Nurel Javissyarqi*
Tentu kita kenal presiden penyair Indonesia: Sutardji Calzoum Bachri! Kredo Tardji yang fenomenal itu, meluas mempengaruhi banyak penyair. Dan kita mendengar pula, seperti presiden penyair Surabaya, presiden penyair Lampung, presiden penyair Cirebon, bahkan ada presiden anak jalanan, dan sebangsanya. Dari sini terpancang jelas pengaruh Tardji, dalam belantika kepenyairan di tanah air. Apa maknawi wewarna itu, pada kaitannya dengan pribadi seorang penyair?
Penyair agung ialah sosok yang menyerap banyak pengaruh, mengolaborasikan dengan kualitas dirinya, kemudian mengungkapkan kembali secara kreatif. Bahasa Tardji, disebut mengingat dan melupa. Semacam prosesi menghindari keterpengaruhan dari karya-karya agung, pada saat itu juga menghapusnya melalui kreativitas sendiri dalam bentuk karya “yang boleh jadi lebih kokoh dari karya yang mempengaruhinya.” Itulah kedirian penyair, dayadinaya hayatnya dalam kancah penerimaan sekaligus penolakan atau perlawanan.
Berbeda dengan penyair agung, penyair medioker atau bahkan para epigon serta gerombolan pembebek, kerap mengungkapkan keterpengaruhannya dengan cara yang mentah dan artifisial. Selama kreativitasnya sebatas menjiplak, sependek itulah greget karyanya: sekadar meniru tanpa berusaha mengolahnya lebih subur dengan kesabaran tangguh. Akibatnya, karyanya mustahil menjadi karya menumental, sebab ia menempatkan dirinya dalam bayang-bayang, pada ketiak penyair yang dikaguminya. Itulah sekerdil-kerdilnya jiwa penyair.
Dalam konteks kultural, kekerdilan itu representasi dari sosok pecundang yang nyaman dihantui kelebatan bayangan yang diciptakannya sendiri. Presiden penyair ialah cita-cita luhurnya. Tetapi ia tak mampu menggapainya, maka ia gembira dengan embel-embel lokalitas yang menyertai kata presiden penyair. Ia bahagia sebagai epigon, meski bukan pelopor.
Ternyata dunia sastra Indonesia tidak lepas dari perihal lelucon. Ketika dilihatnya ada yang sukses memakai plakat tertentu, lainnya ikut-ikutan. Padahal nenek moyang pernah memberi wejangan; “usaha bisa dicontoh namun nasib tidaklah dapat.” Jika pencontekan itu yang berhembus kencang dalam wahana intelektual kepenyairan di bumi pertiwi, cocoknya para pembebek tersebut dinamai gerobak kosong yang bobrok.
Lebih menggelikan lagi, mereka mengunyah betul kenyamanan hidup dalam bayang-bayang. Padahal baju yang dipakainya tak lain kepecundangan. Sebab yang ikut-ikutan mengklaim diri presiden penyair, tidak melakukan pemberontakan. Itulah ekspresi mental kerdil yang cepat terpuaskan, lewat menghirup nafas hidupnya dalam ruang seolah-olah. Saya kira itu bentuk-bentuk pelepasan dari kepuasan konyol, karena para pecundang tidak mungkin melebihi sang pioner.
Seorang penyair seharusnya memiliki semangat membaja, membara senantiasa. Dan ketidakpuasan menjadi api perjuangan yang selalu menyala-nyala. Ketika puas sedikit saja, mentalitas jiwa berkaryanya akan tergerus, hilang amblas daya kreativitasnya. Lebih tepatnya, pamornya tidak sesegar, segarang sedia kala, oleh keterlenaan merasa sebagai “orang yang telah menjadi.” Adalah niscaya para presiden penyair bayangan itu, tidak mungkin berani memberontak kepada sang presiden penyair yang sesungguhnya.
Kalau balada ayam sayur yang kumprung ini diteruskan menjadi tradisi, semacam menyusul adanya wakil presiden penyair, atau penggantian presiden penyair sebab masanya sudah habis oleh telah tiada dan seterusnya. Padahal bentuk-bentuk ini merupakan kamuflase daripada model birokrasi, sekadar gagah-gagahan yang ingin disebut penyair. Untuk menghentikan budaya yang tidak mendidik mentalitas berbangsa serta berbahasa ini, kita seharusnya bersatupadu beramai-ramai tertawa. Saya rasa, perasaan sungkan bisa menghentikan secepatnya, agar langkah mereka berbalik melawan tidak menerima baju kebesaran semu. Lewat berkarya terus berkarya, demi pembuktian dirinya dapat hadir cemerlang, tanpa diembel-embeli titel presiden penyair daerah.
Saya raba kalau mengaku-aku saja, bocah angon yang tak tahu-menahu dunia tulis-menulis dapat menyebut dirinya Superman. Untuk mengaku presiden penyair daerah lebih gampang saya kira, daripada mengatakan dirinya Satria Baja Hitam atau Si Buta dari gua hantu. Itulah wujud mentalitas bobrok, borok yang sudah sangat parah, yang harus diamputasi sebelum menjalar ke batang tubuh, pada jantung pengetahuan bersastra dan berbudaya di bumi Nusantara.
Bayang-bayang kefrustrasian begitu kelam menguntit tubuh-tubuh rapuh mereka, serupa kayu arang yang melempem tersiram air hujam, tanpa hadirnya bara api dalam kelam. Semisal watak pembungkusan dari keterpengaruhan lugu, seperti anak kecil tersedot cerita Superhero yang berlarut-larut, lantas memakai baju impiannya, lantas jadilah Super-ho-ho.
Manakala sikap kepenyairan diibaratkan sosok kenabian, para epigon tidak bisa mengelak ketika dikutuk menjadi bebek yang keok-keok terperdaya ukuran profan, maka celakalah yang mengikuti pandangan sempit mereka. Apa yang berguna dipetik dari pemilik jengger lebar, tak lain keterbelengguan jiwa yang membosankan. Saya bayangkan saat-saat mereka mencipta karya, tidak berangkat dari kedirian murni paling dalam, dirinya memakai baju birokrat kepenyairan, lalu berusaha menulis sajak kembali. Inilah penipuan yang berangkat dari peniruan, sikap turunan yang tak patut dijadikan teladan, atas apa pun yang terpantul darinya.
Jiwa-jiwa terbelenggu tak mampu membebaskan dirinya sebagaimana kepompong menjelma kekupu, tidak sanggup menformutasikan pribadinya mengepakkan sayap-sayap pencerahan. Andai terlintas cahaya, hanya kerlap-kerlip lelampu pesta tengah malam, nafasnya kembang-kempis dirangsek sesuatu yang tak membahagiakan, tidak memerdekakan. Mending kunang-kunang yang tak menganggap dirinya lelintang, mendingan gegemintang yang tidak mengaku sebagai rembulan. Jangan-jangan mereka tak dapat membedakan malam atau siang, yang bukan bermakna peristiwa terbebasnya sedari ruang dan waktu, tetapi ketololan yang menyukai satu keadaan dekaden.
Tidakkah tindak mengamini itu cerminan dari pembonsaian diri? Tumbuh-tumbuhan begitu menarik diprekes jadi dibonsai, tetapi sangat dagelan jikalau yang tertanam dalam ruh bernama watak. Pengerdilan ke-aku-an sama persis bunuh diri perlahan-lahan. Andai disuru meloncat dari ketinggian gedung, tentunya tidak berani. Jiwa-jiwa nyaman di kamar sempit akan grogi keluar kandang, kalau tidak menyelimuti tubuhnya dengan mantel tebal atau jas hujan. Saya sebut orang-orang penakut yang menunggu redanya hujan, menanti datangnya petir saat hendak berlari dalam lebat kegelapan malam.
Kepribadian yang takut gelap, tidak mungkin menghadirkan cahaya. Andai bertarung tentu beraninya main kroyokan. Dan tidak mungkin jiwanya nekat jadi pembalap di sirkuit pancaroba, mereka jera disuruh berjalan paling depan, sebab hayatnya telah membonsai. Fenomena ini boleh saja, namun bagi pemilik jiwa muda haruslah waspada akan mental-mental kepecundangan. Mental jago kandang, teriak lawan namun lempar batu sembunyi tangan, bahasa solokotonya; onani keterusan. Maka pun berdarah-darah, tidaklah realis di dalam menerjuni kehidupan yang lapang melintang cahaya.
Hidup di awang-awang tiada kepastian turunnya hujan sebagaimana awan keraguan, andai melangit tidaklah mampu, sebab kalbunya telah tercukupi bentuk-bentuk kepuasan. Atau hatinya tercerabut dari akar keyakinan, karena tidak menyunggui dirinya sebagai sosok pemampu memikul beban. Padahal salah satu syarat kenabian dalam dunia kepenyairan ialah membelot, memberontak, mengkudeta hal-hal lapuk-jahiliah yang tampak di depan mata, yang mengungkung jamannya. Maka pembodohan (pengkerdilan) diri, otomatis berimbas pada masyarakat, oleh kedunguan sama pengertiannya dengan penipuan. Dan golongan tertipu sama persis kaum merugi dalam jual beli nilai pengetahuan, akan pertukarkan kasih damai kemerdekaan, kemanusiaan.
Jikalau kerugian demi menyokong jalannya hikayat kebudayaan, sebagai wujud peribadatan -tidaklah apa, tetapi jika kebangkrutan itu berakar dari ketololan, maka sangatlah kumprung. Kalau diniatkan sekadar dagelan, mungkin berguna mengendorkan urat-urat syaraf bagi yang sungguh-sungguh, sebab dalam kehidupan pun ada namanya banyolan. Namun bentuk-bentuk mencontek tetaplah kegagalan, dan para presiden penyair gadungan ialah sosok-sosok pecundang, mengkarbit dirinya agar dikira matang.
Sekali lagi, berhati-hatilah memakan buah yang tak masak dari tangkainya, bisa-bisa sakit perut yang berimbas keracunan.
Jangan-jangan, sebentar lagi ada antologi puisi presiden penyair daerah, hahaha... Salam.
-----------
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Jawa Timur.
Jakarta-Jogja-Lamongan, 18 Nov 2008.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar