Rabu, 18 Agustus 2010

Membaca “Langkah-Langkah” Sederhana Albrecht Goes

Nurel Javissyarqi
http://www.sastra-indonesia.com/

Ada sajak ditulis sederhana, tapi masih menawan digali kandungannya. Ada megah serta purna penggarapannya, sampai pesonakan mata-telinga. Tentu terketahui, dikala hari-hari diisi senandung puja nada puisi.

Tampak benar penggalian atau sekadar asal comot dari para pendahulu. Kentara pula penggurat pengekor, penjiplak atau berangkat memeras daya hidupnya, demi menelusuri di atas sejarah kehidupan.

Ada sajak belum jadi oleh tak sabaran suntuk seimbangkan nilai kata yang memondasi karyanya, sehingga tak sebuhul menstupa. Ini bisa diselidiki diksi-diksinya, apakah akrab penyairnya atau nyelonong tanpa kendali tanya, itu kelihatan jikalau menyusuri karya-karyanya.

Apakah dirinya kurang setia menapaki lelaku bathin kepenyairan, dalam pergantian waktu serupa tulisannya plin-plan, ada rasa ampang, njomplang dan seterusnya.

Ada penulis dinaungi bakat besar tapi terlalu menikmati kecerdasan, berjalan-jalan menyusuri naluri cemerlang meremahkan hal kodrati karyanya. Kata-katanya indah, namun tidak melekat senafas badan jiwa pergolakan di masanya.

Ada merangkaki ketekunan, tapi selepas kelihaiannya hadir, ikatan bathinnya melonggar melepas rerantai kemungkinan yang digayuh sebelumnya. Adanya terpancari cahaya puitik laksana pulung, tapi tak dirawatnya menjaga keseimbangan, buyar juga jadinya.

Sedari sini patut dirawat kewaspadaan, mencurigai himpunan perolehan diri, mematangkan tersirat pun sudah disuratkan. Melatih kepekaan di atas keseluruhan indra membaca tanda, sehingga wawasan bathin mengejawantah sedalam nafas pengertian dilakoninya.

Ini tidak berhenti, agar beberapa pintu terbuka mengisi kedahagaan, haus bertambah kerontang, temukan titik api gagasan sebatu lompatan, demi menerbangkan kehendak besar tengah mengeram di rahim kerinduan.

Terasa berat penyair sejati menapaki tangga kedirian. Kini aku insyaf, kenapa banyak dari mereka mati bunuh diri, gila, terkucilkan, serta nasib buruk lain semasa menggelandang mencari isyarat kalbu jaman.

Ada bergelimpangan di tengah jalan, putus-asa pula merasa puas sebelum waktu memanggilnya. Mungkin masih disebut namanya, tapi tak sekuat yang kurbankan hidupnya demi melestarikan nilai puitika, mencerahkan kekayaan bathin sesama, tulus berguna kejayaan dunia damai sentausa.
***

Albrecht Goes lahir 22 Maret 1908, meninggal 23 Februari 2000, penulis Jerman yang selama Perang Dunia II menjabat pendeta dalam ketentaraan Jerman. Setelah perang menulis beberapa novel yang berhubungan atas pengalamannya.

Salah satunya, Unruhige Nacht (1950), diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai “Arrow to the Heart” disesuaikan untuk disiarkan di televisi BBC Britania Raya, 1952.

Kini kucoba menafsirkan sajaknya di bawah ini:

LANGKAH-LANGKAH
Albrecht Goes

Anakku, pendek langkahmu yang pertama
Dan akan pendek pulalah langkahmu yang penghabisan.
Langkah pertama diiringi ayah dan bunda,
Langkah terakhir kaujalankan sendirian.

Mungkin setahun lagi, kau, anakku, akan membuat
Banyak langkah tanpa diawasi,
Entah itu nanti langkah apa
Dalam terang dan di malam hari?

Dunia ini luas dan milikmu,
Melangkahlah dengan tabah dan berani.
Setelah langkahmu yang terakhir, anakku,
Kita akan bersama kembali.

[Dari buku Malam Biru Di Berlin, terjemahan Berthold Damshäuser dan Ramadhan K.H. 1989]

Tapak pertama merisaukan, di sana ada ruang anggang-anggang; antara keyakinan ditancapkan berkeseluruhan niat, juga perasaan cemas pengalaman diimani bagi kesaksian.

Ini menyerapi segenap daya sekitar demi kokohkan langkah berikutnya; ada hening bersuara, ketakutan menggema memecahkan kendang telinga rasa dilahirkan, ada mengajak susuri jalan berduri tak dirasai.

Ialah gugusan gairah diledakkan sampai butiran terkecil mula kehadiran, nama lain sebelumnya batu, atau balokan kayu dengan kefitrohan. Kini debu-debu, pula arang pengisi ruangan kosong, dulu belum tertandai dimata, lalu sebagai sesuatu yang ada.

Bocah itu melawan bentukan nasib orang tuanya, sejarah akar menelusupi sela-sela seair hayati di goa keheningan, kiranya berharap tumbuh dicangkokkan.

Atau kelembutan angin sebarkan putik kembang, menari-nari bibit hayati menuju padang memungkinkan subur di jarak waktu nun jauh terlupa penghulu.

Kala sendirian betapa merindu bayu lama menghantarkan kokoh sekarang, andaikan hikayat baru di atas nama baru, sapaan lain masih menggenggam kesadaran puitik; hidup demi nafas-nafas bersama.

Sembari mencari titik lemah yang tidak menjelma awan pengayoman, diharapkan langkah penghabisan menawan setiap partikel pribadi seperti dirinya bersaksi.

Kala tanggungjawab menarik kesadaran, betapa sumringah kegelisahan dimatangkan; was-was dipadatkan, kelupaan terangkat kebebasan ke batas kemampuan.

Sambil menimba hening menimbang kesunyian, dari kegusarannya menebarkan jala kemana saja. Menarik bersegenap tenaga, timbullah perkiraan berasal himpitan kecewa, lantas menemukan bayangnya dari bayangan lain.

Sebatang pohon tumbuh di samping pepohonan, dilihatnya ada tumbang pula tidak berkembang, jikalau pohon asam perbahaui kesegaran dikala musim hujan.

Daunnya kembali perawan, bayangnya tidak tergoyahkan, angin pun segan meniup keras sekitarnya, hanya di jarak tertentu, menumbangkan pohonan tanggung.

Anak mencium keleluasaan pandang, keluar dari kerangkeng yang selama ini membelenggu langkah kaki. Kalau burung kuntul, lincah membajak bencah sawah, sebelum berniat menerbangkan sayap putih.

Rasa puas mengapungkan diri di udara, atau dahan mencium geraian hujan berkata; sambutlah musim, sambut kesucian terlahir, selepas negeri dilanda kekeringan lama.

Pada puncaknya, pepohon menggoyang batang menjatuhkan bebuahan, beburung melesat menuju sarang; setiap petang, malam pun pagi, awal kesadaran perbaharui masa demi wawasan bersanding perubahan yang memusarinya.

Lantas alam seisinya terhampar luas di atas ketabahan berani, mematangkan perolehan, pemahaman menghadirkan kekinian, sadarnya ruang-waktu peristiwa, yang diragukan kini menjelma kekuasaan.

Ingatan bentuk mewujud nyanyian, memadatkan keserupaan berarti, memangkas sampiran digenggamnya isi. Yang peroleh langkah akhir sepenuh makna, perasaan sepadan nyanyian masa menghirup keseimbangan pengertian.

Tak terlampau kenyang pun keterlaluan lapar, nilai pantas dipegang menatapi tapal batas kemungkinan; kepurnaan manusiawi, hakikat perjalanan menuntun itu menentukan cahaya hikmah meresapi relung terdalam.

Pada giliranya keleluasaan pandang, nafas teratur, faham dijalani kefitrian, mendapati pancaran damai, dunia puitik nirwana dijanjikan sedataran diimpi. Ini betapa realis bagi jiwa-jiwa berkesaksian, iman manis dari kegetiran dirasa, atau di balik lipatan pahit, ada madu keabadian.

Umpama bersyukur membuka tirai-tirai cakrawala yang melingkupi, warna keindahan meresapi tulang sum-sum penciptaan. Atau kelahiran terbaca di akhir meniti jalan lelah, nafas tersengal bangkitkan perasaan hidup menerus.

Akhirnya pemahaman menyamudra, tiada perbedaan meski dari sungai-sungai tak sama alirannya. Sungguh demikian, langkah akhir tertanda? Lalu masuk ke dalamnya, bersama kembali.

Arief Zulkornen, Tukang Jahit Kitab dari Kampung Mercon

Tetap Bertahan Melestarikan Tradisi Penjilidan Manual
Fahrudin Nasrulloh
http://www.sastra-indonesia.com/

Di tengah industri penjilidan ala modern, sosok Arief Zulkornen merupakan keajaiban kecil di tengah gemuruh industri di Jombang yang umumnya berorientasi pada keuntungan besar. “Saya hanya melakoni wasiat abah saya untuk terus melanjutkan usaha penjilidan ini,” demikian tuturnya, pada Senin sore, 25 Agustus 2008. Bapaknya, Pak Zulkornen yang kelahiran 1956 di Rembang itu, semula nyantri di Pondok Tebuireng pada jaman Gus Kholik (kakak Kiai Yusuf Hasyim), putra KH. Hasyim Asy’ari. Kemudian ia menikah dan menetap Kampung Keras, Desa Keras, Kecamatan Diwek.

“Sebelumnya, bapak saya belajar pada Pak Halimi. Tapi orang yang paling awal memulai penjilidan manual ini adalah Pak Dawam, santrinya Mbah Hasyim,” tambah Arief yang menekuni bidang unik ini sejak 1993, di usia 17 tahun. Usaha bapaknya dimulai tahun 70-an sampai 2005. Order Pak Zul, semula dirintis dari pondok ke pondok, karena relasi belum luas. Seperti dari Pondok Gontor sampai Mojokerto, Lirboyo hingga hampir pelanggannya pernah dari seluruh Jawa Timur. Waktu itu ia sempat dibantu adiknya, Kamaluddin. “Dulu pernah abah punya 4 karyawan, setelah dapat order dari Kiai Zainal dari sebuah pesantren di Ngoro, dengan orderan sekitar 100 jilidan sebulan, mulai tahun 80-an sampai 1997. Mereka pesan nyetak Al-Qur’an ke Penerbit Toha Putra dalam bentuk sudah jahitan, lalu diserahkan pada kami untuk dijilid,” kenang Arief sembari memandangi foto abahnya di dinding ruang tamunya. Sementara order jilidan terbanyak dari para santri di sekitar Tebuireng.

Usaha ini kemudian agak merosot di tahun 1995 hingga 1997, ketika penjilidan modern mulai berkembang pesat. Terlebih pada 2005, saat Pak Zul meninggal dan Arief musti meneruskan amanatnya tersebut.

Proses penjilidan manual ini kelihatannya sederhana. Tapi hasilnya cukup memuaskan. Jahitan manual dapat diuji dan lebih kuat serta tahan lama puluhan tahun dibanding hasil jilidan pada umumnya. Juga cara penyampulan dan pengelemannya. Yang pasti hasil kerjanya lebih indah dan cantik serta membikin pembaca kian mencintai buku yang sebelumnya robek-robek atau mbrodol. Arief melayani mulai dari penjilidan buku, kitab, majalah, dan koran. Caranya pertama: diurutkan nomornya, dijahit, dilem, dikeringkan, dipotong, lalu dirapikan. Rincian bahannya: karton, kertas, lem rajawali, benang bol, dan lem latex. Sementara alat-alat yang digunakannya berupa gunting kuno, pres besi lawas, penjepit antik, gaman pemotong, bor baja pilihan, pisau penghalus, dan jarum penjahit.

Saat ini langganan yang terbilang tetap ada dua: H. Syafiq Munawwar (dari Perpustakaan Darul Ilmi Ponpes Al-Munawwar Sidayu Gresik); Perpustakaan Ponpes Wahid Hasyim Tebuireng yang sejak 20-an tahun lalu dipasrah-kelolakan pada Pak Zainal dan dibantu oleh Mas Tamrin. “Pernah ada juga yang njilid ke sini, sekitar tahun 1998, yaitu perpustakaan KUA Kertosono. Karena, kata mereka, hasilnya bagus sekali. Terbukti kemudian, KUA ini memeroleh juara tingkat karesidenan Kediri. Hingga kepala KUA-nya saat itu di-haji-kan. Sejak itu, hampir seluruh KUA Kota Kediri juga njilid ke sini,” papar Arief.

Harga penjilidan tergantung ukurannya. Rata-rata, untuk ukuran koran 20 ribu, majalah 15 ribu, dan buku 13 ribu. Ketika ditanya kenapa ia masih berkeyakinan untuk tetap meneruskan usaha ini, ia menjawab, “Jilid-menjilid itu merupakan karya seni. Nilai artistiknya ya pasti kepuasan yang susah diungkapkan. Dari sesutu yang amburadul menjadi rapi kembali. Pelanggan puas, saya bahagia. Intinya, memuaskan orang itu kan juga berpahala.”

Ia juga pembaca berat semua jenis buku. Bahwa yang njilid di tempatnya berasal dari berbagai macam orang dalam bentuk jenis buku yang berbeda-beda pula. Ia bercerita soal pengalaman abahnya, “Pas jamannya abah, ada orang suruhan Kiai Syamsuri dari Tebuireng untuk menjilidkan kitabnya. Beberapa jilid kitab kuning, cetakan Penerbit Beirut, lawas sekali. Isinya tentang tafsir, seingat saya. Kitab tersebut katanya waktu itu seharga seekor kambing.”

Pengalaman Arief yang paling berkesan adalah ketika datang order jilidan berupa akte nikah dari jaman Belanda, ejaan lama, dari kantor KUA Kertosono. “Masya Allah, susahnya amit-amit, saya keringetan pas njilidnya. Soalnya kan kertasnya sudah sangat tua. Jadi motongnya harus hati-hati sekali,” ceritanya bersemangat sambil menyruput kopi-jahe panasnya. Dalam lima bulan belakangan ia menerima order cukup menumpuk dari seorang penulis asal Mojokuripan berupa buku-buku sastra lawas, naskah Jawa kuno, komik-komik, dan cerita silat. Uniknya, penulis ini, saking salutnya, seringkali langsung bayar sebelum jilidannya selesai.

Ia berharap dapat terus ngopeni penjilidan ini, entah sampai kapan. Ia pun membayangkan usahanya dapat lebih maju dan berkembang plus bertambah langganan. “Sebenarnya butuh rekan satu atau dua. Tapi saya belum bisa bayar secara pantas. Dan keterampilan ini kan butuh kesabaran dan ketelatenan. Jadi jarang ada yang mau gabung. Yang belum bisa saya punya cuma mesin potong besar. Ya, agar tidak riwa-riwi ke kota Jombang untuk motong,” begitu pungkasnya.

Jalan Teater, Ketunggalan atau Keberagaman?*

Halim HD**
http://www.kompas.com/

KENAPA teater tidak pernah surut dari kehidupan kaum muda, dan kenapa pula jalan itu yang menjadi pilihan bagi mereka untuk mencari dan menyatakan diri mereka? Hidup tampaknya bukan hanya untuk mencari pengisi sejengkal perut di antara kesulitan hidup dan jejalan iklan konsumtif yang selalu menggoda yang ada pada semua ruang. Namun, di situ pula saya menyaksikan, dengan rasa heran yang tak pernah selesai, luapan energi yang menggelegak yang tak pernah sirna dari kedalaman diri kaum muda yang menggabungkan energi mereka ke dalam berbagai grup teater: pencarian diri. Maka, teater menjadi suatu kawah yang menggodok diri mereka ke dalam gabungan arus energi yang tak pernah henti, yang mereka salurkan pula ke dalam kehidupan kemasyarakatan dan dalam proses kebudayaan.

Secara individual dan secara psikologis, teater bisa menjadi suatu proses dari pematangan seseorang kepada pilihan hidupnya yang akan datang; dia menjadi rentangan waktu dalam proses pengujian bagi pencarian kepribadian, dan di dalamnya kita dapatkan berbagai usaha secara individual maupun sosial untuk menyatakan diri secara bersama-sama. Namun, di situ pulalah soalnya; masalah yang tak pernah bisa kita mungkiri bahwa setiap pribadi memiliki kehendak dan tujuan masing-masing. Adakah keunikan, kekhasan kepribadian akan makin berkembang atau sirna di dalam proses pengelompokan, seperti “nasionalisasi massa” (meminjam ungkapan George Mosse, Universitas Wisconsin, dalam bukunya The Nationalization of the Masses, Cornell University Press, 1975) yang gemuruh dan menggerus siapa saja di dalam suatu proses politik dalam penggalangan massa partai ketika kampanye atau pada berbagai ritus politik lainnya?

Dalam suatu keluarga yang ideal kita menemukan suatu proses yang sangat menarik, ketika kedua orangtua tidak lagi memiliki hak dan kewajiban untuk menentukan arah yang paling mendasar dan penting bagi kehidupan seorang anak di dalam pencarian diri mereka. Orangtua hanya sebagai “fasilitator” dalam proses arah yang akan dipilih oleh sang anak. Untuk itulah kebenaran terdapat dalam ungkapan yang bermakna luhur dari pujangga Lebanon, Kahlil Gibran: anakmu adalah panah yang lepas dari busurnya yang menembus kegelapan malam. Di situlah pencarian diri dan misteri kehidupan senantiasa dilakukan dan ditemui oleh setiap orang berdasarkan kapasitas masing-masing.

Erich Fromm, seorang sosialis-humanis di dalam uraiannya yang mendalam tentang hubungan manusiawi dalam bukunya yang sangat terkenal, The Art of Loving yang terbit empat dekade yang lampau mengungkapkan bahwa ada empat hal yang terpenting di dalam proses pengembangan kasih sayang, yang digambarkannya dengan contoh yang sangat menarik tentang hubungan antara orangtua dengan sang anak, yakni: “responsibility” (tanggung jawab), “care” (pemeliharaan), “knowledge” (pengetahuan), dan “respect” (rasa hormat). Adakah teater bisa dimaknai seperti itu pada proses dari setiap orang dalam pencarian dirinya di dalam kebersamaan? Ataukah dia hanya menjadi milik “sang pendiri”, “sang sesepuh”, “sang sutradara”, “sang penentu ideologis teater” yang bagaikan suatu rezim pada sebuah grup, yang pada akhirnya mengulang kembali lubang hitam sejarah berbagai grup yang pernah ada di bumi nusantara ini: raja-raja kecil, dengan sejumlah instruksi yang mesti dituruti. Dan lubang hitam itu makin terhunjam ke dalam kehidupan sosial ketika berbagai lembaga dan sarana demokratisasi tidak berjalan semestinya, dan teater tak mampu mengelakkan dirinya dari godaan untuk menolak kerakusan cara-cara kekuasaan.

Lihatlah sekeliling kita yang kini masih memprihatinkan di dalam kehidupan grup teaternya: fanatisme kelompok, ketidakmatangan di dalam perbedaan pendapat, kontrol yang dominan dari para senior yang menjadi kaum feodal baru, dan berbagai problematik sosial dan psikologis yang ada di dalamnya, yang kesemuanya mencerminkan realitas tentang ketidakpahaman di dalam memaknai teater sebagai jalan dalam kehidupan sosial. Tapi, kondisi seperti itu tidak mengurangi gairah kaum muda untuk menapaki jalan, atau sekadar untuk menjadi anggota sebuah grup. Adakah hal ini sekadar luapan emosional akibat kebuntuan lembaga sosial yang tak mampu menyalurkan berbagai inspirasi, gagasan, cita-cita, dan harapan kaum muda.

Tampaknya, dorongan menapaki jalan teater atau sekadar memasuki sebuah grup bersama teman-teman lainnya untuk bermain teater, bukanlah sekadar soal kebuntuan berbagai institusi sosial yang ada di lingkungan kaum muda. Ada hal yang lebih dari itu yang tampaknya terus menggelitik dan menggoda dirinya untuk memasuki dan menapaki wilayah itu, walaupun sekadar sekejap: sebuah panggung yang dibayangkan akan menampilkan dirinya, dan di situlah dia hadir bersama suatu dunia. Bayangan atau sejenis harapan seperti itu senantiasa menggoda kaum muda yang seakan-akan dunia dalam genggamannya ketika dia berada di atas panggung, yang oleh banyak orang dianggap sebagai kegamangan. Tapi, kondisi psikologis dan eksistensial seperti itu bukanlah hanya milik semata-mata kaum muda saja; di kalangan kaum tua pun senantiasa bermunculan godaan akibat post-power syndrome, yang justru bagaikan ketoprak humor yang sama sekali tidak lucu yang dipenuhi oleh berbagai “fatwa moral” yang instruktif tentang heroisme dan ketaqlidan tatanan kehidupan berdasarkan versi mereka yang tak lagi mampu menciptakan dirinya sebagai panutan sosial, yang pada saat yang sama mengalami berbagai gugatan dari kaum muda.

Panggung teater dan panggung sosial menjadi ajang, dan pada setiap saat di mana saja selalu bermunculan “kudeta terselubung” pada ruang-ruang publik, dan bahkan telah memasuki ruang pribadi, di dalam tatanan rumah tangga. Keretakan hubungan itulah yang tampaknya membawa kaum muda untuk mencari wilayah dan ruang bagi dirinya, ketika lembaga pendidikan, berbagai lembaga sosial menjadi mampat dan buntu serta lembaga keluarga yang tidak lagi memberikan kehangatan. Tapi, risiko untuk memasuki dan menapaki wilayah atau jalan teater itu membawa mereka kepada ikatan baru yang juga tak sepenuhnya ideal sebagaimana mereka bayangkan. Di dalam ruang dan wilayah teater itu sendiri telah ter/di-bentuk sejenis kekuasaan oleh para pendahulunya, yang bahkan kerap lebih keras daripada yang ada di luar wilayah itu. Ironi kehidupan sosial senantiasa terjadi di mana-mana.

Dengan idealisasi dan memperbandingkan serta membayangkan suatu komunitas teater sebagai wilayah yang beragam, yang menampung berbagai keunikan, kekhasan, dan menghormati adanya suatu misteri yang terselubung dalam proses pencarian seseorang yang berada di dalam grup atau jalan teater sebagai harapan yang kita lambungkan pada dunia itu. Adakah jika kita menerapkan perspektif idealisasi itu suatu hal yang mustahil pada grup-grup teater kita? Kita menyaksikan banyak sosok telah lahir, dari waktu ke waktu, sebagai pribadi dari jenis dan bentuk seni pertunjukan yang memang selalu sarat dengan penyajian dan pergulatan berbagai masalah kehidupan. Dan darinya pula setiap orang diharapkan bisa ngangsu kawruh, menimba makna dan nilai-nilai kehidupan, dan nglakoni sebagai proses pencarian jati diri individual maupun sosial.

Namun, realitas kehidupan jelas-jelas tidak semulus harapan yang kita bayangkan; ironi senantiasa pula terdapat di dalam dunia teater. Ada pula begitu banyak orang yang dirinya diidentikkan dengan grup yang memandang dan cara mengembangkan grup atau komunitas lalu menjadi paranoia: mencurigai berbagai perbedaan dan pilihan yang muncul dan datang dari seorang anggota grup/komunitas. Hidupnya sangat obsesif dan posesif terhadap grup, hampir-hampir mendekati fanatisme sektarian yang menggembleng setiap anggota grupnya untuk taqlid dan hanya menurut kepada arah yang diberikan oleh “sang pemimpin”, yang kebetulan juga mendirikan grup yang bersangkutan. Pada kasus lainnya, pada grup yang sudah sirna, dan atau yang sedang tumbuh, terdapat “feodalisme” yang ditancapkan untuk memberikan “bobot” kepada posisi seseorang yang merasa dirinya sebagai “sesepuh”, “sang paling ahli”, yang selalu menganggap dirinya memiliki sentuhan akhir sebelum segala sesuatunya berhadapan di panggung masyarakat.

Dengan dalih itu pula suatu grup teater ingin dikangkangi sebagai milik dirinya, dan sekaligus pula melakukan sensor atas berbagai pemikiran dan arus bawah yang datang dari anggotanya. Tentu selalu ada ungkapan yang menggebu-gebu tentang “keterbukaan”, “partisipasi anggota”, “bebrayan” (hubungan antar-saudara), “solidaritas”, “komitmen”, “dialog”, “diskusi”, yang kesemuanya itu tak lebih dan tak kurang pula bagaikan penjelasan juru penerang departemen di zaman rezim Soeharto-Harmoko, yang kayak “anjing menggonggong”, kata esayis-penyair Afrizal Malna, yang terlampau sadar kepada posisi dirinya bahwa dia memiliki “otoritas” sebagai pendiri (juga biasanya sebagai sutradara, penulis naskah, tentu juga sebagai “sang pemimpin”!). Dirinya ditabalkan sebagai “akar tunggang” dan sekaligus “masa depan” yang akan dan harus diraihnya. Maka para anggota grup teater hanya sekadar jadi “pelengkap penderita” yang notabene juga sebenarnya adalah ikut mendirikan dan ikut pula membesarkan grup yang bersangkutan. Lalu pertanyaan kita: ke mana pula prinsip dan proses “biarkan bunga-bunga berkembang bersama warnanya masing-masing?”

Jadi, betapa ringkih dan rapuhnya jarak-makna yang terbentang antara “grup teater” dengan “jalan teater”, yang kini di hadapi oleh setiap orang yang akan dan sedang mencari serta memahami misteri dan keunikan hidup yang dimaknai oleh usaha pencariannya ke arah kebersamaan. Mungkin dia yang tak mendapatkan tempat pada grup, bisa juga memaknai atau bahkan menjalani “jalan teater” yang sesungguhnya, bahwa hidup itu sendiri suatu “lahan teater” yang terbuka selebar-lebarnya dan senantiasa menampung siapa saja, yang memiliki tangan yang terampil, kaki yang kukuh, pikiran yang jernih dan terbuka serta perasaan mendalam dan kehendak yang tak mudah goyah, yang mendorong metabolisme di dalam dirinya untuk mengucurkan keringat yang bisa membasahi bumi dan tanah yang dipijak olehnya. Di situ pula kita akan menyaksikan tumbuhnya rerumputan dan pepohonan kebudayaan dan kehidupan yang memiliki akar yang lebih kuat dan mendalam.

Dan, teater, sebagaimana selalu saya pahami dan maknai pada kehidupan dan pertumbuhannya senantiasa secara nyata tampak sebagai daur ulang dari berbagai jenis batu nisan yang dipahatkan bagi kehidupan yang akan datang. Di situ pula kita menyaksikan torehan makna dari tangan-tangan yang menggeletarkan energi yang terus meraba tak henti-hentinya di dalam pencarian dan pemahaman misteri serta keunikan hidup.

**) Networker Kebudayaan.
*) digunting dari Kompas, 09 Februari 2003.

SSSSST, ADA PEMBUNUH CINTA DI ISTANA!

Robin Al Kautsar
http://www.sastra-indonesia.com/

“Ji, di dalam cerita peperangan dan penderitaan yang paling kejam sekalipun, di sana ada kisah cintanya. Sedangkan drama kehidupanmu begitu hambar.”
(PDN, hal 143)

”Pembunuh di Istana Negara” karya Dhian Hari M.D. Atmaja pada dasarnya mencoba mengangkat tema politik. Suatu tema yang cukup jarang diangkat akhir-akhir ini, di mana tema seks begitu mendominasi. Oleh karena itu tema ini mengingatkan saya bahwa sebagian sastrawan kita dulu begitu berpretensi melukisan kecenderungan-kecenderungan utama masyarakat yang berpusat pada negara seperti “Grota Azura” karya Sutan Takdir Alisyahbana atau bahkan pada “Nyali” karya Putu Wijaya. Kebetulan kedua karya tersebut tidak begitu disambut secara luas. Mungkinkah karenanya tema politik akhirnya dihindari oleh banyak pengarang?

Ini memang novel politik. Banyak gagasan politik dibicarakan di situ. Walaupun demikian pengarang memberikan porsi yang cukup besar bagi pembicaraan cinta dan adegan percintaan. Apakah pengarang tidak begitu percaya diri untuk fokus pada tema yang diusungnya? Atau bahkan mungkin pengarang begitu terpengaruh oleh resep Hollywood dimana setiap pahlawan pasti akan dipertemukan dengan pahlawin, kemudian keduanya bercinta dan berzina terang-terangan, apapun temanya. Cuma bedanya kalau Hollywood mengakhiri ceritanya dengan happy ending dan Dhian mengakhirinya dengan tragedi. Mari kita simak dialog berikut ini:

“Aku sungguh ingin membantu!”, jawab Agung dengan pasti
“Kalau kamu sungguh ingin membantu, ajak aku masuk ke dalam dan cumbui aku. Buai aku dalam kasih sayangmu yang seperti lautan madu.”, Ucap Rina menggoda
………………………………………………………………………………………………………………………….
Ia hanya bisa memeluk Rina dengan erat……………………………………………………………….
Air mata terbendung untuk kali ini dalam nafas yang memburu, dan kesedihanpun terbungkam begitu jauh.

Tampaknya pengarang begitu obsesif dengan adegan percintaan, sampai-sampai realitas adegan di rumah kos di tengah masyarakat ditabrak begitu saja. Ini penting dibicarakan mengingat novel adalah genre sastra yang paling mimesis.

Bagi saya Kapten Agung Sutomo adalah tokoh sentral novel ini dan konflik yang terjadi adalah dia dengan dirinya sendiri, setelah menilai situasi sosial politik di sekitar, lebih-lebih dia ikut merasakan pahitnya kehidupan orang tua Rina dipecundangi oleh praktek-praktek aparat negara, meskipun dia sendiri berada di .pusat kekuasaan. Ide-ide revolusi mencuat dalam dialognya bersama Oka:
“Jadi revolusi tidak bisa menjadi jalan keluar demi membangun negara humanis, Mas?”, tanya Agung setelah mendengar ketidakpercayaan Oka pada jalan revolusi. Dan posisi pengarang memang termasuk yang tidak percaya pada revolusi, meskipun deskripsinya tentang apa itu revolusi dan apa itu negara humanis sangat tidak memadai. Pandangan pengarang yang disampaikan lewat Oka seperti: “Revolusi akan menimbulkan masalah baru yang lebih besar. Mengacaukan sistem ekonomi, politik, keamanan dan aspek kenegaraan yang lain.” Dengan alasan: “ Dalam setiap prahara dan perubahan rakyat selalu menjadi korban”. Pandangan seperti ini sangat naif dan sering dibangun oleh pihak yang anti perubahan untuk menjadi bahasa dan nina bobok rakyat. Tidak mengapa pengarang tidak percaya pada revolusi, tetapi daya jelajah dan luasan penglihatannya untuk mengenali dan mengeksplorasi bagian krusial ini harusnya melampaui bahasa rakyat jelata (baca: tidak memiliki kesadaran politik).

Membicarakan revolusi tanpa mengeksplorasi pemikiran Marx akan sangat dangkal dan ahistoris. Mungkinkah ada reaksi tanpa ada aksi? Mungkinkah perubahan akan terjadi tanpa adanya kegelisahan masyarakat yang meluas? Sayang sekali Wiku Sapta Seloka, Wayang dan Aji Saka yang pernah menjadi aktivis kampus tak dapat memerankan fungsi jembatan antara kegelisahan masayarakat akar rumput dengan diskursus revolusi (dalam bahasa akademis) yang antara lain dikembangkan oleh Marx. Oleh karena itu tidak aneh kalau pusat agen perubahan sosial hanyalah Presiden, yang dalam negara modern sebenarnya jauh lebih ringkih dari yang dipikirkan awam.

Tetapi ini novel, bukan paparan ilmiah! Betul sekali. Tetapi mengangkat tema besar seperti itu punya resiko tersendiri. Ketika pengarang tidak parcaya pada kekuatan kata semata ia meminta bantuan gambar yang bernama diagram hirarkis terbalik. Padahal diagram tersebut tidak memperkaya novel untuk lebih menggugah atau memperjelas. Tidak jelek memasang diagram asal telah terinternalisasi dalam kemurnian ruang ilham. Namun memang tidak mudah menaklukkan medium seni. Keinginan Iwan Simatupang untuk menciptakan novel tanpa tokoh tanpa plot tidak pernah terealisasikan, karena kemungkinan besar hasilnya bukan novel tapi buku sosiologi atau psikologi.

Penokohan dalam novel ini walaupun kurang kuat karakterisasinya dapat digambarkan sebagai Agung sebagai protagonis dan antagonis di bagian inti dan selebihnya yang menggunakan nama imajiner ( Wiku Sapta Seloka, Wayang dan Aji Saka ) sebagai wakil dari kehidupan pengarang di bagian plasma. Sedang tentang kehadiran Gadis dan Rina hanyalah instrumen untuk adegan percintaan yang menjadi kredo pengarang di atas. Dengan demikian walaupun pengarang berada pada posisi pihak ketiga yang serba tahu, dia telah sekuat tenaga untuk sebagai pengamat yang netral. Tentu saja dia tidak banyak tahu, sehingga deskripsi tentang istana yang rumit tak dapat ditampilkan sebagai bagian ketegangan ketika protagonis dan antagonis mengalami konflik yang amat sangat hebat.

Ketegangan yang terjadi pada klimaks sungguh singkat dan mentah. Bagaimanapun novel ini adalah novel konvensional, dimana kepiawaian pengarang sangat diuji untuk menciptakan tanda tanya besar yang membuat pembaca menahan nafas dan akan marah kalau bacaannya disela orang lain. Terusnya bagaimana? Selamatkah tokoh utamanya? Sayang sekali klimaks segera beralih menjadi anti klimaks. Dan penyelesaiannya mudah ditebak, pengarang mengokohkan kembali siap anti-revolusinya. Apakah pengarang seorang pemuda konservatif alias jumud?

Membaca novel ini alurnya terasa lambat dan bertele-tele. Apalagi dialognya tampak anakronistik dan tidak lincah, sehingga realitas yang nyaris digenggamnya kembali luput tak terpaut. “Contoh: Ada waktunya mas waktu untuk kita berdua. Lagipula Aji sudah lama tidak ke sini. Lebih baik kalian pergi hanya berdua’ Meluncur ke dinginnya aspal tempat kalian mengais-ngais sesuatu. Atau hanya untuk sekedar mengenang masalalu saja.” Mungkinkah ini kata-kata istri yang telah kita kenal tiap hari?” Rasa-rasanya ini seperti istri dalam sebuah sandiwara teater Dardanella.

Begitulah novel politik. Resiko menggarap novel politik sangat besar, karena pengarang harus mengolah dari bahan-bahan yang tidak murni. Bahasa yang ia pergunakan telah dibebani oleh wacana yang telah tertentu dan menyejarah yang pengarang harus menguasainya terlebih dahulu.

Tugu Gang I, Blok B, No.2, Jombang

Pledoi Sejarah Kebudayan Indonesia

Diana A.V. Sasa
http://dianasasa.blogspot.com/

“Sejarah senyap adalah sebuah metode dan usaha menggali kuburan ingatan kolektif dari persemayaman yang dipaksakan; sebuah ikhtiar mencabuti kembali patok-patok nisan tanpa nama dan mendengarkan tutur dari alam kubur kebudayaan Indonesia tentang apa yang sesungguhnya terjadi”

Emboss palu-arit tercetak samar di kertas putih bersih itu menghadirkan kembali rasa getir trauma masa lalu. Judul dengan warna merah menyala di samping logo penerbit bak darah mengalir, mengingatkan pada betapa banyak darah tertumpah yang menjadi tumbal gambar itu.

Desain sampul Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 yang disusun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan ini dibuat jelas bukan tanpa alasan. Selain peraturan pelarangan gambar itu masih belum dicabut, Lekra (Lembaga kebudayaan Rakyat) dalam sejarah memang selalu berada dalam bayang-bayang partai berlambang dua benda tajam senjata kaum tani itu, PKI (Partai Komunis Indonesia). Jika Lekra maka PKI, karena PKI maka (pasti) jahat, kejam, sadis, dan layak digorok. Sebuah peng-gebyah uyahan-yang keblinger berpuluh tahun.

Rhoma dan Muhidin adalah dua orang muda yang usianya belum juga genap 30, tapi kepeduliannya pada dokumentasi sejarah bangsa begitu besar. Rhoma adalah periset muda yang telah melahirkan pelbagai karya sejarah seperti Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007), Seabad Pers Perempuan (1908-2008), Almanak Partai Politik Indonesia, dan Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia (1908-2008). Muhidin adalah penulis muda yang namanya wira-wiri di media nasional dan telah melahirkan berpuluh buku sastra maupun esai. Dialah pemimpin riset Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia yg ditulis 25 penulis muda yang usianya masih di bawah 25 tahun. Mereka berdua ini selama 17 bulan dengan getih menyusuri kembali lembar demi lembar Harian Rakjat dalam lembab almari perpustakaan sunyi di pusat kota Jogjakarta dengan satu semangat: selamatkan aset sejarah sebelum kalah dengan rayap!

Sebanyak 15 ribu artikel budaya Harian Rakjat dalam ejaan lawas dan tulisan kecil-kecil mereka baca dengan tekun, mereka catat bagian-bagian pentingnya (karena tidak boleh menggunting apa lagi menfotokopi karena merusak kertas yang sudah rapuh itu), untuk kemudian menuliskannya kembali dengan beberapa tambahan intepretasi. Mereka menyuguhkan dengan apa adanya peristiwa-peristiwa kebudayaan yang terjadi sepanjang rentang waktu revolusi 1950-1965. Fakta demi fakta diuraikan. Dan hasilnya: Lekra tak hanya mengurusi soal sastra yang selalu diperdebatkan dengan Manikebu, tapi juga film, musik, seni tari, seni pertunjukan (ketoprak, wayang, ludruk, drama, reog), buku, pers, dan kebudayaan secara umum.

Buku ini, meski disebut sebagai “buku putih”, tapi bukanlah sebuah pledoi buta terhadap Lekra. Ia adalah ikhtiar memberi kesempatan bagi mereka untuk berbicara apa sesungguhnya yang telah mereka lakukan semasa kurun 15 tahun yang bergemuruh itu.
Jika boleh disandingkan, buku ini adalah jawaban paling serius dari Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI yang disusun DS Moeljanto (DSM) dan Taufik Ismail (TI) sekira tahun 1995 silam.

TI dalam pengantarnya mengatakan bahwa Prahara Budaya disusun dengan ketulusan hati ingin meluruskan sejarah. Buku itu ditujukan bagi pembaca muda yang tak mengalami peristiwa tersebut. Sementara Muhidin dan Rhoma dalam pengantarnya mengatakan bahwa Lekra Tak Membakar Buku ditujukan untuk mengingat kembali peran Lekra dalam kebudayaan Indonesia pada masa itu dengan apa adanya agar generasi yang tak mengalami peristiwa tersebut memperoleh informasi sejarah yang berimbang.

Jika Prahara Budaya bersampul “merah” itu disusun oleh dua budayawan lanjut usia (baca: tua) yang sangat antipati terhadap Lekra, maka buku ini disusun dua orang muda enerjik dari masa yang sudah sangat jauh berbeda tatkala Lekra berdiri kukuh. Meski ketebalan hanya berbeda kurang dari 60 halaman, tapi perbedaan di antara keduanya terlihat prinsipil.

Dalam Prahara Budaya, tak jelas disebutkan posisi DSM dan TI sebagai apa selain nama mereka tercantum disampul—mungkin lebih tepat jika disebut editor jika bukan kolektor—dari kliping koran, majalah, dan makalah kebudayaan di seputar tahun 60-an. Dokumen-dokumen itu disajikan mentah, sedikit pengantar dan komentar di bawah, yang kadang tak ada kaitannya dengan bahasan di atasnya, dan perubahan judul (tanpa penjelasan mengapa diubah dari aslinya) di sana sini.

Tulisan pengantar yang dibuat TI pun lebih banyak mengungkap ketaksetujuannya atas dasar iman dan pengalaman subjektif; tak terungkap argumen yang sifatnya ilmiah. Sistematika penyusunan dan kronologi peristiwanya juga tak tertata dengan baik. Sehingga buku ini sangat jauh dari ilmiah—lebih tepat disebut buku pembunuhan telak Lekra. Lebih banyak menyajikan konflik, saling tuduh, saling tuding, dan maki bak prahara seperti judulnya. Hasilnya: Lekra adalah organ kebudayaan kaum preman yang tak berotak, tukang keroyok, dan pembuat onar panggung kebudayaan.

Sementara Lekra Tak Membakar Buku, dihadirkan dengan sistematika dan kronologi yang runtut. Mulai dari apa dan bagaimana Lekra, riwayat Harian Rakjat, dan satu demi satu diuraikan bagaimana kerja Lekra dalam sastra, film, senirupa, seni pertunjukan, seni tari, musik, buku dan penerbitan. Melalui riset mendalam (seperti yang selalu diajarkan seniman organik Lekra), sepak-terjang seniman dan pekerja budaya Lekra menghalau serangan imperialisme budaya dan modal yang bersekutu dengan kekuatan feodalisme lokal diulas ulang. Sambil sesekali memasukkan kutipan-kutipan dari sumber asli disertai catatan rujukannya. Juga dilampirkan keterangan akronim, berikut data-data hasil rapat, susunan pengurus, anggota pimpinan pusat, pengumuman, dan keputusan-keputusan penting Lekra dari rapat-rapatnya.

Dalam “panggung” Lekra Tak membakar Buku ini, terungkap banyak realitas menarik yang banyak tak diketahui publik. Di antaranya adalah instruksi pada semua utusan Kongres I Lekra dari seluruh cabang di Indonesia pada Januari 1959 agar tak hanya membawa bahan untuk diperdebatkan, tetapi juga membawa alat musik, mainan anak-anak, kerajinan tangan, pakaian daerah, cerita-cerita, ornamen-ornamen, penerbitan, dan lagu-lagu daerah masing-masing. Semua itu digelar dalam sebuah bazar besar sehari sebelum hingga kongres berakhir. Pengunjung pameran mencapai 15000/malam; sebuah jumlah yang tak kecil pada masa itu.

Tak sekadar memajangnya, mereka juga mematok program untuk menginventariasi kekayaan-kekayaan cipta budaya Nusantara yang terserak ribuan jumlahnya itu sehingga tak dicaplok bangsa lain seperti kasus lagu Rasa Sayange beberapa waktu lalu.
Seniman-seniman Lekra juga giat menyerukan agar pemerintah memperkeras sikap dengan gambar-gambar dan lukisan cabul dalam bentuk dan kegunaan apa pun seperti ilustrasi, poster, dekor, ornamen, tekstil, dan sebagainya. Kita tak perlu ribut dengan kontroversi RUU pornografi hari ini jika saja mendengarakan apa kata seniman Lekra puluhan tahun silam.

Lekra tak membiarkan anggotanya menempuh jalan kebudayaan dengan ugal-ugalan. Setiap seniman mesti bertanggung jawab pada rakyat yang menjadi basis dayaciptanya. Lekra juga menekankan agar dalam proses mencipta (seperti sastra) selalu melalui riset ilmiah bukan ongkang-ongkang kaki sambil merokok dan menenggak alkohol. Sikap Lekra Jelas di sini bagaimana Lekra berpihak dalam peran budayanya dengan memundaki tiga asas: bekerja baik, belajar baik, dan bermoral baik.

Lekra Tak Membakar Buku adalah sebuah pembelaan atas tuduhan yang sering dilontarkan “lawan” budayanya pada masa itu. Salah satunya adalah bahwa Lekra organ budaya pembakar buku. Buku ini bersikap jelas dan tegas: TIDAK! Lekra percaya bahwa buku mampu mengubah dunia, tapi tidak sembarang buku. Buku yang mampu “mengubah” adalah buku yang isinya digali langsung dari perikehidupan rakyat melalui gerakan turun ke bawah dan bukan mimpi-mimpi kosong yang melulu menjual kepalsuan hidup dari kamar salon. Lekra memang melakukan “teror” atas buku-buku penandatangan Manikebu dan juga pentolan-pentolan Masjumi dan PSI yang terlarang. Tapi Rhoma dan Muhidin ini memberi dalih bahwa tak ada bukti Lekra mengorganisasi pembakaran buku yang mereka tak sukai yang kemudian menjadi judul bagi buku ini.

Terlepas dari beberapa kesalahan ketik di sana sini, buku ini adalah dokumen sejarah yang disusun anak muda generasi sekarang dengan “semangat ilmu pengetahuan” dan keseriusan di atas rata-rata. Muhidin dan Rhoma menasbihkan buku ini sebagai sebuah dokumen sejarah kebudayaan kita yang hilang dan terputus atas nama dendam politik yang terus diwariskan pada generasi muda.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito