Selasa, 25 Januari 2011

EMPUKU, PEREMPUANKU

M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/

Dituliskan untuk Soviana D. Saputri Atmaja dan Almarhum Eka Kartikakunang Atmaja (Eka Kartikawanti, 28 April 1985 – 27 Mei 2006)

Pengantar

Persembahan di atas, mungkin terkesan membenjol dalam kejanggalan yang tidak logis. Saya secara pribadi menyarankan untuk tidak perlu dihiraukan. Akantetapi, kalau saya boleh menyarankan kembali, sebelum membaca tulisan ini sampai tuntas, saya mengajak hadirin pembaca untuk sejenak melepaskan ego sebagai lelaki dan (atau) ego sebagai pribadi perempuan. Dalam khasanah ini, hendaknya kita berdiri sebagai manusia yang telah melepaskan kepentingan gender dan bersama-sama mengenang perempuan yang kita kasih dan cintai. Bolehlah, mereka adalah sosok kekasih, kawan dekat (yang biasa maupun tidak biasa), adik atau kakak perempuan, bahkan (lebih disarankan) mengenang seorang ibu.

Membaca Kitab Para Malaikat

Tulisan ini, keseluruhannya akan berbicara menyoal perempuan. Dari senyuman yang manis yang biasanya membuat kita (lelaki) mabuk kepayang sampai mbesengut-nya yang terasa panas bagai Banaspati. Dua hal itu dapat sama-sama berefek mematikan. Tulisan ini hanya sebatas pada studi tukar pengalaman atas analisis Puisi (baca: surat) Membuka Raga Padmi dalam antologi puisi Kitab Para Malaikat (KPM) karya Nurel Javissyarqi (NJ).

Saya membacai dan sengaja membuat judul baru sebagai bentuk baru dalam rangka proses menafsir. Judul yang saya angkat yaitu Empuku, Perempuanku sekedar sebagai niatan baik untuk menterjemahkan judul Membuka Raga Padmi yang terkesan misterius. Berawal dari niatan itu juga, saya berani mengangkat kepala dengan judul milik saya sendiri, perempuan yang bisa dipecah dari asal kata empu yang menjadi per-empuan. Empu, seorang pembuat keris atau benda pusaka lainnya yang biasanya memiliki karakter sebagai seorang Wiku.

Perempuan, khasanah klasik bagi para lelaki. Ia layaknya tumpukan kitab lama yang teramat sulit untuk dibaca, pun diterjemah. Ketika kita mencoba menguraikan makna, justru akan menciptakan misteri baru. Teka-teki yang tidak mudah dijawab karena melahirkan teka-teki baru. Menjadikan kita (lelaki) memandang tanpa tenaga dalam kekosongan hati. Keadaan yang serba sulit ini, menjepit saya karena hanya sedikit sekali memiliki pengalaman tentang perempuan. Tapi, keberuntungan memang selalu berpihak, seluruh penulisan ini hasil penggoresan dari Nyai Kelopak Kunang yang telah dititipkan untuk saya dalam tulus cinta. Ruh dan jiwa si empu Kelopak Kunang menemani saya dalam mengurai dan meracik kembali tumpukan simbol (KPM karya NJ). Selain itu, ada juga sebilah Nyai Arkamaya yang setiap titian waktu menyuguhi dengan kehangatan kasih akan tulusnya perjuangan dan pengabdian. Kemudian, ada Nyai My Sweet Appel yang menemani proses penelusuran, serta Nyai Sekar Sinelir yang mengingatkan akan darah penghianatan (Nyai Sekar Sinelir ini yang sebentar lagi akan dilabuh). Baik Nyai Kelopak Kunang, Nyai Arkamaya, Nyai My Sweet Appel, dan Nyai Sekar Sinelir adalah aran (nama) pusaka yang disepuhkan oleh mereka per-empu-an serta Kyai Tirtamarta yang sudah sembilan tahun menemani dalam harapan menggapai mimpi menjadi pujangga dan Kyai Dhimas Alit yang kini mengabdi pada seorang perempuan.

Melepaskan obrolan pribadi, saya akan mencoba untuk memulai menumbuk bahan dan membuat racikannya untuk dapat melarutkan ke dalam air dan meneguk makna atas pengalaman dari Surat Membuka Raga Padmi (I : I-XCIII) dalam Kitab Para Malaikat karya Nurel Javissyarqi, dan saya pun memulai.

Hal mendasar yang akan saya lakukan untuk mengurai surat penjang ini, saya akan mendahului untuk mengunyah makna istilah Padmi. Pun, hal ini juga dimunculkan NJ di ayat yang pertama:

Ketika dunia berupa kabut pekat, siapa berkata?,
manakala embun belum terlahir, siapa menggapai?,
di saat sejarah belum tercatat, siapa berbicara kata?,
wewaktu masih berupa potongan-potongan cahaya,
siapa yang dahulu menempati lautan es cahaya? (I : I)

Ayat (bait puisi) di atas memang tidak mencoba mengajak pembaca untuk mengurai Padmi secara gamblang. Atau sekedar menanyakan pengertian akan Padmi, pun tidak. Akantetapi, lima baris pada ayat I ini dapat menjadi pembuka jalan untuk dapat menyusuri pemahaman akan Padmi yang dicatumkan sebagai perwakilan mengenai awal akan sesuatu hal. Lalu, apa yang sebenarnya di sebut Padmi itu? Padmi, istilah dalam bahasa Sansekerta yang berarti permaisuri. Istri dari seorang raja Jawa yang seringkali menjadi sandaran dalam pembuatan keputusan seorang raja, selain peran maha patih maupun para wiku. Sandaran (penasehat) dalam pengambilan keputusan ini biasanya terjadi dalam hubungan pribadi, ketika raja tidak sebagai raja dan permaisuri tidak sebagai permaisuri melainkan sebagai lelaki dan perempuan (ibu).

Raja-raja di tanah Jawa, kita mendapati mereka sebagai golongan berkuasa yang memiliki banyak perempuan. Namun, permaisuri tetap hanya satu, ia juga hadir sebagai seorang ibu dari semua rakyat di sebuah negeri. Keberadaan yang berperan sebagai Ibu untuk “ngemong” rakyat, pemerintahan, dan di dalamnya termasuk raja itu sendiri. Bagaimana tidak mengagumkan peran dari seorang perempuan seperti ini, yang mungkin saja dia (perempuan) adalah raja yang sebenarnya, seperti dalang yang memainkan lakon. Penguasa tunggal yang tidak disebut ini telah membuat gerakan para kesatria dan dewa berada di dalam genggamannya (maksudnya, seperti peran dalang dalam pewayangan).

Kita pasti pernah mendengar, bahwa raja-raja di tanah Jawa selain beristrikan perempuan dari golongan manusia, juga beristrikan golongan mahkluk ghaib (saya tidak bisa menentukan apakah setan, jin, atau iblis). Hadirnya istri ghaib, semisal Kanjeng Ratu Kidul sebagai salah satu permaisuri dapat dipandang dari berbagai macam sisi. Ratu Kidul (Nyai Roro Kidul) seringkali dipandang sebagai sosok mistis yang luhur dalam kehidupan masyarakat Jawa. Akantetapi, saya secara pribadi sebagai manusia Jawa, lebih senang menyebut Nyai Roro Kidul sebagai sosok simbolis dalam pengertian sempit dan luas. Makna simbol yang hadir bersamaan dengan mitos Nyai Roro Kidul memberikan pengertian yang kompleks mengenai posisi perempuan dalam kebudayaan Jawa. Apa benar, pendapat orang-orang di luar Jawa (pribadi masing lelaki) yang menganggap bahwa peran perempuan berada dalam segitiga setan (setan disini saya artikan sebagai politik) yang telah dikultuskan para lelaki (penguasa) untuk menempati posisi dapur-sumur-kasur?

Bagi saya, Tidak! Pengertian sempit dalam perjalanan simbol ini dapat dipandang sebagai jati diri perempuan itu sendiri, yaitu menyangkut sifat-sifat dan keberadaannya. Perempuan dinisbatkan (dan diumpamakan) dengan lautan. Lelaki sebagai manusia yang berdiri di pantai maknawi dalam rangka menyaksikan keindahan yang menggelora, sehingga dia terkagum-kagum dan jatuh cinta. Pantai yang indah, bergelombang yang kalau manusia (lelaki) tidak berhati-hati, maka akan tergulung dan mati. Dari pantai dan menjorok ke dalam, kita akan mendapati kedalaman yang menyimpan lebih banyak misteri. Di kedalaman itu juga melahirkan kebahagiaan dari hasil laut dan juga murka (amarah) dari badai yang terkandung. Raja menempati posisi ini, lelaki yang menghadapi pantai maknawi dan harus senantiasa berhati-hati dalam tiap langkah, sebab perempuan ikut menentukan laju pemerintahan negara.

Pengertian kedua, saya mencoba mengetengahkan mengenai penguasaan akan perempuan. Penguasaan (menjadikannya istri) secara gamblang menjelaskan mengenai kekuasaan dan perempuan (bisa jadi) merupakan simbol dari keberadaan rakyat (atau wilayah) di dalam negara. Kekuasaan menghadapkan individu pada perempuan cantik yang diwujudkan sebagai Nyai Roro Kidul yang tidak dapat ditolak oleh hawa nafsu (duniawi). Kekuasaan tidak hanya masalah pangkat seorang raja, akantetapi juga menyangkut hal-hal yang dikecapi hawa nafsu, yaitu segala macam kenikmatan. Jika kita menempatkannya dalam khasanah seorang raja, kekuasaan (nafsu tersebut) dapat diartikan sebagai perwakilan dari rakyat yang dengan menguasainya dapat mendatangkan kenikmatan. Baik rakyat, kekuasaan, maupun kesenangan (dan kenikmatan) lain diwujudkan dalam bentuk seorang perempuan yang dijadikan istri (padmi) dengan maksud menjaga diri dari murka perempuan demi menuju pada keselamatan.

Perwujudan simbolisasi ini dapat membantu kita dalam memberikan sedikit penggambaran mengenai peran Padmi (permaisuri yang dalam hal ini diterjemahkan sebagai istri/ ibu) di dalam kehidupan. Sekuat apa pun kita (manusia) hanya mampu menggendalikan hal-hal yang sifatnya badaniah namun teramat sulit merengkuh ruh. Bagaimana pun juga, perempuan telah dijadikan sebagai ruh di dalam dunia kehidupan. Tentang bagaimana sang Adam dijebloskan ke dunia, atau tentang bagaimana Ki Ageng Mangir ditaklukkan Pembayun (Mataharam) atau tentang bagaimana peran perempuan menaklukkan Sunan Giri sehingga tunduk pada Mataram.

Perempuan, bisa saja menjadi awal, pun bisa menjadi akhir. Toh, Kanjeng Nabi pun pernah berpesan kalau seindah-indahnya perhiasan dunia adalah istri (perempuan) yang sholehah. Saya kira, sholeh di sini melingkupi seluruh keberadaannya dengan keluhuran, entah itu batin (di dalamnya pikiran/ akal) atau lahir yang akhirnya terwujud dalam laku. Kita sebenarnya telah menyadari, hal yang diluar batin adalah hal yang sementara dan akan segera menjadi fana.

Perempuan, tentang Hakekat

Dalam perjalanan yang sedikit menanggung letih, secara sekilas saya telah menguraikan menyoal perempuan. Dalam endapan delta renungan, masih juga menyisakan perasaan gamang dan pertanyaan lain. Seperti saat kita berdiri di dalam keremangan sementara warna hitam lebih pekat, lalu di sana kita melihat bayangan yang berlalu cepat. Langsung hilang begitu mata kita mencoba mengamati dengan sadar setelah dimabukkan aroma. Tapi sebentar, bayangan itu bukan hantu melainkan diri kita sendiri yang mawujud ke dalam pandangan. Ini mungkin terlihat tidak nyata, namun NJ telah memberikan penekanan yang lebih nyata ketimbang kita bergulat dengan Nyai Roro Kidul. NJ menyatakan bahwa perempuan sebagai:

Wanita [yang] ditakdirkan [untuk] melahirkan anak-anaknya,
[untuk] menyusui anak lelaki dan perempuan (I : II)

Ayat II surat Membuka Raga Padmi ini terkesan sederhana setelah saya tambahi dalam penandaan kurung. Keserderhanaan yang ternyata telah berhasil menelikung saya. Awalnya memang terkesan biasa, perempuan (wanita) memang ditakdirkan sebagai mahkluk yang memiliki rahim untuk mengandung yang terhubung dengan vagina yang secara bentuk mendukung dalam proses kelahiran. Pernah, kita membayangkan kalau vagina, sebagai kelamin perempuan memiliki bentuk yang hampir sama dengan lelaki? Bagaimana seorang anak bisa keluar dari sana, meskipun dengan kelamin bulat panjang dan memiliki rahim?

Keadaan ini menjelaskan kalau perempuan sebagai mahkluk yang terpilih dengan seperangkat sistem (organ) yang menyertai kelahirannya. Perempuan telah diciptakan dengan sedemikian rupanya dengan menanggung pekerjaan yang bagi kita (manusia) pada umumnya, sebagai pekerjaan yang terkesan remeh-temeh. Perempuan tidak dilahirkan untuk menduduki posisi khalifah seperti posisi yang telah dijanjikan untuk kaum lelaki. Akantetapi, untuk melahirkan anak dan menyusui. Hal ini tekesan remeh, namun kita perlu mengenang kembali bahwa setiap kita, lelaki dan perempuan, pernah merasakan manisnya air susu perempuan (Ibu atau Padmi). Air susu yang diberikan perempuan menjadi makanan pertama dan satu-satunya bagi bibit-bibit kehidupan baru. Air susu ini (dan perempuan) diketika itu hadir sebagai rahmat atas suatu kehidupan. Sedari awal, bagaimana benih tumbuh di dalam rahim, mendapatkan makanan di dalam tubuh perempuan, sampai akhirnya setelah proses kelahiran, peran perempuan tidak berhenti di sana.

Melahirkan dan menyusui, mengingatkan saya pada siklus kehidupan yang lain. Menurut saudara sekalian, aspek hidup yang paling mendasar dari melahirkan dan menyusui ini apa? Di zaman modern, banyak perempuan-perempuan kita yang enggan untuk melahirkan dan menyusui untuk memilih sebagai wanita (perempuan karier). Enggan untuk melahirkan, mereka memilih dengan operasi, yang mungkin ini sebagai akibat dari perkembangan pengetahuan sekaligus pergeseran peradaban. Akantetapi, bukan masalah perkembangan pengetahuan ini yang ingin saya ungkapkan di sini, melainkan struktur pemikiran dari rantai kehidupan yang sudah berumur ribuan tahun, bersamaan dengan diciptakannya manusia.

Di dunia ini, apa yang secara hakekat memiliki sifat melahirkan dan menyusui? Kembali saya menegaskan pertanyaan ini. Keadaan ini tidak menyoal reproduksi manusia demi kelangsungan hidup, melainkan lebih pada nilai universal yang keberadaannya hadir sebagai inti dari kehidupan. Saya tidak menyebutkan kata: Tuhan, sebagai asal muasal kehidupan, tapi hanya sebatas pada senyawa yang ada di dalamnya.

Manusia Jawa (secara khusus) memiliki struktur simbol pemaknaan hidup yang berhubungan erat dengan dua hal ini, yakni melahirkan dan menyusui. Simbol pemaknaan yang mewujud dari struktur hidup. Melahirkan dan menyusui, aspek mendasar dan terpenting dari seorang ibu. Melahirkan, tidak hanya diungkapkan sebagai proses kelahiran seorang bayi, akantetapi di dalamnya terdapat nilai mengandung, pengamanan, pembentukan yang tergolong ke dalam penyimpanan di dalam. Penyimpanan ini, memuat pembenihan di dalam yang pada fase tertentu dimunculkan keluar diri sebagai kelahiran. Kehidupan baru tersebut tidak (belum) dapat berdiri sendiri, sehingga tahap menyusui memiliki sifat yang berkesinambungan dengan kelahiran. Menyusui, kegiatan transfer makanan yang sudah diolah di dalam tubuh seorang perempuan.

Masyarakat Jawa (mungkin) karena dua kegiatan penting seorang ibu yang hampir sama dengan unsur tanah (bumi) menemukan adanya keterkaitan peran. Ibu dan juga tanah, menyatu sebagai unsur simbolis dari kehidupan (asal muasal) itu sendiri. Tempat dimana kehidupan terkandung kemudian terlahir (tumbuh). Bumi sebagai ibu, merupakan bagian dari kepercayaan tradisional (Jawa). Bumi yang melahirkan dan menyusui adalah ibu, yang secara pribadi juga berperan sebagai istri atau padmi yang menumbuhkan kehidupan setelah lelaki yang disimbolkan angkasa menurunkan hujan. Kehidupan bersemi di bumi, karena itu setiap manusia memiliki unsur bumi (tanah) yang kuat di dalam dirinya.

Manusia diciptakan dari tanah, begitu Allah S.W.T. berfirman dalam Surat Shaad ayat 71. Tanah yang menjadi bahan dasar manusia berupa air mani, yaitu tanah yang bercampur dengan sifat air. Badan manusia memiliki sifat tanah, sedangkan ruh yang menghidupkan memiliki sifat ketuhanan. Bumi hakekatnya menjadi jasad (Purwadi dan Dwiyanto, 2005: 50). Dengan demikian, pandangan hidup tradisional mempercayai kalau setiap manusia memiliki sifat keperempuanan, yang sekaligus bahan dasar hidup manusia.

Dalam kondisi seperti ini, tidak cukup mengherankan kalau NJ melanjutkan surat Membuka Raga Padmi dengan:

Ia [perempuan sebagai] pembuka gerbang langit, ketika kitab waktu belum dipelajari (I : III).

Dia insan tertinggi di muka bumi,
karenanya kabut singkup mega lenyap wajah langit biru (I : IV)

perempuan, oleh NJ benar-benar dihargai sedemikian rupa. Apa yang NJ lakukan, maksud saya adalah penghormatan, melebihi masalah kesetaraan gender. NJ mengetengahkan sesuatu yang lain, melebihi teori perjuangan yang pernah ada. Tentu saja, penghargaan NJ pada perempuan melebihi R.A. Kartini dalam menghargai dan memperjuangkan perempuan. Penempatan simbol yang menyerahkan sebuah tanggung jawab yang berat untuk para (kaum) perempuan, saat kehadirannya sebagai: pembuka gerbang langit. Ungkapan ini mengejawantahkan suatu makna terdalam.

Menghayati dua ayat ini, justru membuat saya teringat pada seorang kawan, Muhammad Taufik Rahman, sewaktu dalam obrolan di angkringan Wijilan beberapa tahun silam. Kawan saya ini, mengungkapkan pemikirannya yang aneh, karena anehnya itu membuat saya mampu mengingat, menurutnya bahwa perempuan sebagai makhluk pertama yang menghuni dunia. Mereka pemimpin di dunia sebelum dunia kita sekarang. Dahulu, pada masa kehidupan tersebut, kehidupannya berciri matriarki, dimana perempuan menjadi pusat pemerintahan kosmos. Tuhan menguji mereka, yang kemudian dibinasakan karena sebab tertentu, kemudian perempuan menjadi makhluk berstatus nomor dua. Akantetapi, meskipun demikian, perempuan di dalam kehidupan ini mewarisi hak-hak istimewa yang dimiliki di dunia terdahulu.

Cerita ini memang sama sekali tidak mengungkapkan mengenai pembukaan gerbang langit seperti yang dikatakan NJ. Akantetapi mungkin saja, bisa memberikan sedikit penjelasan untuk kalimat selanjutnya: … ketika kitab waktu belum dipelajari. Kitab waktu dapat menjadi kunci untuk membuka pintu pemahaman yang lebih luas. Kitab ini dapat saja diterjemahkan sebagai perwakilan atas agama para Nabi Allah. Kitab mengenai saat (waktu) dibukanya ruang yang mana di sana manusia mampu mengetahui hakekat kehidupan yang berkisar antara perbuatan baik, perbuatan buruk, ganjaran, atau pun mengenai hukuman. Waktu, juga menyiratkan pada hari perhitungan yang kedatangannya pasti namun tersembunyi.

Lalu, bagaimana dengan “pembuka gerbang langit” tersebut? Bangunan simbol yang hampir saja tidak mampu saya mengerti. Ayat III surat Membuka Raga Padmi hampir membuat saya kehilangan napas. Namun saya tidak patah arang untuk terus berusaha mengurai simbol tersebut. Kini, hal yang paling nyata adalah dengan mengembalikan ke tanah sebagai asal-muasal manusia. Tanah yang saya maksudkan di sini adalah pulau Jawa dan pandangan hidupnya. Dalam Serat Centhini yang dikutib Zoetmulder (Beatty, 2001: 222) mengatakan bahwa jika kita “ingin menembus realitas, masuklah ke dalam simbol”. Nasehat ini memberikan saya harapan untuk terus menelusur, yang akhirnya membawa pertanyaan baru: simbol apa? Yah, tentu saja simbol perempuan (padmi) yang merupakan simbolisme mengenai suatu nilai.

Menetapkan keberadaan perempuan sebagai simbol bukan tanpa dasar. Dengan masih mengacu pada penelitian Beatty (2001: 224) yang mengarahkan saya untuk menetapkan perempuan sebagai simbol, yakni bahwa “seseorang tidak perlu keluar dari diri sendiri”. Perempuan sebagai simbol, di dalam struktur bangunan simbol Jawa yang bermedan makna mengenai kehidupan manusia. Pada khasanah yang lebih luas, perempuan sebagai bumi yang juga sebagai hakekat kehidupan seluruh makhluk.

Simbol perempuan dan bumi, mengingatkan saya pada cerita di ujung timur pulau Jawa. Pun, mengingatkan saya pada perjalanan cinta yang kini menjadi perjalanan pulang kampung ke Kota Pensiunan, Banjarnegara. Hal yang nantinya akan terdengar mengada-ada, meng-gothak-gathuk-kan dari satu sisi dengan sisi lainnya untuk memperoleh penjelasan. Kembali ke tanah di ujung timur pulau Jawa, di sana kita akan menemukan wilayah hutan wingit yang disebut dengan Alas Purwo.

Menurut hasil penelitian Beatty (2001: 291) dengan memahami tempat-tempat rahasia Alas Purwo sama halnya dengan memahami asal-usul manusia. Di tengah-tengah Alas Purwo terdapat Gua Kelelawar, di sanalah tersimpan hakekat asal-usul tersebut. Apabila Alas Purwo melambangkan rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan, maka keberadaan Gua Kelelawar melambangkan kelamin perempuan (Vagina) yang menghubungkan dengan kedalaman asal-usul

Ujung timur pulau Jawa yang memiliki struktur simbol Alas Purwo dan Gua Kelelawar sebagai kelamin perempuan, itu berarti adanya pertautan dengan simbol lainnya, mengantarkan pada proses melahirkan dan menyusui yang kemudian menempatkan perempuan sebagai pembuka gerbang langit. Sebenarnya, melalui simbol Alas Purwos dan Gua Kelelawar kita sudah dapat menangkap makna mengenai hakekat perempuan. Dia menyimpan, sekaligus menjadi jalan pengetahuan mengenai asal-usul kehidupan. Asal usul ini seperti yang termuat dalam Serat Gaholoco (Anderson dalam Beatty, 2001: 291)

Dalam guaku ini
ada mata air tersembunyi
yang disebut “air rasa”
pada masa dahulu, perbendaharaan

Tuhan yang Maha Kuat
orang yang membasuh dirinya,
dengan air rasa ini
merasa nikmat tak terpermanai
melebihi semua di dunia.

Seringkali saya menyibukkan diri dengan gothak-gathuk ini. Mengolah rasa dan pikir agar dapat dengan akurat membidik. Di sini juga saya berniat memberanikan diri untuk mengatakan kalau tanah Jawa ini adalah seorang (tubuh) perempuan yang terlentang dalam ketelanjangan. Anggapan yang tidak pasti? Mungkin saja seperti itu, tapi marilah kita menyelidiki cerita perjalanan pulang dari Mangir (Bantul) menuju Banjarnegara. Di pertengahan jalan saat kita memasuki Kabupaten Wonosobo, pandangan akan menemui dua gunung yang hampir kembar bernama Sindoro dan Sumbing. Dua gunung yang hampir kembar ini mengingatkan saya akan suatu nilai yang lain.

Nah, kali ini kita mulai memiliki kesamaan alur pemikiran. Katakan dengan lantang, Sindoro dan Sumbing sebagai payudara (perempuan) dalam simbolisme menyusui. Gunung yang hampir kembar, keduanya nampak sama namun berbeda antara kanan dan kiri, begitu pun Sindoro dan Sumbing. Gunung juga menjadi jalan dalam pemuntahan saripati tanah (baca: kesuburan) untuk memberi penghidupan dari apa yang pernah dilahirkan. Begitu juga dalam pengejawantahan perempuan itu sendiri, kita dapat menemukan makna yang entah itu adalah sebagai bumi atau pun sebagai ibu. Dua bentuk simbol seperti ini, membawa pengertian mengenai hakekat kehidupan/. Gua Kelelawar (kelamin perempuan) di Alas Purwo, maupun Sindoro dan Sumbing (payudara) memeberikan deskripsi akan hakekat itu sendiri, bahwa manusia tidak bisa melepaskan diri dari tanah dan sekaligus dari perempuan.

Mungkin saja, kasus seperti ini yang mendasari NJ menyebut perempuan sebagai “insan tertinggi di muka bumi”. Ungkapan yang mungkin saja dapat menyakiti perasaan para lelaki, karena menisbatkan perempuan untuk menempati puncak kepemimpinan. Bagaimana pun juga, ada ungkapan bijak yang mengatakan seperti ini: Surga berada di bawah telapak kaki seorang ibu. Manusia yang menginginkan surga, karena posisinya di bawah kaki perempuan, maka dia harus menempatkan diri di bawah kaki ibunya. Selanjutnya mengajak kita untuk menuju dan (sekaligus) memasuki ladang pengabdian. Raja dan semua orang besar kalau dia tidak menjalani pengabdian ini, maka surga itu menjauh darinya.

Pengetahuan mengenai keberadaan surga yang terkadang kita lupakan sesungguhnya memiliki nilai spiritual yang tinggi. Perempuan, ternyata berdiri pada posisi yang mengagumkan. Saya meraba-raba sejenak, sambil mengenang seorang ibu, kekasih, dan sekaligus istriku. Benar-benar musti melepaskan ego sebagai lelaki untuk menghadapi hal ini, kalau di kaki ibu (padmi atau perempuan) ada indahnya surga, lalu apa yang ada di dada dan kepalanya? Mungkin saja di sana memancarkan keagungan akan kesejatian Tuhan.

Keagungan seorang perempuan membuatnya bermahkota di hadapan ala semesta, dan NJ menuliskannya demikian:

Doa ibu mencipta senyum menafaskan angkasa
bagaikan gelombang ke pantai berulang-ulang (I : V)

NJ kembali menghadirkan rangkaian simbol yang sederhana, tapi sekali lagi saya mengajak agar kita tidak terjebak atau sampai meremehkan struktur yang terbangun di ayat V ini. Rangkaian yang menghubungkan antara “Ibu” dan “angkasa” serta doa yang bergandengan dengan napas. Menurut saya, racikan yang mengandung estetika dan ritual mistis di dalamnya. Ibu dan Bapak (angkasa) dalam simbolisme Jawa memiliki posisi penting, menjadi satu sebagai Hidup. Doa yang mengawali dapat kita uraikan sebagai cinta, kebijaksanaan, dan tentu saja ketuhanan. Tiga aspek yang dilafalkan (doa) memungkinkan adanya kelangsungan hidup (menapaskan) yang terus menerus.

Adanya hubungan baik antara ibu dan angkasa dapat menjadikan dunia terus ada. Hubungan baik ini dapat menciptakan keadaan yang penuh kasih, ketaatan, kesholehan sehingga hari penghancuran itu diundurkan karena di dunia tidak ditemukan kejahatan. Kita sama-sama menyakini kalau kejahatan dapat mendatangkan murka Tuhan, kemudian lain halnya dengan cinta, kebijaksanaan dan laku ketuhanan mendatangkan kebaikan. Tiga laku dasar yang ada di dalam doa ibu (gerak perempuan) dapat mengukuhkan hati lelaki dan keturunannya untuk terus menapak di jalan yang lurus. Kita perlu mengingat dan memberi garis batas yang jelas, bahwa doa berbeda dengan bujuk-rayu. Perempuan yang berdoa mendatangkan kebaikan sedangkan perempuan yang penuh bujuk rayu mendatangkan malapetaka. Kita bisa melihat bagaimana hubungan antara Allah, Adam, Hawa, Setan, dan Buah Khuldi. Allah memerintahkan agar Adam-Hawa banyak-banyak memuji (berdoa) pada-Nya dan menjauhi (baca: makan) Buah Khuldi. Setan membujuk Hawa, kemudian Hawa membujuk Adam sampai akhirnya Adam-Hawa diturunkan ke dunia fana dengan telanjang dan terpisah.

Perempuan, Perhiasan Dunia

Seindah-indahnya perhiasan dunia adalah istri (perempuan) yang sholehah, begitu saya mencoba mengutip bebas pesan yang diwasiatkan Nabi SAW pada kita. Perempuan sebagai perhiasan, terkesan sepele dengan suatu nilai yang sungguh tidak penting di dalam tatanan kehidupan. Sebab, hanya sebagai perhiasan dalam fungsi yang tidak begitu dibutuhkan. Akantetapi, perhiasan akan menjadi teramat penting sebab kehadirannya mampu memberikan warna hidup. Perhiasan menjadikan hidup menjadi lebih indah, ceria, dan tentu saja lebih bermakna. Hiasan, semisal warna memberi nuansa hidup agar lebih hidup. Kita bisa membayangkan bagaimana kalau seandainya dunia tempat kita berpijak ini hanya satu warna saja. Maka hidup akan terasa kosong, dengan kata lain tidak ada kehidupan di sana.

Warna juga mampu memberikan kita bentuk mengenai segala yang nampak oleh pandangan, pun yang tidak nampak pandangan. Kehadiran perhiasan seperti ini, menampakkan sesuatu yang tanpa keberadaannya tersembunyi. Akantetapi, makna yang diterjemahkan menumbuhkan perhelatan misteri yang baru. Seperti ayat VI dan VII surat Membuka Raga Padmi di bawah ini:

Perawan cantik sejagad keturunan Hawa, kepadanya cahaya memancar
dan setiap lelaki yang dicintai, niscaya bermahkotakan raja (I : VI)

Menjadikan awan kerudung baginya,
lalu kegundahan menderas bagi menertawai (I : VII)

Kedua ayat di atas memberikan gambaran atas posisi akan perhiasan. Takdir yang sudah disematkan pada perempuan dalam babak ini sebagai perhiasan, seperti cahaya itu sendiri. Menampakkan dalam terang yang akhirnya memunculkan warna serta bentuk-bentuk. Dunia menjadi indah dalam bentuk dan warna tersebut. Aspek mendasar adalah warna (yang ada melalui cahaya) yang membuat dunia indah karena perhiasan. Sampai, perhiasan itu hadir sebagai mahkota raja, simbol mengenai kekuasaan akan hidup.

Apabila kekuasaan itu tertutupi, menjadikan keadaan yang meragukan. Awan di sini dapat mewakili suatu sikap, perhiasan yang baik dengan demikian mengisyaratkan keadaan perilaku (esensial) yang baik pula. Perempuan yang mampu berperan sebagai empu yang sebenarnya, tidak sekedar tumpukan (hati) besi, mata (berlian), (wajah dan tubuh) emas, maupun (senyuman) intan permata. Jauh dari sekedar aspek material pembangunnya, seorang empu mengandungi esensi yang dapat menyelaraskan hidup dan sekaligus memaknainya. Kaum Adam, dipesankan NJ agar cermat dalam memilih dan menempatkan perhiasan agar tidak sakit dalam perjalanan hidup.

Begitu singkat keperjakaan memaknai sang gadis, maka melangkahlah
mengikuti harum kanthil menuju taman-taman jauh di sana (I : VIII)

Jangan paksa memegang sayap kekupu,
nanti meronta tinggalkan bekas luka, tangkaplah lewat pandangan saja
lantaran dirinya telah memahami semerbak angin di udara (I : IX)

kehati-hatian ini yang semestinya membawa kita untuk meresapi “kanthil” yang dapat dipandang sebagai buah laku (batin) dari seorang perempuan. Akantetapi, keturunan Adam, menurut NJ hanya sekedar melihat bentuk lahir tanpa mempertimbangkanaspek batin perempuan, yang sebenarnya menjadi dasar dari suatu perjalanan hidup yang sudah dan akan ditempuh. Kebanyakan dari kita (lelaki) lebih senang menilai perempuan dari segi lahiriyah, berbatas pada material pembangunnya, hakekat seorang perempuan dikesampingkan begitu saja. NJ melalui KPM menyarankan agar lelaki lebih berhati-hati untuk sabar mencermati nilai yang lebih esensial yang olehnya (NJ) disimbolkan melalui bunga kanthil. Penisbatan perempuan pada bunga Kanthil dipandang cukup berdasar mengingat adanya nilai kemanunggalan yang tersembunyi dan memancarkan cahaya harum. Tersembunyi dan harum yang manunggal (wingit), itu lah perempuan.

Nilai yang bersemayam di dalamnya tidak dapat dikuasai oleh kaum Adam dengan paksaan, semisalnya peperangan. Pemaksaan terkadang hanya mampu menguasai wilayah (tubuh). Perempuan yang hatinya masih bebas dari pijakan dapat melangkah pergi. Walau tubuhnya telah dikuasai, hatinya dapat dimiliki oleh orang lain atau barangkali akan tetap merdeka. Dalam epos Mahabarata, kita bisa melihat bagaimana Rahwana menculik Dewi Shinta, namun hati sang Dewi tetap menjadi milik Ramawijaya. Mengacu pada cerita pewayangan tersebut, contoh yang lain, misalnya Dewi Drupadi yang telah menjadi istri kelima Pandawa namun hati hanya diberikan untuk Arjuna.

Hakekat dari perempuan sebagai perhiasan adalah kelembutan yang ada di dalamnya. Kelembutan di sini tidak lain adalah laku yang baik. Ia tidak hanya menghiasi, selayaknya keberadaan lampu hias di dalam Pendopo. Lampu hias ini juga perhiasan, namun sekaligus mengandung makna terdalam. Sebagai perhiasan, sebab keberadaannya menghiasi struktur estetika. Selain itu, jika kita melihat seluruh struktur pembangunnya, maka kita akan mendapat makna yang paling esensi dari keberadaan hiasan tersebut, yakni sebagai pancer atau pusat. Nilai ini menuntun kita pada jalan hidup Jawa mengenai keyakinan adanya “Empat Saudara”, yaitu pandangan, pendengaran, penciuman, dan ucapan (Beatty, 2001: 245). Empat saudara ini dapat pula dimaknai sebagai kiblat papat (empat arah kiblat) kehidupan manusia yang dilambangkan dengan empat tiang utama.

Empat arah kiblat yang dibangun juga menghadirkan lampu hias yang berada di tengahnya. Lampu hias ini simmbol dari pancer (pusat) yang menandakan mengenai pusat kehidupan. Peran sebagai hiasan menyembunyikan maknawi sebagai pusat, yang apabila kita memahaminya akan mencapai misteri kelembutan di kutub Maha Kasih (I : X). Perempuan, dengan demikian, membawa makna pusat di dalamnya yang menjadikan dirinya sebagai panutan, meskipun membawa pada kekacauan (I : XI). Sesosok maknawi yang hebat dikandung perempuan dalam kehidupan. Ia diciptakan sebagai pahala yang tidak untuk diikuti kehendakknya (Ranggasutrasna dkk, 1999: 159), sebab apabila diikuti, perempuan lebih banyak mendatangkan penderitaan.

NJ menegaskan pokok ini dalam ayat XII berikut:

Ia menciptakan badai-badai maut membuncang,
memusar pisau-sakauw menjemput usia, batu-batu lebur ditiiup olehnya (I : XII)

Saya kira, penulisan ayat ini tidak terlalu berlebihan mengingat dari peran perempuan itu sendiri. Ia (perempuan) sebagai perhiasan dapat membawa pada kelanggengan hidup (keselamatan) namun dapat juga membawa pada sakit. Semua ini, sangatlah bergantung dari bagaimana kita menempatkan kemudian bersikap pada keberadaan perempuan. Karena bagaimana pun juga, perempuan itu sebagai seonggok simbol yang menghiasi dan sekaligus memaknainya.

Musuh di dalam Diri

Musuh, siapa sebenarnya musuh kita ini? Begitu, Pak Putu Wijaya membawa suatu persoalan penting di dalam novel Perang (2002). Dalam cerita ini, novel yang selayaknya pagelaran wayang semalam suntuk, menuntun kita untuk memahami keberadaan diri beserta segala macam pembawaan di dalam hidup. Keberadaan diri ini, yang dapat mengantarkan pada makna hakiki mengenai musuh Pandawa (manusia) yang sebenarnya. Ajaran Islam memiliki suatu jalan yang sering disebut dengan berpuasa, sebagai kegiatan peperangan besar untuk memerangi diri sendiri. Hakekat dari puasa, adalah untuk mengalahkan nawa nafsu. Lantas, kenapa saya mengetengahkan sub-judul mengenai musuh dalam pembahasan mengenai perempuan ini, adalah sebagai berikut:

Perempuan, seperti yang sudah dikemukakan di atas sebagai pahala yang tidak untuk diikuti (Ranggasutrasna dkk, 1999: 159), menyiratkan nilai tersembunyi yang perlu untuk diwaspadai. Nilai tersembunyi ini saya sebut sebagai musuh, sebab keberadaannya mengancam keselamatan hidup, baik kehidupan perempuan maupun kehidupan lelaki. Jadi, musuh di sini tidak semerta-merta menyatakan kalau perempuan sebagai musuh yang nyata, melainkan sebagai simbol akan keberadaan diri manusia itu sendiri.

Nurel Javissyarqi memberikan kita pengetahuan mengenai ini, dia (musuh) tersimbolkan dalam diri perempuan, melalui perwakilan dari “rasa” yang dimiliki manusia semenjak lahir. Rasa itu juga yang memberikan bentuk kehidupan manusia, dan yang keberadaannya terbiaskan oleh unsur lain yaitu nafsu dan fikiran. NJ menyebut kekompleksitasan nilai ini sebagai cinta:

Cinta setia, tulus membasuh lingga hingga tiada berdaya
dalam rengkuhan kasih, renggutan tangan sayang mesra (I : XVI)

Wanita membawa ruhmu ke puncak pada padat pasir lamunan
bagaikan rerumputan hijau bergoyangan atas bisik ketinggian (I : XVII)

dua ayat yang sungguh memberikan pengalaman tersendiri. Melalui bahasa yang halus, NJ menyuguhi kita dengan nuansa yang sungguh berbeda. Tidak seperti apa yang terdengar, di sana cinta setia yang berpadu dengan lingga dan ketidak-berdayaan. Lalu, NJ menyatakan mengenai adanya keterpaksaan di dalam kemesraan yang tercipta. Saya mulai menaruh curiga, apabila cinta setia mewakili perasaan sejati, lalu apakah lingga di sini mewakilkan pada alat kelamin lelaki atau pada tubuh (badan)? Saya menafsirkan, lingga sebagai simbol dari tubuh manusia. Selanjutnya, cinta (rasa) yang menurut NJ adalah sejati merasuk, ke dalam tubuh (lingga), namun membuatnya tidak berdaya sampai melalui rengkuhan kasih, ia (cinta tersebut) berusaha memfatamorganakan kemesraan. Saya menemukan pemahaman, bahwa ternyata rasa cinta itu yang perlu diwaspadai, ditilik ulang benar atau tidaknya cinta yang NJ maksudkan sebagai hakekat atau kemurnian cinta sudah terlimbahi.

Sebab, cinta yang dihadirkan (lelaki dan perempuan) membawa diri pada dunia yang terkadang hanya terbentuk sebagai mimpi. Membawa kita pada perjalanan penuh marabahaya, “padang padat pasir” yang seolah seperti rumput hijau yang menyatakan mengenai hakekat kekuasaan, “bisik ketinggian”. Iya, atau tidak seperti demikian di atas, mengenai hakekat keberadaan perempuan dan cinta yang disuguhkan. NJ menyatakan kalau kita tidak teliti menyelidik, duri senyuman yang juga disebut dengan luka hidup akan terus membekas (I : XVIII). Dengan kata lain, perempuan dijadikan wakil dari keberadaan diri mengenai perasaan manusia. Perempuan yang (mungkin) oleh NJ merupakan simbol dari perasaan manusia sama dengan megahnya kerajaan misteri (I : XIX).

Nilai rasa dari perasaan yang tersusun dari berbagai unsur ini membawa perempuan sebagai rasa atau nilai rasa dari kehidupan yang sering disebut dengan: hati. Kalau lelaki sebagai tubuh yang tersimbolkan sebagai lingga (dalam ayat I : XVI) maka perempuan sebagai cinta (hati). Tubuh manusia dapat memiliki nilai karena di dalamnya terdapat jiwa yang mengandungi cinta. Jikalau jiwa tersebut mengandung unsur keilahian maka cinta berunsur perempuan. Dia (perempuan sebagai cinta) hadir bernama ruh yang berbentuk aktivitas di dalam hati. Perempuan adalah rasa manusia yang musti dipilih hakekat pembangunnya, apakah dia sejati atau bisikan nafsu. Karena bagaimana pun juga, perempuan simbolisasi dari musuh yang ada di dalam diri.

Sang Penakluk

Suatu keberadaan yang seharusnya membuat seluruh kaum Adam berhati-hati, perempuan itu penakluk yang sebenarnya. Perempuan yang dalam pandangan sekilas menyiratkan suatu sisi kelemahan yang menggiurkan lelaki untuk menguasai, sesungguhnya di dalamnya mengandung jiwa penakluk. Pemikiran ini tidak berlebihan, jikalau kita mengingat kembali sejarah penaklukkan Mangir yang dapat memberikan gambaran bagaimana peran penaklukkan yang dilakukan perempuan. Andaisaja, Ki Ageng Mangir tidak terjerat pikatan Pembayun, tentu tidak perlu untuk menghadap yang membawa pada kematian. Pun, peran Ratu Pandhansari dalam prosesi penaklukkan Giri menjelaskan sisi jiwa penakluk yang lain. Nurel Javissyarqi (2006: 251) mengetengahkan pendapatnya, bahwa perempuan bukan pemancing atau ikannya, dia mampu menjadi penjala paling lihai di antara lelaki.

Peran ini, nampak dalam ayat XX dan XXI surat Membuka Raga Padmi berikut:

Saat mata memahami, tertangkap gambaran mendatang
Pula sejarah sebelumnya, ia matahari mata rajawali di Maospati,
Segala yang terlihat didapatkannya sebagai mangsa (I : XX)

Ia sang pemburu lihai, setiap kepakan sayapnya mencabut nyawa pelena
Sedangkan tarian jemarinya mengangkasa, menghapus papan hari-hari pembalasan
Kepada bumi yang tak selamanya beredar (I : XXI)

Hakekat yang tersembunyi dari perempuan adalah kelembutannya, yang melahirkan adanya kekuatan tanpa batas yang membawahi para lelaki. Perempuan yang lembut, nampak tidak berdaya namun mematikan selayaknya Rajawali yang memangsa apa pun juga. Hal ini menyiratkan mengenai sesuatu yang berlebih, kekuatan yang begitu banyaknya. Semisal, api yang sedikit namun mampu beranak pinak dan menghanguskan apa pun juga yang ada di sampingnya, meskipun itu adalah tumpukan besi baja akan lebur ketika bersentuhan dengan kekuatannya. Atau pun, semisal air yang gemericik namun tiba-tiba meluap untuk menyapu dan menghanyutkan setiap hal yang ada di jalannya.

Hal ini yang (mungkin saja) telah dibaca NJ, yaitu mengenai hakekat akan kelembutan. Penjabaran yang indah dengan simbolisme yang, menurut saya, sungguh pas. Ia perempuan, membawai sifat lemah lembut yang dapat dijadikan sebagai suatu jalan dalam memperoleh kekuatan yang dasyat. Pun, dengan demikian, saya membaca mengenai nilai kelembutan yang dibawa perempuan, kelembutan tersebut bukan perempuannya, yang merupakan sikap dan kepekaan rasa, layaknya perempuan itu sendiri.

Kelembutan membawa kita pada dimensi yang melepaskan keberadaan ruang dan waktu. Aspek ini mampu membawa kita pada ruang ketiadaan, jikalau kita nyatakan tidak ada namun sebenarnya ada, juga jika kita mengatakan ada namun tidak nampak dalam pandangan. Nilai ini mengandungi sifat nyata (hakiki) yang syarat dengan metafisik. Sikap lembut, di dalam kehidupan masyarakat Jawa sering disebut dalam istilah alus, yaitu suatu sikap seseorang yang mampu mengontrol diri secara sempurna dan memiliki kekuatan batin (Magnis-Suseno, 2985: 162). Sifat alus atau kehalusan yang mengacu pada kekuatan batin yang di dalamnya terdapat pengetahuan mengenai manusia dalam dunia dan dalam kosmos, dalam usaha melihat eksistensi manusia dalam susunan kosmologis, sebagai pengalaman religius (Mulder, 1984: 22). Untuk mencapai tingkatan halus ini, manusia perlu menjalankan sikap nrimo, sabar, waspada-eling, dan prasojo (Mulder, 1984: 22-23) demi menjaga keseimbangan hidup (diri sendiri) dengan Tuhan, yang dapat diungkapkan sebagai jalan hidup.

Sikap masyarakat dalam menjalani hidup lebih menekankan pada ketentraman batin, yang mendorong individu untuk hidup selaras dengan dirinya sendiri, dengan masyarakat, selaras dengan Tuhan dan menjalankan hidup dengan benar demi tercapainya dimensi pengetahuan antara dunia (manusia) dengan Hidup atau Tuhan (Mulder, 1981: 12). Pandangan hidup seperti ini akan menuntun manusia untuk menjalani laku hidup yang halus, hidup yang penuh dengan welas-asih dan religius. Hidup yang alus (lemah-lembut) mampu mendatangkan kekuasaan, sampai manusia tersebut dapat “mengalirkan air dari hulu” dengan jarinya (I : XXII).

“Butiran embun gugur mengenangkan masa silam” (I : XXII), kalimat yang mengajak kita untuk memahami kehidupan yang sebenarnya. Berusaha meneguk embun, untuk mencapai pengalaman dari masa lalu. Mereguk embun di sini, mendeskripsikan mengenai jalan kebatinan yang juga merupakan suatu jalan untuk mencapai sifat alus. Jalan tersebut, misalnya saja, tapa-brata dan lelana-brata (Magnis-Suseno, 1985: 104). Lantas, kenapa jalan hidup akan pengetahuan tersebut termaktub dalam butiran embun? Hal ini dapat dipandangan sebagai suatu pengibaratan mengenai pencarian ilmu (pendalaman ilmu) Jawa, yang berasal dari pengalaman saya pribadi, bahwa manusia melalui tapa brata dan lelana-brata itu digiring untuk meresapi tetesan embun yang merupakan penjelmaaan dari wangsit (kalau tidak boleh disebut wahyu). Dari aspek ini, manusia akan dikembalikan ke masa silam untuk menyelami dunia leluhur yang sudah berbadan (bertubuh) halus atau roh dan menjadi pepunden.

Hasil dari laku kebatinan ini, mengakibatkan seorang pelaku akan memperoleh keutamaan atau kelebihan. Dia sebagai manusia yang linuweh, maka dari dalam diri menampilkan keharuman budi pekerti dan serta menyenangkan selayaknya perawan (I : XXIII). Melalui kelembutan yang dimiliki seseorang, ia mampu menghadirkan kekuatan kosmis yang luar biasa. Ia memancarkan aura yang mampu memikat indra. Kekuatan yang menguasai indra, sebab melalui alat indra manusia dapat memperoleh pengukuhan dan pengusahaan atas nafsu (keinginan) yang akhirnya dipertaklukkan. Ini tidak menyoal bagaimana perempuan menaklukkan lelaki, namun lebih sebagai identitas simbol atas makna yang diembannya. Kelembutan yang melahirkan kekuatan di dalam jiwa (diri) manusia.

Keberadaan kekuatan kosmis di dalam jiwa manusia, yang apabila terus mengacu pada sisi keperempuanan, ia hadir sebagai penguasa. Kita bisa saja mencermati sejarah dan mitos yang berkenaan dengan kekuatan kosmis dari perempuan (baca juga: kelembutan). Sebut saja, Nyai Roro Kidul, seorang ratu lelembut yang diwujudkan sebagai perempuan (Ratu) yang juga sebagai istri (padmi) yang memiliki jiwa yang cantik. Ratu secara jelas menyimbolkan kekuatan dan kekuasaan. Dengan demikian, kecantikan itu mewakili mengenai apa? Di sini lah NJ kembali bermain simbol mengenai kekuatan kosmis tersebut.

Ratu perkasa jagad ini ialah kecantikan berhilir,
Sepenuh gemerincing kata-kata penyair (I : XXIV)

Saya pun, akhirnya kembali menjadi spekulan dalam mengurai makna kecantikan yang NJ hadirkan di sini. Kecantikan membawa pada kekuasaan yang tidak dapat disepelekan, sebab kehadirannya mampu membuat seseorang menjadi Ratu Kehidupan. Posisi yang sungguh menggiurkan, sampai-sampai dalam kondisi realitas, banyak perempuan (dalam arti sebenarnya) berusaha keras untuk menjadi cantik, atau hanya sekedar terlihat cantik. Mungkin saja, para perempuan ini ingin mendapatkan kekuasaan yang datang bersamaan dengan kecantikan seperti yang NJ ungkapkan. Namun memang ada benarnya, mengingat bahwa sebagian besar perempuan cantik memiliki kekuasaan, entah kekuasaan karena faktor ekploitasi lelaki, budaya, maupun kepentingan pasar. Secara tidak langsung, kecantikan yang dipuja di dunia realitas kita adalah kecantikan yang menindas jiwa manusia yang sebenarnya.

Entah bagaimana kecantikan itu diterjemahkan oleh setiap individu, masing-masing pengertian akan memberikan dorongan tersendiri untuk menciptakannsuatu perbuatan. Dalam salah satu karyanya, Trilogi Kesadaran (2006), Nurel Javissyarqi (2006: 117-118) mengungkapkan suatu pemahaman yang lebih jauh dengan mengatakan “kecantikan adalah penggerak alam mistis”. Ini bisa kita jadikan sebagai kunci untuk memahami kecantikan yang berhubungan erat dengan kekuasaan, apabila dalam bahasa NJ yaitu untuk menjadi ratu sejagad. NJ (2006: 117) mengetengahkan tiga pandangan, yaitu cinta, rindu dan bertatap muka. Kecantikan (yang mistis) membuat kita ingin mencintai, yang kemudian melahirkan rindu untuk bertemu. Apakah ini menyoal mengenai cantiknya perempuan yang seksi, semok dan seabrek istilah lain? Bagi saya tidak! Kecantikan yang ada di dalam ayat-ayat surat Membuka Raga Padmi (dan secara umum dalam Kitab Para Malaikat) adalah perwakilan dari suatu kekuatan kosmis, sifat ketuhanan itu sendiri.

Kecantikan sama dengan kekuatan mistis (kosmis) yang merupakan wujud lain dari laku alus (lemah lembut). Suatu kecantikan mengandungi nilai yang merupakan hasil dari perjalanan mengenai laku yang juga adalah jalan hidup. Kekuatan ini yang pada akhirnya membuat seseorang mampu untuk “memberi makna yang belum terlahir (I : XXVI)” sebagai pengejawantahan atas kemampuan batin, yang oleh NJ diungkapkan sebagai “ketajaman mata jiwa (I : XXVII)”. Demikian, NJ membungkus kekuatan batin (rasa sejati) yang diwujudkan ke dalam simbol sebagai padmi (perempuan).

Suatu Nasehat: Hakekat ke-Empu-an Padmi

Empu, dalam kehidupan masyarakat Jawa memiliki status yang penting di dalam struktur kehidupan. Empu tidak hanya sekedar sebagai seorang pembuat keris, senjata tradisional masyarakat Jawa. Akantetapi, seorang empu juga sebagai sosok manusia yang dianugrahi suatu kedekatan hubungan dengan alam dan Hidup (Tuhan). Bagaimana tidak demikian, jikalau kehadiran seorang empu bukan sekedar pandai besi, namun lebih dari itu, yaitu seorang empu mampu untuk menitiskan kekuatan alam dan kekuatan kosmos lainnya ke dalam bentuk pusaka yang menjadi senjata pamungkas apabila manusia mengalami posisi gawat dan penting. Seornag empu dapat dipastikan kalau di dalam dirinya memiliki kelembutan diri dalam kesejatian yang diperoleh dari ketatnya perilaku perihatin dalam waktu yang lama. Pun, NJ mengungkapkannya demikian:

Pada perempuan pekerja, dirinya ada kelembutan lain,
Dan setipa insan memahami rabahan penuh kasih (I : XLIII)

Perempuan pekerja, begitu NJ membuat perumpamaan simbol mengenai hakekat kehidupan. Yakni, bahwa perempuan selayaknya seorang abdi, yang bekerja untuk dirinya sendiri agar mendapatkan upah. Upah dalam konteks ini sebagai buah dari ibadah, yang ditujukan demi kekuatan kosmis yang telah menciptakan keseluruhan dari hakekat hidup. Perempuan sebagai simbol dari manusia bijaksana, yaitu empu yang sesungguhnya tidak bekerja hanya untuk dirinya sendiri. Ilmu yang dimiliki digunakan untuk membantu orang lain dalam usaha pengerjaan pusaka hidup, yang juga merupakan simbol dari kegiatan transfer kekuatan kosmis.

Ia, si empu ini yang secara sekilas seperti seorang kyai yang mempelajari agama bukan untuk dirinya sendiri namun demi keselarasan hidup manusia beragama. Selayaknya kyai, empu memiliki kelembutan yang diakui dan sekaligus disegani orang. Kehalusan yang didapat dari penjalanan laku prihatin yang ketat, yang sesuai dengan kondisi lingkungan di mana dia hidup.

Hal ini dapat dicermati dalam ayat:

Bibir selalu dibasahi puja sepohon jati kering berpuasa
Bungan mekar dicumbui embun telah lama dirinya putik
Seperti ombak kuluman bibir samudra (I : XLIV)

Susunan kalimat yang dapat kita dengar simphoninya. Karena teramat merdu, nyaris tidak terdengar makna yang disembunyikan. Ayat di atas mengabarkan pada kita dengan sangat halus mengenai cara (baca: jalan) untuk mencapai kelembutan. Jalan yang jelas-jelas bukan kondisi yang dipenuhi dengan nikmat dunia, jalan yang jauh dari menyenangkan. Akantetapi, jalan yang di dalam penggambarannya merupakan suatu kondisi hidup yang keras dan hanya bisa dilalui dengan bulatnya tekat. Kenapa saya mengatakan seperti ini?

Kita bisa saja menyangkal, namun sebelum menyangkalnya, marilah kita mengamati bagaimana NJ mengajak kita untuk selalu bersyukur dan ingat dalam menjalani kehidupan. Mungkin saja, pemikiran lama dari masyarakat Jawa mengenai eling lan waspada, ingat dan waspada, yang dimaktupkan NJ dalam kalimat: “Bibir selalu dibasahi puja”. Puja adalah penganggungan atas sesuatu hal, tidak lain yaitu suatu kekuatan kosmis (Tuhan). Manusia yang ingin mencapai taraf empu, hendaknya tidak lalai dalam pengagungan dan menjalani hidup dengan prihatin. Pengagungan Tuhan dapat kita terjemahkan dengan selalu menerima dengan senang hati setiap perhelatan takdir yang telah Tuhan berikan untuk kita.

Dalam suatu kasus lain, kehidupan sekitar kita memberikan saksi nyata tentang bagaimana pohon Jati menjalani hidup. Dia (pohon Jati) dapat terus tumbuh walau tanah yang dipijaki dalam keadaan kekurangan air (gersang). Pohon jati bertahan hidup dalam kesahajaan akan kesederhanaan (dan juga kemiskinan) untuk tidak mempertahankan rimbunan daun yang sebenarnya, rimbunnya daun ini dapat membuatnya nampak gagah perkasa dari pandangan luar.

Bukan kekuatan dan keperkasaan semu mengenai keindahan pohon Jati. Akantetapi, pohon Jati menyimpan kekuatannya di dalam diri. Melihat fenomena ini, pohon Jati secara jelas tidak membutuhkan pujian karena apa yang nampak (penampilan fisik) namun dari apa yang ada di dalam dirinya. Untuk memberikan penggambaran yang jelas, mari kita mencermati syair Rumi, yang mengatakan bahwa: “Jiwa adalah seperti sebuah cermin yang jernih; raga adalah debu di atasnya. Keindahan di dalam diri kita tidak terlihat karena kita di bawah debu” (Shah, 1985: 128) atau “Jangan memandang bentuk luarku, tetapi ambillah apa yang ada di tanganku (ibid: ii).

Seperti itulah pohon Jati. Dari luar, ia akan nampak gersang apalagi saat musim kemarau, maka akan seperti pohon mati. Tidak rindang, pun hijau namun menyimpan kekuatan hakekat yang luar biasa. Kemudian kita pun akhirnya bertanya-tanya, bagaimana agar seperti pohon Jati? Pertanyaan ini pun telah dijawab NJ dengan “kering berpuasa”. Dalam kehidupan masyarat Jawa dikenal istilah “ngatuske segara” atau mengeringkan lautan yang merujuk pada perut manunusia. Lapar dalam berpuasa dijalani dengan kemantapan hati dan ikhlas seperti “ombak kuluman bibir samudra” mampu mengukuhkan kekuatan diri yang pada hakekatnya sudah dimiliki semenjak lahir. Puasa sebagai jalan mengalahkan hawa nafsu (keingin manusia mengenai duniawi) untuk memenangkan rasa (jiwa) sejati.

Di dalam diri kita ada musuh, hal ini sudah saya singgung di atas, yang hakekatnya melemahkan jiwa yang sejati. Menjalani hidup seperti pohon Jati, dengan tidak langsung memenjarakan musuh yang melemahkan. Jika jalan hidup sudah dilalui layaknya pohon jati, maka:

Ia mengalirkan daya pesona, terimalah waktu di dasar renungan
Hasrat tumpah di jalanan membentang, gerak sadar pun ketaklumrahan (I : X:LV)

Ini dapat dikatakan sebagai hasil, yakni orang itu dimabuk kepayang oleh cinta pada Hidup (Allah). Orang yang dimabuk cinta seperti orang gila yang menampilkan hasrat (rindu) di muka umum. Sampai, membuat pecinta itu tidak sadar dengan apa yang dilakukan. Adanya pesona, suatu kekuatan yang tumbuh di luar kesadaran, sadar namun tidak sadar dengan apa yang sudah terjadi. Seperti, apakah pohon Jati menyadari kekuatannya sendiri? Jalan hidup dalam surat Membuka Raga Padmi ini, NJ menghadirkan jalan cinta yang penuh dengan penderitaan yang hakekatnya terasa nikmat. Jalan, yang selaykanya penanaman pohon yang membuahkan kenikmatan abadi. Laku!

Bantul dan Banjarnegara – Studio SDS Fictionbooks, 12 Januari 2011.
Sumber: http://phenomenologyinstitute.wordpress.com/2011/01/24/empuku-perempuanku/

Sabtu, 15 Januari 2011

12 Sajak Nurel Javissyarqi

[PERCAKAPAN PANTAI]

Kerutan dahi ke jalan sunyi
menyusuri anakan sungai,
membisikkan suara-suara
ke telinga kalem nan tegar,
menuruni lembah-lembah hati
melonjaki sakit berseri-serasi.

Saat tersandung batu atau
ranting patah kemarau lalu,
hendak cita menuju samudra
menemui mata air nasibmu;
kau tinggalkan pedalaman
berkelana semata pelangi.

Ada suara-suara panggilan
bergaung tidak dihiraukan
walau memecah hening
menimpa butiran pasir;
bekunya kalbu di udara
bercampuran gemintang.

Malam meleburkan jiwa-raga
sejumlah dunia mengucapkan,
terhempas ke ceruk terpejam
sunyi nan tenggelam;
kereta kencana ditarik taupan
menuju negeri-negeri kegaiban.

Melepaskan beban tubuh berulang
memutari ketinggian,
awan-gemawan terlelap kemabukan
diayunnya kelembutan,
sehelai sampur pengikat kenangan
diusapnya kesaksian,
sederai gayuhan gelombang
membasuh wajah penantian.



[SERAUT BAYANG LUKISAN]

Kupu-kupu ke puncak biru
bila tengah malam tiba
kerlip kunang-kunang,
jikalau lelah beterbangan
sayap cahayanya kan padam.

Mata penjajah berkedipan pandang
buah bergelantung di pinggiran jalan
menanjaki udara tawarkan kenangan,
bertiduran melamun awan menggulung
melipat pucuk pinus sedingin pebukitan.

Barisan bangau merapatkan kesedihan ditinggalkan musim
kabut memanggil diajak menuruni lembah ngarai mata air
gemerincing melonjaki batu-batu mengaliri petak sawah,
merasuk persendian jiwa karang lepas disapu gelombang
bunga-bunga terhanyut berlayar terhempas pada pantai.

Keringat menguap memanggang pundak,
suara tersuling membumbung ke angkasa
diikuti pusaran angin ke pegunungan badai
menitipkan kabut perawan ke pucuk-pucuk.

Hawa malam mengelus kulit tipis gemetaran,
bara percakapan api di relung gelap berulang
di sebelah senyuman terkumpul tali keraguan.

Membenamkan dada bulan
bintang berdegup meriap
hilang kuas bebulu kuda
seraut bayang di lukisan.



[PENYAIR TAK DIKENAL]

Sejauh padang-padang sepi
desiran bayu titian hari hampa.

Pada perburuan debur air mata,
debu tubuh takdir yang terbelah.

Bayangan ruh membuncah beku
sepulang gerimis deras membatu.

Jiwa tersuruk perkelahian kekal
harumkan asap dupa kata-kata.

Mata ajal melesat. Mencapai
guguran daun-daun kaki bukit.

Menebah pekuburan besi baja
menyobek duka lara sejarah.

Kertas-kertas membisu
malam hujan abu-abu.

Muka memar dihajar waktu
sehalus sum-sum ragu-ragu.



[NAFAS KASIH]

Kepadamu nafas-nafasku menyatu
debur ombak menggulung nadimu.

Gemuruh dikoyak kalbu cemburu
menelisik dalam ceruk rahasia
menapaki janji mencipta rindu.

Senyanyian abadi kaki-kaki kembara
menyapa duri-duri kaktus liar-meliar
; kerikil cadas wetan halangi ingatan.

Sejauh bayu mekarkan bunga tulus
menanjaki hari kesungguhan batu
dibopongnya ke pelaminan kabut.

Adakah keraguanmu terkumpul?
Cepatlah, pantai memanggilmu.

Rindu cemburu bertalu-talu
menaiki tangga awan kelabu.

Menghujani kota bumi pulaumu
fahami lamunan segenap waktu;
sang surya taburkan cahaya rasa.

Duhai kasih, kecup kalbuku di sebrang
tuntun jalan tempuh menyatukan restu.

Seair hangat pegunungan kapur
membasahi rambutmu tergerai.

Di malam-malam tak berujung
kepada setingkap letih jemarimu;
pergumulan kertas, tinta hitammu.



[NAFAS PANJANG PENGELANA]

Kala ribuan embun mencipta pagi
kupunguti kata-kata tanpa wujud.

Sebening kalbu tebarkan kalimah
mewangi hidupi nafasmu-nafasku
dalam kisah panjang dunia kelana.

Berbaca kitab airmata sampai muara
mengajak ke ujung tlatah peraduan.

Lautanmu serupa langitku membiru
dan burung-burung camar bercanda
melewati gemawan batas kenangan.

Seair kesucian gemerincing abadi
melafalkan mantra di dedaun jati
diterpa bayu malam para petapa.

Adakah yang datang kepadamu
membawa segenggam cahaya?

Hanya sakit demam dekati maut
aku mencoba ulang menulis sajak
lantas lenyap bertarian mata pena.

Kepakkan masa telusuri rongga dada
berkeringat selubungi jantung angin
kumpulkan reranting tebarkan daun.

Di setiap hembus berpeluk rintian
menyisiri anak-anakan rambutmu.

Saat sangkala menikam petang
sesulur hutan rimba raya agung
sehitam tinta nyanyikan kalam.



[DI UJUNG PERPISAHAN]

Awan berbondong menutupi bayanganmu
hasrat mengendap mencuri lewat jendela
: hujan mengaliri riuh ombak sungai jiwa.

Melewati keletihan lama menggerus masa
selembut aroma kohwa di ruang terpencil
dihuni malam menyibak sunyi daun ganjil.

Jikalau siang terbakar langit bara pebukitan
batuan api menyekutui badai digulung angin
pada ketinggian ruh memanjat dada cahaya.

Memandangi senjakala di akhir pelabuhan
pohonan menarikan bayu menanti petang,
pulang membelakangi bulan ditunggu rindu.

Oh helaian masa harapan melangkah
berdentingan memusari mata pena,
ke tebing-tebing cakrawala kecewa.



[NYANYIAN KEMBARA]

Ketika embun dendangkan laguan pagi
deras arus sungai berkelok syair abadi
menuju lereng jiwamu menyibak fajar.

Jika saksi langit awan malam tertunda,
kabut menebali menyelimuti kota-kota.

Ia anak pebukitan memetik pelajaran,
hingga kini berbagi kenang memaknai.

Mengusik dentingan air petikan angin,
lagu busa di pantai-pantai menggapai
dedaunan kalbu menyimak keguguran.

Bisikan kantuk, kaki-kaki bayangan
sayap-sayap kekupu berhamburan,
menabur sangsi di sepanjang jalan.

Ke lereng-lereng malam kesunyian
ia dendangkan jejiwa setiai mawar.

Duri kata-kata berbicara kembara,
sayap elang berbaur angin udara.

Cakar-cakar sujud di atas kepala,
langit tak berjarak rambut basah.

Sayang, tiada kecup kasih mesra.



[STASIUN SENJA]

Menunggu waktu gelisah memandang
berlalu-lalang getaran menanti kasih,
sambil menghitung warna kedatangan.

Mendengar degup dada meninjau kereta,
menuju batas pandangan di stasiun senja
menantikan janji dengan jantung terluka.

Lembayung jingga senyum menebar bunga,
di ladang perburuan memikat merpati putih
ke sangkar hitam nyawa menemui kekasih.



[BUNGA ABADI]

Di astana langit, suara terompa menapaki tangga gemawan
di sekitar jembatan mengulum degup jantung gentayangan,
menyisiri kemalaman kasih pantai, janji luluh dalam dekapan.

Ombak-gelombang membuncah memecah nafas-nafas bintang,
saat bulan hadir menciummu bunga keabadian. Membaca luka
singgah sebelum terbang kucurkan keringat darah perjuangan.

Kaki-kaki kuasamu sesusu madu mengaliri bibir para pemberani,
sekepak sayap paling pekat, dalam goa sunyi kelembutan lautan.

Berpakaian kekekalan, di ujung maut menyongsong fajar jaman;
anak-anak bermain di tepian keasingan, tak ada penuntun mimpi
menjadi buta memandang, ketika ketakmampuan tetap bertahan.



[MEMAKNAI LANGKAH]

Telah kukosongkan perut untukmu
sehaus tenggorokan mencipta rindu,
tapi belum kukenal sedekat leher dulu.

Menumpang kapalmu menyusuri waktu,
pantai mencari awan berkaki senyummu,
langit tentramkan kantuk di ruang tunggu.

Bercerita butiran pasir perjalanan mata lelah,
meleleh timbunan kenang hari-hari atas api.

Tak terpegang sehabis disergap pekabutan,
lalu hasrat beku menemukan tujuan faham.



[LANGGAM LAUTAN]

Gulungan gelombang saling tabrak berkejaran,
pecah tersimpan gemawan ditelan arus lautan.

Menemui kasih di astana samudra bintang berkedipan,
sederup air redupkan tembang mekarkan lekuk malam.

Setubuh meliuk lambaian sampur menyimak tarian masa,
berseri-serasi setaburan tembang puji membahana sukma.

Menjelajahi kisah percintaan di senggang langgam pertemuan,
dimulai surutnya gairah rahasia, meninggi tenggelamkan nalar.

Batasan mimpi mewujud kesadaran hening kerinduan terdengar,
tetabuhan bertalu-talu diselipan hujan melambungkan rentangan.

Kembara menemukan ajal tiada sia-sia ke ujung asmara berlayar,
diterjang ombak jejiwa, membelah senyum langit nafasnya ganjil.

Memasuki telinga timangan nada sunyi mengigau galaukan nasib
; kesendirian mengisi lewat membisikkan lafal-lafal ruh semesta.



[RINDUNYA GELOMBANG]

Ruang malam mencipta sayap di selat kerinduan
dan punggung pertemuan awan ditempa purnama.

Saat batasan dada ombak bergulung menghempas
sederuan kelelawar melintasi panggung gemintang.

Menghampiri anak-anak kangen lukisan ketegaran
:
karang petapa hening angin ribuan tahun silam turun
persembah kabut perasaan menunggu dipukuli cemas.

Selendang timur tersibak elusan tangan lautan pemuda
menjala ikan-ikan di hamparan luasnya fajar prasangka.

Seekor burung terbang pada layar gumpalan mendung,
menyambut mentari sepenggala membuka kulit siang.

Diganti warna biru menindas kepak dendam menawan,
panasnya cahaya bersekutu angin ribuan mil di pantai.

Tangis percikan ombak pada petak ladang tersapu terik,
lagu gelora kandas atas pertanyaan tak kunjung jawab.

Menanti bertepat waktu berbulir-bulir garam semangat
:
hari-hari berlalu bisu semusim lupamu perjalanan bayu
ke pebukitan lembah, garam geram asam rontok sudah.

Kamis, 06 Januari 2011

Tujuh Kritik A. Teeuw

MEMBACA DAN MENILAI SASTRA
Oleh: A. Teeuw
Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1983,
141 halaman.
Peresensi : Sapardi Djoko Damono
http://majalah.tempointeraktif.com/

BUKU ini merupakan rampai tujuh karangan yang ditulis Prof. Dr. A. Teeuw, antara tahun 1964 dan 1980. Sehingga, “Teeuw yang dalam tahun 1964 menulis mengenai Hang Tuah pasti cukup berbeda orangnya dengan Teeuw yang dalam tahun 1980 menulis tentang Chairil Anwar dan Amir Hamzah,” tulis Teeuw dalam kata pengantar kumpulan karangannya itu.

Ia benar. Apalagi kalau kita bandingkan buku ini dengan Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Modern yang terbit pada tahun 1952 dan 1955. Tapi, di samping menunjukkan perkembangan pemikiran yang terjadi dalam diri profesor ini, bukunya yang terbaru ini juga menunjukkan sesuatu yang tetap ada pada Teeuw: minatnya yang besar terhadap sastra Indonesia.

Dalam Pokok dan Tokoh, yang kemudian dikembangkan dan diterjemahkan menjadi Modern Indonesian Literature (1967), Teeuw memusatkan perhatiannya pada pelbagai masalah dan sastrawan di samping membicarakan beberapa karya sastra secara sekilas-sekilas.

Pembicaraan tentang karya sastra boleh dikatakan selalu tidak terlepas dari pembicaraan mengenai sastrawan. Dalam membicarakan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, misalnya, Teeuw secara panjang lebar menyertakan riwayat hidup novelis itu seolah-olah makna yang didapat pembaca dari buku-buku Pram tidak bisa dilepaskan dari riwayat hidup si pengarang.

Pendekatan terhadap sastra semacam ini jelas tidak berlaku lagi bagi Teeuw yang menulis. Tergantung pada Kata (1980) dan Membaca dan Menilai Sastra. Keahlian dan perhatian Teeuw terhadap filologi dan linguistik jelas merupakan sumbangan penting bagi perkembangan pemikirannya.

Dalam Tergantung pada Kata, misalnya, Teeuw mempergunakan seperangkat konsep yang ‘dipinjam’ dari linguistik untuk “merebut makna” sajak-sajak yang dibicarakannya. Pembicaraan Teeuw tentang sepuluh buah sajak dalam Tergantung pada Kata menarik memang. Analisisnya teliti dan kesimpulan-kesimpulannya berarti. Namun demikian karangan dalam buku itu baru bisa dipahami secara semestinya oleh pembaca yang sudah mengenal seluk-beluk ilmu bahasa.

Karena itu, berbeda dengan Pokok dan Tokoh, lingkungan pembaca Tergantung pada Kata lebih sempit. Padahal, ditinjau dari segi peningkatan pemahaman terhadap sastra, buku ini sangat penting. Membaca dan Menilai Sastra berisi beberapa karangan Teeuw yang erat hubungannya dengan analisis yang dilakukannya dalam Tergantung pada Kata.

Beberapa karangan dalam buku terbaru ini bahkan baru bisa dipahami lebih baik apabila pembaca sudah menyimak Tergantung pada Kata. Dan, seperti halnya Tergantung pada Kata, buku yang dibicarakan ini memerlukan modal yang tidak sedikit dari pembaca dalam bidang linguistik dan kesusastraan.

Bagi pembaca Indonesia umumnya, bahkan termasuk pengajar kesusastraan di perguruan tinggi, banyak konsep dan masalah baru dalam buku ini. Yang dikerjakan Teeuw dalam kebanyakan karangannya ini sebenarnya “sederhana”: membicarakan berbagai pendekatan, teori, dan pandangan dalam ilmu sastra dalam kaitannya dengan sastra Indonesia klasik dan modern.

Namun justru yang “sederhana” itu yang menuntut banyak dari penulisnya: Teeuw harus membaca luas tentang linguistik dan ilmu sastra sebab banyak pemikiran baru di kedua bidang itu diterbitkan di mana-mana.

Minat Teeuw di bidang sastra klasik dan modern jelas-jelas tercermin dalam kumpulan karangan ini. Dalam karangan yang berjudul Studi dan Penelitian Bahasa dan Sastra Jawa Kuno di Jaman Modern, yang merupakan pidato pengukuhannya waktu menerima gelar Doctor Honoris Causa dari UI, ia menyebutkan bahwa “penelitian dan penyebaran pengetahuan mengenai bahasa Jawa Kuno dan sastranya menjadi sebuah tugas budaya yang mendesak, khasnya bagi orang cendekiawan Indonesia sekarang dan besok.”

Dalam karangan “Tentang Penghargaan dan Penafsiran Hikayat Hang Tuah”, Teeuw membuat catatan mengenai perkembangan minat beberapa ahli dan pengamat Barat terhadap hasil sastra Melayu, terutama Hikayat Hang Tuah. Ternyata sudah sejak 1726 ada pengamat Barat, namanya Francois Valentijn, yang membuat catatan mengenai hikayat yang indah itu.

Teeuw menjelaskan, ternyata banyak para ahli itu mengacaukan Hikayat Hang Tuah dengan Sejarah Melayu. Namun yang terpenting dalam karangan Teeuw mengenai hikayat ini adalah ia, berbeda dengan kebanyakan sarjana Barat yang disebut-sebutnya, berpendirian bahwa Hikayat Hang Tuah adalah karya sastra. Karena itu harus diperlakukan sebagai karya sastra — bukan sebagai catatan sejarah atau yang lain. Pendirian ini sangat ditekankannya mengingat banyaknya penelitian yang menganggap hikayat tersebut sebagai sumber sejarah.

“Multatuli dan Puisi Melayu” merupakan salah satu karangan Teeuw yang sangat menarik. Dalam karangan itu ia berusaha meyakinkan kita bahwa “Multatuli berhak mendapat tempat yang layak dalam sejarah sastra Indonesia sebaai pelopor puisi Indonesia modern.” Lepas dari benar tidaknya pandangan tersebut, karangan itu sendiri menarik karena menyuguhkan pendekatan dan cara-cara pembuktian yang njlimet.

Empat karangan lain dalam buku ini merupakan usaha Teeuw memperkenalkan pelbagai pendekatan dan teori sastra mutakhir — karya sastra Indonesia modern, terutama puisi, dijadikannya contoh atau “bahan” dalam “laboratorium”nya. Sekali lagi perlu ditekankan bahwa karangan-karangan tersebut khusus bagi kalangan yang memiliki minat sungguh-sungguh terhadap sastra, terutama kalangan akademik.

Dengan demikian kumpulan karangan ini menjadi penting bagi kalangan tersebut, sebab banyak di antara yang ingin maju mengalami hambatan bahasa. Dan Teeuw berusaha menjelaskan pelbagai pendekatan dan teori tersebut dalam bahasa Indonesia yang lancar dan cukup luwes, sekalipun di sana sini ia membiarkan kutipannya dalam bahasa asing.

Bagi pembaca yang tidak menguasai bahasa asing, kutipan-kutipan tersebut bisa memusingkan atau bahkan membuatnya merasa sangat bodoh. Ada beberapa kutipan yang dijelaskan. Lalu untuk apa kutipan itu? Beberapa kutipan merupakan terjemahan ke dalam bahasa Inggris atau Jerman dari bahasa asing lainnya.

Jelas bagi Prof. Teeuw sama sekali tidak ada kesulitan untuk menerjemahkan kutipan-kutipan itu ke dalam bahasa Indonesia demi kejelasan konsep-konsep yang diperkenalkannya kepada pembaca Indonesia. Setidaknya ada dua hal yang perlu disinggung mengenai karangan-karangan Teeuw.

Pertama, dalam “Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi” Teeuw memcatat di kalangan pembaca sajak Indonesia, mengupas sajak hampir dapat disamakan dengan berfilsafat mengenai sajak. Ini erat kaitannya dengan anggapan yang tersebar luas di kalangan pembaca Indonesia bahwa sebuah sajak, sebuah karya seni, harus mempunyai amanat yang positif, dan harus memberi ajaran atau pelajaran tertentu.

Pendapat atau kesimpulan Teeuw itu tidak keliru. Dan hal tersebut tidak cuma berlaku bagi pembaca Indonesia, juga pembaca di negeri lain, tidak terkecuali pembaca di Barat. Hal kedua adalah pernyataan Teeuw bahwa “membaca dan menilai sebuah karya sastra bukanlah sesuatu yang mudah.” Pernyataan ini mendapat dukungan kuat dari segala macam pendekatan dan teori yang dijelaskan penulis. Dan pernyataan itu tentunya terbatas ditujukan kepada kalangan tertentu — orang-orang yang berusaha meningkatkan sikap ilmiah terhadap sastra.

Pernyataan Teeuw tersebut (dalam “Tentang Membaca dan Menilai Karya Sastra”) sangat tepat apabila dihubungkan dengan semacam kesimpulan (dalam “Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra”) yang mengatakan bahwa sajak Chairil Anwar (“Senja di Pelabuhan Kecil”) baru mendapatkan makna penuh sebagai tanda (semiotik) dalam kontrasnya dengan hipogram sajak Amir Hamzah (“Berdiri Aku”) yang ditransformasikannya.

Analisis sajak Chairil yang tidak mempertanggungjawabkan relasi intrinsik antara dua sajak ini tidak dapat dikatakan selesai baru merupakan tahap dini. Kerepotan menghadapi sajak semacam itu tentu tidak usah dibayangkan oleh pembaca biasa. Tapi merupakan tantangan bagi para peneliti sastra untuk mengatasinya. Pada dasarnya buku Teeuw ini merupakan tantangan serupa itu.

Teeuw telah memulai usaha untuk membuka lembaran baru dalam penelitian dan kritik sastra Indonesia, dan sudah sewajarnyalah apabila para peneliti dan kritikus lain menjawabnya. Tinggal catatan kecil: di samping beberapa salah cetak (antara lain pada halaman 68, dimabuk warna ditulis diamuk warna), ada kepustakaan yang terasa mengganggu. Disertasi Soelastin Sutrisno, “Sastra dalam Ketegangan antara Tradisi dengan Pembaruan”, yang diselesaikan tahun 1979 dicantumkan dalam bibliografi karangan yang ditulis tahun 1978.***

13 Agustus 1983

Rabu, 05 Januari 2011

Soal Nama Pengarang; Imamuddin SA, Pringadi AS, M.D. Atmaja

Nurel Javissyarqi*

Dulu, semasa merasakan atmosfir dunia kepenulisan di Jogja, sebuah nama kepengarangan seseorang kerap membentuk diskusi tersendiri di sela-sela proses kreatif. Kadang menjadi ajang olok-olokan sampai tataran realitas nasib hingga ke alam klenik di balik sebutan tersebut. Seminimal kami lakukan bersama pengarang Iman Budhi Santosa, K.R.T. Suryanto Sastroatmodjo, Hamdy Salad, Mathori A Elwa, Joni Ariadinata, Abdul Wachid B.S., Amien Wangsitalaja, Teguh Winarsho AS, Binhad Nurrohmat, Satmoko Budi Santoso, Sri Wintala Achmad, Marhalim Zaini, Raudal Tanjung Banua, Y. Wibowo, Akhmad Muhaimin Azzet, Abdul Azis Sukarno, Sriyono Daningrono, di waktu berbeda-beda saat menanti baca puisi, acara bedah buku pun sekadar begadang di sanggar.

Sebagian darinya ada nama-nama dibikinkan temannya. Setidaknya didiskusikan pada kawan-kawannya, sebelum dipublikasikan beserta karya di lembar surat kabar, selain disematkan seniornya, semisal Raudal Tanjung Banua oleh Umbu Landu Paranggi, pun ada yang yakin atas pilihan sendiri. Paling tidak aku pernah menggunakan identitas pemberian cerpenis Joni Ariadinata, berinisial Nurla Gautama, dalam hatiku masa itu merasai harus ada penghianatan dikemudian hari, tentu dengan energi lebih besar dibanding proses kreatif sebelumnya.

Nama ibarat doa, plakat, stempel, judul tercetak tebal, baju kebesaran &sb. Di kedalamannya ada ruh menaungi auranya, meruapi air memberkah pesona melanggengkan pemakainya. Seperti pujangga R. Ng. Ronggowarsito di bawah karya-karyanya tertera tanda tangannya serupa ular naga. Jika diselidik ke dalam bahasa Sansekerta, ular naga bermakna pujangga. Demikian nama-nama di samping tanda tangan pemiliknya mempunyai kandungan ruhani yang tak bisa dianggap sepeleh. Darinya cahaya takdir dapat dikenali lekuk lelikunya, sekelokan sampur penari jiwa-raga, dan luk (kelukan) keris bersetia menempa nasib empunya dalam melakoni hayat atas penghayatan diembannya.

Sastrawan William Shakespeare mengatakan dalam dialog Romeo-Juliet: “Apalah arti sebuah nama? Meski pun kita menyebut bunga mawar dengan nama lain, wanginya tetap harum.” Cukup tinggi tingkat resiko melencengnya makna yang diharap, dan dirinya tidak hanya mengguratkan beberapa karya, tidakkah karya-karyanya melimpah? Puisi-puisi panjangnya luar biasa, serta naskah-naskah dramanya, untuk melunasi kata-kata tersebut atau mengukuhkan jalan hidupnya, agar perselisihan yang hadir menemukan harmoni sahaja. Suatu alur panjang mematenkan sebutan pengarangnya.

Nama itu cermin diri sebatu-batu berbentuk mutiara yang dipahat, sudut-susut tempaanya memantulkan cahaya, sejumlah ketentuan sudah ditakar sebelumnya, dihitung sesuai kodrat-iradatnya, ikhtiar ialah olah raga bathin, peleburan pribadi ke dalam karya. Atau kaca benggala bersimpan perbendaharaan tersembunyi, sekandungan pengetahuan bagi menelusuri dan mendenyutkan nafas kasih sayang-Nya. Nama sebagai panggilan, Kahlil Gibran berujar: “Kata paling indah di bibir umat manusia ialah Ibu, dan panggilan terindah Ibuku". Demikian nama serta kata menyeruak wewujud lelapisan tak terkira, memberi informasi kediaman cangkang telur berisi nilai-nilai manfaat yang ada di dalamnya.

Perubahan nama paling revolusioner menurutku serupa sastrawan filsuf Perancis, François-Marie Arouet menjelma Voltaire, penyair Guillaume Apollinaire, nama aslinya Wilhelm Albert Vladimir Apollinaris Kostrowitzky, dan awal gelar Caesar sebab nasib kelahirannya melalui bedah caesar atau sebaliknya. Yang tak puas mengikuti nama nabi, diangkutnya ketiga nama disatukan sekaligus seperti penulis Muhammad Isa Dawud. Nama-nama memiliki keunikan sendiri, punya wibawa masing-masing, menggembol kharisma berbeda-beda, pula jatuh kepada bayang-bayang yang lekat kepadanya.

Di Indonesia menggejala penyingkatan nama, malah ada beserta titel hajinya, misalkan pengarang filsuf Haji Abdul Malik Karim Amrullah, terkenal sebutan Hamka, Abdurrahman Wahid dapat dipanggil Gus Dur, Hans Bague Jassin menjadi H.B. Jassin, sastrawan Willibrordus Surendra Broto Rendra menjelma W.S. Rendra, budayawan Halim H.D., Maman Soetarman Mahayana, dikenal Maman S. Mahayana, Suminto A. Sayuti, pula kritikus Faruk H.T., penulis Teguh Winarsho AS, Muammar Emka, belakangnya dari singkatan nama orang tuanya, atau menjumput sebutan marganya; Bahrum Rangkuti, Hamsad Rangkuti, Sitor Situmorang, Saut Situmorang, Bokor Hutasuhut, Budi Hutasuhut, Iwan Simatupang, Sihar Ramses Simatupang &ll.

Nama-nama yang identik dengan penelitiannya; Koentjaraningrat, Kuntowidjojo, Suwardi Suryaningrat yang sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, Suryanto Sastroatmodjo, tetapi Budi Darma kukira kurang pas atas hasil-hasil karyanya jikalau ditengok sedari nama, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Hudan Hidayat, sama pada beberapa karyanya, Wiji Thukul kurasa sesuai atas perjuangan kaum proletarnya. Mochtar Lubis tampak sepadan, Fahrudin Nasrulloh seimbang, Chairil Anwar ngepop, nama Ahmad Tohari, Taufiq Ismail cocoknya penceramah. Nama-nama keren seperti Diponegoro, Muhammad Yamin, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Nicolaus Driyarkara, Sam Ratulangi, Arswendo Atmowiloto, Seno Gumira Ajidarma, Katrin Bandel, Bre Redana, Gerson Poyk, Tan Lio Ie, Lan Fang, Oka Rusmini, dan Putri Sarinande, sedangkan Soekarno terdengar ndeso, kecuali bersebutan Bung Karno.

Nama membentuk watak-perilaku orang-orangnya; Pramoedya Ananta Toer, Remy Sylado, Abdul Hadi W.M., Zainal Arifin Thoha, Acep Zamzam Noor, Putu Wijaya, D. Zawawi Imron, Jamal D. Rahman, Abidah El Khalieqy, Hadjid Hamzah dengan nama samaran Hendrasmara. Nama yang aneh seperti AS Laksana, Nu'man 'Zeus' Anggara, Ribut Wijoto, S. Jai, S. Yoga, Sutardji Calzoum Bachri, Udo Z. Karzi, Afrizal Malna, Herry Lamongan, Bambang Kempling, Wa Ode Wulan Ratna &st. Nama-nama pada judul catatan ini, bisa dibilang aku yang menawarkan kepada pemiliknya. Imamuddin SA aslinya Imam Saiful Aziz, saat awal kepengarangan ia menyepakati perubahan tersebut. Selanjutnya melalui telepon, Pringadi AS mulanya Pringadi Abdi Surya, kala mendekati cetak antologi puisinya "Alusi" dan menyetujui. Malah M.D. Atmaja sudah menerbitkan novelnya "Pembunuh di Istana Negara" bernama Dhian Hari M.D. Atmaja, tidak keberatan kuubah diawal posting karya-karyanya di webset sastra-indonesia.com yang terus dipakainya.

Nama yang kemunculannya memboyong dinaya tertentu serta berhasil menggulirkan perkaranya; Tao Te Ching membentuk Taoisme, Karl Marx menjelma Marxisme, Niccolò Machiavelli mewujud Machiavellisme, Samin menjadi Saminisme &ll, dengan rentang umur nafas cadangannya di atas kelenturan jemari tangan para pengikutnya. Sampai di sini, sebuah nama ternyata sanggup menghantui, rupa-rupa terus bergentayangan menjamah jaman-jaman setelahnya, kelayapan mengunjungi abad-abad sesudahnya, sanggup mencipta pilar-pilar peradaban. Antara kisaran itu banyak pula yang tumbang tak bernafas sumringah, tak memekarkan sekuntum bunga harum memesona, ludes ditinggal masa, tertimbun abu sejarah, terkubur kekayaan keduniawiannya, yang nanggung laksana kelebaran tidak jelas, pun ada senantiasa memancar sebintang terang dan sebagainya.

Nama sangat lekat dengan peristiwa-peristiwa yang menancapkan ruh daripada simbol keberadaannya, makin besar konflik yang ada di dalamnya, kian kuat terekam sejarah. Dan para pemiliknya orang-orang bersungguh menempa kebodohan diri, merangkaki perbukitan terjal cibiran, fitnah, warna kemayu tipu daya, dengan perluasan makna menyeluruh para kaumnya. Atau mereka hidup tak sekadar bagi kepentingan pribadi, keluarganya, tetapi demi kemakmuran bangsanya, minimal golongannya, partainya. Tentu terketahui, sekokoh apapun benteng pertahanan, jikalau tidak diniatkan untuk seluruh umat, mudah tercium derajat capaiannya, dan para penemu bisa dikelompokkan yang bersih dalam penyelidikannya.

Dalam tradisi Jawa ada unen-unen, kabotan jengen atau keberatan nama. Istilah itu muncul kala pembuatannya diikuti tidak sehatnya anak manusia sewaktu disematkan namanya, maka dirubah dengan anggapan setelah diganti tidak sakit-sakitan. Pun penggantian nama di tanah suci, demi sekembali haji, tingkah-lakunya baik dikemudian hari. Seakan nama membentuk takdir sendiri, mencetak tekstur sesuai dinamai, ini pulalah menempel pada nama negara atau kecondongan watak bangsa menjelma pengistilahan. Nama bersama empunya terikat atau jua sebutan jaman menandai corak tertentu, yang menonjol diketengahkan untuk suatu penamaan.

Lebih jauh di tanah Jawa ada upacara ngeruwat semacam ritual selamatan yang penetapannya mencari bulan, minggu, hari sampai masa terbaik di dalam setahun berdasarkan hitungan hari pasaran, di dalamnya tak lebih menancapkan aura nama pemiliknya agar tidak lepas segenap takdirnya, dengan permohonan dianugerahkan kemudahan menapaki tangga kehidupan atau tanda syukur kehadirat Sang Asih. Di balik huruf suatu nama ada kandungan makna, punya alur filosofi, bagi terbiasa menyelidiki perihalnya, seperti hukum Tuhan bisa ditilik sifat-sifatnya, kecondongannya membentuk aturan yang dapat dikaji, digali mendalam demi perolehan dikedepankan ke jenjang pengetahuan dicapainya. Sebab itu, nama punya ruang sendiri segurat-tangan menandati pribadi pengguratnya.

Tapi semua itu tak lebih berfaedah sekadar hiasan jikalau empunya nama tak bersungguh menempuh jalan takdir dipangkunya, hanya menyerupai baju yang mencipta pembodohan misal paribasan Jawa: "Ajine rogo songko busono atau bernilainya badan sebab pakaiannya." Ini kerap dipolitisir orang-orang berpangkat yang hendak menduduki jabatan pun melanggengkan kekuasaan di pemerintahan pula dunia perdagangan. Pergantiannya dihasratkan memengaruhi orang lain, aman dari tangan tak dikehendaki, golongan berseberangan, manakala konflik etnis sejenis membahayakan pemilik nama.

Nama menandai prestasi tertentu moyangnya, ini yang mencantelkan marga kesukuannya, pun dari orang tuanya tokoh disegani dalam lingkungannya, namun lagi-lagi hanya pengabdian terhitung di hadapan masyarakat, ketulusan berjuang demi umatnya menjelma rantai gaib menyambungkan tali silaturrahmi, wujudnya macam-macam sesuai yang diwariskannya. Dan nama sebutan itu, kalau terucap akan liar menjelajah sejauh pengembaran padanya, sekuat rekaman terkandung kepadanya, setangguh karakter telah dilakoni. Lantas bagaimana bergerak? Berkehendak? Berbicara serta dipanggil? Kalau tidak memiliki nama... Akhirnya nama-nama kembali pada sang empunya.

6 Januari 2011
*) Pengelana asal desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

TRIPAMA, Sri Mangkunegara IV (bagian I)

Alih bahasa: Puji Santosa
http://pujagita.blogspot.com/

TRIPAMA
Sri Mangkunegara IV

1. Yogyanira kang para prajurit
lamun bisa sira anuladha
duk inguni caritane
andelira sang prabu
Sasrabahu ing Maespati
aran patih Suwanda
lelabuhanipun
kang ginelung tri prakara
guna kaya purun ingkang den antepi
nuhoni trah utama.

2 Lire lelabuhan tri prakawis
guna bisa saniskareng karya
binudi dadya unggule
kaya sayektinipun
duk bantu prang Magadha nagri
amboyong putri dhomas
katur ratunipun
purune sampun tetela
aprang tandhing lan ditya Ngalengka nagri
Suwanda mati ngrana

3. Wonten malih tuladha prayogi
satriya gung nagri ing Ngalengka
Sang Kumbakarna arane
tur iku warna diyu
suprandene nggayuh utami
duk wiwit prang Ngalengka
dennya darbe atur
mring raka amrih raharja
Dasamuka tan kengguh ing atur yekti
dene mungsuh wanara.

4. Kumbakarna kinen mangsah jurit
mring kang raka sira tan lenggana
nglungguhi kasatriyane
ing tekad tan asujud
amung cipta labuh nagari
tan noleh yayah rena
myang leluhuripun
wus mukti aneng Ngalengka
mangke arsa rinusuk ing bala kapi
punagi mati ngrana.

5. Wonten malih kinarya palupi
Suryaputra Narpati Ngawangga
lan Pandhawa tur kadange
len yayah tunggil ibu
suwita mring Sri Kurupati
aneng nagri Ngastina
kinarya gul-agul
manggala golonganing prang
Baratayudha ingadegken senapati
ngalaga ing Kurawa.

6. Den mungsuhken kadange pribadi
aprang tandhing lan sang Dananjaya
Sri Karna suka manahe
den nggonira pikantuk
marga dennya arsa males sih
mring sang Duryudana
marmanta kalangkung
dennya ngetok kasudiran
aprang rame Karna mati jinemparing
sembada wirotama.

7. Katri mangka sudarsaneng Jawi
pantes kang para prawira
amirita sakadare
ing lelabuhanipun
awya kongsi mbuwang palupi
manawa tibeng nistha
ina esthinipun
sanadyan tekading buta
tan prabeda ngudi panduming dumadi
marsudi ing kautaman.

(Sri Mangkunegara IV. 1995. Tripama. Semarang: Dahara Prize)


TIGA SURI TELADAN
Sri Mangkunegara IV

1. Seyogyanya, wahai para prajurit
apabila engkau dapat meneladani
konon pada zaman dahulu ceritanya
handalan utama sang prabu
Harjunasasrabahu di kerajaan Maespati
bernama Patih Suwanda
bakti dan pengabdiannya meliputi,
terangkum dalam tiga perkara, yaitu
berguna, berhasil, dan bersedia seperti yang telah diyakini
memenuhi kesanggupan kasatria utama.

2. Adapun yang dimaksud dengan tiga perkara pengabdian
berguna, artinya dapat menyelesaikan tugas dan kewajibannya
berusaha untuk dapat senantiasa unggul;
berhasil: maksudnya adalah
ketika membantu perang melawan kerajaan Magada,
berhasil memboyong putri sebanyak delapan ratus,
dipersembahkan kepada Sang Raja;
berserdia: telah terbukti nyata berani
berperang melawan Raja Raksasa dari Negeri Alengka,
Patih Suwanda gugur di medan laga.

3. Ada lagi teladan yang utama
ksatria agung dari negeri Alengka
bernama Sang Kumbakarna
walau dia berwujud seorang raksasa
namun dia berusaha mencapai keutamaan
sejak berkecamuknya perang di negeri Alengka
dia mengajukan saran
kepada kakandanya agar dapat selamat,
Dasamuka tidak terpengaruh atas saran adindanya
beliau tetap berperang melawan pasukan kera.

4. Kumbakarna ditugaskan maju berperang
atas perintah kakandanya itu dia tidak menolak
menetapi kesanggupan sebagai ksatria
walau dalam hati kecilnya tidak setuju,
hanya yang terpikir dalam benaknya tetap membela negara
dan teringat akan ayahanda dan ibundanya
serta segenap para leluhurnya
sudah hidup mulia dan luhur di negeri Alengka
sekarang akan dirusak oleh pasukan kera
dia bersumpah mati di medan laga.

5. Ada lagi yang lain teladan utama
Suryaputra raja negeri Awangga
dan dia masih saudara kandung Pandawa
lain ayahanda, tetap satu ibundanya
dia mengabdi kepada raja Sri Kurupati
di negeri Hastinapura
menjadi panglima perang
memimpin pasukan tempur dalam peperangan
ketika Baratayudha dia dijadikan senopati
bala pasukan perang Korawa.

6. Berhadapan dengan saudaranya sendiri
berperang tanding melawan Sang Dananjaya
Sri Karna sangat senang hatinya
oleh karena dia mendapatkan jalan
untuk dapat membalas budi baik
dari Sang Duryudana
tentu berusaha dengan sungguh-sungguh
mengerahkan segenap kesaktiannya
berperang ramai sekali, namun Karna gugur terpanah
sebagai ksatria yang gagah pemberani.

7. Ketiga tokoh itu menjadi teladan orang Jawa
sepantasnya diteladan bagi semua perwira tamtama
tentu inilah teladan sekadarnya
atas pengabdiannya kepada negara
jangan sampai engkau meninggalkan teladan itu
apabila tidak ingin jatuh dalam kehinaan,
hina dina yang sesungguhnya
walau niatnya sungguh suci,
tidak berbeda budinya bagi sesama,
berusahalah mencapai keutamaan hidup.

(Sri Mangkunegara IV. 1995. Tiga Perumpamaan. Semarang: Dahara Prize)

TELADAN KEUTAMAAN BAGI WIRA TAMTAMA (bagian II)

Puji Santosa
http://pujagita.blogspot.com/

Tripama adalah salah satu karya sastra Jawa klasik karangan Sri Mangkunegara IV, raja di Pura Mangkunegaran (1809—1881), berbentuk puisi sebanyak tujuh bait. Kata tripama merupakan dua patah yang dirangkai menjadi satu kata, berasal dari kata tri dan pama, tri artinya tiga, dan pama artinya perumpamaan, tamsil, contoh, atau teladan. Berdasarkan perkiraan para ahli sastra, Tripama ditulis oleh Sri Mangkunegara IV seputar tahun 1860—1870. Tiga tokoh pewayangan yang ditampilkan sebagai teladan keutamaan bagi wira tamtama atau prajurit, yaitu Patih Suwanda dari negeri Mahespati, Raden Harya Kumbakarna dari negeri Alengka, dan Adipati Basukarna atau Suryaputra dari negeri Awangga.

Sosok tokoh pertama yang menjadi teladan para wira tamtama adalah Patih Suwanda. Dia menjadi handalan Prabu Harjunasasrabahu di negeri Mahespati. Ketika masih di pertapaan, dia bernama Bambang Sumantri. Oleh orang tuanya, Begawan Suwandagni, Sumantri diminta untuk mengabdikan dirinya kepada Raja Mahespati, bernama Prabu Harjunasasrabahu. Pengabdian Sumantri lama-kelamaan diterima sebagai Patih dengan berganti nama Suwanda. Pada suatu saat Patih Suwanda mendapatkan tugas meminang putri Magada melalui sayembara yang diadakan oleh negeri itu. Dalam menjalankan tugas itu Patih Suwanda dapat memenangkan sayembara, membawa pulang Dewi Citrawati dan putri domas, yakni putri boyongan sebanyak 800 orang yang akan dipersembahkan kepada rajanya.

Sesampainya di Mahespati, Suwanda tampak pongah dan menuruti hawa nafsunya untuk menantang raja. Suwanda tidak mau menyerahkan Dewi Citrawati dan putri boyongan kepada raja Mahespati tersebut. Akibatnya, terjadilah perang tanding antara Suwanda dengan Prabu Harjunasasrabahu. Ternyata sang raja lebih sakti dan lebih unggul dari Patih Suwanda. Kekalahan Suwanda atas rajanya dapat diampuni asalkan mampu memindahkan Taman Sriwedari ke Mahespati dalam keadaan utuh dan baik. Dengan berat hati Suwanda menerima tugas itu. Berkat bantuan adiknya, Raden Sukrasana, Taman Sriwedari itu dapat dipindahkan ke Mahespati tanpa cacat. Dewi Citrawati dan para putri domas pun akhirnya bersenang-senang di taman tersebut. Pada saat mereka sedang asyiknya bersenang-senang di taman itu, mereka melihat raksasa yang buruk rupa dan menakutkan ada di dalam taman tersebut. Dewi Citrawati melaporkan hal itu kepada Prabu Harjunasasrabahu. Kemudian sang raja memerintahkan Patih Suwanda untuk mengusir raksasa itu dari Taman Sriwedari.

Suwanda sanggup menerima tugas itu sekalipun dengan berat hati. Suwanda tahu bahwa raksasa buruk rupa yang menakutkan dan berada di Taman Sriwedari itu adalah adiknya sendiri, Raden Sukrasana. Suwanda tidak mau terus terang kepada rajanya bahwa raksasa buruk rupa itu adalah adiknya. Ada perasaan malu untuk mengakui Raden Sukrasana itu sebagai adik kandungnya. Ketika diminta baik-baik untuk meninggalkan Taman Sriwedari itu, Raden Sukrasana tidak bersedia hingga mengakibatkan Suwanda marah. Tanpa disadarinya, Suwanda mengambil anak panah untuk menakut-nakuti adiknya tersebut hingga terlepas anak panah itu dari busurnya menancap pada dada Sukrasana. Sesal kemudian tidak ada berguna, Suwanda telah membunuh adiknya sendiri hanya demi pengabdiannya kepada raja Mahespati.

Pada peristiwa yang lain terjadi ketika Prabu Harjunasasrabahu dengan Dewi Citrawati dan delapan ratus putri selirnya sedang mandi bersama-sama di bengawan Silugangga. Prabu Harjunasasrabahu membendung aliran sungai Silugangga dengan cara triwikrama (mengubah wujud penampilan) sebagai raksasa besar pengganti bendungan tersebut agar dapat dipergunakan oleh permaisuri dan selir-selirnya mandi bersama-sama. Akibat bendungan itu, beberapa tempat mengalami banjir besar, salah satunya adalah negeri Alengka. Raja Alengka pada saat itu adalah Rahwana atau Dasamuka, raksasa yang berkepala sepuluh, kemudian menelusuri apa yang menyebabkan negerinya terkena banjir besar. Setelah mengetahui bahwa banjir besar di negerinya itu akibat ulah raja Mahespati, Rahwana pun marah dan memerintahkan pasukannya menyerbu negeri Mahespati. Patih Suwanda yang berada di istana tampil sendirian menghadapi Rahwana dan bala tentaranya. Dia tanpa terlebih dahulu melaporkan kepada rajanya, dengan alasan tidak mau mengganggu sang raja yang sedang bersenang-senang dengan permaisuri dan selir-selirnya. Dalam peperangan itulah akhirnya Patih Suwanda gugur karena kelengahannya. Suwanda gugur karena digigit oleh Rahwana yang dikiranya sudah mati, padahal Rahwana hanya berpura-pura mati.

Teladan berikutnya bagi para wira tamtama dalam Tripama adalah tokoh Kumbakarna, seorang ksatria dari Pangleburgangsa, di negeri Alengka. Ketika terjadi perang besar Alengka dengan prajurit Rama, Patih Prahasta yang menjadi handalan kerajaan Alengka menghadapi bala tentara Rama pun gugur di medan laga. Rahwana yang mendapat kabar itu termenung, bingung, dan bercampur sedih hingga lama tidak berbicara. Setelah hilang kebingungannya, Rahwana menyuruh prajurit raksasa untuk pergi ke ksatrian Pangleburgangsa. Pangleburgangsa adalah tempat tinggal Kumbakarna yang tengah bertapa tidur. Rahwana meminta para raksasa itu membangunkan adiknya yang sedang bertapa tidur. Segala upaya dilakukan oleh para raksasa untuk membangunkan Kumbakarna, misalnya dengan berteriak sekeras-kerasnya dan memukul-mukul segala bunyi-bunyian, tetap saja Kumbakarna tidur pulas. Ketika mereka hampir putus asa, seorang raksasa menemukan cara tepat membangunkan Kumbakarna yang sedang bertapa tidur, yaitu dengan cara mencabut bulu kuduk kakinya.

Usaha raksasa itu berhasil dengan terbangunnya Kumbakarna dari tidurnya. Setelah bangun, Kumbakarna dijamu makanan yang banyak oleh para raksasa yang membangunkannya itu. Setelah selesai Kumbakarna makan dengan lahapnya semua makanan yang tersedia, dia diberitahu tentang keadaan peperangan di negerinya yang telah menggugurkan Patih Prahasta. Tanpa banyak berbicara Kumbakarna langsung menghadap kakaknya di istana. Sekali lagi, Kumbakarna mengingatkan kakaknya, Rahwana, untuk menyerahkan saja Dewi Sinta kepada Rama. Tindakan merebut Dewi Sinta dari tangan Rama jelas keliru dan menyebabkan peperangan dan bencana ini. Peringatan Kumbakarna tidak dihiraukan oleh Rahwana, justru pada saat itu Rahwana marah besar kepada Kumbakarna. Merasa tidak ada gunanya Kumbakarna mengingatkan kakaknya terhadap jalan kebenaran, tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada kakaknya, Kumbakarna berangkat ke medan peperangan. Di dalam hatinya, Kumbakarna tidak membela keserakahan dan keangkaramurkaan Rahwana, tetapi dia maju berperang karena membela negara, tanah air leluhurnya, dan sebagai warga negara wajib hukumnya membela tanah airnya.

Di tengah medan peperangan, Kumbakarna berhadapan dengan beribu-ribu prajurit kera dari kerajaan Pancawati. Tanpa mengenal takut terhadap banyaknyaknya musuh yang menghadang, Kumbakarna tetap maju terus menggempur musuh-musuhnya. Korban dari prajurit kera pun berjatuhan satu per satu hingga ribuan jumlahnya. Melihat pasukannya banyak yang gugur di medan laga, Narpati Sugriwa pun maju sendirian menghadapi kemarahan Kumbakarna. Namun, apa daya kekuatan Narpati Sugriwa kalah unggul dengan kesaktian yang dimiliki Kumbakarna. Narpati Sugriwa tak mampu mengakhiri perlawanan Kumbakarna yang dahsyat itu.

Akhirnya, Wibisana meminta kepada Prabu Rama untuk memerintahkan Raden Laksmana maju ke medan laga menghadapi Kumbakarna. Tanpa banyak berbicara Raden Laksmana segera berangkat ke medan laga menghadapi kemarahan Kumbakarna. Berkat panah saktinya yang bernama Sarawara, Raden Laksmana mampu menghancurkan mahkota Kumbakarna, memutuskan kedua tangannya, dan juga mematahkan kedua kaki yang dimiliki oleh Kumbakarna. Tanpa mahkota, tangan, dan kaki lagi, Kumbakarna tetap maju terus melawan musuh. Semua prajurit ketakutan atas sepak terjang Kumbakarna yang demikian itu. Prabu Rama segera mengambil inisiatif dengan melepaskan panah saktinya yang bernama Amogha Sanjata Guawijaya, ketika Kumbakarna sedang berteriak dengan mulutnya yang terbuka lebar. Tepat mengenai telak pangkal lidahnya, Kumbakarna kemudian menemui ajalnya. Kumbakarna gugur sebagai kusuma bangsa membela tanah airnya, yakni negeri Alengka. Hal seperti inilah yang perlu dicontoh oleh semua prajurit wira tamtama negeri ini.

Teladan berikutnya adalah tokoh Narpati Awangga, Basukarna atau Suryatmaja namanya. Dia masih saudara seibu dengan para Pandawa karena anak Dewi Kunthi yang tertua. Akan tetapi, dia kini menjadi bawahan atau mengabdi kepada raja Duryudhana dari negeri Hastinapura. Basukarna terpilih menjadi panglima tertinggi bala tentara Korawa dalam medan perang di padang Kurusetra, yakni perang Baratayudha. Tugas yang diemban Basukarna adalah berperang melawan saudara kandungnya, yakni Raden Dananjaya atau Raden Harjuna. Basukarna dengan senang hati menerima tugas itu karena diberi kesempatan membalas budi kebaikan kepada Prabu Duryudhana. Oleh karena itu, dia kerahkan segala kemampuannya untuk berperang tanding melawan adiknya. Namun, di tengah medan peperangan itu Basukarna gugur kena panah sakti Harjuna tepat mengenai lehernya. Basukarna memang kasatria hebat dan teguh janji.

Perang Baratayudha yang terjadi di padang Kurusetra sudah berjalan beberapa hari lamanya. Kedua belah pihak, baik Pandawa maupun Kurawa, telah banyak kehilangan prajurit dan panglima perangnya. Pada pihak Kurawa telah gugur senopati andalan Bisma, Drona, dan beberapa raja yang telah membantunya. Prabu Duryudhana tertekan batinnya, sedih, dan bingung memilih siapa lagi yang dapat dijadikan panglima perang melawan kekuatan para Pandawa. Atas saran Patih Sengkuni, Prabu Duryudhana akhirnya menunjuk Narpati Awangga, Prabu Basukarna, menjadi panglima perangnya menggantikan Bagawan Drona yang telah gugur di medan laga. Narpati Basukarna sanggup menjadi panglima perang karena merupakan wujud kesetiaan dan balas budinya kepada Kurawa yang telah memberi kedudukan dan kehidupan kepadanya.

Sebelum berangkat ke medan peperangan, Narpati Basukarna meminta kepada Prabu Duryudhana agar dirinya dapat memperoleh seorang sais kereta yang sepadan dengan kedudukannya. Tentu saja permintaan itu segera dikabulkan oleh Prabu Duryudhana. Akan tetapi, ketika Narpati Basukarna menunjuk Prabu Salya sebagai saisnya, Prabu Duryudhana terkejut bukan kepalang bagaikan disambar petir di siang hari. Prabu Salya adalah mertua Prabu Duryudhana dan sekaligus juga mertua Narpati Basukarna. Mana mungkin seorang menantu berani meminta mertuanya menjadi seorang sais kereta kendaraan perang menantu lainnya. Kebimbangan itu pun akhirnya disampaikan kepada Prabu Salya. Ketika diminta hal itu, pada mulanya Prabu Salya menolak karena merasa direndahkan oleh menantu-menantunya.

Perdebatan pun terjadi cukup lama antara Narpati Basukarna dengan Prabu Salya. Narpati Basukarna telah ditunjuk oleh raja Hastina sebagai panglima perang tertinggi, tentu saja merasa berhak menentukan siapa saja yang menjadi sais kereta perangnya itu. Mereka semua tahu bahwa musuh utamanya yang akan dihadapi adalah Raden Harjuna yang maju di medan perang dengan menggunakan sais kereta Prabu Kresna, raja Duwarawati. Narpati Basukarna merasa pantas menandingi Raden Harjuna apabila sais keretanya adalah Prabu Salya, yakni sais kereta perangnya sama-sama raja yang terhormat. Alasan Basukarna masuk akal dan dapat diterima oleh Kurawa. Prabu Duryudhana segera memohon dengan menghiba-hiba kepada Prabu Salya untuk dapat menjadi sais kereta perang panglima Kurawa yang baru. Menjadi sais kereta perang seorang panglima bukan menghinakan diri atau merendahkan derajat, tetapi justru menjunjung tinggi martabat dan kehormatan negeri Hastina. Atas dasar alasan seperti itulah kemudian dengan berat hati Prabu Salya bersedia menjadi sais kereta perang menantunya, Narpati Basukarna.

Pada mulanya Narpati Basukarna dalam medan perang Baratayudha itu dapat menggugurkan Raden Gatotkaca, putra Bimasena. Atas kemenangannya itu Narpati Basukarna membusungkan dada karena dielu-elukan oleh bala tentara Kurawa. Pihak Pandawa yang kehilangan putra terbaiknya segera mengatur siasat untuk perang tanding. Raden Harjuna harus maju perang tanding melawan Narpati Basukarna kakak sulungnya yang tunggal ibu. Di tengah medan pertempuran keduanya saling mengerahkan tenaga dan kemampuannya agar dapat memenangkan pertandingan hidup dan mati itu. Akhirnya, Narpati Basukarna terkena panah Pasopati milik Raden Harjuna tepat mengenai lehernya. Seketika itu pula gugurlah Narpati Basukarna di tengah medan pertempuran padang Kurusetra. Prajurit-prajurit Pandawa kemudian bersorak-sorai, bergembira ria meluapkan rasa kemenangannya atas gugurnya panglima perang Kurawa. Sebaliknya, para prajurit Kurawa lari pontang-panting menyelamatkan diri. Para Kurawa merasa ketakutan atas kehilangan panglima besar perangnya. Kemudian Raden Harjuna segera menghampiri jasat kakak sulungnya yang seibu itu seraya memeluk tubuhnya. Basukarna gugur sebagai ksatria kusuma bangsa bagi negara Hastina.

Pada bait terakhir, bait ketujuh dari Tripama, Sri Mangkunegara IV berusaha untuk menghimbau kepada para prajurit Mangkunegaran khususnya, kepada orang Jawa umumnya, dan kepada seluruh para wira tamtama yang ada di negeri ini, agar dapat menghargai jerih payah, karya, dan jasa para pendahulunya sesuai dengan darma bakti serta pengorbanannya. Tiga tokoh perumpamaan yang menjadi teladan para prajurit wira tamtama itu hendaknya mampu diterapkan bagi prajurit Mangkunegaran, orang Jawa, dan implikasinya terhadap para tentara dan bayangkara negera Republik Indonesia. Setiap prajurit harus mampu memegang teguh janji dan kesanggupannya sebagai seorang ksatria utama. Oleh karena itu, janganlah menyia-nyiakan jasa dan pengorbanan para pendahulu dan perintis negeri ini. Merekalah yang telah membuat harum dan memartabatkan negeri kita.***

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito