Sihar Ramses Simatupang
Sinar Harapan,04/27/2003
http://www.sriti.com/
Sosok tubuh kecil dan ringkih itu berusaha berpacu cepat di atas sadel sepedanya menembus jalan berbatu dan sempit di tegalan sawah. Gadis kecil nakal, walau di beberapa tungkai lutut kaki dan tangannya telah terlihat bekas kecil luka bagai koin logam, tetap saja dia naik sepeda di atas permukaan tanah yang sempit untuk ukuran ban sepeda.
Kriti Puspita namanya, bocah perempuan kecil yang lincah. Sepedanya terus saja meliuk di antara rambutnya yang panjang bergoyang diterpa angin. Embusan angin semakin kencang, meniup roknya yang panjang hingga hampir ke mata kaki. Angin mempermainkan poninya. Hatinya terbuai dan mengayuh sepeda lebih kencang. Tampak kawan-kawan karibnya yang lelaki duduk di pinggiran tegalan sawah. Sebagian ada yang berdiri sambil memukul-mukul kakinya ke lubang tanah, seekor yuyu dia lihat jadi rebutan para anak lelaki.
Wajahnya masih polos. Khas lugu gadis desa yang mulai merekah. Dadanya belum lagi ranum namun setiap pemuda sudah mulai melirik dan berani memastikan kalau dia kelak menjadi seorang wanita dengan buah dada yang padat dan berisi. Wajahnya tidak bisa dikatakan terlalu cantik, namun tetap menarik. Hidungnya agak pesek tapi matanya bersih. Bicaranya lancar.
Dia sering bermain di kolam dan empang sepanjang tegalan sawah Lamongan. Dia juga sering mandi di bak tepat di belakang rumah neneknya. Waktu itu musim panas, sehingga kolam kering dan tidak bisa untuk mandi dan membersihkan diri di pinggirannya. Apalagi kalau mandi di empang atau kolam, biar orang desa kulitnya tetap merasa gatal kalau kena air empang kecoklatan. Di musim kemarau, airnya sama sekali tak dapat curahan hujan atau kiriman dari sungai sehingga air jadi sedikit dan bercampur lumpur dan tanah.
Di bak mandi nenek, si gadis kecil yang entah kenapa merasa jadi nakal itu mandi bersama kawan-kawannya. Mereka tertawa dan baru berhenti ketika terdengar teriakan nenek yang memanggil namanya. Teman-temannya tertawa, ekspresi wajahnya menyiratkan ketakutan, namun suaranya tetap terkekeh sekadar untuk tidak menyurutkan kebahagiaan yang lain.
Dia bukan anak dari keluarga terpandang. Di desa ini memang tak banyak orang yang terpandang. Desa yang kerap mengirim anak-anaknya sekolah di kota besar sehingga hampir tak berpikir lagi untuk menumpuk harta dan membeli perabotan rumah. Televisi masih jarang, satu televisi cukup untuk mengundang beberapa tetangga setiap malam.
Dia memang bersekolah di tempat ini. Bahkan, hingga sekolah lanjutan atas pun dia masih berada di desa ini. Walau tubuhnya tidak begitu tinggi, pendek seperti gadis Lamongan lainnya, orangtuanya cukup bangga dengan perangainya yang masih bisa diatur dan tak banyak neko-neko.
Saat masih sekolah lanjutan pertama dia menolak saat diajak orangtuanya untuk menari. Katanya, tubuhnya kaku dan dia tak mau harus dipaksa. Untuk mengaji, dia bisa saja karena memang orangtuanya sejak kecil mengharuskannya ikut Pondok TPA yang ada di setiap desa. Selain itu, dia juga orang yang suka menulis diary?orang kadang menyebut tulisannya itu puisi sehinga dia merasa juga punya potensi untuk menjadi penyair.
Di tempat ini, dia sempat terkagum-kagum pada para santri yang mengaji. Suara-suara mengaji terdengar di sepanjang surau dan pondokan, setiap dia mengayuh sepedanya dan melintas di sana.
# # #
Tapi entah mengapa, dia tak pernah tertarik pada para lelaki yang ada di tempat itu. Ya, dia sudah remaja. Ketika dia katakan dia tak suka pada para lelaki yang berada di asrama itu, itu wajar saja. Hanya, bagaimanapun dia harus jujur kalau dia pun sebenarnya juga punya sosok ideal yang dia sukai.
Entah kenapa juga bila dia malah menyukai seorang lelaki yang berkuliah. Usianya saja jelas jauh lebih tua ketimbang dirinya. Mahasiswa semester lima sebuah universitas di Lamongan.
Sayangnya walau lelaki itu jadi cinta pertamanya, si pemuda yang juga tak disangkanya ikut dalam grup kesenian itu, tidak merasa dicintai olehnya sama sekali. Akh, lelaki selalu pura-pura. Bisa jadi itu praduga perempuan yang pertama kali dialami sepanjang hidupnya. Nyatanya, dia kini memang perempuan. Kata ibu, kalau seseorang sudah haid berarti dia sudah akil baliq.
?Karena sudah akil baliq kamu harus jaga dirimu baik-baik ya, Nduk. Sikapmu harus njawani. Jangan macem-macem,? ujar ibunya.
Kala itu dia hanya mengangguk, sambil balas memandangi Nyi yang ikut-ikutan nimbrung, ingin tahu apa yang dibicarakan kedua anak-beranak, para penerusnya itu. Nyi memang orang yang kuat, setua ini masih saja bekerja dengan rajin dan tepat waktu. Menyapu halaman dengan sapu lidi waktu matahari belum muncul. Tangannya yang berkeriput senang merasakan dinginnya embun subuh. Suara azan baru saja selesai menghilang di telinga.
Nyi sudah salat subuh, tidurnya saja lebih cepat dari anak dan cucunya. Dia sangat rapih kalau hendak berangkat tidur, seprai, selimut dan sarung bantal harus dicuci rutin beberapa kali seminggu. Kalau ada debu sedikit, dia segera mengambil sapu lidi yang khusus untuk menepiskannya. Kata Nyi, agar tidurnya bisa tenang.
Si cucu cepat-cepat membantu kalau dilihat neneknya sudah kerepotan di atas tempat tidur. Kadang, si cucu sekadar membantu dengan satu tangan agar kelihatan dia ikut sibuk, dan batinnya agak tenang tak membiarkan neneknya yang tua bekerja sendirian. Biar sudah begitu, si nenek yang mengerti akal bulus cucunya, segera menarik tubuh yang kini mulai menampakkan kemolekannya itu ke pangkuannya. Tawa cucunya yang terpingkal-pingkal segera terdengar saat tangannya menggelitiki pinggang dan leher si cucu dengan tangannya yang tua dan keriput. Ibu dan bapak hanya tersenyum saja melihat ulah nenek dan cucu itu.
?Dasar kamu itu, tolong nenekmu saja pakai malas-malasan. Terus saja, Nyi. Biar dia kapok,? kata Ibu, pura-pura marah.
Bapak hanya tersenyum saja sambil menyalakan rokoknya. Dia masih saja duduk di beranda dengan rokok lintingan sambil menatap pohon nangka dan jambu yang sebentar lagi berbuah. Walau begitu, suara di belakang punggungnya selalu dijawabnya dengan raut wajah yang berubah.
Rumah kecil ini memang memberikan kesempatan setiap penghuninya untuk bisa akrab. Dari beranda, pintu depan yang berjendela dua, ruang tamu dan pintu tempat tidur hingga ke dapur terlihat lowong dan memberikan celah buat setiap orang untuk berdialog dari depan ke belakang. Itulah yang kerap diingat si gadis pada kelebihan dari rumahnya itu. Di depannya ada pelataran, lebih tepatnya halaman kebun yang cukup luas, pohon nangka, pohon jambu dan ada beberapa pohon yang tak begitu diketahuinya dengan jelas bertumbuhan di tanah beberapa meter itu. Di samping ada kandang ayam peliharaan bapak.
# # #
Cinta pertamanya itu memang cinta tak berbalas. Lelaki itu orang yang pendiam dan acuh tak acuh?barangkali dia menganggap dirinya cuma anak kecil. Namun sebagai kakak, lelaki itu perhatian sekali padanya. Gayanya yang luwes baru akan kaku bila dia balas memandang ?si kakak? dengan tatapan mata yang berbeda.
Nama lelaki yang selisih delapan tahun dari dirinya itu Ihromi. Orangnya pintar, kuliahnya saja di IAIN. Melihat penampilan fisiknya pasti setiap orang akan menyukai dia. Tubuhnya tegap, dadanya bidang. Kesan alim terlihat dari rambutnya yang selalu dipotong pendek, geraknya yang tak sembrono dan terburu-buru, dan memakai kopiah setiap senja. Mulai dari maghrib hingga masuk kembali ke kamar di pondokannya, kopiah itu baru dilepas.
Namun, tak ada yang menyangka kisah romantis itu harus lepas karena ketidakpedulian lelaki yang ternyata menganggap dirinya sebagai adik. Aku tahu banyak tentang Kriti, sejak mulai cinta pertamanya itu hingga perjalanan dia selepas SMA dan bekerja di kota besar. Aku sering mengamatinya baik dari dekat atau jauh. Bahkan hingga Kriti bekerja di sebuah pabrik di areal industri kota Surabaya.
# # #
?Tahu tentang mas Ihromi, Mas Bayu??
?Tahu, Dik Kriti,? kataku sambil menatapnya.
?Ingat kan??
?Ingat, lelaki yang kamu ingat hingga sekarang itu kan? Ke mana dia sekarang, Dik Kriti??
?Sudah tiada, Mas. Kabarnya kecelakaan?
?Kenapa??
?Katanya saat menyeberangkan istrinya yang lagi hamil. Waktu itu dia mau check-up kali,? ujar Kriti. Lalu kami pun berbincang tentang kisah masa kecil dan kenangan tentang lelaki baik itu. Aku cemburu, tapi bagiku kenangan adalah kenangan. Dia bukan lagi berupa masa depan. Semuanya jelas berbeda.
# # #
Begitulah perjalanan cinta seorang gadis kecil. Bayu namaku. Akulah teman Kriti di masa kecil itu. Kriti Puspita, perempuan ini akhirnya memang semakin dewasa. Semakin mekar, seindah namanya. Seringkali kita menganggap kalau wajah dan tubuh indah, maka semuanya akan indah, sampai namanya pun harus indah. Atau kalau nama indah, maka wajahnya akan indah juga.
Begitu juga dengan Kriti saya kira, di balik nama indahnya, orang akan menuntut si Kriti itu harus cantik. Tapi? ya syukur, kebetulan wajahnya lumayan juga. Namun, di balik kesempurnaan nama dan wajahnya itu, dia tetap saja bukan apa-apa. Dia tetap Kriti, gadis polos yang bersahaja.
Kriti memang wanita biasa?ups, jangan sebut wanita, akan lebih halus kalau dibilang perempuan?ya betul, Kriti memang seorang perempuan biasa. Dia kini menjadi buruh di sebuah pabrik. Tidak beda dengan yang lainnya, bau keringatnya pun pastilah seperti buruh kalau pulang kerja. Amis, apek, keringatnya berleleran sebelum mandi sore.
Dari Ihromi, dia sempat juga mencintai lelaki lain yang dinas di dekat tempatnya bekerja. Tapi dia segera menjauhi lelaki itu karena kecewa si lelaki ternyata bukan tipe orang yang setia. Jadilah kenangan pahit kedua. Baru pada kekasih lainnya, aku terpilih juga sebagai orang yang beruntung. Bermula dari curhat, aku menyatakan perasaanku, yang ternyata tak ditolaknya. Aku begitu bahagia.
Buruh ketemu tukang parkir, ya kloplah. Apalagi yang dipikirkan kecuali kerja dan pacaran begitu kami selesai bertugas, pada shift sore. Di antara gerobak sampah, di pinggir kali, di sela alunan lagu dangdut, di tengah riuh cekikikan para buruh yang juga berasal dari berbagai kabupaten di Jawa Timur, kami telah punya dunia sendiri.
Sekali-sekali, nonton bioskop yang paling murah harganya di kota ini. Yah, agar uang buat nasi dan tabungan jadi tak terkurangi. Kadang malah Kriti ketemu aku dengan pakaian kerjanya, tidak pakai parfum atau bedak. Polos, ngobrol ngalor-ngidul, saling menatap, saling melirik.
Tapi dia tetap menarik bagiku. Menarik, itu saja cukup. Tak perlu cantik-cantik sebab wajahku pun sama sekali tidak ganteng. Memang dia cuma buruh dan aku tukang parkir. Waktu kerjanya delapan jam tiap hari dengan berganti shift setiap minggu. Kerjaku di antara terik matahari siang.
Namanya saja buruh, Kriti juga tak punya jadwal cuti kalau dia mens, atau barangkali cuti khusus melahirkan dan cuti punya anak.
Tidak ada itu. Mana mau sih perusahaan ngomong soal cuti-cutian. Lha wong yang diomongkan cuma untung melulu. Mana punya perhatian buat Kriti, seorang buruh yang kerap diperas seperti tenaga sapi.
Tapi syukurlah, Kriti tidak pernah minta waktu buat cuti melahirkan, atau cuti punya anak, atau sekadar cuti mens. Sebab dia masih lajang, masih gadis atau setidaknya dia masih sendirian.
Aku tahu semuanya, sebab si Kriti itu kini akan menjadi calon istriku juga. Akh, Kriti. Setiap menatap dia, pasti akan kembali terbentang kenanganku tentang gadis kecil, yang bersepeda, main air di bak mandi atau suara dia mengaji di sebuah TPA Lamongan. Kenangan masa kecilnya itu seringkali juga menyentuh kerinduanku untuk pulang. Menjenguk makam emak dan bapakku. Menjenguk calon mertua lelaki yang sebatang kara. Ayah Kriti sendirian di sana, sebab mas Kriti banyak yang merantau dan Kriti anak paling bungsu. Sedangkan Ibu Kriti sudah tiga tahun tiada. Nyi, nenek Kriti yang lembut itu, bahkan telah berpulang sejak kami bocah.
Rencanaku, kalau menikah di depan penghulu nanti, aku akan mengontrak rumah di pinggir kali dekat pabrik Kriti itu. Bapaknya akan kami boyong. Tak usah dulu pikir anaklah. Krisis ekonomi ini, dosa rasanya membiarkan bayi hidup ke dunia tanpa nafkah yang kecukupan.
Surabaya, 1997
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar