Ribut Wijoto
http://www.sinarharapan.co.id/
Meski sama-sama wilayah kreatif, mungkin inilah takdirnya, penciptaan kritik sastra dan penciptaan puisi memiliki signifikansi keterbedaan. Keduanya menuntut ketekunan ataupun disiplin proses kreatif tersendiri.
Sejarah sastra Indonesia mencatatkan, banyak sastrawan yang sukses menulis kritik sastra. Kita memiliki Subagio Sastrowardoyo, Budi Darma, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Linus Suryadi AG. Kesemuanya adalah sastrawan mapan yang telah menulis kritik-kritik cemerlang. Fakta lain yang tak bisa dipungkiri, banyak kritikus kita yang ternyata gagal mencipta puisi cemerlang.
Tahun 1930-an, tidak ada yang meragukan kapasitas kritik Sutan Takdir Alisjahbana. Pemaparannya dalam seri Kesusastraan Baru yang disiarkan majalah Pujangga Baru seolah menampar tradisi puisi Melayu Lama. Sebaliknya, puisi Takdir tampak tenggelam ditelan gagasan-gagasan puisinya. Lihatlah kumpulan puisi Tebaran Mega. Puisi-puisi yang nyaris layu sebelum berkembang. Lebih parah lagi, puisi-puisi dalam kumpulan Lagu Pemacu Ombak. Itu seperti orang kaya berteriak-teriak minta jatah BLT (bantuan langsung tunai). Antara penampilan dan ucapan tidak nyambung. Gagasan Takdir tentang orisinalitas dan personalitas puitik justru lebih bisa dikonkretkan oleh Chairil Anwar.
Lantas siapa yang meragukan kemampuan Dami Ndandu Toda dalam menulis kritik-kritik sastra. Buku Hamba-hamba Kebudayaan merupakan bukti tak terbantah. Belum sah seorang penulis esai sastra di Indonesia jika belum membaca buku tersebut. Sebuah buku yang berhasil memberi paradigma logis atas perilaku aneh Sutardji Calzoum Bachri dalam berpuisi. Absurditas novel Iwan Simatupang pun bisa dijelaskan oleh Dami N Toda. Tapi sayang, puisi-puisi Dami tidak secemerlang kritik sastranya. Lihatlah kumpulan puisinya, Buru Abadi (2005). Di situ, puisi seperti mengemban kekangan konsep yang teramat ketat. Terlalu dibebani estetika. Bahkan, di situ, improvisasi seakan direncanakan.
Nasib buruk kritikus yang menulis puisi juga dialami oleh Rachmad Djoko Pradopo. Amat mengherankan, seorang tokoh pengkajian puisi sekaliber dia ternyata menghasilkan kumpulan puisi Aubade (1999). Puisi-puisi yang lebih pantas diciptakan oleh mahasiswa sastra semester pertama.
Konon, HB Jassin pun menulis puisi. Hanya saja, sampai akhir hayatnya, dia belum hendak menyiarkan hasil ciptaannya. Apakah dia menyimpan rapat puisi untuk menjaga reputasi kepausannya? Kita tidak tahu pasti.
Kini, masyarakat sastra Indonesia dicengangkan oleh kehadiran buku puisi Jantung Lebah Ratu dari Nirwan Dewanto. Hampir semua orang tahu, Nirwan adalah seorang lulusan geologi yang meyakini mampu mengedit puisi para penyair Tanah Air. Diedit agar memiliki daya jelajah tinggi, agar lebih tertib, puitis, metaforis. Dan selebihnya, puisi menjadi lebih seragam.
Apakah puisi-puisi Nirwan akan senasib dengan para pendahulunya? Seperti deretan para kritikus sastra yang gagal mencipta puisi gemilang. Jawabannya perlu ditunda dulu. Lebih baik mengutip sebagian puisi berjudul “Semangka” dari Nirwan Dewanto: Seperti kantung hijau berisi darah, berhenti percaya kepada tanah. Seperti bawal betina tak bersarung, menggelincir ke ujung tanjung. Seperti periuk penuh kuah ari, penat sudah oleh bara api. Seperti kandungan delapan bulan, siap tersedak ke batang jantan.
Puisi Nirwan tersebut sebenarnya berkisah tentang barang sederhana, semangka. Namun di tangan Nirwan, sesuatu yang sederhana itu menjadi rumit. Menjadi susah. Mengapa? Karena memang Nirwan tidak membahasakan dengan cara sederhana. Nirwan seakan mempersulit keadaan. Apakah Nirwan beranggapan bahwa “puisi yang istimewa” adalah “puisi yang rumit”. Bisa jadi, sebab, semangka dalam puisi Nirwan lebih tampak sebagai konsep tentang semangka daripada semangka itu sendiri. Sulit dibayangkan, semangka Nirwan adalah semangka petani yang tergeletak di tengah sawah. Atau setidaknya, semangka yang biasa didapati di supermarket.
Padahal, sejarah tradisi puisi Indonesia mencatatkan, kegemilangan puisi diperoleh berkat kesederhanaan dalam berpuitik. Bahasa Chairil Anwar sederhana, bahasa Subagio Sastrowardoyo sederhana. Pun bahasa dalam puisi Amir Hamzah, Rendra, Sapardi, Goenawan Mohamad, Oka Rusmini, apalagi Joko Pinurbo.
Kesederhanaan puisi Sapardi adalah kesederhanaan yang mendalam. Membaca puisi Sapardi seakan dihadapkan pada lapis-lapis makna (baca: tingkatan semiotik). Misalnya pada puisi “Kebun Binatang”. Lapis pertama adalah pembacaan biasa, bersifat informatif. Tanpa berusaha mencari maknanya, pembaca sudah bisa menikmati peristiwa ilustratif. Tentang pasangan muda yang datang ke kebun binatang dan bertemu dengan ular besar. Lapis kedua adalah pembacaan untuk mencari makna mendalam. Pembaca menafsirkan hubungan simbol (juga metaforis) antara ular dan wanita. Ternyata ada mitologi yang menghubungkan keduanya. Pembacaan ketiga adalah pembacaan komparatif. Bagaimana pola estetik puisi Sapardi dibandingkan dengan puisi para penyair lain yang sezaman. Bagaimana kontribusi puisi Sapardi dalam tradisi puisi di Indonesia.
Pola pembacaan yang sama bisa diterapkan dalam puisi Subagio Sastrowardoyo. Tapi pada puisi Nirwan, pembaca sudah tertahan pada lapis pertama. Itu terjadi karena puisi Nirwan terlalu rumit.
Konsep. Yah, puisi-puisi Nirwan terlalu “gagah dalam konsep”, namun kurang “rendah hati” dalam dunia keseharian. Puisi Nirwan terburu-buru ingin menjangkau semiotik lapis kedua, tapi lupa membangun semiotik lapis pertama. Problem tersebut seakan mengulang kegagapan semiotik dari puisi produksi Sutan Takdir Alisjahbana, Dami Ndandu Toda, dan Rachmad Djoko Pradopo. Puisi-puisi yang tidak menghadirkan kejernihan lanskap (panorama) dan kesederhanaan imaji (citraan).
Padahal, tidak hanya pada puisi “Semangka”, pada beberapa puisi yang lain, Nirwan juga bersandar pada benda-benda atau fenomena yang ada di keseharian. Lihat saja judul-judulnya: Kunang-Kunang, Cumi-Cumi, Gerabah, Gong, Apel, Harimau, Ular, Akuarium, Ubur-Ubur, Lonceng Gereja, Putri Malu, Tukang Kebun, Burung Merak, Kopi, Garam, Bubu, Bayonet, Selendang Sutra, Lembu Jantan, Burung Hantu, dan Keledai. Semua yang bersifat sehari-hari tersebut menjadi rumit di tangan Nirwan. Pasalnya, Nirwan lebih bergerak di wilayah lambang (simbol) daripada wilayah citraan (metafor).
Kasus yang sama sebenarnya terjadi pada puisi Mardi Luhung dan Afrizal Malna. Namun, meski terkesan rumit, puisi dua penyair tersebut amat komunikatif. Pola sintaktiknya lancar. Membaca puisi Afrizal dan Mardi seakan diajak ngobrol oleh penyairnya. Walau lingkungan teks yang dibangun berat, aspek lisannya amat kuat. Semisal puisi “Tarian Cintaku di Balik Ombak” dari Mardi: Kutarikan tarian cintaku di balik ombang. Igalkan gelang-gelang, kaki, paha, bokong, pusar, susu setuntas-tuntasnya. Kutarikan tarian cintaku di balik ombak. Merayumu, mencumbumu, dan kita pun bersutubuh sehabis-habisnya, setandas-tandasnya.
Puisi Goenawan Mohamad (GM) sebenarnya juga rumit dan penuh persilangan intelektualitas. Namun seperti halnya puisi Acep Zamzam Noor, GM membalutnya dengan permainan citraan yang matang. Meski susah dicerna, puisinya enak dinikmati. Di situ ada maksimalisasi citra bunyi, gerak, warna, permainan ruang, dan kecanggihan rima. Tujuannya sederhana, ya itulah, agar puisi enak dinikmati.
Nirwan sebetulnya telah cukup akomodatif dengan menggunakan beragam pola sastra lama. Terutama pantun dan gurindam. Tapi, pemakaian sastra lama tersebut tetap tidak menolong untuk menjernihkan puisi. Mengapa? Karena, logika puisi Nirwan tak selaras dengan logika puisi lama.
Semua puisi lama berpijak pada tradisi lisan. Aku lirik terlibat aktif dalam seluruh teks. Tubuh teks juga memiliki lagu. Ketika dibacakan, puisi lama mirip dengan nyanyian. Sementara itu, puisi Nirwan berpijak pada tradisi tulis. Aku lirik seperti mengambil jarak dari teks. Walau telah ada rima di tiap akhir baris, efeknya tidak menciptakan lagu. Justru memunculkan kejanggalan. Tidak lugas. Seperti seorang lelaki yang memakai daster. Tidak pada tempatnya.
Lain halnya dengan pemakaian pola pantun pada puisi “Lagu Gadis Itali” dari Sitor Situmorang. Sitor berhasil memadukan pola pantun dengan kesederhanaan ilustratif. Meski latar tempatnya di Italia, puisi tersebut serasa akrab bagi pembaca Indonesia.
Beragam perbandingan ini sebenarnya bermuara pada satu hal klise, mencari esensi puisi. Tidak bisa tidak, puisi adalah pergumulan antara kesederhanaan dan kompleksitas. Pertautan kejujuran dengan manipulasi makna. Puisi menghadirkan keluguan manusia sekaligus memamerkan kecerdasannya. Oktavio Paz (penyair yang diidolakan Nirwan) ketika menuliskan puisi “Kisah Dua Taman”, tidak menggunakan bahasa ilmiah atau bahasa yang susah dimengerti. Dia memaparkan argumentasi dan narasi dengan cara amat sederhana. Penuh citraan yang mudah dicerna pancaindra manusia. Hasilnya memang amat manusiawi. Di balik kesederhanaan itu, Paz mengabarkan kebaruan pemikiran: konvergensi. Pemikiran yang bersandar dari kitaran tradisi Amerika Latin dan tradisi India.
Nirwan tampaknya tidak menyadari klise (yang lebih tepat adalah klasik) ini. Dia berlari jauh pada pemikiran-pemikiran. Melupakan kesederhanaan bahwa penyair mengerutkan dahi dan menguras keringat dingin agar mampu mencipta bahasa sederhana. Bersahaja. Bandingkan dengan Amir Hamzah. Peziarah tradisi Melayu ini mengkaji banyak kitab demi mencari pola pembahasaan yang mudah dicerna. Tidak memerlukan banyak referensi.
Kerumitan puisi Nirwan diperparah dengan berjubelnya kosakata arkais. Kata-kata yang telah dilupakan masyarakat pemakainya. Lihat kutipan puisi “Ubur-Ubur” ini: Ia mata-mata, hanya terpindai di antara nisan batukarang dan gaun ganggang. Ia surai singa di belanga Cina, terpilin oleh pecahan cermin. Pemakaian kosakata arkais ini membuat teks puisi terpisah dengan konteks keseharian.
Begitulah, menulis puisi tidak gampang. Tidak setiap orang yang menguasai teori puisi (baca: kritikus sastra) mampu menulis puisi secara lugas, sebab, puisi membutuhkan kerendah-hatian. Seperti perempuan, tidak setiap gejolak diksi bisa dikontrol. Tidak bisa seenaknya memaksakan konsep puitik pada tubuh ringkih puisi. Jika pemaksaan tetap dijalankan, puisi berubah jadi konseptual, layaknya matematika. Puisi kehilangan kesehariannya, kebersahajaannya, dan kehilangan kemanusiaannya.
Surabaya, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar