Maman S Mahayana
http://www.ruangbaca.com
Novel Ayat-Ayat Cinta (2004) karya Habiburrahman El Shirazy, secara sosiologis, tak pelak lagi, telah menancapkan dirinya sebagai novel paling laris, paling banyak dibaca, dan luar biasa fenomenal. Dalam perjalanan sastra Indonesia, baru kali inilah sebuah novel meraup angka penjualan yang sangat mencengangkan. Jika novel itu kemudian difilmkan dan berhasil menyedot jumlah penonton yang juga mencengangkan, tentu saja sukses itu, terutama, tidak terlepas dari kehebohan yang diciptakan karya Habiburrahman itu. Dari sana lalu muncullah wacana tentang sastra Islam; sebuah fenomena yang wajar dari sebuah kegandrungan yang tanpa sadar menciptakan kelatahan.
Pertanyaannya, benarkah novel itu sebagai representasi sastra Islam? Ataukah ia sekadar label saja, sebagai bentuk rivalitas atas karya-karya sastra yang secara tematik dianggap berseberangan? Lalu, benarkah dalam sastra Indonesia (modern) ada sastra Islam? Apa pula bedanya dengan sastra kitab yang banyak dihasilkan para ulama agung kita tempo dulu? Sejumlah pertanyaan lain niscaya masih dapat kita deretkan lebih panjang lagi, meskipun duduk perkaranya bergeming pada tema sastra Islam.
Tepat Momentum
Kegandrungan yang lalu menciptakan kelatahan--dalam sejarah sastra kita--kerap mengundang munculnya berbagai wacana yang sesungguhnya lebih didasarkan pada asumsi seolah-olah. Novel Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang bercerita tentang sosok tokoh Fahri, secara ideologis mengusung citra pemuda Muslim yang paripurna; sempurna dalam segala hal. Pindas--pintar dan cerdas, ganteng dan berwibawa, baik hati dan care, terutama pada nasib perempuan, berani, gigih dan pejuang nilai-nilai kemanusiaan, rajin dan tak mengenal menyerah, toleran dan penuh rasa hormat pada sesama yang dilandasi aura cinta, berwawasan dan rendah hati, dan seterusnya. Ringkasnya, segala kebaikan dan kesempurnaan seorang manusia melekat pada sosok tokoh itu.
Sebagai sebuah usaha menyelusupkan sebuah ideologi, gambaran tokoh dengan penokohan yang seperti itu tentu saja penting artinya dalam politik pencitraan. Sebuah teknik propaganda yang efektif menyelusupkan dan sekaligus menanamkan nilai-nilai. Dalam sastra, teknik itu sering kali cenderung diterapkan dalam genre prosa--novel atau cerpen--dibandingkan puisi atau drama. Prosa bermain dalam sebuah narasi yang di sana sebuah dunia, seolah-olah terwakili. Prosa seolah-olah paling dekat merepresentasikan sebuah potret kehidupan. Maka, novel AAC pun diperlakukan sebagai potret ideal perilaku pemuda Muslim. Dari sanalah lalu muncul pandangan bahwa AAC sejatinya dapat ditempatkan sebagai novel (sastra) Islam. Ia berhasil menyuguhkan sebuah kisah yang sejalan dengan horison harapan pembacanya yang mengidolakan nilai-nilai Islam. Ia lalu menjadi trend dan menyebar menjelma jadi kehebohan massal.
Selain itu, sesungguhnya, sukses AAC tidak dapat dilepaskan begitu saja dari faktor psikologis pembaca sastra Indonesia. Jangan lupa, ketika novel AAC terbit (2004), gema sastra Indonesia sedang dilanda semangat mengeksploitasi tubuh. Atau, paling tidak, novel-novel yang terbit pada awal tahun 2000-an itu didominasi oleh novelis wanita yang sebagian besar di dalamnya mengandungi adegan jantina (jantan-betina). Sebutlah, misalnya, karya-karya Ana Maryam, Stefani Hid, Dinar Rahayu, Maya Wulan, Riyanti Yusuf, atau Djenar Maesa Ayu. AAC hadir pada saat yang tepat, ketika sebagian pembaca (sastra Indonesia) mulai dihinggapi keemohan, bahkan kejemuan, disuguhi sejumlah novel Indonesia yang di sana-sini menyelusup adegan jantina. Novel-novel sejenis itu dianggap oleh-sebagian--masyarakat pembaca kita tidak sesuai dengan tata susila Indonesia.
Munculnya polemik tentang seks dalam sastra Indonesia yang menghadirkan pro dan kontra, sesungguhnya merupakan bentuk tarik-menarik antara keemohan-kejemuan pada tema seks di satu pihak, dan semangat mengusung sastra yang bebas dari berbagai kerangkeng, termasuk beban ideologi di pihak yang lain. Maka, ketika AAC hadir, ia seolah-olah mewakili ekspresi keemohan-kejemuan itu. Ia laksana "senjata pamungkas" yang memberi jawaban atas tarik-menarik dan rivalitas tadi. Itulah representasi rivalitas dari dua gelombang sastra yang sepertinya tidak dapat didamaikan.
Sebagai bahan analogi, simaklah fenomena yang terjadi pada novel Harry Potter. Ketika komik-komik Jepang dan kisah-kisah petualangan deras melanda pembaca remaja kita, Harry Potter, dalam banyak hal, datang laksana menawarkan segala harapan yang tak dapat dipenuhi semuanya oleh sejumlah komik Jepang dan kisah-kisah petualangan itu. Meskipun kehebohan Harry Potter itu juga tidak terlepas dari peranan media massa, secara intrinsik ia berhasil menyuguhkan segala horison harapan pembaca. Dan itulah yang terjadi pada AAC di tengah kerumunan novel-novel yang mengangkat tema yang dianggap tidak dapat sepenuhnya memenuhi horizon harapan pembaca.
Pertanyaannya: mengapa novel Geni Jora (2004) karya Abidah El Khalieqy--yang juga berada di antara deretan novelis wanita itu--tak pernah disinggung, padahal dilihat dari semangat menempatkan citra ideal sosok Muslimah, Geni Jora tak kalah substansialnya. Lihatlah, bagaimana tokoh utama dalam novel itu harus melawan stigma perempuan dalam tradisi pesantren, kultur Jawa, dan budaya Arab. Tokoh Kejora terpasung di pesantren wanita, merdeka di Maroko, dan berhadapan dengan Zakky Hedouri--Indo-Arab-Eropa, Don Juan sang petualang yang gagah dan kaya, tetapi juga mengagumi sosok Asaav, lelaki dari komunitas Yahudi Ashkenaz. Secara ideologis, Geni Jora seperti hendak menawarkan paradigma baru dalam menempatkan perempuan dalam pandangan Islam.
Dalam konteks itu, jelas bahwa problem rivalitas dari dua gelombang sastra itu justru terjadi pada tataran horison harapan pembaca AAC yang dilatarbelakangi oleh hasrat melakukan perlawanan pada tema-tema yang dianggap berseberangan. Perlawanan yang sekian lama tak terucapkan tiba-tiba seperti memperoleh saluran selepas AAC membawa gelombang kehebohan. Di sinilah lalu muncul kesadaran untuk menciptakan label sebagai penanda identitas. Dengan demikian, label sastra Islam yang coba dilekatkan pada novel AAC sebagai salah satu ikonnya, sebenarnya sekadar klaim untuk menunjukkan panji identitas.
Bahwa novel Geni Jora tak masuk hitungan, tentu saja lantaran ia tak sejalan dengan horison harapan pembaca. Novel itu sama sekali tidak bermaksud memanjakan emosi pembaca, meskipun tokoh Kejora tampil sebagai perempuan ideal.
Salah Konsep
Dalam beberapa kasus, masyarakat sastra kita cenderung latah ketika seseorang melemparkan istilah atau konsep tertentu berkenaan dengan isu-isu aktual. Sastra sufi, sastra kontekstual, sastra pedalaman, sastra marjinal, sastra koran, dan beberapa istilah lain, pernah cukup menghebohkan yang kemudian bergulir menjadi polemik. Belakangan, munculnya istilah sastra Islam yang memayungi novel-novel yang senafas dengan AAC--seperti telah disebutkan--sesungguhnya juga tidak lebih dari wujud kelatahan itu. Apakah lantaran novel-novel itu berkisah seputar sosok seorang Muslim yang tampil sempurna sebagai manusia, tanpa sifat buruk secuil pun atau lantaran ia berkisah tentang percintaan ideal model Islam yang kerap memelihara perkara muhrim-bukan muhrim?
Di Indonesia, perbincangan mengenai sastra Islam secara konseptual sering kali tidak punya landasan teoretis yang kokoh, bahkan terkesan tumpang tindih. Sebutlah dua novel karya ulama Buya Hamka: Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Kedua novel ini kerap dihubungkaitkan dengan keulamaannya. Padahal, novel-novel itu berkisah tentang percintaan yang kandas; kasih tak sampai--Zainuddin-Hayati dan Hamid-Zainab, seperti juga yang dikisahkan Azab dan Sengsara dan Sitti Nurbaya. Apakah lantaran Hamid menghebuskan napasnya di Mekah, lalu novel itu masuk kategori sastra Islam? Rindu-dendam Hamid adalah cinta kepada sesama, jadi tentu saja itu sangat berbeda dengan gambaran cinta yang dilantunkan para penyair sufi, seperti Jalaluddin Rumi, Rabiah Al-Adawiyah, Fariduddin Attar, Ibn Arabi, Firdausi, Omar Khayyam atau Mohammad Iqbal. Dalam khazanah sastra (Melayu) lama, tentu saja kita juga tidak dapat mengabaikan beberapa nama penting: Hamzah Fansuri dan Nurrudin Ar-Ranirri--yang berseberangan, atau Raja Ali Haji dengan Gurindam Dua Belas-nya?
Pada awal tahun 1960-an, sebelum sastrawan Lekra melakukan serangan pada novel Hamka, Tenggelamnya Kapan van der Wicjk, Djamil Suherman menerbitkan sebuah novel berjudul Perjalanan ke Akherat (1963), sebuah kisah di alam barzah yang menampilkan sosok seorang guru yang lantaran kejujurannya, masuk surga, dan istrinya--karena bunuh diri--terlunta-lunta di akherat. Bukankah kisah itu khas doktrin Islam? Lalu, mengapa pula novel itu tidak masuk kategori sastra Islam? Sebelum itu, Muhammad Ali juga mengangkat tema keagamaan dalam novelnya, Di Bawah Naungan Al-Quran (1957). Suasana keagamaan yang digambarkan novel itu terasa begitu kuat, tetapi toh novel itu tidak juga masuk kategori novel (sastra) Islam.
Sesungguhnya kita masih dapat menyebut sejumlah karya lain yang sarat bermuatan doktrin Islam. Sebutlah misalnya karya Mohammad Diponegoro (Siklus, 1975) atau Ahmad Tohari (Kubah, 1980). Bahkan, sejumlah cerpen kedua sastrawan itu jelas sekali mengangkat kisah-kisah sufi. Belakangan, Motinggo Busye dalam novel pendeknya, Sanu, Infinita-Kembar (1985) juga mengangkat kisah sufistik. Jika hendak lebih jelas lagi, periksa cerpen Danarto yang berjudul "Lempengen-lempengen Cahaya". Di sana, Danarto menampilkan tokoh Al-Fatihah sebagai tokoh utamanya. Lalu, apakah karya-karya yang disebutkan tadi termasuk kategori sastra Islam?
Pada tahun 1970-an, Abdul Hadi WM, Danarto, Fudoli Zaini, Ikranegara, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, dan beberapa sastrawan lainnya pernah pula menggulirkan konsepsi sastra Islam secara lebih luas. Munculnya istilah-istilah sastra sufi, sufistik, sastra tasawuf, sastra profetik, dimungkinkan lantaran terjadinya polemik tentang itu. Pertanyaannya: apakah karya-karya mereka itu termasuk sastra Islam yang sejajar dengan karya penyair sufi itu?
Novel Islam?
Rahasia apakah gerangan yang menyebabkan AAC begitu fenomenal, sehingga secara salah kaprah orang memasukkannya sebagai novel Islam? Secara intrinsik, AAC tampil di luar mainstream. Tokoh Fahri yang sangat Islami, latar Mesir yang meyakinkan, pola percintaan segi empat yang tetap berada dalam koridor muhrim-bukan muhrim merupakan bagian penting yang menjadikannya beda dari novel lain yang terbit sebelumnya. Kekhasan itu didukung pula oleh narasinya yang mengalir lancar, kekayaan ungkapan-ungkapan Arab serta gaya bahasa yang agak hiperbolis. Satu hal yang yang penting dalam novel itu adalah akhir cerita yang bahagia: happy ending!
Dikisahkan, meskipun tokoh Fahri hidup di sebuah flat bersama sejumlah temannya, Rudi, Hamdi, Saiful, pola interaksi yang digambarkannya laksana merepresentasikan kehidupan di lingkungan pesantren. Lihat saja, bagaimana rasa syukur Fahri ketika dinyatakan lulus proposalnya untuk menulis tesis: "Aku merasa seperti dibelai-belai tangan Tuhan." Dan selepas itu, Fahri mengajak teman-temannya berpesta: makan ayam bakar! Sebuah pesta sederhana, tetapi toh dapat menyebarkan kebahagiaan. Apa makna fragmen itu?
Bagi masyarakat perkotaan, konsep pesta tentu saja harus dengan musik dan tentu juga harus melibatkan pasangan lawan jenis. Tetapi, bagi para santri, konsep pesta yang seperti itu berada di luar wilayah pengalamannya. Dalam konteks itulah, AAC berhasil secara meyakinkan menyuguhkan sebuah peristiwa yang bagi masyarakat pesantren begitu dekat dengan kehidupan keseharian mereka. Sebuah familiarisasi bagi kelompok masyarakat tertentu, dan terasa "aneh" bagi kelompok masyarakat lain yang tidak punya pengalaman tentang itu. Maka, sudah dapat diduga, kelompok masyarakat mana saja yang begitu tersihir AAC.
Meskipun dalam banyak hal, AAC menampilkan kehidupan yang sarat dengan suasana Islami, tidaklah berarti novel itu masuk kategori sastra Islam. Bahwa AAC dipandang inspiring, menyuguhkan pesan-pesan moral, bahkan diyakini memberi pencerahan jiwa, tidaklah berarti novel lain pun--yang dianggap profan--tidak menawarkan pesan-pesan moral. Sebutlah misalnya, novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja. Bukankah novel itu pun menyuguhkan pesan moral dan memberi pencerahan--paling tidak bagi sebagian pembacanya--tentang pentingnya keteguhan iman. Bahkan, dilihat dari aspek penokohannya, agaknya kita dapat membandingkannya dengan model penokohan dalam sejumlah novel populer yang cenderung karikaturis. Dalam hal ini, yang dapat kita tangkap dari ketokohan Fahri adalah sosok manusia ideal yang secara fisik sempurna. Oleh karena itu, ia seperti tidak punya problem psikologis.
***
Begitulah, AAC sebagai representasi novel Islam, sesungguhnya lebih didasarkan pada persoalan sosiologis pembacanya. Tentu saja cara pandang ini tidak berarti novel itu kehilangan ruhnya yang menghembuskan napas Islam. Kiranya ia lebih tepat disebut novel Islami, novel yang di dalamnya memancar suasana Islam.
*) Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
1 komentar:
pak dosen. saya juga pernah berpendapat sama. tetapi terlalu banyak orang mencemooh saya. mereka berasumsi bhw saya berpendapat seperti itu sebagai wujud dari rasa iri...! tapi dengan hadirnya tulisan pak dosen, saya merasa yakin, bahwa saya tidak sendirian berpendapat seperti itu. pendapat yang dianggap sebagian besar orang, terlahir dari akibat kelatahan..........
Posting Komentar