Jumat, 31 Desember 2010

Sajak-Sajak Nurel Javissyarqi

http://pustakapujangga.com/2010/12/poetry-of-nurel-javissyarqi-3/
[ANGGUR NABI]
Atas Ibn Rushd (Averroes)

Segelas anggur dari tuangan kendi abad silam
tersimpan di kediaman tuan.

Aku bertamu, tuan persilahkanku meminumnya
kuteguk dalam kesunyian lama
gemerincing menjalari tenggorokan.

Jiwaku segar berpandangan jernih bukan samar,
menggelegak ke lambung kerinduan.

Jangkauanku bertanya: apa yang tuan suguhkan?
Jawabnya: itulah hasil perasan tangan anak yatim,
dia hadiahkanku saat kembara, bersinggah kemari.

Dadaku tiba-tiba terguncang meninggikan debaran,
sebelum terus bertanya, tuan lenyap dari hadapan.



[PEMECAH TAKDIR]
Untuk Iman Budhi Santosa

Arak-arakan kecemburuanku padamu
mendung melengkung di langit ungu.

Meratap-ratap menimbun cerita lalu,
di negeri semalam ditempa hara-huru.

Lengan pepohonan hangus terbakar
jilati petir lecutan pecut menyambar.

Menjatuhkan kecupan maut ke batu
merindu bayang tundukkan dendam.

Kabarnya pemecah takdir akan datang
segenggam palu memukul serat waktu.

Pada kening kerutan kabut pegunungan
sejauh hati terhempas buih-buih pantai.

Yang tersimpul dalam lelaku penafsiran
memasuki tarian jiwa bertujuan pulang.

Bersimpan dinaya terjang kemungkinan,
lebih ngeri dari seunggun penghianatan.



[KIDUNG PERSEMBAHAN]
Untuk Rabindranath Tagore

Aku simak kidung persembahanmu
alunannya menghanyutkan zaman.

Burung-burung kau beri kebebasan
bersarang pucuk bambu menjulang.

Desau malam memikat para kekasih
sedenyut bayu keagungan pangkuan.

Kau berlaksa stupa candi sumringah,
pebukitan jua kaki gelombang cerita.

Anak-anak lepaskan pelukan selenda
ibunda memandang lekuk hembusan.

Pemotong bambu rapikan mata kaki,
di taruhnya nyala lilin pada cekungan.

Bumbung dibasuh rindu penerangan,
dipandang purnama perkampungan.

Bebocah melantunkan tetembangan,
kelanggengan wengi ke pembaringan.



[KUAS BULU KUDA]
Untuk Jean Paul Sartre

Sebelum matahari dibuka bijian mimpi
menyisiri rambut menaburi usia bulan
segoresan maut pertimbangkan nalar.

Sayap lembut birahi memasuki lukisan,
bulu-bulu kuda jantan lepas dari kendali,
kering sentuhan tertampar kuas revolusi.

Atas panggung, garis tegak tampak sayu
menyapu alis malammu ke ujung awan,
kelana pengantin musim peperangan.

Lembut terkantuk dinaya mengawang,
ngapung tersentak senja perbincangan
: jejiwa merdeka bertempur kecurigaan.



[TAMU KESUNYIAN]
Pada Marguerite Yourcenar

Depan pintu tertulis kalimah:
“Masuk lepaskan nama idola,
akan keluar membawa pelita.”

Pada pintu tertempel tanda
yang ikut gagal berlalu suara.

Kepulan asap cerutu meragu
harapan tidak kunjung menepi
padahal nafas pastikan selesai.

Hujan lebat pucatkan langit
mengapung membelah biru
bertengger di siang klawu.

Kehampaan tubuh terjatuh
dingin kata terlampiaskan
ketinggian angin membisu.

Menguras tarian pena ke jurang
petik gerimis pebukitan curam.

Kembarai musim tangan waktu
bawa takdirmu mencintai abadi.

Jejiwa gentayangan ditebus awan
mengurai detakan jantung kelabu,
tersimpan dalam tabung rencana.

Segelantung kembang teras rumah
tangkainya menjalari pribadi utama.

Minggu, 26 Desember 2010

DIAWALI DENGAN RESAPAN CINTA

M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/

“Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad
ruh bersaksi sederaian gerimis menghantarkan rasa atmosfer semesta
terkumpul di dasar laut di kedalaman rongga dada pujangga [I]” (KPM, 2007: 1)

Begitu, Nurel Javissyarqi (NJ) mengawali karyanya yang berjudul Kitap Para Malaikat (KPM) dengan muqaddimah. Butiran puitik yang dibingkaikan sosok NJ melalui KPM-nya ini digerbangi shalawat atas Nabi, Muhammad SAW. Melantun, sebagai pembuka dari catatan panjang yang sungguh tidak bisa dianggap remeh. Seolah sudah mendapatkan deretan wangsit (baca juga dengan: kesaksian), NJ menembangkan shalawat untuk mengabari kita kalau Para Malaikat yang ditemui tidak hanya mentasbihkan keagungan Allah Ta’ala, melainkan juga berderet dalam rangka merajut doa untuk pengagungan Nabi SAW.

Membaca Kitab Para Malaikat

Mencermati sebait di awal ini, saya pun kemudian undur diri untuk mengheningkan diri sejenak. Menyusupi dan ikut bershalawat dalam hening sambil menimbang bobot kata pembuka dalam ayat I surat muqaddimah ini. Pasti, pikir saya dalam prasangka baik, sang NJ mengumpulkan sekarung nilai dalam shalawat yang tentu saja dapat dipergunakan sebagai bahan untuk menterjemahkan keakuratan usaha dalam rangka mengumpulkan berkah cahaya Ruhaniyyuun. NJ menapak tilas di perjalanan umurnya untuk mendaki dan bersusah sungguh demi mengungguli kemerlap dari makhluk-makhluk yang disucikan (KPM, 2007: 1).

Berhantar bait (baca: ayat) pertama dalam judul (baca: surat) Muqaddimah; Waktu di Sayap Malaikat, pun di sini NJ menitipkan doa keselamatan untuk seorang utusan, Nabi Besar Muhammad, penutup para Nabi Allah. “Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada Nabi Muhammad” NJ memulai mengungkapkan rasa yang dikristalkan dari dalam dada.

Penempatan sebaris doa ini, dimungkinkan saja, bahwa NJ bermaksud menebarkan keselamatan di muka bumi bersamaan dengan proses pembacaan KPM oleh masyarakat. Seperti yang pernah diungkapkan NJ sendiri pada hari Jum’at tanggal 23 Juli 2010 di Padepokan Selo Aji, Trowulan, Mojokerto, yang menyatakan bahwa, “KPM ini apabila cukup disimpan di rumah, niscaya rumah itu dapat terhindarkan dari marabahaya”. Pengakuan ini memberikan saya sekelumit bekal, adanya bait (baca: ayat) pertama di Muqaddimah KPM yang mengisyaratkan akan keselamatan dan sekaligus cinta, yang mendatangkan keselamatan tersebut, dari NJ pada keagungan Nabi Muhammad SAW. Khasanah cinta yang dibawa NJ, pun menjadi dorongan utama dalam panjangnya perjalanan. Masa ini membawa NJ berpapasan dengan simbol spiritual (maupun mistis) yang pada perkembangan selanjutnya menjadi pengalaman religi. Cinta, tertuang dalam estetika religius yang kental. Aspek ini membentuk KPM dengan sedemikian rupa sebagai sarana pemujaan atas cinta keilahian.

Akiya Yutaka (melalui Abdul Hadi W.M., 2004: 5) mengatakan bahwa doa dan cinta serta sembahyang memiliki peran yang sangat penting dalam proses penciptaan puisi. Muqaddimah; Waktu Di Sayap Malaikat memuat tiga aspek tersebut. Shalawat Nabi atas makro-kosmos. Sebait, yang sudah mengandungi doa, cinta serta sembahyang, seperti yang diungkapkan Akiya Yutaka di atas. Mendoakan karena mencintai, dan rasa cinta yang hadir menuntun pada sembahyang (sembah-Hyang). Akantetapi, dari tiga aspek maknawi proses penciptaan KPM, lebih didasari oleh aspek cinta. Rasa cinta, memiliki timbangan yang lebih berat daripada dua unsur yang lain.

Cinta (mahabbah) dapat diungkapkan sebagai nilai hidup yang merupakan santapan hati, makanan ruh dan juga kesenangan (Al-Jauziyah, 1998: 421). Melalui cinta ini, NJ menghidupkan jalan renungan untuk mensketsa warna jiwa cinta para Malaikat. Sampai pada noktah perjalanan tertentu, rasa cinta itu menjadi ruh pelita perjalanan jiwa yang bersaksi kemudian mengendap.

Rasa cinta menuntun pada laku perjalanan panjang yang secara tidak langsung menjadi laku dalam membuat gudang pengalaman. Perjalanan mistis (atau mungkin juga spiritual) yang menghenyak di dalam sanubari. Diawali dalam sesenggukan meresapi cinta yang menumbuh dalam batiniah yang dengan puisinya ini, NJ menasehati dirinya sendiri dan (tentu saja) para pembaca:

Maka jangan menghitung masa bertirakat,
hisaplah kutub keberadaan kekuatannya [V]

menempuh jalan pemahaman untuk sesuatu yang terus dicintai, terus disugestikan akan adanya keharusan akan kehendak sehingga menjadi tabu kalau sampai menghitung pengorbanan yang telah dipersembahkan. Cinta tidak memiliki rumus hitungan, tentang seberapa banyak yang akan didapat dengan seberapa banyak yang akan diberikan. Sebab itu, cinta jauh dari untung dan rugi. Di sana tidak ada hukum-hukum ciptaan manusia seperti ekonominya Smit atau matematika yang memiliki dasar hitungan. Rasa cinta adalah senyawa ilahiah, yang ketika mengatakan cinta musti dibarengi dengan perjalanan pemahaman sebagai nyawa persembahan seperti dalam ayat IV surat Muqaddimah.

Ikhlasnya dalam pengorbanan, melepaskan segala kepentingan yang mengunsurkan talian erat pada dunia. Dia hanya rasa untuk mencintai, yang entah dalam kadar memberi atau kadar menerima. Panjangnya dan beratnya perjalanan cinta akan membawa kekuatan serta maknanya sendiri, membuat setiap kita mendaki keluhuran jiwa yang melewati kedudukan Malaikat (Ruhaniyyuun).

Muqaddimah; Waktu Di Sayap Malaikat memiliki bangunan struktur makwani yang indah. Membawa audiens untuk berusaha keras menilik ke dalam diri. Melepaskan ego kebenaran sendiri untuk terus menerus berjalan di jalan rasa sebagai jalan hidup. Jadi, seperti dalam pandangan hidup masyarakat Jawa, manusia saat ingin mencapai pengalaman puncak religius beserta keluhuran tidak perlu keluar dari diri sendiri (Beatty, 2001: 224). Pengetahuan tentang diri, biasanya didorong kehendak dari cinta yang menghasilkan kerendahan diri. Hal ini cukup tersembunyi. Entah sengaja disembunyikan oleh NJ atau secara tidak sengaja termaktub di dasarnya tanpa pengetahuan si empu KPM, Nurel Javissyarqi.

Sebagaimana ilham dari para Malaikat (Ruhaniyyun), pengetahuan ini dibungkus dalam ayat VIV yang secara gamblang membawa pada hukum tua:

Tubuh letih mata senja setajam pandangan arif menakar peristiwa,
segenggam benih pada, senyum taburan suci para petani [XIV]

Baris pertama di ayat tersebut, menghadirkan nuansa “senja” serta “tubuh letih” yang berisyarat telah dilaluinya tapak laku yang panjang. Waktu yang tidak singkat dalam pengembaraan, dari muda ke masa tua. Simbolisme yang dibangun mengklaim soal kearifan yang dimiliki orang tua. Nah, orang tua di sini pun akhirnya membawa pada dua pengertian baru. Orang yang sudah berumur tua yang sudah makan banyak garam dunia, atau orang tua yang dikurung tanda kutip. Dua kriteria ini memiliki esensi yang sungguh berbeda jauh. Kalau orang tua karena tingkatan umur, membutuhkan adanya proses yang kedatangannya dapat ditunggu. Lain halnya dengan orang tua dikurung tanda kutip, dia bisa saja anak muda namun dengan usaha keras menjalani ritme pengetahuan yang dibutuhkan. Orang tua belum tentu menjadi orang tua (Wong Tua) dan yang muda tidak menutup kemungkinan mencapai taraf Wong Tua tersebut.

Keterkaitan struktur simbol antara tubuh letih dan (mata) senja) yang menuju pada kebijaksanaan dapat ditemukan dalam ayat “walaupun air laut berselimutkan kain sutra angkasa jiwa [XI]” oleh NJ, disimbolkan kembali dalam irama “segenggam benih pada [XIV]”. Tanaman satu ini tumbuh di lingkup masyarakat Jawa yang mengandung unsur kehidupan yang tinggi. Padi, kalau berisi dia akan menunduk, rendah diri, lain halnya apabila gabug, tidak berisi, batangnya akan tegak berdiri menantang langit.

NJ mungkin saja terlupa, kalau tidak setiap (mata) senja atau umur yang tua membuahkan kebijaksanaan. Akantetapi, NJ langsung menisbatkan nilai akan “tua” ini pada kaum petani. Golongan masyarakat yang terus berkurang peminatnya (ketimbang menjadi PNS), menjadi figur bagi manusia bijaksana. Mungkin, hal ini dipahami dari konsep laku hidup para petani itu sendiri. Membicarakan KPM, seperti yang sudah saya ungkapkan dalam tulisan “Membaca Kulit Luar Kitab Para MalaikatNurel Javissyarqi” bahwa sama dengan menelusuri kehidupan batin (dan juga mistis) masyarakat Jawa. Dengan demikian, kita dapat melihat simbol petani, sebagai golongan masyarakat pertama yang sering disebut dengan “abangan”. Petani (adalah) sebagai abangan yang menjalankan laku hidup Islam Kejawen (Koentjaraningrat dalam Magnis-Suseno SJ, 1985: 13).

Islam Kejawen (sebut juga Agami Jawi) sebagai agama dan juga pandangan hidup masyarakat petani, yang merupakan golongan masyarakat tradisional. Petani sebagai masyarakat tradisional karena kepercayaan dan perjalanan batin (spiritual) masyarakat Jawa telah berkombinasi antara kepercayaan masyarakat, Hindu-Budha, dan Islam yang sudah dijawakan. Hal ini sudah menjadi ciri khas kebudayaan Jawa yang cenderung menyaring kebudayaan luar untuk dijawakan (Magnis-Suseno SJ, 1985: 1).

Petani, hadir sebagai pandangan hidup masyarakat Jawa yang mempercayai buah dari perilaku (perbuatan). Misalnya, apabila kita berbuat kebaikan, maka kita pun akan memanen kebaikan. Keadaan ini sering muncul dalam ungkapan masyarakat Jawa yang saya kutip bebas, “Ngunduh wohing pakarti” yang dapat dimungkinkan sebagai hasil serapan dari kebudayaan Hindu-Budha mengenai hukum karma.

Prinsip kebijaksanaan petani yang dihadirkan NJ dalam Surat Muqaddimah, mengarahkan individu pada refleksi diri, seperti ungkapan dalam Dhammapada V (Narada, 1996: 93) di bawah ini:

“Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
oleh diri sendiri seseorang dicemari,
oleh diri sendiri kejahatan tidak dilakukan,
oleh diri sendiri seseorang disucikan.
Baik kekotoran maupun kesucian bergantung pada diri sendiri.
Tak ada seorang pun yang disucikan oleh orang lain.”

Kegiatan bercocok tanam (petani) mengetengahkan pandangan hidup yang sederhana namun mampu menghindarkan manusia dari penderitaan. Pandangan hidup tersebut, mungkin dijawakan oleh masyarakat Jawa dari ajaran Samyutta Nikaya (Narada, 1996: 87) yang mengungkapkan bahwa, “Sebagai benih yang kau tabur demikian pula akan kau petik buahnya”.

Pandangan hidup yang mengedepankan nilai (serapan dari) dunia petani juga mendapatkan pengaruh (katakan juga sebagai penegasan) dari ajaran Islam yang sudah termodifikasi di Persia dan India. Tabur-tuai, begitu garis besar pandangan hidup ini, banyak terdapat dalam khasanah Islam. Untuk mendukung gagasan ini, saya mencoba mengambil contoh, sabda Nabi SAW (Al-Qasimi, 2010: 342) yang mengungkapkan nilai timbal balik, yaitu “Sesungguhnya orang yang tidak menyayangi, maka tidak akan disayangi.” Sabda Nabi SAW ini menyiratkan arti pentingnya peran individu dalam merasakan akibat. Harus ada sebab untuk mencapai akibat, dan sebab ditentukan oleh diri sendiri sebagai subjek utama. Firman Allah dalam surat Ar Ra’d ayat 11, yang menyatakan bahwa “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kalau kaum itu sendiri tidak mau merubah nasibnya” merupakan penegasan utama dalam gagasan ini.

Sepintas, melihat nilai universal yang tertuang dalam simbol ini memberikan pengalaman pada penulis, bahwa hukum petani memiliki keuniversalan nilai kebijaksanaan untuk manusia dalam menjalani hidup. Hakekat hidup dari masyarakat Jawa, yang dituangkan NJ menawarkan kearifan mencerahkan. Mendewasakan jiwa karena mampu menjadi makanan hati bagi individu yang memahami. Surat Muqaddimah menumbuhkan pengertian yang menuntun pembaca pada klimaks, khatarsis dipenuhi dengan baik. Demikian, pembaca dapat meraih “Hadiahkan bulir-bulir jagung dari keranjang emasmu … [XV]”.

Ayat selanjutnya memberikan gambaran dalam nuansa baru. Ini, yang mungkin menurut Marhalim Zaeni (Javissyarqi, 2006: 473) yang disebut sebagai “… lompatan-lompatan makna dalam bahasa yang berguling-guling, ada jerit dari jerih kata yang diperas berulang-ulang, ada laut yang saling berbalik arah debur ombaknya.” Sebelum menyempatkan diri menjajaki ayat selanjutnya, saya ingin mengetengahkan lompatan-lompatan pikiran itu. NJ, awalnya memasang padi dan petani, namun, makna petani pun disusupi dengan jagung yang menggandeng kalimah pengembaraan.

Kita bisa melihat pada ayat XVI surat Muqaddimah berikut:

Membasuh kaki-kaki kembara ke makam para wali,
Ada teratai bermekaran dalam bentangan waktu petang hari,
Malamnya purnama siangnya menutup kelopak-kelopak penuh rahasia [XVI]

Melalui ayat ini, adanya penegasan akan pengembaraan dari tanah suci ke tanah suci lainnya. Perjalanan yang pada akhirnya membawa pada penemuan akan keindahan. Manifestasi keindahan yang dihadirkan oleh pengalaman masa lalu dari para Wali yang saat ini telah menjadi pepunden. Pemujaan dan cinta kasih akan ajaran manusia bijak. Di langkah pengembaraan mengunjungi orang-orang mati, NJ menemukan makna tersendiri. Pun, di sana, pada wilayah yang sering dianggap sebagai akhir dari kehidupan, NJ menghisap aroma kesucian makna atas kehidupan itu sendiri yang hadir bersamaan dengan kesempurnaan cahaya (akhir).

Ayat XVI surat Muqaddimah menyuguhi kita dengan simbolisasi dari bunga Teratai yang dapat dimaknakan sebagai kesucian jalan (dan maupun tujuan). Teratai yang berpadu dengan purnama, bulan di tanggal 15 dalam penanggalan Jawa (malam) yang dapat dimaknai sebagai kesempurnaan. Teratai dan rembulan dalam perjalanan ziarah, sebagai simbolisasi pembukaan akan rahasia. Nur ilahi, yang entah berupa wangsit (baca: bisikan) yang hanya akan di dapat di waktu malam.

Perjalanan malam di mana di dalam suatu riwayat yang tersebar dari mulut ke mulut, di katakan sebagai jalan dalam mencapai derajat tinggi di dunia dan alam selanjutnya. Masyarakat Jawa, mengenal istilah tirakat, yang disinggung dalam ayat V surat Muqaddimah, yaitu sebagai jalan tapa brata untuk mengurangi tidur demi mendapatkan wahyu. Hal ini biasanya dilakukan di malam hari, dimana, menurut kepercayaan masyarakat Jawa, malam hari sebagai waktu yang heneng (diam) yang dipenuhi dengan wening (kejernihan). Di saat seperti ini juga, menjadi waktu bagi para Malaikat (Ruhaniyyuun) untuk turun ke bumi dalam rangka mencatat manusia yang mencintai Keluhuran (Hidup atau Urip), dan menebar pengetahuan (wahyu atau pertanda) serta rahmat.

Apabila kita membandingkan dalam pemikiran sejarah ajaran Islam, malam hari juga menjadi malam yang sakral untuk beribadah. Ajaran Islam mengetengahkan ibadah di malam hari yang sering disebut dengan Qiyamullail yang di dalamnya terdapat berbagai manfaat. Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk menjalankan Qiyamullail yang ada dalam Surat Al-Furqan ayat 64, “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka”. Pun, kita bisa melihat bagaimana Allah SWT memperjalankan Nabi SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha waktu malam hari.

Perjalanan malam yang dapat juga disebut dengan tirakat adalah perjalanan beribadah. Perjalanan ini tentu saja berbeda dengan perjalanan kencan semalaman atau perjalanan rombongan anak muda dalam arakan motor panjang yang sok-Mbois. Perjalanan, yang lebih pada penyelaman ke dalam diri demi mencapai pemahaman dan pengertian akan hakikat kehidupan. Kegiatan merasuki diri sendiri ini dapat dipastikan adanya kehendak sebagai dasar dari laku atas pelaksanaan dari doa, cinta, dan juga sembahyang.

Jarak yang ada di antara diri (individu) dengan pemahaman hakekat kerahasiaan yang tersembunyi dan biasanya terungkap di malam hari. Melakukan perjalanan ini akan membuahkan buah nikmat dari prihatin (menjalani kesusahan), harus ditempuhi bersama yakin dan ketulusan dalam kesabaran yang penuh. Hingga, sang NJ pun menulis demikian:

Memindahkan rasa sakitmu dari tangan alam ke titian waktu,
serpihan cahaya langit membatu granit, serupa butiran garam
dihempaskan ombak ke bunga karang berulang-ulang [XVII]

Niat yang sudah diungkapkan dalam ayat V surat Muqaddimah ini membuat seorang pejalan harus rela untuk tidak menghiraukan sakit saat terpaksa berhadapan dengan diri sendiri. Masa bertirakat (dalam ayat V) yang (mungkin) adalah perjalanan panjang membuatnya tertatih sendirian. Si pejalan ini hanya memiliki pengetahuan sebagai bekal yang dimunculkan dalam simbol serpihan cahaya langit dan butiran garam, pun berpapasan dengan gelombang. NJ (sang pejalan) di sini, mungkin saja sadar diri kalau dirinya manusia biasa, hawa nafsu dan rasa cinta pada dunia menjelma menjadi ombak dan bunga karang yang hampir saja (mungkin sudah) mengalahkan dirinya.

Hal musabab yang perlu ditilik lebih dalam adalah nuansa batin yang ada di sana. Pejalan (manusia) yang bertekat bulat sampai menemukan sucinya kesempurnaan, masih terpeleset di getir hawa nafsu sendiri. Lalu, bagaimana NJ menulis panjang lebar kalau, toh, dirinya sendiri berjatuhan di sana, setelah ilmu semasa pengembaraan dikalahkan (dihancurkan) sendiri? Ini bisa saja menjadi nasehat untuk kita (dan tentu saja untuk NJ sendiri) bahwa di dalam diri manusia ada musuh (serta kawan) yang perlu dicurigai.

Melepaskan halaman pertama dicerna pikiran, saya memberanikan diri untuk membuka lembaran setelahnya. Di sini, terjadi lompatan pemikiran kembali. NJ meresapkan simbil dan menghiaskan bunga Wijayakusuma pada bangunan struktur maknanya. Perjalanan yang menurut saya, jauh merasuk ke dalam sendi-sendi kebatinan masyarakat Jawa. Bagaimana NJ memandang bunga Wijayakusuma ini, yang dalam penciuman sepintas sebagai syarat seorang Ratu Adil. Pun, NJ menghadirkan sosok Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu manusia se-Jawa.

Nurel Javissyarqi membingkaikan mimpi tua atas hijrahnya masyarakat yang penuh dengan kekacauan dan penderitaan dalam masa pageblug, dilangkahkan ke titian menuju ke tatanan yang diidamkan. Hidup manusia yang dipenuhi berkah dalam situasi yang selamat dan sejahtera. NJ, memberikan hubungan yang cukup jelas antara bunga Wijayakusuma dengan kehadiran Ratu Adil dalam ayat XVIII surat Muqaddimah. Akhirnya, saya mengheneng dan mengheningkan pikiran untuk sejenak. Membayangkan mimpi kami (manusia Jawa) menyoal kedatangan Ratu Adil. Dia (Ratu Adil) sosok pemimpim yang mendapatkan petunjuk Allah dalam kerja pemerintahannya untuk membawa seluruh manusia dalam kesejahteraan, yang seperti diramalkan Raja Jayabaya dari Kediri (Yoedoprawiro, 2000: 57-58).

Ratu Adil, sebagai mimpi kolektif masyarakat Jawa, oleh NJ dikatakan bahwa kedatangannya dibarengi dengan bunga Wijayakusuma yang merekah. Saya terhenyak, keluar rumah dan mencari bunga Wijayakusuma itu, mengamati daunnya namun saya tidak mendapatkan pengertian akan Ratu Adil. Wijayakusuma sebagai syarat penobatan yang akhirnya dapat direngkuh sebagai pemahaman atas tingkatan kemampuan seseorang dalam menjadir raja. Tingkatan ini bisa disebut sebagai kriteria akan kemampuan yang harus dipenuhi.

Ayat XVIII dalam Muqaddimah ini memiliki hubungan dengan sejarah keyakinan masyarakat Jawa. Apabila sosok Ratu Adil adalah seorang penguasa Tanah Jawa, maka bunga Wijayakusuma adalah sosok pribadi dan laku dari penguasa tersebut. Hal ini dapat kita lihat lebih jauh di dalam Serat Centini yang menceritakan bagaimana Raja Kresna melabuh Wijayakusuma untuk menjadi bekal bagi seorang penguasa (Ranggasutrasna dkk, 1992: 11-12).

Manfaat Wijayakusuma ini masih tersembunyi di dalam KPM. Mungkin, NJ ingin menjadikan setiap pembaca KPM sebagai pengelana sebagaimana sosok NJ sendiri. Dalam ayat XX, tabir misteri itu sedikit dibuka dalam nuansa tersendiri, sebagai berikut:

Dasarnya sakit ada tombonya, sejengkal air bengawan mengaliri mata kaki,
menikmati tapakan melangkahi bencah membaca peta pesisir,
menjelma tarian pulang berjejak makna peristiwa sejarah [XX]

Suka atau tidak, NJ benar-benar memaksa kita untuk menjadi pengelana. Lewat lompatan pikiran yang sungguh mengagetkan ini, NJ merasuki jiwa yang tadinya diam untuk bergejolak dan mengikuti rasa hati. Di ayat XX surat Muqaddimah ini, kita musti kembali pada Wijayakusuma. Mengurai putihnya kelopak, daun serta batang yang menjulur. Lalu, apa yang sebenarnya akan kita cari untuk memahami ayat XX surat Muqaddimah ini? Menurut hemat saya, NJ membangun struktur tanda yang bertujuan untuk mengingatkan kita agar tidak melupakan jati diri, atas asal-muasal tanah kelahiran (Hidup). Di setiap tanah yang menjadi tempat tertumpahnya darah, ada jalan lain yang dapat membawa kita pada kesempurnaan.

Lalu, kenapa saya masih saja menyarankan agar terus mencermati Wijayakusuma sampai ke dalam? Cerita masa lalu (sejarah dan bisa saja dongeng) yang bersemayam di tanah ini, maksud saya adalah Jawa, dapat dijadikan sebagai uraian akan jawaban. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana NJ menghadirkan semangat dan mimpi akan Ratu Adil yang diramalkan Jayabaya. Kita juga mendapati semangat untuk membacai lembaran kitab lama demi meraih syarat pemahaman akan bagaimana sebenarnya hakekat seorang raja. Wijayakusuma untuk mengobati luka hati yang merebak (Ranggasutrasna dkk, 1992: 12), air bengawan sebagai laku pengetahuan kalau sungai menuju pada muara laut yang lapang menerima segala tanpa membedakan dan mencaci. Tarian pulang menjabarkan mengenai ajakn untuk mencermati hati sendiri, dan kemudian sejarah membawa kita pada pengolahan rasa akan asal-muasal kehidupan. Sejarah yang dalam ayat XX surat Muqaddimah KPM lebih menjorokkan pengertian pada hakekat kehidupan manusia, seperti dalam pandangan hidup masyarakat Jawa mengenai: “Sangkan paraning dumadi.”

Menilik sejarah sangkan paraning dumadi yang dapat diuraikan sebagai dasar atas perjalanan batin manusia dalam usaha memahami asal kehidupan itu sendiri. Konsep ini, menurut Maqnis-Suseno (1985: 117), sebagai inti dari spekulasi kegiatan mistik masyakat Jawa (Agama Jawi), yang mana memiliki tujuan untuk mencapai kesatuan antara mati di dalam hidup dan hidup di dalam mati. Menjalani laku dalam usaha memahami sangkan paraning dumadi, berarti melakukan perjalanan batin tingkatan spiritual yang paling tinggi. Keadaan ini, yang oleh NJ, dituang dalam ayat XXI surat Muqaddimah di bawah ini:

Mengagungkan rahmatNya sejauh menimba sumur terdalam,
jikalau bersemedi di dalam gua nurani [XXI]

Menjalani laku untuk mencapai sangkan paraning dumadi akan mengajak manusia mencapai pemahaman akan hidup, dimana terjadinya penyatuan yang materi dan yang batin. Dalam konteks ini, seringkali disebut sebagai proses penyatuan antara Tuhan dan hamba. Memahami untuk mengerti (ngerti dalam bahasa Jawa) karena sebagian manusia Jawa menyatakan kalau sebenarnya Tuhan tidak dijumpai di Mekah, melainkan dalam batin sendiri (Mulder, 1984: 24). Usaha yang perlu dilakukan untuk mencapai kemanunggalan ini, seperti kata Mulder di atas bahwa, Tuhan ada di dalam hati, maka manusia (Jawa) harus memahami keberadaan diri sendiri. Pencapaian ini terlebih dahulu perlu memahami nilai dari sangkan paraning dumadi, sebagai pengetahuan mengenai manusia (Beatty, 2001: 268).

Tujuan ini, jelas menuntut untuk menjalankan etika kebatinan, yang oleh Mulder (1984: 39), disebutkan sebagai “Sepi ing pamrih, rame ing gawe. Memayu hayuning bawana.” Ayat XXI surat Muqaddimah juga mengandung unsur ini. Benar-benar membentangkan aspek pemaknaan atas simbolisme yang NJ bangun bersamaan dengan aura jalan kebatinan Jawa. Tentu saja, ini sebagai hasil yang bukan karena faktor kebetulan, melainkan tumpukan dari kerja keras yang terarah karena laku yang dijalankan.

Tapak perjalanan batin masyarakat Jawa yang (sepertinya) telah dilalui NJ membawa pada penyaksian yang termaktub dalam ayat XXII surat Muqaddimah. Atas penyaksian itu, NJ memberikan pemastian dengan ayat XXIII dan XXIV surat Muqaddimah. Sampai pada ayat XIV surat Muqaddimah ini, NJ menjabarkan pada kita mengenai ruang batin yang selama ini mendarah daging dalam kehidupan (masyarakat Jawa).

Muqaddimah; Waktu Di Sayap Malaikat, mungkin saja sebagai gambaran keseluruhan atas Kitab Para Malaikat yang terdiri dari 20 Surat (judul). Perempuan, seperti dalam surat Membongkar Raga Padmi juga dibahas di sini. Penjelmaan sosok pendamping kaum Adam yang sungguh kharismatis, sekaligus misterius akan memancing setiap kita untuk bertanya. Atau mencari tahu sendiri tentang peran perempuan dalam “Hikayat di bawah sadar penciptaan [XXVI]” maupun sesuatu “yang mengalir di bawah hati senantiasa berabadi [XXVII]”. Kemisteriusan dalam bingkai penuh pesona itu yang mungkin saja mendorong NJ untuk berkelana (kalau tidak boleh dikatakan berburu) medan keperempuanan.

Sejauh apa pun kita mencoba menyisik babak akhir dari surat Muqaddimah ini, melulu kita akan menemukan aroma cinta. Aroma yang entah untuk diri sendiri, Nabi, Katuhanan, atau pada jalan hidup itu sendiri. Cinta hadir dalam berbagai macam produk, kalau dimisalkan meja makan, di sana akan kita temui nasi cinta, es cinta, air minus cinta, sayur cinta dan sederet yang lain dalam aneka produk dan rasa.

Lalu bagaimana cinta di dalam KPM dan kehidupan itu tersuguh untuk kita? Pun, NJ telah menjawabnya, seperti yang dia tuliskan di ayat terakhir: Ragamu menghantui, tekatmu berjembatan, ia di sisihmu disetiap engkau rebah [XXXIX].

Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 22 Desember 2010.

Selasa, 21 Desember 2010

Puisi-Puisi Zawawi Se

http://sastra-indonesia.com/
Memandangmu dari Sisi Benakku

melihatmu dari sisi benakku
diantara cahaya mata terpaku
juga pada redup matamu
temaram siluetmu
di antara celah-celah bidai bambu
membayang samar pada pagar
mengisahkan kedalaman duka
atau rasa rindu yang masih tersisa
memisahkan antara benar dan alpa
dalam jazirah perjalanan luka

engkau berdiri menepi
mungkin itu sebuah isyarat
engkau telah jenuh menanti
atau telah tak ada arti
ribuan jarak yang terlewati
entah apa yang engkau cari
diantara beribu ujung argumentasi
mungkin mempertahankan eksistensi

tak ada warna abu-abu di langit kita
karena Tuan kita hanya memberi
dua warna antara mawar atau melati
yang tertanam pada masing-masing hati

Semarang, 20 November 2010



Bacalah

“bacalah,” begitulah ungkap-Mu yang paling romantis itu dan semua seperti tersihir untuk menyitir dan mengungkapkannya.
lalu kami pun menjadi mahir untuk membaca dan meneriakkannya. namun kami hanya pandai membaca aksara-aksara yang ditulis oleh para tetangga, sedangkan ketika membaca huruf-huruf yang kami gores ke dada sendiri, kami menjadi gagu dan alpa.

Sidomoro, 18 November 2010



Haruskah Engkau

haruskah engkau memenuhi rongga batinku
menyita hampir-hampir seluruh ingatan
menjadikannya seperti sejenis rindu

haruskah engkau mengisi kota hatiku
memenuhi hampir-hampir seluruh ruang kosongnya
dengan baris-baris namamu

ya hanya namamu
teringat olehmu seperti mengenang derita purba sebuah kota
orang-orangnya tertawan berbagai derita dan senjata

lalu tiba-tiba orang-orang itu menjelma menjadi hatiku
sedangkan senjata itu adalah namamu
mungkin juga senyummu

engkau tak kan pernah tahu di mana letak derita
karena aku telah menyimpannya
di dada

Sidomoro, 10 November 2010



Apa Kabar, Pagi?

apa kabar, pagi?
di tengah-tengah hiruk pikuk
debu-debu industri
masih sempat ku dengar
Engkau bernyanyi
pada pokok-pokok dedahan
dan reranting sunyi

Sidomoro, 8 November 2010



Pantun Rindu

patuh dalam didih dadaku
jatuh dalam pedih batinku
menyimak amsal sendu tak diam-diam
gelegak magma rindu tak padam-padam

Sidomoro, 19 November 2010



Angin Pagi

angin pagi menyeret anganku kepadaMu dalam iringan orkesta tubuh yang rapuh.

Estetik Sajak Syaiful Anam Assyaibani

Imamuddin SA
http://sastra-indonesia.com/

dengan bismillah segala pintu kan terbuka
mengajarkan degup jantung mengeja langkah
atas nama cinta

Ada dua hal yang memengaruhi perkembangan pribadi seorang manusia. Dua hal itu yaitu bakat dan lingkungan. Bakat mengarah pada suatu pembawaan sejak lahir. Sedangkan lingkungan merupakan stimulan dalam merangsang bakat sebagai kesempurnaan perwujudan. Ibarat tanaman yang berkuncup dan pada suatu ketika akan merekah berbunga bahkan menyembulkan wewangi khasnya.

Salah satu bakat yang dimiliki oleh seorang manusia yaitu kemampuan untuk berbahasa. Secara normal, semua orang yang dilahirkan ke dunia, kemampuan berbahasa menjadi bekal pokoknya. Hal itu menjadi sarana dalam mengembangkan potensi kepribadiannya yang lain. Tinggal di mana orang tersebut berada, maka bahasa yang terbentuk adalah sesuai dengan lingkungannya.

Yang berkaitan dengan bahasa dan merupakan sebagian bentuk dari pengembangan kemampuan berbahasa adalah sastra. Dalam mencipta karya sastra konstruksi bahasa tidak akan terlepas darinya. Bahasa sastra merupakan bahasa pengembangan pribadi manusia yang berkonotasi pada nilai estetis. Bahasa ini pada dasarnya dibentuk sama dengan bahasa-bahasa pada umumnya, yaitu melalui proses interaksi dengan lingkungan yang bertumpu pada pembawaan.

Seseorang menuturkan bahasa disebabkan oleh adanya wacana lingkungan, baik lingkungan fisik maupun psikis. Lingkungan itulah yang menjadi media pemicu akan hadirnya ujaran bahasa termasuk sastra. Orang tersebut bermaksud ingin menyampaikan pesan tertentu atas fenomena yang telah ditangkapnya. Oleh sebab itulah, estetika bahasa dalam sastra merujuk pada dua hal yaitu estetika struktural dan estetika semiotik. Estetika struktural (puisi) diwakili dengan adanya perwujudan nilai puitis yang berhubungan dengan diksi, rima, irama, aliterasi, asonansi, permajasan, persajakan, enjambemen, tipografi. Estetika semiotika berorientasi pada makna dan nilai-nilai yang hendak disampaikan pengarang melalui karya sastra yang diguratnya.

Untuk mencapai kedua estetika tersebut, seorang pengarang tidaklah sertamerta atau spontanitas menggenggamnya. Seorang pengarang harus menempuh proses tertentu dalam menggauli dan mengintimi sastra. Proses tersebut dapat ditempuh dengan dua jalan, yaitu menghujani pikiran dengan bacaan-bacaan dan bertukar pikiran atau bertukar pengalaman dengan kawan yang sama-sama gandrung dengan sastra. Kedua hal itu tentunya tidak terlepas dari faktor lingkungan juga. Sebab fenomena lingkunganlah yang mengilhami akan hadirnya sebuah karya dari pribadi seseorang.

Kedua estetika di atas pada gilirannya akan menjelma sebagai suatu kekuatan yang sungguh luar biasa dalam karya sastra. Dapat dikatakan bahwa dua hal itu seiring sejalan. Yang satu sebagai jasad dan yang lainnya sebagai ruh. Jasad tanpa ruh maka tak ada kehidupan. Ruh tanpa jasad maka tak tampak jejak keberadaannya.

Dalam puisi Indonesia mutakhir, pemanfaatan estetika struktural tidak diterapkan secara total. Seorang penyair kadang kala hanya menyematkan beberapa bagian saja. Misalnya hanya ada yang menyematkan konstruksi majas dan mengabaikan rima, asonansi, aliterasi, dan lain-lain. Hal itu sangatlah wajar sebab yang dijadikan patokan dalam perpuisian adalah nilai rasa dan selera pengarangnya. Oleh sebab itulah, bentuk puisi yang hadir di kalangan pembaca selalu berubah-ubah dalam setiap zamannya. Entah selera apa lagi yang akan melingkupi puisi Indonesia mendatang. Kita nantikan tanggal mainnya. Semoga kita jeli dan arif dalam mengantongi perkembangan zamannya.

Tengok saja dua puisi Saiful Anam Assyaibani berikut yang secara bentuk memiliki satu perbedaan. Padahal itu hanya berselang dua tahun saja. Dan perbedaan itu tentunya dipengaruhi oleh selera pengarang guna menciptakan suatu tampilan yang baru dalam karyanya. Biar sajak tampak terlihat segar. Namun perubahan dan perbedaan bentuk itu bisa jadi mengarah pada satu usaha pencarian karakter karya yang pasti sebagai ciri khas penyair itu sendiri. Baik secara estetika struktural maupun estetika semioik.

LAKILAKI TAK BERNAMA

lakilaki tak bernama itu berjalan sepanjang jalan raya
hidup dan mati sepanjang jalan raya
ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut
saat bayangbayang matahari jatuh
di lengkung langit utara
ia menggiring senja ke ujung paling sudut
takdir hidup ini

lakilaki tak bernama itu
khusyuk, membaca semburat waktu
membaca perubahan cuaca
yang berpendar di belantara sunyi
ingatan
cinta dan kegelisahan

lakilaki tak bernama itu
mengukir sejarah tubuhnya sendiri
menjadi gelombang gelap
menjadi hujan yang tak henti meneteskan luka

lakilaki tak bernama itu
menyeretku ke dasar laut
tak bernama…

Lamongan, 2008


LAGU SURGA

aku membaca surga di halaman matamu
kutemukan seayat sungai mengalir bening

tak bisa kutolak khuldi menggantung ranum di dadamu
dan kita menikmatinya dalam hentian waktu
yang merampas keabadian.

Lamongan, 2008


JALAN KETIADAAN

bacalah maktab tubuhmu
dan kau kan temukan
BETAPA RAPUH PERJALANAN SETAPAK MENEMU DIRI
BETAPA TUBUH HANYA SEMACAM RANJANG KUMAL
tempat terlelap dalam fana

maka mengeranglah dalam kasidah doadoa
biarkan ia membakar rasa bersalah
kepada jalan ketiadaan yang pernah kau lewati
murnikan dalam sungai
tubuhmu yang mengalir
hingga kau lihat dasar
di pedalaman dadamu

adalah ziarah dalam diri
simpuh sepi dalam ketakterhinggaan waktu
pengembaraan sesaat
dalam isyarat beribu rindu
dalam bismillah.

Lamongan, 2010

Tiga sajak di atas tipografinya memiliki konstruksi bentuk yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada penulisan huruf kapital pada sajak Jalan Ketiadaan. Penyair selain berusaha menciptakan stile bentuk yang baru dalam karyanya, penulisan tersebut dapat berupa suatu tindak penegasan atau penekanan esensi dasar sajaknya. Nilai yang terkandung dalam ujaran yang tercetak kapital menjadi poros utama pesan yang hendak disampaikan kepada pembaca. Penyair berusaha memberikan penekanan dalam bentuk kesadaran bagi pembaca melalui ujaran kapital tersebut.

Dalam ranah kepenulisan, konsistensi karya itu penting. Hal itu disebabkan oleh adanya tindak pengaruh pemahaman terhadap karakteristik pengarang. Jika perubahan-perubahan bentuk tersebut dilakukan secara serampangan oleh penyair, itu dapat menjadikan sesuatu yang kurang baik bagi keberadaan karya dan penyairnya. Berbeda lagi jika itu dilakukan secara berkala atau dalam kurun waktu tetentu, ini dapat menjadi kekuatan yang dahsyat yang mampu mewarnai khasanah kesusastraan yang ada.

Jika diuraikan lebih panjang, secara keseluruhan sajak di atas tidak memanfaatkan estetika struktural yang berupa rima. Hal itu tampaknya dilkukan oleh penyairnya sebagai usaha penyelarasan selera perpuisian Indonesia mutahkhir yang bersifat sedikit longgar dengan aturan-aturan kepuitisan yang ada. Meskipun demikian, penyir masih menyematkan kostruksi estetika struktural yang lain yang berupa asonansi, aliterasi, citraan, dan majas. Entah itu dilakukan secara sengaja atau tidak oleh penyairnya. Yang jelas konstruksi tersebut telah hadir dalam sajak.

Aliterasi tampak pada sajak Lakilaki Tak Bernama yang ditandai dengan ungkapan “ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut” dan “ia menggiring senja ke ujung paling sudut”, pada sajak Jalan Ketiadaan : “maka mengeranglah dalam kasidah doadoa”. Asonansi terdapat pada sajak Lakilaki Tak Bernama : “membaca perubahan cuaca”, sajak Lagu Surga : “aku membaca surga di halaman matamu”, sajak Jalan Ketiadaan : “beribu rindu”.

Citraan juga tersematkan dalam tiga puisi di atas. Citraan penglihatan terdapat pada sajak Lakilaki Tak Bernama : “ lakilaki tak bernama itu berjalan sepanjang jalan raya // hidup dan mati sepanjang jalan raya // ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut // saat bayangbayang matahari jatuh // di lengkung langit utara (bait 1), lakilaki tak bernama itu // khusyuk, membaca semburat waktu // membaca perubahan cuaca // yang berpendar di belantara sunyi (bait 2), menjadi gelombang gelap // menjadi hujan yang tak henti meneteskan luka (bait 3)”. Pada sajak Lagu Surga : aku membaca surga di halaman matamu // kutemukan seayat sungai mengalir bening (bait 1), tak bisa kutolak khuldi menggantung ranum di dadamu (bait 2)”. Pada sajak Jalan Ketiadaan : “murnikan dalam sungai // tubuhmu yang mengalir // hingga kau lihat dasar // di pedalaman dadamu (bait 2)”.

Citraan gerak terdapat pada sajak Lakilaki Tak Bernama : “lakilaki tak bernama itu berjalan sepanjang jalan raya // hidup dan mati sepanjang jalan raya // ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut // saat bayangbayang matahari jatuh // di lengkung langit utara // ia menggiring senja ke ujung paling sudut // takdir hidup ini (bait 1), lakilaki tak bernama itu // mengukir sejarah tubuhnya sendiri // (bait 3), lakilaki tak bernama itu // menyeretku ke dasar laut // tak bernama… (bait 4)”. Pada sajak Lagu Surga : “kutemukan seayat sungai mengalir bening (bait 1), yang merampas keabadian (bait 2). Pada sajak Jalan Ketiadaan : “BETAPA RAPUH PERJALANAN SETAPAK MENEMU DIRI (bait 1), biarkan ia membakar rasa bersalah (bait 2), tubuhmu yang mengalir (bait 2), adalah ziarah dalam diri (bait 3), pengembaraan sesaat (bait 3)”.

Citraan perasaan terdapat pada sajak Lakilaki Tak Bernama : “yang berpendar di belantara sunyi // ingatan // cinta dan kegelisahan (bait 2), menjadi hujan yang tak henti meneteskan luka (bait 3). Pada sajak Jalan Ketiadaan : “biarkan ia membakar rasa bersalah (bait 2), simpuh sepi dalam ketakterhinggaan waktu (bait 3), dalam isyarat beribu rindu (bait 3)”. Citraan pendengaran pada sajak Jalan Ketiadaan : “maka mengeranglah dalam kasidah doadoa” (bait 2). Adapun citraan pikiran terdapat pada seluruh sajak Lagu Surga yang berkonotasi pada tragedi Adam dan Hawa saat melanggar larangan Tuhan agar tidak memakan buah khuldi yang menyebabkannya terusir dari keabadian surga hingga berada di bumi. “tak bisa kutolak khuldi menggantung ranum di dadamu // dan kita menikmatinya dalam hentian waktu // yang merampas keabadian (bait 2).

Majas yang disematkan juga terdapat majas metafora. Dalam sajak Lakilaki Tak Bernama, Tuhan diibaratkan sebagai laut, yaitu sosok tanpa batas yang tak bermula dan tak berakhir: “ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut” (bait 1). Hari tua atau usia tua dimetaforkan dengan senja : “ia menggiring senja ke ujung paling sudut” (bait 1). Perjalanan dan prahara hidup yang suram dimetaforkan dengan delombang gelap : “menjadi gelombang gelap” (bait 3). Perjalanan dan prahara hidup yang penuh dengan keterpayahan dimetaforkan dengan hujan yang tidak pernah berhenti meneteskan luka : “menjadi hujan yang tak henti meneteskan luka” (bait 3). Perenungan, pemahaman, serta pengetahuan yang luas dan mendalam serta penuh misteri dimetaforkan dengan dasar laut yang tak bernama : “lakilaki tak bernama itu // menyeretku ke dasar laut // tak bernama…” (bait 4). Pada sajak Jalan Ketiadaan, getar hati yang paling dalam dimetaforkan dengan sungai tubuh : “murnikan dalam sungai // tubuhmu yang mengalir // hingga kau lihat dasar // di pedalaman dadamu” (bait 2). Majas simile terdapat pada sajak Jalan Ketiadaan dengan membandingkan tubuh dengan ranjang yang kumal : “BETAPA TUBUH HANYA SEMACAM RANJANG KUMAL” (bait 1).

Ada satu hal yang sempat terasa sungsang dari sajak Jalan Ketiadaan. Hal itu mengarah pada penyematan satu diksinya, yaitu: “di pedalaman dadamu”. Kesungsangannya disebabkan oleh ketidakkoherensian dengan larik-larik sebelumnya. Pada larik sebelumnya, penyair menyematkan konstruksi kata dengan fenomena air. Akan tetapi pada penyematan larik “di pedalaman dadamu”, kata pedalaman seolah menggambarkan fenomena untuk kampung atau hutan. Lebih efektif dan koherennya jika disematkan kata “kedalaman” yang sama-sama memiliki konotasi fenomena air.

Dari sisi estetika semiotik, ada pesan yang sangat indah dan menyentuh melalui sajak tersebut. Pesan yang sangat kentara berorientasi pada nilai religius. Sajak di atas pada dasarnya tergolong dalam puisi lirik. Ini merupakan suatu luapan batin penyairnya atas pengalaman ruhaniah yang sangat dalam yang dipicu oleh fenomena lingkungan, baik lingkungan fisik maupun psikis.

Pada sajak Lakilaki Tak Bernama, hadirnya puisi ini diilhami dari suatu fenomena lingkungan yang ada di sekeliling penyair. Fenomena tersebut bersifat sederhana yang kadang kerap tak tersentuh oleh kebanyakan orang. Lakilaki Tak Bernama tampaknya diilhami oleh fenomena orang gila. Sang penyair menangkapnya sebagai ide dasar dalam sajaknya. Penyair yang notabenenya tidak mengetahui nama orang gila tersebut, kemudian menyebutnya dengan istilah laki-laki tak bernama.

Saat itu penyair menyaksikan keberadaan lelaki gila yang tengah berjalan menyusuri jalan raya. Lelaki itu dalam pandangan penyair adalah sesosok manusia yang pada akhirnya nanti menghabiskan masa hidupnya di sepanjang jalan raya. Ia tak memiliki tempat persinggahan dan tujuan hidup yang pasti. Ia melangkah sesuka hati tanpa memahami perjalanan yang ditempuhnya. Lelaki itu saat itu berjalan dari arah utara yang pada gilirannya nanti akan kembali kepada Tuhan pada usia tua. Ia melakoni kegilaannya hingga sampai batas usia yang paling akhir. Yaitu takdir kematian.

lakilaki tak bernama itu berjalan sepanjang jalan raya
hidup dan mati sepanjang jalan raya
ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut
saat bayangbayang matahari jatuh
di lengkung langit utara
ia menggiring senja ke ujung paling sudut
takdir hidup ini (bait 1).

Sungguh liar imajinasi penyair ketika memandang dan menyaksikan lelaki gila itu yang sedang berdiam diri di hadapannya. Kediamannya diimajinasikan oleh penyair sebagai usaha dalam memahami perjalanan waktu yang semakin bertambah sore dan perubahan cuaca saat itu dengan suasana hati yang sunyi. Tak ada seorangpun yang meemani dan memahami keberadaanny. Penyair mengimajinasikan lelaki itu tengah mengingat fenomena dan kenangan masa lalunya tentang cinta dan kegelisahan hati dalam menjalani realitas kehidupan yang menimpa dirinya. Berusaha memahami sebab musbab kegilaannya.

lakilaki tak bernama itu
khusyuk, membaca semburat waktu
membaca perubahan cuaca
yang berpendar di belantara sunyi
ingatan
cinta dan kegelisahan (bait 2)

Penyair kembali memahami bahwa lelaki gila itu dengan kegilaannya pada dasarnya telah membuat sejarah hidupnya sendiri. Ia telah memosisikan dirinya secara alamiah pada prahara hidup yang suram dan selalu berada dalam keterpayahan. Ia dalam caci maki, hinaan, dan keburukan. Hal itu seolah-olah tampak sebagai sesuatu yang pasti yang melekat dalam pribadi lelaki gila tersebut yang tak penah lekang dalam kehidupannya hingga akhir hayatnya. Kecuali ia telah sembuh dari kegilaannya.

lakilaki tak bernama itu
mengukir sejarah tubuhnya sendiri
menjadi gelombang gelap
menjadi hujan yang tak henti meneteskan luka (bait 3)

Pada akhirnya, melalui tindak pengamatan terhadap sosok lelaki gila tersebut, penyair merasa bahwa imajinasi dan perasaannya dibawa masuk dalam pemahaman hakikat hidup sejati yang penuh dengan misteri. Tentang rasa syukur atas rahmat yang menempatkan dirinya sebagai lelaki normal yang tak kehilangan akal sehatnya. Rasa ikhlas dan ridla dalam menerima segala ujian dan coban dari-Nya. Rasa iba dan prihatin atas keberadaan sesama.

lakilaki tak bernama itu
menyeretku ke dasar laut
tak bernama… (bait 4)

Pada sajak Lagu Surga, tampaknya penyair diilhami oleh suasana kebersamaan bersama istrinya. Saat itu penyair diindikasikan tengah bermain cinta dengan istrinya. Penyair memandang kedalaman sorot mata istrinya hingga ia teringat tentang suatu peristiwa di surga. Peristiwa yang terjadi antara Adam dan Hawa yang menjadikannya keluar dari keabadian surga dan berdiam diri di bumi. Peristiwa itulah yang kemudian menjadikan diri penyair seolah-olah mendapatkan petunjuk serta ilham tentang kesucian kehidupan.

aku membaca surga di halaman matamu
kutemukan seayat sungai mengalir bening (bait 1)

Penyair tampaknya tak sanggup memungkiri dan mengakui akan eksistensi khuldi yang dulu sempat terpetik dan termakan oleh Adam dan Hawa. Ternyata, khuldi tersebut merupakan satu jembatan dalam menghadirkan kenikmatan yang lain. Yaitu kenikmatan surga dunia. Khuldi itulah yang pada gilirannya saat ini menjadi stimulus untuk saling berbagi kenikmatan antara lelaki dan perempuan di dunia hingga ia sampai pada puncak kebahagiaannya yang hanya tergapai dalam seper sekian detik saja. Namun semua orang berusaha ingin menggapainya, termasuk penyair dan istrinya yang hendak menikmatinya secara bersma.

Fenomena itu menandaskan bahwa kenikmatan dan kebahagiaan yang terengkuh oleh seseorang di dunia itu bersifat sementara dan hanya sekejap saja. Keberadaannya tidaklah abadi layaknya Adam dan Hawa yang terlempar keluar dari kenikmatan dan kebahagiaan yang abadi, yaitu kenikmatan dan kebahagiaan surga yang sesungguhnya.

Saat itu penyair benar-benar merasakan dan menikmati dengan sendirinya buah dari khuldi bersama sang istri. Ia merasa bahwa benar-benar telah merampas keabadian. Tindak perampasan keabadian itu terwujud dengan adanya peleburan sel kelamin hingga menjadi darah. Darah menjadi daging. Kulit membalut daging. Daging membalut tulang. Tulang membalut sum-sum. Hingga menjadi orok yang pada akhirnya memaksa Tuhan untuk melepaskan sebagian keabadian-Nya dalam wujud ruh guna mendiami tanah sementara waktu. Mengaliri hidup pada jasad mati hingga kembali mati lagi dalam takaran yang telah pasti.

tak bisa kutolak khuldi menggantung ranum di dadamu
dan kita menikmatinya dalam hentian waktu
yang merampas keabadian. (bait 2)

Pada sajak Jalan Ketiadaan, merupakan suatu seruan untuk mengenali jati diri. Barang siapa yang berkenan menginstropeksi diri melalui perjalanan hidup yang telah terlewati, maka ia akan menemukan satu gambaran tentang betapa sulitnya perjuangan dalam mengenali hakikat hidup ini. Seseorang bahkan akan menemukan dan merasakan keputusasaan yang sungguh luar biasa perjuangan pencarian itu. Sebab pada dasarnya tindak pencarian jati diri merupakan suatu proses perjalanan panjang yang melelahkan dan tanpa akhir kecuali dengan kematian jasad. Bahkan di balik kematian jasd itu masih menuntut akan adanya pencarian hakekat ketuhanan. Seseorang akan menemukan bahwa dirinya merupakan sesuatu yang tak berharga yang dijadikan wahana dan berselimutkan kelalaian di dalam dunia yang sementara.

bacalah maktab tubuhmu
dan kau kan temukan
BETAPA RAPUH PERJALANAN SETAPAK MENEMU DIRI
BETAPA TUBUH HANYA SEMACAM RANJANG KUMAL
tempat terlelap dalam fana (bait 1)

Jika seseorang telanh mengethui akan hal tersebut, maka tindakan yang patut dilakukan menurut penyair yaitu mengagungkan nama Tuhan dalam lantunan doa agar Tuhan berkenan melebur dan menghapuskan segala dosa yang telah tercipta yang disebabkan oleh lupa. Rasa bersalah akan terhapus pula atas tindakan peniadaan eksistensi Tuhan dalam diri dan jiwa yang sempat terlewati. Hal itu merupakan suatu usaha dalam hidup dan kehidupan untuk menuju kesejatian, yaitu Tuhan. Ini adalah jalan ketiadaan. Meniadakan eksistensi diri dengan meleburkan diri ke dalam eksistensi tuhan yang sejati. Laa khaula wala kuwwata illa billah.

maka mengeranglah dalam kasidah doadoa
biarkan ia membakar rasa bersalah
kepada jalan ketiadaan yang pernah kau lewati (bait 2)

Dalam usaha mengenali jati diri, hakikat hidup, dan kesejatian Tuhan seseorang harus mengakui bahwa diri pada dasarnya tidak ada tanpa adanya cinta kasih dan kuasa dari Tuhan. Ini termasuk dalam usaha pemurnian hasrat dari unsur nafsiah. Seseorang haruslah membeningkan hati dengan bersikap polos, tulus dan ikhlas hingga ia melihat dan menemukan getar hati yang terdalam yang memancarkan nur ilahiah sebagai risalah kesejatian diri, hidup, dan Tuhan. Jika ini terengkuh maka muncullah istilah tajjali. Penglihatan adalah penglihatan Tuhan. Pendengaran adalah pendengaran Tuhan. Ucapan adalah ucapan Tuhan. Perilaku adalah perilaku Tuhan.

murnikan dalam sungai
tubuhmu yang mengalir
hingga kau lihat dasar
di pedalaman dadamu (bait 2)

Diri seseorang pada dasarnya merupakan suatu tempat yang sakral. Diri itulah yang menjadikan manusia “sempurna” dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lain. Diri itulah yang mampu menampung keberadaan dan tajjali Tuhan. Oleh sebab itu, keberadaanya perlu untuk diziarahi, didatangi, dan dikenal sebagai wahana persemayaman Sang Mahasepi yang tak terbatas oleh ruang dan waktu. Yang harus digapai dalam perjalanan hidup di dunia yang hanya sesaat. Itulah yang disebut pengembaraan sebagai isyarat rindu akan kebersamaan dan keabadiaan Tuhan yang gerbang dan bekal perjalanannya terdapat dalam bismillah. Dalam kesaksian dan pengagungan nama-Nya. Dalam implementasi sifat-Nya.

adalah ziarah dalam diri
simpuh sepi dalam ketakterhinggaan waktu
pengembaraan sesaat
dalam isyarat beribu rindu
dalam bismillah. (bait 3)

Sabtu, 18 Desember 2010

Sajak-Sajak Heri Listianto

PERTEMUAN

Bertahun-tahun
Menanti atas pucuk kabar keremajaan
Dikaulah sebuah cinta
Saat jiwa berharap

Waktu telah memberi impian
Pada malam yang telah kuagungkan ini.
Engkaulah itu kasih

Bersanding kerisauan
Yang mengiringi jiwa saat kau kutemukan
Dan kudapatkan

Lamongan, 28 Maret 2005



ANGIN HAMPA

Aku diam
Berderu dengan angina malam
Diselimuti ketakutan

Saat berpikir dalam
Bersama baying kecil
Pohon impian

Aku berkaca
Menyimak, menulis imbuh upaya
Bertaburkan angina hampa

Menyebar dengan
Liku kasih kebisuan
Menghapus kerinduan.

Lamongan, 040505



RUMAH KALENGKU

Dikau menabur sepi
Dalam selaput kecil
Rumah kalengku

Membelit keberanian
Menguji akan kasih kedukaan

Biar aku menjilat sedikit kegelapan
Menjadi keceriaan
Saat masa menanti ribuan benih kasih

Lamongan, 12 mei 2005



PUTIK BUNGA HAYALAN

Cobalah katakana padaku
Wahai kasih…

Dibalik putik wajahmu
Yang kau suguhkan
Pada pria-pria

Tersimpan runtutan sikap
Akan keanggunan

Sikapmu kau selipkan dalam kelopak pujaan
Berada dalam gudang
semerbak wangimu

yang kau simpan
kau jajar dalam baris tulisan.

Lamongan, 18 juli 2005

Remy Sylado: Apresiasi Puisi Sekedar Basa Basi dan Puisi Sebagai Perkayaan Rohani

Zawawi Se
http://sastra-indonesia.com/

Yapi Tambayong atau yang lebih kita kenal dengan nama pena Remy Sylado, seorang pemusik, pedrama, dan pelukis, juga seorang sastrawan yang karya-karya novelnya banyak terpajang di etalase-etalase toko buku ternama dan diminati banyak penyuka karya sastra mulai dari Kembang Jepun, Cau Bau Kan, dan yang paling muakhir adalah Diponegoro. Bahkan salah satu novelnya pernah difilmkan oleh seorang sutradara muda Indonesia dengan berbagai prestasi.

Saat ini Remy Sylado memilih menahbiskan diri sebagai Pesyair meskipun dengan berbagai bakat seni yang dia miliki yang dia anggap sebagai nugraha Ilahi. Kenapa demikian? Bagaimana dia mencermati keriuhan puisi saat ini yang semakin banyak diproduksi dan disyiarkan diberbagai média? Bagaimanakah proses kreatifitasnnya dalam mencipta puisi yang menjanjikan perkayaan rohani? Bagaimanakah pandangannya tentang apresiasi puisi dalam berbagai peristiwa budaya yang melibatkan puisi didalamnya?

Berikut ini adalah hasil wawancara saya, Zawawi (ZA) dengan Remy Sylado (RS) dalam sebuah imajinasi pertemuan yang tentunya bilakah dan dimanakah wawancara tersebut berlangsung tak perlu saya sebutkan dan rasanya memang tak begitu penting untuk diketahui.

Zawawi (ZA): Apa kabar Pak? Sehat?

Remy Sylado (RS): Puji syukur saya sehat-sehat saja meskipun Anda lihat sendiri rambut saya telah banyak yang memutih termakan usia ha..ha..

ZA: Begini Pak, yang saya dengar Anda sekarang pun memilih menahbiskan diri sebagai penyair dengan berbagai bakat dan keahlian serta “profesi” yang telah Anda geluti selama ini. Bila dikaitkan dengan kondisi saat ini dimana kemajuan teknologi telah mempermudah sebaran dan akses informasi. Banyak kita jumpai teks-teks puisi diproduksi, baik oleh para penyair ternama maupun penyair pemula atau bahkan meminjam istilah Hasan Aspahani (HAH) para awam puisi, bagaimana menurut Anda?

RS: Hasan Aspahani? Siapa dia? Oh ya, saya ingat, bukankah di Penyair juga, karyanya sering nongol di Kompas, Tempo, dan beberapa koran nasional lainya. Ya, ya, memang jalan menuju puncak puisi, jalan menjadi pesyair berpercaya tidaklah lempeng, banyak yang terpanggil namun sedikit yang terpilih.

ZA: Jadi, maksud Anda dalam dunia kepenyairan juga ada semacam seleksi alam begitu ya. Kalau menurut Anda karya puisi yang baik itu kriterianya apa?

RS: Begini, ketika saya muda dan masih menuntut ilmu di perguruan tinggi teologi di Semarang, saya pernah bertanya kepada Prof. Dr. Bufford L. Nicholas, rektor seminari itu; kenapa film-film yang dibuat oleh bangsanya untuk tiap-tiap adegan penguburan selalu di bacakan ”The Lord is my shepherd”. Lalu beliau menjawab bahwa kandungan puisi itu berkasad menghibur orang yang ditinggal dan sekaligus memberi kepastian adanya harapan kehidupan baru bagi orang-orang yang percaya. Nah dari situ ada yang membingkai dalam pikiran saya sekarang yaitu puisi yang punya nafas panjang, yang dibaca secara tetap oleh khalayak, adalah puisi yang memberikan faedah penghiburan dan pengharapan kini dan hari esok.

ZA: Dengan kata lain karya puisi yang baik adalah karya yang abadi, bernafas panjang, dinikmati khalayak dari masa ke masa, dan memberikan faedah bagi pembacanya begitu ya?

RS: Ya, begitulah saya pikir dan topik itu pulalah yang mendasari atau sekurangnya mewarnai kemauan saya menulis puisi, karena saya yakin itu akan memberi faedah bagi banyak orang. Saya tertarik dengan pernyataan Sitor Situmorang bahwa kepengarangan, berikut tanggungjawab intelektualnya, ada kesejajaran dengan dan dapat dikiaskan sebagai kenabian.

ZA: Sebagaimana telah saya sampaikan diawal bahwa teks-teks puisi banyak diproduksi, berserakan di etalase-etalase toko, di koran-koran, di majalah-majalah, belum lagi yang ada di dunia cyber dan banyak juga disyiarkan di panggung-panggung dengan berbagai nama kegiatan, bagaimana Anda mencermati hal ini?

RS: Tidak diingkar, bahwa keramaian puisi diatas panggung itu baik juga. Tetapi selanjutnya dipertanyakan dapatkah keramaian itu menjamin adanya rasa kebutuhan – bukan lagi apresiasi, sebab apresiasi sering menjadi basa basi – bagi khalayak untuk mau membeli buku puisi, menyimpannya di antara buku-buku di rak koleksinya sebagai pelengkap ciri kehidupan berbudaya? Saya memang memuji usaha pementasan puisi dengan berbagai nama kegiatan baik lomba atau festifal sebagai peristiwa budaya, toh saya juga ingin berkata kurang yakin usaha itu serta merta dapat mendorong apresiasi menjadi kebutuhan pada puisi yang memperkaya rohani.

ZA: Maksud Anda?

RS: Ya, saya lebih yakin memperoleh perkayaan rohani bukan diperoleh dari peristiwa yang disaksikan diatas panggung, diantara sorak sorai orang banyak, tetapi justru lebih efektif diserap dalam sebuah ruang baca, dalam rumah, dalam konsentrasi pupil mata mengamati huruf dan pengertian yang terangkai pada kata-kata. Jadi menurut saya hubungan puisi dengan khalayak saat ini karuan lebih padan sebagai tontonan. Dan tontonan ini sebagaian besar dinimkati oleh usia remaja, dan barangkali belum mapan dengan suatu kerja tertentu.

ZA: Selama ini Anda dikenal sebagai sastrawan dengan karya-karya yang banyak diminati pecinta karya sastra, bahkan salah satu karya Anda diangkat ke dalam sebuah film, disamping sebagai pedrama, pemusik, dan pelukis. Sekarang Anda merambah ke dunia kepenyairan sebagai Penyair, bagaimana Anda memandang hal ini?

RS: Saya menahbiskan diri sebagai ”Pesyair” bukan Penyair. Saya menjadikan sebutan ini menjadi khas bagi diri saya. Maunya, jika orang lain Penyair, maka saya ”Pesyair”.

Ya, saya memilih menjadi Pesyair diluar menerima bakat saya yang lain seperti yang telah Anda sebutkan tadi. Saya meyakini bahwa hal tersebut sebagai bakat seni yang dianugerahkan Ilahi kepada diri saya. Saya sangat bersyukur atas anugerah tersebut.

ZA: Bagaimana maksud Anda dengan Puisi yang memberi perkayaan rohani sebagaimana yang telah Anda sebutkan diawal tadi?

RS: Begini, dengan kemampuan sebagai pesyair yang saya yakini sebagai nugraha Ilahi tadi, maka sudah seharusnya anugerah tersebut dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, maka pesyair harus menyadari kewajibannya untuk secara ikhlas bersyukur kepada penciptanya melalui hasil ciptaan yang memandangNya sebagai sumber kedayacipataan. Bersyukur berarti juga bersaksi akan kebesaranNya, kemahakasihanNya dengan kata-kata yang terencana; kata-kata yang lahir dari dorongan estetik menjadi ekspresi dorongan estetik.

Dengan kata lain, dalam bersaksi melalui kerja seni itu berarti pesyair membagi kata-kata atas perasaan dan penghayatan spiritualnya kepada manusia sesama, memberikan pengalaman-pengalaman spiritual itu sebagai pertimbangan atau pendorong kearah penemuan atau pembentukan suatu sikap spiritualitas, seraya berharap dari kerja itu sang maha pencipta berkenan menerima sebagai ibadahnya. Baru setelah itu maka puisi memperoleh arti maknawi akan pertanggungjawaban insani sebagai wujud perkayaan rohani.

ZA: Bagaimana Anda dalam proses berkreatifitas sehingga tercipta karya yang menjanjikan perkayaan rohani?

RS: Ketika saya menulis puisi, saya memanggil ilham itu, bukan menunggunya. Saya anggap ilham harus menjadi pengamatan yang tersimpan, dan yang sewaktu-waktu dapat dipangggil kembali untuk hadir: dari pelbagai pergumulan yang dipetik atas kehidupan sesungguhnya, atas kerinduan, dambaan, harapan, hari depan, atau dari kenyataan di sekitar kehidupan manusia pada lingkungannya. Berbagai pergumulan dari kenyataan itu lantas dibawa ke suatu tempat dalam kesadaran batin yang saya sebut ”sukma berdaya cipta”. Disitu pergumulan-pergumulan itu masuk menjadi semacam rengrengan, semacam sketsa dalam lukisan, dan diendap mengikuti proses pembentukannya, berlanjut pula seperti tahap membuat komposisi warna ideal dalam imajinasi lukisan, yaitu mengarah pada bentuk visual, sejauh bangunan itu sendiri sesungguhnya merupakan rangkaian kata-kata.

Begitu saya telah merasa mesti memindahkannya ke atas kerta, maka saya panggil ilham ini, atau saya panggil ingatan-ingatan yang telah tersimpan dalam sukma berdaya cipta tersebut, mengalir diatas kertas itu. Tak jarang ia mengalir dengan kejutan-kejutan, maksudnya dalam proses pembentukan itu, sering tercipta secara sekonyong kata-kata baru yang segera menyambung, menyisip, dan melengkapi rengrengan tersebut.

ZA: Bagaimana menurut Anda dalam proses kreatifitas oleh seorang Penyair dengan menggunakan obat-obatan atau sejenisnya untuk memacu keluarnya ilham?

RS: Dalam hubungan ini, saya merasa aneh, kendati tetap mencoba mengerti, bahwa ada penyair di Prancis, dari Charleville, Ardennes, yang harus dipacu untuk mendapat ilham dengan jalan mengisap ganja. Atau juga penyair Inggris dari Godalming, Surrey, yang memakai obat untuk memperoleh tingkat imajinasi yang unik bagi puisinya. Saya terkesan pada kata-kata Subaio Sastrowardoyo yang menyebut ini sebagai ”tanda ketaksabaran”. Saya malah terpikir menyebut itu suatu tindakan skeptisme, agnotisme, vrijdenker, ungodliness, ateisme. Diluar itu, sebaliknya saya bisa menghargai penyair di Bandung yang mesti menaruh dulu bunga dalam vas di jendela, supaya ia memperoleh ilham dengan melihat keindahan itu. Atau seorang penyair dari Yogya yang mesti kungkum dulu semalaman di Parangtritis supaya memperoleh ilham sejati bagi keindahan puisinya. Sebab, barangkali dengan cara itu, mereka mencoba mendekatkan visi pada misteri alam sebagai realitas adanya maha pencipta yang menguasainya, dan boleh jadi itu merupakan jalan ke sikap spiritual.

ZA: Apakah menurut Anda seorang Pesyair dituntut untuk memiliki moralitas-moralitas tertentu atas buah karyanya?

RS: Dengan terang ingin saya nyatakan disini bahwa sikap etik dalam menulis puisi, disandarkan pada kesiapan membuka nurani sebagai peradilan Ilahi. Bukankah pada dasarnya Tuhan adalah muasal masalah keindahan dan kepada-Nya pula perwujudan keindahan itu mesti diarahkan.

ZA: Wah Pak, kayaknya saya sudah menyita banyak waktu Anda. Pertanyaan terakhir saya, siapakah menurut Anda orang yang paling berpengaruh terhadap sastra Indonesia pada akhir abad 20 ini.

RS: Jika saya harus menyebut satu nama orang yang paling berpengaruh pikirannya dalam sastra Indonesia di dekade akhir abad ke 20, saya yakin itu adalah Goenawan Mohammad.

ZA: Baik Pak, terima kasih telah meluangkan waktu untuk memberikan pikiran-pikiran yang mencerahkan bagi penggemar sastra di Indonesia khususnya dunia perpuisian.

RS: baik, sama-sama

Bacaan:
Puisi-Puisi Remy Sylado, Kerygma & Martyria, Remy Sylado, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004

Sajak-Sajak Heri Listianto

DERMAGA KAPAL KEMAYORAN

Sorot matamu yang indah
Terbayang asekilas,
Seakan tertanam kenang cinta.

Gemuruh suara hati bersemayam
Lelehkan dinding kejantanan
Pertemuan indah

Tentang kisah cinta
“Dermaga kapal kemayoran”

dalam inti sunyi
keharuan malam
saat bulan semanding gemintang.

Lamongan, 20 April 2005



KU MAU MELEWATI DETIK-DETIK

Ku mau melewati detik-detik
Mengujar kata-kata
Bersama tulisan rumi yang bermuara

Pada lentera malam di alun daun-daun.
Bertulis sajak pemukau nyawa
Tumbuh dikaki burung – burung
Pemahat pintu surga

Sejak itu
Pangeran mulai jujur terhadap sikap.

18 Agustus 2005



PASIR KEPOMPONG ENJELAI

Dinding tebal disekitar padang
Merajut pola disepi sahara

Suara – suara gerimis
Memuai pada telinga-telinga
Diatas sanggahan Alang sang pujangga

Bersama turunan nilai
Pasir-pasir berlari dalam buku Enjelai.

Mungkin…
Renungan mereka berkiprah
Dirupa keletihan.

Dengan sikap lembut menggunung zarah
Yang berubah
Menggungkap luruh, kain penutup canda.

Kupupun menurunkan langkah
Diatas surat kumuh
Yang tercecer gelisah.

20 September 2005



DUA WARNA

Ratusan jemari pemikat
Merambat dikulit-kulit tipis
Pada ruangan kecil

Antara warna – warna indah
Dipelipis pemuka mata
Mereka bermunculan

o…h
Engkau yang berkacamata ,
Pendiam kata, pemurah senyum
Kenali aku
Lihat tulisan – tulisan ini dalam puri.

Manela, 080805

David Hill Mengamati Mochtar Lubis

Atmakusumah
http://cetak.kompas.com/8 Maret 2010

Tidak pernah terbayangkan oleh David T Hill, pengamat masalah Asia dari Australia, bahwa ia akan memerlukan waktu tiga dasawarsa untuk menyelesaikan dan menerbitkan biografi wartawan, sastrawan, dan budayawan Mochtar Lubis, yang memasuki ulang tahun ke-88 pada 7 Maret tahun ini. Buku ini, yang diterbitkan oleh penerbit Routledge di London dan New York menjelang ulang tahun ke-11 windu itu, bukanlah biografi pesanan almarhum dan tidak pula mendapat dukungannya.

Buku ini sarat dengan analisis kritis. Salah satu bagiannya malahan ditolak oleh subyek biografi sehingga penulisnya, yang sudah amat dekat dengan pendiri harian Indonesia Raya itu, merasa gelisah selama bertahun-tahun karena penolakan ini. Tidak terhindarkan lagi, David Hill lambat laun tiba pada sikap mengagumi subyek biografinya dan bahkan merasa perkembangan kehidupannya dipengaruhi oleh Mochtar Lubis. Dalam kedekatan persahabatan ini, Mochtar Lubis memberinya fotokopi naskah asli catatan hariannya ketika ditahan selama dua setengah bulan di tempat tahanan politik Nirbaya, di tepi tenggara Jakarta, pada Februari sampai April 1975.

Catatan harian itu, dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris, semula hanya diterbitkan dalam terjemahan bahasa Belanda, berjudul Kampdagboek, di Nederland pada 1979, empat tahun setelah ditulis. Naskah aslinya, Nirbaya—Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru, barulah diterbitkan di Jakarta lebih dari 30 tahun kemudian, yaitu pada 2008. Inilah naskah yang diperoleh David Hill dari Mochtar Lubis. Pada tahun itu pula, penerbit buku ini, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, memprakarsai pemberian penghargaan tahunan, Mochtar Lubis Award, bagi sejumlah kategori karya jurnalistik yang terbaik.

Pelarangan buku

Catatan harian di Nirbaya, yang judul aslinya dari Mochtar Lubis adalah Nirbaya—Sebuah Buku Harian dalam Tempat Tahanan, jauh lebih pendek daripada Catatan Subversif yang pertama kali diterbitkan pada 1980. Naskah ini mencatat pengalamannya dalam penjara dan tahanan rumah hampir terus-menerus selama lebih dari sembilan tahun pada masa Orde Lama, dari 22 Desember 1956 sampai 17 Mei 1966.

Pada masa Orde Baru dan Orde Lama memang biasa terjadi kesulitan menerbitkan buku-buku kritis di dalam negeri. Sering pula terjadi pelarangan buku, yang bahkan masih dapat terjadi sampai sekarang, pada masa Orde Reformasi—karena masih berlaku ”Penetapan Presiden tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum”—yang sudah berumur hampir setengah abad.

Novel Senja di Jakarta, misalnya, barulah dapat diterbitkan di Jakarta pada 1970, tujuh tahun sesudah terjemahannya, Twilight in Jakarta, lebih dulu diterbitkan di London dan beredar di seputar dunia pada awal 1963. Tahun berikutnya novel itu diterbitkan di Amerika Serikat dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Melayu di Kuala Lumpur pada tahun 1965.

Novel itu, karya fiksi Mochtar Lubis yang pertama diterjemahkan dalam bahasa Inggris, digambarkan oleh penulis resensi Alan Nicholls dalam harian The Age (16 Maret 1963), surat kabar berpengaruh di Melbourne, Australia, sebagai ”novel penting yang pertama dari Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa Inggris. Novel ini akan membangkitkan perhatian amat besar di mana pun novel ini dibaca”.

”Bongkar pasang” biografi

Akan tetapi, perselisihan pendirian antara subyek biografi dan penulisnya telah memberi hikmah. ”Bongkar pasang” penyusunan biografi ini selama 30 tahun akhirnya dapat menghadirkan kisah perjalanan panjang kehidupan Mochtar Lubis secara lengkap, sejak ia dilahirkan di Padang pada 7 Maret 1922 sampai saat meninggal di Jakarta pada 2 Juli 2004.

Pada awalnya, gagasan untuk menelusuri kehidupan pemimpin umum dan pemimpin redaksi Indonesia Raya itu merupakan proyek penulisan disertasi ketika David Hill menjadi mahasiswa doktoral pada Pusat Asia Tenggara di Universitas Nasional Australia di Canberra sejak 1979. Ia memulai proyek ini sambil mengajar di Departemen Indonesia dan Melayu di Universitas Monash di Melbourne. Biografi yang dihasilkannya baru benar-benar selesai pada 2009 ketika mengajar pada Program Studi Asia di Universitas Murdoch di Perth.

Dua tahun lamanya, 1980 sampai 1982, ia melakukan riset di Indonesia tentang makna posisi Mochtar Lubis dalam pertarungan media pers serta pergolakan kebudayaan, sosial, dan politik di Indonesia selama setengah abad sejak tahun-tahun awal kemerdekaan. Tesis doktoralnya baru rampung enam tahun kemudian, Juli 1988, dengan judul ”Mochtar Lubis: Author, Editor, Political Actor”.

Ada perubahan pada judul biografi yang diterbitkan menjelang hari ulang tahun ”wartawan jihad” itu tahun ini: Journalism and Politics in Indonesia—A Critical Biography of Mochtar Lubis (1922-2004) as Editor and Author. Namun, esensi isinya tetap konstan dan penulisnya tak mundur dari pertentangan pendiriannya dengan subyek biografi. Perhatian penulisnya terutama dipusatkan kepada peranan Mochtar Lubis sebagai redaktur surat kabar dan wartawan selain ketenarannya sebagai pengarang dan tokoh kebudayaan. Akan tetapi, kata David Hill, ”Sadar atau tidak sadar, informasi yang dipilih tentu saja mencerminkan nilai-nilai, perspektif, dan asumsi saya sendiri.”

Wartawan jihad

Mochtar Lubis adalah budaya- wan dan wartawan. Ia adalah sas- trawan, pengarang cerita anak- anak dan satir, kolumnis, pelukis, pematung, pembuat keramik, pencinta pelestarian alam, dan aktivis lingkungan hidup—untuk hanya menyebutkan beberapa di antara kegiatannya. Ia juga peminat, pengamat, dan penulis sejarah. David Hill menyebutnya pula sebagai aktor politik.

Mochtar Lubis bagaikan prisma, menurut David Hill. Melalui prisma ini, orang dapat mengamati berbagai lingkungan kehidupan sosial yang digaulinya: intelektual, artistik, jurnalistik, dan politik. Melalui prisma ini pula, orang juga dapat melihat perjalanan sejarah nasional selama masa hidup Mochtar Lubis.

Dalam masyarakat internasional ia adalah wartawan Indonesia yang paling dikenal. Untuk waktu lama, ia merupakan pengarang yang karyanya paling banyak diterjemahkan, sebelum kemudian mengalir terjemahan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. David Hill mengatakan, orang lain mungkin dapat melebihi pencapaiannya dalam satu bidang tertentu. Namun, sulit membayangkan bahwa ada seorang tokoh Indonesia yang lain yang mampu mengungguli keterkenalannya secara internasional dalam dua bidang sekaligus—kesusastraan dan kewartawanan.

David Hill menyebutkan beberapa kekurangan Mochtar Lubis dibandingkan dengan kekuatan atau kelebihan sejumlah wartawan, pemikir, seniman, tahanan politik, dan ”pembangun institusi” sezamannya, seperti Rosihan Anwar, Jakob Oetama, Adnan Buyung Nasution, Sutan Takdir Alisjahbana, Pramoedya Ananta Toer, atau Rendra. Walaupun demikian, ia berkesimpulan: ”Sebagai wartawan jihad (crusading journalist), Mochtar Lubis menunjukkan keberanian yang gigih, semangat moral yang berapi-api, dan tekad yang teguh.”

Dalam pengamatannya, Mochtar Lubis bagi para wartawan muda merupakan lambang yang berpengaruh, yang memiliki komitmen pada pandangan tertentu tentang apa yang harus dilakukan oleh profesi kewartawanan, yang mempertahankan prinsip-prinsipnya dan akan menanggung akibat-akibatnya. Apabila tidak dapat menerbitkan apa yang menurut keyakinannya perlu dikatakan, Mochtar Lubis akan menerima pembredelan surat kabarnya daripada berkompromi.

”Jurnalismenya yang langsung dan tanpa kompromi (direct, unyielding journalism) berakhir dengan kekalahan, baik pada 1950-an maupun pada 1970-an,” kata David Hill. Surat kabar yang dipimpinnya dibredel pada kedua masa pemerintahan oleh pemerintahan Presiden Soekarno (September 1958) dan pemerintahan Presiden Soeharto (Januari 1974). Ia ditahan pada masa Orde Lama dan juga pada masa Orde Baru tanpa diadili.

Akan tetapi, amatlah besar kekuatan ilham dari upaya (yang dilakukan Mochtar Lubis) itu karena sejumlah besar orang Indonesia, baik para wartawan maupun para pembaca surat kabar, tidak menyukai dan menolak alternatif lain, yaitu jurnalisme berhati-hati dan bermakna ganda (cautious and ambiguous journalism) yang selama beberapa dasawarsa mendominasi jurnalisme Indonesia.

ATMAKUSUMAH Pengamat Pers dan Pengajar Jurnalisme di Lembaga Pers Dr Soetomo, Jakarta.

Sajak-Sajak Heri Listianto

DALAM BALUTAN PERTIWI

Suara angin malam ini,
mengeja langkah mereka
yang berjalan tanpa kawan

sudah lama jiwa menanti semangat kalian

baju merah darah
dengan tali Negara,
kusam berbau nyawa.

Oh bumi
sampaikan salamku
pada ratu-ratu Negara
yang kau kandung selama ini

sebagai salam rindu perjuangan.

Surabaya , 10 Nov 2009



LIMPANG-LIMPUNG

Melandai diatas lantai
Badan kurus bergelimpungan lapar

Duri – duri semu berkata tak jelas
Menggulung pendapat-pendapat bodoh

Diam…! (katanya )
“kalian hanya meringis tak hajat “

ia berkepala tenang
menyelubungi kosa-kosa kata
yang hamper hilang

mereka terdiam kaku ditempat terpaku
sampai asap hutan
berontak menghadap kiblat.

28 Nov 2005



TINGKAI-TINGKAI TIKAR

Pada benih-benih malam yang diam
Menepuk tikar senja
Mataku berkedip melamun lelah

Kunci –kunci anehpun
Menggulung baja subuh yang tidur angkuh

Luntur…!
Hancur….!
Puncak merapi yang tidur disebelah tangan

Karena tahun malaikat
Berubah lelah

21 Okt 2005



KELANA HARI ASMARA

Dari ribuan debu asing
Yang berlari sepi
Membuat pijaran kataku
Menyapa sedikit luapan harum wajah cantik.

Entah rasa apa yang lewat
Berkata pelan
Kala tahun ini muncul,
Datang menyapa kita untuk berkenalan

Lautan angkuhpun
Kusiram dengan seteguk air telaga cinta
Untuk dikau kasih

Karena tahun telah berganti

17 Okt 2005

Masa Depan “Manusia Indonesia”-nya Mochtar Lubis

100 Tahun Kebangkitan Nasional
St Sularto
http://cetak.kompas.com/

Seabad kebangkitan nasional ditandai gejala keterpurukan bangsa dan negara Indonesia. Indonesia tidak sendirian. Negara-negara tetangga juga demikian. Krisis pangan tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga dunia.

Kondisi krisis global yang berpengaruh besar untuk Indonesia tidak bisa dijadikan kambing hitam. Globalisasi dan neoliberalisme juga tidak. Kondisi sakit akut parah disebabkan antara lain oleh demokratisasi pascareformasi yang telanjur diartikan serba boleh dan saling berebut menang.

Ada yang memanfaatkan situasi keterpurukan untuk membesar-besarkan ketidakmampuan pemerintahan incumbent. Apa yang berkembang membenarkan petuah Niccolo Machiavelli, penasihat Dinasti Medici dari Firenze pada abad ke-16.

Dalam konteks Indonesia saat ini, nasihat Machiavelli itu memecah perhatian pemerintah. Di satu sisi mendahulukan kesejahteraan / kebaikan umum, di sisi lain mempertahankan kekuasaan.

Makna sosial kekuasaan dipertentangkan dengan makna rakus kekuasaan. Dalam kondisi demikian dibutuhkan pemimpin yang bersosok kepemimpinan kuat, dalam istilah Machiavellian yang berani menggunakan ”kekerasan”. Tantangan yang dihadapi pemerintahan pascareformasi—SBY-JK—sangatlah berat.

Faktor manusia menjadi ujung tombak mencegah keterpurukan bangsa-negara. Sumber daya manusia adalah kunci sehingga perlu dipersiapkan secara terstruktur dan terencana strategis. Repotnya pengembangan kompetensi dan karakter manusia Indonesia kurang mendapat perhatian serius, tidak hanya tecermin dalam penganggaran, tetapi juga dalam pengembangan praksis pendidikan.

Pengenalan manusia Indonesia justru dengan menonjolkan sisi-sisi negatifnya amat relevan, kontributif, dan produktif untuk membangun manusia Indonesia yang postmo (JB Mangunwijaya), yang well informed (Soedjatmoko), yang mandiri dan tahu batas kemampuan diri (Slamet Iman Santoso), yang tidak gagap teknologi (BJ Habibie).

Mengenali sisi-sisi negatif mengacu uraian ”manusia Indonesia”-nya Mochtar Lubis dan ”mental menerabas”-nya Koentjaraningrat. Disampaikan lisan tahun 1977, dibukukan dengan judul Manusia Indonesia, diterbitkan pertama tahun 2001 oleh Yayasan Obor Indonesia, uraian Mochtar Lubis bergaung lama dan luas. Menempatkan masalah dalam sekat hitam dan putih, budayawan-wartawan itu menyebut enam ciri manusia Indonesia. Meliputi hipokrit alias munafik (1), enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya (2), berjiwa feodal (3), percaya takhayul (4), artistik (5), dan berwatak lemah (6). Untuk ciri-ciri lainnya, Mochtar Lubis mendaftar ciri-ciri yang buruk.

Ketika tahun 1982 Mochtar Lubis diminta merefleksikan kembali ”manusia Indonesia”, dengan tegas ia mengatakan tidak ada perubahan. Makin parah. Andaikan permintaan itu disampaikan kembali, di saat Mochtar Lubis sudah tiada (meninggal 2 Juli 2004), niscaya ia menangis di alam baka.

Mansyur Semma lewat buku Negara dan Korupsi (Yayasan Obor Indonesia, 2008) mengutip pendapat Samuel P Huntington tentang kondisi masyarakat yang mempersubur korupsi. Korupsi cenderung meningkat dalam periode pertumbuhan dan demokratisasi yang cepat karena perubahan nilai dan sumber-sumber baru kekayaan dan kekuasaan.

Bisa diubah

Manusia Indonesia masa depan perlu dipahami bukan sebagai ”sudah begitu, mau apalagi”, tetapi bisa diubah, semacam strategi kebudayaan. Caranya, membuat perbandingan pengalaman negara lain sebagai bahan belajar. Perbandingan yang disampaikan Huntington dalam artikelnya ”Culture Count” di bunga rampai Culture Matters (New York, 2000) yang disuntingnya bersama Lawrence Harrison merangsang kita punya keyakinan. Sumber persoalan adalah nilai-nilai. Nilai-nilai itu dihidupi dan dikembangkan oleh manusia, yang adalah subyek atas perilaku dan tindakannya.

Huntington menggambarkan Ghana pada tahun 1960-an serba sama dengan Korea Selatan. Namun, 30 tahun kemudian, Korsel melampaui Ghana dalam segala hal. Mengapa? Pertanyaan ini dijawab Lawrence Harrison dalam artikel ”Promoting Progressive Culture Change” di buku yang sama. Akar masalahnya, Korsel menghidupi dan mengembangkan budaya progresif dengan 10 tipologi manusia, di antaranya berorientasi waktu, kerja keras, hemat, pendidikan, dan menghargai prestasi.

Kata kunci mengatasi keterpurukan Indonesia adalah culture matters, kata Jakob Oetama dalam pidato peluncuran Koentjaraningrat Memorial Lecture I, 15 Maret 2004. Tipologi manusia budaya statis—yang terjadi sehari-hari dengan rumusan Mochtar Lubis—perlu diubah menjadi tipologi manusia berbudaya progresif.

Pemahaman dan keprihatinan kondisi terpuruk menjadi pelecut gerakan sosial. Mengubah kondisi terpuruk dan potensial melapuk perlu diatasi bersama: pemerintah, masyarakat dengan perangkat lembaga swadaya masyarakatnya, dan dunia bisnis.

Dengan gerakan sosial, masa depan ”manusia Indonesia”-nya Mochtar Lubis bisa terlepas dari tipologi serba ”hitam dan buruk”. Kalau tidak, seumur-umur potret ”manusia Indonesia”-nya Mochtar Lubis akan lestari! Lewat gerakan sosial dibangun kepercayaan kembali, optimisme masa depan Indonesia. Tipologi ideal manusia Huntington dan Harrison semakin jauh! Ghana itu Indonesia, Korsel itu Vietnam!

Indonesia tentu tidak dicita-citakan para bapak bangsa pendiri negara ini terus melapuk. Indonesia, manusia Indonesia, jauhkan dari kondisi melapuk!

Sajak-Sajak Heri Listianto

GEMPA DENGAN SUARA GAIB

Dari depan lorong hati
alun suara tanpa kata
menyanyikan lelagu duka

Mungkin bumi telah marah!

Melihat tingkah tikus berkemeja
dengan dasi hitamnya.

Gempa berjalan dengan roda gaib
menyapu Padang pulau Sumatra

Bagai abu tanpa nyawa.

Hanya sekedip tiupan lentera
nyawa terbang
mengitari Sumatra
yang penuh dengan darah.

Unitomo, 14-Oktober-2009



SURAT BUAT ATASAN II

Suara ini suara hati!

Dari surat dedaun kering
Kami baca gumpalan rasa tak tertata
: kayangan sudah berubah warna.

Bagaimana kalian melihat rakyat
semakin mlarat ?
Perut kosong ketiban bohong
Bahkan mati memikir janji

: adakah jawab dari kayangan ?
Janji hanya sekedar bayang
tertelan uang miliyaran.

Lihat dasi kalian !
Mobil dengan kaki roda
Tertutup rapat dengan kaca – kaca

Sudah bertahun – tahun
kami terluka
karena tingkah polah mereka .

2009



LAGU DI MALAM HARU

Alun malam ……
yang menyapu ramai kota , malam ini .
menyimak rontok daun jambu diufuk barat.

Pucangro, 12 Agustus 2007



KAMPUNG HARI INI

Seperti persamuan dalam mimpi
tepat di ujung perkampungan

Hatiku berdetak tak henti.

Surabaya , 26 Juli 2009

MEMBACA KULIT LUAR “KITAB PARA MALAIKAT” NUREL JAVISSYARQI

M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/

Membaca karya sastra, dalam hal ini adalah karya puisi sama halnya dengan perjalanan panjang menyusuri jalan setapak yang dipenuhi cabang dan penunjuk jalan (baca: tanda). Berbagai macam (bentuk) penunjuk jalan tersebut membawa pada pengungkapan pengalaman, baik pengalaman realitas maupun pengalaman batin si kreator tanda. Aspek pengalaman seorang kreator mempengaruhi bangunan struktur tanda yang dibangun. Pengalaman menjadi dasar atas pembangunan bangunan tanda yang kelak akan diterjemahkan oleh pembaca. Pengalaman itu sendiri yang sebenarnya menjadi inti dari pembangunan struktur tanda, baik yang dalam pengertian transenden maupun yang imanen. Bangunan struktur atas tanda tersebut, mutlak sebagai pencerminan diri kreator tanda (sastrawan).

Bangunan struktur yang sudah jadi dan dilepaskan akan diterima masyarakat pembaca sebagai struktur makna yang diperlukan usaha interprestasi. Dalam aktivitas ini, pengalaman kembali memainkan peran yang penting. Dimana pengalaman pembaca dalam usaha menterjemahkan tanda untuk menjadi bangunan makna baru. Hasil interpretasi dapat dipastikan akan terlepas dari esensial makna yang dimaksudkan si kreator tanda. Antara makna penciptaan dan pembacaan struktur tanda, terdapat adanya jarak yang cukup signifikan yang dapat disebut sebagai ruangan ketiadaan (ada namun tiada, tiada namun ada).

Ruang ketiadaan ini memungkin terjadi adanya interaksi simbolik yang terjadi secara dialektis. Interaksi yang pada akhirnya membangun makna baru. Pembaca, dalam usaha memahami teks tanda (baca: sastra) secara tidak disadari mengembangkan struktur tanda yang pada diciptakan seorang kreator.

Karya sastra, secara khusus puisi, memiliki banyak ruang lingkup tanda yang apabila dilakukan usaha penterjemahan justru menimbulkan tanda baru. Tulisan ini bermaksud meresapi nilai pengalaman yang tertuang di dalam struktur tanda yang dibangun di Kitap Para Malaikat (KPM) karya Nurel Javissyarqi (NJ). KPM yang merupakan buku kumpulan puisi, konon menurut NJ, dipahat selama 1 tahun dan dikristalkan selama 8 tahun. Perjalanan panjang dalam proses penciptaan bangunan tanda KPM ini, sehingga dapat dipastikan kalau KPM disemayami jutaan pengalaman yang mengagumkan.

Menyimak judul, Kitab dan Para Malaikat, mengumumkan adanya jalinan pengalaman religius (kalau tidak boleh dikatakan mistis) hasil dari hubungan gelap antara NJ dan Para Malaikat. Kenapa hubungan gelap? Mungkin hubungan ini hampir sama dengan perselingkuhan, kalau antara seorang perempuan dan lelaki dapat melahirkan anak, hubungan gelap NJ dan Para Malaikat telah menghasilkan sebuah kitab lumayan panjang. Hubungan gelap, karena pertemuan NJ dengan Malaikat tidak diketahui orang lain di dalam pengalaman (baca juga: kesaksian) religius. Apabila wahyu Allah Ta’ala diterjemahkan dan disampaikan untuk para Nabi Allah, para Malaikat (tentu saja Malaikat-Nya Allah) ternyata memilih seorang NJ (Nurel Javissyarqi), seorang penyair dari Lamongan untuk menghimpun cahaya yang berserak.

Pengalaman, yang menurut NJ sebagai kesaksian, dirangkum ke dalam 21 judul (baca: surat) puisi. Surat yang merupakan manifestasi dari hebatnya pemikiran dan renungan yang membuahkan kitab. Ini yang membuat saya merasa was-was dan gemetaran sendiri membacai KPM. Bagaimana tidak, realitasnya yang saya hadapi kali ini bukan Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer yang menyusur sejarah kehidupan manusia Indonesia. Akantetapi, yang saya hadapi kali ini adalah Kitab Para Malaikat yang oleh Maman S. Mahayana (KPM, 2007: iv) disejajarkan dengan para pemikir besar dunia. Sebelum terlalu jauh saya menjajaki samudra pengalaman, terlebih dahulu saya menyibukkan diri dengan gemericik air dan derum ombak di pantainya. Hal ini saya lakukan semata-mata untuk mengukur panjang kaki, hingga saya memutuskan untuk menulis Membaca Kulit Luar “Kitab Para Malaikat” Nurel Javissyarqi ini. Saya berusaha untuk tetap tenang, mengingat pepatah lama, “Sedia payung sebelum hujan” karena tidak ingin bersombong diri yang justru membuat saya tenggelam di samudra.

Pengalaman yang bersinggungan dengan kesadaran ketika menangkapi fenomena realitas, baik dalam ruang transenden maupun imanen. Fenomena ini, yang entah dari dunia realitas maupun non-realitas (yang terjadi di dalam diri NJ), membangun pola pikir yang akhirnya tertuang sebagai karya. Setiap pengalaman, menurut Derrida (dalam Dreyfus dan Wrathall, 2005: 91), sebagai bagian kehidupan yang mengandung makna. Pengalaman yang bermakna termanifestasikan ke dalam karya yang selanjutnya meninggikan nilai sastra itu sendiri sebagai pengalaman dunia kehidupan.

Pun, hal ini dapat kita temukan di dalam bait (baca: ayat) KPM karya NJ. KPM membawa nuansa baru dalam khasanah jagat perpuisian di Indonesia. Ayat-ayat ringkas namun ketika dipahami memberikan bentangan cakrawala yang tanpa batas. Apabila di sana ditemukan adanya “batas’, lebih dikarenakan faktor individu setiap pembaca sebagai mufasir yang menggali makna.

Malaikat-nya NJ tersindromi kekaguman pada perempuan, yang mana makhluk satu ini memiliki rangka estetik yang dengan sangat berhasil menarik perhatian seniman. Tidak hanya seniman sastra, banyak diantara pengagum serta pemuja mengkreatorkan estetika yang diilhami perempuan. Konon, perempuan sebagai keturunan Hawa yang diciptakan dari Adam, pun yang menjadikan sang Adam diturunkan dari surga.

KPM sendiri tidak mampu melepaskan diri dari pesona perempuan. Indah dan makna yang terbangun di banyak tempat di dalam berbagai bahasa. Bahkan, perempuan menjadi satu pokok bahasan yang penting di Surat pertama yang berjudul Membuka Raga Padmi (KPM, 2007: 5-10). Kerangka ini apabila diterawang melalui khasanah sosiologis, akan membidik sang NJ si empu KPM adalah seorang pemuja perempuan.

Panjang dan lebar, waktu yang dibutuhkan untuk menggelar khasanah seperti ini, yang pada titik puncaknya membuat kita kelelahan untuk mengikuti NJ yang telah menisbatkan diri sebagai pengelana. Esensial perempuan terlihat jelas di surat Membuka Raga Padmi yang dengan membara menelusup jiwa perenungan. Dari rambut sampai pada mata batin, tidak kelewatan disusupi diam-diam. Pun, dalam Hukum-Hukum Pecinta, pembaca akan menemukan peran perempuan dalam kehidupan manusia.

Selain itu, permainan simbol dan bangunan struktur makna yang dibangun NJ dalam KPM-nya sangat jelas dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Simbolisasi dari latar belakang ini terdeteksi dengan sangat jelas, misalnya mengenai penandaan Bunga Wijayakusuma dalam penobatan raja, dalam Surat Muqadimah: Waktu Di Sayap Malaikat ayat XVIII (KPM, 2007: 2). Dari aspek estetik dan struktur tanda ini, menterjemahkan sebagaian pengalaman religius yang termaktub di dalamnya. Pembacaan naskah lama, dilakukan oleh NJ dalam mengkreasikan struktur tanda KPM. NJ sebagai peramu memasukkan nilai sufistik Kejawen.

Latar belakang budaya yang ikut mempengaruhi proses pengkreasian strauktur tanda merupakan hal yang lumrah. Pengalaman ini, baik transenden (maupun) imanen bercorak Jawa yang memungkinkan makna yang tidak universal. Aspek kultural yang melatarbelakangi kehidupan NJ justru menyempitkan makna KPM sebagai sebuah kitab yang semestinya universal, dapat dipahami oleh setiap manusia. Pendasaran ini saya ambil, hanya sebatas pada aspek aspek geografis dan kultural yang berbeda.

Estetika dan struktur tanda yang dibangun NJ dalam KPM lebih banyak memuat pengalaman (kesaksian) mistis Kejawen. Struktur estetik dan struktur tanda dalam KPM harus ditelusuri bersamaan dengan proses pembacaan terhadap historis masyarakat Jawa, dimana bangunan estetik dan struktur tanda itu dibangun dan termanifestasikan ke dalam KPM. Memahami KPM berarti telah memahami nilai estetika dan jalan religius masyarakat Jawa.

Banjarnegara – Studio SDS Fictionbooks, 12 Desember 2010

Sajak-Sajak Heri Listianto

TINGKAH DUNIA SAAT INI

Gemetar ubunku
melihat tingkah dunia saat ini
gemetar ubunku
menyimak berita mlam ini.

Gemetar ubunku
Ketika Indonesia sudah sepi hilang hikmat,
hanya canda tak berisi

Indonesia …
Indonesia …
Seperti kapas terbang dari tangkai
Terombang-ambing angin barat
dengan belenggu
temali uang berdebu.

Indonesia…
Seperti itu kini aku melihatmu.

Perlis, 15 juni 2010



SEPERTI BENIH KAPAS

Seperti ribuan benih kapas
di atas altar peribadatan
aku melihat doa’- do’a dari kitab suci
yang melantun pada malam keagungan.

Riak kemricik air kali,
mengantar bisik kecil
untuk perenungan kisahmu
Rosul…

Sebagai perjamuan embun
mengalir ke sungai jasad ini
sampai akhir hayat ini.

Surabaya , 23 Juni 2010



MUNGKIN SUDAH TAKDIR

Mungkin sudah takdir.
Tuhan…
di setiap rongga-rongga tulang
kau alirkan rasa seribu tanya
tentang bumi dan langit

tentang perjalanan planet
tentang aliran meteor di sungai-sungai angkasa

sejengkal detik di kehidupan ini
menyusun hembus nafas
lembut…
selaksa air telaga kencana
dari kayangan suralaya.

Mungkinkah kabarmu
Datang dari lentera kecil
Di hati ini robbi…?

Tunjukkan jawaban mutiara
Yang datang dari candela hati.

Surabaya, 09 Nov 2009



1000 Mata dunia

Satu!
dua!
tiga!
Sedikit kaki melangkah dari tangga perpisahan
hati kalian teman.

Aku membaca dunia
Lewat seribu busana keanggunan

Ada jas dengan dasinya,
Ada seragam kuning dengan sapu lidinya,
Ada rompi dengan peluit parkirnya,
Wajah merah dengan kayu ditangannya,
Ada peluk penuh akan cinta.

Bahkan,
Ada …
Ada …
Ada …!

Ada-ada saja.

Surabaya , 24 Nov 2009

Wawancara Sitor Situmorang: “Penandatanganan Manikebu Adalah Tindakan Politik”

Sitor Situmorang (30 Agustus 1999)
Pewawancara: Dwi Arjanto, Hermien Y. Kleden
http://majalah.tempointeraktif.com/

BUKAN hanya puisi yang bisa dibicarakan dari seorang Sitor Situmorang. Hidupnya yang banyak dilewatkan dalam pengembaraan di luar negeri dan komitmen politiknya yang menyebabkan ia berada dalam posisi berseberangan dengan banyak seniman Indonesia pada awal 1960-an, semua itu merupakan dimensi yang tak dapat diabaikan dari ketokohannya yang penuh warna.

Sosoknya menjadi kontroversi yang tak kunjung selesai dalam dunia sastra Indonesia—sepanjang lebih dari 30 tahun terakhir. Dan laki-laki yang tak lama lagi akan merayakan ulang tahunnya yang ke-76 itu tetap bergairah untuk menulis, berpikir, dan berdebat, terutama tentang beberapa isu besar yang amat berarti dalam hidupnya: politik, seni, sastra, dan Bung Karno.

“Ratusan ribu anak muda tumbuh seiring dengan cita-cita kebangsaan yang dibangun Sukarno. Ia menjadi kiblat dalam masa pertumbuhan saya,” ujarnya meletup-letup. Sitor Situmorang menempati posisi penting dalam sejarah sastra Indonesia—terlebih pada tahun-tahun peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Ia seorang loyalis Sukarno dan anti-Manifes Kebudayaan—dulu sering disingkat sebagai Manikebu.

Melalui Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) yang dia pimpin, Sitor menyalurkan dukungannya terhadap pikiran-pikiran politik dan kebudayaan Bung Karno. Ketika gerakan Manifes Kebudayaan diberangus, begitu juga saat Mochtar Lubis dipenjarakan di bawah rezim Orde Lama Bung Karno (1964), Sitor tidak bersuara—sebuah sikap yang kemudian “digugat” para seniman pada masa awal Orde Baru.

Dan Sitor dipenjarakan oleh rezim Orde Baru selama delapan tahun. Dari beberapa seniman yang dijebloskan ke tahanan tanpa penyidikan dan pengadilan, memang, yang mencuat namanya hanya dua: Sitor dan Pramoedya Ananta Toer. Pada 1 Januari 1974, penyair ini dibolehkan meninggalkan Penjara Salemba, Jakarta. Ia kembali ke alam bebas.

Namun, status tahanan politik telah merampas sejumlah kesempatan dalam hidupnya. Miskin dan menganggur, Sitor hidup dari sumbangan teman-teman dan keluarganya. “Saya menerima penjara sebagai risiko orang berpolitik,” ujar ayah tujuh anak yang tampak segar di usia senja itu. Politik adalah dunia yang membuatnya tertantang, tapi seni dan sastralah yang menjadikan namanya terkenal.

Puisi-puisi Sitor—halus, reflektif, dan acap kali mengandung daya magis—sangat berbeda dari puisi Chairil Anwar dan penyair Angkatan ’45 yang mendahuluinya. Sajak-sajaknya, terutama dalam Surat Kertas Hijau (1953), benar-benar mewakili sosok kepenyairan Sitor yang banyak dikagumi orang pada 1950-an.

Bersama puisi dari dua antologinya yang terbit kemudian (Dalam Sajak, Wajah Tak Bernama, 1955), Sitor mengabadikan dunia yang dekat dengan alam dan sarat dengan kedalaman perasaan. Kekuatan puisinya memang terletak di sana. Ketika sang penyair mulai berkenalan dengan politik, puisi-puisinya masa itu menampilkan pengalaman “di permukaan” yang belum terkristalisasi dengan baik.

Satu-satunya kumpulan sajak Sitor dari masa bergolak Orde Lama berjudul Zaman Baru, yang terbit pada 1962. Pada 1977, tiga tahun setelah keluar dari penjara terbit Peta Perjalanan yang kemudian disusul buku berjudul Angin Danau (1982). Buku kumpulan cerita pendeknya ada dua yakni Pertempuran dan Salju di Paris (1956) dan Pangeran (1963), selain itu ada sebuah drama, berjudul Jalan Mutiara.

Sitor Situmorang lahir di Harianboho, Pulau Samosir, Sumatra Utara, pada 2 Oktober 1923. Setelah menamatkan MULO di Tarutung, ia melanjutkan ke AMS di Jakarta, tapi tidak selesai. Pada 1948 ia berangkat ke Yogyakarta dan sempat ditawan Belanda dalam Aksi Militer II. Dua tahun kemudian ia melawat ke Belanda dan dilanjutkan ke Prancis.

Di sana, ia bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Paris hingga 1953. Antara 1956-1957, ia belajar film dan drama di Los Angeles, AS. Setelah itu, ia kembali ke Tanah Air dan melanjutkan aktifitasnya di bidang sastra dan politik.

Kehidupan pribadinya diwarnai dua pernikahan. Dari Teo Minar Gultom dan Barbara Brouwer, seorang diplomat Belanda, Sitor memperoleh tujuh anak. Sepuluh tahun terakhir, penyair yang sudah kenyang mengembara ini hidup dengan tenang di Appledorn, Belanda, bersama keluarganya. Di sana, ia mengajar, menulis puisi, dan mengikuti perkembangan politik Indonesia dengan mata dan hati yang nyalang.

Perbincangan antara Sitor dan wartawan TEMPO, Dwi Arjanto dan Hermien Y. Kleden, berlangsung tiga kali di sebuah restoran kecil di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Sembari meneguk bir dingin, kopi tubruk, dan mencicipi aneka penganan khas Indonesia, ia meladeni wawancara selama berjam-jam dalam suara lantang. Petikannya:

Anda pernah dianggap memojokkan para penulis Manifes Kebudayaan pada suatu masa. Apa komentar Anda?

Periode itu adalah periode polemik kebudayaan, sehingga istilah memojokkan, saya kira, tidak ada gunanya dipakai sekarang. Saya kira, dalam kilas balik perdebatan, suatu polemik kebudayaan yang wajar dalam dunia kebudayaan haruslah menjadi polemik intelektual, bukan polemik politik. Semua orang atau kelompok yang main pada waktu itu, dalam kilas balik peranannya pada 1960-an, harus bisa melihat posisi berpolemiknya secara obyektif. Entah sebagai pribadi atau kelompok. Tapi itu tidak terjadi dengan jelas.

Tidak semuanya begitu. Goenawan Mohamad melakukan semacam refleksi terhadap polemik itu dengan kelebihan dan kekurangannya dalam sebuah tulisannya pada 1993, Kesusasteraan dan Kekuasaan.

Itu saya anggap pengecualian. Dalam catatan sejarah, Goenawan ikut menandatangani Manikebu. Tapi, sekali lagi, setelah lebih dari 30 tahun, ia tampak berusaha melihat perannya pada masa itu dengan lebih obyektif, tidak terpaku dalam polarisasi politik pada 1960-an. Demikian juga Arief Budiman, yang secara guyon, pernah saya sebut sebagai “Manikebu murni”. Jadi maaf saja, tentang istilah itu: siapa memojokkan, siapa terpojok? Sebab, dalam polemik itu ada elemen pemihakan secara politik kepada peranan militer.

Manifes Kebudayaan disusun bukan sebagai pernyataan membantu komplotan militer menentang “revolusi” melainkan menentang doktrin “realisme sosialis” ala Stalin: politik sebagai panglima yang menentukan isi kesusastraan dan kesenian. Karya-karya Boris Pasternak, misalnya, kemudian membuktikan bahwa doktrin Stalin itu menimbulkan korban. Jadi, bukankah Manifes ada benarnya?

Ada benarnya, kalau dibatasi pada yang terjadi dalam sistem Soviet. Tapi, debat di sini dibuat sedemikian rupa seolah-olah oleh pemerintah komunis dengan sistem Stalinis sudah menguasai Indonesia. Padahal, jelas betul, bahwa tak pernah semenit pun komunis berkuasa di Indonesia sebagai sistem politik, lengkap dengan segala alat represi, seperti yang dikenal dalam sejarah Stalinis.

Jadi, Anda menolak adanya paham yang berkembang pada waktu itu, yang menjadikan politik sebagai panglima yang menentukan isi kesenian dan kesusastraan?

Tidak satu kali pun. Itu bukan kenyataan politik, tapi lebih merupakan refleksi dari polarisasi politik. Kaum Manikebu itu sampai sekarang selalu mengatakan Sukarno itu diktator. Kalau Sukarno itu diktator, tentu ada kediktatoran sebagai sistem. Sekarang, saya tantang orang Manikebu atau bekas Manikebu untuk menggambarkan kepada generasi baru sistem kediktatoran rezim Sukarno.

Kediktatoran memang tidak diterapkan sebagai sistem. Tapi, bagaimana dengan pelaksanaan pemerintahan sejak era Demokrasi Terpimpin yang berbau diktatorial?

Mari kita gambarkan. Sepanjang periode 1959-1965 ada paralel kekuasaan di dalam negara. Ada ABRI dengan Undang-Undang Darurat Perang, atau penguasa perang Jenderal Nasution, ada presiden, dan ada partai-partai dan parlemen yang dikurangi Masyumi dan Partai Nasional Indonesia (PNI) karena dilarang. Konteks ini selalu dibikin kabur, seolah-olah ada diktator bernama Sukarno yang mampu menghitam-putihkan segala perbuatan, seperti melarang Masyumi, melarang PNI, memenjarakan Sjahrir, membredel koran Pedoman dan Abadi. Itu semua ada dalam literatur asing.

Loh, bukannya semua itu ada dalam catatan sejarah?

Saya ringkaskan saja. Sekarang, paling baik bertanya pada saksi mata yang masih hidup. Jenderal besar Nasution, suatu ketika sebagai saksi mata, tolong tanyakan padanya adakah kediktatoran Sukarno. Kalau ada, apa kedudukan ABRI dan Jenderal Nasution dalam kediktatoran tersebut? Apakah bisa Sukarno main tangkap Sjahrir atau Natsir dan mencabut izin Pedoman dan Abadi? Nasution akan sangat berjasa kalau sekarang membuka tabir masa lalu itu. Sitor tidak perlu menjawabnya.

Kenapa Anda harus “meminjam” mulut Jenderal Nasution untuk mengatakan semua itu?

Karena dia masih hidup dan tahu dengan baik banyak hal. Saya tidak menganggap Sukarno pernah tiranis. Menurut saya, Sukarno justru menjadi korban sejarah terbesar dalam hal character assassination. Pada 1956-1957 itu, suasana negara benar-benar seperti setahun lalu (1998). Negara ini tercerai-berai. Dan terang-terangan ada intervensi luar yang disambut di dalam negeri. Maka, berlakulah UU Darurat. Segala sesuatu, seperti mencabut media, melarang partai, membubarkan partai, berdasarkan UU Darurat. Dan sekarang, saya ingin tahu penilaian Nasution, apakah perbuatan Sukarno itu tiranis.

Itu satu soal. Sekarang, tentang peran Anda sebagai seniman yang dekat dengan presiden dan kekuasaan pada waktu itu. Kenapa Anda tidak bersuara saat Manifes Kebudayaan diberangus?

Kenapa Sitor tidak bersuara? Detik itu saya menyayangkan peristiwa tersebut. Tapi waktu itu saya dalam situasi politik, suara saya adalah polemik politik. Saya memimpin Lembaga Kebudayaan Nasional dan anti-Manikebu. Dan bagi saya, sampai sekarang, penandatangan manifes itu isinya hanya “bunga-bunga” saja. Tapi intinya adalah perbuatan politik murni.

Itu terlalu menggeneralisasi. Bukankah ada di antara penandatangan Manifes Kebudayaan itu yang betul-betul ikhlas memperjuangkan kebebasan kreativitas?

Pasti ada. Tapi, perbuatan itu, penandatanganan itu an sich (semata-mata) dari Sabang sampai Merauke, betul-betul suatu tindakan politik.

Anda masih yakin begitu sampai sekarang?

Masih. Dan kalau saya balik pertanyaannya: mengapa para anggota Manifes pernah melakukan tindakan, selain ucapan individual tentang karya Pramoedya yang dilarang?

Wiratmo Soekito pernah mengatakan bahwa ia menulis surat kepada Jaksa Agung. Di surat itu ia menyatakan tindakan melarang buku itu tidak baik.

Oke. Hebat si Wiratmo itu. Tapi, kenapa Wiratmo tidak mengajak lagi tim lama (penandatangan Manifes Kebudayaan—Red.) untuk membikin tanda tangan menuntut, demi demokrasi Orde Baru, bahwa tidak baik melarang-larang karya sastra? Pernahkah mereka melakukan itu? Tidak. Secara individual mereka hanya bilang, “Oh, saya tak setuju Jaksa Agung melarang ini-itu.” Pertanyaan di atas terpaksa saya jawab sendiri. Sebab, mereka tahu betul bahwa mengumpulkan tanda tangan untuk aksi begitu adalah perbuatan politik. Dan Soeharto akan menilainya sebagai perbuatan politik.

Itu sekadar tafsiran atau benar-benar sudah ada tanya-jawab dengan mereka?

Itu tafsiran saya sekarang. Tapi akan saya pertahankan sampai ada jawaban mereka. Mereka betul-betul tunduk dan mendukung politik Orde Baru Soeharto dengan cara-caranya sendiri.

Mengapa Anda begitu keras mengkritik orang-orang Manifes Kebudayaan yang mendukung Orde Baru? Apa bedanya dengan Anda yang dulu amat mendukung Bung Karno melalui Lembaga Kebudayaan Nasional yang Anda pimpin?

Bedanya? Sebagian Manikebu mengaku tidak berpolitik. Sedangkan saya tidak munafik mendukung Bung Karno. Itu pengalaman sejarah bagi saya. Delapan tahun lebih saya dipenjarakan Orde Baru. Tetapi saya tidak lantas mengatakan, saya tidak berpolitik dan tidak mendukung Bung Karno.

Adakah yang Anda sesali dari perseteruan dengan para seniman Manifes Kebudayaan dari masa 1960-an?

Tidak ada sama sekali. Dan tidak sekali pun.

Lalu mengapa Anda minta maaf dalam pertemuan dengan Rendra dan Goenawan Mohamad dalam sebuah diskusi di Studio Oncor, Cipayung, pada 1993?

Saya minta maaf kepada orang-orang seperti Goenawan, Arief Budiman, Rendra—tidak kepada yang lain. Saya menghargai Goenawan karena saya baru mengerti bahwa dia tidak munafik dan betul-betul liberal. Soal maaf itu, dalam bahasa Inggrisnya, I feel sorry. Jadi lebih pada nuansa menyesalkan apa yang terjadi.

Permintaan maaf Anda disiarkan media massa keesokan harinya dan Anda marah. Apa ada yang menekan— misalnya kawan-kawan dari Lekra atau LKN—sehingga Anda kemudian “meralat” penjelasan soal itu?

Itu prasangka paling konyol. Mau minta maaf apa tidak, kan itu urusan saya. Siapa menekan? Apa kepentingannya? Pramoedya (Lekra), misalnya, sampai sekarang tidak pernah mempersoalkan hal itu dengan saya.

Nah, dalam hubungan dengan Pramoedya A. Toer, Mei lalu, dalam wawancara dengan TEMPO ia berpendirian orang yang tidak setuju dengan Bung Karno pada waktu itu harus minggir. Bagaimana pendapat Anda?

Saya kurang paham maksud Pram. Saat itu, dunia retorika ada dalam situasi yang keruh. Semua pihak—pejabat, ABRI, partai politik—mengatakan setuju dengan Sukarno. Dalam konteks itu saya bayangkan Pram ngomong, “Yah, jangan pura-puralah. Kalau tidak setuju minggir. Kalau melawan, melawanlah terang-terangan.” Saya mencoba menganalisis hal ini dari struktur kekuasaan.

Sampai sejauh mana para seniman harus mufakat dengan kekuasaan di bawah Sukarno pada saat itu?

Ini pertanyaan menarik. Menurut saya, tidak ada. Pelarangan musik ngak-ngik-ngok (Koes Plus) itu adalah insiden. Melarang Manikebu, yang buat saya dalam konteks politik bukan sastra, juga insiden. Itu bukan sesuatu yang terorganisasi melalui para agen polisi rahasia atau polisi pikiran. Secara pribadi saya berpendapat, Sukarno sangat liberal dalam gagasan seni.

Lalu, bagaimana penjelasan tentang tekanan terhadap para seniman Manifes Kebudayaan?

Mereka punya bayang-bayang bahwa komunisme akan menang dengan bantuan Sukarno. Mereka takut akan pikiran mereka sendiri. Bayangan, bahaya komunis itu kan cekokan dari Perang Dingin yang dilakukan dengan segala cara. Banyak orang yang takut atau ditakut-takuti dengan cara seperti itu.

Masa? Tulisan-tulisan dalam lembaran Lentera asuhan Pramoedya dalam harian Bintang Timur—koran berhaluan kiri—pada 1960-an itu kan kerap mengganyang para seniman Manifes Kebudayaan?

Ya. Tapi kalau direfleksi kembali, itu aksi-reaksi yang muncul dari dua pihak yang sama-sama ketakutan. Orang Manikebu takut pada bayangan komunisme. Sementara itu, orang macam Pramoedya galak ngomong karena bayangan bahaya fasis militerisme.

Tentang kegiatan kesenian. Apakah aktivitas politik berpengaruh terhadap proses kreatif Anda?

Saya gembira kalau karya saya dinilai. Kadang-kadang orang bingung karena saya seperti hanya aktif berkreasi pada 1953-1954. Ide-ide membanjir. Drama, puisi, dan cerita pendek. Saya dapat hadiah sastra dari Badan Musyawarah Nasional. Setelah saya keluar dari penjara (1978), Dewan Kesenian Jakarta memberikan hadiah sastra. Pada 1960-an, sembari berpartai, saya terus menulis, antara lain bermacam-macam sajak. Ada sajak persembahan dan sajak pesanan. Sejak awal saya bisa dipesan untuk menulis sajak. Jadi, bagi saya, menulis itu tidak bergantung pada suasana dari dalam (hati).

Beberapa pengamat menilai, puncak kreativitas Anda ada dalam kumpulan sajak Surat Kertas Hijau. Setelah itu kreativitas Anda menurun karena kegiatan politik. Benarkah demikian?

Dalam karya kreativitas, Prof. A. Teeuw dari Belanda pernah berkata, “Setelah aktif dalam politik, karya Sitor menurun dan mengecewakan.” Penyair Taufiq Ismail juga menyebutkan hal yang kurang lebih sama, “Sitor yang begitu saya junjung tinggi waktu keluarnya Surat Kertas Hijau terus jadi rusak karena politik.” Penilaian ini, menurut saya, bukan saja tidak ada dasar ilmiahnya, tapi juga bodoh.

Mengapa? Anda kecewa karena dikritik?

Sebab, semua orang ini tidak bisa membuktikan hubungan sebab-akibat antara berpolitik dan berkreativitas seni. Kalaupun mutu saya sebagai penyair itu mundur, politik jangan dibawa-bawa. Sebab, mungkin kreativitas saya memang sudah beku atau mandul.

Apakah Anda setuju dengan pendapat yang menyebutkan sajak-sajak Anda pada era 1960-an sangat berbau propaganda ?

Dalam sejarah sastra dan budaya, faktor-faktor negatif terhadap penciptaan justru melahirkan banyak karya empu. Jadi tidak alasan untuk mengatakan yang jelek-jelek. Akhirnya saya kembalikan semua itu kepada kreativitas sendiri. Pada 1960-an, saya banyak menulis sajak, tapi disimpan oleh Ajip Rosidi. Begitu diterbitkan oleh Ajip Rosidi, ternyata cukup menyentak.

Pada era 1950-an, banyak sajak Anda yang memukau tentang cinta dan dosa. Tapi, pada awal 1960-an ketika pulang dari Cina, Anda mulai menulis sajak yang memuji-muji komunis….

Kalau memuji-muji itu dalam arti menulis sajak, saya gagal. Tapi, dari kunjungan ke Cina itu, saya mengaku hormat terhadap revolusi mereka. Seperti saya juga mengharapkan mereka menghormati revolusi Indonesia.

Mari kita pindah ke pengalaman penjara. Apakah ada semacam dendam kepada Orde Baru karena Anda dipenjarakan tanpa surat penahanan, pemeriksaan, dan pengadilan?

Tidak. Karena saya seorang aktifis politik. Yang terjadi selama delapan tahun itu, saya pandang sebagai risiko berpolitik.

Apa yang Anda lakukan selepas dari Penjara Salemba?

Selepas dari penjara, saya mendapat status tahanan rumah,kemudian tahanan kota (1976-1978). Saya belum punya kartu tanda penduduk, masuk dalam lingkungan eks-tahanan politik, dan belum bisa mencari pekerjaan. Saya dan keluarga tinggal di daerah Karet, Jakarta Pusat. Keadaan kami sangat miskin. Baju hanya di badan. Rumah kami hanyalah gubuk yang atapnya sering bocor.

Bagaimana penerimaan teman-teman seniman?

Macam-macam. Suatu ketika, setelah menjadi tahanan kota, saya berobat ke Rumah Sakit Cikini. Di depan Taman Ismail Marzuki, karena melihat poster berita pameran teman lama saya, pelukis Nashar, saya mencuri-curi masuk. Akhirnya, saya masuk dan bertemu banyak teman lama. Ajip Rosidi, Ketua Dewan Kesenian Jakarta waktu itu, mengajak saya ke kantornya. Saya diundang makan dan minum. Banyak makanan enak di sana. Saya kemudian bilang kepada Ajip, “Saya senang saja dihargai, tapi kalau lantas karena itu kamu jadi kesulitan, tidak usahlah.”

Bagaimana dengan keluarga?

Dengan istri pertama saya, Teo Minar Gultom, kami memperoleh enam anak. Istri saya sudah lama sekali menderita. Nah, setelah keluar penjara, saya banyak mendapat kunjungan di rumah. Dan itu membuat istri saya makin menderita. Dia bilang, “Begitu kau pulang, orang-orang itu menunjukkan mukanya ke sini. Waktu kau dipenjara, tak seorang pun yang datang ke sini.” Dari segi ekonomi kami juga menderita. Sebab, jangankan waktu di penjara, pada masa bebas pun, saya belum pernah memiliki gaji teratur setiap bulan.

Apa yang Anda lakukan untuk memperoleh nafkah setelah bebas?

Saya tidak bisa bekerja. Anak perempuan saya yang bekerja dan memberikan nafkah. Ada bantuan seperti pakaian dan uang dari teman-teman seniman. Guntur Sukarnoputra berkunjung ke rumah. Ia memperbaiki rumah kami sehingga gubuk itu atapnya tidak lagi bocor. Pada 1977, Adam Malik (waktu itu menteri luar negeri) memanggil saya ke kantornya di Jalan Diponegoro. Dia minta maaf atas apa yang terjadi dan minta apa yang menimpa Bung Karno (oleh Orde Baru) tak usah dibicarakan lagi. Dia kemudian memberi bantuan Rp 250 ribu, untuk enam bulan. Saya dan Adam Malik punya hubungan pertemanan yang khusus.

Apa yang Anda lakukan antara 1976-1981 sebelum Anda mengajar di Leiden, Belanda?

Pada 1978, saya diminta membantu Prof. Anton Moeliono untuk membentuk tim penyusun Kamus Manajemen untuk LPPM di Menteng Raya. Saya diminta dalam proyek, bukan menjadi pegawai tetap. Di situ saya berstatus sebagai konsultan bahasa. Kemudian ada tawaran mengajar bahasa di Leiden. Sudah 10 tahun saya bekerja di sana.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito