Imamuddin SA
Tak ada salahnya jika hari ini aku menghampiri adikku. Aku yang kebetulan baru pulang dari pasar menemui sahabat karibku. Ah tidak, aku lupa. Ia bukan sekedar sahabat karib. Tetapi saudara abadi. Saudara yang akan bersatu di kehdupan esok hari.
Ini sudah jadi kebiasaanku. Setiap pasar Pahing dan Wage, aku kerap menemuinya. Itu jika aku tidak ada aktifitas lain di rumah. Biasalah, ada saja yang aku omongkan dengannya di pasar. Dari masalah pribadi. Dagangan. Pergolakan hidup. Agama. Dan bahkan ketauhidan. Yang paling senang adalah ketika aku memperhatikan karakter pembeli yang cukup variatif. Aku bisa mempelajari psikologi seseorang dari caranya membeli dan menawar barang dagangan.
Aku yang masih awam akan hal itu, mencoba menimba darinya. Meskipun aku sudah lulusan S1, tapi aku masih membutuhkan pengetahuan lain yang belum pernah aku dapatkan di bangku perkuliahan. Dan belajarku hanya pada seorang lulusan SMA. Atau bahkan tidak jarang aku belajar pada orang yang tidak pernah sekolah. Toh pada dasarnya tidak hanya kampus atau sekolah saja tempat menimba pengetahuan. Pasar pun bisa jadi. Atau lokalisasi juga bisa. Tinggal aku, bisa tidak memanfaatkannya dengan sebaik mungkin? Aku juga yakin, orang pandai itu tidak hanya dosen. Tidak hanya guru di sekolah. Orang pandai itu relatif. Tentunya disesuaikan dengan bidangnya masing-masing.
Dalam hati kecilku, aku tidak ingin menimba pengetahuan dari orang pandai. Sebab aku takut dipinteri mereka. Aku sudah bosan. Aku telah nekek dipinteri orang. Meski aku waktu kuliah kerap menimba pengetahuan dari dosen-dosenku yang pandai. Tapi tidak usa dibahas, kenapa aku kok tetap kuliah? Aku ingin menimba ilmu dari orang yang mengerti saja. Biar aku tak dipinteri orang lagi. Dan aku telah menemukan orangnya. Sahabat karibku. Eat…maaf lupa. Saudara abadiku. Ia terlalu sempurna di mata hatiku. Ia tak pernah membohongiku. Apalagi minteri aku. Tentu tidak. Yang aku herankan adalah kata-katanya. Semua yang diujarkanya benar. Tak pernah meleset dari kejujuran realitas.
Saat itu matahari berada tepat di atas ubun-ubunku. Bayangan tubuhku pun tidak terlukis olehnya. Aku berhentikan motor bututku di depan sebuah sekolah yang cukup besar di daerahku. Di bawah rindang pohon yang sesekali dihempas angin yang cukup kencang. Aku silakan kaki kiriku di jok motorku. Dan yang satunya aku tambatkan di tanah. Kuambil hand phoneku dari saku celana. Kubuka. Ku cari nama adikku. Pun kukirimkan pesan untuknya.
“Apa pean mau pulang sekolah bareng aku? Pean dimana? Aku tunggu di sebelah barat kantor. Di tepi jalan raya.”
Dasar sial. Aku sudah cukup lama menunggu adikku tapi belum juga ada kabar darinya. Aku perhatikan hand phoneku berkali-kali tetap juga tidak ada pesan masuk untukku darinya. Aku sempat mengeluh. Dan ingin meninggalnya pulang. Tapi beberapa saat kemudian, tubuhnya mengisi kehampaan kedua mataku. Ia perlahan mendekatiku.
Aku sedikit heran dan aneh saat melihat raut mukanya. Tidak seperti biasanya yang selalu menunjukkan keceriaan. Ia kecut dan berlukiskan kesedihan. Dari jarak yang cukup dekat ia mengeluh padaku.
“Cak, hand phonku disita guruku!” berat terbata tuturnya.
“Kok bisa begitu? Memangnya kamu pakai hand phone di kelas?” tanyaku dengan pelan. Aku tak mau menambahi kesedihanya saat itu.
“Tadi aku pas buka pesan dari pean. Dan ingin membalasnya. Cak, bagaimana nih?” rengeknya manja.
“Kamu temui saja guru yang merampas hand phonemu sekarang juga. Coba kamu sedikit mengiba kepadanya. Barangkali akan lain ceritanya.”
“Aku tidak berani Cak, Takut!”
“Memangnya apa yang mesti kamu takutkan? Lekas masuk kantor. Dan temui dia!” desakku tegas.
Memang hal itu segaja aku lakukan kepada adikku. Karena aku punya tujuan lain di balik semua itu. Aku ingin adikku berani menghadapi siapa pun demi pemecahan masalah. Harapanku adikku agar bisa membebaskan jiwanya dari segala tekanan ketakutan dalam diri pribadinya. Paling tidak dia bisa menuangkan aspirasinya. Adapun hasilnya belakangan. Entah berhasil mengambil hand phone atau tidak? Yang penting keberanian harus tumbuh di dalam dirinya.
Dan itu benar. Atas desakku, ia memberanikan diri menghadap guru itu. Meskipun dengan perasaan gontai. Laksana nyiur melambai. Sejenak kuperhatikan langkah kaki adikku. Aku pun merasa iba padanya. Aku merasa semua ini juga tidak lepas dari kesalahanku. Mengapa aku menghubunginya saat itu? Kenapa tidak aku tunggu saja ia sampai keluar dari lokasi sekolah? Ah semuanya tidak perlu ada penyesalan. Sesuatu yang telah terjadi biarlah terjadi. Biar jadi kenangan yang patut dipelajari. Berorientasi saja kedepan. Semoga adikku mengantongi keberhasilan.
Dari kaca jendela yang putih bening, kuterawang adikku dari luar. Ia terlihat gugup menyampaikan maksudnya kepada guru itu. Sesekali ia mendongakkan wajahnya ke arahku yang berada di motor. Sungguh tak kuasa aku melihatnya. Entah, di dalam kantor itu dia ngomong apa saja. Aku tidak terdengar. Yang jelas adikku terlihat begitu mengiba. Dan guru itu bersikap masa bodoh.
Adikku keluar dari kantor itu membawa hasil yang hampa. Ia tidak dapat mengambil hand phonenya kembali. Wajahnya terlihat semakin muram. Purnamanya tak lagi mempesona. Ia semakin bingung di buatnya.
“Bagaimana, dapat hand phonenya?”
“Tidak Cak! Tetap tidak boleh. Aku bingung.” lirih keluhnya.
“Tadi dirampasnya di mana?”
“Di jalanan. Tepatnya di depan kelas. Waktu itu buyaran sekolah. Dan tema-temanku sudah pulang semua. Tinggal beberapa orang saja. Aku berjalan dengan tiga orang temanku yang lain dan mencoba mebalas pean. Tapi tiba-tiba……? Aku takut dimarahi bapak dan ibu di rumah! Bagaimana Cak?”
“Ya sudah. Aku coba memintanya kembali. Barangkali bisa. Tapi tidak janji. Sekarang kamu tunggu saja di sini.”
Hatiku tak kuasa melihat adikku yang terus mengiba kepadaku. Aku pun menurunkan kakiku. Dan beranjak dari motorku. Namun aku juga tahu jika itu sulit buatku. Aku harus berusaha demi adikku. Hasilnya terserah. Nihil atau………! Yang penting berusaha dulu.
Aku masuk ke kantor. Menemui guru itu. Aku mengutarakan tujuanku menghadap padanya. Aku mengulas kembali perkataan adikku beberapa waktu yang lalu yang sempat terujar kepadanya.
“Pak, maaf. Saya sejenak mengganggu istirahat siang Bapak kali ini.”
“Ya, tidak apa-apa.” jawabnya ketus seolah telah tahu maksud kedatanganku. Mungkin saja ia telah tahu keberadaanku sebelumnya.
“Saya ingin konsultasi masalah hand phone adik saya yang bapak sita beberapa saat yang lalu.”
“Benar, hand phonenya memang saya sita. Memangnya kenapa?” sekali lagi ketus jawabnya.
“Saya mohon dengan amat sangat kepada bapak, agar bapak berkenan memberikanya kembali.” ibaku padanya.
“Tidak bisa Mas. hand phone yang sudah disita tidak bisa di kembalikan. Ini sudah jadi kesepakatan dalam rapat wali murid.”
“Memangnya kesepakatanya bagaimana?” tanyaku mendesak.
“Setiap siswa tidak diperkenankan membawa hand phone ke sekolah. Sebab mampu mengganggu konsentrasi belajarnya. Dan ini sudah kami sosialisasikan kepada siswa juga” jawab tegasnya.
“Maaf Pak, saya kurang paham jika ada kesepakatan semacam itu. Tapi saya mohon belas kasih Bapak untuk kali ini saja, Bapak berkenan memberikan hand phone itu.” ujarku semakin merendahkan diri.
“Tidak bisa. Ini sudah paten dalam keputusan rapat.”
“Saya mohon Pak. Saya bertanggung jawab atas semuanya. Saya jamin adik saya tidak akan membawa hand phone ke sekolah lagi. Jika adik saya melanggar untuk yang kedua kalinya, semuanya terserah Bapak. Lagi pula adik saya masih baru di sekolah ini. Saya mohon kali ini beri kesempatan.”
“Tetap tidak bisa!” bentaknya keras.
“Tolong beri keringanan untuk adik saya yang masih baru di sini.”
“Masih baru saja sudah berani melanggar peraturan. Apalagi kelak!” sekali lagi ia membentak dengan keras. Penuh emosi.
“Justru masih baru itu Pak, dia belum paham akan adanya peraturan semacam itu. Saya berharap ada sedikit toleransi dan belas kasih dari Bapak.”
“Tidak bisa! Sekali kesepakatan tetap kesepakatan. Semuanya harus dijalankan dengan seksama. Tidak ada toleransi. Setiap hand phone yang telah disita akan dihancurkan. Titik!”
Aku yang dulu juga alumni sekolah itu, telah sedikit banyak paham karakter guru tersebut. Ia memang keras kepala. Kadang juga egois. Dan suka memaksakan kehendak pribadinya. Ia tidak bisa menempatkan porsi yang pas dengan situasi dan kondisi siswanya. Ia seolah berpandangan bahwa konsepnyalah yang paling benar. Dan paling berhasil jika diterapkan kepada semua siswa.
Pernah suatu ketika ia menyumpah teman sekelasku. Menyumpah agar temanku itu setiap harinya wajib belajar tidak kurang dari empat jam. Sementara ia sendiri tidak tahu, bagaimana kondisi keluarga temanku. Sungguh memprihatinkan. Semua kebutuhan keluarga harus ia sendiri yang menanggungnya. Begitu juga biaya sekolah adik-adiknya. Sehabis sekolah ia bekerja bangunan paruh waktu. Dan kalau malam ia juga sempatkan diri untuk ikut bekerja di penggiligan padi. Bagaimana bisa belajar……?
Anehnya, meski sudah dijelaskan kondisi temanku saat itu, guru tersebut tetap saja memaksakan kehendaknya. Wajib belajar empat jam. Padahal tidak didoktrin semacam itu pun temanku setiap hariya sudah meluangkan diri untuk belajar. Walau hanya sebentar. Namun hari itu memang naas baginya sehingga ia disumpah sedemikian rupa. Kesalahanya hanya sederhana, ia ngantuk waktu jam pelajaran. karena semalam suntuk ia bekerja di penggilingan padi. Dan pas ditanya masalah belajar, ia jawab; “Semalam saya tidak belajar Pak!”.
Itulah sedikit kesalahan temanku. Tiap pelajaran guru itu, temanku ditanya terus masalah sumpah belajar empat jam. Temanku memang polos. Ia tidak bisa mendustai diri sendiri. Apalagi orang lain. Untuk menghindari hukuman atas pertanyaan itu, ia membuat tulisan dalam buku pelajaranya; ”Aku sudah belajar empat jam”. Pas ditanya; “Apa kau kemarin sudah belajar empat jam penuh”? Ia selalu membaca tulisan dalam bukunya itu. Dan menjawab; “Sungguh Pak, aku sudah belajar empat jam. Ini benar”.
Sungguh ia sangat cerdik. Maksudnya “ini benar” adalah benar menurut tulisan yang ada di bukunya. “Aku sudah belajar empat jam”. Bukan benar secara realiats. Ia belajar empat jam dalam keseharianya. Ia memang tidak bohong. Yang salah gurunya. Ia salah tangkap dan salah paham akan maksudnya. Ia pun lolos dari hukuman yang lebih berat dari guru itu. Guru yang sejak kecil selalu dalam kecukupan dan kemewahan. Tak pernah merasakan kesusahan. Waktu itu aku juga sempat mengumpat dalam batinku. Andai saja Tuhan suatu saat menjadikanya susah dan hidup dalam kekurangan, mungkin ia baru sadar akan realitas kehidupan ini.
Kembali pada persoalan hand phone adikku. Guru itu omonganya sombong benar. Baginya hand phone seolah-ilah tak berharga. Mentang-mentang kaya, ia main hancurkan saja. Melihat gaya bicaranya yang semakin congkak, hatiku tergigit. Darahku mendidih. Detak jantungku mengeras. Dan mataku memerah. Aku larut dalam emosiku. Aku terpancing dengan nada bicara yang sedikit keras.
“Jika keputusan Bapak demikian, tidak apalah. Saya tidak akan menuntut banyak dari bapak. Tapi perlu Bapak ketahui bahwa adik saya tidak mengaktifkan hand phone dalam ruang kelas. Toh itu dilakukanya ketika jam sekolah sudah usai. Dan semua siswa sudah pada pulang. Jadi, seharusnya dia sudah terlepas dari aturan tersebut. Saya juga lulusan sekolah ini pak. Dulu sewaktu sekolah saya sempat dibilang oleh salah seorang guru bahwa saya adalah orang bodoh dan katrok. Sebab saya pada waktu itu diperintahkan mengaktifkan hand phone di kelas, saya tidak bisa. Katanya saya tolol. Dalam era global mengoperasionalkan hand phone saja tidak bisa. Tapi nyatanya sekarang bagaimana. Hand phone sudah menjamur dan menjadi salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, malah dikekang pemakainya. Ini sungguh perbuatan munafik. Ini perbuatan orang tolol.”
“Tapi ini beda mas. ini sudah permasalahan lain.” selanya membela.
“Saya tahu pak tujuannya. Sekolahan ini tidak ingin siswanya membudidayakan pornografi dalam hand phonenya bukan? Lihat Pak, hand phone adik saya. Mana bisa mengakses gambar-gambar porno. Harga hand phonenya saja tidak lebih dari dua ratus ribu perak Pak. Coba pikir! Dan lain kali kalau menentukan sanksi itu seharusnya disesuaikan dengan permasalahanya Pak. Tidak main pukul rata seperti ini.”
“Bukan itu masalahnya Mas. Tapi ini demi lancarnya proses pembelajaran di kelas.” jelasnya lirih.
“Apalagi hal itu Pak. Itu sungguh imposibel. Bisakah bapak menjamin, dengan tidak berhand phone siswa menjadi pandai? Tidak mungkin bukan? Sebab semuanya itu bertumpu pada pola pikirnya. Serta bagaimana cara pengolahanya dalam realitas kehidupanya. Kapasitas otak manusia itu tidak sama Pak. Di dalamnya tertanam bakat-bakat yang berbeda-beda dalam setiap individu. Tugas guru adalah mengantarkan anak didiknya menggapai cita yang sesuai dengan bakatnya. Guru adalah sugestor. Adik saya juga tidak mengaktifkan hand phonenya saat proses belajar mengajar. Bapak tadi kan menyitanya saat ia dalam perjalanan pulang, bukan? Jadi apanya yang harus dikekang dalam pribadi adik saya? Apanya Pak? Toh membuat aturan itu seharusnya tidak serta merta langsung difonis dihancurkan seperti itu Pak. Tentunya harus melalui tahap peringatan terlebih dahulu.” desakku bertubi-tubi.
“Apapun alasanya, Mas tidak bisa mengambil kembali hand phone adik Mas. Hand phone harus dihancurkan. Ini sudah aturan. Dan saya konsekuen dengan aturan yang telah disepakati. Ini tidak bisa dimanipulasi.”
“Tidak bisa dimanipulasi kata Bapak?”
“Ya, benar!”
“Dulu Pak, ketika saya dan teman-teman yang lain, Bapak perintahkan mengerjakan tugas pribadi Bapak di ruang ini. Tepatnya di meja itu. Bapak malah menyediakan kami sebungkus rokok. Padahal Bapak tahu bukan, larangan merokok telah tergantung di papan atas dalam aturan sekolah untuk siswa. Bapak juga sempat bilang kalau rokok itu Bapak sediakan biar menggarap tugasnya lebih bersemangat. Ini aneh dan munafik bukan? Ini hanya manipulasi belaka bukan? Ini aturan yang mana Pak?”
“Tapi……” sedikit menyela.
“Aturan mana yang harus dipegang Pak? Jika dibandingkan dengan kesalahan adik saya, ini tidak sebanding dengan apa yang Bapak terapkan kepada saya dan teman-teman waktu itu. Justru Bapak yang seharusnya dikenakan sanksi yang lebih berat.”
“Kau………!”
“Saya sudah memohon belas kasih Bapak. Dan mengiba dengan begitu rendah diri. Tapi bentakan yang justru Bapak berikan. Ingat Pak, Tuhan saja pasti memberi cinta kasih-Nya kepada hamba-Nya yang telah memohon dengan penuh hikmat. Dan rendah diri. Tetapi mengapa tidak dengan Bapak? Kecongkakan diri yang Bapak berikan.”
“Apa maksudmu? Kau mengataiku congkak? Jangan bandingkan masalah ini dengan Tuhan. Ini urusan kemanusiaan. Ini urusan siswa dengan pihak sekolah.” tanyanya kaget.
“Tuhan memerintahkan agar manusia senantiasa memberi cinta kasih, kemurahan, dan pintu maaf kepada sesamanya. Tuhan yang maha segala-galanya saja tidak pernah menunjukkan kecongkakannya. Mengapa manusia yang hanya sedikit dikaruniai cahayanya saja sudah berani menunjukkan kecongkakannya? Dan mengapa hal ini juga tidak boleh disangkut-pautkan dengan Tuhan, Pak? Jangan-jangan dalam diri Bapak sudah tidak ada lagi nama Tuhan! Dengan sejenak mengatakan hal itu, Bapak telah melupakan perintah agama. Dan bahkan nama Tuhan.”
“Coba kau ulangi sekali lagi kata-katamu.”
“Tentunya sebagai guru agama, Bapak juga tahu bahwa Tuhan mempunyai sifat Welas Asih. Pemurah. Pemaaf. Pengasih. Dan Penyayang. Semua sifat itu ternyata tidak ada dalam diri Bapak. Berarti eksistensi Tuhan tidak hadir dalam diri Bapak. Benar bukan? Dengan menanggalkan sifat-sifat itu, sama halnya Bapak dengan meninggalkan Tuhan. Bapak telah lalai dengan Tuhan. Tuhan tidak hadir dalam diri Bapak. Dan Bapak pasti juga tahu jabatan apa yang disandang bagi orang yang semacam itu……”
“Kau berarti mengataiku kafir? Atheis? Kau yang kafir.” bentaknya penuh dengan emosi.
“Tidak Pak. Aku tidak mengatai Bapak demikian. Ini sebatas wacana. Tidak berhak seseorang mengafirkan sesamanya. Bapak pikirkan saja. Instropeksi diri lebih utama. Renungkan dengan baik Pak! Menudinglah pada diri sendiri jangan kepada orang lain. Pasti ketemu jawabannya. Dan bukannya saya mendurhakai Bapak sebagai guru saya. Apalagi menggurui. Saya hanya meluruskan permasalahan Pak.”
“Aku setiap hari sholat. Atheis itu orang yang tidak sholat! Karena tidak sholat berarti dia tidak ingat dan tidak pernah menghadapkan diri kepada Tuhan. Jadi ya……”
“Bapak salah besar kalau begitu. Toh nyatanya Bapak juga belum melaksanakan sholat dengan hakekat sholat yang sebenarnya. Ritual sholat yang Bapak lakukan hanya sebatas kulitnya saja. Mana eksistensi sholat Bapak yang bisa mencegah perbuatan keji dan munkar? Mana kerendahan hati yang merupakan buah dari pelaksanaan sholat? Sholat itu menghadapkan diri dengan sepenuh hati kepada Tuhan, Pak. Bukan sekedar jungkir balik gerakan tanpa makna. Dengan melakukan itu, Bapak samahalnya dengan menipu Tuhan. Bapak hanya sekedar pura-pura ingat Tuhan. Dan pura-pura menghadap Tuhan. Ini bisa jadi manipulasi manusianya sendiri dengan jalan pembodohan terhadap diri sendiri dan juga Tuhan. Tapi ingat Pak, Tuhan tidak dapat dibodohi.” potongku dengan tegas.
“………” ia diam terpaku.
“Maaf Pak, jika Bapak benar-benar telah menghadapkan diri kepada Tuhan, kemana letak posisi penghadapan diri Bapak yang sebenarnya kepada-Nya?” sedikit tanyaku.
“Ke kiblat!” jawabnya tegas dan pasti.
“Di mana kiblat Bapak?” tanyaku memburu.
“Di………” ia tidak meneruskan jawabanya. Diam memikirkannya.
“Meski tidak Bapak ungkapkan, saya tahu jawaban Bapak. Itu hanya simbol kesatuan dan kebersamaan lahiriah manusia. Tuhan tidak ada di tempat itu. Begitu juga dengan gerakan sholat Pak. Itu juga hanya sebatas simbol untuk kerukunan dan kebersamaan antar manusia. Simbol itu aktualisasinya lewat penerapan perilaku sehari-hari dalam lingkungan bermasyarakat. Sebenarnya simbol lewat gerakan dan bentuk fisik itu penerapannya pada ruhaniah manusia. Itu hanya sebatas pengingat laku batin. Selaraskan antara yang lahir dan yang batin.”
“Simbol katamu! Lantas bagaimana pemaknahannya?”
“Bapak renungkan saja tiap gerakan itu. Saya tidak banyak waktu untuk mengungkapnya. Lagipula Bapak guru saya. Tentunya Bapak lebih pintar dari saya. Apalagi agama adalah bidang Bapak yang selama ini telah tertekuni. Maaf Pak, saya pamit. Terima kasih atas penjelasan dan sambutan Bapak. ” jelasku mengakhiri pembicaraan.
Amarah lahan-perlahan aku redam. Aku berpaling dari guru itu. berjalan menuju pintu. Lantas beranjak menghampiri adikku yang telah lama menunggu di motorku. Sungguh, tidak ada ramah-tamah yang mengenakkan kepadaku. Saat menemui guru itu tadi, aku tidak dipersilahkan duduk di kursi. Aku berdiri sampai pembicaraan usai. Padahal semua tempat duduk di ruang guru itu kosong. Ah, itu bagiku tidak masalah.
Adikku memandangi langkahku yang semakin mendekatinya. Hatinya penuh dengan tanya. Jantungnya bergemuruh menyesakkan jiwanya. Sayu sapanya hinggap di telingaku.
“Bagaimana Cak, dapat hand phonenya?”
“Tidak bisa diambil!”
“Lantas bagaimana Cak? Aku pasti dimarahi bapak di rumah. Cak……?” ujarnya terbata. Hampir meneteskan air mata.
“Ya, kita pulang saja. Paling-paling dimarahi hanya beberapa menit saja. Paling lama ya sehirian lah.”
“Cak……!” ungkapnya penuh ketakutan.
Kunaiki motor bututku. Sambil meghimbau adikku agar segera naik. Dan menabahkan hati. Menegarkan jiwa untuk menghadapi amarah bapak di rumah. Naik lah ia. Aku pun memacu motorku. Aku beranjak pulang.
Kehawatiran adikku ternyata benar terjadi. Sesampainya di rumah, aku ditanya orang tuaku masalah perangai adikku yang sedikit aneh. Dan menunjukkan kesedihan yang begitu kuat. Aku yang tidak bisa membohongi diri sendiri, pun menceritakan kejadian yang sebenarnya menimpa adikku. Awalnya orang tuaku mengira, adikku mengalami kecelakaan. Mereka hawatir betul kepadanya. Tapi setelah aku jelaskan semuanya, kehawatira itu seketika berubah menjadi amarah yang luar biasa. Mereka menumpukkan semua kesalahan kepada adikku. Maklum, orang tuaku marah karena hand phone yang disita itu bukan milik pribadi adikku. Hand phone itu milik pamanku yang beberapa hari lalu dipinjam adikku. Sebab baru beberapa hari ini, adikku bisa mengoperasionalkan hand phone. Wajar kalau orang tuaku sedikit emosi. Dan naik darah.
Adikku matanya nanar. Dan lari ke kamarnya. Melinangkan air mata. Menghujankan kesedihanya.
Rabu, 20 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar