Senin, 25 Juli 2011

MENIMBANG KEPENYAIRAN SUTARDJI CALZOUM BACHRI (SCB) DARI BUKU NUREL: MENGGUGAT TANGGUNGJAWAB KEPENYAIRAN *

Aguk Irawan MN**
http://sastra-indonesia.com/

Penyair-penyair itu diikuti orang-orang yang sesat. Tidakkah kau lihat mereka menenggelamkan diri dalam sembarang lembah khayalan dan kata. Dan mereka sering mengujarkan apa yang tak mereka kerjakan. Kecuali mereka yang beriman, beramal baik, banyak mengingat dan menyebut Allah dan melakukan pembelaan ketika didzalimi. (QS As-Syu’ara, 224-227).

Saya merasa perlu mengutip ayat diatas, karena selain SCB sendiri yang membawanya dalam kredo keduanya “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair”, Pidato Kebudayaan dalam acara Pekan Presiden Penyair, yang dimuat di HU Republika, 9 September 2007, Nurel Javissyarqi (NJ) sendiri penulis buku “Menggugat Tanggungjawab Kepanyairan SCB” (Penerbit Sastrenesia, 2011) juga secara nyinyir mencoba mengurai, mengupas dan merefleksikan nilai-nilai dan pesan ayat tersebut untuk memaknai kredo kedua SCB.

Setelah khatam menghabiskan buku NJ tersebut yang menyorot isi pidato SCB yang dilampirkan dalam buku tersebut, setidaknya saya menemukan dua alasan dalam kerangka besar keberatan NJ terhadap isi pidato tersebut. Pertama, NJ merasa, SCB berlebihan dalam memaknai profesi penyair (sastrawan), yang hanya sekedar bebas bermimpi dan mencipta lalu tak ada lagi setelah itu, termasuk pertanggungjawabannya kepada pembaca, kepada dirinya sendiri dan tentu kepada Tuhan. Karena menurut SCB, penyair itu hampir saja menyamai “profesi” Tuhan, yang sekedar bermimpi dan mencipta, maka jadilah, kun fayakun itu. Bagi NJ, profesi sebagai penyair, tidak kurang dan lebih sebagaimana profesi lain, pemotret, petani, pedagang, buruh, nelayan, guru dan lain sebagainya, yang tentu setelah ia berbuat sesuatu, ada sesuatu lain yang bahkan lebih besar dari semula, yaitu pertanggungjawabannya.

Kedua, NJ menganggap bahwa SCB telah sesat-pikir mengenai makna dan fungsi kata, bahasa dan tentu puisi dalam kehidupan, karena sejak lama SCB berpendirian, bahwa kata harus dibebaskan dari keterjajahan makna dan fungsinya sebagai alat pembawa pengertian. Kerenanya NJ mencoba menangkap maksud ini, lalu mengomel, dan tentu mengkritik disana-sini, meski ia sendiri nampak terbata-bata.

Sebagaimana yang sudah pernah saya tulis (Penyair dan al-Qur’an dalam Rekaman Sejarah) di harian yang sama dimana tulisan SCB terpublikasikan (Republika), bahkan tarikh pemuatanya juga pada bulan dan tahun yang sama (2007). Saya kutipkan pendapat Syauqi Dlaif dalam buku Tarikh al-Adab al-Arabi (Kairo: Dar al-Maarif, 1968), barangkali bisa sebagai penyeimbang gagasan antara SCB dan NJ, atau bisa dijadikan pelengkap dari data NJ. Dijelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, tidak saja membawa petunjuk yang benar, tapi juga sebagai ‘penyaing’ keulungan sastra Jahily dan pencerah atas keulungan tersebut.

Keulungan sastra Jahily saat itu memang tak diragukan lagi oleh banyak pengamat kebudayaan. Manuskrip-manuskrip kuno (sastra Jahily), membuktikan hal itu. Tetapi, pada zaman itu jangan ditanya bagaimana bentuk puisi dan makna puisi itu bisa diterjemahkan? Lebih jauh lagi, bagaimana moral masyarakatnya, khususnya prilaku para penyairnya. Dari latar belakang itulah, Ibnu Qutaibah dalam buku Asy-Syi’ir wa as-Asyu’ara (Beirut: Dar ats-Tsaqafah, 1969) memaparkan hari lahir dan asal usul ayat diatas kenapa turun kepada Nabi.

Menurut Qutaibah, kenapa sastra yang konon sebagai penyangga suatu peradaban seperti tak berguna? Tentu, karena sastra Jahiliyah tersebut nyaris tak menyimpan makna yang bisa membangun peradaban, lihatlah bagaimana bentuk mantra yang menyerupai puisi yang sudah dihasilkan oleh Musailama seperti dalam Ma Huwal Fil atau dengan Ayat-Ayat Kataknya? Begitu juga apa yang telah dihasilkan oleh Imri’ al-Qois, dengan Ayyuha Attahali Al-Bali-nya? Atau karya dari penyair ulung Jahili lainnya, seperti Abu Mihjan ats-Tsaqafi, Abu ath-Thamhan al-Qaini, Dhabi bin al-Harist al-Barjami, Suhaim Abdul Bani al-Hashas, an-Najasy al-Haritsi, dan Syabil bin-Waraqa. Lalu Bandingkan dengan karya-karya penyair yang sudah mendapatkan “pencerahan” dari Nabi, seperti Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Zuhair. Labid bin Rabi’ah dan tentu Ibnu Rawahah.

Nabi dan tentu Islam percaya, hanya karya sastra yang bermakna, dapat ditelaah (baca: mengandung hikmah), yang mengajak dalam kebaikan, serta menjauhi segala kefasadan dan para kreasinya di barisan paling depan untuk menjalankannyalah yang bisa membawa kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, yang mampu menyangga peradaban. Yang tidak “yaquluna ma yaf’’alun” (sekedar mengatakan, tapi tidak pernah merealisasikan). Sejarawan Muslim at-Tahawani menceritakan, sejarah turunnya surat As-Syu’ara (para penyair) dilatarbelakangi kenyataan bahwa di sekeliling Nabi adalah para pembual, pengakrobat kata, dan penelikung kata untuk diselingkuhkan yang awalnya demi kebaikan menjadi ke-amoralan, begitu sebaliknya, karenanya ayat tersebut mengatakan dengan tegas bahwa; penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang sesat. Atas dasar itulah, ketika ditanya sahabat, apakah Nabi pernah berpuisi, Aisyah menjawab bahwa puisi adalah bentuk omongan yang ia benci (Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan, Juz IX, hlm 224). Puisi yang dimaksud disini adalah jenis gombalan dan akrobati bahasa saja. Pengecualian hanya kepada penyair beriman, yang tentu tidak mau tergiur dengan arus akrobati bahasa saja, tetapi ia memberikan hikmah dan mengadakan pembelaan saat didzalimi.

Nah, dari sejumput pengertian ini setidaknya kita bisa mengambil kesimpulan, dengan apa yang telah dihasilkan oleh SCB dalam proses kreatif atau karier kepenyairannya. Ketika ia menyatakan, bahwa kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri. Bahwa kata-kata harus dimerdekakan dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus-kamus dan penjajahan lain.

Tidak sekedar itu, pada pemikirannya yang kedua dalam “Kredo”-nya tersebut, SCB juga ingin “mengembalikan kata kepada mantra”. Sehingga SCB dalam menyeret ayat diatas, mengemukakan tafsir, karena itu para penyair boleh berbuat semua-maunya dan berimajinasi sebebas-bebasnya, lalu menyusun kata seliar-liarnya, sesukar-sukarnya dan tentu, tidak perlu harus malu, apalagi terbebani untuk mempertanggungjawabkannya kepada khalayak, Tuhan dan dirinya sendiri. Ia lupa, bahwa ayat tersebut sebagai pemula atas penekanan akan “ketersesatan” penyair, juga ada pengecualian sebagai penegasan (yaitu penyair beriman). Mari kita ambil contoh dan nikmati satu karyanya itu:

KUCING
Sutardji Calzoum Bachri

ngiau! kucing dalam darah dia menderas
lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber
gegas lewat dalam aortaku dalam rimba
darahku dia besar dia bukan harimau bu
kan singa bukan hiena bukan leopar dia
macam kucing bukan kucing tapi kucing
ngiau dia lapar dia merambah af
rikaku dengan cakarnya dengan amuknya
dia meraung dia mengerang jangan beri
daging dia tak mau daging jesus jangan
beri roti dia tak mau roti ngiau
kucing meronta dalam darahku meraung me
rambah barah darahku dia lapar O a
langkah lapar ngiau berapa juta hari
dia tak memakan berapa ribu waktu dia
tak kenyang berapa juta lapar laparku
cingku berapa abad dia mencari menca
kar menunggu tuhan mencipta kucingku
tanpa mauku dan sekarang dia meraung
mencariMu dia lapar jangan beri da
ging jangan beri nasi tuhan mencipta
nya tanpa setahuku dan kini dia minta
tuhan sejumput saja untuk tenang seha
ri untuk kenyang sewaktu untuk tenang
di bumi ngiau! dia meraung dia menge
rang hei berapa tuhan yang kalian pu
nya beri aku satu sekedar pemuas ku
cingku hari ini ngiau huss puss diam
lah aku pasang perangkap di afrika aku
pasang perangkap di amazom aku pasang
perangkap di riau aku pasang perangkap
di kota kota siapa tahu nanti ada satu
tuhan yang kena lumayan kita bisa berbagi
sekerat untuk kau sekerat untuk aku
ngiau huss puss diamlah

Allah berfirman, “Alquran bukanlah perkataan seorang penyair, sedikit sekali mereka yang beriman, juga bukan ucapan dukun, sedikit sekali mereka menyadari.” (Qs Al-Haqqah: 41-42). Jadi, nabi bukan seorang dukun (penyihir) juga bukan seorang penyair. Nabi adalah penerima kalamullah. Menurut al-Jumahi, bahwa yang bisa menggetarkan orang tidak saja firman, tetapi juga puisi dan mantera dari jenis perdukunan/sihir. Itu berarti ada penekanan perbedaan antara hakikat firman, bahasa dan mantra. (Muhammad bin Sulam al-Jumahi, Thabaqat Fuhul asy-Syu’ara, hlm 188). Bercermin dari sini saya sendiri meyakini bahwa antara puisi dan mantera adalah dua jenis yang berbeda, dilihat dari berbagai aspek dan syaratnya.

Meski sampai sekarang belum ada batasan yang tepat tentang pengertian puisi. Tapi setidaknya, ahli bahasa sudah sepakat, bahwa garis besar puisi adalah bentuk karangan yang padat dan terikat dengan syarat-syarat: banyaknya baris dalam setiap baris, dan terdapatnya persamaan bunyi atau rima, baik rima horisontal maupun rima vertikal. Yang menjadi titik tekan dari padat, tidak lain, tentu makna dan nilai-nilai filosofisnya.

Sementara Ajip Rosidi (1987:67) memaparkan bahwa mantra adalah rangkaian kata, dan seringkali mengandung kata-kata serapan asing yang kemungkinan berasal dari bahasa Sansekerta, Arab, maupun Tibet. Kata-kata dalam mantra tersebut diturunkan oleh pawang atau dukun kepada pawang lain secara lisan sehingga sering mengalami kerusakan sedemikian rupa dan sulit untuk menemukan bentuk asalnya. Pada hakikatnya, mantra sebagai salah satu bentuk puisi lama sesungguhnya merupakan suatu bentuk perkataan atau ucapan yang mampu mendatangkan daya gaib. Di dalam sebuah mantra yang lengkap pada umumnya terdapat unsur judul, unsur pembuka, unsur niat, unsur sugesti, unsur tujuan dan unsur penutup. Namun, yang paling penting dan paling pokok dalam mantra adalah unsur sugesti, sebab unsur sugesti inilah yang memiliki daya atau kekuatan untuk membangkitkan potensi kekuatan magis. Di samping unsur sugesti, dalam pengamalan mantra, seperti di daerah Jawa misalnya, terdapat pula unsur laku mistis yang mendukung. Unsur laku mistis itu antara lain adalah penyertaan kegiatan puasa dalam proses pembacaan mantra.

Kalau begitu, setujukah kalian, bila NJ dengan tegas, mengatakan bahwa SCB bukanlah penyair melainkan PEMANTRA atau DUKUN? Ataupun kalau masuk golongkan penyair, maka dia PENYAIR JAHILIYAH? Mari kita berdiskusi?

Rumah Kata, 18 Juli, 2011
* Disampaikan Pada Acara Bedah Buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan SCB”, karya Nurel Javissyarqi, di Pusat Kebudayaan Indonesia-Belanda “Karta Pustaka,” Jl. Bintaran Tengah 16 Yogyakarta, 21 Juli 2011.
** Penerjemah buku “O Amuk Kapak” menjadi Atholasim, karya SCB, terbit di Mesir 2005.
http://pustakapujangga.com/2011/09/reviewing-the-authorship-of-sutardji-calzoum-bachri-scb-from-nurel%e2%80%99s-book-%e2%80%9cmenggugat-tanggungjawab-kepenyairan%e2%80%9d-sue-responsibility-of-authorship-of-sutardji-calzoum-bachri/

Senin, 18 Juli 2011

Mulanya *

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Seperti biasa, aku mencari data-data dari media massa di Google untuk kuunggah pada web http://sastra-indonesia.com/ yang telah berjalan sejak Juli 2008. Aku nekat membikin situs tersebut dari biaya transport acara sastra di Jakarta. Sepulang dari Ibu Kota, perasaanku seolah sudah menjadi penyair, apalagi membaca puisi sepanggung dengan para jawara sastra, pada malam pengukuhan Guru Besar Abdul Hadi W.M., di kampus Paramadina Jakarta.

Di kereta, dalam perjalanan pulang, aku berpikir mengenai tulisanku, pula karya kawan-kawanku yang tidak tercium media massa. Maka web itu kusengajakan sebagai alat propaganda. Lambat laun aku menyadari kegunaan kekaryaan di luar lingkaran yang kukenal. Oleh sebab itu, kujumput karya-karya mereka. Awalnya aku ragu, apakah itu tindakan ilegal, tapi setelah aku periksa, ternyata banyak juga yang berlaku demikian untuk arsip bersama.

Kata bersama bermakna karena di sana diriku tak mengambil untung, malah setiap tahun keluar biaya kepemilikan. Tak masalah. Andaipun diseret ke pengadilan gara-gara menjumput data media massa, aku kira banyak temannya. Sedang yang dari Blogspot, Facebook, dan jejaring sosial lainnya, aku meminta izin terlebih dahulu kepada si empunya.

Nah, suatu hari aku temukan esai Sutardji Calzoum Bachri: Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair di web Infoanda (bukan Republika). Aku girang kala itu; “Wah, ini tulisan orang beken yang jarang tampak, kecuali di e-book dan semacamnya”.

Tapi kemudian aku tersentak pada ungkapan Tardji: “Peran penyair menjadi unik, karena — sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya — secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”

Saat itu juga aku terusik, terseret ujaran yang biasa dalam masyarakat Jawa Timur: “Meski saya tidak rajin ibadah, melakukan dosa, jangan sekali-kali menghina agama saya, Tuhan saya, Nabi saya, keyakinan saya.” Letupan itu menjelma lembar-lembar yang kini terbukukan.

Sebenarnya, acara Pekan Presiden Penyair telah aku ketahui dari SMS yang dikirimkan Amin Wangsitalaja. Tapi entah kenapa, aku hanya mengucapkan terima kasih atas informasinya.

Rerangkaian itu menyegerakanku menelisiki, apakah benar ungkapan Presiden Penyair tersebut? Anda bisa simak nantinya. Aku masih ingin bercuap-cuap.

Mendadak sekelebat bayangan Tardji melintas di depan laptopku. Kupandang tajam seruntut ingatan dahulu, melotot tatkala kusuntuki. Dan kelopaknya melebar, saat terus kupahami, lalu menjadi pikiran.
***

Hal mudah mengimaji seseorang dibungkus pakaian tak banyak warna; putih, hitam, cokelat, lebih ringan remang, ini didukung dan dilemahkan pencahayaan ruangan. Kuamati sedalam hati, bersebutlah sugesti, atau aku memercayai hadir?

Aku dapat melakukannya tersebab bertemu sebelumnya. Andai tak pernah berjumpa, aku meletakkan bayangan fotonya di antara dinding perasaan sambil menyugesti mataku menyadari, padahal tidak di depanku saat ini.

Jika tak punya perbendaharaan sama sekali, semisal Tuhan yang hanya kukenal lewat firman-Nya, tentu jarak ini suci karena iman, percaya atas hukum-hukum-Nya. Kemudian pikiranku melenceng jauh, apakah Yang Esa seperti makhluknya? Lekas-lekas kuhapus penalaran itu, apalagi aku belum menghatamkan ayat-ayatnya, juga pelbagai pola pengertian, di sisi beban khilaf memberati langkah demi mengetahui Yang Esa.

Ingatanku terlempar ke beberapa tahun silam, memasuki situs Jaringan Islam Liberal. Aku baca kupasan mereka yang tidak menampilkan ajaran agama secara purna. Terpenggal, juga dilandasi penalaran semata dipantulkan para pemikir yang kadar imannya diragukan, atau sebaliknya, berbeda keyakinan. Padahal banyak ulama, tapi kenapa tak mengambil ujaran terdekat, malah yang rendah.

Di web JIL waktu itu ada peraturan; komentar tidak boleh menyinggung sara dan semacamnya, serta dimuat tidaknya tergantung pengelola. Dan sepertinya, komentarku ini sampai kini tak muncul, padahal sanggahan biasa: “Jika Anda punya pendapat begitu, coba bikin buku, biar aku faham keseluruhan penalaran Anda. Jangan lupa kabarkan padaku, tentu kujawab sejumlah hal yang Anda tuliskan“. Tapi karena komentarku tak muncul-muncul, tidak lagi aku perhatikan.

Ingatan tiba-tiba datang dari rendaman masa, kaum terpelajar menamainya refleksi kejadian, mungkin, nanti aku koreksi ulang. Dan perkataan koreksi itu pantulan kesadaran di atas hasil spontanitas yang dipatenkan renungan, jikalau ingin memasuki nalar.

Mendadak terpampang di depanku sosok serupa Donny Gahral Adian. Ya, ia muncul bersama kumis dan jambangnya. Aku ingat betul, ia pernah membela pandangan-pandanganku saat diskusi buku Trilogi Kesadaran, kumpulan esaiku, terbitan 2006, di toko buku dekat kampus UI. Ia mengatakan kurang lebih ini:

Memang corak jalannya filsuf Timur sebagaimana begini“, sambil menunjuk kepadaku. Hatiku sempat bangga, karena disaksikan dua guru besar UI, UGM kalau tak salah, kata Damhuri Muhammad. Dan teringat aku melemparkan kalimat sampai mereka manggut-manggut, entah faham atau bingung tak setuju. Waktu itu aku berkata seperti ini: “Watak seorang bisa terlihat dari kecenderungannya“.

Lalu perasaanku seperti di dalam lingkaran kaum filsuf. Tapi menjadi pertanyaan hingga kini, kenapa belum membikin mazhab filsafat? Biar tidak ikut grubyuk ke Barat; “Padahal Anda semua cerdas sekaligus mampu menulis“.

Dengan sederhana menghimpun tulisan, maka jadilah”. Begitu yang kukatakan.

Lantas kepribadianku terbelah. Ia berkata: “Nurel, bukumu Trilogi Kesadaran banyak salah ketik pun harus dibenahi“. Lalu pecahan pribadiku yang lain berucap: “Ya, kan sudah kurevisi, hanya belum cetak ulang”. Sempalan yang lain lagi menggagas: “Tapi aku masih ragu, kayaknya perlu diserahkan ke editor”. Dan aku biarkan sempalan-sempalan itu membiak berdebat.

Pecahan sosokku mengingatkan istilah Pancasona, judul yang aku rancang meneruskan Trilogi Kesadaran bertitel Pancasona Kesadaran. Salah satu esai yang hendak kumasukkan mengenai Tardji ini. Tapi ketika mengunggah bagian I, Denny Mizhar mengomentari dengan memberi link jadwal Tardji di Malang pada bulan depan. Maka kuputar haluan, kubetot lebih dulu untuk dibukukan. Andai batal acaranya, tak jadi masalah. Toh jika kecewa hatiku tetap sumringah.

Sisi lain ubun-ubunku digerak-gerakkan hawa angin 2001, tatkala bedah bukuku Balada-Balada Takdir Terlalu Dini di Purna Budaya Yogyakarta, sehabis membacakan sajak yang bertitel Balada Jala Suta, yang dibedah Suryanto Sastroatmodjo dan Iman Budi Santosa. Aku teringat ucapan Iman Budi Santosa. Kata-katanya kian terngiang saat merevisi buku ini. Ungkapannya: “Kau ibarat keris, Keris Gandring. Kau membahayakan orang lain dan dirimu sendiri“. Mengenai jawabannya, kusimpan saja dalam hati.

Nyatalah hati penyimpan lebih awet daripada otak. Hati menarik keinginan dalam, mimpi harapan lewat perantara pikir melalui sorot imajinasi, sebelum itu jangan mengiyakan. Apakah imaji seperti cahaya?

Ia laksana energi listrik menghadirkan kilatan, kala bergesekan pikiran atas pertarungan hati dan kondisi melingkupi. Iklim, lebih jauh bacaan-bacaan beredar, seperti menulis juga membaca ingatan. Kejadian hal pertarungan diri kusebut pergumulan, olah batin, serupa kanuragannya jiwa demi letak kesaksian.

***

Sampai mana, ya?

Lupa, timbul karena bertumpuknya ingatan berjubel ingin keluar serempak, tapi karena lubang keluarnya sempit, bagian lain seolah terhapus, padahal hanya mengendap sembunyi. Lubang sempit terjadi atas banyak faktor; kurang merawat ingatan dengan bacaan, perasaan senang berlebihan menimbulkan pembengkakan syaraf, penyempitan rongga udaranya. Ah, ini bisa ditanyakan pada dokter. Kalau memang keliru, maklum cuap-cuap.

Ketika menerangkan lupa, nyata imaji menawarkan pemikiran, atau imaji serupa jala dilempar ke dasar refleksi. Atau sebaliknya, pikiran mendorong imaji merangkai benang pengalaman, tangga tingkatan kesadaran. Undak-undakan ini mungkin dilupakan Tardji, melupa alur keilmuan para pendahulu lantaran hanya bermodalkan berani. Seperti kenekatanku mengenai penyempitan udara dalam otak, yang kusebut di atas.

Maka teguran perlu, perevisian mutlak memperingati jenjang kesadarannya; apakah membumi di jalurnya atau mengapung kelelahan berpikir. Istilahnya mentok, gelagapan hingga yang bergerak sebatas imajinasi, sampai tanggung jawab luput.
***

Ada beberapa kawan kuminta pendapat mengenai terbitan ini. Yang membuatku tak suka, teguran M.D. Atmaja. Ia bilang, Pertama, eman dengan namaku. Kedua, gaya tulisanku yang –katanya- sulit dicerna.

Lalu aku menandaskan kata, “Begini kawan. Caraku menulis pengantar ini tidak lebih sepertimu, yaitu mudah dimengerti dan terus terang. Jalannya serupa sa’i atau lari kecil. Maka tak heran kau produktif, tapi cobalah kurangi kata mubazir yang kau maknai penekanan sekelas iklan. Sebab dalam pengendapan, kesaksian dimatangkan, hasil lawatan membaca alam pun buku dibakukan, agar tidak membosan seperti berita pengantar buku pelajaran.

Soal nama, kenapa kau hawatir. Apa lantaran kau tengah meneliti Kitab Para Malaikat yang baru sampai separuh itu? Terus waswas tak bisa bangkit saat aku disangkal? Jika begitu, hentikan saja penelitianmu, toh dari dulu aku bukan apa-apa. Di sini pun aku hanya kurang suka, dengan yang berfaham Tuhan bermimpi, berimajinasi. Semoga kau bahagia sekeluarga kawan”.

Ngomong-ngomong keluarga, aku ingat ungkapan anakku kala aku memanggilnya: “Anakku” (bernada menggoda). Dengan sigap, dia biasanya menjawab: “Bukan, anaknya Abah itu buku, laptop, kopi, dan rokok”. Hal ini biasa terdengar dan nyatalah terasa indah, aku bisa memeluknya setiap malam, sambil membaca buku.

Yang kau risaukan lagi, gaya tuturku ruwet, tidak komunikatif. Waktu itu kujawab: “Tapi kau faham Kitab Para Malaikat”. Kau menimpalinya: “Ya Kang, tetapi tidak semua orang mengerti tulisan Sampean“.

Begini Atmaja: “Aku bisa mengudar satu paragraf punyamu pun punyaku, dengan jalan pelan lari kecil semacam ini dalam satu esai kalau mau. Tentu lewat referensi olah rasa dan daya lain yang terkandung dalam diri, pula perpustakaan pribadi. Aku bisa saja mengudar kata-kata darimu dari kejiwaan, filosofinya, dan terserah”.

Kurasa gaya bisa diperdebatkan lebih jauh, minimal jika ada faham puisiku, kumprung kalau tak mengerti esaiku. Hanya pengotak-ngotakkan membuat terjebak dalam kebutaan, maka jangan mengkhawatirkanku kawan.
***

Astagfirullah. Maaf aku ambil air wudu dulu, karena barusan timbul kesembronoan. Ini demi mengurangi berat bentangan sayap-sayapku berkehendak jauh. Aku tuliskan ini pada status Facebook, tentu banyak kawan menggoda. Tapi bagiku biasa, di keramaian pasar pun tak soal, dan mengenai kualitas tentunya siap dipertanggungjawabkan.

Mengenai tanggung jawab, aku petik tulisan almarhum penyair Zainal Arifin Thoha, dalam bukunya Eksotisme Seni Budaya Islam (Khasanah Peradaban dari Serambi Pesantren), diterbitkan Bukulaila 2002, bagian awal Menuju Logika, Estetika dan Dialektika al Qur’an, halaman 15. “Kullukum roo’in wa kullukum mas’uulin ‘an ro’iyyatihi”. Kamu semua adalah pemimpin, dan kamu semua akan dimintai pertanggunganjawaban dari kepemimpinan yang telah dijalankan. Demikian Nabi SAW mengingatkan. Sebuah kepemimpinan, tentu pertama-tama membutuhkan konsep memimpin, dalam konteks inilah eskplorasi tafakur (refleksi dan ijtihad) atas ayat-ayat qauniyah (makrokosmos), dan ayat-ayat insaniyah (mikrokosmos), berdasarkan logika-teologis? Sebab, “Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (Q.S. 25:2)”.

Lantas pikiranku meneror pertanyaan kepadaku. Karena aku kurang mampu menjawabnya, aku bertanya kepada kritikus Maman S. Mahayana.

Pak Maman, bulan ini aku ingin membukukan tanggapanku mengenai esai Tardji yang berjudul Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair, bertitel: Mempertanyakan Tanggungjawab Kepenyairan Sutardji dan Asy Syu’ara (Para Penyair). Buku tersebut untuk menyambutnya jika ke Malang, Mei nanti. Terus, kalau aku muat esainya, apakah sopan? Ini berguna untuk keseimbangan buku, agar tidak dianggap lempar batu sembunyi tangan, tapi aku khawatir tak diperkenankan, maka mohon pertimbangan. Matur nuwon sebelumnya ….”.

Nurel yang baik. Muat saja esai SCB. Masukkan sebagai lampiran dengan data publikasi sebagaimana adanya. Misalnya, judul, karya, terbit di mana, penerbitnya apa, kapan dipublikasikan. Dalam tradisi ilmiah di mana pun, cara itu diizinkan, meskipun penulisnya keberatan. Jadi bukan perkara sopan atau tak sopan, boleh atau tak boleh. Ini tradisi ilmiah. Sebab, menanggapi tulisan orang hakikatnya kita menghargai (mengapresiasi) tulisan itu, betapapun isinya berupa kritik. Oke, teruslah menulis. Salam. Maman S. Mahayana”.

Demikian pengantar ini, tak lebih sebagai kehausan belajar. Terima kasih kepada almarhum guruku Suryanto Sastroatmodjo. Tak lupa kepada S.W. Teofani dan Imamuddin SA sebagai editornya. Yang tercinta Isti Anisa dan anakku Ahmad Syauqillah, semoga ini bermakna bagi para pembaca.

*) pengantar buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri” (kumpulan Esai, karya Nurel Javissyarqi, terbitan PUstaka puJAngga dan SastraNESIA, Mei 2011).

Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

I

Tulisan ini tanggapan untuk esai Sutardji Calzoum Bachri bertitel Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair ; orasi budayanya di dalam acara Pekan Presiden Penyair, yang dimuat Republika, 9 September 2007. Dalam tulisan itu Tardji menyatakan teks Sumpah Pemuda sebagai puisi, yang dilandasi faham Ibnu Arabi mengenai kun fayakun, kemudian dikembangkan frasa-frasa berikut:

Peran penyair menjadi unik, karena—sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya— secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.

Dilanjutkan dengan kefahamannya mengenai Surat ke 26 Alquran, Asy Syu’ara, tapi tak mencantumkan ayatnya (Ayat 225—227 akhir), serta tidak didukung asbabun nuzul, maka tampak sekadar akal-akalan sehingga lewar dari pemahaman para ahli tafsir. Akhirnya, Presiden Penyair menutup dengan unen-unen Presiden AS John F. Kennedy: “Jika politik bengkok puisi yang meluruskan.” Dengan titik tekan akhir: “Tetapi, tentu itu hanya berlaku bagi para politikus yang memiliki tanggung jawab dan kepekaan terhadap aspirasi hati nurani bangsanya yang sering tercerminkan pada puisi-puisi yang baik, bernas, dan bermutu dari para penyairnya.”

***
Sebelum merambat jauh, perkenalkan, diriku pengelana. Kadang ngaku penulis pun ada menertawakannya, maka cukuplah pengelana. Tetapi aku yakin, ini menggetarkan setiap persendian jejiwa pembaca, seperti diriku kini tergetar dalam menjawab ketaksesuian pemahaman.

Penyair bukan anak turun kitab suci, pun sumpah-sumpah berserakan di muka bumi. Penyair tak lebih sama dengan profesi kebanyakan, manusia yang menanggung nasibnya, tidak lebih agung dari pemancing yang sabar, tidak lebih mulia dari pedagang asongan. Apalagi dalam suatu bangsa yang sangat membutuhkan tangan-tangan perlawanan, atas kaki kekuasaan yang menginjak.

Penyair bukanlah turunan pokok ruhani, apalagi jasadiah para nabi. Yang jelas, ia mencintai bahasa setulus-tulusnya dan siap bertanggung jawab atas setiap perbuatan (kata-katanya) juga kisaran hayat seperti para insan yang mempertanggungjawabkan kepada sesama serta Tuhan Yang Esa, di kala dimintai pertanggungjawaban.

Seharusnya ia tampil terbuka kala mengungkap isi jiwanya dan tiada tameng ayat-ayat atau kalimat para pendahulu, kecuali sekadar bersapa. Andai telah menyerapi kandungan kitab suci, lantunan tulisannya tentu sudah mencerminkan-menggumuli nilai-nilai yang dikunyahnya. Dengan wewarna lain mencerminkan dirinya purna bercampur bersegenap pernik hidup, ditambah daya ucap pengalamannya.

Ia harus tampilkan roh pembeda. Di sana, gemintang diidentifikasi dengan derajat kecemerlangannya. Setiap bintang memiliki poros bergantung kepada Tuhannya, keyakinannya. Demikian nabi diberi keistimewaan juga seluruh umatnya punya tugas masing-masing, tiada lebih tinggi di hadapan-Nya, sebatas pengabdian kepada sesama, peribadatannya demi kepada-Nya.

Triliunan bintang di angkasa sepadat manusia mengisi bumi. Ada yang bernapas lama, tak sedikit jua yang sesaat. Ada yang redup ada pula sang benderang. Begitu juga berjenis-jenis tumbuhan, berbagai hewan, pada mereka ada napas-napas kehidupan yang telah ditentukan-Nya, dengan sifat kodrat-iradat-Nya.

Para penyair kerap mengunggulkan capaiannya, karena di bidangnya ia berhasil menuangkan perasaan nalarnya. Karya-karya itu tentu berlainan dengan kata-kata yang dipunyai para kuli di pelabuhan yang tak terlatih membaca-tulis, tampak sederhana, kecuali angan-angannya kepada istri tercinta, mungkin. Tersebab seharian tubuhnya digerus kepayahan fisik, imajinya diperas realitas berat. Di dalam tidur merekalah puisi berbunga atau mungkin mengerikan wujudnya. Maka tak seharusnya para penyair merasa lebih tinggi dari capaian profesi lain yang tentu berbeda.

Penyair bukan insan yang berjalan ketika petir menerangi atau orang-orang yang meneruskan langkah saat hujan reda. Ia tidak lebih baik dari loper koran yang setia menjajakan puisi-puisi penyair dalam surat kabar yang dibawanya.

Kala loper koran tak mengedarkan karena hujan deras, seperti penyair yang tidak memperoleh intuisi tersebab ketidakberanian menyusuri jalan gelap gulita ke lorong nasibnya -yang bergantung perubahan zaman, pergolakan peradaban, apalagi terikat kuat sesamanya juga ayat-ayat- belumlah kemerdekaan mengungkap keseluruhan jiwanya.

Di sini, tanpa bermaksud mengatakan penyair (harus) keluar dari sejarah, tapi semisal pencipta sketsa; ekonom membuat rancangan bisnisnya, arsitektur membikin gambar, ia meniup roh kata-kata syairnya diwujudkan dalam bangunan dialog. Pada gilirannya menggerakkan peredaran darah nalar pikir para insan sekitarnya, tiada bentuk-bentuk mengabaikan zaman, tidak.

Sudah kerap kesengkarutan sengketa tanah dijanjikan, ladang telah ditancapi hak kepemilikan, dicaplok mentah-mentah oleh penguasa mengaku mampu melestarikan. Inilah hasil suara sumbang superioritas di atas yang lain. Sengaja, setengahnya atau tidak sama sekali, kesurupan pula mungkin mabuk. Hal tersebut dimanfaatkan penyair juga tokoh segala bidang yang merasa dinaungi cahaya Illahi sejenis keberuntungan.

Hingga dalam keadaan cemburu hasrat gelap yang didorong dari belakang ketaksadaran (kebalikan kenetralan, demi nikmatnya seluruh alam), dapat dipastikan terjadi bencana ulang sebelum datangnya roh penyadaran. Jika penyair dan yang lain tidak lebih berwibawa sebagaimana laku lain bermanfaat dalam putaran roda dunia.

Keunggulan bidang pengetahuan juga berpotensi membangun. Profesi penyair pun lainnya punya keistimewaan saling mengisi, menyebar pengalaman masing-masing atas sinyal getar yang dipunyai. Hanya sesosok penyair memberikan ruang kecil dalam dirinya dan memuarakan segenap hayatnya berupa kata-kata bermakna demi kelanjutan pekerti umat ke jalan selanjutnya. Tidak otomatis mereka sebagai yang dikaruniai melimpah daripada ikhtiar kerja dalam bidang lain. Hanya perasaan berlebihlah yang menganggap capaiannya yang lebih agung dari profesi lain.

Galilah kemisterian kalimatnya dengan beragam wacana menyeluruh. Cari akaran sumber inspirasinya agar tidak terhasut, terhisap hanyut ulah-pakolah karyanya. Melalui corak sejarah perpuisian zaman baheula sampai kesadaran membacanya, sehingga menjadi sampiran hidup berfaedah, tidak lebih capaian ilmu pengetahuan lain, sebagai rahim kemanusiaan di bumi.

Tahap tingkatan hukum kausalitas sekadar mempermudah insan mencerna napas hidupnya pada lapis alam yang menaungi. Maka kenabian, kepenyairan, tidak lebih tinggi dari kemiskinan. Yang mengajarkan tak lebih faham dari yang diberi pelajaran, di ruang-ruang kadang tak memungkinkan, pada derajad waktu tidak tepat, tetapi segaris nasib dicanangkan Sang Kuasa.

Semisal kemarahan sang guru didorong nafsu, kesenangan pencinta dipompa hasrat pribadi, tiada lebih dari bocah yang belum mampu mengontrol diri. Maka profesi bukanlah hak paten diterimanya amal lebih tinggi dari profesi dianggap rendah di dunia, yang tercermin dalam gerak nalar. Seperti peminta-minta sesuap nasi pengganjal lapar, tidak lebih buruk dari calon pegawai meminta bantuan untuk diloloskan menjadi pegawai.

Penisbatan seorang berpikir kepada pendahulunya, apakah para nabi, nilai-nilai, atau ajaran agama dan sebangsanya, bukan lantas menjadikan dirinya aman pada kursi yang tersedia. Sebab, insan dituntun menghidupi zaman yang dirasai. Di sanalah pengujian itu memilihnya atau sekadar pelanjut keyakinan usang yang kurang terpakai oleh tuntutan zaman yang mengharuskan bersikap.

Seperti para nabi terpilih (ulul azmi) atas ketabahan menjalani kehidupannya, pada derajat tertentu tidak dipengaruhi keduniawian yang melekati. Namun, kesabaran menempa nasib secermin keliling dan bukan patokan semata-mata. Sekadar kaca pantul bagi siapa berkaca, maka penilaian kepada ikhtiar mematangkan sikap merdeka, tidak memaksakan faham yang dicanangkannya demi suatu wacana untuk sesamanya.

Apalagi Tardji bukan sosok rasul pemilik pamor keagungan yang dapat berimbas pada sisi timpang di kemudian hari. Maka pengoreksian zaman sebelumnya ialah kewajiban bagi pengeruk nilai masa sebagai perolehan berguna yang tidak mewujud keakuan, tetapi melayarkan inovasi saling berbauran memakmurkan seluruh alam.

Kini mari kita layari khasanah karya Ibn Arabi, terutama kun fayakun. Yang tampak pada karyanya bertitel Fusus al-Hikam, menisbatkan karangan tersebut kepada Nabi Muhammad di dalam mimpinya. Secara nalar, keagungan Sang Nabi dipolitisasi demi melegitimasi karyanya menjadi pegangan umatnya yang sangat tawaduk kepada ajaran-ajaran Nabi Muhammad-sumber Islam.

Tidakkah di wilayah itu dituntut kritis demi zaman yang terus menggeliat. Penyair bukan sekadar pelaku hukum syariat dan penalarannya secorak dengan awal terciptanya ajaran yang dianut, melainkan juga mengembangkan intuisi, memperluas cakrawala jangkauan kalbu pikirannya dinamis. Seperti penggerak pengetahuan, pengolah bidang kehidupan lain diharuskan memperbarui keimanannya. Selain itu, pandangan masa depannya dalam menjalani hayat, supaya tak ada ketertinggalan, karena waktu tidak berjalan mundur. Ia melesat bersama nasib yang dibawanya.

Usaha memurnikan sesuatu akan batal kalau tidak memandang capaian sekeliling. Hanya menjadi menara gading, jauh dari dinaya yang merombak tatanan demi kebaikan bersama. Maka kekritisan pembaca membentuk laju peradaban kepada yang disinaui bertingkat kesadaran yang dimiliki. Akan ambruk total jika sekadar mengamini perolehan sebelumnya, tanpa mematangkan dirinya sederajat dari masa-masa dinapaskan. Usaha kembali kepada kuasa memusat dan sifat kedisiplinan lama makin berakar busuk, kalau tidak menginsafi manfaat kerja dulu, pada belahan bumi sekarang.

Tersebab semua, kenapa syair (lebih khusus beraliran mantra), jauh dari masyarakat? Karena mereka membangun patung-patung mitos sebagai sesembahan. Dielu-elukan sebagai warisan kenabian tanpa memiliki fungsi yang jelas bagi masyarakat, sebagaimana napas kerja lain di belahan bumi kekinian.

Tidakkah ayat-ayat diturunkan kepada para nabi dari Tuhannya, langsung pun melalui perantara, memiliki sebab-musababnya. Jika sang penyair disepakati penerus nilai-nilai keindahan, fungsi syair yang dihasilkan dari ringkasan ajaran lama tampak sekadar tontonan, tidak berimbas resap tuntunan, seperti daya guna ilmu pengetahuan lain pada masanya.

“Kekeliruan” penyair zaman dulu sampai sekarang, watak ugal-ugalannya karena merasa sudah sangat serius melakoni hayat bersastra dengan seluruh jiwa raga. Kesuntukan itu menggodanya meloloskan diri dari tanggung jawab dengan memanfaatkan ayat-ayat, nilai, dan corak lelaku sedurungnya, sehingga abai pada ikhtiar kehidupan.

Pada gilirannya, yang suka mendongak ke langit, terlupa jinjit kaki-kakinya masih menjejak bumi dan pengetahuan pancaran dirinya tidak membumi. Makanya patut dipertanyakan mereka sudah menjadi penyair atau sekadar label suka-ria mengembangkan seluruh fitrahnya dengan mengabaikan laku pengetahuan zamannya. Atau lagu pemancing sunyi membawa kailnya, tetapi tak menuju ke sungai.

Yang asyik menganalisis, menerbangkan isyarat menuntun intuisinya, mentok di titian panjang pujian tanpa pengajuan manfaat darinya. Memang sisi tertentu tidak mengelak, puisi juga doa, mantra, tapi tidakkah ada tata cara sebelum melangsungkan hajat. Kata-kata bukanlah sekadar pipo ledeng menghantar maksud tujuan, melainkan ada energi yang mampu menggerakkan lembar jiwa ikhlas menerima sebagai nilai gemilang menyerapi kebaruan.

Kekritisan itu mengelola hayat berasal dari intrik-polemik bermasyarakat, bukan hanya luapan igauan di atas kecemerlangan bersastra.

Akhirnya hukum alam-sunatullah-menghardik jauh dari yang selama ini diikhtiarkan. Mereka terbuai pesona diri sendiri, terperdaya kilauan pandangannya atas derajat ketinggian yang sulit diterjemahkan. Mengabarkan sesuatu yang lepas dari ijtihadnya, berpanjang angan-angan dan para penerusnya terbelenggu bayangnya seperti ia terjerat hari-harinya, sampai muncul kisah yang keluar dari kehidupan normal malah dielu-elukan.

Sangat disayangkan, menafsirkan ayat dalam kitab suci memanfaatkan penggalannya, tidak menelisik jauh sejarah diturunknnya ayat tersebut, juga bagi para pengikut taat, yang mewarahkan dengan suara-suara lantang di zamannya.

Jika kepenyairan Tardji bersandar pada ajaran Islam, pun ujaran nenek moyang, juga sumpah-sumpah, seharusnya membaca detail siapa saja pewarisnya yang benar setia mengugemi kesastrawian ajaran tersebut. Ini dapat ditelisik kepada karya-karya al-Hallaj, Rumi, tidak terkecuali Ibnu Arabi, Mereka tak mencipta sesuatu yang keluar dari ajaran Muhammad, dengan penyampaian kekhasan yang dipunyainya.

Sebagai penutup bagian pertama ini, kukira surat Asy Syu’ara bukanlah bentuk penghormatan kepada para penyair, melainkan titel tersebut tak lebih sebagai hardikan serupa yang ada pada Surat Al Lahab.

Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

II

Sebelum merantak, izinkan diriku keluarkan isi hati di sementara waktu. Sebenarnya aku belum cukup umur dan ilmu untuk mengupas hal ini. Tapi untuk menjawab esai Tardji dan kupasan para penyair yang pernah kubaca mengenai Asy Syu’ara, serasa ada angin menggegaskanku untuk menuliskan. Tentu tidak menutup ketetapan ulang di masa datang, demi penajaman makna usia pengalaman, sehingga yakin adanya, demikian tuturan prolog dari pengelana.

Secara glambyaran, Surat Asy Syu’ara memuat kisah nabi dan rasul, di antaranya Musa, Harun, Ibrahim, Nuh, Hud, Sholeh, Luth, Syuaib, Nabi Muhammad SAW sebagai ujung tombaknya. Titel Asy Su’ara dimungkinkan diambil dari ayat-ayatnya paling akhir (225—227) yang kerap dikupas penyair muslim dan kini kutambahkan keterangan dari Tafsir Jalalain, yaitu kata-kata dalam kurung, guna tidak lewar.

Ayat 225
Tidakkah kamu melihat (apakah kamu tidak memperhatikan) bahwasannya mereka di tiap-tiap lembah (yaitu di majelis-majelis pembicaraan dan sastra-sastranya, yakni majelis kesusastraan) mengembara (mereka mendatanginya, kemudian mereka melampaui batas di dalam pujian dan hinaan mereka melalui syair-syairnya)”

Ayat 226
“Dan bahwasannya mereka suka mengatakan (kami telah mengerjakan) apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya (artinya mereka suka berdusta)”

Ayat 227
“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh (dari kalangan penyair itu) dan banyak menyebut Allah (maksudnya syair tidaklah melupakan mereka untuk berzikir kepada Allah) dan mendapat kemenangan (melalui syair atas orang-orang kafir) sesudah menderita kezaliman (sesudah orang-orang kafir menghina mereka melalui syair-syairnya yang ditujukan kepada kaum mukminin semuanya).”

Dari Terjemahan Tafsir Jalalain berikut asbaabun nuzuul, jilid III, karya Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Penerjemah Bahrun Abubakar, L.C., penyunting Drs. Ii Sufyana, korektor H. Anwar Abubakar, L.C., penerbit Sinar Baru Algensindo Bandung, Cetakan ke V 2001.

***

Surat Asy Syu’ara termasuk surat Makiyah, kecuali ayat 197 dan 224 hingga akhir surat tersebut Madaniyah, yang turun sesudah surat Al Waqi’ah.

Kalau mencermati keseluruhan Surat Asy Syu’ara, yang akhir ayat-ayatnya menanggapi penyair kafir Musailamah, dan lain-lain. Membaca ulang dengan teliti karya-karya Ibnu Arabi sebagai nisbat, yang mengudar 27 nabi pada Fusus Al-Hikam, tentunya Sutardji Calzoum Bachri tidak akan mengatakan dalam orasi dengan gegabah, serupa para penyair sebagai turunan Tuhan, antek para nabi di atas anggapannya yang keliru pada paragraf 3 dan 4-nya:

Manusia sebagai mahluk imajinasi Tuhan pada gilirannya menciptakan pula imajinasi. Para penyair sebagai makhluk yang profesinya menciptakan imajinasi atau mimpi—meskipun posisinya jauh di bawah Tuhan—memiliki kesejajaran seperti Tuhan. Penyair menciptakan imajinasinya, mimpinya, lewat kata-kata sebagaimana Tuhan menciptakan mimpinya lewat firman.

Peran penyair menjadi unik, karena—sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya— secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”

***

Padahal, kisah para nabi dalam surat tersebut, Tuhan bertanggung jawab di atas kehendak, firman dan perbuatan-Nya. Pun para nabi memiliki tanggung jawab menjadi pelayan bagi umatnya, pula tidak meminta-minta imbalan (upah) sama sekali atas ajaran-ajarannya. Cermati ulang, setiap ayatnya sebagai gambaran menyeluruh surat Asy Syu’ara bermakna surat para penyair. Melalui kitab-kitab ahli tafsir, sehingga tidak keblusuk tertipu dinaya nalar oleh kemauannya sendiri, nafsu belaka (wallahualam bisawab).

Kesembronoan Tardji mendedah kun fayakun melalui Ibnu Arabi, yang tidak menyebutkan sumber kitabnya (mungkin berniat menyederhanakan, tapi gagal). Maka, mudahlah meloloskan diri dan sulit terlacak, sampai menyeret para pembacanya menuju ke alam gelap gulita imajinasi, tengok dua paragraf awalnya:

Ketika Tuhan merindu memimpikan dirinya agar dikenal dan lepas dari kegelapan rahasia-Nya, Ia berfirman: Kun fayakun. Maka jadilah alam semesta ini”.

“Manusia sebagai bagian dari alam semesta serta alam semesta yang terkandung di dalam dirinya adalah bagian dari mimpi Tuhan, seperti yang dikatakan oleh sufi besar Syeh Muhyiddin Muhammad ibn Arabi. Dari mimpinya, dari imajinasiNya, Tuhan melalui kata-kata kun faya kun, menciptakan sejarah jagat raya berikut sejarah manusia di dalamnya”.

***

Dalam kitab Syajaratul-Kaun dan Hikayat Iblis (diindonesiakan bertitel Doktrin Tentang person Muhammad Saw.) karya Ibnu Arabi, diterbitkan Risalah Gusti 2001, disusun ulang di Mesir, oleh Mushthafa al Babi al Halabi wa Auladuh, 1360/1941, di sana, aku tidak menemukan pemahaman itu, pun pada Fusus Al Hikam yang lebih mendekatinya, maka aku salin ulang di bawah ini, yang mengenai Hikmah Keilahian dalam Firman Tentang Nabi Adam:

Ketika realitas ingin melihat esensi nama-nama-Nya yang Indah (al-Asma’ al Husna) atau dengan kata lain, ingin melihat esensi-Nya dalam sebuah objek inklusif yang meliputi seluruh perintah-Nya, yang didasarkan pada eksistensi. Ia akan memperlihatkan rahasia diri-Nya kepada-Nya. Penglihatan terhadap sesuatu, diri-Nya oleh diri-Nya sendiri, tidaklah sama dengan melihat dirinya pada yang lain, sebagaimana dalam sebuah cermin. Sebab, ia muncul untuk diri-Nya sendiri dalam sebuah bentuk yang ditanamkan oleh lokasi penglihatan yang hanya muncul dengan adanya eksistensi lokasi dan penyingkapan diri (tajalli) lokasinya terhadapnya”.

Realitas ini memberikan eksistensi pada seluruh kosmos, pertama kali sebagai sesuatu yang khas tanpa ruh apa pun di dalamnya, sehingga ia seperti cermin yang digosok. Dalam hakikat penentuan ilahi, Dia tidak menetapkan sebuah lokasi kecuali untuk menerima ruh ilahi, yang juga dikatakan dalam Al Quran dengan ‘Ditiupkan kepadanya’. Yang terakhir ini tidak lebih daripada terwujudnya kecenderungan bentuk khas batin untuk menerima pancaran emanasi /penyingkapan rahasia-Diri (al-fayd at-tajalli) yang tidak habis-habisnya, yang selalu, dan akan demikian. Di sana hanya menerima dan penerimaan ini hanya berasal dari limpahan-Nya Yang Tersuci (faydib al-Aqdas), dari Realitas, karena semua kekuatan untuk bertindak, atau semua inisiatif berasal dari-Nya, di awal dan akhir. Semua perintah berasal dari-Nya, bahkan sewaktu ia mulai dengan-Nya.” (Fusus Al Hikam, Mutiara Hikmah 27 Nabi, karya Ibnu Arabi, penerbit Islamika, 2004, dari buku The Bezels of Wiasdom, alih bahasa Ahmad Sahidah dan Nurjannah Arianti).

***

Andaipun Tardji mengambil sari dari mana saja pemikiran Ibnu Arabi, tidaklah patut merombak dan membentuknya menjelma pengertian lain, yang lalu lebih menekankan imajinasinya. Padahal dalam karya Ibnu Arabi, tidaklah ada yang merujuk ke imajinasi, tetapi emanasi. Terpenting, sangatlah jauh dari benar ungkapan Tardji pada pembuka orasi budayanya itu.

Temuanku lebih sederhana soal dua paragraf Tardji di awal orasinya adalah mungkin berasal keterpukauan bacaannya pada Pengantar Penerbit buku keluaran Islamika aku sebut di atas. Lantas jiwanya girang luar biasa, sampai meluaplah kefahamannya yang kukira terlampau nekat. Di bawah ini aku cuplik pembuka buku itu sebagai perantara temuan:

Secara tak terbantahkan, ajaran-ajaran esoterik Ibn Arabi dipengaruhi oleh al-Hallaj, melalui konsep Hulul-nya. Namun berbeda dari pendahulunya tersebut, Ibn Arabi beranggapan bahwa Tuhan sebagai esensi mutlak, sebelum memanifestasi (ber-tajalli) dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya, tidak mungkin dikenal atau mengenal diri-Nya, karena bagaimana mungkin disebut Tuhan, kalau tidak ada yang mempertuhankan-Nya? Ibnu Arabi mendasarkan pandangannya ini pada Hadits Qudsi: “Aku adalah khazanah yang tersembunyi, Aku ingin agar Aku dikenal, maka Aku ciptakan dunia”.

Bertolak dari Hadis ini, Ibn Arabi menjelaskan bahwa tatkala Allah hendak melihat esensi-Nya yang universal, mutlak, melalui nama-nama-Nya, Dia ciptakan kosmos. Laksana penglihatan dalam cermin, ketika Allah baru menciptakan kosmos, yang tidak mempunyai ruh, penglihatan awal keagungan-Nya, belum memberikan kejelasan. Maka, diciptakanlah Adam, yang mempunyai ruh, demi ‘menjernihkan’ penglihatan-Nya. Dengan demikian Ibn Arabi memosisikan realitas tunggal ke dalam dua aspek: Al Haqq dan Al Khalq. Aspek pertama merupakan Esensi yang merupakan Tuhan sendiri, yang transenden, sedangkan aspek kedua sebagai fenomena yang memanifestasikan aspek pertama, yang merupakan bayang-bayang Tuhan atau makhluk (Tuhan imanen). Jadi, keduanya pada dasarnya adalah satu, hanya saja dalam penalaran akal, keduanya tampak dua. Dalam istilah lain, Ibn Arabi berpendapat bahwa al-Khalq itu maqul sedangkan al-Haqq bersifat mahsus dan masyhud; al-Khalq eksistensinya tampak pada dunia pikir (rasio; al-ma’qul), sedang al-Haqq eksistensi-Nya hanya tampak dan dirasakan memalui intuisi (hissi dan zawqi).

***

Aku coba meringkas alur esai Tardji atas orasi budayanya pada acara Pekan Presiden Penyair, sebagai berikut:

Dengan embel-embel Ibnu Arabi sebagai cantelannya, Tardji meringkus faham kun fayakun demi menuruti hasrat tertingginya dengan melumat habis lewat doktrin yang sebelumnya tidak ada dalam ajaran Islam pula ujaran para ulama dan pujangga sufi, di mana karya-karya mereka tiada lepas dari akidah Islam, ringkasnya tidak mengada-ada.

Tardji yang berpamor Presiden Penyair Indonesia, memanfaatkan situasi itu untuk menekan nalar-imajinasi para penyair sesudahnya, sehingga lempanglah jalannya bertutur kata menaburkan wacana, lantas melunjak mengutip Asy Syu’ara sekenanya, mengikuti pedoman atau pemahaman membuta. Tidak menengok lebih dulu sebab musabab turunnya, hingga firman tersebut tak mendiami roh sesungguhnya, mungkin tersebab dorongan jiwa kepenyairannya yang melegenda.

Tardji lantas mengaku-ngaku berpendapat Sumpah Pemuda sebagai puisi yang dinaya ungkap pengulangannya laksana mantra, seperti puisinya. Priketiwi aku katakan, jika Tardji menyatakan;

Penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya.” Apalagi mematenkan perihal tersebut senada berikut; “Sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya”.

Kapan Tuhan bermimpi? Kapan Tuhan berimajinasi? Maka bacalah ulang keseluruhan surat Asy Syu’ara agar kefahaman ngawur itu kembali ke jalan lurus.

Dalam pandangan Tardji, penyair seolah-olah tugasnya berleha-leha, mengigau kata-kata indah yang memabukkan, seakan kesurupan Tuhannya, sebentuk umpatannya (tuduhannya) Fira’un dan orang-orang celaka kepada para utusan Allah, di kala kalah di dalam perdebatan (dalam Surat Asy Syu’ara, dan wallahualam bissawab).

Di atas kata tekan imajinasi, Tardji seenaknya menyorongkan kefahamannya ke sana kemari lewat daya ungkap nalar menggugah, lantas menelisiki alam kesusastraan tahun 1970-an angkatannya, dan membongkar nilai-nilai lokal, seakan ingin dapati pengesahan segala tindak tanduknya sudah sesuai dengan yang diimani selama ini, sambil mengembangkan wawasan kepemerintahan, pada: “penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya“. Itu seolah telah mewarnai derajat tertentu daripada gerak otonomi daerah [hanya Sutardji Calzoum Bachri yang lebih tahu isi hatinya].

Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

III

Tidak asing lagi, nama Sutardji Calzoum Bachri di belantika kesusastraan Indonesia atas Kredo Puisi-nya. Di bawah ini aku petik sebagian darinya:

Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.

“Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.”…

“Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.” (Bandung, 30 Maret 1973).

***

Secara ringkas ialah sosok penggagas konsep, berkeinginan membebaskan rezim kata-kata dari penjajahan pengertian dari beban idea seperti kamus, moral kata yang ditimpakan masyarakat menemui fungsi asalnya, “mantra”. Dan sudah banyak yang mengupas puisi, cerpen, pun esainya dari kaum kritikus, para penyair seangkatan, juga setelahnya yang muncul di koran-koran dan menjelma buku.

Tapi, aku kira belum ada yang mengupas konsepnya lebih dalam (dari dalam), yakni watak “perdukunan” intelektualnya, mantranya, dari akar-akar lokalitas, sehingga mewujud karya-karyanya. Yang akhir-akhir ini aku mendengar kabarnya menyufi, itu tentu berkat kesetiaanya memegang prinsip.

Namun, bagaimana jika ternyata Tardji berfahamkan: “Secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”, padahal yang aku ketahui, mantra (wabil khusus di bencah tanah Jawa) sangat sarat makna, karena dari maknanyalah, daya aura menembus segala yang dikehendaki menuju batas-batas takaran dan terketahui.

***

Pada buku himpunan kertas kerja seminar internasional dan sejumlah esai tentang Tardji, bertitel Raja Mantra Presiden Penyair terbitan Yayasan Panggung Melayu, 2007, tampak judul seakan-akan harus sangar, dahsyat, hebat, memabukkan, dan tiada tanding. Begitulah pamor Tardji di sekitar orang-orang yang dikenalnya dari jauh maupun dekat. Tidak cukup presiden, raja pun jadi. Dan diriku bersama para bidadari di atas awan, memandangnya sedikit geli.

Dari kritikus Abdul Hadi W.M., Ahmad Kamal Abdullah-Kemala, Koh. Young Hun, Harry Aveling, Maman S. Mahayana, Suminto A. Sayuti, Donny Gahral Adian, hingga penyair Amien Wangsitalaja, terpukaulah mereka. Tapi ada beberapa seakan menutupi atau tiadanya kesampaian mengupas punjernya mantra, maka yang tampak keterpesonaan. Sepertiya Tardji juga terhanyut tidak sadar diri. Dirinya tak meresapi lebih ke hakikat mantra dan hanya maujud sekadar gugusan gagasan nalar yang dilayarkan melalui karya-karyanya semata.

Sebenarnya ada beberapa rupa pembenahan tegur sapa kawan untuk Tardji mengenai tanggung jawab, mungkin jua melaksanakan. Tetapi catatan ini berangkat dari orasinya yang kukira banyak ketidaktepatan. Mungkin tergesa-gesa membuatnya atau seorang yang dilimpahi keyakinan sangat kuat, tiadalah perlu memusingkan perevisian pandang, di sanalah dianggapnya tugas dari para kritikus.

Misalkan mengetengahkan faham Arabi sebagai orasi, padahal kekaryaan Ibnu Arabi dapat dibilang menempati ruang sunyi, kamar khusyuk. Berbeda karya Al-Hallaj maupun Rabi’ah Al-Adawiyah, yang sebagian bisa menembus keramaian pasar. Tentu kita tahu, para pengupas tak lebih sepantulan pengetahuan pengupasnya, maka berbahagialah Tardji dikenali para bagawan sastra Indonesia serta Asia sebagai letak corongnya bersuara.

***

Karena ini mengudar mantra, kuminta bantuan pada roh-roh mau mengikuti atas keseluruhan alam semesta. Aku betot dari alam gelap, mungkin zaman purba prasejarah pula sebelumnya. Maka maafkan jikalau nanti bahasaku ngelantur, tetapi begitulah yang kuresapi.

Tatkala kitab waktu diturunkan, ruang terjabarkan, ditancapi pilar-pilar peradaban, sehembusan bayu menghidupi semua yang tersentuh gerak sepohon keyakinan. Di mana buah-buahnya bergelantungan itu, planet-planet mengelilingi galaksinya, kekuncup sumekar perbarui serupa ketakjuban, kesaksian dirinya di atas air telaga kehidupan. Dan daun-daun kegentingan, roh-roh ditakdirkan fahami kausalitas.

Riwayat lain berkabar, pohon keyakinan terang berkilau di jarak telah ditentukan mencipta bebayang hayati. Ada embun atau entah gerimis mematangkan dedaunannya terpelanting, bebuliran jernih menjelma makhluk hidup, mewujud bentuk sesuai kejatuhannya.

Sebagian pendapat berkata, dari ketinggian uap kekekalan menyentuh lapisan cahaya. Di sanalah derajat penciptaan. Ada pula berfaham asal roh suci ditiup dinaya kuasa, membentuk keseluruhan hayat tampak pun tidak terlihat.

Ada juga memikirkan paras ayu kehidupan ini sekembaran dunia lebih agung, entah nirwana, surga ataupun nama-nama lain, sejumlah kadar keinsafan memahami lokalitasnya. Demikian dongeng-dongeng suci mitologi, kitab-kitab kesusastraan lama memiliki penentu masanya, turun-temurun ajarannya dipelajari demi menyingkap misteri hakiki.

Jiwa-jiwa menyerapi kesadaran angan jauh serasa dekat, terdekat nyata tak terfahami. Pada gubahan lain berkumandang, cahaya membentuk daya dinaya suara perintah, pelaksanaan berkeseluruhan getar saksi hidup dan mati, misteri takdir berpasang atau berlawanan. Mulanya tiada tahu persis; apakah kata, warna, guratan, tiupan, semua yang ada kini sekadar mengikuti kecenderungan hukum-hukum dangkal.

Pada gugusan lain bersuara, kisaran peredaran alam semesta, sekilatan cahaya petir di antara mendung memadati bentuk, setirai-tirai kabut gelap, reribuan hijab pesonakan mata dan telinga. Rasa memberat sepunjer keyakinan menyerupai surya mengucurkan air mata, melayang antara kepadatan dan yang lunak, bergerombol memusar meninggi menancapi kekuatan, manusia mendapati seangin puting beliung, gempa bumi, letusan gunung berapi, lahar, banjir raksasa.

Perihal melampaui batas itu, para insan tertunduk mengakui kerumpilan jiwa, di luar pada gilirannya lebih bergema, tumbuh kewaspadaan, kejelian menyimak isyarat, pun guguran batang pohon, hewan-gemewan tiba-tiba mati, atau berteriak tak terkendali. Para makhluk bernyawa dicekam kekhawatiran, waswas mendera. Dengan pola tidak disadari sebelumnya, tercipta lengkingan menyayat ke bukit dan lembah, bertafakur, memunajat, yang belum ada sifat umpat pemberontakan.

Tubuh-tubuh didiami roh bergolak hebat atas kucurkan keringat dingin, pantai bibir-bibir berdesis, gigi-gigi gemeretak, akhirnya keyakinan pada yang gaib tertanam. Diusahakan mengikuti gejala-gejala tak wajar, terciptalah tari-tarian, kumandang musik, diikutinya bisikan lembut setiap kejadian, terjelma kesadaran berzikir, wirid, sisi lain adanya mantra atas Sang Mahakuasa.

Di semenanjung berbeda, arwah orang-orang telah tiada menempati bukit-bukit, gemunung, lelembah, pepulau terpencil, di kedalaman bumi, menyusupi hewan-gemewan menyifati kelakuan saudara-saudaranya, ini serempak. Dan di senggang masa peralihan, mereka benar-benar menyadari pergolakan, diingat sungguh demi dikisahkan ke anak-anaknya.

Adanya hal tak patut dilampaui, dipandang tajam, dipikir keras, kecuali melewati pantulan kodratnya. Waktu itulah persamaan diukur, perombakan ditakar, melayang turun penyesuaian ke titik laju perjalanan, melangsungkan pergumulan kasih tulus sejajar gelombang lautan, melingkupi bumi kesadaran berdekap sayang, sedaya gravitasi pengetahuan.

Pancangan lain berdasar takaran telah ditentukan, rasa kantuk terlelap, lupa kejadian, terlena hanyut mendiami hangat ruang-waktu meloloskan segenap perihal terhapus, diganti pilar-pilar baru oleh tekanan udara, derajat ditiupkan kepastian mendatang. Kekuasaan mutlak merombak pengertian serupa wewarna bercampur membentuk karakter anyar. Insan diombang-ambingkan ketakpastian selalu penasaran, mencari kekuatan lebih, kuasa tak terjangkau, sifat kecenderungan menempati mentalnya.

Waktu berlalu, setiap kejadian takdir mematangkan diri menempa panggung istirah, goa kemungkinan, kilasan angan bacaan ke peredaran alam, perubahan siang dan malam. Bencana, rasa senang mendadak datang, semua dipelajari, mengamati tetumbuhan mana yang berguna, hewan ancaman, di samping menghibur serta membuat kenyang.

Antara itu, ada khusyuk menyendiri, menyimak alam meneliti, mengelompokkan jauh, mengudar panjang, sehingga Sang Mahawelas merestui kasih sayang pencerah, anugerah menambah terang pandangan. Lalu terbuka hijab, rahmat ayat-ayat menyadarkan perubahan terjadi, rasa gemetar penerima tak lebih keterpesonaan kepada Yang Maha, tapi di bencah itu keraguan tambah membuyarkannya. Lalu tumbuhlah bunga di antara salah dan benar, diteruskan ataukah bergantung, bersama waswas di kepala.

Pada latar tersebut, nama-nama disematkan, diyakini fitrahnya di atas pantulan penyifatan, lelaki-perempuan berkawin, aturan dasar ditetapkan, hukum alam mengikuti jenjang pengetahuan yang mendiami orang-orang yang berpikir. Menyimak suara, dibacalah kelebatan bayang, menunggui kemungkinan berdebar atau senang, kedamaian hadir, ketenteraman menaungi kepunden-kepunden jiwa.

Sampai akhirnya, rasa tak puas didorong penasaran melahirkan penyimpangan, bentuk kembar digagas, penyelewengan menjadi aturan baru. Pada gilirannya kerusakan balik terjadi. Alam khianati penghuninya, menyebarlah wewatak curiga, saling tidak percaya memperparah keadaan, ayat-ayat suci dikhianati, puncaknya diguluk kekuasan. Sedang di senggang waktu bukan berlantas analisis, pun tidak segetaran abiogenesis, ditumbuhkan ulang sehingga kehidupan sampai gulungan terakhir.

Para utusan, orang-orang dirahmati, mendiami letak-letak genting. Hanya umat mengimani diselamatkan dari bencana besar, batu-batu terbang menghujam dari letusan gunung, lahar banjir hebat, awan panas mematikan, angin topan, semuanya menjadi pelajaran kisah-kisah di hari kemudian. Tertulis pada ingatan, daun-daun pula kulit-kulit hewan, batu-batu, ukiran kayu, sampai masa kaum cerdik pandai, tetapi selalu diserang kelupaan.

Hanya yang diizinkan Sang Kuasa menempati bencah lestari, langgeng serupa hikayat-hikayat, mitos purba kitab-kitab susastra lama, serta tak lupa disimpannya hasil-hasil tirakat memaknai kata-kata, benda, roh-roh berkisar di antara hayatnya, pada kotak-kotak dipendam, terpendam datangnya bencana longsor, dan seterusnya. Tapi Yang Asih tiada jemu terus memekarkan pengetahuan. Kepada setiap yang peduli merenungi kejadian, diutamakan hasil-hasilnya untuk warisan demi kelangsungan napas-napas peradaban.

Dan mantra, salah satu hasil tirakat manusia, menghidupi letak terpencil demi menghalau yang tidak disukai, pula meloloskan hasratnya secara di luar lelaku kewajaran. Di dalam nada-nadanya menyusup dinaya keyakinan besar, di samping ada yang berpengetahuan, mencobakan ayat-ayat kitab suci, pula dari penggalan kisah pada kesusastraan tua, dirapalkannya ulang berteguh iman memenuhi hajatnya.

Demikian diperdalam lewat menghindari jenis pantangan, bentuk berbenturan atau berlawanan dengan niatnya, demi keampuhannya bertambah atau tak batal yang diinginkan. Mulanya diucapkan dengan kekhusyukan menghadap kiblat keyakinannya. Lambat laun pengetahuan lebih maju, ucapan-ucapan mantra dituliskan dengan kadar guratan yakin pada masa-masa ditentukan, maka bersebutlah ajimat (jimat).

Di sebagian belahan bumi, jimat dikalungkan pada tubuh, tempat-tempat dianggap penting maupun genting. Ada juga pada kitiran bayu, guna angin menerpanya. Dan hembusan gelombang bayu dianggapnya pengganti ucapan seorang dukun pemberi jimat, seperti komat-kamit bermantra.

Jimat atau mantra tertulis, lebih tepatnya beristilah rajah. Rajah kadang berupa ringkasan kalimat mantra, pula jenis rumusan yang memiliki dinaya sama, ada ditulis utuh yang sejatinya terucap. Tata cara penulisannya pun memakai aturan, ritual khusus menyejajarkan peredaran lintang juga malam pasaran jika di tanah Jawa. Dan menghindari pantangan atau yang dapat menggagalkan waktu dikehendaki diguratkannya rajah, selain melaksanakan penyucian diri sebelum melangsungkannya.

Semua itu dikerjakan orang-orang yang memiliki kesaktian ampuh, minimal punya keyakinan tangguh, bahwa yang diritualkan kelak benar mewujud keampuhan. Laku ini dilakukan dengan kehati-hatian tinggi. Tinta pena untuk menuliskannya dicampur minyak wangi yang juga memiliki ciri khas tertentu kewangiannya atas niat.

Di sini letak tukar pengalaman bertemu, antara ahli minyak, pembuat mantra, dan sebagainya. Media minyak wangi dapat diganti ruapan harum kembang yang direndam. Tetapi di balik itu, ada beberapa rajah kurang kuat daya pamornya jikalau tata cara serta alat-alat ritual tidak lengkap. Biasanya, pembuat rajah mengetahui kadar tingkatannya, sehingga sebelum memberikan pada yang membutuhkan, mengucapkan wejangan yang kelak dibutuhkan rajah tersebut supaya khasiatnya tetap.

Kembali soal mantra. Biasanya berasal dari bahasa asing negeri jauh ataupun kata-kata lama penduduk pribumi yang dituahkan, dianggap suci keramat. Jika tidak lama tak asing, mantra tentu berangkat dari keyakinan teguh terpegang. Di sini keyakinan menjadikan pokok, punjer musabab kejadian, hati kukuh bonggolnya keimanan sanggup menyusupi perasaan diri serta orang sekelilingnya.

Secara garis besar, mantra dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama hasil pencarian seorang waskito, insan selalu mengasah raga-batiniah, menghidupi alam tidak tampak, terlebih meneliti keseimbangan lahiriah, sedangkan jiwanya selalu mawas. Dia mendapati ucapan mantranya kadang melalui bisikan gaib saat-saat bersemedi juga melewati alam antara mimpi juga dalam mimpi.

Ruang-ruang tertidurnya badan itu kesempatan jiwa mengembarai yang digeluti di sebalik hayati sehari-hari. Orang-orang dalam keseharian menajamkan indra rangkap, mendapati temuan murni dihajati. Bagi para seniman, dapat dikatakan menyaksikan jendela inspirasi terbuka lebar di atas kesungguhan bekerja.

Kedua, mantra didapati dari ayat-ayat kitab suci pula kitab-kitab lama, sejenis karangan kesusastraan para leluhur yang diyakini bersimpankan keruhanian gaib, dibandingkan kekaryaan orang biasa. Kitab-kitab itu dipercaya mengandung kesakralan terpendam mana (kesaktian) dan dapat diamalkan.

Mengambil beberapa kalimat mantra sesuai dengan masalah yang dihadapi, untuk dirapal, dibaca ulang, ditirakati menahan haus dan lapar maupun sejenisnya, dilakukan demi kehendak dituju tercapai. Jika kalimat suci atau ayat tersebut dijadikan rajah, diambil beberapa kata pun huruf terpenting darinya maupun ditulis keseluruhan.

Sebelum mengudar jauh memahami cermat seksama hakikat mantra, yang hendak aku benturkan-konsep mantranya Tardji. Bagian ini aku ucapkan terima kasih kepada almarhum Prof. Dr. Koentjaraningrat (15 Juni 1923—23 Maret 1999) atas bukunya: Beberapa Pokok Antropologi Sosial, terbitan PT Dian Rakyat, cetakan V, 1981. Selain itu, abstraksi dari bacaan-bacaan sebelum dan sesudahnya, semisal kitab Daqooiqul Akhbar, Menyingkap Asal Mula Kejadian Mahkluk, karya Al Imam Abdurrohim Bin Ahmad Qodhi, terbitan Husaini Bandung, Februari 1992, penerjemah Abdul Ghoni Asykur, Shoib dan Slamet Ilyas, di samping Kitab Para Malaikat, terbitan PUstaka puJAngga, 2007, karyaku sendiri.

Karena ini membahas mantra, maka pokok segalanya keyakinan, sedangkan bukti keimanan merupakan penampakan dinaya supranatural. Kudunya berkenan dibuktikan, jikalau tersebut benar-benar karya pemilik rohaniah sekelas mantra.

Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

IV

Cukilan tulisan Dr. Abu Hanifah, Menyambut Ceramah Mochtar Lubis, Renungan Tentang “Manusia Indonesia Masa Kini” bagian Lahirnya Sumpah Pemuda:

Buku ini ditulis (keterangan sebelumnya; ada membicarakan sifat-sifat manusia Indonesia, dalam cara seperti dikemukakan oleh Saudara Mochtar Lubis. Dicetak tahun 1920, Haarlem, pengarangnya Prof. J.C. van Eerde, guru besar Universitas Amsterdam dan Direktur dari Koloniaal Institute te Amsterdam. Judulnya: Inleiding tot de Volkenkude van Nederlandsch Indie) dalam tahun 1920, dan dalam tahun-tahun 20-an itu timbul Renaissance Indonesia dengan gerakan Pemuda Indonesia, dan lahirnya Sumpah Pemuda, dan perangsang lagu kebangsaan Indonesia Raya. Meletusnya pemberontakan PKI yang sebenarnya lebih banyak dapat dikatakan pemberontakan masyarakat Indonesia yang tak puas. Menurut hemat saya, yang terbanyak mereka yang di-digoel-kan kolonialis Belanda, malahan anggota-anggota Sarekat Islam di mana-mana. Mau tak mau sekarang harus diakui, bahwa vitalitas rakyat menentang kolonialis Belanda pada waktu itu Sarekat Islam. Belanda memakai kesempatan pemberontakan PKI buat menghantam sekaligus musuh mereka yang lebih berbahaya, ialah Sarekat Islam.

Pada tahun 1928, lahir PNI yang umumnya disokong oleh pemuda-pemuda Indonesia yang terpelajar. Arus keras perasaan kebangsaan menyebabkan pada tahun 1928 lahir ikrar: Sumpah Pemuda, dan setelah itu, bangsa Indonesia tidak lagi bangsa Indonesia yang digambarkan oleh orientalis-orientalis Belanda, seperti Prof. J.C. van Eerde.

Dunia di sekeliling Indonesia bergolak, dan bangsa Indonesia tidak tinggal diam. Malahan saya berpendapat, tanpa Renaissance Pemuda Indonesia dalam tahun 1928, spontanitas pemberontakan dan perjuangan total dari rakyat Indonesia dalam tahun 1945, tidak mungkin.

Harus secara jujur diakui secara blak-blakan, bahwa misalnya Undang-Undang Dasar 1945, dan Pancasila yang begitu diagung-agungkan itu, tidak mungkin lahir tanpa Renaissance Pemuda Indonesia, tahun 1928 dan seterusnya.

[Diambil dari buku Manusia Indonesia [Sebuah Pertanggungjawaban], Ceramah pada tanggal 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki—Jakarta, oleh Muchtar Lubis, diterbitkan YOI, edisi II, Maret 2008].

?

***

Kala membahas mantra lebih jauh, aku sengaja mengedepankan yang tampak terlebih dulu. Gerakan semangat sejarah perjuangan dan gurat-gemurai mewarnainya. Atas jejak-jejak penciuman Sang Harimau Sumatera sebutan Muchtar Lubis, yang masih menjalar hingga kini atau 33 tahun sudah, tepat pada tulisan Atmakusumah berjudul David Hill Mengamati Mochtar Lubis, Kompas, 8 Maret 2010, dan dapat dipastikan mengikuti laju perkembangan maknawi ke-Indonesia-an.

Dialah yang sempat menggegerkan letak panggung Indonesia atas ceramahnya pada 1977, berfaham salah satu watak manusia Indonesia; “enggan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya” dibukukan dengan pengantar Jakob Oetama, ditambahkan bahan perdebatan ataupun masukan pendapat dari; Margono Djojohadikusumo, Sarlito Wirawan Sarwono, Dr. Abu Hanifah, dan Wildan Yatim, yang diterimanya baik, laksana cermin memantulkan wajah pendedahnya.

Tertinggal 30 tahun sudah (Muchtar Lubis [1977] Vs Sutardji Calzoum Bahri [2007]), watak yang diramalkan wartawan bermental jihat tersebut kian kentara, jika teringat kata-kata Tardji: “…secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya”.

Sebelumnya, mari dengarkan pendapat sastrawan Mochtar Lubis (lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922–meninggal di Jakarta, 2 Juli 2004), mengenai mantra sejenisnya dalam buku yang sama, pada halaman 28-29, dan paragrafnya paling ujung bagian ciri keempat:

Kepercayaan serupa ini membawa manusia Indonesia jadi tukang bikin lambang. Kita percaya pada jimat dan jampe. Untuk mengusir hantu, kita memasang sajen dan bunga di empat sudut halaman, dan untuk menghindarkan nahas atau mengelakkan bala, kita membuang tujuh macam kembang di tengah simpang empat. Kita mengarang mantra. Dengan jimat dan mantra kita merasa yakin telah berbuat yang tegas untuk menjamin keselamatan dan kebahagiaan atau kesehatan kita.

Sampai sekarang manusia Indonesia yang modern pun, yang telah bersekolah, telah berpendidikan modern, masih terus juga membuat jimat, mantra, dan lambang. Salah seorang dukun lambang yang paling hebat di Indonesia tak lain mendiang bekas Presiden Soekarno, mantranya di zaman Jepang: “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis”, cukup lama membikin banyak manusia Indonesia mabuk, bahwa kita memang melakukan demikian, dan kemudian ketika berkuasa sendiri, maka mantra-mantranya tambah hebat, seperti Nekolim, Vivere Pericoloso, Berdikari, Jarek, Usdek, Resopim, dan sebagainya, hingga tiba saatnya wahyu cakraningratnya lepas dari dirinya, dan segala mantra dan jimatnya ternyata kosong, hampa dan tak bertuah sama sekali.

Kemudian kita membuat mantra dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, Orde Baru, the rulle of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran merata dan adil, insan pembangunan. Manusia Indonesia sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan lambang yang dibuatnya sendiri. Negara kita berdasar Pancasila, kata kita semua, dan kita pun lalu mengaso, penuh keyakinan dan kepuasan, bahwa setelah mengucapkannya, maka masyarakat Pancasila itu telah tercipta. Tak ubahnya sebagai seorang tukang sulap yang mengucapkan bim salabim. Nah, keluar kelinci dari dalam topi.

Apakah manusia Indonesia akan terus jadi manusia mantra, semboyan dan lambang, atau manusia yang bisa berbuat,melaksanakan, menciptakan, dan bukan manusia yang hanya bermain dengan kata-kata saja yang lama-lama jadi hampa dan tiada bermakna sesuatu apalagi baik bagi yang memakainya maupun bagi yang menerimanya? Jawabannya saya serahkan pula pada saudara-saudara.

***

Separuh pekerjaan bagian IV telah dikupas para pendahulu, kini waktuku berujar.

Para sastrawan yang tak takut jeruji penjara, kelaparan keluarganya, juga keberanian senyawa merah yang mengundang inspirasi insan sekitarnya; Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, W.S. Rendra, dan seterusnya. Mereka bertanggung jawab atas laku nasib dan karya ciptaannya, laras kekerabatannya, langgam nada perjuangan bangsanya yang tiada kehendak mencipta menara, menancapi sebutannya. Terpenting ikhtiarnya terusahakan menuju muara, menyadarkan zaman gelap jahiliyah, kebodohan berlarut, dan propaganda menjerumuskan kelupaan pencarian sejati.

Aku singgung sedikit Hadits Qudsi: Dari Abu Huraira ra berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Aku menurut sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya apabila ia ingat kepada-Ku”. Di sana bukannya Tuhan tak bertanggung jawab atas segalanya, tetapi manusia diberikan kebebasan yang jatuh pada tingkat risiko masing-masing, menemui ganjaran amal sesuai dengan takaran yang telah ditentukan-Nya. Maka pertanggungjawaban senantiasa ada. Jika tidak, kenapa pula ada neraka dan surga. Sungguhlah Tuhan bertanggug jawab atas kaum Nabi Musa AS dan seterusnya yang mengikuti firman-Nya.

Allah berfirman (Lalu Kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”) maka Nabi Musa memukul laut itu dengan tongkatnya. (Maka terbelalah lautan itu) membentuk dua belas jalan (tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar) di antara dua gunung terdapat jalan yang akan dilalui oleh mereka; sehingga disebutkan bahwa pelana hewan-hewan kendaraan mereka sedikit pun tidak terkena basah dan tidak pula kecipratan air, [Surat Asy Syu’ara’ ayat ke 63 disertakan Tafsir Jalalain, karangan Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar, terbitan Sinar Baru Algensindo, Bandung, Cetakan V, 2001].

***

Tardji cukup berhasil, dapat dibilang sukses menaburkan faham mantranya pada kesusastraan Indonesia. Dia membuat para kritikus yang biasanya bermata jeli oleh teori-teori dalam sakunya, semisal logika bahasa dan sebangsanya. Kaum kritikus terbenam kekuasaan puisi-puisinya sampai menyusuri padanan sesuai atau kehendaknya disesuaikan dengan capaian Arthur Rimbaud, Jalaludddin Rumi, Hamzah Fansuri, dan perlawanan Dionysus kepada Apollo sebagaimana Nietzsche pun sekenanya. Tanpa menunjukkan dada masing-masing atau disejajarkan di samping karya Tardji, seakan para pembaca disuruh mencari-cari dan menerka kebenarannya. Silaplah penikmat yang tiada berkeinginan meneruskan penglihatan realitas kemiripan diunggahnya dari zaman-zaman berbeda, sangat berlainan tempaan nasib dikandung hayatnya yang mewujud tanjung-tanjung karang mereka.

Wartawan sastrawan Muchtar Lubis sudah menjelentrehkan bukti keampuhan mantranya Soekarno tatkala berkuasa, tapi saat cahaya wahyu cakraningratnya terlepas, nyata bangsa Indonesia tetap terbelakang, tidak seperti yang dibayangkan masyarakat terbius. Dan kekuasaan kepresidenan penyair Tardji, kewibawaannya sebagai raja mantra, masih terdengar hingga kini, tengok atau klik lembar Kompas, 24 Oktober 2010, tulisan Salyaputra berjudul Pertemuan Dua Presiden Penyair.

Dengan konsep mantranya, Tardji memberontak tatanan berpuisi dan para kritikus tidak berdaya, terpukau rajah kata-katanya. Dan dapatlah aku kelompokkan Isyarat, kumpulan esai Sutardji Calzoum Bachri, terbitan Indonesia Tera, 2007 itu, sangat kaya daya sugestinya. Tentu tak lebih dibangun atas keyakinan purna, tapi tidakkah juga perlu cermat meneliti asalnya? Apakah ia masih setiai konsepnya atau sudah menyelingkuh faham lain? Ataukah ia mencampur aduk mencipta pamor membuta?

Tardji berhasrat lebih mengeramatkan tradisi lewat bahasa Indonesia melalui mantra dengan penjungkirbalikkan akibat konsepnya di atas daya spontanitas termiliki, sedari peleburan dirinya bertirakat sebagai penyair:

Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.“, (Kredo Puisi Sutardji Calzoum Bahri, tertera Bandung 30 Maret 1973, dalam buku O Amuk Kapak, tiga kumpulan sajak, terbitan Departemen Pendidikan Nasional Tahun Anggaran 2004).

***

Sungguh menghipnotis bagi yang terlena, tapi apakah sudah benar-benar berjalan-berhasil semestinya, pada umumnya mantra? Yang katanya mantra itu bebas dari kandungan makna, tetapi aku tidak habis pikir, kenapa pula membikin semacam esai Pengantar Kapak. Pun aku mencurigai, jangan-jangan mantranya tidak bertuah. Setidaknya aku tidak pernah menjumpai pun mendengar pembacanya kerasukan di kala merapalkannya. Mengenai para kritikus yang mengupasnya, kembali pada tingkat pengetahuannya.

Kalau alam sastra Indonesia menyerupai nuansa kesusastraan di Makah tempo dulu, para penyair berkumpul dan mengeluarkan kehebatan syairnya masing-masing di depan Kakbah, sungguh kentara puisi-puisi Tardji sekadar muslihat kata, tipu daya bahasa tak mengandung unsur dinaya mantra. Kita tahu unen-unen atau makolah; kata-kata dalam syair memiliki kekuasaan laksana sihir yang dari syair-syair itu sebagian darinya terdapat hikmah. Lantas jika balik mantranya Tardji apakah bertuah? Selain makna, karena dirinya sudah pasrah membebaskan kata-kata dari beban pengertian, maka mari tengok salah satu karyanya:

Mantera


lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka

puah!
kau jadi Kau!
Kasihku

Pada puisi Sutardji Calzoum Bachri di atas, aku jadi teringat kata-kata Mochtar Lubis, “…bim salabim, nah… keluar kelinci dari dalam topi’.

Kita simak sejenak cuplikan pengantar bukunya: “Sajak-sajaknya pernah menjadi perdebatan di meja redaksi Horison, yakni antara Taufik Ismail dengan H.B. Jassin. H.B. Jassin menolak sajak-sajak Sutardji untuk dimuat di Horison, sementara Taufik Ismail justru sebaliknya. Ia berkeras ingin memuatkan sajak-sajak Sutardji di majalah Horison. Akhirnya H.B. Jassin mengalah dan sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri muncul di majalah tersebut.

Selepas membacanya, terlihat pemberontakan tradisi perpuisian yang dilakukannya melalui bentuk mantra mendapat dukungan/difasilitasi, maka lempenglah jalan kepenyairannya meski gaya-gaya perpuisiannya dapat digolongkan ngawur di bawah rupa kesurupan memasuki ruang pembodohan. Kukira selain puisinya di atas, lebih awut-awutan mengandalkan bunyi serta kemungkinan gila, yang sejatinya menyerang kaum kritikus, juga wujud meremehkan penyair lain, maka kian ugal-ugalan dirinya mematangkan konsep: “tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.

***

Bagian sebelumnya telah kuterangkan, mantra ada juga diambil dari kitab-kitab suci, semisal Al Quran, contoh kalimat: “Bismillahirrahmanirrahim, jika dibuatkan mantra hanya diambil dua kata bersebutan Ya Rahman, Ya Rahim”.

Mantra yang merahasiakan pengertiannya, seperti Alif lam ro’, Alif lam mim, Yaa sin, kalau dimantrakan, diwiridkan, hanya membaca huruf paling ujung; ro’, mim, sin, dan seterusnya, juga diambil dari 99 asmaul husna. Selanjutnya bisa kita jumpai pada Kitab Syamsul Ma’arif, karangan Syekh Ahmad Ali al-Buni. Agar tak terjadi ketersesatan dan menyesatkan, dapatlah menyusuri karya Al Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah bertitel Al Firasat yang masih di dalam lingkup cahaya-Nya.

Aku teringat di saat dulu pernah mempelajari mantra-mantra Jawa; ajian serat jiwa, tapak sakti, lembu sekilan, pancasona dan yang lain. Sayang tulisan-tulisan tersebut atau rajahnya hilang, aku bakar. Setidaknya aku pernah menikmati keampuhannya, di samping pesona sikep onto kusumo yang jika balapan sepeda motor terjatuh aman tak terluka. Lantas muncul dua wajah, apakah mantranya Tardji sekadar kecerdasan sosok “dukun intelektual” yang diamini kaum kritikus? Semoga tak sesat dan menyesatkan. Ataukah benar-benar mantra bertuah suci?

Mengamati pola Tardji yang “secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya”, ia tampak sebagai dukun tidak bertanggung jawab, berusaha mengaburkan daya tirakat melalui mantra penutup yang menghilangkah jejak tapak halusnya. Demikian dikaterogikan lempar batu sembunyi tangan. Bentukan tersebut memang ada dan ia memakai jalan itu.

Untuk kembali ke pandangan Mochtar Lubis seperti menegakkan rumput patah di tengah-tengah Ibu Kota. Padahal kesenjangan sosial kian membutakan mata, kezaliman korupsi dan sebangsanya mencengkeram kuat masyarakat Indonesia, sedangkan kepenyairannya bermantra, menyerupai intrik jahiliyah mencolok di depan mata.

Mengapa Tardji memaksakan diri memasukkan Sumpah Pemuda ke dalam puisi sebentuk mantranya? Karena ruhaniah sumpah sama dengan mantra, juga kutukan. Rasa-rasanya bagian ini ingin bernapas lebih lama, tapi kuhentikan di sini, lalu kulanjutkan ke bagian V, maka mengalirlah…

Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

V

Ada beberapa mantra Jawa mengadopsi nilai ajaran Islam, salah satunya lewar, malah mengotori ruhaniah kedalamannya, semisal ajian kulhu sungsang, diambil dari surat Al-Ikhlas, tapi diputarbalikkan hingga jempalitan tak tentu arah.

Mantra-mantra berdaya ruhani rendah yang paras auranya merah, mudah dipelajari karena menghamba jin atau manunggaling kawulo jin; bentuk-bentuk penyimpangan dari ajaran murni yang sengaja dirombak demi pamor berbalik. Biasanya dipakai para dukun yang tidak bertanggung jawab.

Apa jadinya jika Sutardji dalam mantra-mantranya memutar-balik bahasa sekenanya hingga makna jungkir-balik tidak punya kandungan isi, kecuali hembusan mendat-mentul tak berdaya filosofinya. Terlena gagasan keblinger membebaskan kata yang berniat awalnya mengeramatkan bahasa Indonesia lewat mantra malah meracuni jika dibaca anak didik belum faham udelnya pun sudah. Semisal sajaknya Shang Hai.

SHANG___________________________HAI

ping diatas pong

pong diatas ping

ping ping bilang pong

pong pong bilang ping

mau pong? bilang ping

mau mau bilang pong

mau ping? bilang pong

mau mau bilang ping

ya pong ya ping

ya ping ya pong

tak ya pong tak ya ping

ya tak ping ya tak pong

kutakpunya ping

kutakpunya pong

pinggir ping kumau pong

tak tak bilang ping

pinggir pong kumau ping

tak tak bilang pong

sembilu jarakMu merancap nyaring

(1973/Sutardji Calzoum Bahri, dari buku O Amuk Kapak, tiga kumpulan sajak).

Jika tak hendak keramatkan bahasa, lantas apa yang digagas sekadar membebaskan kata-kata sebebas-bebasnya dan orang baru menulis huruf, dapatlah membuat puisi segayanya. Apakah kredonya tak menjerumuskan umat ke jurang jahiliah, kreativitas pembodohan?

***

Secara umum, ilmu kebatinan (Prof. Dr. Koentjaraningra, memasukkan ini di bab Sistem Religi dan Ilmu Gaib), pada pengetahuanku, terkelompok menjelma tiga gunung keyakinan, tiga belahan benang atau tiga pilar; putih, merah, dan hitam.

Pertama; Para nabi, rasul, wali, dan orang-orang diberkati. Dalam kitab A’maar Al Anbiyaa’, dituliskan Jihad Muhammad Hujjaj, penerbit Maktabah Al Imam Al Manshurah-Kairo, diterjemahkan Team Azzam, Cendekia Sentra Muslim 2004, tertulis: “Para nabi berjumlah 124 ribu sedangkan rasul 313, seperti tertera pada hadist yang diriwayatkan Abu Dzar Al Ghifari, dalam Kitab Al Bidayah wa An-Nihayah, hal 535”. Jumlah tersebut termasuk para nabi, para rasul yang terketahui, dan mungkin saja di antaranya Siddhartha, Tao Te Ching, serta kaum pengikut ikhlas menjalani ajaran-ajarannya. Tuhan menganugerahi keutamaan perbuatannya sejenis mukjizat, ilmu pengetahuan berlimpah tetap melingkupi hukum kausalitas pun keajaiban yang muncul ternalar, juga tak menjerumus pada sikap angkuh pula tamak. Mereka dinaungi hawa sesejuk salju tidak sembarangan, tidak sembrono tapi penuh perhitungan. Teguran-Nya cepat menyadarkan balik ke jalan keselamatan, di samping banyak yang gagal mencapai derajat itu, dan angka-angka di atas wallahualam bissawab.

Kedua; Syaman atau shaman (syamanisme semisal upacara sanghiyang dedari di Pulau Bali), praktek perdukunan, jinjangraja, pedande, pendeta, orang-orang alim (berilmu kanuragan, sikep, pelet atau mahabbah). Kehendak mereka merapalkan mantra untuk memohon Yang Kuasa, tapi lantaran disusupi niatan kurang baik sewujud keduniawian, biasanya dirasuki kekuatan kurang terpuji, semisal jin. Tidakkah kita ketahui, sebaik-baiknya bangsa jin ialah seburuk-buruknya manusia.

Mereka berangkat dari tirakat tapabrata-berpuasa yang abaikan ritus-ritus syariat serta menampakkan wujud kelebihan atau ditonjolkan hingga membuat kagum orang, karena hasil terperoleh seolah-olah dari perhitungan alamiah. Biasanya tidak merugikan orang lain, sekadar mempermudah kelancaran hasrat, tapi ujung-ujungnya kurang baik, kalau tak dilambari watak kasih sayang tulus.

Ketiga; Ilmu hitam seperti mantra mengundang roh gentayangan, arwah nenek moyang berwatak buruk, begejil, wewegombel, kuntilanak/matianak dan sebangsanya. Mereka diundang lewat pembakaran dupa-kemenyan disertai komat-kamitnya mulut bermantra. Yang awal rapalannya berasal bisikan jin (setan) ke telinga-telinga para dukun tak pernah menyucikan jiwanya bersifat wes asih lemah lembut, tapi berangasan terhanyut nafsu belaka.

Tanda orang memperdalam keilmuan ini, matanya merah seperti dalam keadaan mabuk, pundaknya memberat, telinganya panas, mudah marah, dan serampangan. Jika berwatak cerdik, akan menutupi dengan kepura-puraan merendahkan diri, padahal di hatinya angkuh luar biasa, pun kata-katanya ganjil sulit ditangkap, seolah ngelindur tiada pijakan. Kalau ditanyakan ulang, ia segera beralih perhatian.

***

Ibarat gelombang, tiga sinyal tersebut dirasai semua insan, khususnya kaum pemikir juga yang dikaruniahi indra tajam, dengan naik-turun derajat sesuai amal perbuatan serta pantulan sekeliling. Pun gelombang mantra saling bertaut nan berbenturan (pengertian mantra di sini membiak, bisa sebenarnya, krentekan hati, berpikir keras, dan keserupaan lain bersimpan aura pancaran keyakinan), di samping roh pepohon, gunung-gemunung keseluruhan alam bertautan silang-saling mencahayai-menggelapkan.

Para penyair seperti kaum pemikir lain, sejarahwan, filsuf, para hamba menyetiai lakunya ditujukan demi beribadah, ditinggi-rendahkan derajatnya di dunia pun alam lebih. Percepatan naik-turunnya gelombang itu sebolak-baliknya hati dibenturkan goda, diringkus bujuk rayu, ditaburi serpihan cahaya kesadaran malaikat Ruhaniyyuun.

Begitulah manusia dalam kehidupan serbaterbatas tempat-waktu, senantiasa berkeadaan rapuh, goyah, waswas laksana sandiwara; lakon pewayangan telah ditentukan alur ceritanya. Hanya yang ingat waspada dalam keikhlasan juga corak dipertajam kesungguhan tirakat, ikhtiarnya memperjelas wajah ombak berkecenderungan ke mana terdekat, sedari ketiga benang tersebut.

Ketiga pegunungan besar itu sejatinya berasal dua cabang, Ibnu Arabi menyebutkan dari satu “pohon kejadian” dalam kitab Syajaratul-Kaun. Serupa kitab Daqooiqul Akhbar, karya Al Imam Abdur Rohim bin Ahmad Al Qodhi yang permulaannya berawal cahaya satu benih kun: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, ‘Kun (wujudlah), maka ia pun jadi (wujud).” [Q.S. an-Nahl: 40].

Al Qodhi dengan bahasa klasik, penjelmaan perihal di atas menyerupakan seekor burung, seperti peradaban primitif yang baru mengenal kesadaran jiwa dan tetap bertengger pada dahannya yang bergetar meneteskan keringat. Sedangkan Ibnu Arabi lebih maju, akar pohon itulah kehendak, cabangnya kuasa, satunya menuju kesempurnaan, kedua menemui kekufuran.

Aku sendiri lebih condong mengenai “pohon kejadian” ialah “sejarah penciptaan” bersumber dari kehendak-kehendak membangun kekuasaan mulia di sebelahnya penghancuran, kemakmuran di sisinya keserakahan. Sementara munculnya ketiga cabang besar, tidak lebih pantulan keduanya; keraguan manusia, sifat waswas, khilaf, ruang-waktu remang yang dekat pemaafan juga terperosok dalam.

Pada Thasin IV, Kitab Tentang Lingkaran, bagian I, di buku Ana al-Haqq, menyingkap teosofi al-Hallaj dalam kitab thawasin/oleh Gilani Kamran, diterjemahkan Wahyudi, S. Ag., diterbitkan Risalah Gusti, Cetakan Kedua, April 2001, menyebutkan:

Lingkaran pertama di dunia penampakan
adalah dunia yang menuju ke arah dia,
Lingkaran kedua adalah yang mencapai dia
dan terputus; dan lingkaran ketiga adalah
Yang memasuki Realitas dan
kehilangan arah dalam hutan belantara.
Dan melalui lingkaran pertama ada
kemungkinan untuk mencapai dia;
tetapi melalui lingkaran kedua semua
kehilangan arah; dan dalam lingkaran
ketiga hanya terdapat pepohonan,
padang-padang pasir dan hutan belantara yang luas.

Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

VI

Di buku Raja Mantra Presiden Penyair, sastrawan Taufik Ikram Jamil menulis esai bertitel Bersama Sutardji Calzoum Bachri seluas 16 halaman, dari nomor 64 sampai 79, mengisahkan keakraban dirinya dengan sosok dikenal tukang mantra itu. Ikram mengudar perjalanan Tardji sedari kanak hingga proses kreatif di tanah Pasundan, berpelukan hangat kerinduan, seperti mengetahui persis tapak langkah dengus aroma, dan gelagat rupa gemawan apa saja yang menaungi.

Atas kelembutan ke-Melayu-an, Ikram perlahan mematrikan realitas sekeliling kisah bertaburan bunga nan sedap dihirup, nikmat dipandang. Padahal sejatinya, tampak menelanjangi bulat pemantra. Atau pandanganku saja terbalik, ataukah ketakjuban lebih bermakna bumerang alias senjata makan tuannya. Tetapi, meski aku tak kenal Ikram, kukira tidak. Dia menyusup dalam kelembutan budi pekerti bahasa serupa guru mengajarkan pengetahuan ke anak-anak madrasah, melewati kesantunan irama bunyi, memereteli satu per satu pakaian kebesaran Presiden Penyair.

Entah sudah kusebut berapa kali dalam tulisan. Aku cemburu dengan orang Sumatera (sastrawannya) tempo dulu. Yang berimbas hampir tulisanku, seakan memakmurkan ke-khas-an khasanah para pujangga Melayu. Namun, karena aku lahir di bencah Tanah Jawa, maka kutiupkan bayu kepada roh kandungan alam Bumi Dwipa seraya mengharapkan berkah, pada gilirannya seolah ditimbali, demi meluruskan yang gelap gulita.

Betapa melompat ke awang-uwung dunia atas, sedari zaman-zaman terbaca memperluas cakrawala pemikiran memperkaya batin kesungguhan menimba keilmuan. Tulang-belulang nenek moyang selalu bergelayutan untuk dilahirkan yang melangkahkan kaki di bumi keselamatan. Demikian hukum tak tersangkal, tiada daya mengelak kecuali ditimpakan nasib pahit simalakama, seperti praktek jailangkung; “datang tak dijemput, pulang tak diantar.

Siapakah dia? Dialah roh-roh tak bertanggung jawab pada gurat-gemurai tulisannya, atas perintah para pemanggil iseng pun orang-orang goyah hatinya. Sedang panggilan roh moyang berpijak hukum kesentosaan, terekam di setingkap debu perjalanan, di atas kaki pengelana menganggap asing dirinya di alam kehidupan.

***

Hampir menyeluruh tulisan Ikram mbelejeti, ngelenceki, bahasa lainnya mengupas buah perawan dengan paksa mendekati pemerkosaan. Pelahan-lahan kuhanyut mengutipnya:

Maka, aku datang dalam tidurmu, dalam mati sementaramu, ketika rohmu diangkat ke Arasy. Tapi, kau lupa berwudhuk, maka engkau hanya dapat berada di pinggir. Kau lupa ucapkan ayat mantra, tak terbaca engkau seperti Al Qur’an. Pada gilirannya engkau berteriak, “Emak… Allah… Allah…” Lalu, aku sambut “Alif lam mim…”.

Dengan kata “tidur”, Ikram menaburkan butiran abu yang telah diasmak ajian sirep megananda (mantra menidurkan orang) ke ubun-ubun Tardji bermahkota kepresidenannya. Lantas mengangkatnya berdaya upaya ketaksadaran “mati sementara” berarti alam kehidupan, penuh tipu muslihat, fatamorgana, dekat halimun membiusi sikap kesejatian.

Selogis Ilahiah, Arasy hanya teruntuk Nabi Muhammad Saw., Malaikat Jibril pula tunggangannya Buruq, tidak diperkenankan-Nya. Ini kecerdikan bersimpan cerdas mengangkat lembut, aslinya tak sama sekali. Tetapi Ikram khawatir, ungkapannya tiada sampai, maka diingatkan wudunya yang batal di saat menuliskan, cepat-cepat mengambil air wudu.

Air wudu setiap tetesnya menjelma malaikat penjaga, menambah khusyuk kepada-Nya. Lalu malaikat penjaga kubur menanyakan hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan roh dalam tubuh melalui undang-undang telah ditentukan. Tardji keder tersebab mantra-mantranya hangus terbakar. Lantas ditampakkan lembar-lembar mantranya oleh malaikat, mukanya menjadi kelam, atas lelembaran Kitab Suci terbuka memancarkan cahaya sampai sulit terbaca huruf-hurufnya, silaulah pandangan. Akhirnya berteriak, Ikram dengan santun menuntunnya berdoa “Alif lam mim…“. Kata “sambut” sekadar ungkapan kawan, agar tidak melukai dalam nantinya dengan sedikit menggoda.

Sebagai kawan baik, Ikram menegurnya melewati ujaran Aisyah r.a., atau sesamar dipastikan Tardji tidak menyimak dalam. Itulah kelembutannya, kecantikan yang keluar dari mulut perempuan: “Seandainya aku dilahirkan sebagai daun…Sebab, manusia pada hakikatnya kekal dan karenanya harus bertanggung jawab di depan mahkamah paling agung dengan hakim tunggal Yang Mahaagung pula.

***

Tidak, engkau tidak bebas mencari Tuhanmu. Sebab, begitu kau mengembara dalam aorta, dalam rimba darahmu, hanya tertuju kepada-Nya, Ia menemukanmu dalam wajah yang tidak engkau ketahui, sebab tidak ada contoh pada pandanganmu, tak ada padanan dalam rasamu. Sebab itulah, engkau kemudian memandang pada berjuta-suatu angka yang dapat engkau namakan-apa pun, tak teduh dengan seribu pohon, tak jatuh pada seribu perawan, engkau tak akan bisa mengeluh….”.

Kata-kata “tertuju kepada-Nya”, sanjungan manis nan menawan, Ikram sepertinya telah menghafal rumusan matematika kaum sufi, menaik-turunkan melodi dengan tekanan kata di ujung-ujungnya mematikan berdaya filosofis sulit tersangkal, kalau tidak memeramnya. Hitungan akidah akhlak atas meteran syariat yang dipantulkan laku spiritual, mimpi benar bukan kebenaran, dan realitas benda-benda. Para makhluk bertasbih seperti malaikat hanya mengenali kesetiaan suci sejumlah penciptaan, sedangkan nada-nadanya mengikuti irama surat cahaya, kalam-kalam memakhlukkan sendi-sendi peradaban islamiyah. Sebentuk lingkaran transparan, nilai-nilai terpancar sedari kurungan, di kedalamannya cermin memantul wajah Ikram tengah bermunajad khusyuk kepada Realitas Tunggal.

Ada beberapa kalimat membongkar kebiasaan Tardji lewat lambang dari Kitab Suci, hanya pernah menjumpai saja menyaksikan. Oh keindahan memberi padanan jelas hingga kasar bagi yang sampai. Di sini aku tersadar. Kalbu lebih purba dari bahasa pikiran, olehnya tepat kaum filsuf berfaham, perihal perasaan ialah awal pengetahuan. Di sini, meski Ikram lebih muda 22 tahun darinya, ia tampak menguasai keadaan ruang lelingkup bertiupan kenangan kecil yang semua orang lekat menikmati.

Di sini dapat dijumlah, hitungan nalar matematis mudah dirunut pembentukannya, sedangkan sejarah konsentrasi pikiran batin, sulit terlacak, kecuali bijak merenungi hidup, baru mengetahui. Tidak keliru Leo Tolstoy dan lain-lain berdekatan alam perkampungan damai sebagai pondasi nilai-nilai ditancapi demi para pemikir selanjutnya.

***

Dulu, kita menyebut selat yang memisahkan Riau dengan Singapura dan Johor hanya dengan sebutan parit“. Pernyataan Ikram itu mengingatkan pada ungkapan masyarakat Jawa yang tinggal di kampung, khususnya pegunungan. Kalau ada pengembara tanya, berapa jarak hendak ditempuh, sampai ke tujuan ditanyakan, biasanya menjawab, “hanya beberapa gundukan tanah”. Seakan tampak mata, padahal jauh tidak sesuai dengan yang dibayangkan.

Lantas menjadi insaf, tenaga orang dulu lebih unggul dari keadaan kini menganggap ringan menyusuri jalan panjang selencungan, sekarang sudah dijawab kemajuan teknologi. Tapi masih ada terhilangkan; keakraban, perihal mengukur tenaga fisikal, jenjang menancapi alam, pada keseluruhan tubuh lalui pori-pori, sehembus bayu meresapi kandungan hayat.

Inikah letak menjumlah napas, menakar kebeningan peroleh kasih alam untuk insan memekarkan kelopak kehidupan ke batas sadar perjuangan. Tak melupa pinggiran hati, hingga sedikit terlewati lebih banyak perolehan, nilai-nilai sejatinya mampu membiaki fitrah, berkesahajaan ruhani dari pantulan kehakikian indrawi. Yang ditimbulkan dinaya sesal murni, bukan cepat sirna perubahan, lalu mengulang kebodohan kembali.

***

“Untunglah, belati yang selalu terselip di kaus kakimu -yang selalu engkau bawa entah untuk apa- tidak sempat “beroperasi”. Di Paris van Java, yang sekarang lebih banyak terdengar cerita-cerita miang membara, orang semula mengenalmu sebagai calon politikus gagal -benar juga, kuliahmu di Fisipol tak selesai. Engkau adalah kata-kata itu sendiri, sehingga ah…”rasa yang dalam”.

Sepintas terlihat Tardji bukanlah sosok “preman” di TIM pun di Bandung, panggungnya sebatas ruang kesenian. Watak kesenimanannya tidak berangasan keluar-masuk penjara, ialah derajat realitas menentukan corak pementasan lebih. Kegelandangannya dapat dikategorikan hangat, belum cukup nyali jikalau dikeroyok atau tak pernah disentuh tenaga lain.

Tampak di cermin ajaibku, totalitas kenyentrikannya di kota dihargai penduduk malam, tetapi keusilannya kurang tenar kecuali itu. Ah, jika Tardji dulu di Jogja, tentu sudah kugoda. Sebab di batas waswas tertentu, mudah terketahui, sejauh mana dinaya cipta terkandung darinya. Kata “beroperasi” bisa dimaknai belum menujah ke hakikat kemanusiaan.

Kata “politikus gagal” mengingatkanku akan esainya tentang pertanggungjawaban bagian akhir, kian kentara hendak menguasai panggung sosial, tetapi terjerat ruang lingkup gelap belum terkuasai alam realitasnya. Jalan lapar, mata berkunang, siap tantangan tikaman waktu tajam. Tidakkah lambaian kepal tangan pejalan kaki mengetengahkan tenaga ayunan, sekali pukul menjomplangkan lawan. Pengetahuan ini tak ada di buku-buku, tapi bukankah kita lebih suka menghirup keharuman taman daripada bunga karangan?

Ya, ibu, seseorang yang harus diabdikan tiga kali lebih utama dari yang lainnya dalam hubungan sesama manusia”. Kalimat ini merupakan benang merah kalimat sebelumnya: “Emak… Allah… Allah…” yang semestinya: Emak, emak, emak, bapak…. Di sini, aku mencium kegusaran Tardji, di sebelah keegoisan kepenyairannya seakan hendak melupakan kenangan leluhur.

“Astaga, tak serta-merta engkau diterima. Karya-karyamu dinilai bukan sajak, sebagaimana pernyataan Sutan Takdir Alisyahbana sampai akhir hayatnya yang begitu fanatik pada aliran konvensional. Betapapun, pada gilirannya engkau harus berbicara lewat kredomu bahwa kata-kata memiliki semangatnya sendiri, orang tak peduli karena mereka menganggap kata-kata hanyalah gula-gula. Tapi, Horison acuh saja dengan pandangan sinis penganut konvensional tadi. Sajak-sajakmu tetap dimuat-entah dengan alasan apa, tentulah bukan karena alasan temporer agaknya. Ketika O Amuk Kapak terbit 1981, satu generasi yang lalu, engkau telah mencari dan menemukan tempat, kata Hasan Junus.

Adanya kecenderungan, sastrawan berangasan pemiliki keyakinan kuat, meski konsepnya lemah akan diangkat sekelilingnya. Barangkali kehendaknya langkah lanjut kian matang menginsafi perolehan sebelumnya lewat bangunan lebih kokoh. Tapi kesalahan fatal para kritikus, kurangnya menyimak gejala apa saja bergelagat mengisari. Sehingga kesenjangan mencolok kegagalan besar, pondasi yang diules-elus menjulang, terlupa awal paku buminya tak sedalam penyelidikan.

Yang terpenting adalah memahami niatan. Hasratnya mekaran kuntum bunga searah kepastian, olehnya betapa kokoh jembatan penyeberangan, jika dibangun di atas rawa-rawa, mengkhawatirkan amblas ke perut kebijakan. Namun Tardji tetaplah presiden penyair, pasti menghiasi media sampai ke bangku sekolah, sedangkan sastrawan Pramoedya Ananta Toer, di emperan sejarah kesusastraan Indonesia, tersebab takdirnya lahir di kota kecil, Blora.

Kudengar suara, “ah tak bisa disamakan”. Menyusul suara lain, “bagaimana tak, sama-sama sastrawan”. Yang bilang tak, seperti dahan kering kaku mudah patah, tetapi sejarah tak berjalan sepuluh, dua puluh, dan seratus tahun saja. Kualitas karya bergemuruh lebih lantang ketika sama ditinggal sang empunya. Juga patut diperhatikan, propaganda membentuk takdir berbeda, sekerja perefisian hasil cipta menyegarkan ingatan. Namun, pada tataran tertentu, tetap hukum alam berlaku. Yang ampuh berkumandang, tirakat lahir-batin membetot nasib terselimuti kabut tertanda. Kesusasteraan Tanah Pertiwi begini-begitu saja, meski telah memakan banyak tumbal di mana-mana.

***

“Kawanku, Abdul Wahab dan Bayau setuju dengan pendapat beberapa kalangan yang menyebutkan bahwa sajak-sajakmu berada dalam tataran transendental. Hasrat merasa adanya sesuatu yang agung, menguasai, dan sejenis dengan itu, sesuatu yang tak terjangkau, adalah naluri -fitroh. Sufi? Entahlah, sebab sufi cenderung pada menjalani suatu peristiwa dengan cara yang telah dicapainya, sementara engkau senantiasa dalam proses untuk berbagai hal termasuk cara mencapai sasaran, bahkan sasaran itu sendiri”.

Beberapa kali Ikram menyokong denyut kepenyairan Tardji lewat suara orang lain. Aku jadi ingat ungkapan sastrawan filsuf Prancis Voltaire: “Bahkan jika aku tidak menyukai pendapatmu, aku akan tetap mendukung hak bicaramu”.

Soal nyufi dan lain-lain, balik ke peta kesusastraan Indonesia, pemilik watak kecenderungan menyepadankan karya teman sendiri. Tardji disebandingkan para pendahulu agung yang tiada sekuku hitamnya menimba keilmuan dan perjuangan syiarnya. Seakan abai hikayat tertera, mendadak disejajarkan tanpa penyelidikan mendalam sejarah masing-masing tokoh yang mencerminkan capaian-capaiannya, maka bisalah dibilang sulapan.

Sebagai penutup, sastrawan yang lahir di Telukbelitung, Bengkalis, Riau; Taufik Ikram Jamil, menuliskan ungkapan Ratnawati S., seorang anak SD Jakarta, awal tahun 1980-an, yang dimuat harian Sinar Harapan, bertitel “Puisi Buat Kak Sutardji“. Ia menciptakan kesan kalau Tardji patut diteladani. Tapi jika baca keseluruah esainya, pandangan tersebut mengsle (dimengslekan) sedikit.

Memang ada beberapa kepastian suara Ikram pada Tardji, tapi lebih tepatnya demi tanah ke-Melayu-an, atau seakan tiada daya pantulan suara mendengung keras di telinganya; Tardji memang ada. Soal perayaan pengadaannya, hanyalah Yang Esa lebih tahu rahasia di kedalamannya.

Ikram menutup dengan kata-kata lembut: “Kepada Allah saya minta ampun, segala kebaikan bersumber dari-Nya, sedangkan segala keburukan maupun kekurangan berasal dari saya sebagai tanda rahmat Allah yang menunjukkan bahwa saya tidaklah memiliki kemampuan apa-apa.

Demikian pun diriku, sekadar menambal sulam adanya. Jikalau ada sebentuk dari-Nya Alhamdulillah, kalau tidak, semoga diberi pemaafan menyunggi, karena segala ikhtiar hanya berasal dari-Nya jua kembali kepada-Nya.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito