Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Sebuah amplop tak terlalu besar, tergeletak di meja kerja. Pasti kiriman buku, pikirku. Dalam sebulan, selalu saja ada dua atau tiga bungkusan seperti itu dikirim teman sastrawan dari berbagai daerah. Meski hampir tak pernah berkirim balasan, aku selalu berterima kasih. Juga berdoa agar mereka terus berkarya dan punya semangat dan napas kreatif yang panjang. Kupikir, doa jauh lebih bermakna ketimbang balasan basa-basi.
Benar! Sebuah antologi cerpen, berjudul Corat-Coret di Toilet (2000) karya Eka Kurniawan. Nama itu jarang jumpa di koran minggu. Satu-dua sempat kubaca. Cerpen-cerpennya tampak masih mencari bentuk. Ada napas surealis dan coba menyamarkan beberapa tokohnya. Kadang juga agak realis, meski ia acapkali lalai menyembunyikan suara dirinya sebagai dalang. Malah dalam “Corat-Coret di Toilet” cukup kuat nada komedi-satirenya. Cerdas juga usahanya mengangkat hal kecil yang remeh-temeh menjadi problem kemanusiaan. Di sana ada dendam mendalam pada penguasa. Beberapa catatan kutulis dalam buku itu. Kupikir, meski bahasanya lincah dengan narasi mengalir, ia tetap akan berada di garis belakang deretan nama Joni Ariadinata, Agus Noor, Dorothea Rosa Herliany, Indra Tranggono, dan komunitas cerpenis Yogya lainnya.
Benarlah dugaanku. Nama itu seperti tenggelam. Layaknya sebuah perkenalan, kesan pertama yang dihadirkannya, cukup memberi pesona. Dan itu kemudian hilang ketika sosoknya tiba-tiba raib. Aku menduga, pasti ia sibuk bekerja, mengeruk uang, atau lintang-pukang mencari cinta. Biasalah, orang-orang macam itu kerap cuek abis lantaran over convident.
***
Siang yang buram. Tumpukan buku kumal di loakan. Mahasiswa tergesa-gesa. Gang Kober yang sempit. Aku berada di antara itu dan tergoda pada deretan buku baru. Sejumlah buku terjemahan tak menarik perhatian. Pernah kapok, lantaran terjemahannya buruk. Di antara itu, terselip sebuah nama yang pernah kukenal: Eka Kurniawan! Sebuah novel gendut: Cantik itu Luka (Yogyakarta: Akypress, Desember 2002). Edan juga napasnya. Jadi, ia raib untuk sebuah novel setebal 517 halaman. Begitulah kesimpulanku.
***
Ambisius! Itulah kesan yang segera menyergapku. Dari sudut jumlah halaman, ambisi Eka lewat novelnya, memang berhasil menumbangkan banyak nama. Bahkan, dalam perjalanan novel Indonesia, Cantik itu Luka telah mencatat rekor baru sebagai novel paling tebal yang dihasilkan sebagai karya pertama. Dengan ukuran huruf 10 karakter dan tebal 517 halaman, maka sesungguhnya novel ini –jika menggunakan huruf 12 karakter—sangat mungkin dapat mendekati, menyamai atau bahkan melebih Arus Balik, Pramoedya Ananta Toer yang tebalnya 751 halaman. Jadi, dalam urusan tebal halaman, Cantik itu Luka telah berhasil membuat sejarah.
Tetapi, novel tidaklah sekadar berurusan dengan tebal-tipisnya halaman. Di sana ada yang disebut koherensi, keterpaduan! Dalam pandangan kaum strukturalis, sastra diperlakukan sebagai struktur. Ia dibangun atas sejumlah unsur yang bersifat fungsional, berjalin-kelindan, saling mendukung dan komplementer. Hubungan struktural itulah yang menjadi kriteria berhasil tidaknya sebuah karya. Segenap unsur intrinsik, berintegrasi dan bersatu-padu, dengan masing-masing berfungsi secara khas. Ia hadir dan menciptakan sebuah dunia rekaan yang membangun estetika fiksional. Di sana, juga berlaku logika novel –sesuai dengan ragamnya— yang penting untuk mengukuhkan estetika novel itu sendiri.
Periksalah, misalnya, kegelisahan dan trauma seorang tokoh Hasan (Atheis), Guru Isa (Jalan Tak Ada Ujung) atau Tamin (Pulang). Ia dibangun secara logis lantaran ada peristiwa dahsyat yang melatarbelakanginya. Catatan Bawah Tanah—Dostoyevski, atau Negeri Salju—Yasunari Kawabata, lebih rumit lagi. Pikiran, perasaan, dan tindakan, bisa tumplek semua, terjadi dalam satu peristiwa. Di sana, logika psikologis tak berlaku, seperti juga yang terjadi pada diri Tokoh Kita (Ziarah), Barman (Khotbah di atas Bukit), Aku (Telegram) atau Rafilus (Rafilus) yang tak bermain dalam konflik batin, melainkan dalam rangkaian peristiwa dan lompatan pikiran. Di situ, logika dicampakkan, pikiran lepas, tak terkungkung ruang dan waktu. Ia bebas menclok ke sana-sini. Masa lalu, kini, dan masa depan, dapat sekaligus bertumpang-tindih dalam satu peristiwa. Tumbangnya Seorang Diktator—Gabriel Garcia Marquez atau Tuan Presiden—Miguel Asturias masih berada dalam satu jalur, meski selalu ada kekhasan. Di antara itu, dapat kita jejerkan Hempasan Gelombang—Taufik Ikram Jamil atau Hujan Pagi—Samad Said. Keduanya bermain dalam tataran realitas faktual-historis di tengah halusinasi dan mimpi.
Tetapi, ketika kita berbicara tentang sejarah, maka fakta seyogianya tak meleceng. Lihat saja fakta historis Tambera—Utuy T. Sontani, perang antarpuak dan campur tangan kolonial (Hulubalang Raja), pergeseran konsep priayi Jawa (Para Priyayi), perubahan sosial perilaku –pemikiran kaum terpelajar pribumi (empat serangkai Bumi Manusia) atau lahir dan tumbuhnya nasionalisme (Burung-Burung Manyar). Simaklah hiruk-pikuk perang para shogun (Musashi dan Taiko)—Eiji Yoshikawa. Fakta sejarah an sich menjadi bagian penting guna membangun estetika. Mereka sama sekali tak mempermainkan fakta. Sebaliknya, ketika fakta sejarah melenceng, logika estetik novel itu akan berantakan, koherensi mengalami hingar (noisy).
Begitu juga jika hendak memasuki realisme atau membuat potret sosial dan bermain dengan deskripsi latar yang bertumpu pada detail. Fakta geografis dan latar material, mesti ditempatkan dalam bidikan yang tepat. Paling tidak, mendekati fakta an sich. Periksa saja “Harmoni”—Idrus, Ronggeng Dukuh Paruk—Ahmad Tohari atau Saksi Mata—Seno Gumira Ajidarma. Dalam kualitas yang lebih memukau, coba bergaul dengan Madame Bovary—Gustav Flaubert, Sehari dalam Hidup Ivan Denisovich—Alexandre Solzenitsin, Dataran Tortila—John Steinbeck, atau Shansiro dan Rahasia Hati—Natsume Soseki. Mereka memanfaatkan detail begitu rupa. Kita seperti sedang melihat potret sosial dengan latar tempat yang mempesona.
Lalu, apa yang terjadi dengan Cantik itu Luka—Eka Kurniawan?
***
Seorang pelukis pemula berhasrat jadi maestro. Ia sedang mempelajari makna lukisan abstraks—ekspresionistik Affandi yang tak kunjung dipahaminya. Affandi memulai lewat gaya realis. Pelukis muda itupun melakukan hal yang sama. Namun, kesabaran memang milik orang-orang bijak. Ia tak punya kearifan itu. Lahirlah sebuah lukisan yang luar biasa abstraksnya dan cenderung ngawur. Ia senang mesti tak memahami estetikanya. Menurutnya, itulah karya agung; sebuah monumen bagi dirinya, dan bukan untuk khalayak orang lain.
***
Estetika model mana yang hendak dimainkan Eka Kurniawan dalam Cantik itu Luka? Absurdisme yang memporakporadakan logika formal, realisme yang membidik detail, aspek sejarah yang taat asas pada fakta sejarah, konflik batin yang mengusung gejolak psikologis, atau peristiwa pikiran yang hendak mengangkat gagasan filosofis? Mencermati isinya, kita seperti memasuki sebuah dunia yang di sana, segalanya ada.
Sebagai sebuah karya kreatif, apa pun yang dilakukan kreator semuanya boleh-boleh saja. Sah! Apalagi jika kita menghubungkannya dengan konsep licentia poetica. Pemberontakan atas konvensi menjadi penting untuk mengusung kebaruan. Tetapi, jangan pula lupa. Inovasi dengan tujuan sekadar berbeda, juga tidaklah elok. Malah, cenderung berbahaya! Di sinilah duduk soalnya. Inovasi selalu beranjak dari sejarah estetika yang melatarbelakanginya. Ia dilakukan untuk menawarkan estetika baru yang melatardepaninya. Oleh karena itu, persoalan estetika tetap harus menjadi titik pijak, langkah berangkat, dan tujuan yang hendak dicapai. Tanpa kesadaran itu, ia akan terjerembab, jatuh pada kubangan main-main yang ngawur.
Boleh jadi, itu yang kita jumpai dalam Cantik itu Luka. Terkesan, Eka bermaksud hendak mencampuradukkan semuanya. Maka, di sana kita akan menjumpai logika yang berantakan, fakta sejarah yang unchronicle, latar psikologis yang irasional, dan penokohan yang seragam. Nada, kosa kata, dan pemikiran yang keluar dari hampir semua tokohnya, berasal dari satu pribadi: Sang Pengarang! Aneh, semua tokoh berbicara dengan nada yang sama!
“… Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematian.” Itulah kalimat pembuka novel itu. Sebuah provokasi yang seolah-olah hendak menjerat pembaca lewat gaya surealisme. Logika formal jelas hendak dipermainkan. Dengan nalar ini, kita masih dapat menerima ketika ada pernyataan: nisan tanpa nama yang selama 21 tahun tak terawat, dikenal semua orang sebagai kuburan Dewi Ayu. Tak ada perubahan. Eka seperti menganggap waktu 21 tahun sama dengan 21 hari. Dan di kawasan itu, seolah-olah hanya ada satu kuburan.
Dalam karya yang bermaksud mencampakkan logika, kejanggalan itu tak terlalu jadi soal. Tetapi masalahnya lain ketika ia mengangkat latar waktu pada zaman tertentu. Dewi Ayu, keturunan Belanda, pelacur zaman Jepang, dan melanjutkan karier kepelacurannya selepas merdeka. Di sinilah soalnya. Periksalah Khotbah di Atas Bukit, Ziarah, “Godlob” atau karya-karya yang mencampakkan logika. Di sana, latar waktu bisa terjadi kapan saja dengan lokasi yang juga bisa di mana saja. Dengan begitu, titik tekan pada gagasan atau pemikiran filosofis, bisa berlaku di sembarang waktu dan tempat. Ia sekaligus menunjukkan bahwa gagasan tak terikat ruang dan waktu.
Pilihan latar waktu yang dikedepankan Eka Kurniawan pada gilirannya berakibat fatal. Bagaimana mungkin masa itu di sebuah kampung ada tukang ojek, etalase toko, tukang foto keliling, susu beruang, kotak sumbangan, mobil angkutan, mie bakso, terminal dengan premannya dan sederet panjang latar material dan istilah yang hanya ada pada zaman kini? Pelacur yang dikatakan sebagai penjaja seks komersial, misalnya, (hlm. 128) tentu saja sangat janggal, karena di zaman Orde Baru pun istilah itu belum ada.
Begitu juga kata preman. Pada zaman Belanda berkonotasi netral sebagai orang yang tak punya pekerjaan (vrijman). Kini maknanya sudah mengalami pergeseran. Makna yang sekarang itulah yang dilekatkan pada dua tokoh, Maman Gendeng dan Edi Idiot. Kedua preman itu kemudian bertarungan selama tujuh hari tujuh malam (hlm. 129). Luar biasa! Tetapi tak ada satu jurus pun yang diperlihatkan kedua tokoh itu. Jadi sekadar main-main untuk menunjukkan pengaruh cerita silat Kho Ping Ho, tentu saja boleh. Tetapi, itu tampak lebih menyerupai gombal saat pewartaan pertarungan selama tujuh hari tujuh malam tak ada pengaruhnya dalam cerita keseluruhan. Jadi, bisa saja kata itu diganti menjadi satu jam, satu hari atau satu bulan. Tokh, maknanya tak berbeda dan tak mempengaruhi apapun bagi struktur cerita.
Ada juga kelucuan yang terjadi pada peristiwa perjalanan tokoh Maman Gendeng. Untuk sampai di Halimunda, ia mengarungi lautan melewati Selat Sunda hingga laut Selatan. Ketika berada di laut Selatan ia dihadang sepasang hiu. Maka ia pun ke daratan dahulu berburu rusa dan memberikannya kepada hiu itu sekadar untuk bersahabat dengan sepasang hiu itu. Jadi, mustahillah peristiwa itu terjadi. Lebih mustahil lagi keberadaan Halimunda. Sebab, setelah melewati laut Selatan, sampailah ia di Halimunda. Jika begitu, Halimunda boleh jadi berada di salah satu pulau di kawasan Australia. Sejumlah istilah kemiliteran pada zaman Jepang atau perang kemerdekaan, juga digunakan Eka secara serampangan. Terkadang sekadar tempelan, artifisial, dan bahkan sering kali keliru.
Secara keseluruhan, novel ini hendak mengangkat ketokohan seorang pelacur Dewi Ayu. Lewat tokoh itu, cerita mengalir liar melibatkan begitu banyak tokoh sampai berakhir pada percintaan Krisan dan si Cantik yang buruk rupa. Ada kesan, Eka mencoba memanfaatkan mitologi, foklore, sejarah, dan cerita silat. Sebagai sebuah novel yang digarap dengan ambisi besar, Eka –sengaja atau tidak—tampak sangat mengabaikan fakta. Ia condong sekadar mengandalkan lintasan narasi dan gagasan yang keluar deras. Dengan hanya mengandalkan itu, cerita jadinya liar melanggar apapun. Dalam hal itulah, seyogianya pengarang berlaku selektif. Pasalnya, gagasan laksana mata air. Ia bisa mengalir menjelma jadi sungai bening, selokan kecil, parit-parit pesawahan, air pancuran yang gemerecik, atau sungai raksasa dengan arus yang deras. Ke mana pun mata air itu mengalir, ia mesti tetap berada dalam aliran sungai. Tetapi, ketika ia tak terkendali, ia akan menjadi air bah yang bakal menabrak dan memporakporandakan apa pun. Ia akan menjadi musibah jika gagal dikendalikan.
Catatan kecil ini, tentu tidak dimaksudkan sebagai usaha memereteli novel yang begitu tebal itu. Bagaimanapun, napas panjang Eka sungguh merupakan potensi yang mengagumkan. Niscaya, ia akan menghasilkan sebuah monumen yang mempesona jika ia punya kesabaran untuk mengendapkan dahulu karyanya, mengedit di sana-sini, dan merevisi segala sesuatu yang mungkin salah nalar, keliru fakta, atau terjadinya obral kalimat mubazir. Hanya dengan cara itu, serangkaian hingar bakal dapat dihindarkan.
Di samping itu, perlu juga diperhatikan ihwal estetika yang hendak dipilihnya. Soalnya berkaitan dengan cara penyajian unsur intrinsik yang hendak dibangun. Dalam hal itu, seleksi atas peristiwa yang perlu dan tak perlu, menjadi penting. Sebab, lewat seleksi itu pula bangunan estetik menjelma. Dengan demikian, pilihan estetik mengandung konsekuensi. Justru di situlah estetika dalam seni memainkan perannya.
***
Hakikat novel adalah cerita. Dan cerita itu berangkat dari fakta. Ketika fakta hendak ditumpahkan, imajinasi ikut mengolahnya. Dalam proses pengolahan itulah, diperlukan nalar, wawasan, intelektualitas, dan kesadaran estetik. Lewat cara itu, kelak sangat mungkin cerita jadi monumen, tonggak, atau –jika tak pandai membangun dan meraciknya—ia akan membentuk sebongkah artefak tak bermakna atau bahkan kue tawar yang segera basi. Lalu di mana tempatnya novel Cantik itu Luka? Apakah ia pantas menjadi monumen atau artefak tak bermakna? Jawabnya, untuk sementara, dapatlah kita tafsirkan sebagai air bah yang mengalir deras tak terkendali. Demikianlah!
(Maman S. Mahayana, Pensyarah Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar