Jumat, 30 September 2011

Ignas Kleden: Sparatisme Hanyalah Humor Kekuasaan

Hartono Harimurti
http://www.suaramerdeka.com/

MARTABAT negeri ini sedang dipertanyakan. Berbagai persoalan: larangan terbang pesawat Indonesia ke Eropa, penganiayaan tenaga kerja wanita di luar negeri, dan ancaman disintegrasi bangsa tak bisa lagi dielakkan. Ada yang salah dalam sistem sosial dan kebudayaan kita? Mengapa kita tak bisa segera bangkit dari keterpurukan? Ignas Kleden, salah satu pemikir kebudayaan Indonesia, sedih sekali melihat kenyataan itu. Karena itu berbincang-bincang dengan media ini di Kantor Komunitas Indonesia untuk Demokrasi Jalan Tirtayasa VII 1 Kebayoran, Jakarta, Jumat lalu, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi ini, memberikan beberapa saran perbaikan. Berikut petikan perbincangan itu.

Minggu, 25 September 2011

Ta'jil

Ahmad Zaini*
http://oase.kompas.com/

"Lagi-lagi Mbah Sumo bersikap seperti anak kecil. Ia selalu memperhatikan apa isi bungkusan yang menumpuk di sekitar para lelaki."

Serambi masjid sore itu ramai oleh para jamaah yang mengikuti pengajian. Mereka duduk membentuk lingkaran dari satu titik hingga titik berikutnya. Mereka antusias mendengarkan ceramah yang disampaikan oleh ustadz babakan masalah agama khususnya tentang puasa Ramadhan. Kebetulan saat itu sudah memasuki hari kelima belas puasa bulan Ramadhan.

Sabtu, 24 September 2011

Bait–Bait Hujan

Pringadi AS
http://oase.kompas.com/

Kamu seperti hujan. Yang datang menghapus bau-bau kematian, di hatiku yang telah gersang oleh kemarau. Padahal kamu pernah menciptakan mendung, di awan awan yang putih, di hamparan langit yang biru. Tapi secepatnya aku lupa. Sebab kamu segera menggantinya dengan hujan. Yang merontokkan segenap kerinduan.

Melihat hujan hari ini, aku teringat kamu. Kamu yang hadir dengan manis di setiap hujan. Menggenggam sebelah tanganku—menarikku ke arah hujan. Bermain dengan hujan. Dan ketika kita telah begitu basah, kamu membelai rambutku yang penuh hujan. Menggerainya, hingga tak menghalangi wajahku yang pernah kamu sebut sebagai karya seni terindah Tuhan.

KETAKLAZIMAN PRINGADI ABDI SURYA

Judul : Dongeng Afrizal
Penulis : Pringadi Abdi Surya
Tebal : 166 halaman
Edisi : cetakan I, 2011
Penerbit : Kayla Pustaka _ Jakarta
Peresensi : Lina Kelana
http://sastra-indonesia.com/

Rabu, 21 September 2011

Profesi yang Terlupakan

Aguk Irawan MN
http://cetak.kompas.com/

Novel spektakuler Harry Potter tidak akan bisa dinikmati jutaan penggemar novel di Indonesia bila tanpa melalui proses penerjemahan. Berita-berita internasional yang berasal dari berbagai belahan dunia bisa dinikmati pembaca dalam negeri juga tidak terlepas dari jasa penerjemah.

Bisa dibayangkan, tanpa penerjemahan buku-buku berbahasa Inggris atau kitab-kitab berbahasa Arab, masyarakat akan kesulitan mengerti isi dari suatu buku atau kitab.

Selasa, 20 September 2011

Kisah Sahabat Nabi: Abdullah bin Rawahah, Penyair Rasulullah

Hepi Andi Bastoni
http://www.republika.co.id/

Waktu itu, Rasulullah sedang duduk di suatu dataran tinggi di kota Makkah, menyambut para utusan yang datang dari Yatsrib (Madinah) dengan sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui kaum Quraisy. Mereka yang datang ini terdiri dari 12 orang utusan suku atau kelompok yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum Anshar (penolong Rasul).

Pengikut Sesat Sang Penyair

D. Dudu AR
http://nasional.kompas.com/

Puisi atau sajak adalah kumpulan larik, bait, syair yang ditulis dari renungan penyair. Pengalaman hidup seorang penyair dikontemplasikan sebagai bahan atau endapan yang kemudian ditulis dalam bentuk karya sastra puisi atau sajak. Banyak kata-kata indah, pilu, miris, berontak, dan gundah menghiasi puisi atau sajak. Tidak mudah mewujudkan kata-kata bermetafora dalam sebuah puisi, perlu proses dan perenungan untuk mengungkapkannya, sehingga menghasilkan puisi yang mapan, terutama bagi para pemula.

Senin, 19 September 2011

Penyair Masa Kini

Salamet Wahedi *
Radar Surabaya, 10 jan 2010

saya iba
pada para pujangga silam
karena mereka terpaksa mengambil peran
yang seharusnya dimainkan para sastrawan sekarang
(Michael Augustine, “Saya Iba”)
***

Gaya Hidup “delete” Kritik Seni “enter” Promotor Seni

Afrizal Malna*
Kompas,6 Mei 2007

HAMPIR selama dua minggu, sejak awal April kemarin, saya beberapa kali sempat bertemu dengan Boedi S Otong, sutradara Teater Sae yang hidup sebagai performer di Eropa sejak awal tahun 1990-an.

Selama dua minggu itu saya cenderung terlalu memaksakan diri untuk bisa bertemu dan ngo- brol dengannya. Tubuh dan jiwa saya terasa sakit dan tidak siap untuk bertemu dengan siapa pun waktu itu.

Sabtu, 17 September 2011

Kepenyairan: Sewindu Kepergian Linus Suryadi di Yogyakarta

Agni Rahadyanti
Kompas, 01 Agu 2007

PARA sahabat, keluarga, kelompok seniman, dan masyarakat umum memperingati sewindu meninggalnya penyair Linus Suryadi AG di Pendopo Karta Pustaka, Yogyakarta, Senin (30/7) malam. Selain membaca puisi karya-karya almarhum, mereka yang hadir juga saling berbagi pengalaman kebersamaan dengan Linus.

Sejumlah budayawan dan seniman yang hadir, seperti Bakdi Soemanto, Iman Budi Santosa, Suminto A Sayuti, Landung Rusyanto Simatupang, Jenifer Lindsay, dan Dorothea Rosa Herliany, berbaur bersama masyarakat umum dalam suasana penuh kekeluargaan.

Dua Sayap Mochtar Lubis

Yayat R. Cipasang*
Pikiran Rakyat, 13 Sep 2008

PELUNCURAN buku Nirbaya, Catatan Harian Mochtar Lubis Dalam Penjara Orde Baru, belum lama ini di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), menjadi ajang pertemuan generasi muda dan orang tua pelaku sejarah seperti penyair Taufiq Ismail, dramawan Ikranegara, dan pengacara senior Adnan Buyung Nasution. Hadir pula tokoh pers seperti Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, tuan rumah Jacob Oetama serta pengamat pers dari UNESCO Arya Gunawan.

Kamis, 15 September 2011

Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri *

Ignas Kleden **
Bentara, Kompas, Sabtu, 04 Agu 2007

Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.

Imanku Tertelungkup di Kakinya

(Catatan Kecil Kumpulan Cerpen Mahmud Jauhari Ali)
Hamberan Syahbana
http://www.radarbanjarmasin.co.id/

Saya baru saja membaca sebuah kumpulan cerpen karya Mahmud Jauhari Ali yang berjudul Imanku Tertelungkup di Kakinya. Kumpulan cerpen ini terbit edisi cetakan pertama April 2010 oleh Penerbit Araska Publisher Yogyakarta 2010. Sebuah buku kecil dengan disain cover yang indah menawan oleh N. Anjala dan editor Wiwik Indayani S.Pd.

Lelaki Lebah (terbitan Tuas Media)

Terbit di: Tuas Media
Judul: Lelaki Lebah
Tebal: IV + 308 halaman
Penulis: Mahmud Jauhari Ali
ISBN: 978-602-99269-1-0
harga: Rp 40.000,00
http://tuasmedia-2.blogspot.com/

Melestarikan Folklor, Mempromosikan Bahasa Lokal

Djoko Pitono
http://ppsjs.blogspot.com/

ilang jenenge kawula,
sirna datan ana keri,
pan ilang wujudira,
tegese hyang widi,
ilang wujude iku,
anenggih perlambangipun,

Minggu, 11 September 2011

Pergerakan Sastra di Malang

Denny Mizhar
http://sastra-indonesia.com/

Polemik pembacaan atas pergerakan sastra di Malang dan pengakuannya pada wilayah Jawa Timur terjadi sejak lama. Tan Tjin Siong (1989) pernah menulis dengan nada gugatan dengan judul “Peta Sastra Malang” : “Sebagai warga Jatim pecinta sastra, rasanya kurang sreg kalau selama ini hanya keberadaan atau kegiatan sastra di Surabaya yang mendapat porsi paling banyak untuk dibicarakan. Ada kesan penganak tirian terhadap daerah lain…. Nah, apa Malang tak punya peta sastra yang menarik untuk dibicarakan? Ada. Bahkan bahkan peran sastranya di Jawa Timur tak bisa diabaikan”.

‘Puisi Saya Antitesis Puisi W Haryanto’

Indra Tjahjadi
Pewawancara: R. Giryadi
Suara Indonesia, 20 September 2005

Sejak berkenalan dengan W. Hariyanto, Indra Tjahja dimengakui mulai belajar menulis puisi. Energi kreatrf kepenyairannya diakui, selain lewat buku-buku bacaan tetapi lewat perkenalannya dengan penyair W.Hariyanto. Karena tertarik dengan bahasa ungkap puisi W. Hariyanto, Indra berusaha ‘mempelajari’ gaya penulisan W. Hariyanto, dengan mencoba menjadi ‘juru ketik’ puisi-puisi W.Hariyanto. “Tetapi anehnya setelah saya membuat puisi, justru menjadi antitesis dari pemikiran We,” kata Indra kepada R. Giryadi wartawan Suara Indonesia dikediamannya Jl. Potro Agung II/5 Surabaya, Sabtu (20/11).

REALISME DAN SASTRA MULTIKULTUR, MASA DEPAN SASTRA KITA

S Yoga
Jawa Pos 31 Okt2010

Dalam perkembangan sastra kita, dinamika sejarah sastra dunia, sangat berpengaruh. Tengok Pujangga Baru, yang merupakan gema dari angkatan 80 di negeri Belanda. Angkatan Gelanggang atau angkatan 45, yang digemai oleh sastra dunia yang memiliki konsepsi modernisme. Demikian juga dengan dekade 70an, lewat eksistensialisme dan absurditas. Termasuk juga polemik sastra, karya sastra yang bersifat postmodernisme, yang merupakan gema yang sudah berkecamuk pada tahun 70an di Eropa. Tak ketinggalan polemik sastra kontekstual, yang merupakan gema dari gerakan sastra multikultur yang mengejala di sastra dunia hingga kini.

Sastra Instan, Pluralisme, Religiusitas

Ahda Imran
Pikiran Rakyat, 23 Desember 2006

SASTRA sebagai pergulatan kreatif adalah sebuah jalan sunyi. Jalan yang tak mudah beriringan dengan kepentingan industri, apalagi popularitas. Meski hal itu akan sangat menggembirakan bila bisa diseiringkan, namun fenomena yang terjadi di tengah gegap gempitanya aktivitas industri penerbitan dan sosialisasi karya sastra yang terjadi akhir-akhir ini ternyata menimbulkan semacam kecemasan juga. Sastra tidak lagi dimasuki lewat pergulatan jalan sunyi yang penuh kesabaran.

Sabtu, 10 September 2011

Sastrawan Jawa Gelar Kongres Tandingan di Bojonegoro

Kukuh S Wibowo
http://www.tempo.co/

Para sastrawan bahasa Jawa akan menggelar Kongres Sastra Jawa III di Taman Wisata Dander, Bojonegoro, Jawa Timur, 28-30 Oktober 2011. Kegiatan ini mendahului pelaksanaan Kongres Bahasa Jawa V yang diadakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur di Hotel JW Marriot, Surabaya, 27-30 November 2011.

Ketua Panitia Kongres Sastra Jawa III, Bonari Nabonenar, mengatakan Kongres Sastra Jawa III akan dihadiri sekitar 100 pengarang berbahasa Jawa dan beberapa tokoh yang selama ini memiliki kepedulian terhadap hidup matinya sastra Jawa. Di antaranya Ajip Rosidi, Arswendo Atmowiloto, dan Suparto Brata.

Dekonstruksi Cerita Panji Melalui Novel

Ribut Wijoto
http://www.beritajatim.com/

“Engkau janganlah ragu menjadi sumber inspirasi berkat kemurnian jiwa dari pertapaanmu, kesunyianmu, kesendirianmu. Perlihatkanlah, pertontonkanlah dan tunjukkan kini sebagai suatu pengetahuan mutakhir wahai sang psikopat, sang penyair, dan sang pemabuk.” (Hal 276).

Ini adalah potongan isi novel Tanha, Kekasih yang Terlupa buah karya S. Jai. Pengarang kelahiran Kediri 38 tahun lalu memang baru saja mempublikasikan karya terbarunya di bawah penerbit Jogja Mediautama.

Replikasi Kebudayaan Jawa

Sabrank Suparno*
Radar Surabaya, 26 Des 2010

Kebudayaan dalam perkembangan peradaban, selalu dilongok serius sebagai indikator corak yang mewarnai strukturalisasinya. Apa dan bagaimana kadar kebudayaan dalam kurun waktu tertentu, tak lepas dari proses sinergial yang memungkinkan terbentuknya power heterogensi kapasitas kualitatif ataupun kuantitatif.

Konstruksi filosofis sosio-kultural masyarakat Jawa dapat dijadikan alegori untuk mengukur nilai kebudayaan. Dari sinilah bentuk dan corak kekinian dapat dilihat secara utuh.

Skizofrenia, Kegilaan, dan Modernitas: Perihal Prosa Iwan Simatupang

Asarpin *
http://sastra-indonesia.com/

Novel pelacur mesti diuji keampuahannya
dari suatu keadaan tepi-tepi terakhir
tepi yang menari-nari di remang kejauhan
Tepi, daerah terakhir sebelum ketamatan
–IWAN SIMATUPANG

MUHAMMAD IQBAL: FILOSOF KEBANGKITAN TIMUR DAN DUNIA ISLAM

Abdul Hadi W.M.

Muhammad Iqbal — Sang Allama, begitu dia disebut di negerinya – adalah seorang filosof sastrawan Timur paling terkemuka pada abad ke-20 M yang pernah dilahirkan dunia Islam. Gelar yang patut diberikan kepadanya ialah Filosof Kebangkitan Timur dan Islam. Judul buku-bukunya sendiri, yang di dalamnya gagasan-gagasan pembaharuannya dituangkan dalam ungkapan puisi yang indah dan inspiratif, selalu mengacu pada tema kebangkitan bangsa-bangsa Timur dan Islam. Misalnya Payami Masyriq (Pesan Dari Timur) dan Pas Chih Bayad Kard Aye Aqwami Syarq (Apa Yang Harus Kau Lakukan O Bangsa-bangsa Timur?”. Himpunan ceramahnya yang terkenal diberi judul Membangun Kembali Pemikiran Keagamaan Dalam Islam.

KRETEK SEBAGAI KRITIK KEBUDAYAAN

Waskiti G Sasongko
http://senimana.com/

3 Juni 1953, Agus Salim dan Sri Paku Alam beserta rombongan duta besar Indonesia mendapat tugas dari Soekarno untuk menghadiri upacara penobatan Ratu Elizabeth II. Di tengah-tengah jamuan serimoni agung tersebut Agus Salim menyalakan sebatang kreteknya, menghisapnya dalam-dalam dan menghembuskan keluar kuat-kuat. Pangeran Duke of Endiburgh, sang suami Ratu Elizabeth itu, tampak tidak senang menoleh ke kiri dan ke kanan sembari bertanya-tanya pada hadirin, dari mana bau tidak sedap itu datang? Maka Agus Salim menjawab, “Yang Mulia, bau yang tidak sedap itu adalah bau rokok kretek yang sedang saya hisap yang dibuat dari tembakau dan cengkih. Boleh saja yang mulia tidak menyukainya. Tapi justru bau inilah yang menarik minat pelaut-pelaut Eropa datang ke negeri kami tiga abad yang lalu”. Duke of Edinburg pun terdiam beku oleh sindiran Agus Salim itu.

Inilah sepenggal kisah, bagaimana kretek, atau lebih tepatnya produk olahan hasil bumi Indonesia, tembakau dan cengkih, merefleksikan kekuatan produksi masyarakat nusantara sejak dulu. Kita memang tidak pernah tahu pasti sejak kapan kretek telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat. Namun, jika kita menoleh ke belakang kita dapat melihat bagaimana kisah Roro Mendut yang sukses menjajakan rokok di zaman kekuasaan raja Amangkurat I, sebagaimana kisah ini ditulis ulang oleh Romo Mangun, setidaknya secara literal menandai bahwa produk rokok telah dikenal oleh masyarakat nusantara sejak lama. Bahwa, kemudian dalam kesejarahan modern produk kretek lebih kita kenal sejak Haji Djamari yang asli Kudus ini meramu tembakau dan cengkih sebagai ramuan obat batuk, pada abad ke 18an, ini tentu sebuah tafsiran historis tersendiri.

Namun, apa yang menarik kita catat di sini adalah bahwa, kretek adalah produk khas bangsa kita, eksistensinya adalah satu-satunya di dunia. Sebagaimana keris pamor yang adalah warisan budaya bangsa yang telah beroleh pengakuan dunia internasional, Unesco, produk kretek pun sebenarnya muncul tercipta dari kecerdasan lokal bangsa ini. Bahkan, dapat kita katakan bahwa kretek — meminjam istilah Denys Lombard — adalah suatu hasil dari kerja “osmosis kebudayaan” bangsa kita. Saya katakan osmosis kebudayaan karena kretek sendiri adalah sebuah difusi kebudayaan yang datang dari luar dan bersimbiosis dengan kekayaan lokal bangsa kita. Konon, tanaman tembakau masuk menjadi kekayaan nabati bangsa kita sejak memasuki abad ke 17.

Di sini kita mungkin akan sedikit berjalan memutar. Seperti kita tahu, istilah osmosis digunakan oleh Denys Lombard dalam karya monumentalnya, ”Nusa Jawa: Silang Budaya.” Untuk kasus di Indonesia, demikian Lombard, kita tak bisa memakai perspektif dialektika dalam pengertian Hegelian. Karena di situ pasti ada unsur aufgehebung, kebudayaan pemenangnya. Yang terjadi dalam sejarah seni atau kebudayaan di sini adalah suatu proses perembesan kultural, dan bukanlah dialektika. Suatu kegiatan saling serap antara warisan-warisan budaya lokal dan pengaruh ideologi-ideologi yang datang dari ‘negeri atas angin’, yang membuat terjadi mutasi budaya terus-menerus, baik saat Indonesia masa kuno maupun modern. Apa yang khusus dari bangsa kita bukanlah sejarahnya yang khusus, melainkan, masih merujuk Lombard, ialah posisi geokulturalnya yang khusus, di mana kita berada pada lokus persimpangan budaya dunia, kita berada pada jalur perdagangan besar dunia yang mau-tidak-mau senantiasa membawa pengaruh dari luar.

Apa yang menarik ialah, jika pada masa kuno katakanlah kita sanggup membangun sebuah sinergi pluralitas ideologi yang datang dari luar menjadi suatu kebudayaan yang baru dan besar, di mana budaya kemaritiman masyarakat nusantara akhirnya bertumbuh menjadi dua kerajaan besar, Sriwijaya dan Majapahit.

Andai kita jeli dalam menelisihnya Indianisasi yang terjadi bukanlah sesuatu pengambil alihan secara mutlak unsur-unsur budaya India, tapi lebih bersifat paduan dengan budaya lokal. Bahkan, banyak antropolog Barat yang mengatakan bahwa yang sesungguhnya terjadi ialah Jawanisasi India. Karena bukan rahasia jika paham-paham keagamaan Hindu dan Buddha yang di negeri sononya India bertikai, ternyata di sini dapat bersanding selaras, rukun satu sama lain. Ahli-ahli dari India datang ke Indonesia untuk melihat peninggalan candi-candi Hindu dan Budha berpendapat bahwa, memang ada kemiripan dengan apa yang ada di India tapi samasekali bukan budaya India. Di India secara tegas dipisahkan antara Hindu dan Budha. Borobudur disamping ada unsur Budha terdapat relief yang berisi kisah Mahabarata yang Hindu, bahkan ada relief yang notabene bukan Budha dan sekaligus bukan Hindu tapi kisah-kisah dari budaya lokal.

Namun, pada masa modern ini , proses mutasi fase ketiga kebudayaan lokal kita melalu difusi sejarah pembaratan ternyata tidak sanggup memunculkan sebuah sinergi kebudayaan yang baru dan besar, sebagaimana kisah masa lalu itu. Masih saja kita lihat, sampai saat ini, ada retakan-retakan yang cukup menganga antara pandangan dunia tradisionalisme dan modernism. Dualisme dua kebudayaan ini terjadi karena di dalam masyarakat Indonesia sendiri kita lihat adanya dua arus besar paradigma yang berbeda, yaitu golongan-golongan masyarakat Indonesia yang mendorong pembaratan lebih lanjut di satu sisi, dan golongan-golongan yang menolak tegas determinasi serta merta pengaruh budaya Barat dan mencari sumber Timur atau lokal dalam membentuk masyarakat Indonesia di sisi lain. Kebangkitan budaya lokal ini juga diperkuat dengan pengaruh Islam di pesantren-pesantren, yang pada zaman Belanda tetap mengajarkan agama Islam beserta budaya lokalnya yang mengacu pada ajaran “wali sanga”. Bahkan pada saat itu sesuatu yang berbau Barat ditabukan di pesantren-pesantren. Kedua pandangan ini, yang pro Barat dan pro Timur, jelas tercermin dalam Polemik Kebudayaan tahun 1930 dan silang sengkarut polemik Lekra-Manikebu di tahun 1960an.

Nah, ideologi Pancasila itu sendiri adalah suatu upaya merekatkan retakan-retakan pandangan dunia Timur dan Barat itu, tradisional dan modernisme, ideologi kapitalisme dan komunisme, namun lebih jauh sebenarnya juga membawa spirit untuk membendung pengaruh berkembangnya ideologi yang bersumber dari Barat (Nekolim). Pemimpin masa lalu yang lebih kita kenal sebagai “founding father” selalu mengatakan bahwa Pancasila adalah ideologi yang lebih unggul dari ideologi apapun yang berasal dari Barat.

Dengan begitu masyarakat Indonesia sebenarnya mempunyai kecenderungan sinkretik, atau heterodok, atau osmosis, yaitu dalam pengertian bahwa sejak dulu selalu bersikap terbuka terhadap pengaruh budaya-budaya yang datang dari ‘negeri atas angin’, namun secara bersamaan memiliki spirit hendak tetap menjaga nilai-nilai lokal yang berakar sangat dalam itu. Dalam perspektif inilah konsep politik “berdikari” yang dicanangkan Bung Karno adalah suatu usaha penolakan hegemoni budaya Barat melalui kemandirian ekonomi. Dengan kemandirian dibidang ekonomi, Indonesia punya kebebasan menentukan nasib budaya Indonesia ditangan bangsa Indonesia sendiri. Sungguh suatu pemikiran yang jauh ke depan, namun ironisnya proyek pemikiran besar ini saat ini jelas boleh kita katakan telah gagal total.

Nah, pada titik inilah sebenarnya kretek sebagai warisan tradisi bangsa ini dapat kita dudukan sebagai kritik atas kebudayaan globalisme. Pada titik ini, kretek sebagai warisan budaya tentu saja tidak sekadar kita lihat sebagaimana keris dan candi, atau barang-barang artefak yang sekadar diuri-uri, melainkan harus kita dudukkan dalam kerangka perspektif gerakan sebagai bagian dari kerja politik kebudayaan kita. Kretek sebagai salah satu soko guru kemandirian ekonomi dan industri nasional haruslah kita desain sebagai pemantik tumbuh mekarnya ‘politik identitas’ kebangsaan (nasionalisme). Sebab, di tengah-tengah gerusan perang dagang dan ekspansi pasar neoliberal yang berjubah paradigma kesehatan “satu dimensional” ini, sebenarnya eksistensi kretek memenuhi syarat-syarat multi-spektrum dimensional untuk menjadi kekuatan kritik ideologi atas muslihat dari apa yang menyebut dirinya sebagai kebudayaan globalisme ini. Kretek dapat menjadi kekuatan politik yang mendudukkan “kebudayaan sebagai sebuah panglima”.

Apa yang kita butuhkan di sini adalah menggeser perspektif “osmosis kebudayaan” menjadi suatu kerja “dialektika kebudayaan”. Dengan mendudukkan kretek sebagai bagian gerakan tradisi lokalisme yang poskolonial, yakni suatu gerakan politik kebudayaan yang berpamrih membangun kekuatan lokalisme sebagai counter hegemoni terhadap upaya-upaya penyeragaman “budaya putih”, barangkali saja ke depan kita dapat merengkuh kembali cita-cita besar akan Indonesia Berdikari itu.

Nah, pada titik inilah, hari ini kita sharing dan berdiskusi.
Salam Hangat.
Sumber: http://senimana.com/berita-154-kretek-sebagai-kritik-kebudayaan.html

Tan Malaka dan “Brief Encounter” 1946

Rosihan Anwar*
Suara Pembaruan, 27 Feb 2008

Brief Encounter” (Perjumpaan Singkat) adalah judul film Inggris pada 1940-an yang menggambarkan kisah roman dan pertemuan sebentar antara seorang perwira Amerika dan seorang gadis Inggris di London. Brief encounter saya dengan Pahlawan Nasional Tan Malaka adalah suatu pertemuan pertama dan terakhir, terjadi di Kota Solo pada Februari 1946, tatkala didirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Harry A Poeze, sejarawan Belanda, penulis biografi Tan Malaka yang dirisetnya selama 30 tahun, diberitakan mengadakan bedah buku tentang Tan Malaka di Bukittinggi pada 20 Februari 2008, dalam rangka 59 tahun meninggalnya Tan Malaka. Poeze pernah ke rumah saya untuk menanyakan beberapa data sejarah tentang Tan Malaka.

Pada 6 Februari 1946, saya sudah berada di Solo mengikuti PM Sutan Sjahrir yang merangkap Menlu dan Mendagri menghadiri Konferensi Pamongpraja seluruh Jawa. Konferensi itu selesai 7 Februari, tapi tanggal 8 saya, sebagai wartawan surat kabar Merdeka, terus menghadiri pembukaan kongres wartawan yang dipimpin oleh Mr Soemanang, Sudaryo Tjokrosworo, dan lain-lain bertempat di sebuah societeit. Saat itu menjelang tengah hari dari Yogya tiba sebuah mobil yang membawa tiga penumpang, yaitu Pemimpin Redaksi Kedaulatan Rakyat Sumantoro, Ida Sanawi yang baru dua bulan mengungsi dari Jakarta dan bekerja di Redaksi Kedaulatan Rakyat, dan Ibrahim Datuk Tan Malaka, tokoh perjuangan kemerdekaan yang legendaris di zaman kolonial Hindia Belanda dan dikenal sebagai langlang buana “Patjar Merah” sebagaimana dilukiskan oleh pengarang Medang Matu Mona dalam seri roman picisannya.

Bagi saya suatu surprise melihat Ida Sanawi yang di zaman Jepang bekerja di surat kabar Asia Raja di Jakarta datang bersama-sama Tan Malaka. Ketika itu saya belum menikah dengan Ida Sanawi. Ini baru terjadi pada awal tahun berikutnya. Tentu saya bertanya kepada Ida, apa saja yang dibicarakan dengan Tan Malaka, selama menumpang mobil bersama dari Yogya ke Solo.

Tan Malaka berpakaian serba hitam. Serupa dengan pemuda pejuang masa itu dia memakai sepatu kaplaars. Dia mengenakan topi helm tropis warna hijau muda. Topi helm biasa dipakai oleh pejabat-pejabat Belanda dari BB (Binnenlands Bestuur) atau oleh tuan besar administratur kebun (onderneming) Belanda. Mengapa Tan Malaka berpenampilan dan berbusana demikian, saya kurang tahu.

Istri saya tidak ingat lagi apa yang dibicarakannya dengan Tan Malaka, maklum, sudah 62 tahun yang silam.

“Apakah kamu bicara dalam bahasa Belanda dengan dia?” tanya saya. Kaum intelektual zaman kolonial didikan Barat memang biasa ngomong berbahasa Belanda. Tan Malaka waktu remaja setelah jadi siswa kweekschool (sekolah raja) di Fort De Kock (Bukittinggi) bersekolah di Haarlem, negeri Belanda, kemudian sekembalinya di Tanah Air menjadi guru sekolah, sebelum bergabung ke dalam Partai Komunis di Semarang awal 1920-an bersama Semaun, Alamin, Darsono, dan Musso.

“Tidak, kami bicara seluruhnya dalam bahasa Indonesia,” jawab Ida Sanawi.

“Apa kesanmu tentang diri Tan Malaka?”

“Dia laki-laki yang gallant (sopan terhadap wanita). Dia soft-spoken, bicara dengan suara lembut. Dia tidak mendominasi percakapan. Pribadi yang menyenangkan,” kata Ida.

Dikejar-kejar Intel

Kesan yang sama saya peroleh waktu berbicara dengan Jo Abdurrachman, sejarawan, pernah jadi Sekretaris Mr Achmad Subardjo waktu menjawab Menlu di kabinet Soekarno. Jo juga kenal dekat dengan Tan Malaka yang dinilainya sebagai orang yang baik. Jo kadang-kadang bertanya apakah Tan Malaka tidak tertarik pada seks lain. Apakah barangkali dia punya kelainan? Jo tidak pernah memperoleh jawaban. Tapi, Ida Sanawi berkata: “Jangan lupa, Tan Malaka itu sudah berpuluh-puluh tahun hidup sendirian sewaktu dia bertempat tinggal di berbagai negeri. dikejar-kejar oleh pihak intel. Dia tidak sempat mendirikan atau mempunyai suatu gezin (keluarga)”.

Tan Malaka masuk ke dalam ruangan di mana para wartawan telah berkumpul. Dia menuju mimbar, lalu berpidato. Tidak pakai teks yang telah dipersiapkan. Seluruhnya di luar kepala. Lamanya empat jam non-stop. Topik yang disentuhnya berkaitan dengan apa yang kelak diterbitkan dalam bukunya “Madilog”- Materialisme, Dialektika, Logika. Saya tidak ingat lagi apa persis yang diutarakannya. Sama dengan wartawan-wartawan lain, terutama mereka yang bertugas di front, sudah tidur nyenyak, saking kelelahan. Tapi, ketika tiba Tan Malaka mengakhiri pidatonya saya sudah bangun lagi dan sempat mengiringkan Tan Malaka ke mobilnya. Berjalan di dekatnya saya tidak sempat bicara banyak dengan Ida Sanawi dan dengan Tan Malaka. Itulah perjumpaan singkat, brief encounter, saya dengan Tan Malaka.

Setelah terjadi aksi militer Belanda kedua 19 Desember 1948, terdengar kabar bahwa Tan Malaka ikut bergerilya melawan tentara Belanda di Jawa Timur. Kemudian terdengar dia ditangkap oleh tentara Indonesia. Atas perintah komandan tentara di Jawa Timur dia ditembak mati dan jenazahnya dihanyutkan di Sungai Brantas.

Kematian Pahlawan Nasional itu merupakan suatu kontroversi besar. Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua Umum Muhammadiyah, berkata kepada saya: ” Apakah pihak yang menembak itu tidak tahu siapa Tan Malaka dan apa jasanya bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia?” Harry Poeze berpendapat, yang menghabisi Tan Malaka itu adalah seorang moordenaar alias pembunuh. Seorang wartawan senior bilang “tapi, waktu itu kan berlaku hukum perang?”

Tapi, bagi saya tiada kesangsian bahwa Tan Malaka adalah putra Indonesia yang besar, seorang pejuang kemerdekaan bangsa yang patut kita hormati.

* Rosihan Anwar, wartawan senior
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/02/opini-tan-malaka-dan-brief-encounter.html

Selasa, 06 September 2011

Potret Sastrawan Perempuan

Anjrah Lelono Broto *)
http://www.kompasiana.com/anjrah_lelono_broto

Menyoal penulis karya sastra (baca, sastrawan) berjender perempuan, besar kemungkinan angan kita akan melambung pada Ayu Utami, Hanna Fransisca, maupun Djenar Mahesa Ayu di Jakarta, dan atau (alm) Ratna Indraswari Ibrahim, Sirikit Syah, maupun Lan Fang di Jawa Timur. Apa yang menarik dan dibawa oleh sastrawan perempuan? Hal itu tentu saja dapat kita telanjangi dari karya-karyanya maupun latar belakang pribadinya. Akan tetapi, bagaimana posisinya dalam blantika realitas kehidupan?

Eksistensi sastrawan perempuan Indonesia secara kuantitas tentu saja tidak sebanding dengan sastrawan berjender lelaki. Meski para perempuan ini dihadapkan pada tantangan yang sama dengan sastrawan lelaki dimana harus bersaing di medan juang kesusastraan Indonesia, berbagai prestasi telah diukir sastrawan-sastrawan perempuan. Mengingat posisinya yang cenderung sub-ordinat dalam lingkung kultural patriakhi dengan sendirinya sastrawan perempuan harus berjuang lebih keras dibandingkan lawan-lawan jenisnya jikalau berkehendak eksistensinya lebih dan lebih.

Keperempuanan sastrawan perempuan melahirkan kondisi yang kurang menguntungkan dengan sederet peran-beban tanggung jawab sosio-kultural. Peran-beban tanggung jawab sosio-kultural tersebut menempatkannya sastrawan perempuan pada wilayah penjara klasik; dapur, sumur, dan kasur. Dus, selain menghadapi tuntutan avant garde, originalitas, kebaruan, dll sastrawan perempuan juga dituntut untuk menjalankan peran-beban tanggung jawab sosio-kulturalnya, dimana mereka dituntut mampu meyakinkan publik bahwa kebrilianan karya dan proses kreatifnya berbanding lurus dengan kehidupan rumah tangganya. Realitanya, sastrawan tidak bisa menafikkan kajian interteks antara karyanya dengan kehidupan pribadinya.

Posisi yang riskan seperti ini tidak jarang menjadikan sastrawan perempuan sebagai dinding melekatnya stigma negatif, terutama ketika ia berani mempertanyakan norma dan nilai-nilai yang tak berpihak padanya (ingat marjinalisasi ‘sastra kelamin’). Memang ada yang setia dengan spirit kreatifnya dan sanggup menjalankan peran-beban tanggung jawab sosio-kulturalnya. Tapi pilihan ini bukan berarti ‘pengorbanan nir resiko’, besar kemungkinan dirinya akan disudutkan dengan berbagai stigma negatif yang berpengaruh besar pada kehidupan nyata pribadinya.

Begitulah, posisi marjinal sastrawan-sastrawan perempuan di dalam sistem patriarkhi. Apabila sastrawan perempuan bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan sastrawan lelaki untuk bisa menikmati pendidikan, karir, dan keluasan samudra proses kreatif, maka spirit Kartini yang menjadi wajah feminis Indonesia akan menemukan resultannya. Keniscayaan ketercapaian perjuangan kaum perempuan, secara umum, akan menjadi implementasi.

Adalah sebuah potensi besar bahwa arah perubahan posisi perempuan tidak selalu mengarah ke depan namun bisa jadi malah mundur teratur. Pengesahan Undang-Undang Pornografi yang cenderung mengkriminalisasi proses kreatif perempuan, jelas merupakan langkah mundur teratur peradaban manusia. Tentu saja, fenomena ini akan mempengaruhi posisi sosial dan daya tawar perempuan dalam dinamika relasi jender dan relasi kekuasaan, secara garis besar.

Acap kali mencuat persepsi bahwa perjalanan kreatif dan karir perempuan, termasuk dalam dunia sastra, sangat bergantung pada lelaki. Bahkan, ada persepsi yang lebih kejam lagi bahwa eksistensi perempuan secara menyeluruh sangat bergantung pada lelaki (ingat tafsir iga bengkok Bapak Adam untuk Ibu Hawa), dan tidak pernah independen (baca, berdikari).

Fenomena ini tentu bukan barang baru dalam blantika relasi jender, dimana dominasi maskulin seperti tembok kokoh yang tidak mudah roboh. Akan tetapi, apabila perempuan mengambil ‘jalan pintas’ dengan memanfaatkan lelaki di dekatnya maka konsekuensinya selain akan berdampak serius pada kelanjutan kariernya maka eksistensinya sendiri bisa dikatakan tidak pernah ada, sebagaimana eksistensi Mbak Tutut, Meutia Hatta, dll dalam dunia politik nasional.

Dalam dunia sastra, ketika sastrawan perempuan memilih jalan pintas ini maka kualitas karyanya akan menjadi penghuni kamar tanda tanya besar, serta dengan mudah lenyap ditiup angin ketika jendela atau pintu kamar dibuka. Ketika tuntutan atas kualitas karya menurun dan hanya terfokus pada sensasi visual semata (baca, trend), praktek ‘jalan pintas’ akan menjadi menggoda. Namun, sekali lagi, ketika jendela maupun pintu kamar tanda tanya besar tersebut dibuka, eksistensi kesastrawananya akan segera lenyap ditiup angin. Lalu apa jawaban problematika ini?

Pendidikan bagi kaum perempuan bisa jadi adalah satu jawaban yang melintas ringan. Namun, tentu saja kita semua menyadari bahwa pendidikan merupakan kunci balon udara yang bernama independensi. Pendidikan yang memadai bagi perempuan (termasuk di dalamnya sastrawan perempuan) akan menempatkannnya sebagai pribadi yang mampu membaca dan menulis dinding realitas sosial, berikut sederet tantangannya dengan cara yang genial. Gambaran ini akan menaikkan daya tawar keperempuanan yang melekat pada pribadi sastrawan perempuan.

Sastrawan perempuan juga harus berhadapan dengan realitas miskinnya infrastruktur seni sastra Indonesia. Dunia sastra Indonesia sebagaimana dunia seni Indonesia, pada umumnya, masih terikat dengan sendat nafas geliat seni kampus, dan sekolah. Pemerintah masih menempatkan dunia seni sebagai wilayah yang tidak menjanjikan guna membantu keberlanjutan kekuasaan. Kurangnya infrastruktur seni ini memaksa seniman (termasuk sastrawan perempuan) untuk pandai-pandai mengatur strategi pembangunan eksistensi melalui karya.

Miskinnya kritik seni sastra juga memberikan dampak signifikan pada posisi sastrawan perempuan. Sebab wacana yang bisa menjelaskan dan membela ‘keaduhaian’ sastrawan perempuan berikut karyanya menjadi tidak mudah untuk dikomunikasikan. Dengan kata lain, potensi atau ke’seksi’an sastrawan perempuan (yang khas) kurang mendapat tempat untuk diapresiasi secara optimal.

Begitulah potret sastrawan perempuan Indonesia yang mana masih harus repot mengelola entitas keperempuanannya berikut segala pernik tantangan dunia sastra Indonesia yang terjangkiti globalisasi. Perebutan pasar eksistensi tidak hanya terbatas di wilayah lokal, nasional, bahkan ke tataran internasional. Maka jangan heran jika sastrawan perempuan lagi-lagi kerap disudutkan sebagai pribadi yang ambisius, sebuah entitas yang negatif yang sangat berbeda dengan ambisiusnya kaum lelaki. Realitas ketidakadilan jender ini ternyata masih terus menjangkiti ranah sosio-kultural dan tidak mudah untuk dieliminasi, kecuali melalui satu jalan yaitu revolusi.

Revolusi sastra bagi kesetaraan sastrawan perempuan-sastrawan lelaki adalah keharusan.
***

*) Litbang LBTI, Anggota Senior Teater Kopi Hitam Indonesia
Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2011/06/10/potret-sastrawan-perempuan/

Pengembangan Sastra di Jawa Timur

Tengsoe Tjahjono*
http://www.surabayapost.co.id/

(1)
Sastra Jawa Timur tentu tidak dapat dipandang sebelah mata dalam konstelasi sastra Indonesia. Banyak pengarang besar seperti Budi Darma, Zawawi Imron, Nirwan Dewanto, Ratna Indraswari Ibrahim, dan sebagainya berkarya dan berkembang dari wilayah ini. Belum lagi para pengarang dan kritikus muda seperti Shoim Anwar, Mashuri, W. Hariyanto, dan sebagainya yang tulisan-tulisannya mampu membangun daya gugah. Serta secara kultural Jawa Timur merupakan rajutan banyak budaya lokal yang unik.

Berdasarkan kenyataan itu banyak agenda yang bisa digarap oleh kita semua dalam rangka mengembangkan dan menghidupkan sastra di Jawa Timur.. Hal-hal itu ialah: (1) Posisi Sastrawan Jawa Timur dalam Konstelasi Sastra Nasional, (2) Peta Cerpenis/Novelis Jawa Timur, (3) Peta Penyair Jawa Timur, (4) Peta Penulis Naskah Drama Jawa Timur, (5) Perkembangan Sastra Etnis Di Jawa Timur, (6) Warna Lokal dalam Sastra Jawa Timur, (7) Peran Kritikus Sastra bagi Perkembangan Sastra Jawa Timur, (8) Peran Media Massa terhadap Perkembangan Sastra di Jawa Timur, (9) Pendidikan Apresiasi Sastra di Sekolah dengan Muatan Lokal, dan (10) Peran Komunitas Sastra dan Jaringan.

Posisi Sastrawan Jawa Timur

Membaca karya-karya sastrawan Jawa Timur, baik itu berupa puisi, cerpen, novel, maupun teks drama sesungguhnya tidak kalah menariknya dengan para pengarang yang selama ini diberi label ‘nasional’ oleh Jakarta. Membaca puisi Herry Lamongan, Hidayat Raharja, atau Rusdi Zaki misalnya akan kita temukan getaran puitika. Membaca cerpen-cerpen Leres Budi Santosa atau R. Giryadi misalnya akan kita jumpai keunikan-keunikan ekspresi. Demikian pula saat kita membaca naskah drama Meimura dan Anas Yusuf.

Hegemoni Jakarta itu membuat buku teks pelajaran sastra di sekolah pun dipenuhi oleh penggalan puisi, cerpen, dan drama dari pengarang yang memiliki dominasi. Jadilah pengarang Jawa Timur subordinasi dari sebuah sistem besar yang bernama Sastra (Nasional) Indonesia itu. Kebakuan dan kebekuan semacam itu mestinya harus didekonstruksi. Sastra adi bisa saja lahir dari para kreator Jawa Timur.

Peta Sastrawan

Di Jawa Timur ini ditemukan kantong-kantong sastra. Banyuwangi, Jember, Lumajang, Probolinggo, Pasuruan, Malang. Batu, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Lamongan, Tuban, Bojonegoro, Madiun, Ngawi, Kediri, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Pacitan, Bangkalan dan Sumenep merupakan wilayah yang memiliki denyut sastra. Denyut sastra muncul karena konteks beragam. Pemicu denyut itu bisa berupa: (1) komunitas sastra, (2) ketokohan seseorang, (3) sekolah, (4) pesantren, (5) dewan kesenian, dan (6) perguruan tinggi. Enam hal itulah yang selama ini terlihat mampu membangun denyut nadi sastra. Oleh karena tidak terlampau salah bila kita berharap pula kepada mereka untuk selalu berupaya membangun terus kondisi posisif kesastraan demi perkembangan sastra.

Dengan melihat kantong-kantong sastra itu kita bisa melihat peta sebaran sastrawan Jawa Timur. Inventarisasi dan dokumentasi terhadap kiprah dan karya sastrawan Jawa Timur dan komunitasnya tersebut dapat kita pakai untuk menyusun sejarah sastra Jawa Timur yang secara sepenggal-penggal telah dimulai oleh almarhum Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo.

Sastra Etnis di Jawa Timur

Jawa Timur merupakan wilayah multietnis dan multibudaya. Ada tiga tradisi sastra etnis yang berkembang secara baik di Jawa Timur ini yaitu sastra Jawa, sastra Madura, dan sastra Osing. Sastra etnis merupakan kekayaan tak terhingga bagi Jawa Timur karena justru sastra etnis yang sungguh-sungguh memancarkan perilaku keseharian, bahkan ideologi masyarakat. Mungkin saja orang akan lebih mudah berpikir dan memutuskan masalah dengan bahasa ibunya daripada dengan bahasa Indonesia. Lebih mudah mendidik moral anak-anak bangsa dengan bahasa etnisnya daripada dengan bahasa Indonesia.

Kosa kata, idiom, dan tradisi etnis ini bisa saja mempengaruhi sastra Indonesia di Jawa Timur. Dampak pengaruh itu salah satunya memberi warna lokal dalam sastra Indonesia. Begitu besar sumbangsih sastra etnis demi pendidikan anak bangsa dan pemberian warna lokal, maka sudah sewajarnya harus tetap dipelihara, bahkan dikembangkan.

Peran Kritikus

Dalam sistem kemasyarakatan sastra antara sastrawan dan teks sastra, kritikus dan analisisnya, pembaca dan resepsinya, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Kehadiran mereka secara laras dan imbang akan mewarnai denyut dan nafas sastra. Kritikus itu hendaknya dipandang sebagai kreator lain di samping sastrawan itu sendiri. Jika sastrawan menulis berdasarkan kepekaan kritis dan estetik dalam menangkap gejala sosial dan fenomena di lingkungan hidupnya, kritikus menulis berdasarkan teks-teks sastra yang berserakan di sekitarnya. Kehadiran kritikus akan menciptakan kegairahan kreatif karena adanya gelombang kritik (yang mestinya selalu membangun) dari para kritikus tersebut.

Bahkan, kritikus bisa didudukkan sebagai komunikator dan provokator. Sebagai komunikator ia bisa menjadi jembatan antara kesenjangan pembaca dengan teks sastra. Tugas kritikus bukanlah menghilangkan kesenjangan tetapi menemani pembaca dalam meniti jembatan untuk sampai pada kekayaan penafsiran. Sedangkan sebagai provokator kritikus diharapkan bisa mempengaruhi pembaca agar mau membaca sastra. Dari aktivitas semacam itulah sistem sosial kesastraan bisa hidup dan terus hidup.

Siapakah kritikus sastra Jawa Timur? Inilah persoalannya. Orang lebih senang menjadi penyair atau cerpenis daripada menjadi penulis kritik.

(2)
Sastra ditulis untuk dikomunikasikan. Oleh karena itu sastra amat memerlukan media. Media massalah sebenarnya yang amat efektif sebagai media komunikasi sastra karena media massa selalu memiliki publik. Hanya saja sastra selalu kalah dengan ruang iklan. Tampaknya sastra dianggap tidak memiliki kontribusi ekonomi bagi media massa itu. Banyak koran yang terbit di Surabaya dan di Malang, tetapi hanya sedikit yang memberikan ruang terhadap sastra.

Koran semestinya tidak sekadar berpikir aspek bisnis semata, tetapi juga aspek kultural. Berita-berita kesenian yang terbatas pada entertainment semata hanya membuat orang hidup dalam dunia mimpi, dunia kaum selebritis, yang sebenarnya jauh dari kenyataan dunia pembaca apalagi Indonesia. Berita semacam itu hendaknya diimbangi dengan tulisan-tulisan yang lebih menukik kedalaman kesadaran, misalnya melalui cerpen, puisi, maupun kritik. Ada dua hal yang dapat dipetik: (1) sastra berkembang, dan (2) pembaca diajak untuk menambah wawasan lain melalui karya sastra.

Pendidikan Apresiasi Sastra

Kurikulum kita sekarang ini berbasis kompetensi. Dalam pendidikan sastra arah pembelajarannya ialah kemampuan siswa bersastra. Oleh karena itu orientasi teoretik hendaknya dikurangi dan diarahkan justru pada kegiatan apresiasi yang meliputi kegiatan resepsi, produksi, performansi dan dokumentasi. Untuk menunjang kegiatan itu bisa saja secara periodik sekolah mengundang para sastrawan ke sekolah. Hal itu bisa dilakukan dengan melakukan kerja sama dengan dewan kesenian di diaerah masing-masing.

Selain itu materi pembelajaran hendaknya juga diisi karya-karya para pengarang Jawa Timur, tidak semata-mata para sastrawan yang selama ini diberi label nasional itu. Karya-karya Anas Yusuf, Rahmad Giryadi, Zoya Herawati, Setiawan, dan sebagainya dapat dipakai sebagai sumber atau materi pembahasan karya sastra. Dengan demikian siswa tidak hanya mengenal Amir Hamzah, Chairil Anwar, STA, Sapardi Djoko Damono, dan sebagainya.

Peran Komunitas Sastra dan Jaringan

Sastrawan merupakan profesi yang sebenarnya bisa dijalankan secara sunyi. Artinya, tidak perlu melibatkan orang lain. Tetapi, dalam hal tertentu motivasi eksternal pun diperlukan. Melalui komunitas, formal maupun insidental, mereka saling mendiskusikan karya mereka, bahkan mendiskusikan kecenderungan perkembangan estetika mutakhir. Dari situlah mereka bisa membangun warna dan kegairahan berkarya. W. Haryanto, Indra Tjahyadi, dan kawan-kawan mampu membangun komunitas yang melahirkan warna surealisme dalam karya-karya mereka. Hal semacam itu tentu sangat positif. Sanggar Triwida Trenggalek, Barisan Seniman Muda Blitar yang diprakarsai Bagus Putu Parto, Forum Bias Sumenep yang dipimpin Syaf Anton, Komunitas Rabu Sore Surabaya, dan sebagainya merupakan komunitas-komunitas yang berhasil di masanya.

Di samping itu juga perlu dibangun jaringan antarsastrawan, antarkomunitas, antarwilayah, dan antarnegara. Jaringan ini sangat diperlukan agar kita bisa mengkaji perkembangan sastra di tempat lain demi perkembangan sastra di Jawa Timur.

Agenda-agenda

Apa yang saya tulis di atas merupakan lemparan gagasan, atau mungkin obsesi saya demi perkembangan sastra di Jawa Timur ini. Agenda-agenda yang saya tawarkan tersebut saya pandang memiliki nilai strategis bila kita benar-benar ingin membangun jati diri sastra Jawa Timur dan mengembangkannya..

*) Penyair tinggal di Malang

Jejak Langkah Sanggar Belajar Bareng Gubug Liat

Rahmat Sularso Nh*
http://www.radarmojokerto.co.id/

Jombang sebagai kota dengan demografi yang strategis karena representatif dalam jalur transportasi, pergerakan ekonomi, serta arus kebudayaan. Tidak pelak kondisi ini benar-benar terasa dalam arus budaya yang terus berkembang dan mengalami kondisi bergeliat akhir-akhir ini semangat penggiat seni Jombang. Terlihat dari pelbagai kantong-kantong kesenian mulai berjalan dengan genre yang di bawanya. Misalnya teater tidak henti melakukan pagelaran-pagelaran dari tiap gedung pertemuan Jombang, misalnya Mahasiswa STKIP PGRI Jombang mengadakan pentas studi tiap awal tahun. Belum lagi komunitas-komunitas teater seperti Komunitas Tombo Ati Jombang, tidak melewatkan menyelenggarakan pentas dalam rangka disnatalis maupun mengusung naskah-naskah dengan membicang persoalan sosial yang kadang kala masih terdapat benang merah terhadap relevansi kondisi sosial masyarakat Jombang.

Gebrakan lain pun coba dilakukan Teater Kopi Hitam Indonesia yang digawangi Cucuk Sp dengan rekan-rekan, mengusung konsep minimalis dan memanfaatkan ruang pementasan sebagai properti dalam mendukung pagelarannya. Ternyata memperoleh responsif dan apresiasi sangat positif, terbukti dengan menggelar pementasan keliling ke daerah-daerah yang sebelumnya sudah menjalin jejaring kebudayaan.

Kondisi tersebut ternyata dibarengi dengan geliat kantong sastra yang ada di Jombang tidak ingin melewatkan semangat kesenian yang mulai membakar. Geladak Sastra dari Komunitas Lembah Pring Jombang sebelumnya sudah memulai terlebih dahulu, di Pondok Pesantren pun turut memeriahkan oleh komunitas Kopi Sareng di Pondok Pesantren Tebuireng, Komunitas Koma dari Pondok Pesantren Tambakberas, serta santri-santri di Pondok Pesantren Rejoso Peterongan sudah mengusung gagasan sastra yang bersumber dari Pesantren maupun meloncat pagar di luar Pesanter. Adagium yang sudah di sampaikan itu menggambarkan atmosfir kesenian yang terdapat di Jombang telah semarak khusunya seni sastra dalam hal ini.

Menegok aktifitas tersebut Sanggar Belajar Bareng (SBB) Gubug Liat pun menampilkan ragam kegiatan sastra yang tidak jauh beda. Mulai dari diskusi, bedah buku, atau menyoal peristiwa tertentu. Seperti pengakuan Lurah Komunitas Lembah Pring Jombang, Jabbar Abdullah dalam SMS nya mengakatan setiap pertemuan, akan selalu terjadi interaksi dari yang hadir. Di situ akan terjadi pertukaran dan penularan informasi serta transformasi pengetahuan. Lebih dari itu, pertemuan adalah salah satu upaya menguatkan silahturrohim dan jejaring. Tidak lepas dari gagasan itulah SBB Gubug Liat mencoba membangun sinergitas yang harmonis antar elemen masyarakat kesenian serta bagi individu-individu yang berniat belajar kesusastraan Indonesia. SBB Gubug Liat pun bisa dikatakan menemukan roh nya ketika menangkap gairah dari gerakan Geladak Sastra Komunitas Lembah Pring Jombang dengan kesederhanaan mampu menciptakan ruang serta jaringan-jaringan baru terlepas dari lingkungan Jombang saja.

Setahun lebih SBB Gubug Liat berjalan, Jumatan Sastra yang sudah memasuki episode kedelapan dianggap ruang berlajar paling fleksibel dengan dilaksanakan setiap minggunya pada hari Jumat pukul 18.45 WIB di Gazebo STKIP PGRI Jombang. Bagi sebagian kawan ketika informasi pelaksanaan Jumatan Sastra mulai disebar melalui SMS atau jejaring sosial agaknya menganggap kegiatan itu cukup ekstrim kalau dilihat pada namanya. Semula memang dari diskusi biasa tiap pekannya, harapannya untuk membangun eksistensi dalam bersastra. Sebab dalam beberapa kesempatan pertemuan, pertanyaan-pertanyaan tentang aktivitas Gubug Liat seperti apa masih menjadi bayangan yang terus mengejar. Istilah Jumatan Sastra pun terceletuk pada pertemuan keempat, saat membahas tentang naskah monolog K O N D A N G karya Tedi Subohastowo. Jumatan Sastra kemudian menjadi istilah agenda mingguan SBB Gubug Liat sampai saat ini.

Berangkat dari sanalah, menghimpun kawan-kawan dari kebersamaan yang sudah terjalin sebelumnya dalam kegiatan selama studi di STKIP PGRI Jombang. Akhirnya berkelanjutan mengisi ruang sastra di Jombang, dengan diawali diskusi kelompok kecil secara berganti di rumah anggota sebab belum mempunyai sanggar, mampu dilanjutkan memfasilitasi membedah Menggugat Pertanggungjawaban Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri sebuah kumpulan esai Nurel Javissyarqi dalam Safari Sastra mengunjungi jejaring di sekolah. Saat itu yang menerima tawaran SBB Gubug Liat dengan belajar bareng peserta didik di sana adalah SMA Muhammadiyah 1 Jombang. Setelah itu menggagas diskusi rutin tiap minggu masih dengan konsep belajar bareng dan hingga saat ini sudah memasuki pekan ke sembilan bisa menampilkan sembilan pembahasan berkelaanjutan tiap minggu. Mengawali membincang mengenai Perjalanan Sastra Indonesia, Belajar Menulis yang Mudah dan Enak Dibaca pembahasnya M. Rifqi Rahman, mengapresiasi puisi-puisi Rangga Prayoga (mahasiswa STKIP PGRI Jombang), membedah naskah monolog K O N D A N G karya Tedi Subohastowo, tidak ketinggalan pengajar dari Kecamatan Perak Miftakhul Rozak menyajikan kumpulan puisinya dalam Bercinta Malam-malam untuk di gado bareng, cerpen Antara Jiwa, Keyakinan, dan Kepastian karya Ari Sintya (Mahasiswa STKIP PGRI Jombang), esai Aktualisasi Sastra Jawa di Era Sekarang karya M. A. Malik, pekan terakhir Sinau Puisi dengan keterlibatan semua kawan-kawan yang datang ke pembelajaran kontekstual membuat puisi.

Selanjutnya mengamati dari aktivitas sastra selama ini di Jombang yang berkutat pada tataran diskusi, bedah buku, ataupun melakukan pembacaan lainnya. Kiranya perlu gebrakan lain untuk memecah kejenuhan audience dengan membuka kesempatan membangun komunikasi lain dengan masyarakat di luar sastra. Misalnya mengajak kawan-kawan mahasiswa, pelajar, bahkan santri yang tertarik dan ingin belajar sastra. Bisa jadi menghindari pertemuan-pertemuan sastra hanya dengan orang-orang yang sama, baik berbeda penyelenggara dan acaranya. Proses pemberdayaan pun menjadi pilihan, misalnya membuat esai-esai ketika membedah karya keluarga besar SBB Gubug Liat di tunjang membawa referensi serta buku-buka yang bisa dijadikan rujukan ketika memberikan kritik. Terakhir mengadopsi dari proses pembelajaran di sekolah, melaksanakan pembelajaran kontekstual membuat puisi dengan menangkap ide-ide dari lingkungan sekitar untuk digambarkan kedalam bentuk puisi.

Menyelenggarakan dengan tempo berkesinambungan bukan berarti sejalan dengan kehendak yang sudah terbersit dalam angan. Hadangan timbul tenggelam datang dari berbagai sumber. Meskipun begitu tidak menjadi alasan mendasar sehingga harus menghentikan, bahkan ketika mengalami kevakuman beberapa waktu. Menumbuhkan memang berbeda ketika sudah merawat butuh konsistensi dan selalu tumakninah. Sehingga Jumatan Sastra pun tetap ada dalam gempita sastra meski membaca serta menulis masih tergolong aktifitas pribadi, bisa pula dilakukan secara komunal. Memasuki Bulan Ramadhan 1432 Hijriyah pun disiapkan formula baru agar lebih tepat dengan situasi dan kondisi. Meyesuaikan tema perbincangan, bahan pembelajaran, dan waktu pelaksanaan mau atau tidak tetap harus melebur.
Semoga semangat itu terus membara, bak Api Abadi.
__________
Rahmat Sularso Nh, Penggiat Sanggar Belajar Bareng Gubug Liat

Bung Tomo Bersajak

http://tempointeraktif.com/
Catatan terkait: http://sastra-indonesia.com/2009/01/bung-tomo-pahlawan-penyair-indonesia/

Pu, Pu Garpu.
Mungkinkah wartawan menipu?
Sampai pembaca terbius bisu?
Yang dhalim tidak disapu,
4 sal wartawan bemandi susu. ***

BAIT di atas adalah salah satu bagian sajak yang kemudian populer dari Bung Tomo. Malam 2 Agustus itu ia mebacakan sajak-sajaknya Kepada Bangsaku (1946). Terali Sutera, dan KAMI (1966). Yang paling mendapat banyak sambutan adalah Kelompok Dinner-Set Saling Bertanya, tentang perilaku sebagian kaum wartawan kini.

Setelah dua tiga bait, selalu muncul ulangan:

“Petani-petani kecil cengkeh.
Tertawa sinis terkekeh-kekeh.
Pengisap-pengisap kretek,
Ikut protes merengek-rengek.”

Selesai bait ini, bendera merah dari kertas yang ada di tangannya dinaikkannya ke atas dan seperti yang telah diminta, hadirin meneriakkan:

“pungli, pung, pungli, pung.”

Sajak dinner-set ini dinyatakan ditujukan kepada Persatuan Wartawan Indonesia, yang beberapa waktu lalu menerima hadiah sumbangan perlengkapan alat-alat makan dari Ptobosutejo, adik seibu Presiden Suharto.

Kata Bung Tomo: “Saya mual mendengar pidato sambutan Ketua PWI Harmoko ketika menerima hadiah tersebut. Berlebihan pidatonya — hanya untuk dinner-set yang 7 juta rupiah”. Harmoko beberapa hari kemudian bilang: “Lha wong dikasih kok Ya harus menyatakan terimakasih.”

Altar Teater Luwes Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) di Tanan Ismail Marzuki Jakarta, cukup meriah dan penuh semangat. Di sisi podium, ada sebuah meriam terbuat dari kertas, patah larasnya. Kemudian tulisan: Merdeka tapi bingung ….. Bendera merah putih cukup besar terpampang disisi lain.

Bung Tomo malam itu mengenakan batik merah jambu. Biar umurnya kini sudah 57 tahun, suaranya masih lantang, mengingatkan orang pada singa corong radio yang membakar semangat kemerdekaan dulu.

Kemudian muncul Ketua Dewan Keluarga Mahasiswa (DKM) Labes Widar yang naik pentas untuk menyematkan lencana Merah Putih dan lambang Garuda Pancasila ke dada Bung Tomo. Kata Labes Widar “Di Yogya beberapa waktu yang lalu, seorang mahasiswa ditangkap karena mengenakan Merah Putih ini. Saya ingin tahu, apakah Bung Tomo akan ditangkap juga.”

Setelah Bung Tomo, tampil antara lain penyair-penyair Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, membacakan sajak-sajak. Antara lain: Kembalikan Indonesia Padaku, sajak ‘Taufiq. Kaos bertuliskan judul sajak tersebut, cap bendera Merah Putih kecil dan Garuda Pancasila, habis terjual.

Suasana memang santai dan kacau. Untung Tomo sendiri, ketika ditanya pendapatnya tentang anak-anak muda yang bersajak-sajak dengan nyindir dan tidak jarang jorok, herkata: “daripada mereka main tembak, kan lebih baik baca sajak. Kreatif.”

03 September 1977
Sumber: http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/1977/09/03/PT/mbm.19770903.PT75394.id.html

Sabtu, 03 September 2011

DEWAN KESENIAN DAN PROBLEMATIK SASTRA JATIM

Fahrudin Nasrulloh*
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

Dewan kesenian yang eksis di berbagai wilayah di propinsi Jawa Timur memiliki kontribusi sekaligus problem tersendiri. Dari 38 kota dan kabupaten di Jatim kiranya tidak semua wilayah tersebut bercokol lembag dewan kesenian. Kendati Jatim menyimpan 10 subkultur kebudayaan (ditambah 2 kultur budaya Arab dan Cina) yang sangat kaya dan luas.[1] Dewan kesenian terbentuk oleh entitasnya sebagai upaya bagaimana kesenian dipikirkan dan kemudian dikelola, diurus dengan baik. Apakah kesenian memang perlu dilestarikan dan terus ditumbuh-kembangkan oleh semacam lembaga yang semi swasta semi pemerintah ini? Tidak mudah menjawabnya. Namun pemerintah juga punya visi dan strategi dalam ancangan agenda-agenda pembangunan untuk memberdayakan kebudayaan bangsanya dan kesenian yang berkembang di wilayahnya, yang kentara adalah lewat kementerian budaya dan pariwisata. Di sini definisi dan konsentrasi pengembangan antara “budaya” dan “pariwisata” sering tumpang-tindih, mengalami kerancuan. Satu sisi, bagaimana suatu budaya ditangani lalu diperhadapkan pada tantangan globalisasi-kapitalistik. Sisi lain, yang pariwisata itu, agendanya adalah mengembangkan budaya, mengolah hasanah lokalitas, obyek wisata, perhotelan, dan sarana pendukung lain semacam yang sering dijargonkan dengan istilah industri kreatif atau ekonomi kreatif. Bukan sekedar dodolan potensi sumber dayanya. Mengurusinya justru hal yang tak gampang, krusial, bahkan rentan menuai kritik.

Dalam konteks dewan kesenian, karena ini berhubungan erat dengan pemerintah yang mengucurkan dana, maka bagi yang terlibat di dalamnya, baik seniman maupun budayawan atau yang blenk soal itu tidaklah bisa melepaskan wilayah politik-birokatis yang oleh karenanya membutuhkan kesadaran politik yang kontekstual. Di Kabupaten Jombang misalnya, dewan kesenian pernah dibentuk tahun 1999, tapi mampet. Persoalan klasik seperti watak seniman yang tidak bisa bergerak bareng mewujudkan satu visi dan keseriusan pemerintah setempat menjadi problem kasuistik yang mendasar. Sekitar 2 kali agenda pembentukan lembaga itu diadakan dalam bentuk seminar kebudayaan kisaran tahun 2000-an, tapi nihil. Hingga yang terakhir, pada 25 Februari 2010, Dewan Kesenian Jombang dikukuhkan, itupun dengan munculnya secara tiba-tiba dana hibah 500 juta. Apakah dengan tidak mengalirnya dana hibah itu Dewan Kesenian Jombang tidak akan dibentuk?

Dinas Porabudpar Jombang penyorong utama pembentukan Dewan Kesenian Jombang itu. Ironisnya, hingga kini deadlock. Padahal sudah 3-4 kali rapat dan yang terakhir raker pun telah diadakan. Kiranya, ada “orang dalam” yang sedang “bermain” petak umpet dan bikin “telikung intrik”, lebih gelap dari puisi gelap, di sana.[2] Membuat kita kian sumpek dan bertanya-tanya, untuk apa sebuah dewan kesenian di masa yang penuh sengkarut dan pragmatis ini dibentuk? Lain lagi yang terjadi di Muara Enim. Seorang teman warga kota itu, Fikri namanya (aktor teater jebolan Komunitas Tombo Ati dan alumnus Fakultas Bahasa dan Sastra STKIP PGRI Jombang), bercerita kepada saya tentang dewan kesenian di sana di mana memang SDM-nya minim kualitas. Tak mampu mengelola ketika dikucuri anggaran 250 juta pertahun. Maka dananya ditarik kembali oleh pemda.[3]

Nah, sekarang, bagaimana kita mencermati keberjalanan Dewan Kesenian Jawa Timur? Tampaknya lembaga ini terus bergeliat dengan semangat yang progresif dan selalu gemebyar agenda-agenda keseniannya. Dalam kepengurusan yang sekarang dipimpin oleh A. Fauzi, kita bisa melongok siapa sosok ini. Konon, dulu ia adalah seniman tari, seperti juga Heri Lentho Prasetya. Yang keduanya kini tak lagi menekuni tari.[4] Dunia tari Surabaya khususnya, terasa kehilangan gregetnya, malah nyaris tidak terdengar generasi penerusnya. Komite teater ada R. Giryadi, sementara di luar dia banyak pegiat teater Surabaya yang terus menggali spirit kebaruan berkaryanya, semisal Zainuri dan Hanif Nasrulloh. Kendati begitu, persoalan teater di Surabaya yang agak tertatih-tatih masih sepi dari kritik, eksplorasi, dan koreksi.[5] Dan Biro Sastra DKJT dimotori penyair dan novelis Mashuri. Rata-rata pejabat di DKJT ini adalah seniman yang sekaligus mengurusi kesenian. Perlu dipikirkan juga, apakah sudah tepat misalnya di tubuh DKJT yang mengurusi kesenian adalah seniman juga? Kadang saya menyayangkan, sejumlah teman seniman yang sebenarnya masih punya kesempatan panjang dan potensial dalam upaya proses kreatif kekaryaan menjadi seolah-olah mandul dan kering dalam keberkayaannya. Birokrasi dan tetek-bengek urusan administratif demikian menyedot banyak waktu dan konsentrasi. Jadi kian berat mempertahankan keajegan dan konsistensi dalam berkarya.

Mungkin perlu adanya semacam penyegaran bahwa yang mengelola DKJT secara teknis di lapangan adalah orang-orang selain seniman, dan mereka paham bagaimana menjalankan tugas-tugasnya.[6] Para seniman bisa dijadikan semacam penasihat. Paling tidak ini upaya meminimalisir kasak-kusuk tidak produktif dan kesan “politik kesenian” yang sering dialamatkan pada DKJT. Kesan DKJT berperan lebih banyak sebagai EO (even Organizer) penting untuk dipelototi.[7] Juga soal penerbitan buku dan Majalah Kidung.[8] Ini sungguh menyodok dan bikin gerah. Sorotan dan gugatan demikian memang tak terelakkan, selain problem pribadi antar seniman yang lebih complicated.

Mencermati situasi DKJT demikian, saya coba membaca pertalian erat yang saling pengaruh-mempengaruhi antara lembaga tersebut dengan kondisioning sastra dan komunitas sastra di Jatim saat ini. Ada empat pembacaan. Pembacaan ini mengacu pada relasi ruang sosial sastra dan penggiatnya, lokalitas, efek gerakan sastra, etos kreatif, serta tantangannya.

1. “Sastra DKJT” dan Gerakan Sastra Komunitas

Ketika membincangkan ihwal realitas sastra Jatim, kayaknya pencermatannya bisa nabrak ke mana-mana dan tidak fokus. Pertanyaan entengnya, realitas sastra Jatim yang bagaimana? Data macam apa dan sejauh mana geliat sastra yang bergerak di 38 kota/kabupaten di Jatim? Ini data yang butuh kerja raksasa dan tidak main-main. Mungkin, secara kasarnya, realitas sastra dan itu menjadi mainstream sastra Jatim saat ini adalah “realitas sastra DKJT”: yakni agenda-agenda sastra yang dihelat Komite Sastra DKJT, yang terkadang bekerja bareng dengan Dewan Kesenian Surabaya (DKS) dalam bentuk forum diskusi Halte Sastra. Tentu tidak menafikan geliat komunitas lain di Surabaya seperti Komunitas Esok, Srawung Art, Komunitas Luar Pagar, Komunitas Rabo Sore, Komunitas Tikar Pandan (Iqbal Baraas di Banyuwangi), Komunitas Lembah Pring (Jabbar Abdullah di Jombang dan Mojokerto), dll. Dan yang terbaru ini telah muncul Forum Sastra Gokil (FSG) yang dipawangi Mardi Luhung,[9] dan digerakkan A. Muttaqien dan kawan-kawan. Nongolnya forum baru semacam ini tetap bermakna, bahwa berdiskusi dengan nongkrong-nongkrong nyantai di warung kopi untuk mengudar berbagai gagasan dan wawasan, dari yang muda sampai yang tuek, harus terus disengkuyung bersama. Sebab pertemuan secara langsung memiliki daya “bakar kreatif” sendiri dibanding di “kamar onani facebook”.

Maka Komite Sastra DKJT ibarat obor sastra Jatim yang berpusat di Surabaya, yang tak henti gelisah mengulik identitas wilayahnya. Banyak even sastra yang tergelar di sini. Tulisan ini bukan berupaya memetakan. Karena saya bukan ahli ukur tanah. Bukan berarti pemetaan sastra atau komunitas sastra tidak penting. Sangat penting. Dan itu sejatinya tugas bagi siapa pun, lebih-lebih bagi lembaga seperti DKJT. Sebab realitas sastra Jatim cakupannya luas sekali, dan memang nggak terlalu mendesak didiskusikan.

Saya cenderung tertarik menghubungkan tema di atas pada bahasan totalitas berkarya beberapa penulis, misalnya pada Mardi Luhung, Mashuri, dll. Atau para cerpenis generasi muda Jatim seperti Diana AV Sasa (Pacitan), Hanif Nasrulloh (Surabaya), S Jai (Lamongan), Ahmad Rofiq (Gresik), MS. Nugroho (Jombang), Iqbal Baraas (Banyuwangi), Mahwi Air Tawar, dan beberapa penulis muda Madura lainnya seperti Lukman Mahbubi, Juwariyah Mawardi, Mawaidi MD, dan Badrul Munir Khoir. Jadi, persoalan sastra kita sebernarnya adalah bagaimana membangun kegetolan berkarya, karena itu pada puncaknya jelas mengimbas pada karya juga.

Perkara lain adalah ruwetnya psikologi penulis terkait motivasi berkarya dan “iman” kepengarangan. Semua pengarang berjibaku di sini. Bertarung demi menembus koran nasional dan ini pertaruhannya adalah kualitas karya dan totalitas berkarya. Tentu hanya yang terpilih yang disortir redaktur koran untuk dimuat di antara ratusan karya. Otokritik jadi penting juga, yang jika diabaikan kerap melahirkan over subyektivitas, narsis, dan sinisme pada karya orang lain. Di sinilah “iman” kepengarangan diuji: bagaimana karya terus ditempa dengan berpijak pada pertarungan batin personal dan ruang sosialnya. Karya-karya D Zawawi Imron dan Mardi Luhung membuktikan itu. Keterlibatan yang bisa “umup” dan “istiqamah” dalam mengeksplorasi identitas kultur-sosialnya, bukan cuma modal imajinasi, tapi riset serius.[10] Karya yang besar akan muncul sendiri menembus masa depan.

Maka komunitas sastra yang telah dibentuk sejumlah kawan paling tidak diharapkan mampu melahirkan suatu gerakan sastra yang militan dan punya visi yang jelas. Kita belum menemukan itu di Jatim.

2. Labirin Setan “Sastra Facebook”

Duduk berlama-lama. Dari pukul ke pukul. Jam dinding sekarat. Meleleh ke mulut. Matanya bunar. Bunarnya menggerogoti usus. Mengunang-ngunang semalaman seharian. Mengamati status sendiri, teman, orang lain. Pikiran ngleyang ke entah. Sudah lama gagasan buntu. Kayak peceren. Mencari sesuatu. Untuk apa? Untuk basa-basi. Mungkin semata busa-busa kata. Digelisah siapa, diburu apa? Hilang lagi. Apalagi yang menjelma hantu di tengkuk. Bayangan sendiri, menghantui leher sendiri. Cari angin magrib. Putar film Love Song for Bobby Long. John Travolta yang kacau. Rambut putihnya amat puitik. Jadi cacing cemas. Scarlett Johannsen aduhai sintalnya. Lawson yang murung terkubur kenangan romansa Eliot dan Dickens. Kenapa dimatikan. Membuka layar baris puisi lagi. Puisi ini harus selesai. Dangkal! Buang! Ya, di sana. Ini dia. Yang lama ditunggu-tunggu. Yang luput tertangkap. Jalanan ramai. Kendaraan bergerung-gerung. Pikiran akan puisi, kota, ampas imajinasi, tak bisa dihentikan. Mengalir terus. Tubercolusis ini, ambeyen, maag, kesemutan, migren, welahdalah. Benarkah begini. Cuma rematik. Mampus juga biar. Tapi pekiknya melambat. Merayapi tenggorokan. Invictus diputar lagi. Mandela tak mati. Melayap lagi. Bensin habis. Ada yang memberat ditulis. Dikibuli. Ancrit tenan! Tidak sekarang. Ada laki-laki iseng nungging. Perempuan gendeng tengkurap.

Hai lihat status baru itu! Status bugil yang mengular. Seperti mayat busuk. Ah, tidak jadi. Malas komen. Bau bangkai babi. Berpikir lagi. Jari-jari kram. Air telinga meleler. Langit tetap cemerlang purnama. Pipinya merona. Jalanan macet. Koran-koran beterbangan! Mau apa lagi ya? Ini sungguh darurat. Ah, nggak juga. Ia menggebuk komen itu sana-sini. Ini harus dihapus. Biarkan sebentar. Nunggu komen baru. Rokok minta dikepulkan. Perih asap di mata. Kopi tinggal kerak. Ada yang kangen kopi unthuk dari Gresik. Beli rokok lagi. Asbak mana ni? Datang ke acara itu nggak ya? Alamatnya tak jelas. Di rumah saja. Atau nongkrong ke warung sebelah. Cari inspirasi, sepotong puisi, puisi gagal, separagrap cerpen dan esai. Ah, suntuk. Busuk. Dihajar bosan dan kantuk. Nulis ngawur saja. Tentang kebrengsekan seniman ini lembaga itu. Puisi jelek ini puisi bagus itu. Bla-bla-bla. Muter-muter dari lidah ke pantat. Di sini lebih baik. Di medan cyber. Kumpul-kumpul juga hanya jadi kentut. Oh, kentut kotaku yang hiruk bertempikan. Nyesaki dubur. Si Kontet misuh: Jancok!

Demikianlah sepentil ilustrasi dari kolong penggila facebook sebagai salah satu medan ekspresi sastra yang tak terelak lagi di jaman Blackberry ini. Perkembangan teknologi yang supercepat kini bergerak zig-zag menerobosi kita: menciptakan harapan sekaligus kotoran. Harapan dalam arti teknologi informasi telah mengaruskan berbagai jenis saluran informasi dari seluruh penjuru dunia, dan setiap orang hilir-mudik di dalamnya. Melalui teknologi itu pula kita menyaksikan suatu interaksi sosial, lanskap “dunia rata”, “dunia ulang-alik” di mana siapa saja bisa menumbuhkan jaringan sosial dan menjadi pelaku dalam percaturan aneka pergaulan.[11]

Dalam konteks itu, kiranya kehidupan sastra yang memang berurusan dengan tulisan, bisa lebih dapat dikembangkan. Jika dahulu kita sangat tergantung kepada dunia percetakan dan penerbitan yang berpusat di kota-kota besar, yang seiring juga dengan pembentukan selera, citra dan nilai yang cenderung sentralistik, kini melalui teknologi informasi yang bersifat cyber yang sudah ada di mana-mana, setiap penulis bisa mengakses dan menyampaikan karyanya kepada siapa saja. Penulis sekaligus sebagai “redaksi” yang menyeleksi karyanya yang dianggap bisa dinikmati oleh semua warga dunia maya itu. Tentu ada dampak negatif. Karena setiap orang bisa saja menulis karya sastra dan mengirimkannya, maka karya dengan mulusnya bisa lolos, dan mungkin konsekwensinya juga dunia maya akan dibanjiri oleh karya sastra yang kurang bermutu bahkan buruk.

Tapi “efek samping” itu tidaklah terlalu benar. Sebab, dalam belantara cyber juga terdapat interaksi kritis, bahkan skala kekritisannya melebihi dibandingkan dalam dunia penerbitan. Jika dalam dunia penerbitan kapasitas kritis hanya dipegang oleh sang kritikus, kini siapa saja, di samping sebagai penulis, juga bisa menjadi kritikus atau perusuh. Polemik yang baru-baru ini terjadi terkait terbitan buku Pesta Penyair yang diterbitkan Komite Sastra DKJT mencuatkan berbagai dialektika krusial seputar gonjang-ganjing sastra di Jatim baru-baru ini.[12] Menyedot keterlibatan kritis dari luar, seperti getolnya Saut Situmorang dkk terkait problem sastra Jatim dengan sengkarut permusuhan Boemipoetra versus TUK. Sebagai contoh, unggahan facebook Jabbar Abdullah (Komunitas Lembah Pring Jombang) ihwal tulisan tanggapan AF Tuasikal berlambar “Skandal TUK Manipulasi Sastra Jatim”, yang dimuat di harian Kompas Jatim (27/8/2010) terhadap tulisan Beni Setia dan Dwi Pranoto sebelumnya. Ini bukti percekcokan di jagat facebook, bukan lagi di forum diskusi. Apa pun dan dengan siapa pun mereka bisa perang gagasan sampai cakar-cakaran di sini.[13]

Kondisi ini menunjukkan demokratisasi sastra yang membludakkan pecahnya ruang sosial yang dulunya tidak seperti itu. Penuh gejolak, intrik, dari yang bersifat politis, main-main, serampangan, dan serius.

3. Mampetnya Sastra Pesantren

Peranan pesantren dalam sejarah dunia literasi di Indonesia tak dapat dielakkan pengaruh besarnya. Hanya saja kini nyaris tak ditemukan denyut bagaimana sastra pesantren dikembangkan secara intens sebagai suatu gerakan kebudayaan islami. Dari kalangan muslim di luar tradisi pesantren, Forum Lingkar Pena (FLP) telah menunjukkan gerakan kepenulisan yang fleksibel dan progesif. Padahal jika ditilik secara kuantitatif, jumlah pesantren di Jatim sangatlah banyak. Bahkan ratusan. Di Jombang saja, pada 2008, jumlah pesantren berkisar 83 pesantren. Kediri 150-an. Belum lagi di wilayah tapal kuda: Jember, Banyuwangi, Lumajang, Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso. Tentu kini hitungan itu makin berbiak. Wilayah Madura apalagi, dan Sumenep yang paling menunjukkan geliat itu.

Satu catatan kecil, Ponpes Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang yang bekerja sama dengan RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah) dan jaringan intelektual NU menggelar Halaqah Nasional Kebudayaan Pesantren pada tanggal 22 – 23 Agustus 2008. Acara yang diadakan di aula masjid Ponpes Tebuireng tersebut mengusung tema “Kebangkitan Sastra Pesantren”.[14]

Kegiatan ini menunjukkan gairah menulis para santri ponpes Tebuireng khususnya, dan para undangan yang datang dari beragam wilayah di Jawa. Ini mengingatkan kita pada tahun 1998 di mana pernah digelar Kongres Kebudayaan Pesantren di Ponpes Pandanaran di Magelang, Jawa Tengah, yang menghadirkan Menteri Agama Thalhah Hasan, Dr. Simuh, Ahmad Thohari, dll.

Kontribusi dari kegiatan semacam ini sangatlah penting sebagai jejak untuk meniti arah perkembangan ke depan. Karena pesantren sejak dahulu merupakan basis intelektualisme lslam yang cemerlang yang kini memerlukan reorientasi dan cakrawala baru dalam memaknai dan menumbuh-kembangkannya. Tentu, halaqah ini, ke depannya, dapat lebih difokuskan pada semisal, workshop kepenulisan yang ajeg dan bervisi jelas. Sejumlah penulis berbasis pesantren dari berbagai daerah turut menyemarakkan acara ini seperti, Sachri M. Daroini (Magelang), Isma Kazee (yang juga redaktur Mata Pena [lini Penerbit LKiS], Yogyakarta), Zaki Zarung (Yogyakarta). Hadir pula saat itu penyair M. Faizi (dari Ponpes An-Nuqayyah, Guluk-guluk, Sumenep), dan Dadang Ali Murtono dari Pacet, Mojokerto. Kedua penyair ini puisinya masuk dalam antologi dua belas penyair mutakhir Jatim 2008.

Kita perlu muhasabah dan mengharap respon positif dari kalangan sesepuh pesantren: bagaimanakah kiprah dan kontribusi pesantren sebagai wilayah produksi kebudayaan agar tidak lungkrah (terbengkalai) dan bermelodrama dalam tradisi masa silam semata. Dalam perkara ini, kebudayaan bukan hanya dalam bentuk seni-budaya saja. Kita tahu bahwa banyak bentuk seni-budaya NU yang kini boleh dikatakan berkembang dan ikut bersaing, dan mendapatkan apresiasi masyarakat, seperti musik gambus (di Jombang misalnya ada Gambus Misri), hadrah, komunitas rebana dan lainnya. Bahkan dalam dunia sastra modern, kita juga melihat akar potensi sastra pesantren walaupun belum memiliki wujud yang signifikan. Perlu pula pendataan komunitas sastra di pesantren. Mlempem-nya pemikiran kesusatraan (lebih luas dalam konteks kebudayaan) pesantren harus segera diwujudkan. Setidaknya dijadikan bahan refleksi.[15]

4. Penggerak Sastra Lokal

Derap teknologi yang kian menderas terlebih perkembangan media internet perlu dipikirkan kembali oleh para penulis sastra lokal yang memiliki orientasi kepada upaya untuk mengembangkan nilai pengaruh karyanya, di mana dunia internet bisa dimanfaatkan secara efektif. Karena akses penerbitan karya masih jadi kendala. Sekaranglah kondisi yang sangat memungkinkan karya sastra dengan bobot nilai sejarah lokal bisa diketahui secara intensif oleh siapa saja. Dan sangat memungkinkan dengan interaksi yang intensif itu terciptalah kritik dari perspektif sejarah lokal lainnya, yang secara positif memungkinkan dinamika pembaharuan akan nilai sastra dari sejarah lokal masing-masing.

Hanya masalahnya sekarang, sejauh manakah penulis sastra lokal benar-benar memiliki spirit sebagai periset; kapasitas riset perlu dikembangkan melalui penajaman metode dan pendalaman berbagai data, fakta serta pencarian sumber-sumber baru lainnya dengan kupasan kritis. Jika saja setiap penulis sastra lokal bisa menerapkan hal ini, bahkan pada tingkat data, fakta serta kupasannya saja, sudah menarik, dan hal itu sangat memungkinkan untuk proses pembaharuan karya serta terciptanya sastra “masa depan Indonesia”.

Dengan kondisi yang kian terbuka dan seluruh jagat bisa dijembatani oleh dan melalui dunia internet, tantangan bagi penulis sastra lokal untuk kembali mencari akar dari kehidupan sastranya: sejarah sosial, kerangka nilai-nilai pendahulu yang pernah ada di sekitar wilayahnya; revitalisasi dengan kesadaran visi ini sungguh menggembirakan, dan kemajuan teknologi informasi bisa menjadikan hidup lebih manusiawi melalui sastra lokal. Inilah yang saya sebut sebagai “sastra keterlibatan”, memiliki empati pada basis sosio-historisnya. Ini sekaligus untuk menepis bahwa tidak semua penulis cuma berkutat dalam “kamar sunyinya” sendiri, melulu berkarya bermodalkan imajinasi.

Kaitannya dengan komunitas sastra, penggerak sastra lokal di berbagai daerah di Jatim sangatlah banyak. Tidak adanya pemetaan juga mengaburkan pendeteksian, dan ini persoalan lawas.[16] Sastra lokal bisa pula mengacu pada sejumlah penulis yang berkarya dan menerbitkan karya dengan koceknya sendiri. Dan Lamongan adalah gudangnya. Kita bisa menyebut Nurel Javissyarqi dengan Penerbit Pustaka Pujangga-nya, Alang Khoiruddin (Penerbit Pustaka Ilalang), AS Sumbawi (Penerbit Sastranesia), dll. Puluhan karya sastra baik dari penulis Lamongan sendiri maupun dari luar banyak yang mereka terbitkan.

Perkembangan penerbit dan komunitas sastra sejatinya digerakkan hanya oleh segelintir orang. Konsistensi dan militansi personal untuk menjadikan sastra sebagai gerakan literasi (tradisi membaca dan menulis) memang berat. Komunitas Rumah Dunia yang dipandegani Gola Gong dan Firman Venakyasa di Serang, Banten, adalah salah satu contohnya. Peran sosial sastra dalam ruang lingkup di kampung Ciloang itu telah menjadikan Rumah Dunia dan agenda tahunan Ode Kampung terapresiasi secara luas di wilayah Jawa Barat, bahkan gagasan-gagasan gerakan literasi mereka menasional.[17] Keterlibatan warga dengan anak-anak dan khususnya generasi muda dalam dunia menulis, membikin film indie, mengembangkan perpustakaan Jendral Kancil, dll, merupakan satu strategi personal dan mampu menjadi sebuah gerakan sosial untuk mengembangkan SDM masyarakat setempat.

Nah, di Jatim kayaknya masih adem-ayem. Belum kelihatan sosok seperti Gola Gong yang, selain tetap produktif menulis, jaringan Rumah Dunia dengan komunitas lain terjalin baik, misalnya dengan FLP, dan sejumlah pentolannya seperti Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dll.

Dan jika boleh dibilang mainstream sastra di Jatim adalah “sastra DKJT” (baik agenda-agenda sastranya maupun hasil penerbitannya) di samping kita mengakui wilayah derap sastra yang lain seperti Jakarta, Jogja, Solo, Bandung, Riau, Lampung, dll, di Jatim tetaplah tidak bisa diabaikan keberadaan komunitas sastra yang lain yang bergerak dalam bingkai yang sama, meski belum tampak sebagai sebuah “gerakan” dan pengaruhnya tidak secemerlang Rumah Dunia.

***

Mempertimbangkan apa pentingnya sebuah dewan kesenian dalam upaya menumbuhkan etos kerja kreatif penulis dan komunitas sastra di Jatim di saat ini dan mendatang, menurut saya hal itu tek perlu metenteng dipikirkan. Semua pasti kembali kebarak masing-masing: pada kesadaran totalitas berkarya dan memberi arti pada ruang sosialnya. Jika memang dewan kesenian tetap dibutuhkan, lembaga itu haruslah dirancang berlandaskan, menurut Suyatna Anirun, pada “adab kesadaran”. Yakni kesadaran atas keberadaan para seniman atau budayawan secara umum maupun khusus, kesadaran atas keanekaragaman bentuk dan perwatakan serta kompleksitas problem kesenian yang ada. Kesadaran akan potensi serta prospek pengembangannya di masa depan. Dewan kesenian harus dibangun atas dasar “adab bebas/mandiri”, dan selanjutnya atas “adab integritas” dan “keseimbangan”.[18] Karena itu, diperlukan kewaspadaan dan pemikiran yang kritis akan “politik kesenian” dalam berbagai konteks, wacana, dan perubahan.

Tidak perlu kita terdesak melimbur diri dalam kepicikan, dan menadahkan tangan dengan mimik memelas pada pemerintah sebagai penopang atau sekedar ganjel bagi kekaryaan kita. Soal berkembang atau bobroknya kesenian dan masyarakat seni itu tanggung jawab seniman sendiri. Untuk itu keberadaan dewan kesenian harus bertolak atas dasar kebutuhan bersama. Jikalau kesadaran ini tak ada lantaran tetek bengek dan perkara tak mutu lainnya, tak usahlah terlalu nggerundel soal eksistensi dan kayak apa kerja pejabat “dewan kesenian”. Kita perlu lebih terusik untuk mengatasi berbagai persoalan nyata di sekitar kita, misalnya keterlibatan pesastra dalam perubahan sosial di lingkungannya.

Mungkin kita belum cukup beradab untuk bisa membentuk sebuah lembaga yang bersih dari pekatnya konflik kepentingan. Dan kehidupan sastra di Jatim semoga tidak jadi bemper dan bayang-banyang belaka di medan itu. Pegiatnya musti mandiri dan mencetuskan “revolusi kecil”nya sendiri.

Jombang-Tandes, 20 September 2010

[1] 10 wilayah kebudayaan tersebut adalah kebudayaan Jawa Mataraman, Jawa Ponoragan, Arek, Samin (Sedulur Sikep), Tengger, Osing (Using), Pandalungan, Madura Pulau, Badura Bawean, dan Madura Kangean. Masing-masing pendukung wilayah kebudayaan ini pada umumnya menempati wilayah tertentu dan mengembangkan lingkungan budaya yang khas jika dibandingkan dengan wilayah budaya lain. Pembagian wilayah kebudayaan ini bukan sesuatu yang final. Lihat Ayu Sutarto dan Setya Yuwana Sudikan (Ed), Pemetaan Kebudayaan di Propinsi Jawa Timur: Sebuah Upaya Pencarian Nilai-nilai Positif. Diterbitkan oleh Biro Mental Spiritual Pemerintah Propinsi Jawa Timur bekerja sama dengan Kompyawisda Jatim-Jember. 2008. Hlm. iv-v.

[2] Baca uraian sengkarut problem dalam artikel lain saya: “Tulisan Terbuka Untuk Bupati Suyanto Soal Seni-Budaya Jombang”, Radar Mojokerto, April 2010; “Menimbang Visi Kebudayaan Dewan Kesenian Jombang”, Radar Mojokerto, Mei 2010; “Membangun Fondasi Seni Tradisi Jombang”, Radar Mojokerto, Juni 2010.

[3] Kasus lain misalnya Di Jawa Barat, terkait dengan gak pahamnya pemerintah dengan fungsi dewan kesenian. Ini terjadi pada tahun 2000 (lewat lansiran koran Pikiran Rakyat) tentang pembekuan DKDJB (Dewan Kesenian Daerah Jawa Barat). Memang mengenaskan. Ketaksepengertian mengenai fungsi dan tugas-tugas DKDJB bagi pihak Pemda DT I maupun pengurus DKDJB sendiri. Tak pernah ada penyelesaian. Dan gedung dewan keseniannya terbengkalai sebelum difungsikan. Entah kini bagaimana. Baca: Suyatna Anirun, Catatan Budaya (Bandung: Etnoteater Publications, 2002).

[4] Dalam sekian kali kluyuran saya ke Solo untuk menyaksikan beberapa jenis pertunjukan teater, tari dan musik, saya sempat berbincang-bincang dengan Halim HD, seorang budayawan dari Forum Pinilih Solo, yang lumayan paham dengan dunia pertunjukan di berbagai daerah. Melihat kota Solo yang demikian bergairah dalam berbagai pertunjukan, saya bertanya padanya: bagaimanakah dengan perkembangan tari di Surabaya atau Jawa Timur? Ada beberapa pentil catatan dari obrolan itu.
Pada periode tahun 1990-an Surabaya memiliki beberapa koreografer muda berbakat yang lumayan handal dan pernah memasuki ajang bergengsi. Periode itu sebagai suatu jembatan pembaharuan dunia tari dengan munculnya Achmad Fauzi melalui penata tari muda dari Jakarta, dan sempat pula ia mencicipi kunjungan ke Amerika dalam program American Dance Festival. Tapi, entah kenapa, arek Madura yang dulu digadang-gadang akan tampil sebagai koreografer mantap ini nampaknya kemudian melarut melakoni keseniannya sebagai EO (event organizer). Di samping Achmad Fauzi yang kini menjadi juragan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), ada sosok Arief Rofiq, yang sebagai penari ciamik dan memiliki basis kuat dalam khasanah lokal, juga termasuk dalam hitungan koreografer muda yang dipandang potensial mengangkat Surabaya dan Jatim ke tingkat nasional dan internasional. Pendiri Raf Raf Dance Company ini memang pernah beranjangsana membawa grupnya ke berbagai negeri di Eropa dan Australia mewakili Jatim. Sayangnya, ia sibuk dengan birokrasi di Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) dan sekarang menjadi staf Dinas Parsenibud Jawa Timur. Dan ajang tari kontemporer Surabaya kayaknya sepi sejak 10 tahun terakhir ini.

Salah satu koreografer yang juga banyak mengisi dan belakangan nampak sibuk dengan jaringan antar bangsa melalui movement art, Parmin Ras, yang berusaha dalam karyanya menggabungkan antara khasanah lokal yang bersifat spiritual dengan konsep tari moderen-kontemporer. Pada tahun 1990-an juga muncul salah seorang aktivis mahasiswa yang memiliki wawasan luas dalam teater, musik dan juga tari dan dengan bobot politik hadir di Surabaya, Heri “Lentho” Prasetya. Muncul di Festival Seni Surabaya, lalu Indonesia Dance Festival di Jakarta, Makassar Dance Forum, Makassar Arts Forum, dan berulang kali mengisi berbagai forum tari kontemporer dengan pendekatan teater-tari. Lentho, yang oleh sejumlah networker kebudayaan Solo dianggap salah seorang yang mampu mengawinkan antara kesenimanan dan sebagai organizer serta sangat paham dengan berbagai peta khasanah seni pertunjukan di Jawa Timur. Kurator seni pertunjukan itu bahkan punya harapan, jika saja Lentho punya fokus pada teater-tari. Tapi, sayang, katanya terlalu sibuk dengan lembaga yang digelutinya sekarang ini.

Ilustrasi itu membuat kita getun (menyesal), dan bertanya-tanya, kenapa Surabaya dan Jawa Timur yang memiliki perguruan tinggi seni jurusan tari semisal Unesa, STKW dan UNM tak melahirkan banyak penari dan calon koreografer; dan kenapa pula mereka yang pernah malang-melintang selama 10 tahun lalu undur dari panggung? Padahal, telisik Halim HD, Surabaya (dan Jakarta) adalah salah satu kota yang memberikan inspirasi dunia tari moderen melalui balet. Keluarga Sijangga adalah salah satu tokoh balet klasik dan moderen di mana pada era 1960-an sampai 1970-an terbilang begitu kondang. Dengan catatan peristiwa ini, kita kembali bertanya-tanya, kenapa sejarah tari moderen-kontemporer di Surabaya dan Jawa Timur tidak langgeng, tidak memiliki keberlangsungan yang ajeg (konsisten) sebagaimana di Solo, Jakarta dan Jogjakarta? Mungkin dibutuhkan sejenis forum-forum yang kontinyu agar muncul kembali gairah itu, dan para dedengkot kembali berkarya-cipta, serta para calon koreografer bisa melihat dan melanjutkan jejak yang pernah ada. Menurut saya, Surabaya dengan berbagai institusi keseniannya yang kini bergairah perlu mewujudkan forum itu, agar Surabaya kembali diperhitungkan dalam persada tari kontemporer Indonesia.

[5] Kenapa teater di Indonesia kian redup, dan kenapa pula kehidupan teater di berbagai kota yang dahulu dianggap sebagai wilayah pertumbuhan dan perkembangan teater yang begitu kuat, lalu nampak seperti pudar, misalnya Surabaya atau Malang yang pernah tercatat sebagai dua kota di Jatim yang memiliki tradisi teater moderen yang kuat?

Pertanyaan ini sering saya dengar dari pekerja teater di dalam dan di luar kampus. Boleh jadi jawabannya bisa kita kopi-paste dari pekerja teater di Bandung. Pada Desember 2008 saya pernah kebetulan mampir ke Bandung (setelah mengunjungi acara Ode Kampung di Rumah Dunianya Gola Gong di Serang) dan nongkrong di sana beberapa hari, ngobrol-ngobrol dengan mereka. Dari beberapa dedengkot teater seperti Rachman Sabur, Benny Yohannes dan banyak yang lebih muda lagi, menyatakan bahwa teater di Bandung hidup bukan hanya karena pekerja teater yang terus bergerak dan berproses. Tapi juga dukungan media massa. Pendek kata adalah pemberitaan. Pentingnya ulasan atau kritik. Apa yang ditulis Suyatna Anirun (alm) yang dengan telaten telah menunjukkan ulasan serius pada setiap peristiwa pementasan. Tradisi ini terus intensif hingga sekarang. Karena itu teater di Bandung tetap mempertahankan spirit keseniannya, selain bertarung untuk kehidupan diri dan ngopeni keluarga sehari-hari. Meski di Jatim dahulu ada Max Arifin (alm) yang juga sering nulis kritik teater.

Interaksi antara kehidupan teater dengan media menjadi konsekuensi logis dari kehidupan kesenian di kota. Cermati pula apa yang dibilang bos Jawa Pos, Dahlan Iskan, yang menyatakan bahwa pembaca kesenian tidak lebih dari 2%, bahkan kadang kurang dari satu persen. Wajar jika media tidak hirau kepada pementasan teater, terkecuali grup yang sangat kondang misalnya dengan aktor “raja monolog” Butet Kertarejasa. Pentas sejenis ini menjadi suatu perkecualian, bahkan disambut media dengan gempita.

Saya juga pernah ngobrol-ngobrol dengan seorang redaktur seni-budaya sebuah koran nasional, yang menyatakan, pada setiap periode tertentu, perhatian pembaca kepada kupasan kesenian berbeda-beda. Dulu teater kuat, dan senirupa kurang begitu ada gaungnya. Kini terbalik, sejak 15 tahun terakhir ini, senirupa menduduki ranking tertinggi untuk kupasan seni-budaya, lalu disusul oleh musik, tari, sastra, dan teater yang paling bontot!

Soal lain lagi kenapa media tidak memuat kupasan teater adalah karena semakin sepinya pengulas teater yang bagus. Kalaupun ada si pengulas hanya memuji-muji, dan merosot persepktif kritiknya. Hal itu saya dengar dari beberapa redaktur yang menganggap bahwa di daerah makin langka kritikus teater yang mumpuni. Ini sungguh ironik. Ketika dunia akademis, khususnya fakultas budaya jurusan bahasa Indonesia yang juga mengenalkan berbagai bentuk teater beserta teori serta sejarahnya, kenapa pula kritikusnya kian langka? Seolah ada kesan bahwa menulis kupasan teater sebagai beban yang mengotori pikiran dan posisinya?

Di Surabaya, katanya dulu pernah ada sosok Basuki Rachmat (alm) dan Akhudiat yang dianggap piawai dalam mengupas teater, dan di Malang ada Hazim Amir (alm) yang dengan rajin menulis, sehingga orang-orang teater bisa belajar dari kupasannya. Dan kini, sesungguhnya terdapat, mungkin, seratusan lulusan bahasa Indonesia yang skripsi S1 dan S2-nya tentang teater, tapi kenapa pula tidak ada ulasan. Ataukah teori yang diberikan memang tak setajam dan segairah teater di atas panggung, yang kini kian kosong, dan hanya ada satu atau dua grup yang masih setia di antara media yang hanya sesekali memberitakannya. Barangkali kita memang sudah tidak butuh kritik.

[6] Hal ini seiring dengan pendapat Sahlan Husain (sekretaris umum DKJT) dalam tulisannya berjudul “Fungsi Manajerial Kesenian” di Majalah Kidung (edisi 17-18. 2009. Hlm. 24.). Ia menyebut bahwa di Negara Asia lain, seorang figure ketua dewan kesenian dipercayakan kepada seorang doktor manajemen. Ia bukan seorang seniman, karena disiplin seniman sering tidak efektif dalam mengelola seni. Pola pikir seniman lebih banyak intuitif, spontan, dan tanpa perencanaan matang, serta lebih cenderung individual. Sementara, kalau ia berlatar belakang disiplin menajmen, biasanya lebih memiliki potensi untuk berpikir lateral (kreatif dan kaya akan terobosan-terobosan baru).

[7] Posisi DKJT itu kan mediator, penyambung lidah spirit seniman, menyorong kegiatan kesenian di daerah, komunitas-komunitas seni, menjembatani dengan gagasan pemikiran kesenian dan kebudayaan untuk dijadikan pertimbangan pemerintah, mengurangi perannya sebagai produsen karya, fokus memberikan motifasi, sebagai fasilitator bagi seniman untuk meningkatkan karya, melakukan pendataan komunitas seni (sastra) di mana hal ini sering didengung-dengungkan namun tak kelihatan hasilnya. Baca Tengsoe Tjahjono “Perhatikan Kebangkitan Kesenian di Daerah”, di Majalah Kidung (edisi 17-18. 2009. Hlm. 39). Lembaga ini dibentuk memang dengan tujuan untuk menguatkan seluruh potensi kehidupan kesenian di Jatim, seperti yang dikatakan A. Fauzi (ketum DKJT) dalam “Menguatkan Seluruh Potensi Kesenian” di Majalah Kidung (edisi 17-18. 2009. Hlm. 23). Menurutnya, dua peran DKJT adalah: sebagai pemikir dan memberikan usulan kepada Pemprov Jatim tentang strategi kebijakan di bidang pembangunan kesenian dan sebagai mitra bagi institusi terkait di bidang seni budaya dan Dewan Kesenian se Jatim yang secara koordinatif mendorong meningkatkan kualitas, aktifitas, dan fasilitasi. Demikian ungkapnya. Maka dari itu, tujuan dan peran ini setidaknya bukan cuma dijadikan slogan semata. Seringkali A. Fauzi dalam berbagai forum seminar menariknya dalam wacana “industri kreatif”. Katanya konsep ini mengacu pada bahwa seni budaya sebagai fakta ontologis yang bernilai ekonomi, mampu menciptakan industri yang berbasis pada kreativitas. Jika boleh mampir nanya, apa bukti konkrit DKJT sudah menjalankan itu? Ukurannya apa? Pada basis sosial yang bagaimana wacana itu diwujudkan? Soal kemandirian DKJT sendiri saja lembaga ini masih tergantung pada Pemprov. Paling tidak kemandirian DKJT ke depan dapat terealisir sebagai lembaga yang independent yang bisa bergerak lebih luas dan luwes.

[8] Tentang penerbitan buku, saya merujuk pada buku terbitan DKJT yang berjudul Orde Mimpi (2009). Ini kumpulan naskah drama R. Giryadi. Yang satunya adalah Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia (kumpulan esai) karya Ribut Wijoto. Bagi saya alangkah lebih baik 2 buku tersebut diterbitkan di luar DKJT. Kenapa? Karena 2 buku ini karya pengurus DKJT. Soal Majalah Kidung, sudah menarik, hanya saja terlalu sering pengurusnya sendiri yang mengisi macam-macam rubrik di situ. Perlu juga mengundang pengulas luar Jatim, agar tumbuh dialektika dan sinergitas yang ciamik. Catatan ini beranjak dari obrolan saya dengan Mas A. Fauzi dan Mas Lentho, juga Pak Nasrul Ilahi (Disporabudpar Jombang) di warkop Pujasera Kebonrojo, di malam hujan deres sebelum pengukuhan Dewan Kesenian Jombang, pada 25 Februari 2010.

[9] Menurut Mardi, FSG hanyalah acara sastra acara biasa. Sekedar mengembalikan sastra ke dunia “imajinasi”-nya lagi. Gokil artinya gak medeni, gak patgulipat. Seger. Cengengesan. Agendanya 1 bulan sekali. FSG ini muncul di bulan Agustus lalu.

[10] Baca pengantar proses kreatif Mardi Luhung pada kumpulan puisinya yang terbaru Buwun (Pustaka Pujangga, Lamongan: 2010).

[11] Dalam kondisi seperti itu jika kita benar-benar menyadari berbagai khasanah seni-budaya yang demikian kaya di nusantara ini, kita dapat memberikan kontribusi pengetahuan dan pemahaman kepada siapa saja di bagian benua dan negeri lain, seperti juga kita bisa mengetahui segi kebudayaan dari warga lainnya. Karena itu, media cyber bisa menciptakan suatu kondisi toleransi dan saling memahami.

[12] Diawali dari sebuah tulisan Arif B. Prasetya yang dimuat di Jawa Pos, “Jawa Timur Negeri Puisi”, (25/9/2010). Lalu ditanggapi W Haryanto (1/8/2010), “Jatim Tidak Butuh Perspektif Jakarta” yang menyorot politisasi sastra dan sentralisasi sastra Jatim oleh pihak Jakarta. Kemudian dilanjut tulisan saya “Perang Sastra di Kandang Buaya”, (8/8/2010), dan dipungkasi oleh tulisan Beni Setia, “Belajar Sentosa Dengan Arif” (15/8/2010). Ini menjadi catatan penting bagi sejarah sastra Jatim.

[13] Misalnya Ribut Wijoto mengunggah sebuah tulisannya bertajuk “Kesusastraan Indonesia 25 Tahun ke Depan”, pada Kamis 26 Agustus 2010 (at 7:56pm). Esai ini sebelumnya pernah dimuat di Harian Sinar Harapan (21 Agustus 2010). Dari esai Ribut itulah terjadilah adu mulut antara Nurel Javissyarqi dengan Nuruddin Asyhadie. Keduanya malah tidak secara spesifik membahas tulisan Ribut. Tapi tulisan Nurel yang dipamerkan yang kemudian disikat Nuruddien. Nurel balas menghajar. Berjumpalitanlah. Terjadilah hajar-hajaran. Penonton keplok-keplok di luar. Ini juga gambaran realitas sastra kita kini. Simulakrum media maya yeng membentangkan makhluk absurd “facebook”, si tentakel teknologi modern.

[14] Secara resmi Shalahuddin Wahid sebagai pengasuh pondok ini, dalam pembukaan acara, menyampaikan pentingnya merawat tradisi intelektual pesantren bahwa kaum santri jangan sampai meninggalkan tradisi menulis yang telah diteladankan para sastrawan terdahulu, baik dari tradisi Arab klasik hingga perkembangan intelektual Islam mutakhir di negeri ini. Sedang Said ‘Aqil Siraj menyampaikan dalam orasi kebudayaan tentang pentingnya kebudayaan pesantren sebagai pengokoh karakter bangsa.

Pada malam 22 Agustus, panitia menghadirkan pembicara D. Zawawi Imron, yang mengulik tanya-jawab dengan tulisan “Tradisi Menulis di Kalangan Santri”. Pun Jadul Maula, dari Yayasan LKiS Yogyakarta, menggulirkan makalah dengan judul “Kekuatan Karya Sastra Santri”. Ajang interaktif ini cukup membentangkan cakrawala pemikiran dan spirit yang inspiratif bagi para santri.

Sementara pada 23 Agustus, acara ditutup dengan renungan kebudayaan oleh Dr. Ir. Soedarsono dengan tema, “Menjadi Santri yang Berbudaya dan Berwawasan Kebangsaan”. Sebelumnya, dialog disemarakkan dengan kehadiran penulis novel kontroversial Syekh Siti Jenar, Agus Sunyoto dari Malang, yang menyorongkan tulisan “Menelisik Akar Sistem Pendidikan Pesantren”. Dr. Mastuki HS juga melemparkan diskusi dengan “Memperkuat Akar Budaya Bagi Revitalisasi Sistem Pendidikan Pesantren”.

[15] Satu catatan dari peristiwa diselenggarakannya Muktamar Kebudayaan NU di Ponpes Kaliopak, Piyungan, Yogyakarta, pada 1 Februari 2010. Kegelisahan ini berakar dari kehidupan kebudayaan yang selama ini hanya ditangani secara sektoral dan setengah-setengah. Jika kita memandang posisi-fungsi NU dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan berkebudayaan, NU pernah memiliki masa kejayaan Lesbumi yang didirikan pada tahun 1950-an, sebagai wujud keprihatinan sekaligus ikhtiar NU dalam memroses reorientasi kebudayaannya hingga ke wilayah pedesaan. Hal inilah yang sesungguhnya menggulirkan masalah prinsip yang menjadi landasan NU mendirikan Lesbumi.

Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU merasa perlu secara istiqamah untuk bukan sekadar di tingkat pusat dan propinsi dalam wilayah politik. Tapi bagaimana secara konsisten Lesbumi mampu mengelola kehidupan dan sistem kebudayaan pedesaan sebagai basis sosial-kulturalnya di antara perkembangan organisasi kebudayaan lainnya seperti Lekra (onderbouw PKI) dan LKN milik PNI yang masing-masing ikut juga menyasar wilayah pedesaan.

Namun tindakan prinsipil yang riil sehubungan dengan perkembangan NU yang terasa sekali dalam 20-an tahun terakhir ini terlalu banyak “bermain” di wilayah politik praktis yang berakibat NU tercerai-berai yang imbasnya warga mengalami kebingungan karena ketiadaan sosok panutan, seperti kiai sebagai barometer sosio-spiritual.

Apa yang kita harapkan secara mendasar dari NU pada masa kini dan yang akan datang adalah bagaimana suatu strategi kebudayaan menciptakan etos kerja yang tidak tergantung, sikap independen yang didasarkan kepada nilai-nilai religius, dan bagaimana menciptakan sistem ekonomi dari aspek kultural bagi warga pedesaan. Juga bagaimana ikut mengisi kehidupan kebudayaan nusantara dengan perspektif keberagaman seperti yang selalu disorongkan oleh Gus Dur selama ini. Pada sisi lainnya bagaimana NU membina dan mengembangkan secara terus-menerus nilai-nilai toleransi yang didasarkan kepada sikap kultural dalam konteks perkembangan zaman.

NU haruslah menyadari benar bagaimana penetrasi dan infiltrasi teknologi informasi beserta media hiburan yang bersifat konsumtif yang selama ini ikut menggiring kaum muda di kampung-kampung ke dalam berbagai bentuk pemborosan. NU tidak boleh menolak teknologi informasi dan media. Tapi bagaimana dengan etos kerja yang gigih dan kritis menjadikan sarana itu sebagai jembatan pengembangan ilmu dan teknik yang dimiliki oleh warga pedesaan. Dalam kaitan itu, betapa pentingnya NU secara terus menerus melakukan riset mendalam di berbagai bidang di wilayah pedesaan yang memang menjadi ruang sosial warganya.

NU sebagai organisasi sosial-religius perlu memikirkan bagaimana setiap daerah memiliki sejenis pusat-pusat penelitian yang benar-benar bisa dijadikan acuan bagi perkembangan warga secara praktis dan sekaligus ikut menyumbangkan perkembangan ilmu dan pemikiran di tingkat nasional. Sebab, jika NU tidak kembali kepada akar tradisinya dan mengembangkan potensi pedesaan, kota akan dijejali oleh urbanisasi, dan arus itu akan sangat merugikan posisi NU, karena mereka yang bermigrasi ke wilayah urban akan dengan gampang dilahap oleh iklan, gaya hidup hedonis, dan disorientasi nilai-nilai. Kita berharap kepada NU untuk merenungi perjalanannya dan menyusun strategi kebudayaan NU masa depan. Jika demikian keadaannya bagaimana bisa kita menggagas visi untuk mengembangkan sastra pesantren?

[16] Diana Av Sasa (cerpenis dan pegiat I:BOEKOE Jogja) suatu saat di kantin Balai Pemuda pernah ngobrolkan soal pemetaan komunitas sastra di Jatim dengan saya. Ia sendiri pernah mengusulkan bersedia didanai oleh lembaga mana pun untuk melakukan riset pemetaan itu dengan limit waktu 3 bulan. Tentu ia akan membentuk tim riset sebagai pengalamannya terlibat dalam riset pembuatan buku Almanak Senirupa Jogja. Hal ini tampaknya perlu direspon lebih lanjut.

[17] Bersama Halim HD dan Fahmi Faqih, saya sempat bertandang ke Rumah Dunia pada Desember 2008. Pada tanggal 5-7 Desember 2008, Ode Kampung III bertajuk “Temu Komunitas Literasi”. Agenda ini mencoba menyebarkan virus kebajikan melalui buku-buku dan gerakan literasi di Indonesia. Sedang Ode Kampung I “Temu Sastrawan se-Indonesia” dilaksanakan pada Februari 2006 yang dihadiri oleh 150 satrawan. Ode Kampung II “Temu Komunitas Sastra se-Indonesia” pada Juli 2007 yang cukup menghebohkan konstelasi kesusastraan Indonesia, terutama dengan “Pernyataan Sikap” yang ditandatangani oleh lebih dari 200 sastrawan. Ode Kampung IV akan diselenggarakan pada tanggal 3-5 Desember 2010 berlambar “Banten Art Festival.” Berbeda dengan Ode Kampung terdahulu yang lebih menggelar kegiatan diskusi, kegiatan kali ini memfokuskan pada wilayah seni pertunjukkan, mulai dari seni tradisional hingga kontemporer. Tontonan menarik mulai dari seni tari, musik, teater dan monolog, serta pembacaan puisi dari para penyair terpilih dari perwakilan kebudayaan di Indonesia dengan sajian lebih dari 25 pementasan. Selain itu, untuk merangsang minat pelajar dan mahasiswa serta khayalak, para seniman yang tampil itu akan diminta memberikan ilmu dan pengalamannya dalam bentuk workshop dan diskusi. Baca lebih lengkap di www.facebook/Venakyasa: “Ode Kampung #4: Banten Art Festival Di Taman Budaya Rumah Dunia”.

[18] Suyatna Anirun, “Peradaban Dewan”, Pikiran Rakyat, 26 Oktober 2000.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito