Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Nama Suratman Markasan, bagi pembaca Indonesia, barangkali saja masih agak-agak asing. Sesungguhnya, sastrawan penting Singapura ini, sudah dikenal luas, setidak-tidaknya di Malaysia, Singapura, Brunei, dan Riau. Ia termasuk salah seorang pemenang SEA Write Award yang diberikan tahun 1989. Penghargaan itu, tentu saja merupakan bukti prestasi kepengarangannya yang berdasar pada pertimbangan kualitas karya-karya yang telah dihasilkannya. Sedikitnya, enam penghargaan telah diberikan berbagai lembaga kepada karya-karya Suratman, baik yang berupa cerpen, puisi, atau novel.dan setakat ini, ia telah menghasilkan tiga novel, tiga kumpulan cerpen, dan dua kumpulan puisi, belum termasuk yang terhimpun dalam antologi-antologi bersama.
Di kalangan sastrawan Indonesia, terutama mereka yang sering mondar-mandir Malaysia—Singapura, nama Suratman Markasan, nyaris menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari lawatan mereka, jika melakukan perjalanan ke Singapura. Ia sudah dikenal dengan sangat akrab. Bahkan tempat tinggalnya di Kota Singa itu laksana sudah menjadi “hotel percuma” bagi sastrawan Indonesia, jika mereka mampir ke rumahnya.
Kiprah Suratman Markasan sendiri di bidang sastra sudah dimulai sejak awal tahun 1950-an. Ia yang termasuk sebagai generasi kedua sastrawan Asas 50,[1] memang turut aktif—bersama Masuri SN dan sastrawan Singapura lainnya yang bergabung dalam Asas 50—dalam menyemarakkan kesusastraan Malaysia masa itu. Ketika ia lulus Maktab Perguruan Sultan Idris[2] tahun 1950 dan kemudian menjadi guru di Singapura, ketika itu pula pusat kegiatan kesusastraan Melayu dan aktivitas kebudayaan Melayu secara umum, justru berada di Singapura. Dengan demikian, selepas ia lulus maktab itu, ia memperoleh kesempatan yang luas untuk secara aktif menjalankan kiprah kesastrawanannya. Sangat kebetulan pula, ketika itu, Asas 50 baru saja ditumbuhkan. Maka ia pun pada tahun 1954, masuk dan tercatat sebagai anggota sastrawan Asas 50 dan kemudian ikut terlibat sebagai pengurus organisasi itu. Jadi, keterlibatannya dalam dunia sastra, sudah dimulai saat Singapura menjadi pusat bahasa kegiatan sastra dan ketika bangsa Melayu sedang bergejolak menyongsong kemerdekaannya.
Dalam lomba penulisan novel tahun 1958 yang diselenggarakan Dewan Bahasa dan Pustaka, novel Suratman Markasan yang berjudul Tak Ada Jalan Keluar terpilih sebagai pemenang hadiah penghargaan.[3] Novel itu kemudian diterbitkan penerbit Merican & Sons tahun 1962. Mengenai kiprahnya dalam bidang cerpen, Suratman Markasan barhasil pula menempatkan cerpennya “Pergi dan Datang” terpilih dan masuk ke dalam Bunga Rampai Cherita-Cherita Pendek Angkatan Baru berjudul Mekar dan Segar (Oxford University Press, 1959).[4]
Pada saat antologi cerpen itu diterbitkan, konsep mengenai cerita pendek, baru memperoleh bentuknya yang jelas.[5] Penerbitan kumpulan cerpen itu sendiri, belum begitu populer dan kalah jauh dibandingkan dengan penerbitan novel. Menurut catatan Safian Hussain, dkk.[6] kumpulan cerpen Mekar dan Segar adalah kumpulan cerpen yang kesembilan yang terbit pada dasawarsa 1950. Jadi, dalam sepuluh tahun (1950—1959) hanya sembilan kumpulan cerpen yang diterbitkan. Satu petunjuk betapa penerbitan kumpulan cerpen belum begitu mendapat tempat dibandingkan dengan penerbitan novel.
Demikianlah, konsep cerpen dalam kesusastraan Malaysia, memang masih berusia muda, masih baru meskipun sudah mencapai usia setengah abad lebih. Walaupun di sejumlah surat kabar dan majalah sebelum perang, penulisan cerpen sudah mulai dilakukan, pengertian mengenai cerpen itu sendiri dan tradisi penerbitan kumpulan cerpen, baru berkembang selepas Malaysia merdeka. Cerita sebelum perang, misalnya, dikatakan pula sebagai cerpen. Tetapi, novel-novel pendek yang sesungguhnya lebih tepat dikatakan sebagai cerpen, jika diterbitkan dalam bentuk buku, dikatakan, bahwa buku itu terdiri dari beberapa novel. Selepas memasuki tahu 1950-an itulah, pengertian novel dan cerpen, sudah lebih jelas.
Meski begitu, mencermati tradisi penulisan cerpen Melayu sendiri dan menempatkannya dalam konteks sejarah sastra Malaysia, kelahiran cerpen Melayu justru mendahului kelahiran novel. Dan, seperti juga ragam sastra lainnya, proses kreatif kelahiran cerpen Melayu, nyaris selalu berkaitan dengan situasi sosial yang terjadi pada zamannya.
Dalam konteks tersebut, dapat dikatakan bahwa tradisi penulisan cerpen Malaysia pada awalnya sangat dipengaruhi oleh faktor sosio-kultural yang melatarbelakangi dan sekaligus melatardepaninya. Latar belakangnya adalah bermunculannya sejumlah majalah dan surat kabar yang memang menyediakan rubrik cerpen. Bahkan, tidak sedikit profesi kesastrawanan justru yang menceburkannya ke profesi kewartawanan. Atau sebaliknya, banyak wartawan yang kemudian terlibat aktif dalam bidang sastra, menulis puisi atau cerpen, karena surat kabar atau majalah tempatnya bekerja memerlukan cerpen dan puisi yang akan dimuat. Akibatnya, tidak sedikit yang profesinya rangkap: sastrawan dan sekaligus juga wartawan atau sebaliknya, wartawan yang lebih dikenal sebagai sastrawan. Itulah sebabnya, pertumbuhan dan perkembangan cerpen, dikatakan bergandengan dan selari dengan pertumbuhan dan perkembangan pers Melayu. Salah satu faktor penyebabnya lantaran kebutuhan akan tenaga wartawan, bersamaan pula dengan kebutuhan akan tenaga kesastrawanan.
Demikian, profesi sastrawan, boleh dikatakan sejajar dengan profesi wartawan, karena kedua profesi itu memang dibutuhkan untuk penerbitan surat-surat kabar dan majalah. Dari situlah kemudian lahir sastrawan-wartawan atau wartawan-sastrawan.
Di luar profesi sastrawan-wartawan, tidak sedikit pula guru yang secara sadar ingin menyampaikan nasihatnya melalui karya-karya sastra. Karya sastra, dalam ragam apapun, disadari dapat menjadi alat pendidikan. Oleh karena itu, sastra mesti memberikan pendidikan dan tidak sekedar sebagai hiburan. Cerpen tentu saja termasuk di dalamnya, mengingat ia dapat dipublikasikan lewat surat-surat kabar atau majalah. Di situ pula banyak guru, teristimewa guru lulusan Maktab Perguruan Sultan Idris, menceburkan diri dalam bidang sastra. Kesadaran itu juga bergandengan dengan kesadaran kebangsaan yang menuntut guru memainkan peranan sosialnya, bahkan bila perlu terlibat aktif dalam pergerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan. Faktor inilah, salah satunya, yang melatarbelakangi penceburan sejumlah guru dalam bidang sastra.
Sementara, jauh sebelum itu, tokoh-tokoh pergerakan juga aktif menyuarakan semangat perjuangannya lewat karya-karya sastra. Pada dasawarsa tahun 1950-an, keterlibatan itu menjadi begitu penting justru ketika Singapura menjadi pusat kegiatan kesusastraan, kebudayaan, dan belakangan, politik. Oleh karena itu, sejak awal pertumbuhannya sampai menjelang kemerdekaan Malaysia, kesusastraan Malaysia dimeriahkan oleh empat kelompok sastrawan, yaitu sastrawan-wartawan atau sebaliknya, sastrawan-guru, sastrawan-pejuang atau tokoh pergerakan, dan sastrawan yang tidak merangkap profesi apa pun atau sastrawan yang memang mengandalkan hidupnya dari profesi kesastrawanan.
Dengan keempat kategori kesastrawanan itulah, sastra benar-benar menjadi salah satu alat perjuangan. Dan kesadaran bahwa sastra dapat dijadikan sebagai salah satu alat perjuangan-pendidikan itu, makin memperoleh momentum yang baik ketika sastrawan Asas 50 menempatkan konsep “sastra untuk masyarakat” sebagai salah satu perjuangan mereka mencapai kemerdekaan bangsa. Itulah latar depan yang menempatkan sastra, dalam hal ini cerpen, dapat digunakan sebagai alat perjuangan-pendidikan.
Dalam suasana kesemarakan seperi itulah, Suratman Markasan memulai kiprah kesastrawanannya. Cerpennya, “Pergi dan Datang” misalnya, meskipun tidak secara langsung bersinggungan dengan masalah kebangsaan, pesan moral dalam mengangkat kehidupan wong cilik tampak kental menggayuti cerpen itu. Dalam sebagian besar khazanah kesusastraan Malaysia, keberpihakan terhadap masyarakat miskin, seolah-olah menjadi tema penting. Dengan demikian, persoalan dalam sastra Malaysia tidak lagi mengangkut eksplisit atau implisit, melainkan jatuh pada keberpihakan tadi. Di situlah jelas estetika sastra Malaysia mendapat tempatnya yang luas.
Selepas Kuala Lumpur menjadi ibukota Malaysia dan menjadi sebuah negara sendiri yang berdaulat tahun 1965, kesusastraan Malaysia (Melayu) belum juga banyak bergeser dari estetika seperti itu, termasuk juga kesusastraan Melayu di Singapura. Estetika yang demikian itu, juga tidak ditinggalkan oleh sastrawan-sastrawan Malaysia yang memilih menjadi warga negara Singapura dan tidak ikut hijrah ke Malaysia. Bahkan, kedudukannya yang kini menjadi minoritas di Singapura, memaksa sastrawan Melayu di Singapura tetap bertahan dengan estetika demikian, meskipun masalahnya kini sudah sama sekali berbeda dengan masa lalu.
Kumpulan cerpen Kembali kepada Al-Qran karya Suratman Markasan ini, juga tampaknya masih terikat pada estetika tadi. Tetapi menjadi sangat signifikan jika kita menempatkan sosok pengarangnya sebagai warga minoritas di Singapura. Apakah ia menyuarakan aspirasi dan kegelisahannya sebagai sosok manusia marjinal dan terpinggirkan, sebagai warga Melayu yang terluka oleh sejarah, atau sebagai manusia dengan problem kemanusiaannya yang universal? Bagi kita, di Indonesia, apa pula yang menarik yang bisa menjadi bahan pemikiran kita? Berbagai pertanyaan lain tentu saja dapat kita deretkan lebih panjang lagi. Tetapi persoalannya bukanlah pada deretan pertanyaan itu, melainkan pada bagaimana kita menyikapi kumpulan cerpen ini dalam kerangka estetika yang telah menjadi tradisi yang melatarbelakanginya.
Ada sebelas cerpen dalam antologi ini yang beberapa di antaranya, mesti diakui, cukup mengejutkan jika kita tempatkan dalam konteks sosial bangsa kita. Cerpen pertama yang berjudul “Si Hitam” misalnya, menggambarkan betapa sebuah keluarga terpaksa menolak kehadiran anaknya yang terlibat kasus ganja. Terlepas dari sikap pengarangnya yang cenderung menyalahkan tokoh orang tua, kecanduan anaknya pada dadah (ganja) dianggap sebagai sebuah aib besar yang telah mencampakkan martabat keluarga. Lalu, bagaimana dengan keluarga Indonesia yang anaknya terlibat narkoba? Apakah juga ada rasa, bahwa anaknya tela membuat aib besar yang mencoreng martabat keluarga?
Demikian juga, salah satu cerpennya yang lain, berjudul “Tiga Surat Wasiat” misalnya, sungguh membuat kita—sebagai warga bangsa—harus mempertanyakan kembali nila-nilai kemanusiaan kita. Seorang pemuda—bekas pecandu ganja—yang telah kembali insaf dan berusaha mencari jalan untuk menyadarkan teman-temannya dari ketergantungan barang haram itu, mati tertembak. Tewasnya pemuda itu ternyata menjadi berita utama di berbagai harian. Masyarakat juga ikut membincangkan perihal kematian pemuda itu dengan berbagai tanggapannya; ada yang prihatin, ada yang menyalahkan polisi, bahkan ada pula yang berusaha meneliti lebih jauh latar belakang pemuda itu.
Sebuah keamtian sia-sia telah terjadi. Tetapi persoalannya bukanlah terletak di situ. Bagaimanapun juga, peristiwa itu menyangkut nyawa manusia; sesuatu yang paling berharga dalam diri manusia melebihi apapun. Nyawa tidak dapat digantikan oleh apapun juga. Dan kini hilang lantaran sebuah tembakan! Cerpen Suratman Markasan agaknya dapat menjadi cermin bagi kita: jika di Singapura tewasnya seorang manusia bisa menjadi berita besar dan menjadi wacana publik, pertanyaannya: bagaimana dengan kita? Di Indonesia, kematian akibat salah tembak, sungguh sudah menjadi cerita usang. Sebab, tanpa ada berita pun, kita sering kepergok peristiwa seperti itu, bahkan lebih dahsyat lagi.
Satu cermin lain yang dapat kita tarik bagi kehidupan sosial kita tampak dalam cerpen “Rumah”. Dikisahkan, Dr. Atmo, seorang tokoh partai, telah memanfaatkan kekuasaannya untuk mendapatkan sebuah rumah mewah. Ternyata, tindakan itu ditentang keras tidak hanya oleh teman-temannya, tetapi juga oleh pihak keluarganya sendiri. Sebuah rumah hasil penyelewengan itu, telah membawa Dr. Atmo dihinggapi serangkaian keglisahan yang bermuara pada kegilaan. Sebuah rumah hasil penyelewengan telah membuat Dr. Atmo gila, lalu bagaimana dengan pejabat dan elit politik kita?
Secara keseluruhan, tema yang diangkat dalam antologi cerpen ini dapatlah dibagi ke dalam dua bagian besar, yaitu tema keagamaan dan tema sosial. Dan ke-11 cerpen yang bertema demikian itu, dikemas Suratman dengan menyisipkan kisah-kisah simbolik, mimpi,atau sejarah. Dalam beberapa cerpen, kisah-kisah simbolik, sebagaimana tampak dalam cerpen “Jam Ajaib” dan “Pintu” misalnya, mengingatkan kita pada kisah para sufi. Sayangnya, Suratman lebih banyak memanfaatkan dialog, dan bukan deskripsi peristiwa. Akibatnya, kisah simbolik yang sebenarnya potensial menciptakan suasana mencekam, tidak tereksploitasi secara maksimal, sebagaimana tampak dalam cerpen “Virus” dan “Bush Meminang Puteri Ledang”.
Keseluruhan cerpen dalam kumpulan ini, memang cenderung memanfaatkan dialog ketimbang deskripsi. Boleh jadi lantaran itulah, maka cerpen-cerpen dalam kumpulan ini terkesan berpanjang-panjang. Meskipun demikian, dalam cerpen “Kembali kepada Al-Quran”, “Jam Ajaib”, dan “Malam Penentu”, dialog justru penting, tidak hanya untuk menciptakan konflik, tetapi juga untuk menyampaikan kritik sosialnya. Dalam ketiga cerpen itu, tampak pula bahwa agama seringkali hanya dijadikan sebagai label atau sekedar ritus sosial untuk menutup-nutupi kemunafikan.
Tidak dapat lain, antologi Kembali kepada Al-Quran karya Suratman Markasan ini, mesti ditempatkan dalam kotaknya sendiri yang mempunyai latar belakang dan latar depan sosio-kulturalnya, yang juga tidak terlepas dari tradisi estetikanya sendiri. Dengan cara demikian hendaknya menempatkan antologi cerpen ini dalam kerangka sosiologis kehidupan masyarakat kita, maka kehadiran antologi cerpen ini menjadi penting sebagai cermin untuk mengukur moralitas dan keberadaban bangsa kita sendiri. Sebuah cermin bening yang memantulkan wajah kita jadi sedemikian buram. Dalam persoalan moralitas dan keberadaban, agaknya bangsa kita memang mesti lebih banyak bercermin pada bangsa lain. Antologi cerpen inilah salah satu cerminnya.
Bojonggede, 31 Agustus 2000
[1] Suratman Markasan tercatat anggota Asas 50 tahun 1954 dan terus aktif dalam organisasi itu sampai tahun 1994. Jadi, meskipun sejak tahun 1965, Singapura memproklamasikan kemerdekaannya dan menyatakan memisahkan diri dari Malaysia, keberadaan Asas 50 tetap dipertahankan. Bahkan sastrawan Malaysia yang tidak lagi tinggal di Singapura, baik mereka yang semula menjadi pengurus Asas 50 atau yang hanya anggota biasa, tetap mendukung keberadaan Asas 50.
[2] Maktab Perguruan Sultan Idris dikenal sebagai sebuah institusi pendidikan tempat lahirnya tokoh-tokoh pergerakan Melayu. Dari maktab ini pula tumbuh dan berkembang ide-ide nasionalisme yang kemudian menyebar ke wilayah Semenanjung Tanah Melayu. Sastrawan-sastrawan terkenal Malaysia sebagian besar juga lulusan maktab ini.
[3] Novel lain yang juga mendapat hadiah serupa dalam lomba itu—sekedar menyebut salah satunya—adalah karya A. Samad Said, berjudul Gerhana I & II. Novel ini kemudian pada tahun 1961 diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustaka dengan judul Salina, mengikuti nama tokoh utamanya.
[4] Dalam cerpen itu, Suratman Markasan menggunakan nama pena Suman Mali. Boleh jadi, cerpen ini bukan cerpen Suratman yang paling awal mengingat Asraf yang menjadi editor dan penyusun antologi cerpen itu melakukan pemilihan berdasarkan cerpen-cerpen terbaik dari sastrawan Angkatan Baru yang menjadi anggota atau pengurus Asas 50. Suratman sendiri mulai terjun ke bidang sastra sekitar tahun 1952-an, dua tahun setelah ia menjadi guru di Singapura.
[5] Othman Puteh mengatakan: “Dalam paroh pertama tahun 1950, cerpen Malaysia mulai memperoleh bentuk yang agak jelas dan konkret.” Othman Puteh, Cerpen Melayu selepas Perang Dunia Kedua (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1983), hlm. 221.
[6] Safian Hussain, dkk. Bibliografi Sastera Melayu Modern 1952—1980 (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1985)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar