Senin, 20 Oktober 2008

SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII

Nurel Javissyarqi*

Setelah terhenti, dunia baru terlahir, wewarna bunga-bunga bermekaran
dicahayai langit, merangkum kelopak malam-siang silih berganti (XVI: I).

Di mana mencapai kutub menguasai kasih manunggal,
suratan takdir iramanya kata-kata bernada nasib, yang digubah atas
kidungan moyang, dari tirakat pujangga bertujuan mulia (XVI: II).

Ia kembala saat pelangi berpendaran merayu insan setia
diberi kemudahan segar, warna cahayanya atas mentari (XVI: III).

Ucapannya berasal rongga dada akan air merayap di tenggorokan sukma,
kemantapan buyung dipanggul di pinggul gadis, dan airnya bergoyangan
ketika melangkahkan kaki sedari sungai kemakmuran (XVI: IV).

Ia mengusung keajaiban, pencari bertemu tiada lupa,
jujur mengelupas kulit-kulit pepohonan rahasia rasa (XVI: V).

Para lelaki beradu rimba nasibnya, siapa sangka besi
sanggup terbang? Batu mengapung? Kayu bertenggelam? (XVI: VI).

Sudah menjadi kebiasaan, sekarang lupa sanak-kadang,
menuntut ilmu ke negeri jauh melalaikan pegangan (XVI: VII).

Niatan kencang diayun khilaf dari lahir menuju kematian,
sayang, yang didamba secuil kesenangan (XVI: VIII).

Pitutur ini penggalian diri bukan berasal guru bakal dilupa,
kesadaran bijak seiring matang bebiji merunduk mesra,
serupa ruh padi terkulai ikhlas berisikan nilai (XVI: IX).

Usah khawatir waktu tentunya memberi telempap, segala terlewati menjadi
pelajaran, jangan merugi sebelum menang dari ikhtiar tanpa sesalan (XVI: X).

Jangan terlalu risau mengenai hidup, sebab insan di hadapan semua sama
mendekati kemuliaan, padanan debu Adam berpisah sebelum berjumpa (XVI: XI).

Sesuap nasi liwet seteguk air terasa, tuhan memanjangkan umur kembara
dari ibunda menjangkau ruh tangisan doa, seharga pahit empedu kecewa (XVI: XII).

Sepotong roti di meja, pengemis datang padamu bermata cekung menatap,
getar tubuh menyunggi, hanya iman kuatkan jalan ke taman kerelaan (XVI: XIII).

Suci seimbang pundak bukit lestari di kaki-kaki langit,
tersebab tangisan bayi sanggup menunda bencana (XVI: XIV).

Derita menambah timbangan, berhamburan hawa menutupi cermin hatimu,
perlu kesadaran, tidak hilang pun kurang, selebihnya milikmu diketahui (XVI: XV).

Otak bernalar meremehkan sangatlah tercela dalam penciptaan, maka
rawatlah keindahan dengan melewati daya singgah penyesalan (XVI: XVI).

Pertemuan tiada terkira dijalankan,
seumpama pedagang berhitung ikhtiar sebelum selidiki peluang (XVI: XVII).

Embun meresapi dedaun berasal dentingan perhatian,
kecantikan bumi di antara jagad ayu (XVI: XVIII).

Merangkum impian serupa jaring laba-laba rapuh kesombongan (XVI: XIX).

Manusia mengumpulkan puing kesadaran pagi memaknai hayat
demi pergantian musim dedaun gugur menguncup sunyi (XVI: XX).

Cepat-lambat kehendak menyampaikan asal niat, tubuh sungai
terlentang memuara, malam-siang pertukaran warna busana (XVI: XXI).

Yang sepi tak selamanya tiada, gua menyembunyikan wewarna dan bunyi
dikubur waktu terawat sunyap, sedang kalian hanya menambah-tanya (XVI: XXII).

Perasaan jernih kebaikan patut ditular, dan pohon itu tersanjung oleh
buahnya, yang terjatuh mengikuti arus sungai pencarian (XVI: XXIII).

Ia tuangkan anggur kepastian, lautan berpenghuni perbendaharaan
dan pengetahuan itu, sepercik cahaya lintang pada gelombang (XVI: XXIV).

Yang buta membutuhkan tongkat, yang kehujanan perlu peneduh,
dalam permainan tiada patut mengeluh-mengadu berbenci diri (XVI: XXV).

Gejolak kadang tenang menyungai, bebas berlari sejauh cintamu
berbeban rindu bertalu, dan cemburumu setebal menggebu (XVI: XXVI).

Ia membuka pagar lebar-lebar kala kau menapaki ke petamanan,
pujian seampas manisan, menjemput hiburan berunjung (XVI: XXVII).

Kau cemooh penganutnya pengangguran, dan menikmati
badai persekutuan, merasa kesenanganmu terancam (XVI: XXVIII).

Ia tidak menyukai merayu lewat ancaman, kenapa musti ketakutan?
Tersebab bodoh, geram tidak sanggup mengelaknya (XVI: XXIX).

Insan terancam lagi dungu, tertawa bergandeng pekabutan,
karena hanya genggam kata-kata kosong belaka (XVI: XXX).

Para pengarang yang sanggup melawan birahinya,
meneguk mataair abadi tanpa seteru waktu (XVI: XXXI).

Bulir-bulir mutiara di antara bebatuan kerikil, siapa cemburu akan itu?
Yang berdialog sendiri memiliki kebaikan, menyelinapkan keyakinan dalam hati,
mengawasi kesadaran atas tipu daya persekutuan (XVI: XXXII).

Langit bertingkat bintang-gemintang kuasa tuhan, yang beredar
dicipta musuh peperangan, kehancuran batu berdebu (XVI: XXXIII).

Insan utama laksana embun dedaun, kasihnya penerimaan
sekaligus kesadaran penyangkalan tulang rusuk (XVI: XXXIV).

Adakah lebih menarik dari itu? Kemarahan menjatuhkan diri
ke dasar kehinaan, atas mimpinya melewati dusun terasing (XVI: XXXV).

Ini cermin langka kembara, esok terkuak pada siang melesat (XVI: XXXVI).

Kenapa dikuasai mimpi? Apa merasai tanpa pedulikan diri? (XVI: XXXVII).

Mencipta rahasia dicintai, akan tahu banyak tentang kekasih,
yang menjauh merasa pintar, sewaktu dekat kebodohannya terlihat (XVI: XXXVIII).

Keabadian tembang pujian terkandung dalam perut kesemestaan,
pengetahuanmu memahami gairah bimbang menempa (XVI: XXXIX).

Terkadang dilebihkan mempelajari keberanian berbuncang,
mengarungi keterikatan membeletat sangkar langitan (XVI: XL).

Lama merawat panjang rambutnya, menghidupkan ruh membangkitkan jiwa
ialah sang putra mahkota kegelisahan, berkekasih belumlah matang (XVI: XLI).

Jemari tangan menggapai kabut, mengumbar kesenangan,
dirinya bergentayangan pilu Merbabu, berlalu tanpa teman (XVI: XLII).

Telinga pendendam tersumbat kobaran api unggun tak peduli kepulan,
kelelawar menyerbu senjakala, mencicipi buah bulan sekarat (XVI: XLIII).

Siapa menari dalam pesta menghampiri matahari atas ilalang
pada pantai pengharapan serupa ombak ditumpahkan (XVI: XLIV).

Melangkah ragu keluar gapura, ucapkan salam perpisahan meski sesaat,
bintang-gemintang menghibur tiada cukup menemani kasih damai (XVI: XLV).

Saat tanggalkan satu-persatu keheningan, mata tiada sesal berulang menuruni
waktu luka dada, bumi-langit fajar nyalang terlunta mencari hikmah (XVI: XLVI).

Ke selatan lautan mendidih, ke utara gunung memuntahkan lahar,
ke barat ilalang terbakar halilintar, ke timur menuju jurang (XVI: XLVII).

Segerombol awan menghilangkan hari-hari kebosanan, telinga dihuni pekat,
terus ke mana kebekuan tinta sebelum lanjut bicara? (XVI: XLVIII).

Ketika temukan ruang lupa terlupa, air merangkak di tenggorokan siapa?
Mari menemani kekasih menuntun laku secepat kembalikan dirimu (XVI: XLIX).

Bukankah gulungan ombak tidak menguras lautan? Terimalah
kemalangan tenggelam, jikalau tubuh mati menjelma karang (XVI: L).

Ia merawat tapi kalian mengabaikan,
seolah tak pernah bernafas angin ketertinggalan (XVI: LI).

Sempatkan waktumu merenung di kedung, mata dipaksa,
telinga tuli keburukan, bacalah gelisahmu teramat ganjil (XVI: LII).

Sebongkah batu menggelinding pecah rompal berhamburan,
ada ruang di batas biru merentang keyakinan, tersiarkan wengi terjaga,
mengintai angin menyisir embun membasuh wajah pagi (XVI: LIII).

Yang memastikan tirakat tak berguna ragu kesendirian berbicara,
di masa tak mengenali serupa kemungkinan tiada terjadi (XVI: LIV).

Suwong? Hanya kejernihan hati berpandangan, menggaris tongkat
di pantai merasai butiran garam, kabut singkup senyawa senyumanmu
pada bulir-bulir pasir perasaan lautan (XVI: LV).

Terkantuk hilang sesaat, sukma tetesan air memahat batuan nisan,
tersandang pecinta lelap terbuai, kesunyian bukanlah tiada (XVI: LVI).

Teguklah air tawar mengusir kering dahaga
demi menguap tekanan malam paling cemas (XVI: LVII).

Mengajak cakrawala bincang, mula gelisah lalu kelegaan terasa,
segera tercurah kesetiaan suci dari debu keinginan purba (XVI: LVIII).

Kabut menjelajahi kerajaan langit, menakala tertidur
bermimpi dibangunkan, maka carilah dalam diri! (XVI: LIX).

Malam berbunga mewangi dan bayu berkabar kemasyhuran,
ia mematangkan waktu terus mengarus pengentasan (XVI: LX).

Daya letih meruh menyebarkan debu jiwa beterbangan,
lenyap sudah atas cahaya gapura terbuka lebar (XVI: LXI).

Siang tubuh malam jiwanya, persetubuhan bocah sembari tanah lempung
yang menggelinding sebesar hasrat menuntaskan langkah-langkah (XVI: LXII).

Dedaunan gugur ke pangkuan sungai mencipta ombak, dia mengikuti,
kau tak sabar menanti, olehnya kau sebut kesiaan padahal berisi (XVI: LXIII).

Tak urung kekupu berkecup di pipi sungai, kau fikiran paling dalam,
melayang berkendara bayu tiada kuasa hari-hari dibasahi pagi (XVI: LXIV).

Meronta api hidupmu menari di depan gua kesaksian bernyanyi,
menggiring pada upacara puja, kabut berawan menurunkan hujan (XVI: LXV).

Bacalah petir bersahut kilatan cahaya membelah kulit malam,
hanguskan bebunga getaran dingin-panas mencekam (XVI: LXVI)

; pujangga terlahir berselubung sekar meninggalkan tangkai,
nyanyian angin berdendang ombak melintasi ingatan (XVI: LXVII).

Hampir urat lehermu patah, dahan diterjang topan amarah,
akar-akaran tercerabut, pohon tumbang terkubur dendam (XVI: LXVIII)

; dayadinaya menarik langit ke belahan bumi, secepat terang menggelinding,
bersandar di bawah pohon buah mulia yang tangkainya terpelihara ( XVI: LXIX).

Kesetiaan kelopak kembang bersimpan makna, pada gilirannya sungai
letih merangkak ke tanah, kemarau meninggikan drajat mataair (XVI: LXX).

Tubuh cucuran keringat menebarkan garam, tak habis dikibas bayu lembah,
bukankah pohon jati dikokohkan musim kemarau? (XVI: LXXI).

Panas lahar getaran gersang, seluruh daya tersengat mentari
dan burung gagak di saat senjakala pulang ke sarang mega (XVI: LXXII).

Asap pekat menguasai pandangan, terhuyung derita busur panah,
luka cecerkan darah disapu belerang, tubuh tersungkur hilang kejadian
meninggalkan, maka kemendadakan kudu dikuasai (XVI: LXXIII).

Nasib tak terelak menggaris peta,
hantu berkelana bimbang putus asa (XVI: LXXIV).

Laksana para pemberani mendobrak pintu-pintu langit,
awan bertangga dan segenggam keyakinan dalam dada (XVI: LXXV).

Ternyata ada banyak hal selesai bercermin, setelah menyisir rambut
yang terurai panjang menemui kesabaran (XVI: LXXVI)

; tubuh meruang embun sedingin mematangkan diri (XVI: LXXVII).

Yang lelaku sekali ucap jemarinya menyungai
sebiji-biji jagung diserah petani (XVI: LXXVIII).

Ini gemuruh dada pemahat cemas di balik pisau meruncing,
pepintu daun jendela muda membuka rumput gembala (XVI: LXXIX).

Tiada pendapat terhenti kekasih, lengkungan pelangi
bergerak demi arus rindu perjuangan menemui juntrung (XVI: LXXX).

Hanya kayu penggalan pedang keheningan semata
melepaskan kefahaman, dan tubuh mengikuti awan gugur (XVI: LXXXI)

; daun-daun keemasan, dahan ke ruang sunyi menjelma unggun
menerangi mata kesaksian, sedang penjaga menumbuk lumbung padi
dari sisa-sisa pencarian malam (XVI: LXXXII).

Rukuklah sembahyang, sayap-sayap membentangi lautan
dalam galaksi gagasan do’a berlembing usia (XVI: LXXXIII).

Melesatnya penyadaran menyambar nurani kekasih,
pada tiap tungku asmara ada kantong nyawa (XVI: LXXXIV).

Kupaslah jagung dipersembahkan butiran puja,
ditebarkan di altar wangi tengah malam, berjanji melepaskan duka
usia tubuh berdebu, tiada lagi kulit lusuh menemui ajal (XVI: LXXXV).

Kegilaan mencari keutuhan waktu, setebasan samurai membabat hujan
memabukkan jiwa di panggung mencekam (XVI: LXXXVI).

Mimpi mendamaikan gerimis, kau lunglai di kanvas langit
dalam cahaya matahari berbingkai renungan (XVI: LXXXVII).

Pusaran gelisahmu pudar di puncak waktu, langit terlewati tujuh pintu
misteri, tirai kalbu tersapu bayu-hujan pagi, melepaskan putih salju turun ke wajah
menentramkan mentari dalam pelukan teluk pesonamu (XVI: LXXXVIII).

Sewaktu lahir mengisi keluh, warna-warna ditimbang, insan setahan karang
cadas, sedang ombak memberontak membentuk keyakinan (XVI: LXXXIX).

Kelopak melati menebarkan untaian makna memecah ketinggian hening
menuruni nasib, burung-burung ngelayap, sayapnya disedot rebana cinta (XVI: XC).

Kasihmu tunggang-langgang disabda badai, sejauh benang mengurai
kepergiamu, jangan lebihkan masa penangguhan, tidak disangka
dalam genggaman tangannya bersimpan logam mulia (XVI: XCI).

Seputih kejujuran kertas pada pantai para penyair, pengorbanannya
menyembul keluar, memberi lapar pagi bagi pejalan kaki berwajah batu (XVI: XCII).

Para peminta diberi pintu kabut, ketuklah bathinnya berhembusan bayu,
agar anggrek terkalungkan pada lehernya, menarik nafas pelahan (XVI: XCIII).

Kepada tapakan pulang, pepucuk cemara ditarik angin berulang,
lambung kembara mendentang, menempuh masa kelesuan (XVI: XCIV).

Meminum air terjun sakitnya berkeringat dendam,
sedari pendakian gunung masa kelam (XVI: XCV).

Waktu terselip di jemari, menyibak ilalang memeluk senjakala,
bunga renungan di ufuk penyadaran meneguk niatan (XVI: XCVI).

Di antara gemah gemerlap malam, kerlingan doa atas tarian memuncak,
berasal paletmu berlatih sketsa (XVI: XCVII).

Sebelum kuas di kanvas mengalirkan rindu, kau terpanggil mendapati
prahara cermin, andai racunmu menebarkan duka lain (XVI: XCVIII).

Dalam pedati penyesalan menuju akhir,
tertimpa putus-asa atas ketinggian penciptaan (XVI: XCIX).

Hawa pagi mengharap riuh pasar terjaga angin keprasahajaan,
mata merangsek beling, terpantul kangen embun dedaun (XVI: C).

Lentik jemari penari tebarkan pesona di lekuk kelembutan
kembang, yang bersimpan kilatan pedang pemikiran (XVI: CI).

Di tengah siang, warna hening langit berawan kembara,
seekor burung terbang ke arah timur bersayap malam (XVI: CII)

; kekasihnya menanti pekik panggilan,
kala terpetik kasih digayuh kalbu sayang (XVI: CIII).

Menggapai lembah, pesawahanmu mengantar bau pepadian,
harum kearifan ditarik berulang para pencari keutamaan (XVI: CIV).

Hasrat sambilalumu gelayutan di jendela bayu tamparan waktu,
kalbu diperoleh gemintang di malam-malam sahaja (XVI: CV).

Tertangkap alunan membalik manunggal,
mengelus kulit perasaan bergetaran ketakutan (XVI: CVI).

Wabah penyakit menghilang, sembuh jikalau
meminum empedu ialah para lelaki di dunianya (XVI: CVII).

Habis ocehan-umpatan tersebab mulutnya dikesalkan demam,
ia mempunya kisah meredam amarah sebening telaga jiwa (XVI: CVIII).

Cukupkan agar tak terbebani rugi dalam pertaubatan,
menyetujui lahir keterbatasan, merakit reranting jaman (XVI: CIX).

Senyum manis tertangkap bibir merekah, menghapus keraguanmu
melipat angan menemukan cahaya kepada reruntuhan malam (XVI: CX)

; mengisi usia kenangan, seumpama sungai mengaliri kerikil (XVI: CXI).

Memanggil ruh melepaskan semu diserah, menambah pedas matamu
diteruskan merompalkan dada, jantung terjal bunga karang pecah (XVI: CXII).

Ia kau pandang lelaki berlari,
manakala bulan di sampingmu memaknai bijian gemintang (XVI: CXIII).
------------------

*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito