Sabtu, 17 Januari 2009

Sepanjang Jalur Gaza

Naqib Najah
http://batampos.co.id/

Bukanlah Tuhan sesuatu yang
paling dekat di kota ini, namun
adalah kemataian, tuan.

Kabar apa yang lebih menakjubkan ketimbang berita duka? Hari-hari di kota ini, adalah hari-hari neraka yang tak bisa lepas dari derita. Dentum roket yang menghantam permukaan kota, derak suara pesawat di setiap sudut cakrawala, tangis anak-anak, jeritan seorang ibu, itulah neraka yang tuhan sediakan sebelum akhirat menjelang.

Maka setiap hari aku menatap asap yang menggumpal seram itu. Tujuh hari sudah, dan asap itu tetaplah asap ledakan roket yang menyeberangkan beberapa penduduk menuju kematian: ayahku, (ah, ayah, tak akan kuucap sesuatu apapun, kecuali, ‘Tuhan memberkatimu selalu’), adikku Hussen, (boneka beruangmu masihlah tertinggal di antara reruntuhan bangunan, adik), Fayyad, (di akhirat, kita pasti bisa bertemu lagi, kawan. Kita habiskan hari-hari bahagia kita dengan segala macam permainan).

Cobalah tuan perdalam pikir jernih yang tuan miliki, bahwasanya dendam yang tuan-tuan simpan, (yang katanya hanya akan menghancurkan sekelompok tertentu, dan tidak membuat lecet secentipun kulit penduduk) telah mengundang duka yang mendalam. Mungkin tuan sulit mempercayai perasaan kami. Dan terlalu biasa menganggap sebuah kematain.

“Bukankah negara ini memang wilayah yang seorang malaikat pencabut nyawa terlalu sering mendatanginya?”

Betul, tuan! Negara ini telah menjadi bidikan utama malaikat Tuhan. Seperti juga bidikan utama sekelompok tak tahu perasaan. Sekelompok yang hanya peduli dengan dendam: Yahudi.

Aku lalui setiap bangunan. Kubaca reruntuhan kaca. Bangunan yang kemarin berdiri kokoh, ah, terlalu hebat sedetik ledakan itu membinasakan keindahan kota ini. Ya, kota ini memang indah. Tuan akan merasakan deru angin yang menerbangkan debu-debu, dan itulah tiupan angin (yang sekalipun terasa gersang) namun membuat setiap orang merindu persaingan. Angin itu, bila aku bermain bersama beberapa kawan, maka bisa menerbangkan baling-baling setinggi yang kami mau.

“Lemparkan dengan keras, Fayyad!” teriakku kepadamu, Fayyad. Lantas dengan sekuat tenaga kau melemparnya. Baling-baling terbang, rianglah seluruh kawan mengejar.

Seraya kita tunggu baling-baling itu jatuh, kadang aku dorong tubuhmu. Kau tersungkur, tertawalah kita. “Hidungmu, hay, Fayyad, tak ubahnya seorang badut,” begitu celetuk Yasmin, satu-satunya gadis di antara kita-kita yang jantan. “Fayyad-Fayyad, kau tampak lucu sewaktu hidungmu yang mirip paruh rajawali belepotan dengan debu.”

Rafah, inilah kotaku, tuan. Kota yang ‘terima kasih’ tuan telah merubahnya sedemikian rupa. Bila datang sebuah pertemuan, rasanya ingin kupukul muka tuan-tuan. Akan kutendang tubuhmu, tuan. Akan aku kerahkan seluruh tenagaku untuk melempari kepalamu yang layaknya batu dengan kerikil-kerikil Rafah. Itulah bukti kelapangan batinku, bukti ucapan ‘terima kasih’ atas kebengisan tuan-tuan.

Jalur Gaza..... Jalur Gaza..... Jalur Gaza..... Jalur Gaza..... Jalur GAZA!
Jalur kematian..... Jalur kematian....... Jalur kematian.... Jalur KEMATIAN!

Ah, mengapa aku selalu mencium aroma kematian di sini. Jalur ini, betapa pantasnya bila kusebut dengan jalur kematian saja. Jalur yang sebagai pembatas antara hidup dan mati, bukan pembatas antara dua kubu yang saling berseteru.

Di jalur ini, suatu sore, ketika senja di ufuk barat nampaklah damai, aku bersama seorang ibu sedanglah berjalan. Perjalanan yang nikmat, ibu memperlihatkan kepadaku, (juga kepada Hussen yang beliau dekap dalam gendongan) keindahan bangunan-bangunan kota. Seraya berjalan, diceritakannya kepadaku hikayat-hikayat masa lalu. Tentang Jerusalem, tentang sabda sang Nabi yang mengatakan bahwa selamanya negeri ini tak akan sepi dari keriuhan dendam.

“Hussen, Khudz hadzil li’b!” ambil boneka ini, adik! Maka diremaslah boneka beruang yang kuberikan. Hussen, adik kecil berambut keriting sepertiku. Berkulit putih, bermata tajam layaknya bulatan mata ayah. Bila mendengar dia mengeluarkan sepatah kata, rasanya aku ingin memaksa kedua mulutnya untuk berucap sepatah kata lagi. “Menggemaskan sungguh kau, Hussen!”

“Rasul sudah mengatakan bahwa negeri ini tak mungkin lepas dari serangan yahudi?”
“Benar sekali, anakku. Namun ada massanya di mana kita akan merasa tenang.” Jawab ibu.
“Kapan itu, wahai ibu? Kapan kita bisa lepas dari suara-suara ledakan?”

Ibu diam. Mengelus pipi Hussen. Dan bisa kau bayangkan sendiri, betapa riangnya seorang anak menunggu jawab tentang kedamaian. Maka kutunggu kedua bibir ibu bergetar mengucap kata.

“Itulah massa ketika malaikat Isrofil meniupkan terompetnya!”

Ternyata kiamat yang akan mengakhiri perseteruan ini. Dan mulai hari itu, dalam kepalaku tak kutemukan sebuah kerinduan kecuali rindu kiamat. Sebab telingaku terlalu bising dengan tangis anak-anak. Dengan jeritan seorang ibu di sudut Rafah. Sebab senja itu juga, terdengarlah derit pesawat-pesawat angkasa. Terdengarlah ledakan dahsyat yang berakhir tangis kedua mataku, tangis ibuku.

Kau tahu, di mana aku dan ibuku mencari Hussen? Aneh sekali Tuhan menulis skenario. Mengapa harus anak kecil yang belumlah sanggup memanggil ayah-ibu? Mengapa harus kematian yang mengakhiri perjalan sore itu?

Aku mencari Hussen. Aku masuki gumpalan asap. Ledakan bom itu menggetarkan bumi Rafah sangatlah keras. Mungkin Hussen terlepas dari pelukan ibu, sejurus ibu yang juga terguling-gulingkan menghindari reruntuhan bangunan.

Namun apa yang aku dapat, tuan? Aku telah menginjak beberapa jasad manusia. Hitam, suram, tak bisa laju nalarku mengenali. Bila kutemui sekujur tubuh mungil, maka bersiaplah kedua mataku mengucurkan air mata yang panjang. Yang tak mungkin selesai di esok hari. Dan nyata-nyata air mata itu selalu gugur dari kedua mataku. Sampai keesokan hari, dan tak kudapati kabar seseorang yang menyebutkan selamatnya anak usia tiga tahunan di antara robohnya kota.

Aku, ibuku, larilah menapaki jalan menuju rumah. Ah, aku dan ibuku tidaklah sendirian. Bukankah seluruh warga juga menggerakkan kedua kakinya cepat-cepat. Seolah ada yang sedang mereka cari. Ya, mereka memang sedang mencari. Mencari kabar bagiamana keluarga di rumah. Mencari kabar bagaimana seorang kawan di sepanjang jalur Gaza. Mencari kabar bagimana sahabat yang barulah usai melemparkan baling-baling. Mencari kabar bagaimana nasib manusia esok hari. Ketika asap kematian tak bisa hilang. Ketika negeri dirundung ledakan.

Dan ketika itulah kutemui seluruh bangunan rumahku hancur. Tempat di mana aku teduhkan tubuhku sehabis bermain dengan banyak kawan. Tempat yang... ah, biarlah detak jantung yang gemuruh gelisah ini yang akan menceritakan kepadamu.

Ibuku mencari ayah. Bisa kau menjawab kalimat ibu yang memanggil-panggil ayah? Lihatlah seorang perempuan yang meraup reruntuhan bangunan. Bergulung-gulung di atasnya. Berteriak. Mengacak-acak rambutnya. Sebelum kemudian datang seorang anak sebelas tahunan merangkul pundaknya. Mencoba menenangkannya dari segala gelisah. Dan bocah kecil yang juga tak bisa lepas dari air mata itu adalah aku.

Aku eratkan rangkulanku. Kucium aroma tubuh ibu yang berkeringat. Kudapati pada setiap bau ibu, aroma duka yang dalam. Aroma duka seorang ayah yang (jelas) tertimbun di antaran reruntuhan bangunan. Ayahku, adalah ayah yang tak pernah menulusuri jalan. Ayahku adalah suami yang menaruh ketergantungan pada sebentuk alat bernama kursi roda.

“Sudah ibu katakan kepadaku, kematian adalah perihal biasa di negeri ini!” mendengar kalimatku, berhentilah ibu meraup-raup reruntuhan.

Cerita sore itu, aku kesudahi dengan kematian ayahku. Dengan kematian Hussen.
***

Jangan kau anggap diriku sama seperti kemarin hari, tuan. Aku hari ini, bukanlah aku yang terlalu mudah menitikkan air mata. Sengaja aku dan ibuku menelusuri sepanjang kota Rafah. Batu-batu berserakan, samahalnya ketakutan yang hinggap pada setiap jiwa. Namun, bukan jiwaku dan jiwa ibuku.

Maka di sepanjang jalan Rafah, aku berbisik dengan batinku, “jangan menangis! Sebab tangismu tak akan berubah apa-apa. Kecuali penyesalan sebentuk luka.”

Berhentilah ibu di samping tiang listrik. Tiang yang sedikit condong, dan kabel yang menggelantung lemah. Bila seseorang tak hati-hati, tentunya akan menghantam kabel tersebut. Lantas bisa kau perkirakan sendiri apa akibatnya: kabel putus, mengeluarkan aliran listrik yang ganas. Ah, bukankah kota ini sudah padam dari listrik? Genjatan senjata sedemikian ganas, jelas-jelas pemerintah memutuskan segala bentuk aliran listrik. Ya, namun itu bukan daerah sekitarku berdiri sekarang. Ini daerah pusat, tuan! Mampuslah bila listrik dipadamkan. Mampuslah penduduk yang dirawat di Mustasyfa.

Tiang listrik yang condong ini, kudapati di atasnya burung-burung dara. Kelabu, seperti warna langit sekarang. Datanglah pada tempat ini, tuan. Pertemukan wajah tuan dengan burung-burung di atas. Pertemukan batin tuan dengan sisa nyala api di pinggir-pinggir jalan. Lantas bicarakan kepadaku, perasaan apa yang tuan dapat?

“Ketika kau menapaki jalan yang menurun, Jangan kau terburu-buru tersenyum, anakku! Sebab kelengangan kemarin hari adalah pertanda keriuhan esok. Dan di hadapan kita, nampaklah tanjakan yang panjang.”

Aku mendengar kalimat itu. Telah kutanam, dan tak mungkin hilang dalam ingatan. Ayahkulah yang mengajariku akan hal itu. Mungkin, ajaran tersebut juga tertanam dalam benak anak Rafah. Kota yang berdiri di atas jalur Gaza, jalur yang kukatakan lebih pas dibilang kematian.

Tuan, hebat sekali kekuatanmu. Di dekat nyala api itu, aku temukan sesuatu yang amatlah kental dalam nalarku: boneka beruang. Semoga tuan masih ingat, boneka siapa itu. Semoga juga tuan ingat, dua besi yang saling bertautan membentuk lingkaran itu adalah tempat mengasyikkan buatku bermain. Hussen, bila ibuku pegal menggendongnya, akan dilepaskan bermain di sekitar lingkaran besi itu. Hussen memegang lingkaran tersebut sebagai penyangga tubuhnya, dan aku berlari-lari kecil menakutinya dengan senapan.

“Mut ya, Hussen!” matilah kau Hussen. Dia berlari. Lari yang lambat, seraya dia genggamkan tangannya di lingkaran besi itu.

“La, la!” tidak-tidak. Ucapmu yang renyah.

Di sepanjang jalan Rafah, di sebuah lorong kecil, lorong yang penuh dengan tulisan Harrik Yadak, Harrik Yadak! Allah Fiina, Allah Fiina,* bisa aku kisahkan kepada tuan, bahwasanya tempat itulah lahan yang paling mengasyikkan buatku bersembunyi. Ketika hitungan seorang kawan sampai pada angka ke tiga, larilah aku menuju lorong itu. Dan bisa dipastikan Fayyad, Yasmin, atau kawan yang lain tak bisa menemukanku. Kecuali ketika aku lelah bersembunyi, maka bergeserlah aku sedikit keluar. Dan, “Hadzil asra, hadzil asra!” berteriaklah Fayyad mengatakanku sebagai tawanan.

Sudah kukatakan, tuan. Kota ini terlalulah dekat dengan kematian. Maka hendak kuundang dirimu pada hari kematianku. Tunggu saja suatu hari di mana kupersembahkan darahku untuk pertempuran. Sebab perjuangan rakyat Rafah adalah percuma, sebab Rasul sendiri telah mentakdirkan kemenangan Jerusalem di ujung hari yang manusia sebut kiamat.

Dan janganlah kau bilang Gazaku sekedar derita, sebab tuan akan menemukan banyak kisah berupa darah. Di sini!

Yogyakarta, 5 Januari 2008

---
Catatan:
*Gerakkan tanganmu, gerakkan tanganmu. Allah menyertai kita, Allah menyertai kita.

**) Bukan siapa-siapa. Hanya saja berulangkali menulis cerpen. Berulangkali pula menuliskan dalam buku catatannya: aku ingin kaya. Bersama kegelisahan, dia menekuni hidup di sanggar KUTUB (gus Zainal institute) Jogja.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito