorang novelis –pendatang baru– Dewi Lestari (Dee) juga membuat kejutan yang benar-benar mengagumkan lewat sebuah novel science, berjudul Supernova (Bandung: Truedee Books, 2001).

Jika keempat nama itu ditempatkan dalam kotak yang mewakili novelis Indonesia mutakhir, maka tampak jelas bahwa akar tradisi yang melatarbelakangi kepengarangan mereka sangat mempengaruhi unsur intrinsik karya yang ditampilkannya. Ayu Utami dan Dewi Lestari adalah produk manusia kosmopolitan yang tak jelas akar tradisinya. Keduanya telah tercerabut dari masa lalu yang menjadi latar sejarah oetnis orang tua yang melahirkan dan membesarkannya. Akibatnya, mereka telah kehilangan identitas masing-masing dari kultur etnis. Itulah sebabnya, novel yang diangkatnya memperlihatkan kegelisahan manusia kosmopolitan. Bahkan, dalam novel Supernova, Dewi Lestari tidak hanya mencoba memanfaatkan deskripsi science sebagai bagian tak terpisahkan dari unsur intrinsik novel bersangkutan (tokoh, latar, dan tema), tetapi juga menyodorkan kontroversi tokoh gay (homoseksual) yang dalam sejarah novel Indonesia, belum pernah diungkapkan novelis lain.

Hal tersebut sangat berbeda dengan sosok Taufik Ikram Jamil dan Gus tf Sakai. Keduanya lahir dan dibesarkan di dalam lingkuran kultur etnis. Oleh karena itu, mereka mencoba menggali kekayaan, sekaligus kegelisahan kultur masyakaratnya. Itulah yang terjadi pada dua novel Hempasan Gelombang dan Tambo: Sebuah Pertemuan. Novel Hempasan Gelombang mencoba mengangkat sejarah Melayu (Riau) dalam konteks masa kini. Dengan begitu, tokoh-tokoh di sana, dalam beberapa peristiwa dapat ulang-alik, bolak-balik dari masa lalu ke masa sekarang. Latar waktu menjadi simbol yang mengisyaratkan tema. Dengan penyajian yang berbeda, Gus tf Sakai mencoba mengangkat tradisi kultural masyarakatnya (tambo), juga dalam konteks masa kini. Seperti juga masyarakat masa kini yang diplintir dan dieksploitasi oleh hegemoni atas nama ilmu pengetahuan, maka kultur, masyarakat atau apa pun, juga sering kali tidak dapat menghindar dari dominasi hegemoni itu. Itulah sebabnya, dalam beberapa bagian novel itu, Gus tf Sakai menyajikan semacam etnografi-sosiologis.
***

Bahwa Korrie Layun Rampan memasukkan nama-nama itu ke dalam Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia, hal tersebut mesti kita perlakukan sebagai usaha pemberian label saja. Masalahnya, nama angkatan, apalagi dikaitkan dengan latar waktu atau tarikh, secara logis lahir dari berbagai peristiwa yang sudah terjadi, dan bukan mengambil waktu yang peristiwanya sendiri belum terjadi. Penamaan Angkatan 2000, telah diproklamasikan Korrie tahun 1998, dua tahun sebelum memasuki tahun 2000 itu sendiri. Dari sudut penamaan angka tahun, jelas Korrie sekadar mengambil label. Dan momentum yang menurutnya tampak pas adalah angka tahun 2000 itu.

Meskipun demikian, usaha Korrie yang mencoba memberi landasan estetik terhadap sejumlah karya yang dimasukkannya ke dalam kotak Angkatan 2000, dengan sejumlah ciri yang membedakannya dengan angkatan sebelumnya, tentu saja patut kita hargai. Masalahnya tinggal, apakah kita setuju dengan penamaan Angkatan 2000 itu atau tidak. Jika setuju, kita harus menghargai sikap persetujuannya, jika pun tidak setuju, kita juga harus menghargai sikap ketidaksetujuannya. Sama halnya dengan sikap kita –setuju atau tidak setuju– terhadap penamaan Angkatan 66, Sastrawan 70-an, Sastrawan 80-an, atau penamaan-penamaan lainnya. Yang penting dicermati adalah bahwa penamaan itu sekadar label. Dan kita harus terbuka pada gagasan siapa pun yang mencoba menyodorkan label-label itu.

Demikianlah, gambaran umum mengenai sastrawan-sastrawan pasca-Angkatan 66. Dalam perkembangannya nanti, kita akan menyaksikan, apakah nama-nama itu akan tengge-lam atau terus berkarya, sebagaimana yang diperlihatkan beberapa sastrawan Angkatan 66. Melihat sebagian besar dari nama-nama itu lebih banyak mengandalkan bakat alam, maka besar kemungkinan, di antara sederetan nama itu, hanya beberapa saja yang menonjol dan akan terus bertahan sampai tahun 2000 sekian.

Persoalannya tinggal, apakah mereka mampu mengeksploitasi dan mengeksplo-rasi berbagai problem sosio-kultural kita dengan dukungan intelektualitasnya. Tanpa usaha pen-dayagunaan, penjelajahan, dan perluasan wawasan, tanpa usaha penggalian dan pendalaman keberagaman kekayaan kultur kita, niscaya karya-karya yang akan dihasilkannya hanya sebagai karya yang baik, tetapi tidak cukup monumental. Jika begitu, ia hanya sekadar meramaikan belaka dan tidak cukup penting untuk melengkapi catatan sejarah kesusastraan Indonesia.

*) Pengajar FSUI, Depok.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito