Jumat, 27 Maret 2009

PUNCAK PERKALIAN DUNIA PUISI

Nurel Javissyarqi*

Saat insan menemukan kesadarannya dalam kepungan kabut menyelimuti jiwa, dirinya merangkak menghindari keterbenturan, sebab belum mampu menegakkan keyakinan.

Namun semakin lama bersanggup menguasai kedalaman gamang, menarik satu-persatu pengertian, lalu dikumpulkannya menjadi bulir-bulir kepastian, sebagai temuan dirinya paling awal.

Perasaan pertama, logika awal, menjadi kembang asosiasi identitas dalam kelembagaan kesadarannya yang lebih menyegarkan. Sebab pada dasarnya, insan senantiasa haus segala, memperturutkan kekurangan bagi tetambahan.

Kemungkinan berjembatan, meneruskan langkah setelah cukup istirah. Ikatan bathin dirinya kepada lingkungan akan memperjelas tahap-tahap kesadaran, tangga menuntun pelajaran waktu demi kajian lebih dalam.

Menarik ulung perkiraan untuk menemukan kejituan, diharuskan menggagalkan keraguan yang menghantui dirinya. Meski kadang keraguan itu sanggup menentukan perbaikan, orang-orang menyebutnya latihan.

Dunia kemungkinan itu melemparkan jala ke segenap penjuru, seluas tenaganya merangkum balik gagasan, dan jawaban yang beredar atas pantulan keyakinan kemarin. Ini gegaris kejelasan, setelah lama melototi kemungkinan menjadi realitas masa depan.

Istirahnya tubuh bukan berarti berhentinya meneliti, namun merasai tugas pelahan sepenuh hitungan. Sebab penguasaan ruang-waktu kehidupan, sangat diperlukan untuk memperjelas yang disuntuki. Di mana sikap santai menguasai keadaan, kewajaran dengan diciptakannya kemungkinan lain.

Dan kabut gelap lama-kelamaan meningkatkan gumpalan embun paling bening, di sini berbicara ruang sekitar yang serba menjadi. Al-hasil, pelajaran jarak atau kedudukan di suatu sudut penelitian, juga menjadikan warna gagasan.

Bersebutlah yang berhias menawan tempat duduk yang kerap berubah, atas letak benda dari jarak pandang yang ditentukan kesadaran penerimaan maupun penolakan, yang berupa sangkalan atau pun persetujuan dalam kinerja lanjutan.

Kajian ini bukan mempersiapkan agar nafas panjang di suatu panggung, tapi bagaimana keluar-masuknya nafas bermanfaat, membuka kemungkinan lebih berarti, dan pada gilirannya mengokohkan di setingkap wacana.

Atau rangkuman dari prosesi perkembangan yang tidak terpecah, keluar dari asosiasi kesadaran, tetapi memberi wahana lain yang suatu saat menuntut jatah.

Saya rasa, membangun kemungkinan itu menciptakan ketaksadaran bagi saksi kehadiran umum, menuju dunia yang serba baru. Kata-kata yang terlontar dari himpunan daya duga yang seolah tak terkendali, semisal: “Perahu-perahu yang memadati peradaban pasar nelayan.”

Kalimah tersebut terlontar begitu saja dari benak, lalu saya tuliskan di selembar kertas. Semula kata-kata itu ingin saya pergunakan sebagai letupan awal penciptaan puisi.

Namun entah saya pergunakan begitu saja seperti sekarang, pembuka atau sekadar bertanya. Padahal keberangkatannya dari gagasan realis yang mengakar. Apakah ini disebut melontarkan gagasan, tetapi tidak sanggup menguasai rentetan anatominya?

Puisi bukan tidak memperturutkan gagasan semula, namun berulangkali menggagalkan kesadaran awal, demi pecahnya kulit dalam sebentuk rangkaian penuh makna.

Kalimah yang terjatuh saat membawa kesadaran, tubuh berhadap wacana lingkungan. Dan pandangan memberi kesaksian pertama, sebelum yang terdalam mengurai persetujuannya.

Kesaksian pertama belum tentu menjadi saksi utama, sebab pengembangan kemungkinan bisa paripurna, jika peredarannya mengikuti naluri, yang telah terpecahkan situasinya.

Mekarnya bunga semacam menumbuhkan nilai tambah, namun bukan berarti perkalian, sebab keadaan perkalian itu menyerupai hilangannya identitas, sedangkan penambahan itu yang merangkum beberapa identitas dengan hasil jumlah.

Namun tidak lantas meninggalkan cara perkalian, jika perangkat logikanya semakin tangguh memiliki daya simpan yang ampuh. Maka perkalian bisa dilaksanakan, demi mendekap realitas. Atau jumlah yang diinginkan itu menemukan standarisasi logika kesadarannya.

*) Pengelana asal Lamongan, 09. 16 Mei 2006.

Kamis, 26 Maret 2009

BERGURU PADA FRANZ

Sutejo
http://thereogpublishing.blogspot.com/

Pada sebuah harian nasional, Franz Magnis Suseno pernah mengungkapkan begini, “Bodoh kalau Menulis Buku.” Ungkapan demikian barangkali sebuah ungkapan yang menarik untuk direnungkan. Di satu sisi, hal ini mencerminkan bagaimana tidak berharganya dunia perbukuan di Indonesia, dan di sisi lain, bagaimana sesungguhnya menulis buku membutuhkan riset dan waktu yang sangat panjang.

Selanjutnya, Frans Magnis Suseno, memberikan ilustrasi begini: penghasilan yang diterima dalam me¬nulis buku sama sekali tidak sebanding dengan kerja kerasnya untuk menghasilkan buku ter¬sebut. Apalagi, jika dibandingkan dengan honor yang dia terima sebagai pembicara dalam sebuah seminar ataupun menulis artikel di media cetak yang tidak memerlukan riset ataupun persiapan.

Berikut contoh yang dikemukakannya, sebuah buku filsafat dijual seharga Rp 40.000,00 dan royalti sebesar sepuluh persen, dia mendapat Rp 4.000,00 setiap eksemplar. Jika laku dua ribu maka dia mendapat Rp 8 juta. Namun, buku filsafat bukanlah fiksi yang laris dibaca orang, maka honor sebesar itu kadang harus diterima dalam waktu satu tahun. Bandingkan dengan honor sebesar Rp 1 juta untuk satu kali mengisi seminar ataupun honor menulis artikel. Padahal, menulis sebuah buku membutuhkan riset serius dalam waktu lama, seperti buku Etika Jawa dan Pemikiran Karl Marx yang memakan waktu masing-masing lebih dari dua tahun. Meski demikian, rohaniwan ini tetap rajin menulis buku. "Mungkin sudah menjadi watak saya," tuturnya. Sejak tahun 1975, Franz Magnis sudah menghasilkan 26 bu¬ku filsafat.

Realita demikian memang memprihatinkan. Akan tetapi, apa yang dapat diambil dari pengalaman kepenulisan Franz? Luar biasa! Pertama, pentingnya semua pihak peduli buku. Artinya, kita sebagai pembeli belajar membeli buku, bukan foto kopi. Demikian juga, pemerintah menarik untuk mengawal bagaimana hak cipta intelektual (penulisan buku) sehingga tidak dibajak oleh berbagai pihak. Bagaimana membangun masyarakat peduli buku? Tentu, yang pertama-tama adalah bagaimana membumikan kebiasaan membaca dalam keluarga dan sekolah dengan buku-buku.

Kedua, sindiran Franz Magnis Suseno sesungguhnya bermakna positif. “Bodoh kalau menulis buku” itu jika dibaca dalam iklim masyarakat kita yang tidak memiliki sence of book. Sebaliknya, jika masyarakat sudah terbentuk, maka, kebodohan ini akan terbaca positif: “Bodoh kalau kita tidak menulis buku!”

Karena itu, marilah kita mulai menulis buku. Sebagaimana resep banyak orang, Hernowo misalnya, setiap hari memfasilitasi dengan menuangkan pemikiran dalam minimal selembar kertas. Selembar kertas dalam sebulan, tentu, sudah tiga puluh halaman. Berarti dalam hitungan empat bulan sudah lahirlah sebuah buku menarik dari tangan kita.

Ketiga, nilai yang dapat diambil dari Franz adalah komitmen dan kerelaan berkorban dalam kepenulisan. Ini tentu, banyak dilakukan penulis lain macam Azyumardi Azra, Andreas Harefa, dan Adi W. Gunawan.

Bagaimana dengan Anda? Tanamkan komitmen, bulatkan dalam hati bahwa bodhlah jika kita tidak menulis, dan perlunya mengawali peduli buku dalam membangun kepenulisan. Selamat melangkah, biarkan langit esok mewariskan biru keteduhan dalam menggantungkan cita kepenulisan Anda!***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos.

Kamis, 19 Maret 2009

Fenomena Novel Islami

Maman S Mahayana
http://www.ruangbaca.com

Novel Ayat-Ayat Cinta (2004) karya Habiburrahman El Shirazy, secara sosiologis, tak pelak lagi, telah menancapkan dirinya sebagai novel paling laris, paling banyak dibaca, dan luar biasa fenomenal. Dalam perjalanan sastra Indonesia, baru kali inilah sebuah novel meraup angka penjualan yang sangat mencengangkan. Jika novel itu kemudian difilmkan dan berhasil menyedot jumlah penonton yang juga mencengangkan, tentu saja sukses itu, terutama, tidak terlepas dari kehebohan yang diciptakan karya Habiburrahman itu. Dari sana lalu muncullah wacana tentang sastra Islam; sebuah fenomena yang wajar dari sebuah kegandrungan yang tanpa sadar menciptakan kelatahan.

Pertanyaannya, benarkah novel itu sebagai representasi sastra Islam? Ataukah ia sekadar label saja, sebagai bentuk rivalitas atas karya-karya sastra yang secara tematik dianggap berseberangan? Lalu, benarkah dalam sastra Indonesia (modern) ada sastra Islam? Apa pula bedanya dengan sastra kitab yang banyak dihasilkan para ulama agung kita tempo dulu? Sejumlah pertanyaan lain niscaya masih dapat kita deretkan lebih panjang lagi, meskipun duduk perkaranya bergeming pada tema sastra Islam.

Tepat Momentum

Kegandrungan yang lalu menciptakan kelatahan--dalam sejarah sastra kita--kerap mengundang munculnya berbagai wacana yang sesungguhnya lebih didasarkan pada asumsi seolah-olah. Novel Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang bercerita tentang sosok tokoh Fahri, secara ideologis mengusung citra pemuda Muslim yang paripurna; sempurna dalam segala hal. Pindas--pintar dan cerdas, ganteng dan berwibawa, baik hati dan care, terutama pada nasib perempuan, berani, gigih dan pejuang nilai-nilai kemanusiaan, rajin dan tak mengenal menyerah, toleran dan penuh rasa hormat pada sesama yang dilandasi aura cinta, berwawasan dan rendah hati, dan seterusnya. Ringkasnya, segala kebaikan dan kesempurnaan seorang manusia melekat pada sosok tokoh itu.

Sebagai sebuah usaha menyelusupkan sebuah ideologi, gambaran tokoh dengan penokohan yang seperti itu tentu saja penting artinya dalam politik pencitraan. Sebuah teknik propaganda yang efektif menyelusupkan dan sekaligus menanamkan nilai-nilai. Dalam sastra, teknik itu sering kali cenderung diterapkan dalam genre prosa--novel atau cerpen--dibandingkan puisi atau drama. Prosa bermain dalam sebuah narasi yang di sana sebuah dunia, seolah-olah terwakili. Prosa seolah-olah paling dekat merepresentasikan sebuah potret kehidupan. Maka, novel AAC pun diperlakukan sebagai potret ideal perilaku pemuda Muslim. Dari sanalah lalu muncul pandangan bahwa AAC sejatinya dapat ditempatkan sebagai novel (sastra) Islam. Ia berhasil menyuguhkan sebuah kisah yang sejalan dengan horison harapan pembacanya yang mengidolakan nilai-nilai Islam. Ia lalu menjadi trend dan menyebar menjelma jadi kehebohan massal.

Selain itu, sesungguhnya, sukses AAC tidak dapat dilepaskan begitu saja dari faktor psikologis pembaca sastra Indonesia. Jangan lupa, ketika novel AAC terbit (2004), gema sastra Indonesia sedang dilanda semangat mengeksploitasi tubuh. Atau, paling tidak, novel-novel yang terbit pada awal tahun 2000-an itu didominasi oleh novelis wanita yang sebagian besar di dalamnya mengandungi adegan jantina (jantan-betina). Sebutlah, misalnya, karya-karya Ana Maryam, Stefani Hid, Dinar Rahayu, Maya Wulan, Riyanti Yusuf, atau Djenar Maesa Ayu. AAC hadir pada saat yang tepat, ketika sebagian pembaca (sastra Indonesia) mulai dihinggapi keemohan, bahkan kejemuan, disuguhi sejumlah novel Indonesia yang di sana-sini menyelusup adegan jantina. Novel-novel sejenis itu dianggap oleh-sebagian--masyarakat pembaca kita tidak sesuai dengan tata susila Indonesia.

Munculnya polemik tentang seks dalam sastra Indonesia yang menghadirkan pro dan kontra, sesungguhnya merupakan bentuk tarik-menarik antara keemohan-kejemuan pada tema seks di satu pihak, dan semangat mengusung sastra yang bebas dari berbagai kerangkeng, termasuk beban ideologi di pihak yang lain. Maka, ketika AAC hadir, ia seolah-olah mewakili ekspresi keemohan-kejemuan itu. Ia laksana "senjata pamungkas" yang memberi jawaban atas tarik-menarik dan rivalitas tadi. Itulah representasi rivalitas dari dua gelombang sastra yang sepertinya tidak dapat didamaikan.

Sebagai bahan analogi, simaklah fenomena yang terjadi pada novel Harry Potter. Ketika komik-komik Jepang dan kisah-kisah petualangan deras melanda pembaca remaja kita, Harry Potter, dalam banyak hal, datang laksana menawarkan segala harapan yang tak dapat dipenuhi semuanya oleh sejumlah komik Jepang dan kisah-kisah petualangan itu. Meskipun kehebohan Harry Potter itu juga tidak terlepas dari peranan media massa, secara intrinsik ia berhasil menyuguhkan segala horison harapan pembaca. Dan itulah yang terjadi pada AAC di tengah kerumunan novel-novel yang mengangkat tema yang dianggap tidak dapat sepenuhnya memenuhi horizon harapan pembaca.

Pertanyaannya: mengapa novel Geni Jora (2004) karya Abidah El Khalieqy--yang juga berada di antara deretan novelis wanita itu--tak pernah disinggung, padahal dilihat dari semangat menempatkan citra ideal sosok Muslimah, Geni Jora tak kalah substansialnya. Lihatlah, bagaimana tokoh utama dalam novel itu harus melawan stigma perempuan dalam tradisi pesantren, kultur Jawa, dan budaya Arab. Tokoh Kejora terpasung di pesantren wanita, merdeka di Maroko, dan berhadapan dengan Zakky Hedouri--Indo-Arab-Eropa, Don Juan sang petualang yang gagah dan kaya, tetapi juga mengagumi sosok Asaav, lelaki dari komunitas Yahudi Ashkenaz. Secara ideologis, Geni Jora seperti hendak menawarkan paradigma baru dalam menempatkan perempuan dalam pandangan Islam.

Dalam konteks itu, jelas bahwa problem rivalitas dari dua gelombang sastra itu justru terjadi pada tataran horison harapan pembaca AAC yang dilatarbelakangi oleh hasrat melakukan perlawanan pada tema-tema yang dianggap berseberangan. Perlawanan yang sekian lama tak terucapkan tiba-tiba seperti memperoleh saluran selepas AAC membawa gelombang kehebohan. Di sinilah lalu muncul kesadaran untuk menciptakan label sebagai penanda identitas. Dengan demikian, label sastra Islam yang coba dilekatkan pada novel AAC sebagai salah satu ikonnya, sebenarnya sekadar klaim untuk menunjukkan panji identitas.

Bahwa novel Geni Jora tak masuk hitungan, tentu saja lantaran ia tak sejalan dengan horison harapan pembaca. Novel itu sama sekali tidak bermaksud memanjakan emosi pembaca, meskipun tokoh Kejora tampil sebagai perempuan ideal.

Salah Konsep

Dalam beberapa kasus, masyarakat sastra kita cenderung latah ketika seseorang melemparkan istilah atau konsep tertentu berkenaan dengan isu-isu aktual. Sastra sufi, sastra kontekstual, sastra pedalaman, sastra marjinal, sastra koran, dan beberapa istilah lain, pernah cukup menghebohkan yang kemudian bergulir menjadi polemik. Belakangan, munculnya istilah sastra Islam yang memayungi novel-novel yang senafas dengan AAC--seperti telah disebutkan--sesungguhnya juga tidak lebih dari wujud kelatahan itu. Apakah lantaran novel-novel itu berkisah seputar sosok seorang Muslim yang tampil sempurna sebagai manusia, tanpa sifat buruk secuil pun atau lantaran ia berkisah tentang percintaan ideal model Islam yang kerap memelihara perkara muhrim-bukan muhrim?

Di Indonesia, perbincangan mengenai sastra Islam secara konseptual sering kali tidak punya landasan teoretis yang kokoh, bahkan terkesan tumpang tindih. Sebutlah dua novel karya ulama Buya Hamka: Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Kedua novel ini kerap dihubungkaitkan dengan keulamaannya. Padahal, novel-novel itu berkisah tentang percintaan yang kandas; kasih tak sampai--Zainuddin-Hayati dan Hamid-Zainab, seperti juga yang dikisahkan Azab dan Sengsara dan Sitti Nurbaya. Apakah lantaran Hamid menghebuskan napasnya di Mekah, lalu novel itu masuk kategori sastra Islam? Rindu-dendam Hamid adalah cinta kepada sesama, jadi tentu saja itu sangat berbeda dengan gambaran cinta yang dilantunkan para penyair sufi, seperti Jalaluddin Rumi, Rabiah Al-Adawiyah, Fariduddin Attar, Ibn Arabi, Firdausi, Omar Khayyam atau Mohammad Iqbal. Dalam khazanah sastra (Melayu) lama, tentu saja kita juga tidak dapat mengabaikan beberapa nama penting: Hamzah Fansuri dan Nurrudin Ar-Ranirri--yang berseberangan, atau Raja Ali Haji dengan Gurindam Dua Belas-nya?

Pada awal tahun 1960-an, sebelum sastrawan Lekra melakukan serangan pada novel Hamka, Tenggelamnya Kapan van der Wicjk, Djamil Suherman menerbitkan sebuah novel berjudul Perjalanan ke Akherat (1963), sebuah kisah di alam barzah yang menampilkan sosok seorang guru yang lantaran kejujurannya, masuk surga, dan istrinya--karena bunuh diri--terlunta-lunta di akherat. Bukankah kisah itu khas doktrin Islam? Lalu, mengapa pula novel itu tidak masuk kategori sastra Islam? Sebelum itu, Muhammad Ali juga mengangkat tema keagamaan dalam novelnya, Di Bawah Naungan Al-Quran (1957). Suasana keagamaan yang digambarkan novel itu terasa begitu kuat, tetapi toh novel itu tidak juga masuk kategori novel (sastra) Islam.

Sesungguhnya kita masih dapat menyebut sejumlah karya lain yang sarat bermuatan doktrin Islam. Sebutlah misalnya karya Mohammad Diponegoro (Siklus, 1975) atau Ahmad Tohari (Kubah, 1980). Bahkan, sejumlah cerpen kedua sastrawan itu jelas sekali mengangkat kisah-kisah sufi. Belakangan, Motinggo Busye dalam novel pendeknya, Sanu, Infinita-Kembar (1985) juga mengangkat kisah sufistik. Jika hendak lebih jelas lagi, periksa cerpen Danarto yang berjudul "Lempengen-lempengen Cahaya". Di sana, Danarto menampilkan tokoh Al-Fatihah sebagai tokoh utamanya. Lalu, apakah karya-karya yang disebutkan tadi termasuk kategori sastra Islam?

Pada tahun 1970-an, Abdul Hadi WM, Danarto, Fudoli Zaini, Ikranegara, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, dan beberapa sastrawan lainnya pernah pula menggulirkan konsepsi sastra Islam secara lebih luas. Munculnya istilah-istilah sastra sufi, sufistik, sastra tasawuf, sastra profetik, dimungkinkan lantaran terjadinya polemik tentang itu. Pertanyaannya: apakah karya-karya mereka itu termasuk sastra Islam yang sejajar dengan karya penyair sufi itu?

Novel Islam?

Rahasia apakah gerangan yang menyebabkan AAC begitu fenomenal, sehingga secara salah kaprah orang memasukkannya sebagai novel Islam? Secara intrinsik, AAC tampil di luar mainstream. Tokoh Fahri yang sangat Islami, latar Mesir yang meyakinkan, pola percintaan segi empat yang tetap berada dalam koridor muhrim-bukan muhrim merupakan bagian penting yang menjadikannya beda dari novel lain yang terbit sebelumnya. Kekhasan itu didukung pula oleh narasinya yang mengalir lancar, kekayaan ungkapan-ungkapan Arab serta gaya bahasa yang agak hiperbolis. Satu hal yang yang penting dalam novel itu adalah akhir cerita yang bahagia: happy ending!

Dikisahkan, meskipun tokoh Fahri hidup di sebuah flat bersama sejumlah temannya, Rudi, Hamdi, Saiful, pola interaksi yang digambarkannya laksana merepresentasikan kehidupan di lingkungan pesantren. Lihat saja, bagaimana rasa syukur Fahri ketika dinyatakan lulus proposalnya untuk menulis tesis: "Aku merasa seperti dibelai-belai tangan Tuhan." Dan selepas itu, Fahri mengajak teman-temannya berpesta: makan ayam bakar! Sebuah pesta sederhana, tetapi toh dapat menyebarkan kebahagiaan. Apa makna fragmen itu?

Bagi masyarakat perkotaan, konsep pesta tentu saja harus dengan musik dan tentu juga harus melibatkan pasangan lawan jenis. Tetapi, bagi para santri, konsep pesta yang seperti itu berada di luar wilayah pengalamannya. Dalam konteks itulah, AAC berhasil secara meyakinkan menyuguhkan sebuah peristiwa yang bagi masyarakat pesantren begitu dekat dengan kehidupan keseharian mereka. Sebuah familiarisasi bagi kelompok masyarakat tertentu, dan terasa "aneh" bagi kelompok masyarakat lain yang tidak punya pengalaman tentang itu. Maka, sudah dapat diduga, kelompok masyarakat mana saja yang begitu tersihir AAC.

Meskipun dalam banyak hal, AAC menampilkan kehidupan yang sarat dengan suasana Islami, tidaklah berarti novel itu masuk kategori sastra Islam. Bahwa AAC dipandang inspiring, menyuguhkan pesan-pesan moral, bahkan diyakini memberi pencerahan jiwa, tidaklah berarti novel lain pun--yang dianggap profan--tidak menawarkan pesan-pesan moral. Sebutlah misalnya, novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja. Bukankah novel itu pun menyuguhkan pesan moral dan memberi pencerahan--paling tidak bagi sebagian pembacanya--tentang pentingnya keteguhan iman. Bahkan, dilihat dari aspek penokohannya, agaknya kita dapat membandingkannya dengan model penokohan dalam sejumlah novel populer yang cenderung karikaturis. Dalam hal ini, yang dapat kita tangkap dari ketokohan Fahri adalah sosok manusia ideal yang secara fisik sempurna. Oleh karena itu, ia seperti tidak punya problem psikologis.
***

Begitulah, AAC sebagai representasi novel Islam, sesungguhnya lebih didasarkan pada persoalan sosiologis pembacanya. Tentu saja cara pandang ini tidak berarti novel itu kehilangan ruhnya yang menghembuskan napas Islam. Kiranya ia lebih tepat disebut novel Islami, novel yang di dalamnya memancar suasana Islam.

*) Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

KA(E)PUJANGGAANNYA PAHLAWAN DIPONEGORO

Nurel Javissyarqi*

Sebelum jauh merambah pada karya Beliau. Terus terang saya terusik dengan ejaan Diponegoro menjadi Dipanegara. Kenapa Bojonegoro tidak dirubah menjelma Bajanegara? Dst. Bagi saya tetap menggunakan logat aslinya (:jawa) yakni Diponegoro, disamping mengukuhkan literatur yang terakhir ada. Berangkat dari asal dialek, daya pamornya dapat disadap lebih mantab, saat mengejawantahkan suatu kalimah, apalagi kerja bersastra.

Di tanah Jawa, sebutan Pangeran yang kesohorannya melebihi raja-raja kecil ialah Pangeran Diponegoro. Padahal jauh di benaknya tiada membanggakan titel itu, ia lebih nyaman sebagai rakyat biasa, lebih berasa mengunyah asin garam kehidupan jelata. Tak ada pantulan lain, selain kesadaran berontak-lah hal tersebut terbit, menyunggi matahari bencah Dwipa kala itu.

Saat membaca roman sejarah karangan J.H. Tarumetor TS. yang bertitel “Aku Pangeran Dipanegara” penerbit Gunung Agung Djakarta 1966. Saya merasakan betapa sengit pergolakan kemerdekaan, yang berkumandang terang mewujudkan idealitas kebebasan, dari kungkungan rezim penjajahan, yang sewenang-wenang mengadu-domba darah biru, darah merah bumiputra. Adalah berdasar niat suci, perlawanan terus dikibarkan, bergerilya menculik musuh dengan panah api, sekali waktu berhadap muka meriam dengan tombak, keris dan bambu runcing.

Tiap-tiap laluan parit, tebing curam, kaki bukit, semak belukar, hutan rimba, batu licin derasnya air sungai, padang amis darah rumput, merupakan referensi dalam meningkatkan mutu pemberontakan dikemudian hari. Maka ingatan senantiasa harus terawat, terbasuh kucuran kesadaran, semisal kelembutan air bersanggup menelusup ke serat-serat batu, mendenting melobangi bebatuan pada goa perenungan. Niscaya tubuh kebangsaan berteriak lantang, manakala kaki-kaki rumput terinjak sepatu besi, kuda-kuda birahi yang kesurupan serupa kompeni. Jika berkaca pada cermin masa kini, nasib tanah pertiwi terserang virus-virus korupsi.

Ontowiryo (bahasa Indonesia usil menulisnya dengan Antawirya, nama kecil Pangeran Diponegoro), ia terlahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta, dan wafat pada tanggal 8 Januari 1855 di benteng Rotterdam kota Makasar. Sebagaimana catatan Muhammad Yamin dalam bukunya yang berjudul, Sedjarah Peperangan “Dipanegara” Pahlawan Kemerdekaan Indonesia, penerbit Jajasan Pembangunan Djakarta 1952, tjtakan ketiga. Jika menengok literatur YB. Sudarmanto, terbitan Grasindo 1996 yang berjudul “Jejak-Jejak Pahlawan dari Sultan Agung hingga Syekh Yusuf,” membubuhi puisi Chairil Anwar yang berlabel “Diponegoro”: Di depan sekali tuan menanti/ Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali/ Pedang di kanan, keris di kiri/ Berselempang semangat yang tak bisa mati/

Di bawah ini saya tunjuntukkan Pangeran Diponegoro sebagai Pujangga Indonesia, sebelum santri Tegalsari R. Ng. Ronggowarsito. Bermaksud menguri-uri ruhaniah pertiwi atas tumbal para pemudanya, guna jejiwa mengikuti kegigihannya. Menempa mental agar tak berkarat dimakan usia, tidak busuk dalam buih kecewa. Andai kedangkalan gurit sekadar kenangan, masih bersimpan semangat pengguratnya. Apalagi tetembangan yang dihasilkan dari jiwa-jiwa paripurna kepahlawanan; tidak tunduk harta benda, pangkat jabatan maupun gadis-gadis berambut pirang.

Demikian simaklah...

Sun amedar surasaneng ati
atembang pamijos
pan kinarjo anglipur brangtane
aneng kita Menado duk kardi
tan ana kaeksi.

Mapan katah kang keraseng galih
ing tingkah kadudon
pan mengkana ing tijas pangestine
kaja paran polahingsun iki
jen tan ana ugi
apura Ijang Agung.

Lara wirang pan wus sun lakoni
nging panuhuningong
ingkang kari dan kang dingin kabeh
kaluarga ngestokken jekti
mring Agama Nabi
oleh pitulung.

Ketika membaca bahasa asalnya, tubuh penyaksi gemetaran; bulu-bulu berdiri seolah jejarum di jemari tangan perawan, menyuntik seluruh jasad yang memendam masa silam. Sejarah dihasilkan kerja kesungguan, tak ada basa-basi tersimpan, seluruhnya meruang-waktu kejadian lampau. Perjuangan suci mengukuhkan lelangkah menjadi panutan dikemudian hari. Bahasa bukan sekadar penyampai, di dalamnya ada dinaya, sukma yang terekam membetot jatah dipertarungkan ruang-waktu pembaca. Maka usah sekali-kali menganggap remeh sikap pembacaan, agar tak terhempas gelombang kelupaan sebelum sampai tujuan.

Di bawa ini salinan maknawi karya beliau:

Hamba curahkan perasaan kalbu yang fitri
mengarang syair menghibur duka-nestapa
menyusun karangan di kota Manado
ketika tak kelihatan pandangan mata
selain daripada Tuhan Yang Maha Esa.

Banyaklah yang terasa dalam hati
berbuat kelakuan yang salah arah
sampai timbul jantung berfikiran:
apakah jadinya hamba hina ini,
sekiranya tingkah perbuatan itu
tidak diturunkan ampun,
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Pedih-pilu, hina bencana dirasa
tetapi memohonkan sungguh,
supaya kehilafan dahulu dan kemudian
diturunkan pengampunan dari Tuhan,
kepada keluarga dan sanak saudara
yang dengan ikhlas sepenuh sungguh
menuruti ajaran Nabi pembawa sabda.

Demikian Tembang Midjil yang disusun Pangeran Diponegoro di kota Manado, sebagai Muqaddimah “Babad Diponegoro,” yang dirampungkannya di kota Makasar. Babad tersebut berisikan sejarah leluhur, tareh runtuhnya kerajaan Majapahit hingga detik-detik akhir Beliau. Perjuangan tangan-tangan baja, kaki-kaki gajah, amis darah segar, keringat berdebu, harta-nyawa melayang-layang selama lima tahun terus-menerus melawan penjajahan, dari tanggal 20 Juli 1825 sampai 28 Maret 1830. Dan seperempat abad Beliau meringkuk di benteng tawanan, mendekam terisolasi di tanah asing pembungan. Dimana kurun waktu menyimpan peristiwa, tempo suatu kenangan menjelma harmoni tetembangan, kejayaan hati bergetar dalam perjuangan.

Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro, diberi gelar rakyaknya dengan sebutan; “Sultan Abdulhamid Herutjokro Amirul Mukminin Syaidina Panatagama Khalifatulloh Tanah Djawa.” Bersama Sentot Prawirodirdjo serta Kiai Modjo, membakar medan peperangangan di lingkup tanah tengah dwipa; Selarong, Dekso, Pleret, Lengkong, kaki Gunung Merapi, Bantul, Kedjiwan, Gawok, Bagelen, Banyumas, Pekalongan, Ledok, Semarang, Rembang, Bojonegoro, Madiun, Pengasih, Banyumeneg, Kedu, dan seluruh ruh bumi Nusantara berbangkit atas hembusan badai pemberontakannya.

Adalah tak diragukan lagi, tubuh-tubuh yang terpendam tanah pertiwi sebagai daulat kesatuan, bagi hakikat paku bumi, gunung-gunung tertancap, agar tak buyar makna ke-Indonesia-an. Dimana tiap-tiap pergolakan terangkat, embun pagi kabarkan peristiwa makna puitik, lahir dari pergumulan ruh abthin matahari. Dan sisanya tersimpan dalam resapan daun-daun sejarah. Niscaya pancaran hati, atas pantulan tekad memperjuangkan tanah sepenuh jiwa, tulus setia menghadap Ridho-Nya.

*) Pengelana asal Lamongan, Jatim, 19 Maret 2009, kamis legi Rabiul Awal 1430 H.

Bila Nirwan Seorang Penyair

Ribut Wijoto
http://www.sinarharapan.co.id/

Meski sama-sama wilayah kreatif, mungkin inilah takdirnya, penciptaan kritik sastra dan penciptaan puisi memiliki signifikansi keterbedaan. Keduanya menuntut ketekunan ataupun disiplin proses kreatif tersendiri.

Sejarah sastra Indonesia mencatatkan, banyak sastrawan yang sukses menulis kritik sastra. Kita memiliki Subagio Sastrowardoyo, Budi Darma, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Linus Suryadi AG. Kesemuanya adalah sastrawan mapan yang telah menulis kritik-kritik cemerlang. Fakta lain yang tak bisa dipungkiri, banyak kritikus kita yang ternyata gagal mencipta puisi cemerlang.

Tahun 1930-an, tidak ada yang meragukan kapasitas kritik Sutan Takdir Alisjahbana. Pemaparannya dalam seri Kesusastraan Baru yang disiarkan majalah Pujangga Baru seolah menampar tradisi puisi Melayu Lama. Sebaliknya, puisi Takdir tampak tenggelam ditelan gagasan-gagasan puisinya. Lihatlah kumpulan puisi Tebaran Mega. Puisi-puisi yang nyaris layu sebelum berkembang. Lebih parah lagi, puisi-puisi dalam kumpulan Lagu Pemacu Ombak. Itu seperti orang kaya berteriak-teriak minta jatah BLT (bantuan langsung tunai). Antara penampilan dan ucapan tidak nyambung. Gagasan Takdir tentang orisinalitas dan personalitas puitik justru lebih bisa dikonkretkan oleh Chairil Anwar.

Lantas siapa yang meragukan kemampuan Dami Ndandu Toda dalam menulis kritik-kritik sastra. Buku Hamba-hamba Kebudayaan merupakan bukti tak terbantah. Belum sah seorang penulis esai sastra di Indonesia jika belum membaca buku tersebut. Sebuah buku yang berhasil memberi paradigma logis atas perilaku aneh Sutardji Calzoum Bachri dalam berpuisi. Absurditas novel Iwan Simatupang pun bisa dijelaskan oleh Dami N Toda. Tapi sayang, puisi-puisi Dami tidak secemerlang kritik sastranya. Lihatlah kumpulan puisinya, Buru Abadi (2005). Di situ, puisi seperti mengemban kekangan konsep yang teramat ketat. Terlalu dibebani estetika. Bahkan, di situ, improvisasi seakan direncanakan.

Nasib buruk kritikus yang menulis puisi juga dialami oleh Rachmad Djoko Pradopo. Amat mengherankan, seorang tokoh pengkajian puisi sekaliber dia ternyata menghasilkan kumpulan puisi Aubade (1999). Puisi-puisi yang lebih pantas diciptakan oleh mahasiswa sastra semester pertama.

Konon, HB Jassin pun menulis puisi. Hanya saja, sampai akhir hayatnya, dia belum hendak menyiarkan hasil ciptaannya. Apakah dia menyimpan rapat puisi untuk menjaga reputasi kepausannya? Kita tidak tahu pasti.

Kini, masyarakat sastra Indonesia dicengangkan oleh kehadiran buku puisi Jantung Lebah Ratu dari Nirwan Dewanto. Hampir semua orang tahu, Nirwan adalah seorang lulusan geologi yang meyakini mampu mengedit puisi para penyair Tanah Air. Diedit agar memiliki daya jelajah tinggi, agar lebih tertib, puitis, metaforis. Dan selebihnya, puisi menjadi lebih seragam.

Apakah puisi-puisi Nirwan akan senasib dengan para pendahulunya? Seperti deretan para kritikus sastra yang gagal mencipta puisi gemilang. Jawabannya perlu ditunda dulu. Lebih baik mengutip sebagian puisi berjudul “Semangka” dari Nirwan Dewanto: Seperti kantung hijau berisi darah, berhenti percaya kepada tanah. Seperti bawal betina tak bersarung, menggelincir ke ujung tanjung. Seperti periuk penuh kuah ari, penat sudah oleh bara api. Seperti kandungan delapan bulan, siap tersedak ke batang jantan.

Puisi Nirwan tersebut sebenarnya berkisah tentang barang sederhana, semangka. Namun di tangan Nirwan, sesuatu yang sederhana itu menjadi rumit. Menjadi susah. Mengapa? Karena memang Nirwan tidak membahasakan dengan cara sederhana. Nirwan seakan mempersulit keadaan. Apakah Nirwan beranggapan bahwa “puisi yang istimewa” adalah “puisi yang rumit”. Bisa jadi, sebab, semangka dalam puisi Nirwan lebih tampak sebagai konsep tentang semangka daripada semangka itu sendiri. Sulit dibayangkan, semangka Nirwan adalah semangka petani yang tergeletak di tengah sawah. Atau setidaknya, semangka yang biasa didapati di supermarket.

Padahal, sejarah tradisi puisi Indonesia mencatatkan, kegemilangan puisi diperoleh berkat kesederhanaan dalam berpuitik. Bahasa Chairil Anwar sederhana, bahasa Subagio Sastrowardoyo sederhana. Pun bahasa dalam puisi Amir Hamzah, Rendra, Sapardi, Goenawan Mohamad, Oka Rusmini, apalagi Joko Pinurbo.

Kesederhanaan puisi Sapardi adalah kesederhanaan yang mendalam. Membaca puisi Sapardi seakan dihadapkan pada lapis-lapis makna (baca: tingkatan semiotik). Misalnya pada puisi “Kebun Binatang”. Lapis pertama adalah pembacaan biasa, bersifat informatif. Tanpa berusaha mencari maknanya, pembaca sudah bisa menikmati peristiwa ilustratif. Tentang pasangan muda yang datang ke kebun binatang dan bertemu dengan ular besar. Lapis kedua adalah pembacaan untuk mencari makna mendalam. Pembaca menafsirkan hubungan simbol (juga metaforis) antara ular dan wanita. Ternyata ada mitologi yang menghubungkan keduanya. Pembacaan ketiga adalah pembacaan komparatif. Bagaimana pola estetik puisi Sapardi dibandingkan dengan puisi para penyair lain yang sezaman. Bagaimana kontribusi puisi Sapardi dalam tradisi puisi di Indonesia.

Pola pembacaan yang sama bisa diterapkan dalam puisi Subagio Sastrowardoyo. Tapi pada puisi Nirwan, pembaca sudah tertahan pada lapis pertama. Itu terjadi karena puisi Nirwan terlalu rumit.

Konsep. Yah, puisi-puisi Nirwan terlalu “gagah dalam konsep”, namun kurang “rendah hati” dalam dunia keseharian. Puisi Nirwan terburu-buru ingin menjangkau semiotik lapis kedua, tapi lupa membangun semiotik lapis pertama. Problem tersebut seakan mengulang kegagapan semiotik dari puisi produksi Sutan Takdir Alisjahbana, Dami Ndandu Toda, dan Rachmad Djoko Pradopo. Puisi-puisi yang tidak menghadirkan kejernihan lanskap (panorama) dan kesederhanaan imaji (citraan).

Padahal, tidak hanya pada puisi “Semangka”, pada beberapa puisi yang lain, Nirwan juga bersandar pada benda-benda atau fenomena yang ada di keseharian. Lihat saja judul-judulnya: Kunang-Kunang, Cumi-Cumi, Gerabah, Gong, Apel, Harimau, Ular, Akuarium, Ubur-Ubur, Lonceng Gereja, Putri Malu, Tukang Kebun, Burung Merak, Kopi, Garam, Bubu, Bayonet, Selendang Sutra, Lembu Jantan, Burung Hantu, dan Keledai. Semua yang bersifat sehari-hari tersebut menjadi rumit di tangan Nirwan. Pasalnya, Nirwan lebih bergerak di wilayah lambang (simbol) daripada wilayah citraan (metafor).

Kasus yang sama sebenarnya terjadi pada puisi Mardi Luhung dan Afrizal Malna. Namun, meski terkesan rumit, puisi dua penyair tersebut amat komunikatif. Pola sintaktiknya lancar. Membaca puisi Afrizal dan Mardi seakan diajak ngobrol oleh penyairnya. Walau lingkungan teks yang dibangun berat, aspek lisannya amat kuat. Semisal puisi “Tarian Cintaku di Balik Ombak” dari Mardi: Kutarikan tarian cintaku di balik ombang. Igalkan gelang-gelang, kaki, paha, bokong, pusar, susu setuntas-tuntasnya. Kutarikan tarian cintaku di balik ombak. Merayumu, mencumbumu, dan kita pun bersutubuh sehabis-habisnya, setandas-tandasnya.

Puisi Goenawan Mohamad (GM) sebenarnya juga rumit dan penuh persilangan intelektualitas. Namun seperti halnya puisi Acep Zamzam Noor, GM membalutnya dengan permainan citraan yang matang. Meski susah dicerna, puisinya enak dinikmati. Di situ ada maksimalisasi citra bunyi, gerak, warna, permainan ruang, dan kecanggihan rima. Tujuannya sederhana, ya itulah, agar puisi enak dinikmati.

Nirwan sebetulnya telah cukup akomodatif dengan menggunakan beragam pola sastra lama. Terutama pantun dan gurindam. Tapi, pemakaian sastra lama tersebut tetap tidak menolong untuk menjernihkan puisi. Mengapa? Karena, logika puisi Nirwan tak selaras dengan logika puisi lama.

Semua puisi lama berpijak pada tradisi lisan. Aku lirik terlibat aktif dalam seluruh teks. Tubuh teks juga memiliki lagu. Ketika dibacakan, puisi lama mirip dengan nyanyian. Sementara itu, puisi Nirwan berpijak pada tradisi tulis. Aku lirik seperti mengambil jarak dari teks. Walau telah ada rima di tiap akhir baris, efeknya tidak menciptakan lagu. Justru memunculkan kejanggalan. Tidak lugas. Seperti seorang lelaki yang memakai daster. Tidak pada tempatnya.

Lain halnya dengan pemakaian pola pantun pada puisi “Lagu Gadis Itali” dari Sitor Situmorang. Sitor berhasil memadukan pola pantun dengan kesederhanaan ilustratif. Meski latar tempatnya di Italia, puisi tersebut serasa akrab bagi pembaca Indonesia.

Beragam perbandingan ini sebenarnya bermuara pada satu hal klise, mencari esensi puisi. Tidak bisa tidak, puisi adalah pergumulan antara kesederhanaan dan kompleksitas. Pertautan kejujuran dengan manipulasi makna. Puisi menghadirkan keluguan manusia sekaligus memamerkan kecerdasannya. Oktavio Paz (penyair yang diidolakan Nirwan) ketika menuliskan puisi “Kisah Dua Taman”, tidak menggunakan bahasa ilmiah atau bahasa yang susah dimengerti. Dia memaparkan argumentasi dan narasi dengan cara amat sederhana. Penuh citraan yang mudah dicerna pancaindra manusia. Hasilnya memang amat manusiawi. Di balik kesederhanaan itu, Paz mengabarkan kebaruan pemikiran: konvergensi. Pemikiran yang bersandar dari kitaran tradisi Amerika Latin dan tradisi India.

Nirwan tampaknya tidak menyadari klise (yang lebih tepat adalah klasik) ini. Dia berlari jauh pada pemikiran-pemikiran. Melupakan kesederhanaan bahwa penyair mengerutkan dahi dan menguras keringat dingin agar mampu mencipta bahasa sederhana. Bersahaja. Bandingkan dengan Amir Hamzah. Peziarah tradisi Melayu ini mengkaji banyak kitab demi mencari pola pembahasaan yang mudah dicerna. Tidak memerlukan banyak referensi.

Kerumitan puisi Nirwan diperparah dengan berjubelnya kosakata arkais. Kata-kata yang telah dilupakan masyarakat pemakainya. Lihat kutipan puisi “Ubur-Ubur” ini: Ia mata-mata, hanya terpindai di antara nisan batukarang dan gaun ganggang. Ia surai singa di belanga Cina, terpilin oleh pecahan cermin. Pemakaian kosakata arkais ini membuat teks puisi terpisah dengan konteks keseharian.

Begitulah, menulis puisi tidak gampang. Tidak setiap orang yang menguasai teori puisi (baca: kritikus sastra) mampu menulis puisi secara lugas, sebab, puisi membutuhkan kerendah-hatian. Seperti perempuan, tidak setiap gejolak diksi bisa dikontrol. Tidak bisa seenaknya memaksakan konsep puitik pada tubuh ringkih puisi. Jika pemaksaan tetap dijalankan, puisi berubah jadi konseptual, layaknya matematika. Puisi kehilangan kesehariannya, kebersahajaannya, dan kehilangan kemanusiaannya.

Surabaya, 2008

Rabu, 18 Maret 2009

MENGULITI MAKNA SAKRAL

Nurel Javissyarqi*

Sakral itu mendiami kerahasiaan diri. Menjelma kesakralan umum saat dikumandangkan dalam gaung atmosfir yang serupa. Ia terbentuk atas reruang kebisingan profan, dari padatnya suara-suara kedirian yang terpencil. Dan hadir di kala mempercayainya sebagai kekhusukan makna. Dirinya bukan di ambang logika murni, sebab timbangannya perasaan nurani. Tetapi melalui kesibukan pun sanggup tercipta.

Atau berangkat dari daya yang disakralkan sejenis kerahasian. Gairah diri ditetapkan, lantas menggiring nalar-perasaan orang lain ke dalam emosi pribadi yang mewujudkan kesakralan bersama. Awal dari ketidaklaziman semisal mempercayai pohon besar. Dan bonsai yang tak wajar di masukkan dalam bagian tersendiri, lalu terbentuklah kehususan di kemudian hari.

Kesakralan menuju keadaan semula; kesadaran masa kecil atau harapan mendatang, yang jelas bukan kekinian dalam barisan logika awam. Andai menempati nalar kekinian, tentu terdukung situasi hening; waktu-waktu permohonan doa. Kerja kesungguhan bathin-raga yang menggerakkan semangat ke arahnya, sebagai mata rantainya pada wilayah profan, atas hasil yang tampak di luar perkiraan.

Hari-hari dilogikakan waktunya serupa perubahan gemintang mengenai nasib manusia. Inilah sisi lain logika sakral, atau realitas nalar pun sanggup dimasukinya. Ruangannya dalam diri sendiri; rahasia memproses pribadi memaknai hayati dengan mendialogkan suara-suara profan dalam bingkai kesakralan manunggal.

Sakral bukan pembedah tetapi yang dibedah, ia tidak memiliki daya sendiri sebelum insan menempelkan identitasnya, oleh kerahasiaan merasai sesuatu. Kalau suatu kursi pun yang lainnya disebut sakral, sebab melihatnya dengan pandangan masa lampau; kesadaran itulah yang menimbullah angan (sejarah) sebelumnya. Angan itu pembentuk asosiasi kesadaran, dan di saat menyebutnya memiliki makna sakral. Atau oleh pantulan pribadi manusianya, kesakralan ada.

Manusia, apalagi yang profan; menyembunyikan apa yang disakralkan dalam perasaannya, terbukti lebih banyak diam daripada mengutarakan percakapan bathiniahnya. Atau ruang-ruang pemberhentian itu melingkupi suara rahasia. Al-hasil, kesakralan ada sebelum datangnya profan. Namun bukan terbentuk sedari sugesti, ia di atas tingkatan itu, tetapi kadang kala bernasib sama jika telah menemukan penalarannya. Sedangkan kesakralan murni ialah hasil dari kerahasiaan bathiniah.

Kita menempatkan sesuatu dalam bentuk sakral, lantas di kemudian masa tidak lagi. Ini bukan berarti perpindahan kedewasaan, namun nalar kita sudah tidak merasa asing. Hal itulah yang dilakukan manusia profan untuk menghapus nilai-nilai sakral, namun tidak mungkin mampu membuang semua kesakralan dalam dirinya. Sebab insan mempunyai yang terahasia. Dan penilaian keprofanan bisa menjelma kesakralan, pada sudut terpencil perasaan, saat memaknai kesadaran diri pada belahan hidup yang damai, di sanalah ia membentuk dunianya.

*) Pengelana asal Lamongan, JaTim. 17 Mei 2006. 09.

Novel Grafis Karya Mahasiswa Desain Komunikasi Visual (DKV) ITS

Tak Suka Baca, Langsung Terpikat Karya Pram

Any Rufaidah
http://www2.jawapos.co.id/

Galih Tri Yunanto, mahasiswa DKV Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, mengadaptasi novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer sebagai tugas akhir. Tulisan sastrawan besar tersebut diadaptasi menjadi novel grafis berjudul Ranta: Berjuang demi Kebenaran.

Galih Tri Yunanto menghadapi ujian sidang untuk mempertanggungjawabkan Ranta: Berjuang demi Kebenaran. Dia harus menjabarkan novel grafis karyanya itu di depan para dosen. Bagi Galih, novel tersebut memang begitu bermakna. Sebab, dia mengadaptasi karya novelis kelas wahid di Indonesia: Pramoedya Ananta Toer.

Ide ''mengomikkan'' novel tersebut muncul lantaran Galih mendapati belum banyak novel grafis yang mengadaptasi karya lain. ''Yang banyak, novel grafis diadaptasi jadi film,'' ungkap mahasiswa DKV angkatan 2001 itu.

Ketika mengajukan ide itu kepada dosen pembimbing, Galih mendapat lampu hijau. Dia pun mulai mencari karya sastra yang bisa diadaptasi. Ketika itulah, dia terpikat nama besar Pramoedya. Meski mengaku tidak begitu suka membaca, cowok asli Surabaya itu langsung jatuh cinta pada buku Bumi Manusia karya Pram. "Saya lalu mencari karya beliau lainnya," tutur bungsu dari tiga bersaudara itu.

Galih pun menemukan buku Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Sekali baca, dia langsung memutuskan mengadaptasinya menjadi novel grafis. Karena bingung izin, dia mendatangi Oei Hiem Hwie, pendiri perpustakaan buku kuno di Medokan Ayu, yang juga berkarib dengan Pramoedya. ''Kalau untuk tugas akhir, kata Om Hiem boleh," katanya. Tapi, dia tetap diminta menghubungi keluarga Pram di Jakarta.

Hanya sekali membaca, Galih mengaku mendapat banyak gambaran mengenai adegan yang ingin dihadirkan melalui sketsa. "Kayak pop corn gitu. Pletak pletok muncul," katanya lantas tertawa.

Ide itu pun dia simpan di kepala. Sebab, yang harus dilakukan kali pertama adalah menentukan cerita serta berapa banyak bab dan halaman yang akan dihadirkan.

"Yang pertama adalah penentuan tujuh besar," kata Galih. Itu ungkapan untuk tujuh pertanyaan yang harus dijawab Galih sebelum membuat novel grafis. Misalnya, siapa tokoh utamanya? Apa motivasi tokoh utama? Kemudian siapa yang menghalangi tokoh utama dan bagaimana cara tokoh tersebut menghadapinya. Juga ada pertanyaan tentang pesan apa yang ingin disampaikan dalam cerita tersebut.

Buku Pram tersebut bercerita tentang kehidupan tokoh Ranta di Banten ketika ada peristiwa DI/TII. Secara garis besar, cerita yang dihadirkan Galih tetap sama. Namun, ada sedikit penyesuaian. Misalnya, karena tidak ingin ada nuansa politik dalam novel grafisnya, Galih mengganti kelompok DI/TII dengan gerombolan. "Tahunnya pun tidak 1950-an, tapi 1940-an," jelasnya.

Untuk setting, Galih tetap mengambil Banten. Agar visualisasinya bagus, dia juga melakukan riset. "Pengennya ke sana, tapi tidak ada dana. Jadi, saya mengumpulkan informasi melalui foto-foto di internet," katanya.

Dia juga membaca buku lain sebagai referensi sejarah. "Saya juga pakai buku eyang saya. Ceritanya tentang strategi militer. Ada beberapa yang saya ambil," jelasnya.

Bukan hanya itu. Galih juga mengubah beberapa karakter dalam cerita. Misalnya, memberi nama tokoh yang sebelumnya hanya disebut Pram sebagai orang pertama dan orang kedua. "Mereka saya beri nama Karmain dan Pengein," katanya. Dua nama itu muncul dari cerita Pak Kus, tukang parkir ITS yang beberapa waktu lalu meninggal. "Dua nama itu veteran perang temennya Pak Kus," katanya.

Setelah proses cerita selesai, proses teknis dimulai. Agar tidak terlalu berat, dia melibatkan beberapa temannya. Mereka hanya dimintai bantuan untuk pewarnaan. Seluruh sketsa dikerjakan Galih. Nah, proses inilah yang membutuhkan waktu lama. "Namanya juga meminta bantuan secara sukarela. Jadi, ya tidak bisa memaksa mereka harus selesai kapan," kata Galih lantas nyengir.

Total Galih perlu tiga tahun untuk menghasilkan novel grafis tersebut. Penghambatnya tidak hanya datang dari teman, tapi juga diri sendiri. Dia sering bepergian ke luar kota karena bergabung dengan teman yang mengerjakan proyek grafis. "Tidak lama kok ninggalnya. Tapi, memang beberapa kali, jadi lama," tuturnya. Selain itu, dia ingin karyanya istimewa.

Demi menghadirkan gambar yang tidak biasa, Galih harus mencari referensi dari banyak sumber. Salah satunya melalui film The Patriot yang dibintangi Mel Gibson. "Adegan Mel dibantu dua anaknya menyerang rombongan musuh dengan peralatan sederhana saya ambil, tapi dengan penyesuaian. Tokoh dan jenis senjatanya diganti," katanya.

Hingga kini Galih belum mendapat izin dari keluarga Pram. Namun, dia menganggap hal itu tidak masalah karena novel grafis yang dia buat hanya untuk tugas kuliah. "Ini kan prototipe. Kalau memang ada pihak yang mau mengomersialkan karya saya, ya pasti akan ada izin resmi serta perjanjian lain,'' katanya.

Senin, 16 Maret 2009

MERANGGEH MIMPI DAN MITOS MENUJU KENYATAAN

Nurel Javissyarqi*

Yang berjiwa muda memahami sejarah generasinya, serta mimpi-mimpi yang tersebar di benak jamannya. Ada suatu makolah yang mengatakan, bahwa mitos awalkali timbul dari dunia mimpi.

Kehidupan terbagi beberapa ruang bersegala dimensinya. Ada kesadaran, setengah kesadaran, ketidaksadaran, di bawah kesadaran juga di atas kesadaran. Kali ini mengungkap ruang bawah, tepatnya dimensi mimpi.

Orang menemukan mimpi dalam menyusuri tidurnya, berupa corak yang tidak tersangkakan atau tanpa perencanaan. Kehadirannya barangkali dari pantulan proses hayati. Atau atas kedalaman bathiniah yang menjelmakan spiritualitas mimpi oleh hikayat profan. Lantas terungkaplah mimpi kepada impian insan.

Mimpi mewarnai kesadaran pagi membangun harapan, terkadang sampai suntuk pada subyek yang dibebankan. Bagaimana menariknya menjadikan mawas diri? Jarak merentangkan permenungan sampai bermakna? Maka simbul dalam mimpi harus ditakar pada dunia realis. Lalu mendapati bayangnya bagi perbandingan, sehingga memperoleh keterangan. Atas pengembangan nilai-nilai yang disejajarkan sesimbulnya, bagi dialog nyambung dikala terbangun.

Agar menemukan jalur sepatutnya didedah. Apakah mimpi dan bagaimana impian. Mimpi yang hadir dengan serba kemendadakan, tidak diperkenankan kesadaran peribadi membangun dunianya. Kecuali memahami hakikat mimpi di dalam memasuki kerelaan tubuh menghilangkah kebutuhan lahiriah. Kali ini tidak mengajak membangun mimpi lewat melembutkan realitas sebelum tidur, tetapi memaknainya dengan mencari manfaat di saat terjaga.

Maka terlebih dulu mengakrabi mimpi pada persilangan obyek yang serupa; betapa kuat penilaian hasrat atau perasaan yang didapati mimpi. Dengan mengetahui seluk-beluk kehadirannya, kita memperoleh kesadaran impian bersama nilai-nilainya. Apakah sekadar lewat atau telah mewakili kasus yang terhadapi realitas. Maka penerimaan tersebut menambah dinayanya mimpi, mengurangi benang-benangnya sehingga tidak terjadi salah penafsiran.

Mimpi dan impian sejatinya sama, yakni belum berkembang seutuhnya dalam kesadaran. Demi mencapainya, pertimbangkan pengharapan baik dipersiapkan, sebelum reaksi luar bermunculan tanpa kendali. Pengertiannya, bagaimapun angan memiliki dampak mimpi serta impiaan. Namun sebaiknya tak sekadar lemparan kerikil, tapi sejauh mana mengenai sasaran. Dan ini lebih satu tingkat dari perkirakan, yaitu suatu bentuk kesadaran mengenai pengetahuan awal, dalam menjawab mimpi ataupun impian.

*) Pengelana asal Lamongan. 3 Juni 2006.

Penyelamatan dan Kembalinya Mahkota Majapahit

Gede Mugi Raharja
http://www.balipost.com/

DENGAN tetap memegang konsep negara kepulauan Nusantara bersatu, mau tidak mau, aura kejayaan Kerajaan Majapahit akan tetap mewarnai perjalanan hidup bangsa Indonesia. Sebab, bentuk pemerintahan Kerajaan Majapahit telah menjadi inspirasi bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Puncak kemegahan Kerajaan Majapahit tercapai pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389) saat didampingi Mahapatih Gajah Mada, terutama pada saat perwujudan Sumpah Palapa untuk mempersatukan Nusantara.

Setelah Gajah Mada wafat pada 1364, Majapahit mulai suram. Pada 25 tahun kemudian, Raja Hayam Wuruk mangkat (1389). Kerajaan Majapahit mulai retak. Pertikaian antar-ahli waris tidak terhindarkan. Kehidupan mewah akibat kesejahteraan yang telah dihasilkan Majapahit, telah membuat orang-orang Majapahit lemah dan agak lengah.

Di masa pemerintahan Raja Kerthabhumi, dengan mudah Majapahit yang telah berusia 148 tahun ditundukkan oleh penguasa Demak, Raden Patah yang kala itu berusia 23 tahun. Peristiwa ini disebutkan dalam tahun Saka sebagai "sirna ilang kertining bumi" yang bermakna 1400 atau 1478 Masehi. Raden Patah yang juga disebut Panembahan Jin Bun sebenarnya adalah putra Raja Kerthabhumi, setelah sang raja menikah lagi dengan putri saudagar Cina Muslim.

Dalam kronik Tionghoa disebutkan bahwa alasan penyerangan Demak ke Majapahit adalah karena raja Majapahit "tidak seiman" dengan penguasa Demak. Karena itulah ada upaya untuk menyatukan kepercayaan dan keyakinan raja Majapahit. Sunan Kalijaga (Raden Said) kemudian menjumpai Kerthabhumi (Brawijaya) di Blambangan, ketika mantan raja Majapahit ini hendak meminta bantuan kepada raja Bali.

Kerthabhumi akhirnya pindah agama tanpa meminta pertimbangan abdi setianya, Sabda Palon dan Naya Genggong.

Akibatnya, Sabda Palon dan Naya Genggong tersinggung, merasa sudah tidak diperlukan lagi. Akhirnya meluncurlah kata-kata yang kemudian dikenal sebagai ramalan atau semacam "kutukan". Kata-kata ramalan yang terkenal dari Sabda Palon dan Naya Genggong adalah akan mengembalikan keyakinan Hindu-Buddha 500 tahun setelah sang raja beralih keyakinan. Jika tidak mau, maka akan diambil jalan kekerasan, dengan tanda-tanda bencana alam.

Milik Kolektor

Entah karena sudah sesuai dengan kehendak Sabdo Palon dan Naya Genggong, setelah 500 tahun lenyap dari bumi Nusantara, rupanya sudah ada upaya-upaya untuk merekonstruksi peninggalan Kerajaan Majapahit. Salah satunya adalah mencari lokasi Kerajaan Majapahit dan membuat Pusat Informasi Majapahit, setelah bukti-bukti sejarah dan peninggalan Majapahit dikumpulkan.

Ide ini ternyata kemudian menjadi sebuah kontroversi di pengujung 2008. Sebab, situs Kerajaan Majaphit rencananya akan diberi tutup kaca tebal untuk memudahkan pengunjung bisa menyaksikan sisa-sisa peninggalan Majapahit di dalam kotak kaca (semacam etalase) di area Pusat Informasi Majapahit. Tentu saja para ahli arkeologi, sejarah dan budaya tidak bisa menerima ide ini. Sebab, penggalian dan pembangunan etalase kaca di dalam tanah justru bisa merusak situs Majapahit itu sendiri.

Akhirnya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik memerintahkan untuk menghentikan kegiatan tersebut, serta membentuk Tim Evaluasi Pusat Informasi Majapahit. Lantas, menjelang perhelatan pemilu legislatif dan pemilihan presiden, awal 2009 ini sebuah media cetak terbitan Surabaya memuat artikel tentang mahkota Kerajaan Majapahit. Apakah mahkota ini nantinya akan dapat memberi aura kepemimpinan Majapahit bagi presiden terpilih?

Sejak Majapahit ditundukkan oleh Kerajaan Demak, banyak benda-benda pusaka dan tanda-tanda kebesaran Majapahit diangkut ke Demak. Namun setelah Kerajaan Demak runtuh, benda-benda pusaka dan tanda-tanda kebesaran Majapahit itu tercerai-berai serta sebagian tak diketahui keberadaannya. Tetapi kini, salah satu benda pusaka Majapahit yang menjadi simbol kepemimpinan Majapahit, diberitakan telah berada di Bali sejak 30 Mei 2008.

Mahkota tersebut sempat menjadi milik seorang kolektor di Singapura. Namun karyawan di tempat menyimpan mahkota tersebut silih berganti kesurupan, meminta mengembalikan mahkota itu kepada keturunan Majapahit. Berita ini kemudian didengar oleh Way Ching Lee, seorang keturunan Raja Tumasik (Singapura). Dia kemudian berusaha mengumpulkan dana untuk menebus mahkota tersebut agar dapat dikembalikan kepada yang berhak. Setelah dana terkumpul dari beberapa dermawan di beberapa negara, mahkota Majapahit bisa ditebus.

Mahkota ini kemudian dibawa ke Bali karena Bali diyakini sebagai penerus budaya Majapahit.

Meski sempat dibawa ke Puri Ubud, mahkota ini akhirnya dibawa ke lokasi Puri Surya Majapahit, yang baru dibangun di Perum Puri Gading, Banjar Bhuwana Gubuk, Jimbaran. Puri ini dibangun oleh Hyang Suryo yang telah dinobatkan (abhiseka) sebagai Sri Wilatikta Brahmaraja XI. Di tempat ini pula telah dibangun tempat suci pemujaan leluhur raja Majapahit dan pemujaan Siwa-Buddha, yang dipuja pada masa Kerajaan Majapahit.


KekuatanGaib

Disebutkan bahwa mahkota ini pernah diteliti. Menurut penelitian para ahli, mahkota yang terbuat dari emas dan bertahtahkan permata tersebut telah berumur ratusan tahun. Bentuk tatahan dan bahannya disebutkan khas Majapahit. Tetapi tiga permata mahkota ini telah dicongkel dan dijual oleh kolektor yang sempat memiliki mahkota ini. Disebutkan pula, permata jenis rubi ada di Amerika, yang jenis safir ada di Inggris dan permata jambrud ada di Hongkong.

Meski desainnya terlihat sederhana, tetapi mahkota Majapahit ini diyakini memiliki kekuatan gaib yang tidak sembarang orang bisa mengenakannya. Ide untuk mengujinya adalah dengan cara mencoba di beberapa kepala bangsawan dan rohaniawan. Ternyata mahkota ini ukurannya bisa membesar dan mengecil ketika dikenakan pada orang yang tidak dikehendaki. Akhirnya, disaksikan utusan donatur yang menebus mahkota, mahkota itu ternyata pas dikenakan oleh Hyang Suryo yang telah ber-abhiseka Sri Wilatikta Brahmaraja XI.

Bersamaan dengan itu, disebutkan terjadi tanda-tanda alam. Langit yang semula cerah, tiba-tiba berubah menjadi gelap dan hujan disertai kilat, kemudian angin bergemuruh. Selain itu, terlihat pula cahaya keemasan dari langit mengarah ke Puri Surya Majapahit, Jimbaran.

Di zaman Majapahit, mahkota raja disebut makuto hamangkoro. Orang yang berhak mengenakan mahkota ini adalah orang yang benar-benar sosok pilihan. Yang dipilih adalah orang yang memiliki "kemampuan" di alam nyata dan alam supranatural, sehingga bisa sukses memimpin Kerajaan Majapahit.

Akankah aura kepemimpinan Majapahit dapat memberi "transfer energi" bagi pemimpin bangsa, yang merupakan sosok pilihan untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan Nusantara? Paling tidak, semoga keberadaan mahkota ini dapat memberi ketentraman dan keselamatan bagi penduduk Pulau Bali.

Sabtu, 14 Maret 2009

NYANYIAN SUNYI SANG KEMBARA

Nurel Javissyarqi*

Tengah malam, ia berjalan menyusuri aliran air pegunungan yang menggemerincing, sambil membawa obor bagi penerang. Bebatuan pulas berselimutkan kabut, pepohonan jati, mahoni, trembesi dalam dekapan manunggal. Dan serangga-serangga melantunkan tembang kemuliaan alam.

Kakinya terus mengikuti lika-liku pinggiran air sungai, lalu bertemulah waktu menyingkap jubah fajar, kala sampai di bibir pantai. Pagi itu, pesisir membiru bagi ikan-ikan merindu, ia malangkah dalam diamnya bulan penghabisan.

Kebisuan nalar-perasaannya menjelajahi ayunan tertempuh. Di pasir putih, ia memandangi hamparan samudra berjumpa langit di pelupuk mata. Lama-kelamaan kulitnya tersengat matahari, menyadarkan jiwanya terlampau sepi.

Seekor burung membisu sebab takut kemerduan suaranya memikat para pemburu, yang bakal disangkarkan ego. Atau ia tak pandai berkicau serupa elang pun rajawali. Namun selalu terbang tinggi dengan kepakan sayap gesit menyabet mangsa, demi anak-anaknya pada sarang bukit, bagi cita-cita agung kehidupannya.

Ia bukan sang burung, tapi mungkin salah satu pengemis di pemakaman Imogiri, atau yang berkeliaran di perempatan kota-kota tua, dengan berbaju kumal membuat orang-orang jijik serta curiga. Kesehariannya berharap belas kasih, atas bibir kering memucat letih. Atau serupa biksu yang selalu memuji dan memuja. Ucapannya hanyalah doa-doa suci bagi kelestarian semesta.

Dalam diam, ia menemukan dirinya terselimuti benang sutra yang melingkupi kepompong kemauan, lama berhasrat menjadi kupu-kupu terindah dari kekupu yang telah ada, serupa kertas-kertas belum tersirat hitamnya makna tinta.

Pada bathin-raganya berlapis tujuh ke dalam, ia bertanya; Kenapa gunung-gemunung membisu? Apakah tumpahan lahar sebagai bahasanya? Apakah hujan kata-kata awan? Apakah banjir isyarat kemarahan? Serta kenapa orang-orang utama banyak terdiam? Dan lebah madu ketika membuat sarang begitu menghanyutkan.

Dengan diamlah, bahasa alam sampai. Atau siapa sebenarnya yang berucap? Dirinya atau alam raya? Di saat keramaian pasar, ia menemukan diam mencekam, lalu seolah puas memandangi perubahan.

Oh, apakah permulaannya digelar kehidupan? Suara gaduh atau melewati diam menusuk? Ketika bayi dilahirkan, ia menangis meminta perhatian. Dalam raungannya masih bersembunyi rahasia, isyarat diam ada percakapan yang melelahkan.

Jiwanya terus menjelajah, sedikit yang ia dapatkan dari suara-suara, namun begitu banyak kesadaran yang terperoleh dalam diam. Bagi yang pandai berbicara pun, di kedalaman bathinnya menemukan percakapan-percakapan.

Dalam percakapan menyimpan keheningan, lantas memperbaharui kabar kemenjadian atau reingkarnasi pemberitaan. Dan kegelisahan itu hakikat perubahan pengetahuan.

*) Pengelana asal Lamongan. Imogiri-Parangtritis-Kadipaten Kulon, Yogyakarta 1995, 09.

Jumat, 13 Maret 2009

Putu dan bulatan aneh

Syu'bah Asa
http://majalah.tempointeraktif.com/31Des1983

Sutradara: putu wijaya pemain: renny, budi setiawan produksi: teater mandiri pementasan di: teater tertutup tim. (ter)

TAI Oleh: Putu Wijaya Pemain: Renny Putu Wijaya, Budi Setiawan, dll. Musik: Harry Rusli Artistik: Roedjito Produksi: Teater Mandiri

TAI Putu Wijaya bukanlah kotoran manusia yang menjijikkan. Meski pertunjukan ini - di Teater Tertutup Taman Ismail Maruki, Jakarta, 22-31 Desember - boleh dianggap puncak rasa kesal "yang tak tertahankan lagi", seperti dikatakan pengarangnya, di panggung ia tetap lebih merupakan tontonan daripada sebuah gumpalan ekspresi yang pahit. Bahkan karya Putu yang lebih murni imaji-imaji, seperti Lho, merayap jauh lebih getir.

Kesan umum seperti itu mungkin memang disengaja dengan, pertama kali, masuknya Harry Rusli, pemusik Bandung yang "keras" itu. Ia mengatur serangkaian bunyi yang lebih merupakan komponen pertunjukan yang berkelindan dengan bagus dan bukan ilustrasi. Dan seperti kulit depan bukw naskah yang dibagikan, yang meriah dengan berbagal warna, gaya punk -itu rambut yang dicat model Indian- yang oleh Perias Johnny Andrean dipakaikan pada seluruh pemain, telah menjadikan Tai tontonan mutakhir jenis "kota", bukan jenis "gombal".

Tidak berarti Tai tontonan manis, tentu. Kostum yang ketat dan cenderung hitam, yang direncanakan Johnny Andrean, menambah suasana berat seluruh set yang kelam ciptaan Roedjito, lengkap dengan plastik-plastik putih yang melapisi dinding secara acak-acakan, ngelawer di sana-sini alias tak rapi. Di atas segala-galanya, adalah benda-benda bergantung "dari langit", sebuah bulatan besar dan dua-tiga bulatan lonjong kecil terbungkus plastik, yang menimbulkan suasana menekan dengan ancamannya untuk makin turun menimpa bumi. Dan di bawah tata lampu yang relatif suram, ide Tai sendiri dikem6angkan dari sebuah tema yang berat.

Yakni "ancaman kepada dunia", seperti diwakili "benda-benda entah apa" itu, yang konon menjanjikan ajal. Semua usaha menolak musibah, semua kutukan dan pemujaan, sia-sia. Bahkan upaya para pahlawan yang dengan susah payah dibangunkan dari makam.

Dan dalam seluruh peristiwa itu muncul penulis sejarah, wanita tangkas berpakaian sebangsa dewi, mondar-mandir dengan kitabnya yang tebal dan pensil sebesar gada. Hadlr i panggung dengan gans-garis dan pOsisl pahng domman, dan dimainkan dengan bagus sekali oleh Renny Putu Wijaya.

Semuanya terasa sebagai sekumpulan perlambang. Setidak-tidaknya, lebih dari sekadar ide cerita seperti yang sudah dipakai Putu untuk sebagian nomornya yang terdahulu. Ambillah para pahlawan itu - tokoh yang sering muncul samar-samar, bersama derap tentara, dalam banyak karyanya.

Bahwa malapetaka yang dihadapi dunia, atau bagian bumi, ditanggulangi dengan membangunkan para pahlawan, adalah juga khas Putu. Terdengar misalnya ucapan salah seorang yang akan membongkar kubur, "Di mana makam Bapak?" Dijawab penjaa taman pahlawan, "Makam Bapak? Ya nggak di sini. Yang lain 'kan banyak." Tapi lebih menyuarakan sikap adalah "pesan"nya, yang disuarakan salah seorang yang tampaknya pemimpin pahlawan, "Kami juga manusia seperti kamu. Kalau kami tidak mampu, mengapa kamu kira kami lebih baik?"

Penulis sejarah sendiri adalah sebuah antipoda, tokoh yang bisa mengubah orang biasa menjadi pahlawan atau sebaliknya, mencoret nama orang-orang yang tak disukai dari "daftar indeks", tokoh yang berkata, "Sejarah yang buruk harus diperbaiki. Ini adalah aspirasi bangsa" - atau "Kejujuran memang penting, tapi ada batasnya."

Sedangkan dua peran petugas, dilukiskan berseragam dan bersenjata, yang dihadapi khalayak dengan sikap benci dan dianggap pengkhianat, mengaku memang berkhianat "demi tujuan kebaikan, yang belum boleh dibukakan sekarang".

Sebuah lagi: ketika akhirnya benda langit yang paling besar jatuh, dan orang-orang mengerubutnya, berhasil "menembus"-nya, "muncul ke atas mencuat dengan sederhana akan tetapi mengharukan dan indah", demikian konon, si penulis sejarah malah "sudah tergantung dengan kedua kakinya di atas."

Apapun yang dimaksud Putu sebenarnya (termasuk dengan benda-benda dl angkasa itu, yang layaknya memang mewakili ancaman dari langit, tapi juga bisa dianggap sesuatu "yang lebih dekat di atas kita"), semua itu menjadikan pertunjukan ini mengendap ke sekitar kesadaran dasar yang dimunculkan secara global.

Tapi hal pertama yang menjadikan tontontan ini bagus adalah tidak adanya keretakan dalam ide. Bekal Putu Wijaya, teater awan yang berangkat dari semangat anticerita dan perjuangan "teater bodoh", seperti pada nomor-nomornya Lho, Entah, Nol, di sini secara klop berada dalam gumpalan kesan-kesan aktual tentang dunia yang dirasakan semua orang, tanpa menyuarakan pikiran dan dengan demikian menghadapi ujian dari segi kematangan visi. Sekadar membedakan, yang terakhir itu misalnya diperbuat Putu dulu dengan "perjuangan membela pelacur" - dengan argumen lemah - dalam Dor. Juga penyangsian rasa keadilan masyarakat, dengan semangat main-main, dalam Hum Pim Pah.

Bila ada yang bikin penat, itu selain terdapatnya sebagian pemain yang belum siap, khususnya yang perempuan, juga kemungkinan luputnya keakraban dengan "dunia gombal" yang juga khas Putu. Lelucon gembelnya menjadi tak terlalu segar - meski masih ada kalimat kejutan seperti, "Hanya bangsa yang besar bisa membongkar makam pahlawannya!" Berkurangnya spontanitas layaknya memang konsekuensi per)alanan seniman kreatif ini sendiri, yang, sambil diingat luasan kegiatannya sehari-hari kini sebagai pimpinan sebuah majalah, menjadikannya "makin berisi", alias "serius".

Dimensi yang bergeser itu sebenarnya sudah terasa dengan Zat, pementasannya sebelum ini. Berbeda dengan nomor-nomornya seperti di zaman Aduh dan Lho, yang membaurkan alam kita dengan "dunia gaib" atau imaji-imaji yang hitam, Zat lebih mencuat ke atas, ke "Langit". Dan dalam Tai, pada salah satu adegan akhir, ketika bulatan besar dari atas itu berada persis di tengah pigura panggung, sementara para pemain roboh, ia tampak seperti bola dunia yang sunyi, yang menjanjikan nasib akhir semesta yang rata.

Hanya, alangkah malang, atau alangkah khas Putu, bila benar bahwa benda bundar besar itu, atau paling tidak dua benda lain yang terbungkus plastik dan tampak basah, ternyata tahi adanya. Maaf.

Kamis, 12 Maret 2009

ANAK-ANAK LUMPUR

Haris Del Hakim

Kami hampir seperti anak-anak lain yang tinggal di kawasan pedesaan. Lumpur bagi kami adalah sahabat paling menyenangkan.

Pada saat kami melihat kubangan air di tanah kering, bekas orang-orang memandikan sapi atau sepeda, kami berebutan untuk mendahului sampai di tempat itu. Yang pertama kali sampai akan mengangkangkan kaki sebagai bukti bahwa dialah penguasa kubangan berlumpur itu dan yang lain akan berebut untuk menggantikan kedudukannya. Kami saling dorong. Jatuh secara bergantian. Teman yang curang tidak mau berdiri setelah jatuh. Dia duduk di kubangan dan melempar-lemparkan lumpur ke arah yang lain, sehingga tidak ada seorang pun yang berpakaian bersih lagi.

Akan tetapi, permainan itu tidak semenyenangkan bila dibandingkan membuat kubangan sendiri. Memperebutkan kubangan menjadikan kami saling bermusuhan satu sama lain, bahkan permusuhan itu berlarut-larut hingga berbulan-bulan dan kami harus kehilangan dua teman akrab gara-gara berebut kubangan. Sementara itu, membuat kubangan sendiri menjadikan kami saling bahu membahu untuk mempertahankan agar kubangan terus berisi air yang bercampur tanah dan berubah menjadi lumpur.

Mula-mula kami membuat garis pembatas berbentuk lingkaran. Salah seorang mengambil air untuk membasahi tanah yang kami rencanakan sebagai kubangan dan yang lain berebutan menginjak-injak tanah basah itu agar segera menjadi lumpur. Kaki kecil kami beradu cepat menjejak tanah, tangan kami saling memegang pundak teman yang lain agar tidak jatuh, dan bibir kami tidak pernah lepas dari sunggingan senyum bahagia. Senyuman kami berubah menjadi sorak kegirangan bila merasakan grojokan air di kaki kami dan kami pun mempercepat gerak kaki. Begitu terus menerus hingga tanah yang semula kering itu pun berubah jadi lumpur.

Kemudian salah seorang dari kami memberikan aba-aba untuk membuat tanggul kecil di sekitar kubangan. Kami segera menghentikan pekerjaan menjejak tanah dan bahu-membahu membuat tanggul kecil. Kubangan yang kami buat ukurannya sangat luas sehingga tidak sebentar membuat tanggul kecil. Hanya anak yang mengambil air tidak mau membantu kami. Dia terus menggerojokkan air ke dalam kubangan. Setiap kali menumpahkan airnya, setiap kali itu pula kami lihat genangan air mengatasi tanggul kecil kami. Kami yang membuat tanggul berulangkali menyuruhnya menghentikan pekerjaan itu. Kata-kata kami sangat keras, namun sambil tertawa. Dia pun tidak berhenti dan semakin bersemangat memenuhi kubangan lumpur itu dengan air.

Memang, kami sama sekali tidak bermaksud menyuruh teman kami itu menghentikan pekerjaannya, tetapi kami dongkol melihat hasil pekerjaan kami kurang sempurna dan dapat dirusak oleh dorongan lumpur. Barangkali tidak seperti itu, tetapi kami menikmati bagaimana air lumpur dalam kubangan itu menggeripisi puncak tanggul kecil kami. Karena, kami kadang menggunakan gundukan pasir kering untuk membuat tanggul dan kami memandangnya dengan terpukau melihat pasir kering berwarna coklat terang itu perlahan-lahan basah dan berubah menjadi coklat tua kemudian benar-benar hitam. Keterpukauan itu bercampur kesenangan ketika tanggul kecil kami bocor dan terlihat air menerobosnya keluar, kemudian kami dibuat sibuk untuk mencari jalan keluar bagaimana caranya agar air tidak banyak keluar dan kubangan kami masih penuh dengan air.

Sungguh sangat menyenangkan membuat kubangan dan bermain dengan lumpur, apalagi di musim hujan. Teman yang biasa menggerojokkan air ke dalam kubangan akan pensiun dan bergabung bersama membuat tanggul kecil. Hujan membantu kami menciptakan kubangan berisi air dan kami tinggal menjadikannya berisi lumpur dan membuat tanggul kecil tambahan di sekelilingnya. Kami bersekutu untuk bermain dengan alam. Air hujan yang memenuhi kubangan dan rerintiknya yang merapuhkan tanggul kecil kami, seperti tantangan menggairahkan dan memacu kami untuk terus memperkuat danmenguatkan tanggul kecil kami; setelah dewasa kami tahu pekerjaan itu sia-sia karena alam terlalu besar bagi kami yang masih kanak-kanak.

Kami lanjutkan permainan itu dengan sepak bola setelah bosan bermain dengan lumpur dalam kubangan. Sekali lagi, sangat menyenangkan bermain dengan lumpur. Pakaian kami sudah dibasahi lumpur semua, tetapi terasa geli melihat teman yang marah-marah karena dia menggiring bola kemudian dijungkurkan ke lumpur. Dia akan mencipratkan lumpur ke musuhnya dengan cara menendang lumpur, kemudian sepak bola terhenti sebentar sebab kedua kelompok membantu temannya.

Kadangkala kami membuat kubangan lumpur di sawah. Karena itu, tidak jarang kami mendengar caci maki pemilik sawah. Dan, kami adalah anak-anak lumpur yang merasa senang bila dimarah-marahi. Kami menjawab amarah itu dengan tertawa terbahak-bahak secara bersamaan dan lari menjauh ketika pemilik sawah itu semakin marah karena merasa kami permainkan. Kadangkala kami tidak lari, tetapi meninggalkan tempat secara perlahan-lahan sambil mengatakan bahwa yang memulai perbuatan itu dan harus bertanggungjawab adalah si anu dan si anu. Semua saling tuduh dan tidak ada satu nama yang muncul sebagai tertuduh yang sebenarnya. Akibatnya, pemilik sawah tidak menemukan siapa yang harus dihukum karena kami mengaku paling benar. Untunglah dia tidak mengerti kalau kami semua sebenarnya bersalah dan tidak mau bertanggungjawab saja. Kami pun pergi meninggalkan pemilik sawah itu terbengong-bengong tanpa bisa berbuat apa-apa.

Peristiwa tidak terlupakan adalah ketika kami membuat kubangan di dekat liang semut merah. Seperti biasa, salah seorang mencari air dan kami mulai bekerja menjejakkan kaki di tanah. Kami tidak tahu bila dalam lingkaran yang kami gariskan terdapat lubang semut. Seekor dan dua ekor semut keluar dan menggigit, namun segera kami pencet dan mati.
“Ada lubang semut dalam kubangan, mungkin?!” dugaan salah seorang dari kami setelah berkali-kali kami membunuhi semut-semut kecil itu.

“Tidak ada!” jawab yang lain sekenanya.
“Kamu sudah memeriksanya?” tanya teman yang menduga tadi.
“Sudah!”

Tentu saja kami tidak membenarkan atau menyalahkan salah satu dari mereka. Perdebatan tentang ada dan tiadanya lubang semut hanya memicu perdebatan yang tidak berakhir. Kenyataannya, kami harus berkali-kali menepuk atau menggaruk bagian tubuh yang sakit dan gatal kemudian terlihat bintik-bintik merah. Tetapi, semua itu tidak mengganggu kesenangan kami.

Kubangan dan tanggul kecil sudah selesai. Kami tidak menambahkan air ke dalamnya atau membuat lumpur lagi. Kami mengatur badan untuk menyaksikan semut-semut kecil itu berusaha menyelamatkan diri dari genangan air. Kaki kecil mereka mengayuh sia-sia di atas lumpur untuk mencari daratan yang dapat dipijak dan memberikan kesempatan usia lebih panjang bagi mereka. Salah seorang dari kami memusarkan air dalam kubangan dan puluhan semut timbul-tenggelam. Barangkali mereka menjerit-jerit minta tolong dan kami tidak menghiraukannya, sebab perhatian kami tercurah pada bagaimana agar tanggul kecil kubangan itu tidak bocor. Kami menambah ketinggian dan ketebalan tanggul kecil. Lumpur dalam kubangan berpusaran lagi, seperti mengeluarkan gumpalan hitam keruh bercampur bintik-bintik merah kecoklatan tubuh semut-semut; kami percaya kalau semut tidak mempunyai darah dan kami adalah anak-anak yang tidak perlu alasan panjang lebar untuk percaya terhadap sesuatu, bahkan bila perlu kami menutup telinga dari pendapat orang lain agar kepercayaan kami tidak goyah.

Kami lupa bagaimana mengakhiri peristiwa itu. Di kemudian hari kami mengenangnya dengan tertawa dan senang. Kami mengulang kejadian-kejadian lucu paling rinci dan terlupakan yang membuat kami semakin terpingkal-pingkal.

Tiba-tiba kami berhenti tertawa ketika salah seorang dari kami mengatakan, “Bagaimana bila semut-semut itu bersatu dan hanya mengeroyok salah seorang di antara kita?”

“Siapa yang dikeroyok?”
“Siapa saja. Karena, kita semua bersalah.”
Kami tidak perlu merisaukan siapa yang harus dikeroyok oleh semut-semut itu. Pertanyaan tentang siapa sejak dulu tidak perlu kami jawab, sebab kami adalah anak-anak yang takut dan tidak mau bertanggungjawab. Kami cukup saling tuduh dan hal itu pasti akan selesai dengan sendirinya tanpa menyeleseikan persoalan. Salah seorang dari kami mulai bercerita tentang anak-anak lumpur seperti kami yang salah seorang dari mereka dikeroyok oleh kawanan semut. Dan benar, cerita itu menghentikan perdebatan tentang siapa tertuduh bersalah di antara kami.

Salah seorang dari anak-anak lumpur itu dikeroyok oleh semut-semut yang sengaja mereka siram dengan lumpur bercampur minyak tanah. Tubuhnya bengkak dengan bentol-bentol merah. Bahkan, berdarah-darah sebab jumlah semut itu ratusan hingga ribuan. Teman-temannya yang lain mungkin membantunya, tapi mereka tentu tidak sanggup menelisik sekujur tubuhnya untuk mencari semut yang sembunyi. Setidaknya, mereka tentu kewalahan menghadapi kawanan semut itu. Dia tidak dapat ditolong lagi dan harus dibawa ke dokter. Orang tuanya marah besar mendapati anaknya seorang yang harus mengalami akibat dari perbuatan teman-temannya. Teman-temannya yang lain pun menjadi sasaran dampratannya. Hal itu masih beruntung, karena nasib teman mereka yang dikeroyok semut itu lebih parah. Penderitaannya tidak sekadar sampai di rumah sakit. Ada dua puluh ekor lebih semut masuk ke telinganya dan menggigit bagian dalamnya. Dia mengerang-erang kesakitan sambil memegangi telinganya. Dokter sudah berusaha dengan membiusnya, namun semut dalam telinga itu masuk lebih dalam dan merusakkan bagian tubuhnya hingga anak itu tidak tertolong lagi.

Cerita itu membuat kami menjadi tidak mungkin melupakan kenangan tentang lumpur, sebab bagaimana pun kami adalah anak-anaknya.***

Surabaya, Agustus 200

Selasa, 10 Maret 2009

PUISI, ANTARA SIMFONI DAN CAHAYA

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/2010/10/poetry-between-symphony-and-the-light/
 
Awalnya ini tidak disengajakan memprosesikan kreativitas penulisan puisi. Namun setelah terjadi, kehendak itu baru terlahir (hadir). Di saat-saat saya seolah penyair, padahal baru dua kumpulan puisi yang terbit, “Antologi Puisi Persembahan ‘Sarang Ruh’ (1999),” dan “Balada-Balada Takdir Terlalu Dini (2001).” Maka dapat dikategorikan sebentuk proses kreatif awal. Dan tulisan ini pernah dijadikan pengantar dalam diskusi di kampus UNISDA Lamongan, akhir tahun 2001.

KERINDUAN PENGANTAR ANTOLOGI PUISI MODEL RAGIL;

Genderang Kurukasetra, Editor dan Kreator

Abdul Azis Sukarno*
http://www.kr.co.id/web/

TAHUN 1986, atas nama Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) IKIP Muhammadiyah Yogyakarta (kini Universitas Ahmad Dahlan) terbit sebuah buku antologi puisi berjudul ‘Genderang Kurukasetra’ yang dipinjam dari salah satu judul puisi di dalamnya karya Suminto A Sayuti.

Antologi yang memuat karya 22 penyair ini melibatkan sebagian kreator dari kampusnya dan ditambah sebagiannya dari luar atau para penyair Yogya saat itu, yang sudah lumayan bermutu karya-karyanya. Sebut saja misalnya Emha Ainun Najib, Alm Linus Suryadi AG, Fauzi Absal, Munawar Syamsuddin, Teguh Ranusastra Asmara, Ahmadun Yosi Herfanda, Ragil Suwarno Pragolapati, Suminto A Sayuti, Bambang Widiatmoko dan Sri Harjanto Sahid.

Yang menarik dari antologi tersebut adalah kehadiran ‘catatan pengantar’ ditulis Ragil Suwarno Pragolapati selaku editornya. Dengan bahasa yang segar dan renyah meski kadang bergaya menggurui terutama saat ia mulai mengupas satu per satu karya-karya penyairnya. Mengingatkan saya pada apa yang dulu dilakukan almarhum HB Jassin jika melakukan kritik terhadap karya-karya kreatornya, yakni ia tidak hanya bersikap sebagai hakim semata yang bisanya cuma memvonis apakah karya ini layak atau tidak? Bermutu atau tidak?

Dengan merasa cukup berbekal seperangkat teori dan pemahaman terhadap peta dunia kesusastraan yang dimilikinya. Namun, ada satu lagi yang lebih penting, yakni bisa menjadi penyala bagi obor kreativitas si kreator itu sendiri untuk terus dan terus memacu semangat berkaryanya. Bukan malah men-down-kannya alias menjatuhkannya. Terlebih ditulis guna semacam kata pengantar. Di sini, tentu modal yang paling berharga adalah masalah interaksi untuk tidak menjaga jarak apakah saya senior dan dia yunior atau saya lebih punya nama dan dia tidak? Atau karena saya kritikus andal saya akan bersikap seobjektif mungkin, atau biarlah karya mereka saja yang berbicara dan sebagainya.

Di samping itu, kelebihan lainnya bagi para pembaca yang tidak mengalami masa tersebut, lewat pengantar Ragil kita dapat minimalnya membayangkan seperti apa sih peta kesusastraan Yogya tahun 1986-an. Itulah kesan saya terhadap catatan pengantar dalam antologi ‘Genderang Kurukasetra’ (selanjutnya baca GK saja).

Setelah itu, hingga tahun-tahun kini, ketika puluhan buku antologi puisi baik secara perseorangan maupun bersama-sama telah berlahiran –khususnya yang di Yogyakarta– jika di dalamnya disisipi catatan pengantar dari orang yang cukup berkompeten memberinya pengantar, maka isinya kadang sebatas mengantari semata. Dalam arti, bukannya memberi catatan pengantarnya kurang serius lho, melainkan saya seperti melihat ada jarak tercipta di sana, yakni antara para kreatornya, karya dan dengan si pemberi kata pengantar sendiri. Lebih-lebih buat antologi puisi bersama yang melibatkan lebih dari satu generasi. Sedang kalau kita berkaca pada GK, di situ tampak sekali bagaimana Ragil demikian kentalnya menjalin komunikasi dengan semua pengisi tersebut. Terutama ketelatenannya memperhatikan perkembangan proses kreatif masing-masing penyair dari yang masih pemula (bibit) hingga yang telah menjadi. Dari nama-nama yang masih asing dalam jagad kepenyairan Yogya waktu itu hingga ke yang sudah ngetop macam Linus dan Emha.

Sudah Jadi

Kelangkaan semacam ini, tentu saja memberikan indikasi kesadaran pengamat sastra –bahasa gagahnya para kritikus, karena biasanya merekalah yang selalu diminta untuk memberi catatan pengantar– kita sekarang untuk bergaul intens dengan sesama para kreator kayaknya ‘kurang’ atau sepertinya terjadi ‘disharmoni’. Kelemahan ini mengakibatkan mereka kehilangan salah satu citra yang lumayan penting, yakni sebagai pembina atau pendidik yang baik bagi tunas-tunas penyair yang masih butuh bimbingan untuk terus berproses kreatif.

Bahkan dari atmosfer ini ada kesan pengamat sastra sekarang maunya hanya melihat penyair yang sudah ‘jadi’ saja. Atau yang sudah dianggap cukup publikatif. Ada kesan mereka tidak mau capek-capek berperan ganda selaku penilai karya juga pemberi motivasi.

Memang, sebenarnya kita tak perlu terlalu berharap banyak pada apa yang namanya catatan pengantar dalam sebuah buku. Karena memang bukan sebuah perangkat yang utama. Di mana kehadirannya tidak memiliki hukum: wajib ada. Namun, kiranya dengan catatan pengantar, pembaca akan lumayan terbantukan ketika memasuki teks pokok yang ditawarkannya. Sebab, kadang tidak setiap teks bisa ‘enak saja’ didekati pembaca. Di mana untuk kasus ini tentu keberadaan catatan pengantar amat diperlukan. Karena diperlukan itulah, tentu dalam menulis catatan pengantar tersebut pasti tidak asal-asalan. Artinya butuh orang yang pantas atau layak dalam menanganinya atau lumayan ahli.

Nah, catatan pengantar yang baik, sudah pasti memiliki banyak nilai lebihnya, baik bagi pembaca maupun bagi kreatornya sendiri. Kalau hal ini dialamatkan untuk buku semacam antologi puisi bersama, tentu salah satunya pembaca jadi tahu siapa saja tokoh-tokoh antologi puisi bersama, tentu salah satunya pembaca jadi tahu siapa saja tokoh-tokoh penyumbang tersebut, kenapa antologi demikian diterbitkan, sejauh mana pentingnya bagi dunia kesusastraan, bahkan sebagaimana yang telah saya jelaskan jika dihubungkan dengan GK, betapa catatan pengantar di situ juga sanggup memberikan motivator para penulisnya. Bahkan, karena Ragil begitu intens masuk secara langsung dalam kancah pergaulan mereka, ia pun mampu menjelaskan secara runut satu per satu seberapa jauh dan lama proses kreatif yang telah dijalani masing-masing penyair tersebut.

Sebagai contoh kecil, lewat paparannya, saya jadi tahu konon ketika Cak Nun mulai tampil sebagai penyair, jagad sastra Indonesia tengah dicengkeram wabah puisi gelap atau sajak sukar-sukar sepanjang kurun 1962-1975. Dengan gembongnya –meminjam istilahnya– adalah Goenawan Mohamad, pendekarnya Sapardi Djoko Damono, dan pembaharunya Abdul Hadi WM. Era ini banyak mempengaruhi karya-karya penyair sesudahnya hingga ke Yogyakarta yang tak terkecuali juga hadir dalam GK, lewat karya-karya awal Cak Nun, beberapa puisi Linus Suryadi AG seperti Kadisobo, Bukit Menoreh Suatu Senja, dan seluruh karya Teguh Ranusastra Asmara. Hal ini juga bisa dibuktikan dengan membaca langsung karya-karya mereka.

Walau sebetulnya tidak bisa dipungkiri juga ada beberapa statemennya yang bersifat kritik namun terasa ngambang dan kurang memuaskan secara argumentatif, kurang berbau akademis, dan kadang terlalu berlebihan dalam memvonis, bisa kita maklumi sebagai cara khas dia dalam menilai sebuah karya. Semisal di sini saya kutipkan satu pernyataan tersebut. “… Daya-kreasi Minta-Juddin-Emha-Harjanto-Madun-Bambang tidak diragukan lagi: memiliki kecanggihan yang baik dan unik. Pada Munawar-Brohim-Fauzi-Teguh taraf kreasi dalam bersajak masih merupakan proses dan suatu pergumulan yang berat. Mereka kurang keras melecut diri sendiri dalam oleh kreativitas agar maksimal. Sajak mereka terhenti di ujung, belum tuntas atau optimal kualitas. Belum menemukan pola identitas. Daya-kreasi wadyabala Rina-Joko-Tata-Susi dan kawan-kawan masih penuh kerepotan. Soal-soal teknik masih agak rawan. Dst….”
***

Akhirnya, dengan bercermin dari sini, agaknya menarik sekali jika ‘arwah’ catatan pengantar Ragil tersebut, kita bangkitkan kembali untuk buku-buku antologi puisi ke depan, terutama yang melibatkan banyak penyair dari berbagai generasi. Untuk membuktikan bahwa mereka, baik yang berasal dari angkatan tua, setengah tua, muda dan masih bau kencur, bisa berucap: “Kami –baik secara karya maupun proses kreatif– tetap selalu rukun!”

Terlebih Yogyakarta masih tetap potensial untuk melahirkan karya-karya dokumenter sastra semacam itu. Dari komunitas-komunitas sastra dalam dan luar kampus, peran dewan kesenian daerahnya, dan masih banyak lagi. Lantas, bagaimana dengan penulis catatan pengantarnya? Semoga tidak seburuk dengan apa yang saya bayangkan. Salam sastra!

*) Penyuka jagad puisi.

Senin, 09 Maret 2009

ABSTRAKSI PENCARIAN TUBUH BAHASA

Nurel Javissyarqi*

“Sesungguhnya sebagian dari perkataan fasih itu ada sesuatu yang mempesonakan laksana sihir, dan sesungguhnya sebagian dari syair terdapat hikmah.” (Sabda Rasulullah Saw).

Saat mengupas suatu karya, kita melintasi sepanjang jalan penalaran di sampang perhitungan jiwa perasaan. Layaknya pelaut menemukan pantai demi melayarkan kemuliaan kehendak.

Berusahalah bijak bagi suatu bibit, andaipun rumput. Sebab banyak rumput yang berbunga masih dianggap sama. Padahal rumput itu bunga yang malu atas sanjungan. Tapi jika suatu pohon tidak dikenal, atau keanehan menghipnotis, yang diluncurkan dari langit inspirasi. Bagaimana?

Kata Picasso; “Saya tidak pernah mencari tetapi menemukan.” Memang tidak pernah mencari walau bagaimana, namun dengan terus melangkah, tentu menguasai karakter yang ada. Maka temukanlah baju, tapi jangan terlalu longgar atau sempit. Yang sempit tak enak dilihatnya, yang longgar menimbullah bencana.

Ketika membaca sejarah, kita mendapati siratan para penulis yang teruji jamannya; karya-karyanya begitu jelas tentang ukuran, tempaan nafas-nafasnya. Tiada keangkuhan, walau jiwanya berkobar menyala-nyala, inilah perhitungkan kesesuaian.

Maka kemerosotan jika tak lebih tajam, bukalah tangisan yang terbasuh ayat-ayat kesadaran jiwa. Kembara meneguhkan keyakinan malam, menegaskan siang, ketabahan kemarau, ingatan hujan, serta segala yang meresap sebagai sikap berkarya.

Disini bukan mengada, tapi menggali kemungkinan yang tertanda, lantas menemukan keniscayaan. Lewat tarikan ruh filsafat, tuhan merevolusi bangsa-bangsa, mengaduk relung kemanusiaan.

Kenapa sebagian mengharamkannya, padahal kasih-sayang-Nya melingkupi murka-Nya. Siapa beribadah tanpa menggali potensinya, seperti membaca resep tanpa membeli obatnya. Nasibnya sebagai bahan bacaan, diberhalakan tanpa kemungkinan cinta.

Padahal waktu memberi ruang, segalanya terlihat lapang. Inilah daya rangsang menangkap pesan tubuh, indra yang tak membelenggu, menjelaskan karakter diri bersama lingkungan logis-Ilahiyah.

Mungkinkah sekali celupan tinta, menembus sejarah melahirkan keagungan sekali urai? Gemetarlah sebelum tahap kesadaran diri, segelombangan pingsan dihadapi.

Andai suatu tulisan itu gagasan pencerahan, alangkah indah mengoreksi balik kelembutan bathin kejernihan akli. Sebab dalam diri manusia, ada gairah mensucikan jiwa saat-saat menghadirkan karya.

Jika dikucilkan jagad, seyogyanya tekun mengolah bencah hingga mendapati kesuburannya. Usah gagap pergaulan pada jalan-jalan nalar keseimbangan.

Dan bersiaplah mengorek borok yang bersemayam, kelemahan itu layang kendaraan; escalator tidak sama dengan tangga kayu, namun jangan buang keringat percuma.

Jangkaulah kerinduan seperti cemburu menembusi kegembiraan, dengan menyelidik kejiwaan waktu-tepat mengoreksi masa-masa sepadan. Maka penegasan, penajaman yang dilakukan akan menambah bobot karya.

Dengan melihat tanda, menggunakan kunci membuka kamar pribadi, lalu bercermin di tengah jaman. Bagaimana mengayunkan sikap, menimbang volume dalam melantunkan tembang, mengharapkan kelestarian bagi bekal pulang.

Seyogyanya selaras teguran, membuka alamat kelupaan, menyalakan obor menerangi kekanak-kanakan atau kekenesan. Jadilah zaitun yang menyalakan kebijakan, walau amat payah menjaganya seperti kondisi berjalan di atas tali. Setidaknya gigih bertahan. Dan merunduknya padi, masihkah dikira rumput?

Kita tahu tegarnya matahari, tapi ada saat tenggelamnya digantikan rembulan. Kita bukan siang-malam, tapi keindahan senja dan fajar; tanda-tanda terpegang, simbul tertancapkan. Marilah melempar jala...

Ikan-ikan melawan arus, gurih dagingnya. Ia tidak berenang di sisi kanan atau kiri, namun di tengah arus sungai. Memang ada saat sulit tak bisa menghindari, lalu memendamkan tubuh dalam lumpur pertahanan.

Atau terbangnya seekor burung dengan menyamping, bila angin kencang menghadang. Dengan tetap berusaha sampai pada yang dituju kembangkan, titik keinginan.

*) Jum’at, 27 Agustus 2004, 09. Lamongan.

Seni Mengkritik Rokok*

Kukuh Yudha Karnanta
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

Banyak aktivis melakukan aksi kritis terkait rokok dan tembakau, tapi tak banyak yang benar-benar berpikir kreatif dalam aksinya.

Sosok Sujai (S Jai) adalah salah satu dari sedikit aktivis yang melakukan kampanye secara inovatif. Ia bukan hanya tahu dan hafal, lebih dari itu, ia mengerti, paham, dan mampu mengaplikasikan pengetahuan tentang rokok dan tembakau sebagai inspirasi karya kreatif seni teater.

Penulis novel Tanah Api yang akrab dipanggil Jai ini mengisahkan latar belakang aktivitasnya di Lembaga Swadaya Masyarakat CRCS (Center for Religious and Community Studies) yang salah satu agendanya intens dalam kajian rokok dan tembakau.

“Rokok dan tembakau itu merugikan kesehatan, tapi juga memberi sumbangsih pada ilmu kedokteran,” ujarnya diplomatis.

Ditanya seperti apa bentuk sumbangsih tersebut, lelaki kelahiran Kediri, 3 Februari 1972 itu sekadar mengatakan pertanyaan seperti itulah yang menjadi motif mengapa ia mementaskan naskah Racun Tembakau karya Anton Chekov di Universitas Airlangga beberapa saat lalu. Di pentas itu Jai bertindak sebagai sutradara.

“Tembakau itu ibarat gurita. Hubungannya dengan pemerintah, pabrik, buruh, petani tembakau, masyarakat, sangat kompleks dan pelik,” kilahnya.

Kepala Bidang Kebudayaan CRCS itu menambahkan, pihak-pihak tersebut terkait dalam relasi ‘hisap-menghisap’ yang lebih perlu di-follow up dengan gerakan, bukan sekadar diwacanakan. “Isap-mengisap bukan hanya dalam arti denotatif saja lho ya,” ujar alumnus Sastra Indonesia Unair itu.

Dalam pentas monolog Racun Tembakau yang disutradarainya, memfokuskan persoalan rokok melalui cerita tokoh lelaki yang takut pada istri sehingga tidak berani merokok terang-terangan. Dengan gaya seorang dosen, si tokoh memberi ceramah bahaya rokok dan memaparkannya melalui seperangkat data ilmiah.

Sebagai sastrawan dan dramawan, pria yang akrab dipanggil Jai ini mengaku memadukan nalar kritisnya tentang rokok dan tembakau dengan insting kreatif-estetiknya dalam berkesenian. Meski begitu, menurut Jai, bukan berarti karya seninya menjadi karya pesanan.

“Setiap karya pasti lahir dari kegelisahan. Kebetulan, saya sedang gelisah soal rokok,” tangkisnya. Implikasinya, Jai tidak sekadar mempertimbangkan aspek content pentas, namun juga mengedepankan tata artistik seni peran. Surabaya Post yang menyaksikan pentas Racun Tembakau mendapat suguhan teater yang sarat pesan bahaya rokok, namun dibalut dengan artistik panggung bernuansa jauh dari realis. Sedikit janggal, memang, namun tetap bisa dinikmati.

Kritis
Menurut Jai, masyarakat masih sering terjebak pada asumsi bahwa kampanye rokok berarti anti-rokok. Padahal, kampanye rokok meliputi advokasi, fungsi kritik, dan konsultansi. Secara spesifik Jai merumuskannya dalam tiga topik.

“Pertama, alokasi dana bagi hasil cukai tembakau untuk Pemprov Jatim seperti yang ditetapkan menteri keuangan masih belum jelas. Terutama kongkretisasinya untuk masyarakat,” sebutnya sambil menunjukkan data perolehan cukai rokok khususnya untuk Pemprov Jatim

Menurut data itu, Pemprov Jatim menerima Rp. 135,849 miliar dari Dana Bagi Hasil (DBH) cukai hasil tembakau. Harusnya, lanjut Jai, dana tersebut lebih diperuntukkan pada masyarakat melalui penyaluran yang transparan.

“Orang merokok, setiap batangnya menyetor ke pemerintah sekian rupiah. Tapi kalau orang itu sakit, mana feedback dari pemerintah?”

Pria yang mengaku berhenti merokok karena sayang pada anak dan istri ini berkeyakinan ada yang tidak beres terkait DBH cukai hasil tembakau. Dia menengarai adanya tarik-ulur regulasi antara Pemprov Jatim dengan pemerintah pusat.

“Di satu sisi, UU Otonomi Daerah memberi kewenangan daerah mengatur PAD, di sisi lain, UU dari pusat menghendaki cukai rokok disetor dulu baru kemudian dibagi ke daerah penghasil rokok,” jelasnya.

Dari observasi lapangan, Jai menengarai adanya ironi di Pemprov. DBH cukai rokok bernominal besar, namun Pemprov phobia menggunakannya karena diawasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Akhirnya yang ada cuma spanduk-spanduk, baliho, paling banter proyek KTR (Kawasan Tanpa Rokok, red) itu saja. Dana sebesar itu kan mestinya bisa buat pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan lain-lain,” ujarnya.

Hal itu diperparah dengan kenyataan bahwa masyarakat belum terlalu mengerti peta permasalahan DBH. “Saya sudah survei di Kediri, Lamongan dan Surabaya. Mulai dari buruh, petani tembakau, dan masyarakat umum, nyaris tidak ada yang tahu. Itu yang membuat saya resah,” ucapnya.

Apa bisa poin masalah serumit itu dimunculkan lewat teater? Jai optimis hal itu bisa dilakukan. “Kenapa tidak? yang penting optimistis dan berproses dulu, baru kita tahu hasilnya,” pungkasnya.

Nama: Sujai (S Jai)
Panggilan: Jai
TTL: Kediri, 3 Februari 1972
Pendidikan: Fakultas Sastra Indonesia Unair

Aktivitas:
-Sutradara Teater
-Lembaga Swadaya Masyarakat CRCS
(Center for Religious and Community Studies)

Karya novel:
Tanah Api

*) Surabaya Post, 28Feb2009

Minggu, 01 Maret 2009

Hening dengan Gamelan Pelesetan

Muh Syaifullah
http://www.korantempo.com/

Pelesetan, umumnya, identik dengan kelucuan dan menimbulkan tawa. Tidak demikian dalam pertunjukan musik gamelan pelesetan, yang digelar dalam Festival Gamelan Yogyakarta ke-13, di Taman Budaya Yogyakarta, Sabtu lalu.

Pemain gamelan dari Universitas California, Amerika Serikat itu, Rene Lysloff, Genie Yoo, dan Sakana, berkolaborasi dengan Sapto Raharjo membuat penonton dan penikmat musik itu termenung hening, seolah terhipnotis alunan syahdu pukulan nada-nada pentatonis yang dipelesetkan dengan nada-nada diatonis dari seperangkat alat elektronik, seperti laptop dan alat gesek disc jockey.

Tak hanya itu, mereka juga mencampurnya dengan irama alam, seperti suara angin, ombak, binatang malam, alat musik tambur, gambang, gender, klenteng, dan kendang. Sebuah kolaborasi nada, dengan permainan berbagai alat musik yang memukau. "Konsep kam, seni gamelan tidak hanya menyentuh pada penggarapan karya baru, tapi juga menyentuh teknologi komunikasi informasi," kata Sapto seusai pementasan.

Perpaduan musik gamelan dengan perangkat digital, menurut Sapto, sangat dibutuhkan di era globalisasi ini agar tak hanya terjebak pada standar gamelan. Meski demikian, harus tetap mempertahankan kaidah-kaidah gamelan. "Sisi eksperimental dalam karya musik gamelan sangat dibutuhkan," katanya. Jika pentas itu dilakukan di Amerika Serikat, bisa langsung diakses Internet. Tapi karena keterbatasan jaringan Internet Indonesia, pementasan yang dilakukan kelompok pelesetan tersebut tidak bisa diakses.

Pentas gamelan pelesetan ini terbagi tiga bagian. Babak pertama, para pemain memainkan gamelan dengan nada standar, tanpa judul, tapi tetap mengutamakan improvisasi eksperimental. Pada segmen kedua, mereka memainkan gamelan dengan teknik live looping (rekam langsung). Pada segmen ini mereka menggali konsep live looping dengan variasi yang dapat diciptakan dari sound file dalam DJ-sampler. Sedangkan pada segmen ketiga, mereka memadu apik gamelan dengan suara yang sudah direkam sebelumnya.

Grup gamelan pelesetan ini mulai memperdengarkan karyanya pada 2004, di Yogyakarta dan Amerika Serikat. Mereka melakukan eksperimen musik, mengkolaborasi gamelan dengan peralatan digital sesuai dengan selera masyarakat negaranya.

Menyatukan Dunia Lewat Gamelan

Heru CN
http://www.korantempo.com/

Suntuk bergaul dengan gamelan sejak kecil hingga menggelar festival gamelan.

"Kenal Sapto Rahardjo?" tanya lelaki kurus berambut putih sebahu. "Tidak," jawab Fadil Ikram, 9 tahun. Siswa kelas IV SD Muhammadiyah, Kalasan, Yogyakarta, itu baru saja melantunkan lagu Anoman Obong. "Wah, ternyata aku ini tidak terkenal," kata lelaki berambut putih yang bernama Sapto Rahardjo itu sembari tertawa kecut.

Sapto Raharjo, 53 tahun, iseng mengetes popularitasnya di kalangan anak-anak di Taman Budaya Yogyakarta, pertengahan bulan lalu, saat berlangsung Yogyakarta Gamelan Festival ke-13. Toh, Fadil mengaku lebih suka menonton film kartun Jepang dan lebih mengenal para personel band Sheila on 7. Direktur festival gamelan ini di luar dunia Fadil.

Sapto Rahardjo kondang dalam jagat gamelan kontemporer. Ayah empat anak ini pemrakarsa festival gamelan di Yogyakarta pada 1995. Ia mengusung gamelan di atas truk untuk pementasan keliling dengan sejumlah orang memainkan alat gamelan di sepanjang jalan Kota Yogyakarta. Dalam festival gamelan itu, ia juga mengundang relasinya, kelompok gamelan asing, main di Yogyakarta.

Sapto mengenal gamelan saat masih kelas III SD Ungaran, Yogyakarta, pada 1963. Awalnya ia berlatih menari di sanggar Arena Budaya Yogyakarta lima kali seminggu. "Pertama kali belajar menari, saya kebagian peran monyet dalam fragmen Sugriwo-Subali," kata lelaki yang selalu mengenakan pakaian hitam itu.

Di saat teman wanitanya belajar menari, Sapto kebagian jatah menabuh gamelan mengiringi latihan tari. "Sampai saat ini saya masih hafal memainkan gamelan mengiringi empat tarian putri itu," katanya.

Latihan tari dan gemelan terus berlangsung hingga ia bersekolah di SMP 5 Yogyakarta. "Saat SMP, tiada hari tanpa berlatih gamelan dan joget," katanya. Sapto bahkan beberapa kali menari di hotel. Di SMA 3 Yogya, Sapto membentuk band beraliran rock. Di radio sekolah, Suara Padmanaba, ia membahas perkembangan musik pop dan rock.

Toh, Sapto tak pernah meninggalkan gamelan. Sesekali ia membuat komposisi musik eksperimental yang menggabungkan gamelan dengan musik modern. Eksperimen itu membawanya ke panggung pertunjukan hingga ke luar negeri.

Sebagai pencinta gamelan, hati Sapto Rahardjo berbunga saat diundang ke Festival Gamelan Dunia di Canada pada 1986. Apalagi, panitia menjanjikan akan menggelar Festival Gamelan Dunia tahun berikutnya di Indonesia. "Saya tunggu bertahun-tahun, janji itu tak pernah terwujud," katanya. Sebagai penawar kecewa, ia memasukkan konser gamelan dalam jadwal Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) pada 1990.

Lepas dari FKY, Sapto nekat menggelar Yogyakarta Gamelan Festival (YGF) untuk pertama kali pada 1995. Sapto bangga, ajang pertamanya ini dihadiri kelompok gamelan dari dalam negeri serta dari Singapura, Malaysia, Thailand, Jerman, dan Amerika Serikat. Dua festival berikutnya, pada 1996 dan 1997, pesertanya membludak. "Kami bahkan sampai menolak peserta," katanya.

Sapto bertekad akan terus menggelar festival secara rutin meski setiap tahun harus dipusingkan urusan penggalian dana dan mengkoordinasi banyak orang. Apalagi peserta festival makin bertambah. Tapi ia menjalaninya dengan enteng bersama anak muda dalam Komunitas Gayam yang setia membantunya.

Selama beberapa tahun belakangan ini, Sapto mulai melibatkan kalangan muda mengisi acara festival lewat Gamelan Gaul dan gemelan anak-anak, seperti kelompok Fadil Ikram tersebut. Pada Gamelan Gaul, pemainnya melepaskan diri dari pakem memainkan gamelan. Mereka juga bereksperimen dengan jenis musik pop semacam hip-hop. "Meski melelahkan dan berat di ongkos, saya bertekad akan terus menggelar YGF secara rutin," katanya.

Menurut Sapto, lewat ajang inilah gamelan bisa memperoleh posisi terhormat, selain eksistensinya terus terjaga agar tak lenyap ditelan zaman. Maka ia terobsesi menjadikan gamelan sebagai ajang pergaulan dunia. Bagi Sapto, gamelan punya spirit kebersamaan ketika dimainkan, meski setiap instrumen bisa mandiri. Ia ingin gamelan menyatukan dunia: "gamelan hangeko buwono."

Sapto tak sekadar bermimpi. Sebab, komunitas gamelan kini sudah berada di 35 negara. "Saya hanya membayangkan, suatu saat nanti saya hanya duduk sebagai penonton karena YGF sudah dijalankan oleh anak muda. Kapan hal itu terjadi, saya tidak tahu," katanya.

Biodata:

Nama: Sapto Rahardjo
Lahir: Yogya, 16 Februari 1955
Isteri: Isti Indraeni

Anak:
# Sapista Budindratno
# Ishari Sahida
# Desyana Wulani Putri
# Syah Sawarni Dewi

Pendidikan: Asdrafi Yogya (1975-1977)

Pementasan:

* 1973: Musik Kaleng di Yogya, Surabaya (1974)
* 1978: Yogyharmonik di Yogya, Jakarta, Semarang
* 1986: Gamelan Meets Synthesizer, Yogya, Jakarta (1987)
* 1987: Gender Gumuling, Jakarta
* 1988: Gamelan Musical Performance for Workshop on New Music, Yogya.
* 1993: Trilogy, Yogya
* 1994: Kutut Manggung, Surakarta
* 1996: Borobudur Suite Festival, Prancis
* 1997: Java Festival, Prancis
* 1998: Katak Katak Bertanggo, Prancis
* 2001: Samerrah! Prancis
* 2002: Amazyng GRAy, Yogya
* 2003: Teror Mata Sapi, Yogya; Malioboro Blues, Yogya, Jakarta, Surabaya, Semarang
* 2004: Sonata Calon Presiden, Jakarta
* 2005: Catasthrope, Yogya
* 2006: New Ground, Riverside, AS; Gamelan Plesetan, Santa Cruz, AS
* 2007: Music of Java, Riverside, AS
* 2008: Going Going Gong, Riverside, AS

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito