AS Sumbawi
Bagaimana jika anda mengetahui rahasia orang lain? Apa yang akan anda lakukan? Barangkali kita akan sepandangan bilamana untuk sementara mendiamkannya sembari menunggu apa yang akan terjadi. Nasehatku, kita tak boleh sembarangan mengungkapkannya. Akan menjadi sesuatu sia-sia bila kita begitu saja mengobralnya. Tidak memperdulikan waktu yang tepat. Karena bagaimanapun juga rahasia tersebut bisa menjadi sesuatu sangat berharga. Bisa menjadi sebuah senjata untuk merobohkan lawan, jika kebetulan rahasia tersebut mengungkapkan keburukan. Namun, jika kebaikan yang termuat di dalamnya, akan menjadi bumerang bagi diri kita sendiri tentunya bila diungkapkan dengan ceroboh. Suatu hal yang selalu kucamkan dalam benakku bahwa hanya orang-orang yang pandai memanfaatkan kesempatan, beruntung di dunia ini.
Ngomong-ngomong soal rahasia, sekarang ini aku mengetahui rahasia seseorang. Dia bernama HeniSaraswati. Dia tinggal di rumah nomor 46 di jalan P. Diponegoro. Setiap minggu sekali aku mengantar surat kepadanya. Dari tulisan yang tertera di bagian belakang amplop, aku tahu bahwa selama ini dia saling berkirim surat dengan seorang perempuan bernama Dewi Hartati yang tinggal diluar kota. Entah, siapa dia? Namun, dilihat dari intensitas kiriman surat tersebut, sepertinya mereka berdua sangat akrab. Bersahabat.
Pada awalnya, perjumpaanku dengan Nyonya Heni berlangsung sebentar, seperti layaknya sebagai tukang pos dengan si penerima surat. Aku segera berlalu setelah menyerahkan surat yang kemudian dibalas dengan ucapan terima kasih yang meluncur dari bibirnya memerah. Namun setelah beberapa kali berjumpa, ada sesuatu yang muncul dalam diriku tanpa kusadari menyuruh memperhati kan dirinya lebih dari biasanya. Dari apa-apa yang kutangkap, aku pun menyimpulkan bahwa Nyonya Heni berumur ant-ara 35 sampai 40 tahun. Masih terlihat cantik dan sehat. Sikap dan dandanannya menunjukkan bahwa dia perempuan yang matang. Sungguh menawan.
Setiap kali mengantar surat kepadanya, aku tak pernah melihat seorang laki-laki di rumahnya, kecuali seorang pembantu perempuan yang sudah tua. Dari situ aku pun menduga-duga status dirinya. Perawan tua? Janda? Istri? Atau perempuan yang disebut ‘mandiri’?
Suatu hari Nyonya Heni memanggil ketika aku hendak memasuki halaman rumahnya.
“Adakah surat buat saya?” katanya tersenyum.
“Memang ada, Nyonya,” balasku sembari mengambil surat dari tas.
Aku kemudian melangkah menuju beranda di mana Nyonya Heni sudah berdiri di sana. Kualihkan pandang mata-ku dari sorot matanya.
“Ini sudah saya tunggu,” katanya setelah menerima surat dari tanganku. Kami saling tersenyum. Sekali lagi kualihkan pandang mataku dari sorot matanya yang menawan itu.
“Silahkan duduk. Barangkali segelas minuman dingin akan membantu menghapus dahaga anda,” katanya.
Di beranda kami pun duduk di kursi berhadapan. Kulihat di meja sebuah majalah terbuka menunjukkan halaman cerpen berjudul ‘Impian Sasa’ dengan gambar seorang perempuan berjalan menuju kemegahan kota. Sebentar kemudian dia membuka amplop. Gerak-geriknya membikin aku terus mengawasinya. Dari halaman rumahnya yang rindang kurasakan udara berhembus segar.
“Sebentar,” katanya kemudian melangkah ke dalam.
Kuperhatikan dia sampai melewati pintu. Kemudian kualihkan perhatianku pada bangunan rumahnya yang berukuran sedang namun tertata indah. Pilihan warna keramik pada dinding rumah yang serasi dengan aneka bunga dalam pot yang segar terawat. Juga keramik pada lantainya. Sungguh orang lain akan kerasan dengan keadaan rumahnya.
Seorang pembantu perempuan datang dengan segelas minuman dingin berwarna merah dan setoples makanan ringan. “Silahkan,” katanya kemudian berlalu kembali. Segera kuteguk minuman itu.
Sudah lima belas menit aku menunggu, namun Nyonya Heni tak keluar-keluar juga. Dalam gelisah aku sesekali berdiri melihat ke arah dalam rumahnya. Sementara di dalam tas masih ada puluhan surat harus kusampaikan pada alamatnya masing-masing.
Tiba-tiba aku melihat pembantu itu berjalan dari samping rumah. Tangannya membawa tas dari plastik.
“Mbok…,” panggilku.
“Mbok mau ke mana?”
“Mau pergi ke pasar. Ada apa, Tuan?”
“Nyonya kok tidak keluar-keluar, Mbok. Ke mana, ya?”
“Nggak tahu, Tuan. Barangkali ada di kamarnya.”
Sejenak dengan gelisah kuarahkan mataku ke bagian dalam rumah.
“Kalau begitu saya pamit dulu, Mbok. Bilang pada Nyonya bahwa saya harus segera mengantar surat.”
“Baiklah, Tuan,” katanya. Aku bergegas pergi. **
Hari besoknya aku mengantar surat yang beralamat di jalan P. Diponegoro No. 50. Ketika lewat di depan rumah Nyonya Heni kuarahkan pandang mataku mencarinya. Tetapi, dia tak nampak duduk membaca di beranda. Pintu rumahnya pun tertutup. Maka aku pun terus saja. Sebenarnya kalau dia ada, aku ingin mampir dan mengucapkan terima kasih atas segelas minuman dingin yang diberikannya.**
Sudah tiga minggu ini tak ada surat yang harus kuantar untuk Nyonya Heni. Padahal biasanya setiap minggu pasti ada sebuah surat untuknya dari Dewi Hartati. Meskipun begitu, setiap hari aku selalu lewat di depan rumahnya. Aku ingin bertemu dengannya. Pertemuan terakhir dengannya membuat diriku merasa tak enak. Di samping itu, aku merasa kangen juga tak melihat dirinya. Namun seperti hari-hari sebelumnya, hari itu pun pintu rumahnya dalam keadaan tertutup. Dan tentu saja aku kecewa.
Hampir tiap malam aku selalu terbayang akan dirinya. Membuatku gelisah. Pernah suatu kali aku mencoba mengetuk pintu rumahnya, namun yng kudapatkan hanya desau angin yang berhembus dari halaman rumahnya. Apa yang tengah terjadi dengan dirinya? Apakah dia sedang pergi jauh? pikirku sendiri. **
Siang itu aku lewat di jalan P. Diponegoro. Di tas, ada sebuah surat yang harus kuantarkan ke alamat jalan ini. Bukan untuk Nyonya Heni, melainkan untuk seseorang yang tinggal di rumah dengan nomor 99. Ketika mendekati ru-mah Nyonya Heni, kuarahkan mataku ke rumah itu. Tentu saja aku tersontak gembira saat menemukan Nyonya Heni duduk di beranda sembari membaca. Tanpa kusadari dada-ku berdebar-debar. Mendadak aku menjadi ragu untuk bertamu. Kemudian saat lewat di gerbang halaman rumahnya, aku memutuskan terus berlalu dengan purapura tidak tahu. Tiba-tiba kudengar panggilan.
“Pak Abdul.” Aku menoleh. Kulihat Nyonya Heni tersenyum menatapku.Segera kubelokkan sepeda motor dinasku menghampirinya.
“Pak Abdul, adakah surat buat saya?” katanya sembari tersenyum. Meskipun aku tahu takada surat untuknya di dalam tasku, aku tetap pura-pura mencarinya.
“Sudah lama sahabat saya tidak mengirim surat buat saya?” katanya dengan tersenyum. Kurasakan gerak-gerikku kikuk sekali. Dadaku pun berdebar kencang. Nyonya Heni begitu menawan.
“Maaf Nyonya. Tidak ada,” kataku. Kulihat di wajahnya melintas kecewa.
“Baiklah kalau begitu. Tapi, barangkali istirahat sebentar sembari menikmati segelas minuman dingin akan membantu menghapus rasa haus dan lelah di siang yang gerah ini,” katanya.
“Ehm, terima kasih. O, ya, saya minta maaf, kemarin lalu pulang tanpa pamit kepada Nyonya.”
“Ah, tidak. Sebenarnya saya yang harus minta maaf. Membuat anda terlalu lama menunggu,” katanya tersenyum. Sejenak kami terdiam.
“O, silahkan duduk,” katanya. Sebentar kemudian kami sudah duduk berhadapan.
“Bagaimana kabar hari ini, Pak Abdul,” katanya.
“Baik-baik saja. Nyonya?”
“Beginilah.”
Sejenak kami terdiam. Ketika mata kami saling berpandangan, aku segera menundukkannya. Aku tak sanggup menatapnya. Matanya kurasakan seakan menerobos dadaku. Hatiku berdebar-debar.
“Anak dan istri?” katanya.
“Tak ada, Nyonya. Istri saya meninggal tanpa memberikan seorang anak kepada saya.”
“O, maaf.”
“Tak apa, Nyonya.” Kami terdiam.
“Nyonya sendiri?”
“Ehm, kurang lebih sama seperti anda. Kami bercerai,” katanya. Kami kembali terdiam. Sebentar kemudian, Si Mbok keluar dengan membawa suguhan.
Sembari menikmati suguhan, kami mengadakan percakapan ringan. Tidak kusangka Nyonya Heni hampir meng-etahui semua yang menjadi bahan percakapan. Mulai masalah pilkada sampai masalah laga final Liga Champion antara AC Milan & Liverpool yang akan digelar seminggu lagi.
Setelah kurasakan waktu telah cukup dan segelas minumanku telah habis, aku pamit melanjutkan perjalanan. **
Keesokan harinya, aku sengaja lewat di jalan P. Diponegoro, meskipun tak ada surat yang harus kuantarkan ke sana. Kulihat Nyonya Heni duduk di beranda seperti kemarin. Ketika lewat di depan rumahnya, aku pura-pura tak melihatnya. Dan tentu saja aku gembira ketika dia memanggilku kembali. Aku segera menghampiri nya.
Seperti kemarin, ia kembali menanyakan apakah ada surat untuk dirinya. Namun karena memang tak ada, aku pun menjawab apa adanya. Kemudian ia menawariku untuk duduk-duduk sebentar. Aku menolaknya.
“Terima kasih, Nyonya. Mungkin lain kali. Hari ini banyak sekali surat yang harus diantarkan,” kataku beralasan.
“Baiklah kalau begitu.”
“Mari,” kataku kemudian melangkah pergi.
“Pak Abdul,” panggilnya tiba-tiba. “Saya bisa titip sesu-atu?”---“Apa itu, Nyonya?” ----“Surat. Untuk di-pos-kan,”
katanya. Aku pun mengiyakannya. **
Sore hari tiba di rumah, aku segera membaca surat Nyonya Heni yang akan dikirimkan kepada Dewi Hartati itu. Memang ini bukan pertama kali aku membaca surat orang. Beberapa minggu yang lalu, aku membaca surat Dewi Hartati sebelum kuantarkan kepada Nyonya Heni yang isinya mengungkapkan bahwa Dewi Hartati menyarankan Nyonya Heni untuk menikah lagi. Kalau kesulitan mendapat calon, aku punya kenalan yang kukira pantas untukmu, begitu tulis Dewi Hartati.
Sebenarnya aku sependapat dengan Dewi Hartati mengenai Nyonya Heni. Di samping itu, menurutku umur perempuan seumuran Nyonya Heni adalah masanya bagi perempuan terlihat sangat cantik-cantiknya. Kecantikan yang matang. Berbeda pesonanya dengan seumuran gadis-gadis yang baru mekar. Dan Nyonya Heni adalah salah satu buktinya. Aku kerap membayangkn bagaimana jika bersanding dengannya dipelaminan. Dan seterusnya. Selain itu, apakah kita akan terus sendirian sampai ajal menjemput? Tanpa se-orang istri atau suami? Jujur aku tak menginginkan itu terjadi. Seperti yang kini sedang kualami. Andaikata Nyonya Heni mau menikah denganku, saling menemani hingga maut memisahkan kami, kemungkinan besar aku bahagia. **
Aku tersentak ketika membaca alinea ketiga isi surat Nyonya Heni itu. Seakan bermimpi kuulang-ulang memba-canya. Baris itu adalah:
Ti, beberapa minggu ini aku merasa telah menemukan seseorang yang akan menjadi teman hidupku. Dia adalah orang yang selalu mengantarkan surat-suratmu. Kuharap kau jangan tertawa jika kukatakan bahwa dia adalah seorang tukang pos. Tapi, bukankah tukang pos merupakan pekerjaan yang mulia? Aku teringat pada film ‘The Post-man’ yang dibintangi Kevin Costner. Kita pernah menontonnya bersama, bukan? Film itu menceritakan bagaimana seorang tukang pos sangat dicintai oleh semua orang. Ya, memang itu hanya sebuah film. Dan lucunya, sehabis non-ton film itu, kau mengatakan padaku bahwa kau ingin menikah dengan seorang tukang pos. Dan tukang pos itu tak lain adalah Kevin Costner sendiri. Bagaimana mungkin? Bukankah dia adalah seorang bintang film. Tapi, itulah yng membuat kita tertawa sepanjang malam. **
Sudah seminggu aku tak pergi ke rumah Nyonya Heni. Selama itu pula surat Nyonya Heni yang dititipkan kepadaku berada di tanganku. Aku sengaja tak mem-pos-kannya. Aku mempunyai sebuah rencana untuk menulis surat kepadanya dengan nama Dewi Hartati. Tentu saja demi kepentinganku juga. Aku sangat yakin tukang pos yang dimak-sud Nyonya Heni ialah aku sendiri. Kubayangkan tak lama lagi kami bersanding di pelaminan. O,sungguh senangnya.
Untunglah, aku ingat bahwa tulisan tangan Dewi Hartati dan Nyonya Heni hampir mirip sehingga aku bisa mencontohnya dari surat Nyonya Heni yang ada padaku itu. Kini, surat balasan itu telah selesai dan siap dikirimkan. Le-ngkap dengan perangko yang telah dicap tentunya. **
Setelah memberikan surat balasan itu kepadanya, kami duduk berhadap-hadapan. Saat kami saling berpandangan, aku sudah tak menghindar seperti dulu. Malah dia sendiri yang terlihat serba salah. Barangkali karena mataku yang sengaja kupasang jalang. Ya, isi suratnya itulah yang menyuruhku seperti ini. Andaikata aku tak membacanya, barangkali aku tak akan pernah tahu bahwa diam-diam kami Saling mencintai.
“Sebentar, ya,” katanya melangkah ke dalam. Aku tersenyum menganggap diriku sendiri layaknya Arjuna. Sebentar dia telah kembali dengan setumpuk surat yang kemudian diletakkannya di atas meja. Dia diam sejenak. Dan yang membuatku bingung adalah dia kemudian menangis.
Setelah menenangkan dirinya, dia berkata: “Kami sangat akrab. Bahkan lebih dari itu.”
“Dan dia…, Dewi Hartati, sebenarnya sudah meninggal tiga tahun yang lalu,” lanjutnya.
“Hah…,” ucapku refleks. Sejenak kami saling berpand-angan. -----“Jadi?”
“Ya, selama ini aku sendiri yang menulis surat-surat itu,” katanya menatap ke meja. Dalam hati aku merasa ditelanjangi. Aku tak sanggup lagi menatap matanya.
Dalam diam, tiba-tiba aku teringat perkataannya sebentar lalu. Kami sangat akrab. Bahkan lebih dari itu. Apakah mereka saling mencintai? Pernah menjadi sepasang kekasih? Lesbi? Pikirku. Kucoba menatap dirinya kembali. Dalam sorot matanya, ingin kudapatkan jawabnya. ** 2005
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar