Sabtu, 28 Februari 2009

Pada Trowulan Kita Bercermin

Zen Rachmat Sugito*
http://www.jawapos.com/

Majapahit, imperium yang mewariskan Negarakrtagama dan Sutasoma, sudah lama lewat, tapi ia tak pernah benar-benar minggat. Lewat Muhammad Yamin, (tilas) Majapahit hadir kembali dengan jalan sedikit memutar, tapi justru tepat pada fase genting persiapan kelahiran jabang bayi republik ini.

Saat sedang merenung-renung di tengah sidang BPUPKI, Yamin mengucapkan satu parafrase yang diambil dari Kakawin Sutasoma, yang ia ucapkan hanya untuk dirinya sendiri, semacam gumaman lirih: ''Bhineka tunggal ika...'' Tak disangka, seorang dari Bali dengan penampilan bak pandita yang duduk di sebelahnya menyahut, ''Tan hana dharma mangrwa.''

Saya tidak tahu persis siapa orang yang menyahut gumaman Yamin (ada yang bilang I Gusti Bagus Sugriwa, cendekiawan serbabisa dari Bali). Tapi, cukup jelas, fragmen kecil itu menjadi bagian tak terpisahkan dari digunakannya frase ''Bhineka tunggal ika'' sebagai sesanti atau semboyan republik ini.

Frase ''Bhineka tunggal ika'' sendiri diunduh dari bait kelima metrum ke-139 Kakawin Sutasoma karya Rakawi Prapanca yang bunyinya: ...Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Kurang lebih ia menjelaskan bahwa antara (agama) Buddha dan Syiwa itu berbeda tapi tetap satu karena memang tidak ada darma yang mendua.
***

Sayangnya, hanya sebatas itu tilas intelektual Majapahit direproduksi dan dikonversi menjadi bentuk-bentuk baru yang relevan. Selebihnya, yang diadopsi dan ditonjol-unggulkan dari Majapahit hanyalah kemampuan duet Gajah Mada-Hayam Wuruk dalam meluaskan teritori kekuasaan Majapahit, itu pun -seperti yang akan kita lihat sebentar lagi-- dalam cara yang sepotong-potong alias ''cari enaknya saja''.

Konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) -terutama dalam soal luas dan batas wilayah-- tak bisa tidak memang direproduksi dari luas wilayah Majapahit sebagaimana Gajah Mada memancangkannya dalam Sumpah Amukti Palapa.

Soekarno --terutama Muhammad Yamin-- adalah pribadi yang paling gigih mengejawantahkan luas wilayah Majapahit dalam bentuk baru NKRI. Yamin melakukannya dengan menyitir metrum-metrum tertentu dalam Negarakrtagama (terutama syair 13-15) untuk memperkuat argumentasinya. Soekarno --yang sebelumnya berseberangan paham dengan Yamin dalam soal hak warga Negara--kali ini segendang-sepenarian dengan Yamin. Hanya Hatta yang secara tegas menolak adopsi wilayah kekuasaan Majapahit versi Prapanca, terutama menolak dimasukkannya Papua.

Sayangnya, cara Majapahit mengelola teritori kekuasaannya yang luas dipandang sebagai kelemahan, bukan sebagai peluang. Majapahit mengelola wilayah kekuasaannya yang jauh dengan cara-cara yang mirip dengan otonomi di zaman sekarang, di mana penguasa-penguasa setempat diberi keleluasaan untuk mengelola wilayahnya sendiri. Yamin atau Soekarno menolak cara pengelolaan macam ini (itulah sebabnya gagasan federalisme Hatta ditolak secara dini). Selanjutnya, kita bisa melihat, bagaimana sentralisme dipraktikkan secara eksesif. Majapahit diadopsi wilayah kekuasaannya, tapi tidak cara pengelolaannya.

Majapahit melakukan semuanya dengan armada militer yang berporoskan kekuatan maritim yang tangguh. Dari pedalaman Mojokerto, kapal-kapal perang Majapahit --yang salah satunya dipimpin Nala-- berlayar ke nusa-nusa yang jauh, melakukan misi penaklukan atau misi dagang juga diplomasi. Soekarno sedikit banyak paham soal ini, itulah sebabnya Angkatan Laut RI cukup tangguh pada masa kekuasaannya. Tapi Soeharto menghancurkan fondasi kekuatan maritim yang diwariskan Soekarno dengan menganak-emaskan Angkatan Darat dan seraya pada saat yang sama mengabaikan (kekuatan di) laut(an). Soeharto menganakemaskan Kopassus yang kelak dikirim ke Timor Timur dalam Operasi Seroja --yang kata antropolog Daniel Dhakidae mirip pasukan jalady mantri-nya Majapahit.

Maka, tergelarlah titik balik, persis seperti yang diwedarkan Rama Cluring, kamitua dalam epos Arus Balik-nya Pramoedya: ''Sekarang makin lama makin sedikit kapal-kapal Jawa berlayar ke utara, ke Atas Angin, ke Campa ataupun ke Tiongkok. Arus kapal dari selatan semakin tipis. Sebaliknya arus dari utara semakin deras, membawa barang-barang baru, pikiran-pikiran baru, agama baru. ...Ya, kapal besar hanya dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya... termasuk penghancuran, penindasan, dan penipuan.''
***

Johan Huizinga, ketika menguraikan Abad Pertengahan dan Renaissance di Eropa, dengan baik menggambarkan bagaimana warisan peradaban Yunani dan Romawi Kuno digali tiada habis sekaligus dikonversi terus-menerus dalam teks-teks baru oleh para teolog, cendekiawan dan seniman. Peradaban besar, masih merujuk Huizinga, pastilah mewariskan pikiran cemerlang yang bisa terus direproduksi dan dikonversi menjadi pikiran-pikiran baru.

Yamin memang unggul dalam perkara ini. Pada umur 26 tahun, ia sudah menulis dan mementaskan lakon Arok-Dedes, umur 30 tahun mementaskan lakon Krtajaya, umur 31 tahun mementaskan lakon Sandyakala ning Majapahit. Yamin pula yang menyusun biografi Gajah Mada dan Tata Negara Majapahit. Dengan keluasan pengetahuannya tentang kesustraan Jawa Kuno dan ikon-ikon yang terpacak di banyak candi dan arca, ia susun buku 6000 Tahun Sang Saka Merah Putih.

Dalam soal mengkaji ulang warisan peradaban-peradaban kuno Nusantara (bahkan Pasifik) untuk kemudian mereproduksinya dalam bentuk baru yang bisa digunakan untuk kepentingan pada zamannya, Yamin nyaris tak ada tandingan. Semangatnya dalam melakukan studi --hingga level tertentu-- bisa dibandingkan dengan para cendekiawan di pantai-pantai Italia pada abad 12-13 saat menyiapkan fondasi kebangkitan Eropa melalui pengkajian ulang warisan intelektual peradaban Yunani-Romawi.

Yamin tentu tak sendiri, tapi apa yang dilakukannya tak pernah menjadi sebuah gerakan kebudayaan yang mengejawantah menjadi sebuah arus besar yang bergelombang dalam kurun yang panjang. Yamin dan orang-orang yang menjadi lawan tanding Sutan Takdir Alisjahbana yang menganjurkan untuk berpaling ke Barat dalam polemik kebudayaan pada tahun 1930-an (macam Ki Hajar Dewantoro, Sanoesi Pane atau Soetatmo) tak pernah berhasil mengerek gerbong Renaissance layaknya bangsa Eropa melakukannya terhadap warisan kebudayaan dan peradaban Yunani-Romawi pada akhir Abad Pertengahan. Inisiatif Ki Hajar dalam mengonversi konsep paguron yang berakar panjang dalam tradisi kita ke dalam sistem pendidikan modern yang disusunnya adalah inisiatif berharga yang sayangnya langka.

Minat dan semangat mereka dalam mempelajari warisan kebudayaan dan peradaban tua di Nusantara tergerus oleh syahwat politik yang merasa puas dengan mengadopsi pilar-pilar kekuasaan di masa silam untuk kepentingan menggerakkan instrumen nasionalisme. Reproduksi dan konversi pilar-pilar kekuasaan Majapahit secara eksesif dalam bentuk NKRI yang sentralistik tak diimbangi dengan reproduksi dan konversi warisan intelektual Majapahit yang menjadi ruh peradaban Majapahit ke dalam bentuk baru yang bisa memecahkan persoalan yang dihadapi zaman kita.

''Bhineka tunggal ika'' kita junjung layaknya mantra, tapi semangat zaman yang melahirkan sesanti itu --di mana agama Buddha dan Syiwa berdampingan damai laksana buku-buku teologi yang berjejer mesra di rak buku-- gagal kita adopsi dalam kehidupan sehari-hari. SARA menjadi isu yang mengerikan, etnis Tionghoa mengalami diskriminasi yang pahit, para penganut agama-kepercayaan di luar yang resmi dikejar-kejar dan tempat ibadahnya dihancurkan.

Baru belakangan saja upaya serius untuk memelajari dan mengkaji naskah-naskah lama dari khasanah Nusantara mulai banyak dibicarakan. Ini bukan hanya berlaku pada Majapahit yang ada di Jawa, tapi juga pada semua warisan kebudayaan dan peradaban lain di Nusantara, seperti Sureq la Galligo. Pentas La Galigo di Singapura dan New York hasil olah-kreasi Robert Wilson diliput besar-besaran, sesuatu yang membuat kita bangga, tapi pada saat yang sama menyedihkan karena tiba-tiba kita sadar: kemarin ke mana saja?

Kita gagal mempelajari Assikalaibineng, misalnya lagi, apalagi memopulerkannya agar bisa sejajar dengan Kamasutra. Tak pernah kita mampu mereproduksi naskah-naskah pengobatan dalam banyak bahasa lokal kuno untuk dikonversi menjadi sebuah tradisi pengobatan yang kuat dan mengakar dalam urat nadi kesadaran dan pengetahuan kita sendiri. Perdagangan gelap naskah-naskah Melayu dari Pulau Panyengat adalah ilustrasi riil yang --hingga level tertentu-- bisa dibandingkan efeknya dengan berubahnya orientasi maritim ke daratan bagi sebuah negeri yang dua-pertiga wilayahnya adalah lautan.

Jika Kakawin Negarakertagama atau Bharatayudha atau Sutasoma atau Siwaratrikalpa atau Centhini dikenal oleh bangsa-bangsa lain, ini bukan karena inisiatif bangsa kita, tapi berkat jerih payah sarjana-sarjana asing, dari mulai Brandes, Krom, Casparis, Zoetmulder, hingga Inindiak dan banyak lagi nama lain. Sosok seperti Poerbatjaraka, Slamet Muljana atau Koentara Wiryamartana -yang mewarisi asketisme dan ketekunan para rakawi dan meneruskan rintisan para sarjana asing di atas-- makin susah dicari di zaman sekarang.

Mereka seperti Ibnu Rusyd atau Maimonides bagi peradaban Eropa. Para cendekiawan Eropa di ujung Abad Pertengahan --berkat Perang Salib yang mempertemukan dua peradaban-- menyadari bahwa warisan intelektual nenek moyang mereka justru direproduksi dan dikonversi secara jenial oleh para sarjana muslim. Dari situlah, dari terjemahan dan kajian sarjana-sarjana muslim, mereka menggelar arus-balik kebudayaan, merintis Renaissance, dan memulai era baru kejayaan peradaban Eropa.

Atau, jangan-jangan, semua warisan kebudayaan dan peradaban lama di Nusantara memang tak cukup cemerlang untuk direproduksi dan dikonversi dalam bentuk baru (debat Ibn Rushd dan al-Ghazali tentang metode filsafat Aristoteles terjadi 2 abad sebelum Sutasoma dan Negarakrtagama ditulis), sampai-sampai dua Sutan kita (Takdir atau Sjahrir) sangat sinis pada orang-orang yang mempelajari dan mengagung-agungkan warisan masa silam sebagai ''praktik mengelap peti tua''.

Dua Sutan itu mungkin mengalami dilema seperti yang dialami Minke saat ditangai gurunya ihwal apa sumbangan bangsanya bagi peradaban manusia. Dengan tajam dan memukau, seperti menggemakan kembali suara Takdir dan Sjahrir, Pram melalui mulut Minke menulis: ''Bukan saja aku menggeragap mendapat pertanyaan dadakan itu, boleh jadi seluruh dewa dalam kotak wayang ki dalang akan hilang semangat hanya untuk menjawab.''

Saya berani bertaruh Takdir dan Sjahrir akan ikut protes jika mendengar Trowulan dihancurkan dengan ruda-paksa yang menyedihkan, sebab bukan itu yang mereka maksudkan dengan ''belajar dan berpaling ke Barat''. Lebih-lebih, mereka juga sedih, karena saat kita meninggalkan warisan lama kebudayaan dan peradaban Nusantara (seperti yang sedikit banyak mereka kampanyekan), saat yang sama kita juga tak tuntas belajar pada Barat yang mampu secara jenial mereproduksi dan mengkonversi warisan tua Yunani-Romawi. Pada Barat kita tak becus belajar, pada warisan lama kebudayaan dan peradaban sendiri kita berlaku serampangan dan asal comot yang enak-enaknya saja.

Trowulan yang rusak adalah cermin di mana samar wajah kita yang bopeng terlihat lamat-lamat di sana.

*)Sejarawan muda, tinggal di Jogja.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito