Kamis, 19 Maret 2009

Fenomena Novel Islami

Maman S Mahayana
http://www.ruangbaca.com

Novel Ayat-Ayat Cinta (2004) karya Habiburrahman El Shirazy, secara sosiologis, tak pelak lagi, telah menancapkan dirinya sebagai novel paling laris, paling banyak dibaca, dan luar biasa fenomenal. Dalam perjalanan sastra Indonesia, baru kali inilah sebuah novel meraup angka penjualan yang sangat mencengangkan. Jika novel itu kemudian difilmkan dan berhasil menyedot jumlah penonton yang juga mencengangkan, tentu saja sukses itu, terutama, tidak terlepas dari kehebohan yang diciptakan karya Habiburrahman itu. Dari sana lalu muncullah wacana tentang sastra Islam; sebuah fenomena yang wajar dari sebuah kegandrungan yang tanpa sadar menciptakan kelatahan.

Pertanyaannya, benarkah novel itu sebagai representasi sastra Islam? Ataukah ia sekadar label saja, sebagai bentuk rivalitas atas karya-karya sastra yang secara tematik dianggap berseberangan? Lalu, benarkah dalam sastra Indonesia (modern) ada sastra Islam? Apa pula bedanya dengan sastra kitab yang banyak dihasilkan para ulama agung kita tempo dulu? Sejumlah pertanyaan lain niscaya masih dapat kita deretkan lebih panjang lagi, meskipun duduk perkaranya bergeming pada tema sastra Islam.

Tepat Momentum

Kegandrungan yang lalu menciptakan kelatahan--dalam sejarah sastra kita--kerap mengundang munculnya berbagai wacana yang sesungguhnya lebih didasarkan pada asumsi seolah-olah. Novel Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang bercerita tentang sosok tokoh Fahri, secara ideologis mengusung citra pemuda Muslim yang paripurna; sempurna dalam segala hal. Pindas--pintar dan cerdas, ganteng dan berwibawa, baik hati dan care, terutama pada nasib perempuan, berani, gigih dan pejuang nilai-nilai kemanusiaan, rajin dan tak mengenal menyerah, toleran dan penuh rasa hormat pada sesama yang dilandasi aura cinta, berwawasan dan rendah hati, dan seterusnya. Ringkasnya, segala kebaikan dan kesempurnaan seorang manusia melekat pada sosok tokoh itu.

Sebagai sebuah usaha menyelusupkan sebuah ideologi, gambaran tokoh dengan penokohan yang seperti itu tentu saja penting artinya dalam politik pencitraan. Sebuah teknik propaganda yang efektif menyelusupkan dan sekaligus menanamkan nilai-nilai. Dalam sastra, teknik itu sering kali cenderung diterapkan dalam genre prosa--novel atau cerpen--dibandingkan puisi atau drama. Prosa bermain dalam sebuah narasi yang di sana sebuah dunia, seolah-olah terwakili. Prosa seolah-olah paling dekat merepresentasikan sebuah potret kehidupan. Maka, novel AAC pun diperlakukan sebagai potret ideal perilaku pemuda Muslim. Dari sanalah lalu muncul pandangan bahwa AAC sejatinya dapat ditempatkan sebagai novel (sastra) Islam. Ia berhasil menyuguhkan sebuah kisah yang sejalan dengan horison harapan pembacanya yang mengidolakan nilai-nilai Islam. Ia lalu menjadi trend dan menyebar menjelma jadi kehebohan massal.

Selain itu, sesungguhnya, sukses AAC tidak dapat dilepaskan begitu saja dari faktor psikologis pembaca sastra Indonesia. Jangan lupa, ketika novel AAC terbit (2004), gema sastra Indonesia sedang dilanda semangat mengeksploitasi tubuh. Atau, paling tidak, novel-novel yang terbit pada awal tahun 2000-an itu didominasi oleh novelis wanita yang sebagian besar di dalamnya mengandungi adegan jantina (jantan-betina). Sebutlah, misalnya, karya-karya Ana Maryam, Stefani Hid, Dinar Rahayu, Maya Wulan, Riyanti Yusuf, atau Djenar Maesa Ayu. AAC hadir pada saat yang tepat, ketika sebagian pembaca (sastra Indonesia) mulai dihinggapi keemohan, bahkan kejemuan, disuguhi sejumlah novel Indonesia yang di sana-sini menyelusup adegan jantina. Novel-novel sejenis itu dianggap oleh-sebagian--masyarakat pembaca kita tidak sesuai dengan tata susila Indonesia.

Munculnya polemik tentang seks dalam sastra Indonesia yang menghadirkan pro dan kontra, sesungguhnya merupakan bentuk tarik-menarik antara keemohan-kejemuan pada tema seks di satu pihak, dan semangat mengusung sastra yang bebas dari berbagai kerangkeng, termasuk beban ideologi di pihak yang lain. Maka, ketika AAC hadir, ia seolah-olah mewakili ekspresi keemohan-kejemuan itu. Ia laksana "senjata pamungkas" yang memberi jawaban atas tarik-menarik dan rivalitas tadi. Itulah representasi rivalitas dari dua gelombang sastra yang sepertinya tidak dapat didamaikan.

Sebagai bahan analogi, simaklah fenomena yang terjadi pada novel Harry Potter. Ketika komik-komik Jepang dan kisah-kisah petualangan deras melanda pembaca remaja kita, Harry Potter, dalam banyak hal, datang laksana menawarkan segala harapan yang tak dapat dipenuhi semuanya oleh sejumlah komik Jepang dan kisah-kisah petualangan itu. Meskipun kehebohan Harry Potter itu juga tidak terlepas dari peranan media massa, secara intrinsik ia berhasil menyuguhkan segala horison harapan pembaca. Dan itulah yang terjadi pada AAC di tengah kerumunan novel-novel yang mengangkat tema yang dianggap tidak dapat sepenuhnya memenuhi horizon harapan pembaca.

Pertanyaannya: mengapa novel Geni Jora (2004) karya Abidah El Khalieqy--yang juga berada di antara deretan novelis wanita itu--tak pernah disinggung, padahal dilihat dari semangat menempatkan citra ideal sosok Muslimah, Geni Jora tak kalah substansialnya. Lihatlah, bagaimana tokoh utama dalam novel itu harus melawan stigma perempuan dalam tradisi pesantren, kultur Jawa, dan budaya Arab. Tokoh Kejora terpasung di pesantren wanita, merdeka di Maroko, dan berhadapan dengan Zakky Hedouri--Indo-Arab-Eropa, Don Juan sang petualang yang gagah dan kaya, tetapi juga mengagumi sosok Asaav, lelaki dari komunitas Yahudi Ashkenaz. Secara ideologis, Geni Jora seperti hendak menawarkan paradigma baru dalam menempatkan perempuan dalam pandangan Islam.

Dalam konteks itu, jelas bahwa problem rivalitas dari dua gelombang sastra itu justru terjadi pada tataran horison harapan pembaca AAC yang dilatarbelakangi oleh hasrat melakukan perlawanan pada tema-tema yang dianggap berseberangan. Perlawanan yang sekian lama tak terucapkan tiba-tiba seperti memperoleh saluran selepas AAC membawa gelombang kehebohan. Di sinilah lalu muncul kesadaran untuk menciptakan label sebagai penanda identitas. Dengan demikian, label sastra Islam yang coba dilekatkan pada novel AAC sebagai salah satu ikonnya, sebenarnya sekadar klaim untuk menunjukkan panji identitas.

Bahwa novel Geni Jora tak masuk hitungan, tentu saja lantaran ia tak sejalan dengan horison harapan pembaca. Novel itu sama sekali tidak bermaksud memanjakan emosi pembaca, meskipun tokoh Kejora tampil sebagai perempuan ideal.

Salah Konsep

Dalam beberapa kasus, masyarakat sastra kita cenderung latah ketika seseorang melemparkan istilah atau konsep tertentu berkenaan dengan isu-isu aktual. Sastra sufi, sastra kontekstual, sastra pedalaman, sastra marjinal, sastra koran, dan beberapa istilah lain, pernah cukup menghebohkan yang kemudian bergulir menjadi polemik. Belakangan, munculnya istilah sastra Islam yang memayungi novel-novel yang senafas dengan AAC--seperti telah disebutkan--sesungguhnya juga tidak lebih dari wujud kelatahan itu. Apakah lantaran novel-novel itu berkisah seputar sosok seorang Muslim yang tampil sempurna sebagai manusia, tanpa sifat buruk secuil pun atau lantaran ia berkisah tentang percintaan ideal model Islam yang kerap memelihara perkara muhrim-bukan muhrim?

Di Indonesia, perbincangan mengenai sastra Islam secara konseptual sering kali tidak punya landasan teoretis yang kokoh, bahkan terkesan tumpang tindih. Sebutlah dua novel karya ulama Buya Hamka: Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Kedua novel ini kerap dihubungkaitkan dengan keulamaannya. Padahal, novel-novel itu berkisah tentang percintaan yang kandas; kasih tak sampai--Zainuddin-Hayati dan Hamid-Zainab, seperti juga yang dikisahkan Azab dan Sengsara dan Sitti Nurbaya. Apakah lantaran Hamid menghebuskan napasnya di Mekah, lalu novel itu masuk kategori sastra Islam? Rindu-dendam Hamid adalah cinta kepada sesama, jadi tentu saja itu sangat berbeda dengan gambaran cinta yang dilantunkan para penyair sufi, seperti Jalaluddin Rumi, Rabiah Al-Adawiyah, Fariduddin Attar, Ibn Arabi, Firdausi, Omar Khayyam atau Mohammad Iqbal. Dalam khazanah sastra (Melayu) lama, tentu saja kita juga tidak dapat mengabaikan beberapa nama penting: Hamzah Fansuri dan Nurrudin Ar-Ranirri--yang berseberangan, atau Raja Ali Haji dengan Gurindam Dua Belas-nya?

Pada awal tahun 1960-an, sebelum sastrawan Lekra melakukan serangan pada novel Hamka, Tenggelamnya Kapan van der Wicjk, Djamil Suherman menerbitkan sebuah novel berjudul Perjalanan ke Akherat (1963), sebuah kisah di alam barzah yang menampilkan sosok seorang guru yang lantaran kejujurannya, masuk surga, dan istrinya--karena bunuh diri--terlunta-lunta di akherat. Bukankah kisah itu khas doktrin Islam? Lalu, mengapa pula novel itu tidak masuk kategori sastra Islam? Sebelum itu, Muhammad Ali juga mengangkat tema keagamaan dalam novelnya, Di Bawah Naungan Al-Quran (1957). Suasana keagamaan yang digambarkan novel itu terasa begitu kuat, tetapi toh novel itu tidak juga masuk kategori novel (sastra) Islam.

Sesungguhnya kita masih dapat menyebut sejumlah karya lain yang sarat bermuatan doktrin Islam. Sebutlah misalnya karya Mohammad Diponegoro (Siklus, 1975) atau Ahmad Tohari (Kubah, 1980). Bahkan, sejumlah cerpen kedua sastrawan itu jelas sekali mengangkat kisah-kisah sufi. Belakangan, Motinggo Busye dalam novel pendeknya, Sanu, Infinita-Kembar (1985) juga mengangkat kisah sufistik. Jika hendak lebih jelas lagi, periksa cerpen Danarto yang berjudul "Lempengen-lempengen Cahaya". Di sana, Danarto menampilkan tokoh Al-Fatihah sebagai tokoh utamanya. Lalu, apakah karya-karya yang disebutkan tadi termasuk kategori sastra Islam?

Pada tahun 1970-an, Abdul Hadi WM, Danarto, Fudoli Zaini, Ikranegara, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, dan beberapa sastrawan lainnya pernah pula menggulirkan konsepsi sastra Islam secara lebih luas. Munculnya istilah-istilah sastra sufi, sufistik, sastra tasawuf, sastra profetik, dimungkinkan lantaran terjadinya polemik tentang itu. Pertanyaannya: apakah karya-karya mereka itu termasuk sastra Islam yang sejajar dengan karya penyair sufi itu?

Novel Islam?

Rahasia apakah gerangan yang menyebabkan AAC begitu fenomenal, sehingga secara salah kaprah orang memasukkannya sebagai novel Islam? Secara intrinsik, AAC tampil di luar mainstream. Tokoh Fahri yang sangat Islami, latar Mesir yang meyakinkan, pola percintaan segi empat yang tetap berada dalam koridor muhrim-bukan muhrim merupakan bagian penting yang menjadikannya beda dari novel lain yang terbit sebelumnya. Kekhasan itu didukung pula oleh narasinya yang mengalir lancar, kekayaan ungkapan-ungkapan Arab serta gaya bahasa yang agak hiperbolis. Satu hal yang yang penting dalam novel itu adalah akhir cerita yang bahagia: happy ending!

Dikisahkan, meskipun tokoh Fahri hidup di sebuah flat bersama sejumlah temannya, Rudi, Hamdi, Saiful, pola interaksi yang digambarkannya laksana merepresentasikan kehidupan di lingkungan pesantren. Lihat saja, bagaimana rasa syukur Fahri ketika dinyatakan lulus proposalnya untuk menulis tesis: "Aku merasa seperti dibelai-belai tangan Tuhan." Dan selepas itu, Fahri mengajak teman-temannya berpesta: makan ayam bakar! Sebuah pesta sederhana, tetapi toh dapat menyebarkan kebahagiaan. Apa makna fragmen itu?

Bagi masyarakat perkotaan, konsep pesta tentu saja harus dengan musik dan tentu juga harus melibatkan pasangan lawan jenis. Tetapi, bagi para santri, konsep pesta yang seperti itu berada di luar wilayah pengalamannya. Dalam konteks itulah, AAC berhasil secara meyakinkan menyuguhkan sebuah peristiwa yang bagi masyarakat pesantren begitu dekat dengan kehidupan keseharian mereka. Sebuah familiarisasi bagi kelompok masyarakat tertentu, dan terasa "aneh" bagi kelompok masyarakat lain yang tidak punya pengalaman tentang itu. Maka, sudah dapat diduga, kelompok masyarakat mana saja yang begitu tersihir AAC.

Meskipun dalam banyak hal, AAC menampilkan kehidupan yang sarat dengan suasana Islami, tidaklah berarti novel itu masuk kategori sastra Islam. Bahwa AAC dipandang inspiring, menyuguhkan pesan-pesan moral, bahkan diyakini memberi pencerahan jiwa, tidaklah berarti novel lain pun--yang dianggap profan--tidak menawarkan pesan-pesan moral. Sebutlah misalnya, novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja. Bukankah novel itu pun menyuguhkan pesan moral dan memberi pencerahan--paling tidak bagi sebagian pembacanya--tentang pentingnya keteguhan iman. Bahkan, dilihat dari aspek penokohannya, agaknya kita dapat membandingkannya dengan model penokohan dalam sejumlah novel populer yang cenderung karikaturis. Dalam hal ini, yang dapat kita tangkap dari ketokohan Fahri adalah sosok manusia ideal yang secara fisik sempurna. Oleh karena itu, ia seperti tidak punya problem psikologis.
***

Begitulah, AAC sebagai representasi novel Islam, sesungguhnya lebih didasarkan pada persoalan sosiologis pembacanya. Tentu saja cara pandang ini tidak berarti novel itu kehilangan ruhnya yang menghembuskan napas Islam. Kiranya ia lebih tepat disebut novel Islami, novel yang di dalamnya memancar suasana Islam.

*) Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

1 komentar:

rihani mengatakan...

pak dosen. saya juga pernah berpendapat sama. tetapi terlalu banyak orang mencemooh saya. mereka berasumsi bhw saya berpendapat seperti itu sebagai wujud dari rasa iri...! tapi dengan hadirnya tulisan pak dosen, saya merasa yakin, bahwa saya tidak sendirian berpendapat seperti itu. pendapat yang dianggap sebagian besar orang, terlahir dari akibat kelatahan..........

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito