Jumat, 28 Mei 2010

Sebias Cerah di Kampung Warna

Agus B. Harianto
http://www.sastra-indonesia.com/

Kampung Warna telah terukir dalam black list kepolisian setempat. Setiap intel seringkali mendapati Kartu Tanda Penduduk yang terselip dalam saku celana tahanannya menunjuk alamat kampung itu. Hingga guyonan tersendiri merebak di gedung pemerintah tersebut. Yang lebih menggembirakan lagi, mereka dapat langsung mengarahkan pencarian kala tindak kriminal terjadi di sekitar Surabaya Selatan. Sebagian besar dari penghuni penginapan mereka adalah warga kampung itu.

Berbalik fakta dalam Kampung Warna. Walaupun, kesedihan melanda janda-janda sementara, kesombongan semu tertelan waktu singkat, mengalun syahdu di sela-sela percakapan. Sudah menjadi rahasia umum, sebagian besar penduduk Kampung Warna merupakan residivis kambuhan. Hampir setiap warga merasakan kesenangan tersendiri dengan julukan yang terberi. Akibat yang timbul, kampung itu ditakuti warga kampung lain. Mereka tak pernah perduli dengan anggapan orang lain, tetap melangkah pada keteguhan sikap moral yang terbilang miring.

Letak kampung yang berdekatan dengan salah satu lokalisasi ternama di Surabaya itu, mungkin menjadi faktor utama pembentukan karakter penduduknya. Wanita-wanita hanya sebagai pelampiasan; pemuas birahi saat tidak mendapatkan sasaran empuk. Walau kata cinta menggelayuti nurani-nurani penduduk perempuan.

Tak kalah hebatnya, sebagian kaum hawa kampung tersebut, menafikan seks atas nama cinta pada keluarga. Mereka menjadi sangat liar mencari mangsa di malam hari, di mana saja. Bertebaran layaknya kunang-kunang memberikan sinar di rawa-rawa mistis lelaki hidung belang.

Warna hitam kehidupan terpasung sempurna di kampung itu. Sebagian penduduknya menjalankan ritual hidup yang menyimpang; mengejar gemerlap duniawi dengan segala cara. Di siang hari, rutinitas mereka mengacu pada kegiatan normal pekerja-pekerja kasar. Menyembunyikan kedok. Tanjung Perak ataupun tempat bekerja lain yang masih menerima pekerja yang hanya bermodalkan tenaga kasar, menjadi pelabuhan.

Kebanggaan lain Kampung Lawas, kampung tempat mereka tinggal aman dari maling kelas teri yang usil. Hingga tak jarang dijumpai motor-motor terparkir di halaman rumah tak berpagar pada malam hari, ataupun, barang berharga kainnya. Kalaupun toh ada yang hilang, hanya ulah iseng anak-anak yang keesokan hari telah kembali. Sehingga di kalangan warga sekitar, kampung tersebut menjadi teladan di bidang keamanan.

Tata ruang kampung yang diusulkan Cak Min—orang yang disegani oleh kawan maupun lawan terlebih dalam Kampung Warna. Walau tidak berkenan, predikat Tetua tersandang pada namanya—kepada kepala desa dan warga, kala rembug desa diadakan di balai desa, telah dilaksanakan penataannya beberapa tahu lalu. Menjadikan kampung Warna semakin tak terjangkau oleh kawanan pencuri manapun. Setiap perempatan jalan tembusan yang tak teratur, didirikan bangunan yang berfungsi sebagai pos ataupun sekedar tempat cangkruk pemuda-pemuda desa.

Setiap hari, tanpa memperdulikan waktu, tempat-tempat itu selalu terisi. Meski jauh dari tujuan semula. Ada yang sekedar menghabiskan waktu jenuh dengan bercanda bersama warga yang lain, ataupun sebagai pelabuhan tempat berjudi serta berpesta bersama kawan lain. Bagaimanapun juga, sesemrawut apapun itu, niatan awal tetap tercapai; pencurian-penjarahan tak pernah merambah kampung itu lagi.

Said adalah salah satu preman kambuhan yang memiliki selera humor tinggi, berpendapat dalam hatinya sendiri. Mengulas pekerjaannya dan menghubungkannya dengan usulan Cak Min. Kemudian, dia menjadikannya tebakan sesama saudara sependeritaan. Ketika menghabiskan siang kata bosan dalam gardu-pos yang dibangun. Dia dan beberapa warga yang kebetulan sedang libur ataupun menunggu giliran shift kerja, bercengkerama tanpa ada jurang pemisah di antara dua kalangan masyarakat yang sungguh berlawanan.

“Pekerja apa yang takut pada pekerjaannya sendiri?” tanya Said siang itu.

“Kamu, ada-ada saja, Id. Ya, tidak ada.”

“Ada!”

“Lantas, apa?”

“Ya, pekerjaan kita itu.” Di sambut dengan gelengan dan bibir menganga tanda tak mengerti. “Masih belum mengerti?”

Tak ada yang menjawab. Masing-masing melihat satu sama lain, karena kebebalan nalar mengejawantah artian. Maklum, mereka bukan pemikir, laksana orang-orang di papan atas yang mampu membodohi mereka dengan bermacam dalih. Said membiarkan keadaan itu berselang cukup lama, memancing rasa penasaran dan emosi jiwa meluap-luap.

“Kalian memang dungu, pantas saja kerjaannya maling.” Dengan semangat berucap, bagaikan penyair sedang melantunkan puisi perjuangan.

“Bangsat kau, Id! Apa jawabannya?”

“Pencuri, Tolol!” Sembari berlalu, meninggalkan mereka dalam kejengkelan.

“Diamput!” Disambut tawa ceria yang lain.
***

Bagaimanapun juga, preman juga makhluk sosial. Dalam kampung itu terdapat norma-norma sosial yang tertanam indah dalam benak masing-masing warga. Salah satunya adalah wajib saling menghargai. Meski tak luput dari kata-kata kotor dan cacian yang di luar kampung merupakan kata-kata dan kalimat tabu yang membakar telinga. Kelakar itulah yang justru menjadi salam pengantar dan intermesso perbincangan, tak perduli bocah hingga kakek-kakek, bahkan kaum wanita.

Seperti halnya pagi itu. Beberapa bocah tengah asyik berlarian, mengejar layang-layang putus, dengan latahnya, memaki pemuda seberang desa yang menghalangi. Tak seorang pun berani membalas sapaan akrab yang terjadi karena terpaksa, hanya karena pengucap sapa berasal dari Kampung Warna. Dengan keluguannya, mereka lantas mengambil layang-layang itu di pohon mangga di balik pagar teras perumahan tersebut.

“Hei, lagi ngapain kalian?” tegur dari pemilik pekarangan.

“Diamput, Lek! Aku cuma mengambil layang-layang.”

“Kalian arek mana, hah.”

“Kampung Warna. Memangnya kenapa! Nggak boleh?”

“Ya sudah. Ambillah dan lekas pergi.” Setengah memelas dan terkesan enggan menambah masalah dengan memarahi mereka, pemilik rumah membiarkan tiga bocah lugu tersebut mengacak-acak pekarangan rumahnya.

Pengalaman lalu; seorang pemilik rumah di lain desa, yang seharusnya tidak bersalah menjadi bulan-bulanan beberapa warga Kampung Warna, lantaran mengomeli seorang anak kecil dari Kampung Warna yang mengambil kelerengnya di pekarangan sebuah rumah mewah, dengan tuduhan-tuduhan keji yang dilontarkan oleh pemilik rumah tersebut.

“Iya, Lek. Terima kasih.” Mereka pun pergi sambil berlari meninggalkan pemilik pekarangan dalam kedunguan sikap.

Tiga Begundal Merah yang baru pulang dari mendapatkan sasaran empuk—konon, mereka adalah sahabat Said dari Yogyakarta. Melarikan diri setelah menganiaya anak pejabat teras kota budaya itu. Mereka bertiga bermigrasi kemari—menyaksikan ulah bocah-bocah tersebut, berdecak kagum akan keberanian. Mengingatkan mereka pada saat-saat bahagia masa kecil.
***

Setelah puas bercengkerama di gardu RT. 5 itu, Said membenamkan diri dengan secangkir kopi di warung depan Gedung Serbaguna, yang dulunya adalah telaga tempatnya memancing. Mendengarkan dangdut dari tape recorder yang disetel keras. Kepulan asap Djisamsu memenuhi ruang sempit warung tersebut. Beberapa warga yang nimbrung dalam permainan catur di depan warung, berangsur pulang. Hawa gerah menghunjam kulit.

Entah kenapa dengan matahari. Sudah tujuh hari ini, ia begitu senangnya di bayangi mendung putih. Sinarnya tiada lagi akrab menyapa manusia, khususnya di bumi Kampung Warna. Sebentar menampakkan muka di awal pagi, setelah itu, menghilang di balik kerimbunan pekat.

“Hey, Id. Sendirian, yang lain kemana?” tanya salah seorang Begundal Merah.

“Ngapain ngurus mereka. Mau kemana saja, ya terserah.”

“Kenapa denganmu? Biasanya kau begitu periang.”

“Entahlah, beberapa hari ini perasaanku tak enak. Seringkali merasa was-was. Walau sudah kualihkan pada minuman ataupun canda kelakar bersama yang lain, tetap saja perasaan itu menghantui.”

“Kau punya kasus?” tanya personil Begundal Merah yang lain, sambil menerima kopi pesanan mereka dari penjaga warung.

“Kalian ‘kan tahu, aku sudah lama libur.”

“Terus, kenapa?”

“Sudahlah! Kalian dari mana?”

“Biasa ….”

“O ..”

“Sebentar ya Id!” mereka bertiga pun menyusup ke ruangan kecil di sebelah kanan warung. Sebuah ruangan sempit yang biasanya digunakan sebagai tempat tidur penjaganya.

Langkah gontai ketiga Begundal Merah, semenjak kedatangan mereka, merupakan isyarat tersendiri bagi Said; bergebok-gebok uang terselip di saku-saku mereka. Dan ini mengartikan, salah seorang korban telah terkapar dalam keterpurukan setelah perampokan.

Mereka beradu pandang dalam kepuasan, membagikan uang dalam ruang tertutup warung pinggir jalan. Menyisihkan Said pada lembah-lembah keprihatinan. Dengan beberapa lembar uang puluhan, mereka mengisyaratkan pemilik warung untuk mengamati setiap yang datang.

Suasana warung yang sepi, meleluasakaan mereka bergurau tentang perbuatan mereka semalam, jauh di tepian sudut kota tetangga. Dari kisah pembobolan, penawanan, pengurasan harta, hingga pelarian diri yang sempurna; tanpa diketahui warga yang lain. Setelah membayar, tanpa jengah akan cuaca gerah sedikit gerimis, mereka beranjak.

“Kita ke pos RT 8 saja. Kita main di sana sampai puas.” Ajak Begundal Merah, menyeret teman-temannya dan Said untuk berjudi melawan entah siapa. Dalam benak mereka, pastilah ada arena yang sedang digelar disana.

Benar dugaan mereka. Di tempat itu, telah berkumpul beberapa maniak judi sekaligus peminum berat. Mereka asyik menikmati suasana yang mereka ciptakan sendiri. Said dan tiga Begundal Merah nimbrung, setelah salah seorang Begundal Merah memberikan beberapa lembar uang lima puluhan kepada salah seorang peminum di luar gardu.

Melihat kedatangan Said dan Begundal Merah, para maniak itu pun semakin girang. Kelakar-kelakar jalanan mengalun renyah. Mereka tidak perduli pada adzan dhuhur yang di kumandangkan pak Syaifuddin dari masjid beberapa blok dari tempat mereka bermain. Tetap fokus pada kartu-kartu celaka.

Kyai Darussalam yang melintas menuju masjid—jalan gardu itu sebagai satu-satunya jalan baginya menuju masjid—hanya menggelengkan kepala dengan meninggalkan sapaan hangat seorang kyai. Tak pernah ada sungkan ataupun malu pada lantunan abadi pemanggil jiwa, mereka tetap bersitegang dalam benak masing-masing ingin memenangkan sejumlah uang.

Kyai itu seakan sungkan menegur, teringat akan pertemuannya dengan Cak Min beberapa bulan lalu. Ketika dia memiliki niatan membersihkan kampung dari kemaksiatan, dia pun mendatangi Cak Min guna meminta bantuannya. Namun, yang dia dapatkan tidaklah sesuai dengan keinginan. Tuhan tidak selalu mengabulkan permohonan hamba-hamba-Nya. Hidup tak selalu berjalan mulus sesuai rencana manusia-manusianya.
***

“Permisi, Cak Min. Aku rasa sudah saatnya kita semua kembali ke jalan-Nya.” Kyai Darussalam mengawali perbincangan, setelah berbasa-basi sebentar saat bertamu ke rumah Cak Min, di suatu malam beberapa bulan yang lalu.

“Maksud Pak Kyai?”

“Mungkin sebaiknya Cak Min sebagai orang yang disegani, mengingatkan mereka untuk kembali menyembah-Nya, mengikuti kami meramaikan masjid.”

“Maafkan kami, Pak Kyai. Kami hanya orang-orang yang berkecimpung di lembah hitam.”

“Maka dari itulah, kalian sudah saatnya bertaubat. Tak ada yang abadi di dunia ini, Cak Min.”

“Memang benar. Tetapi, kami merasa merugi jika kami hanya berniat meramaikan masjid. Sedangkan hati kami hanya dan hanya untuk-Nya.”

“Setidaknya, sesekali kalian mengisi ruang-ruang kosong rumah suci tersebut.”

“Maaf, Pak Kyai. Ibadah kami bukan hanya untuk masjid. Kami belum bisa mengikuti program anda. Hati kami sibuk dengan introspeksi diri”

“Kenapa?”

“Secara hakikinya, ketika kita menyembah pada-Nya dan setiap saat hal itu dituntut dari kita. Maka, Dia bukanlah angan-angan ataupun lafadz yang selalu menggelayut dalam benak kita. Sedangkan, ilmu itu menyebutkan, kita selau digerakkan oleh-Nya. Hati kami sibuk dengan kerinduan pada-Nya. Mampukah kami mempraktekkan itu dalam hati?”

“Oleh sebab itu, bukan hanya ilmu tapi juga praktek.” Kelit kyai Darussalam. Setelah lama terpekur, membenamkan diri dalam perenungan dalam.

“Justru itu, kami kian nelangsa dengan menilik sejarah,” lanjut Cak Min, ”tak seorangpun dari hamba mampu bertemu Tuhan sebelum dia mati, kecuali Beliau. Maka kami pun memohon syafaat, melalui sholawat yang kami kumandangkan dari sanubari paling dalam, sekiranya Beliau sudi memohonkan ampunan dengan garis-garis kerasulan beliau. Sudahkah seperti itu? Itulah yang mejadi tanda tanya besar dalam kehidupan kami. Sadarkah kita? Terlebih dengan Dajjal yang menggoda manusia dari berbagai arah, termasuk menggunakan ibadah seorang mukmin sebagai jalan menyesatkannya?”

Kyai Darussalam terperanjat dengan ucapan Cak Min yang terakhir. Dentang jam dinding menggema dalam ruang-ruang kosong. Tak seorang pun mengucap kata. Hanya sanubari-sanubari kecut oleh ketidakberdayaan melawan bisikan halus musuh abadi manusia. Walau, berbagai macam jihad telah dikobarkan. Namun, nafsu-nafsu semakin menjadi. Dia hampir tidak mempercayai pendengarannya, terlebih santrinya.

“Lantas, perbuatan kalian?” Kyai Darussalam memecah kesunyian.

“Mereka sudah tahu dan mengerti hakekat hidup. Maka, biarkan saja mereka menempuh jalan yang mereka pilih. Mungkin, suatu saat nanti masjid kita akan mereka penuhi dengan berjamaah.”

“Baiklah, Cak Min. Terimakasih untuk semuanya, aku pamit.”

“Maaf, Kyai Darussalam. Saya tidak bisa membantu anda”

Setelah mengucap salam, Kyai Darussalam beranjak pergi. Berpasang-pasang mata menaruh kecurigaan pada kehadiran Kyai Darussalam di pusat hitam Kampung Warna. Tetapi, mereka menitipkannya pada lalu-lalang kendaraan lewat dan klotekan pedang-pedagang kaki lima yang kebetulan melintas. Seorang santri yang selalu setia mengiring Kyai Darussalam, selaksa berdendam benak terpancar dari tajamnya sorot mata. Tertunduk lesu mendapati senyuman Kyai Darussalam mengembang penuh arti. Tak seorang pun tahu yang terjadi di dalam sentral kehitaman hidup kampung itu. Hanya dinding-dinding beku menjadi saksi, serta telinga Said yang mencuri dengar pada pembenahan.

Said bersorak penuh riang, bagaikan berlaksa pada tontonan orkes di lapangan kampung tiap bulan Agustus. Dia melihat dua manusia yang selama ini selalu memicingkan mata dari kursinya di teras loteng bangunana megah kehidupan pada kebiasaan kawan sahabatnya itu mendapatkan hantaman telak. Dengan senyum kepuasan yang menganga lebar, dia lantas berlalu menuju gardu-gardu setia tempatnya mangkal.
***

Jalanan lengang siang hari tidak mempengaruhi keramaian yang terjadi. Jalinan kesepakatan seorang warga Kampung Warna dengan berbagai pihak, sungguh rapi meniadakan peraturan yang berlaku. Dengan catatan, seluruh preman yang ada tidak mengacaukan kawasan sekitar. Sehingga tak pernah ada penggerebekan di dalam kampung. Hanya berita-berita tentang salah seorang warga tertangkap di luar kampung dan wilayah kerja polsek setempat.

Said tak mendapatkan tempat. Dengan berat hati, dia pun bergabung dengan peminum-peminum setia dalam kerumunan itu dan sesekali menambah taruhan pada temannya. Kepayahan kalbu, kelelahan raga dan miringnya jiwa-jiwa penat, menjadikan Said bersegera oleng. Sambil sesekali melebarkan mata, dia mengakrabi saudara-saudara senasibnya.

Dari utara, siang itu, angin musim kemarau serasa menidurkan penduduk Kampung Warna dalam pelukan bidadari-bidadari binaannya. Menina-bobokkan mereka dalam mimpi panjang harapan tak bertepi. Sesekali, seringai kemenangan dari seseorang menyembul tiba-tiba dari ketegangan, disambut cacian kesal yang lain.

Mendadak, telinga Said dan yang lain dikejutkan pengeras suara yang berbunyi lama dari biasanya, sebagai tanda sebuah pengumuman penting. Tak seorang pun bersuara demi mengetahui berita. Betapa terkejut mereka setelah sang suara menyebut nama salah seorang yang disegani di kampung ini. ‘Cak Min telah meninggal.’ Secepat kilat, mereka membuyarkan diri, meninggalkan sampah berserakan tak terurusi. Dengan mengantongi puing-puing kemenangan, sekaligus aroma alkohol menyeruak, mereka segera berjalan ke timur, tempat jasad Cak Min disemayamkan, rumah semi permanen yang selama ini menjadi pusat perhatian segenap warga akan kegiatannya yang tidak umum.

Sudah menjadi adat Kampung Warna, setiap ada yang meninggal dunia, warga berduyun-duyun melayat. Warga laki-laki akan menghentikan perkerjaanya setelah mendengar kabar tersebut. Selama perjalanan pulang dapat ditempuh sebelum mayat dikubur, mereka pasti menyempatkan diri, meminta ijin atasan dan meninggalkan pekerjaannya. Kecuali, yang berada jauh di luar area, mereka tidak wajib datang.

Said melihat Kyai Darussalam duduk di kursi panjang bersama para santrinya. Ramai pelayat, membentuk kelompok masing-masing, tak menghalanginya masuk dan melihat jasad Cak Min. Tubuh tak bergerak yang telah dimandikan itu, pernah menolongnya keluar dari masalah rumit yang pernah menimpanya. Dia tertegun pada wajah tegar dan garang, telah pernah melanglangbuana dalam dunia hitam. Kini terbujur lunglai tak bernafas. ‘Semua pasti mati,’ gumamnya.

Dalam lamunannya akan jasa-jasa si mayat, Said dikejutkan Kyai Darussalam yang tiba-tiba menyeruak di sela-sela dirinya dan teman-temannya. Dia pun cukup tahu diri dan memilih duduk di belakang bersama yang lain, hingga cukup bisa melihat, Kyai itu menggelengkan kepala setelah memeriksa keadaan jasad. Dengan segala kemampuannya, Said memanjatkan doa dalam hati.

Tiba-tiba keadaan menjadi gaduh oleh ulah para santri yang saling bergumam dan bertanya-tanya pada Kyai mereka. Hingga ia mengalir mulus dari mulut-mulut yang tak bisa diam akan fenomena keganjilan. Tidak selayaknya orang-orang hitam yang meninggalkan jasadnya; kaku tak bergeming, bahkan menggerakkan tangan-tangannya untuk bersedekap pun susah. Ataupun kaki-kaki menekuk yang sulit diluruskan kembali. Namun, kini yang terpampang di hadapan Kyai Darussalam mewakili ketidakwajaran. Mayat itu lemas-lungai bagaikan pingsan. Ketidakpercayaan benaknya menjadikan dia memeriksa ulang tubuh tak bernyawa tersebut. Tetap tak ada nafas ataupun tanda-tanda kehidupan terpancar.

“Seorang alim, belum tentu mendapatkan keistimewaan ini. Lantas, siapakah orang ini di hadapan-Mu, ya Allah? Ampunilah segala dosaku.” Gumam Kyai Darussalam yang cukup bisa didengar khalayak dalam ruang itu dengan diteruskan para santrinya, memperlakukan jenazah lebih istimewa.

Said bungkam. Dia telah mengetahui sebab-akibatnya. Dia tidak terpengaruh dengan ulah mereka yang menurutnya kelewat batas. Dia bergegas mengajak beberapa saudara menuju tempat pemakaman. Meninggalkan fenomena-fenomena yang baginya adalah kewajaran dari lelaku hati seseorang. Membiarkan Kyai Darussalam dan warga yang lain dalam penasaran. Menyambung doa-doa permohonan ampun.

Surabaya, 1998

NB; Cerita ini berdasarkan kisah nyata yang terjadi di Kampung Banjarsugihan, Surabaya, di sekitar tahun 1996-an. Yang dikisahkan ulang oleh seorang sahabat warga kampung tersebut kepada penulis pada bulan Maret 1998.

*) Cerpenis lahir di Lamongan. Sudah menerjemahkan beberapa antologi puisi, esai, cerpen, dan terjemahan novel dalam proses penyelesaian. Kini sedang menimba ilmu di ICAS Jakarta. Nomor telpon 085731347267

Penggusuran dalam sebuah Pentas Teater

Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/

Setan ora doyan
Demit ora dulit
Banyak orang mabuk duwit
Njarah milik banyak orang

Dimulai dengan pengucapan mantra di atas, lampu sedikit mulai mencahayai pentas. Berdiri lima patung dan seorang sedang memimpin ritual serta dua orang mengikutinya. Sebuah hal biasa kita jumpai, jika sebagian masyarakat kita, meminta bantuan dukun untuk menyelesaikan permasalahannya. Tetapi yang menjadi sesembahan mereka adalah patung pejuang, dengan adanya ritual tersebut patung-patung tersebut tidak terima. “Bukannya di lanjutkan perjuangannya tetapi di sembah dengan meminta permintaan-permintaan yang tidak rasional” dialog para patung monumen.

Itulah awal gambaran sebuah pementasan Monumen Karya Indra Tanggono yang di adaptasi dan di sutradarai oleh Leo Zaini dalam acara ulang tahun Teater Pelangi Universitas Negeri Malang.

Dua setting tempat, untuk memisah dua alam yang berbeda, pertama adalah roh-roh patung monumen dan kedua adalah kehidupan masyarakat yang mendiami daerah sekitar patung monumen untuk tempat mankal pelajur, persembunyian para pencompet dan gelandangan.

Gaya karikatural yang dimainkan oleh para tokoh roh-roh patung sangat menarik dan cair sehingga penonton di buat gelak tawa yakni dialog-dialog mengenang waktu berjuang, serta siapa yang layak di sebut sebagai pahlawan diantara lima patung pejuang monumen tersebut. Tidak hanya saling ejek, para patung pejuang tersebut juga mengungkapkan keluh kesah dengan nada-nada liris: berpuisi, tidak kalah mengahrukan.

Di sisi lain kehidupan para pelacur dan pencopet serta gelandangan tidak kalah menyedikan, kisah-kisah kehidupan mereka yang pedih harus memperjuangkan diri demi hidup yang layak.
Serta ketakutan-ketakutan mereka ketika salah satu diantara mereka menerima uang dari seseorang pejabat yang tadinya minta diselamatkan oleh Yu Seblak yakni salah satu pelacur yang menyamar jadi dukun. dikarenakan uang yang diberikan adalah hasil dari korupsi. Dalam hal ini walaupun mereka pekerjaanya melanggar norma sosial atau norma susila tetap mereka tidak berani menanggung resiko lebih besar denga menerima uang korupsi.

Mengangkat Tema Kontekstual

Pangung mulai menegangkan dengan adanya isu pengusuran yang akan dilakukan pemerintah daerah setempat, hal tersebut didapatkannya informasi dari koran oleh salah satu tokoh gelandangan. Ada yang percaya dan ada yang tidak percaya, para penghuni sekitar monumen tersebut saling berdiskusi. Kalaupun benar apa yang harus mereka lakukan, salah satu pembahasan mereka.
Akhirnya datang dua orang tokoh yang memerankan sebagai orang pemerintahan yang bekerja di dinas kebudayaan dan pariwisata, melihat lokasi tersebut. Kegelisahan para penghuni sekitar monumen terbuktikan.

Konflik-pun semakin memuncak ketika kedatangan tokoh yang memerankan kepala daerah setempat di dampingi seorang pemilik modal dari asing. Kepentingan mereka adalah menggusur monumen tersebut dan mengantikannya dengan pertokoan. Namanya penguasa kota, apapun kebijakannya pasti terlaksana, apalagi akan mendapat uang banyak dari pemilik modal yang mendanai proyek tersebut.
.
Tidak hanya para penghuni monumen mulai resah, tetapi roh-roh para monumen pun resah dan harus melakukan perlawanan. Tetapi apa daya alat-alat berat datang dalam bayangan imaji para tokoh. Mereka semua tidak berdaya dan porak-poranda monument tersebut.

Riuh tepuk tangan mengakhiri pementasan monumen dari Teater Pelangi Universitas Negeri Malang. Penonton-pun bernafas lega sehabis bersesak-sesakan demi untuk menonton pertunjukan tersebut. Maklum gedung perkantoran dan perkuliahan di sulap menjadi gedung pertunjukan. Bahkan ada yang tidak bisa masuk sebab tidak muatnya gedung tersebut.

Sebuah pertunjuangan yang penuh apresiasi tetapi tidak di barengi dengan fasilitas yang layak. Sebab di kota malang untuk menyelenggarakan pertunjukan teater harus banyak akal untuk menyulap gedung-gedung perkulihaan ataupun lorong-lorong perkantoran di beberapa kampus di Malang adalah hal biasa, sebab tidak tersedianya gedung seperti Cak Durasim, atau Balai Pemuda di Surabaya.

Tema yang di angkat juga kontekstual dengan kondisi di Malang. Seiring adanya banyak pengusuran serta alih fungsi lahan yang dilakukan pemerintah kota demi kepentingan modal. Contohnya: Matos, Mog, dan Tanjung . Padahal tempat-tempat tersebut adalah tanah serapan yang menolong ketika hujan tiba, akan tetapi sekarang berdiri pusat pembelanjaan dan tempat hiburan.

Untuk mengakhiri tulisan ini ada beberapa catatan secara teknis dari pementasan monumen oleh teater pelangi yakni tata cahaya yang kurang mendukung pergerakan tokoh-tokoh di panggung serta sedikit lemah penokohan pemain yang memerankan masyarakat sekitar monumenen.

Malang, 18 Februari 2009

BERKACA MENULIS DARI NUREL

Sutejo*
http://thereogpublishing.blogspot.com/

Nama Nurel Javissyarqi memang belum seagung penulis Indonesia lainnya. Tetapi misteri perjalanan kepenulisan adalah etos nabi yang alir penuh jiwa berkorban, total, dan –nyaris—tanpa pamrih balas. Sebuah pemberontakkan pemikiran sering dilemparkan. Tradisi dibalikkan. Pilihan dilakukan, termasuk untuk memberikan pelajaran kepada orang tuanya. Penting dicatat, karena orang tuanya adalah guru konvensional yang terus alirkan kerapian, ketaatan, dan keberaturan lain. Hal ini dilakukan juga untuk mengatur Nurel dalam menentukan perguruan tinggi di mana jendela masa depan harapannya dapat diwujudkan. Tetapi jiwa berontak Nurel memilih untuk tidak selesaikan skripsi di jurusan ekonomi.

Apa yang menarik dari penulis ini? Beberapa hal berikut saya impresikan dari pertemuan empat hari bersama Maman S. Mahayana dan Kasnadi dalam tamasya budaya Jakarta-Bogor. Di emper rumah Bang Maman, hal-hal menarik berikut dapat direnungkan (a) ketidakpuasaannya atas institusi formal karena mengalirkan kebohongan, (b) memilih komunitas untuk mencerdaskan buah kepalanya, (c) pengalaman menulisnya adalah pergulatan sosial budaya lewat meditasi kultural ke berbagai tempat spiritual, (d) semangat lokalitasnya yang tinggi dalam menggerakkan dunia kepenulisan –dan karena itu dia mendirikan penerbit bernama Pustaka Pujangga–, (e) kebiasaan mengarang segala hal dalam pendidikan, dan (f) masa kecilnya sulit membaca –dan karena itu—baru bisa membaca di usia dia belajar di kelas-5 SD.

Unik? Tentu, begitulah jika kejujuran yang menjadi langit pemikiran kita. Persoalannya adalah apa yang Nurel miliki, ternyata, tidak dimiliki oleh kecenderungan remaja kita. Jiwa kepenulisannya muncul, ketika banyak pemikirannya yang tidak terfasilitasi oleh ruang-ruang publik. Di sinilah, maka Nurel mengedarkan pemikirannya berupa buku yang merupakan foto kopi ke berbagai komunitas kemudian dibedah dan dikritisi. Sebuah upaya pencerdasan bangsa, katanya. Ketika, teman-teman lokal lainnya (kemudian mendirikan penderbit Pustaka Ilalang) takut berbagai ancaman –yang mungkin dari pihak—keamaan, dia malah berkerlit, “Wong mencerdaskan anak-anak bangsa kok dilarang.” Di sinilah, tampak dua penting (a) keberanian yang luar biasa, dan (b) jiwa pemberontak khas anak muda. Ketika anak-anak muda lebih banyak memilih demo, lelaki Nurel sebaliknya memilih pena sebagai senjata bertarung pemikirannya.

Dalam ruang diskusi yang tak berdinding itu, Nurel juga tak alergi kritik. Di sinilah, memang akan terjadi proses refleksi dan penajaman. Ternyata, tidak ini saja upaya penajaman itu. Dia bahkan menyusuri tempat-tempat yang dinilai magis, lokalitas, dan spiritualitas. Dalam proses kepenulisannya, dia terinspirasi oleh beberapa tempat religius. Pondok Tegalsari, misalnya, di Ponorogo, adalah salah satu tempat terakhir yang dia kunjungi. Kasan Besari adalah sosok historis yang melahirkan Ronggowarsito sang pujangga besar nusantara. Di tempat-tempat itulah, akunya akan memantik kondisi magis (bawah sadar?) yang menarik. Realita ini barangkali mengingatkan apa yang diungkapkan Rendra, bahwasanya sastrawan (penulis) adalah agen kontemplasi sosial.

Selanjutnya, kenekatan untuk mengembangkan dunia kepenulisan terinspirasi oleh pengalaman masa kecil yang tidak menyenangkan. Yakni, baru di usia SD kelas-5 dia lancar membaca. Hal membuatnya termotivasi setelah mengenal dunia buku di saat-saat dia tekun berkomunitas di Jogjakarta. Di sinilah, barangkali sebuah ruh religius –yang rata-rata—tidak dimiliki oleh para guru. Jika Nurel seorang sastawan jatuh cinta pada dunia kepenulisan maka realita guru kita –yang tidak mencintai kepenulisan– akan menjadi paradoks sepanjang masa. Terlebih jika diamati, dalam berbagai penerbitan buku-bukunya dibiayai sendiri. Andai motivasi Nurel ini menjadi motivasi para guru, tentunya, akan menjadi sinyal positif di masa depan.

Bagaimana dengan Anda? Sebuah bilik cahaya yang menarik untuk diselisik mengingat ruang-ruang gelap dunia pendidikan kita nyaris tidak memberikan tempat untuk penyemaian dunia kepenulisan ini. Jika lahir 1000 Nurel saja, maka ibarat virus ia akan menjalar begitu cepat. Andai tiap kota di Jawa Timur lahir Nurel dengan idealismenya ini maka dinamika perbukuan akan menjadi dunia alternatif yang efektif mengubah mentalitas bangsa yang akut dan parah.

Hal lain yang menarik disimak adalah semangat lokalitas. Artinya, mengapa dia tidak memilih Jogja atau Jakarta sebagai persalinan pemikiran dan tulisan-tulisannya? Jawaban ringan sambil bercanda dia bilang, “Kalau di Jakarta aku kan hanya nomor kesekian puluh saja, atau bahkan ratusan. Tetapi kalau di Lamongan, tentu akan menjadi nomor satu karena yang merintis memang baru Nurel.” Sebuah logika berkarya yang menarik untuk diapresiasi. Pengibaran bendera penerbitan dari kabupaten daerah akan menjadi sejarah di masa depan.

Penulis, selanjutnya, meminjam metafor perjalanan Nurel adalah pentingnya jiwa pemberontak. Sebuah jiwa tidak kompromi atas kemapanan. Jiwa demikian dalam kepenulisan ibarat nyala api yang akan menghangatkan. Karena itu, menarik untuk ditransformasikan kepada siapa pun kita. Terlebih, anak-anak muda yang –nyaris menjadi agen perubahan—ini sudah lama terjebak pada politisasi peran sosialnya. Proses permenungan dan berkarya seperti terlupa oleh hirup pikuk politik.

Hal terakhir, dan ini yang menuntut mobilitas tinggi adalah bagaimana dia menyusuri beragam tempat untuk pengembangan pemikirannya: diskusi dan bedah buku. Sebuah upaya memasyarakatkan pemikiran di satu sisi dan pada sisi lain merupakan gerakan bawah tanah untuk melawan hegemoni arus atas Jakarta. Semacam pemberontakan? Jika meminjam kecenderungan berpikir Nurel, maka hal ini bisa jadi adalah upaya penyebaran virus kepenulisan dan pemberontakan berpikir.

Akhirnya, jika kita mampu mengapresiasi apa yang telah dilakukan Nurel, maka ada baiknya kita memilih sekian pemikiran dan kiprah dalam membumikan pemikiran dan karya. Keberanian Anda jadi penulis adalah mutiara masa depan. Jika itu dipelihara secara sempurna masa depan telah ada digenggaman Anda.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Pudarkah Sastra Pesantren?

Fahrudin Nasrulloh*
http://cetak.kompas.com/

Dalam riwayat orang Jawa, bahasa dan sastra Jawa biasa dijadikan medium untuk memperkenalkan ajaran Islam, dalam ruang-ruang yang disebut pesantren. Adapun dalam sastra Islam-Kejawen, anasir sufisme dan ajaran pekertinya diserap oleh pujangga Jawa untuk mengislamkan warisan sastra Jawa zaman Hindu.

Cerita bisa bermula saat imperium Majapahit dikhatamkan dengan masuknya Islam dan berdirinya Kerajaan Demak, abad ke-14 M. Demak pun berdiri pada abad ke-16 M. Banyak karya sastra Jawa yang ditulis seputar momen itu. Dua naskah di antaranya diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda: Het Boek Van Bonang dan Een Javaans Geschrift de 16e Eew (Primbon Jawa Abad ke-16 M).

Menurut Simuh, naskah yang disebut pertama berisi ”pitutur Sheikh Bari”, ihwal bagaimana mempertahankan ajaran sufisme ortodoks dan menentang setiap bentuk pembangkangan terhadap syariah. Di bagian lain, HM Rasyidi melihat dengan kritis serat-serat macam Gatoloco dan Dharmagandul, adalah kronik-kronik sejarah yang menjadi penanda masa peralihan dari Majapahit yang Hindu ke Demak-Islam.

Jawa Kuno > Islam

Het Boek Van Bonang adalah salah satu contoh karya sastra Jawa-pesantren, di samping karya-karya lainnya.

Dalam gairah kesusastraan Jawa-pesantren inilah, kalangan santri ataupun kiai melakukan semacam revitalisasi atau penulisan ulang warisan sastra Jawa Kuno dan Jawa Tengahan, dengan antara lain memasukkan unsur-unsur Islam di dalamnya. Munculnya kegairahan dan kegiatan baru untuk mengkaji sastra Jawa Kuno ini, menurut Kuntara Wiryamartana, sebagai sebuah gerakan ”renaisans sastra klasik” dalam penelitian-penelitian mutakhir.

Pada masa bergairah inilah lahir beberapa karya kapujanggan, semisal Serat Centini (12 jilid) yang ditulis oleh sejumlah pujangga Keraton Surakarta yang dipimpin oleh KGP Adipati Anom Amengkunegara III. Demikian pula karya R Ngabehi Ronggowarsito (1728-1802 Jawa/1802-1873 M), seperti Suluk Saloka Jiwa, Serat Kalatida, dan Serat Wirid Hidayat Jati.

Layak dicermati pula beberapa dasawarsa kemudian, tepatnya pada 1892 M, Kanjeng Raden Adipati Suryakusuma (pensiunan Bupati Semarang) mengarang sebuah narasi monumental berjudul Serat Cebolek. Serat ini terdiri dari 31 satu syair dalam gaya macapat.

Pudar pada masa kini

Bersama sejumlah karya, misalnya, Jamus Kalimasada (Riwayat Syekh Jambu Karang), Riwayat Bekti Jamal, Jentraning Tanah Jawa, Suluk Jaka Lontang, Serat Gita Utama Margalayu, Suluk Rara Jinem, dan Kidung Rumeksa ing Wengi, karya-karya sastra Jawa pesantren di atas merupakan ensiklopedia dan warisan dari budaya Islam Jawa yang tak ternilai harganya.

Warisan yang sayangnya tidak mendapat kelanjutannya pada masa kini. Gus Dur, dalam sebuah esai pendeknya yang bertajuk ”Pesantren dalam Kesusasteraan Indonesia” (Kompas, 26 November 1973) menyebut bahwa pesantren belum menjadi medan pertaruhan bagi sastrawan Indonesia.

Karya-karya Djamil Suherman, Mohammad Radjab, atau Hamka belum bisa dikatakan benar-benar menggali secara mendalam dunia pesantren (tentang surau atau kehidupan di kampung yang islami). Karya mereka sekadar memantulkan yang nostalgia atau catatan peristiwa, bukan sebuah pergulatan keagamaan yang keras dan kental.

Sementara itu, sebenarnya begitu melimpah dan penuh ragamnya persoalan di seputar Islam dan kepesantrenan sejak era modern (akhir abad ke-19) dimulai di negeri ini. Namun, seberapa jauh hal itu digarap oleh pengarang kita? Abidah El-Khalieqy dengan novelnya, Perempuan Berkalung Sorban (PBS) dan Geni Jora, seperti mencoba melakukan itu. Namun, tidak berhasil. Ia menyampaikan sekadar ”pesan”, bukan satu ”wacana”, misalnya, tentang persoalan psikologis dan keterpinggiran perempuan di wilayah domestik kiai.

Cecaran, bahkan tudingan sesat menghambur kepada Abidah dalam beberapa road show bedah novel PBS beberapa waktu lalu. Hal ini memberi fakta lain, pudarnya sastra Jawa-pesantren ternyata juga diakibatkan oleh ketidaksiapan dan ketidakterbukaan dunia pesantren dalam menghadapi kehidupan modern. Kembali kepada Gus Dur, persoalan itu disebabkan oleh dua kendala: pertama, karena persoalan dramatis di pesantren berlangsung pada ”taraf terminologis” yang tinggi tingkatannya.

Kedua, karena masih kakunya pandangan masyarakat kita terhadap manifestasi kehidupan beragama di negeri kita. Oleh Nurcholish Madjid, pandangan ini dinamai sakralisme agama. Dengan demikian, naluri sastra dan elastisitas bentuk penceritaan tidak memperoleh jalan pelepasan.

Seberapa jauh alam keterbukaan yang konon demokratis ini bisa membuat masyarakat kita, khususnya para pengarang dan para kiai yang memegang otoritas pesantren, dapat mengatasi kendala-kendala di atas? Kita masih menunggu waktu yang memprosesnya.

*) Pengarang dan Editor, Penggiat Komunitas Lembah Pring Jombang.

Menyimak Tutupnya Majalah Pantau

Wisnu T Hanggoro
http://www.suaramerdeka.com/

MAJALAH Pantau berhenti terbit. Itulah siaran pers yang dikeluarkan direksi Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta, 11 Februari 2003. Satu-satunya kata yang bisa dilontarkan untuk merespon siaran pers ini adalah: tragis.

Betapa tidak? Pantau adalah majalah kajian media dan jurnalisme yang kehadirannya di Indonesia bisa dibilang cukup spektakuler. Dari segi tampilan fisiknya, majalah ini tidaklah terlalu menarik mata masyarakat awam. Di rak sejumlah toko buku, ia diletakkan di tempat-tempat yang agak tersembunyi dan berhari-hari tetap ngendon di posisinya tanpa ada yang mencoba menyentuh ataupun membelinya.

Namun, di balik tampilan yang kurang menarik itu, selama dua tahun terbit Pantau ternyata telah menimbulkan pelbagai kontroversi di kalangan masyarakat media. Beberapa media raksasa seperti Kompas, Tempo ataupun Jawa Pos pernah diaduk-aduk "Jerohannya."Tak pelak para awak ataupun kontributor Pantau harus menerima pil pahit caci maki dari orang-orang media yang borok-boroknya dibeberkan di majalah ini.

Jurnalisme Sastrawi

Penerbitan Pantau sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari gerakan media-watch di sejumlah kota besar di Indonesia yang mulai marak sejak tahun 1999. Pada awal penerbitannya, majalah itu sebagai newsletter yang disajikan dalam dwi bahasa (Inggris & Indonesia) dan berisi melulu hasil kajian terhadap isi berita-berita (news) di sejumlah media nasional.

Bersama Pantau terbit pula Sendi (LSPS-Surabaya), Kupas (Kippas-Medan) dan Buletin Mediawatch (eLSIM-Makassar). Kalau sasaran kajian Pantau adalah berita-berita di media nasional, maka ketiga buletin yang disebut terakhir melakukan pantauan terhadap media di kawasan masing-masing.

Pantau mulai mengalami perubahan isi dan orientasi sejak Andreas Harsono, sekembali dari studinya di Harvard University, USA, mencoba mengambil alih pengelolaannya dari Veven Sp Wardhana.

Dalam pandangan Andreas, media yang perlu dipantau tidaklah semata-mata berita-berita yang disajikan surat kabar ataupun TV. Media-watch jauh lebih luas dari sekadar news-watch. Itulah sebabnya, rubrikasi Pantau "baru" di bawah kemudi Andreas lebih beragam isinya. Selain menampilkan kajian media, juga menyajikan isu lain yang dipandang masuk kategori media.

Yang cukup menonjol dari Pantau "baru" adalah genre jurnalisme yang ditampilkan. Andreas menyebutnya sebagai Jurnalisme Baru atau Jurnalisme Sastrawi. Jurnalisme di sini tidak semata-mata disajikan sebagaimana biasanya penulisan berita di kebanyakan surat kabar yang lebih mementingkan unsur informasi kepada pembaca. Di dalam jurnalisme sastrawi, informasi faktual diolah sedemikian rupa dan disajikan seperti laiknya karya sastra. Hanya saja, kalau suatu karya sastra disusun berdasarkan plot imajinasi pengarang, maka karya jurnalisme sastrawi mutlak harus bertumpu pada fakta objektif yang terjadi pada masyarakat.

Membaca tulisan-tulisan yang tersaji di Pantau "baru" memang tidak bisa disamakan dengan membaca berita media cetak pada umumnya. Para pebisnis atau orang-orang sibuk lainnya janganlah diharapkan punya waktu untuk membacanya.

Orang yang masih punya waktu atau mau menyempatkan diri membaca Pantau tentulah mereka yang bisa dikategorikan pembaca sastra atau orang-orang yang memang punya concern terhadap dunia media. Masalahnya, orang macam itu tidak banyak jumlahnya. Itu pun belum tentu punya uang ekstra untuk disisihkan membeli majalah tersebut.

Biaya Tinggi

Siapa pun tidak menyangkal bahwa tiap karya bermutu membutuhkan penanganan serius. Itu pun, selain harus dikerjakan oleh orang-orang yang capable, juga masih perlu didukung dengan dana yang memadai agar keunggulan mutu karya tersebut bisa dipertahankan atau bahkan terus ditingkatkan.

Dari segi materi, mutu majalah Pantau tidak diragukan lagi. Para kontributor yang mengisi majalah ini adalah penulis-penulis atau mantan wartawan andal yang rata-rata punya enerji ekstra. Sebut saja nama-nama M. Said Budairy, Agus Sopiann, Coen Husain Pontoh, Ignatius Haryanto, Budi Setiyono, dan lain-lain.

Selain penulis, Pantau juga menampilkan lukisan-lukisan bergaya surealis untuk cover depan dan belakang dalam yang diisi pelukis-pelukis macam Teguh Wiyatmo, Zulfirmansyah, I Wayan Wirawan, dan lain-lain.

Menyimak materi dan kualitas orang-orang yang menanganinya, penerbitannya merupakan kemewahan di dunia media. Untuk mendapatkan materi tersebut, manajemen harus mengeluarkan dana yang sangat tinggi. Para penulis biasanya mengajukan proposal mengenai topik yang akan ditulisnya. Bila disetujui, maka dia bisa mengklaim biaya operasional selama melakukan liputan, yang kadangkala bisa memakan waktu lebih dari sebulan. Itu pun masih ditambah honorarium yang cukup tinggi untuk terbitan di Indonesia.

Untuk sebuah tulisan yang panjangnya sampai 10.000 kata, penulis mendapat honorarium Rp 4 juta. Sedangkan lukisan-lukisan untuk cover, manajemen dibayar sampai Rp 1,5 juta. Begitu juga gambar-gambar kartun yang mayoritas diisi para kartunis Kokkang, Kendal, ataupun foto-foto yang menghiasi beberapa halaman Pantau, bayaran yang diterima para kontributornya barangkali bisa dikatakan tertinggi dibanding yang pernah mereka terima dari media lain.

Andreas memang punya alasan tersendiri mengenai tingginya honorarium tersebut. Baginya, Pantau perlu mengapresiasi jerih payah para kontributornya, yang rata-rata mengandalkan hidup mereka dari karya-karya tulis/lukis yang mereka hasilkan. Melalui bayaran yang memadai, para kontributor bisa lebih fokus dan profesional di dalam berkarya.

Problem Pemasaran

Yang nampaknya luput dari penanganan manajemen Pantau adalah faktor pemasaran majalah ini. Di dalam marketing theory, betapa pun tinggi kualitas suatu produk, bila tidak didukung kiat-kiat pemasaran yang jitu, secara tak terelakkan produk tersebut akan memenuhi gudang atau tempat-tempat penyimpanan barang, yang dalam perkembangannya justru akan menuntut biaya tambahan.

Manajemen Pantau bukannya tidak menyadari mengenai soal ini. Sejak awal perubahan kendali, manajemen baru sudah mencoba melakukan rekrutmen tenaga pemasaran. Yang jadi soal, tenaga andal yang diharapkan bisa memasarkan majalah ini ternyata tidak pernah bisa didapat.

Sejumlah toko buku memang dititipi untuk ikut menjual majalah ini secara konsinyasi. Namun pembaca yang mau membeli di toko buku ternyata sangat langka. Cara lain yang ditempuh adalah dengan bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar yang mau melanggankan wartawan di daerah operasi mereka. Namun perusahaan semacam ini tidak banyak jumlahnya. Wartawan di daerah operasi mereka yang dilanggankan pun juga bisa dihitung dengan jari. Alhasil, nasib Pantau tidak beda dengan sejumlah jurnal ilmiah nasional yang miskin pembeli ataupun pelanggan.

Kesulitan yang dihadapi jurnal ilmiah biasanya sudah diantisipasi para pengelolanya. Lembaga atau perguruan tinggi, yang menerbitkannya, menempatkan jurnal ilmiah sebagai pos rugi yang perlu disubsidi lembaga. Selain itu, untuk menjaga agar kerugian tidak terlampau besar, honorarium yang diberikan pada para penulis ataupun pengelola sangat rendah. Sejumlah lembaga ilmiah bahkan meminta para penulis untuk ikut memberi sumbangan dana agar naskahnya bisa dimuat di dalamnya.

Kondisi yang dialami jurnal ilmiah jelas sangat berbeda dari Pantau. Pasar yang ditembak Pantau adalah masyarakat umum yang concern terhadap dunia media massa dan jurnalisme. Untuk menggapai pasar tersebut ternyata Pantau harus tertatih-tatih kesulitan. Rendahnya pembaca tak pelak juga menyulitkan tenaga pemasar untuk mengundang masuknya iklan. Kendala inilah yang terus menggelinding dan meningkatkan pembengkaan problem keuangan Pantau.

Masa Depan Media-watch

Berakhirnya penerbitan Pantau tentu membuat segenap pembaca setianya sangat kehilangan. Bagi para pembaca tersebut, majalah itu telah memberikan benefit yang tiada ternilai. Melalui tulisan-tulisan yang disajikan mereka bisa melihat dapur lembaga-lembaga media yang selama ini tidak pernah terjamah pemberitaan. Melalui tulisan-tulisan itu pula mereka bisa mengenal lebih jauh sejumlah figur orang media yang selama ini hanya dikenal dari karyanya.

Pantau memang bukan karya otentik putera Indonesia. Genre yang dianut sudah lama dikenal publik Amerika melalui The New Yorker. Namun keseriusan para pengelola dan kontributor majalah ini di dalam berjurnalisme sungguh fenomenal. Mereka telah dengan baik menggabungkan kerja jurnalisme, media-watch dan aktivitas sastrawi. Terlepas dari lemahnya pemasaran, Pantau telah mengisi sejarah jurnalisme di negeri ini dengan pelbagai kisah sangat menarik.

Tutupnya tentu akan menimbulkan pertanyaan bagi segenap kalangan. Akankah dengan penutupan tersebut berarti berakhir pula gerakan media -watch yang selama ini mereka lakukan? Dalam siaran persnya, direksi Institut Studi Arus

Informasi mengatakan bahwa majalah bulanan tentang media dan jurnalisme Pantau dihentikan penerbitannya karena kesulitan keuangan walau ia akan tetap melakukan kegiatan pemantauan media lewat metode dan medium berbeda.

Disebutkan pula di sana bahwa Pantau lama yang terbit dalam bentuk newsletter akan dihidupkan kembali. Artinya, tutupnya Pantau sebenarnya cuma sekadar berakhirnya sebuah model atau cara memasyarakatkan media-watch. Ini tidak akan mematikan gerakan media-watch itu sendiri. Apalagi selain ISAI dan dan lembaga-lembaga yang menjadi anggota jaringannya, saat ini telah muncul lembaga-lembaga lain yang ikut meramaikan gerakan media-watch

Kehadiran mereka tentunya diiringi missi yang sama, yakni berpartisipasi dalam mewujudkan demokrasi dan kebebasan pers di tanah air. Missi yang mulia tentulah harus tetap ditegakkan, betapapun harus jatuh bangun secara menyakitkan.

-Wisnu T Hanggoro, Direktur Lembaga Studi Pers & Informasi ñ LeSPI).

S. YOGA DALAM LIMA TANGGA KEPUITISAN

Imamuddin SA

Cukup sulit dewasa ini memberikan penilaian terhadap karya sastra, lebih khususnya puisi. Memakai standart penilaian yang bagaimana untuk diterapkan pada sebuah karya sastra? Hal itu disebabkan oleh keberadaan karya sastra itu sendiri. Karya sastra kontemporer lebih bersifat bebas dari ikatan-ikatan atau aturan perpuisian. Inilah yang kiranya menjadikan seorang kritikus sastra harus memutar otak lebih serius lagi. Ujung-ujungnya hal ini akan mengarah pada satu bentuk kritik yang bersifat impresionis. Kritik yang memberikan tafsiran-tafsiran untuk mengagumkan dan untuk menimbulkan kesan yang indah kepada pembaca. Padahal secara konsep dasar, kritik sastra itu bertumpu pada pertimbangan baik-buruk sebuah karya berdasarkan nilai-nilai tertentu.

Nilai-nilai tersebut dapat bertumpu pada pengalaman jiwa seorang pengarang. Itulah yang kemudian dapat dijadikan standart penilaian karya sastra secara objektif. Sebagaimana Rachmat Djoko Pradopo, ia melakukan penerapan kritik sastra berdasarkan lima tingkat pengalaman jiwa manusia. Kelima tingkat pengalaman jiwa tersebut meliputi neveau anorganis; tingkat jiwa yang rendah dan berorientasi pada pola bunyi, irama, baris sajak, majas dan lain-lain, neveau vegetatif; tingkat seperti tumbuh-tumbuhan dan berorietasi pada suasana, neveau animal; tingkat yang dicapai seperti hewan dan berorientasi pada unsur nafsiah, neveau human; tingkat yang hanya dicapai oleh manusia dan berorientasi pada sifat luhur kemanusiaan, dan neaveau religius/filosofis; tingkat tertinggi dan berorientasi pada renungan-renungan yang mengarah pada hakekat hidup dan kehidupan. Berdasarkan fenomena itu, marilah sejenak kita mendedah puisi S Yoga yang berjudul Jaran Goyang berdasarkan pada tingkat pengalaman jiwa kemanusiaannya.

Kita mulai dari tingkat yang paling bawah, yaitu neveau anorganis. Puisi penyair kelahiran Purworejo ini kental dengan persajakan. Rimanya tertata rapi. Persajakannya sangat konsisten dan seimbang. Itu terlihat dari jumlah baris dalam tiap baitnya. Mulai bait pertama hingga terakhir, puisi ini tersusun atas tiga baris dalam tiap baitnya.

Rima yang disematkan dalam puisi Jaran Goyang begitu mendominasi keseluruhan puisi. Ditinjau dari huruf akhir dalam setiap baitnya, S Yoga tidak banyak menggunakan variasi rima. Ia cukup menggunakan rima rata dengan pola “aaa”. Vokal “u” melingkupi bait pertama, ke tiga, ke lima, dan ke enam. Bait pertama dapat dilihat dari penyematan kata bernafsu-rayu-menjebakmu. Bait ketiga ditandai dengan kata wajahmu¬-selalu-tabu. Bait kelima terlihat dari penyematan kata merayumu¬-membenciku-apiku. Bait keenam ditandai dengan kata berbulu-rohmu-malamku. Nada-nada tersebut membangun suasana yang begitu berat, mendalam, dan mengharukan dalam kepribadian. Vokal “i” mewarnai bait ke empat, ke tujuh, dan ke lima belas. Itu ditandai dengan penyematan kata diri-kubimgkai-abadi (bait ke-4), hati-mati-berseri (bait ke-7), ati-abadi-suci (bait ke-15). Bunyi huruf tersebut terasa ringan diucapakan namun ragkaian kata-katanya mengisyaratkan sesuatu yang berat. Jadi, untuk menggapai hidup yang abadi yang penuh dengan kenikmatan itu sangat mudah diucapkan namun begitu berat untuk dilakukan. Vokal “a” menghiasi bait ke tiga belas; surga-seberapa-selamanya, dan bait ke sembilan belas; dipaksa-diminta-berlaksa. Bunyi-bunyi tersebut merupakan bunyi yang datar. Ini menggambarkan suatu kewajaran. Sudah sewajarnya seorang manusia mendambakan surga dalam keabadiannya. Sudah sewajarnya manusia hidup itu ada paksaan, persembahan, serta ada perbandingan/pertimbangan-pertimbangan. Konsonan “l” mewarnai bait ke dua; kanti¬l-kinti¬l-kekal yang membangun suasana sakral yang kental dan berkait. Konsonan “n” melingkupi bait ke delapan; penyamun-kegelapan-bulan yang mengisyaratkan akan kepastian. Konsonan “ng” terlihat pada bait ke sembila; gamang-hilang-kuning menggambarkan jiwa yang tidak tenang. Konsonan “k” mewarnai bait ke sepuluh; semak-rangkak-berjarak, dan bait ke delapan belas; kemaruk-remuk-berkecamuk. Bunyi-bunyi tersebut membangun suasana perjalanan. Konsonan “t” melingkupi bait sebelas; berkabut-pucat-nikmat, bait dua belas; aurat-kudapat-kujerat, bait empat belas; luput-langsat-keramat, bait enam belas; kabut-kusut-kalut, dan bait tujuh belas; lewat-larut-kalimat. Bunyi-bunyi tersebut mencerminkan kesakralan/kefundamentalan hidup. Konsonan “r” mewarnai bait ke dua puluh; altar-diantar-samar yang mencerminkan suatu bentuk kebenaran.

Jika ditelisik dari bunyi akhir kata dalam tiap baitnya, S Yoga menggunakan dua rima, yaitu rima patah dan rima rata. Rima patah terdapat pada bait dua, lima, tujuh, delapan, sembilan, sebelas, empat belas, tujuh belas, sembilan belas, dan dua puluh. Itu terlihat dari kata-kata; kanti¬l-kinti¬l-kekal (bait dua), merayumu¬-membenciku-apiku (bait lima), hati-mati-berseri (bait tujuh), penyamun-kegelapan-bulan (bait delapan), gamang-hilang-kuning (bait sembilan), berkabut-pucat-nikmat (bait sebelas), aurat-kudapat-kujerat (bait dua belas), luput-langsat-keramat (bait empat belas), lewat-larut-kalimat (bait tujuh belas), keamruk-remuk-berkecamuk (bait delapan belas), dipaksa-diminta-berlaksa (bait sembilan belas), altar-diantar-samar (bait dua puluh). Adapun rima ratanya adalah bait sepuluh; semak-rangkak-berjarak, dan bait enam belas; kabut-kusut-kalut.

Majas metafora tampak hadir dalam puisi S Yoga ini. Ungkapan “mantraku terbang (bait 1, baris 1), apiku (bait 5, baris 3), birahi berbulu (bait 6, baris 1), bunga-bunga (bait 7, baris 1), cahaya bulan (bait 8, baris 3), anjing malam (bait 10, baris 1), semak (bait 10, baris 1), lidi lanang (bait 13, baris 1), buah pinang yang kuning langsat (bait 14), kabut (bait 16 baris 1), kabut (bait16 baris 1 dan 3), asap dapur (bait 17, baris 1), dan nyala damar di sentong (bait 17, baris 2) merupakan gambaran metaforanya. Dalam ungkapan mantraku terbang, kata mantra yang notabenenya adalah kata-kata yang berkekuatan magis (dapat dikatakan sebagai doa) disamakan dengan seekor burung atau sesuatu hal yang dapat terbang. Ia secara visual dapat melayang-layang ke angkasa. Kata apiku merupakan persamaan dari hasrat yang diliputi oleh nafsu. Kata bulu identik dengan kehangatan. Sesuatu yang memberikan kehangatan akan mencupta kedamaian. Jadi, kata birahi berbulu disamakan dengan nafsu (jiwa) yang damai/tenang. Bunga bunga disamakan dengan kehidupan yang bahagia. Pencerahan atau petunjuk tingkah laku yang benar dimetaforkan dengan ungkapan cahaya bulan. Anjing malam mengarah pada penyepadanan dengan keberingasan dan keliaran nafsu. Semak merupakan satu bentuk penyepadanan dengan citra Nabi Musa saat beraudensi dengan tuhan di Bukit Tursina yang diwujudkan dalam bentuk semak yang terbakar. Semak tersebut merupakan isyarah akan hakekat ketuhanan. Lidi lanang biasanya dipakai oleh para pawang hujan untuk menolak hujan. Pada ungkapan ini tidaklah mengarah pada penangkalan hujan, namun mengarah pada kebajikan dan kesucian sebab ungkapan itu dirangkainya dengan kata surga. Penyair bermaksud melakukan penangkalan terhadap segala bentuk keburukan yang muncul dari dalam pribadinya dengan sedikit kebajikan dan kesucian hatinya. Jadi ungkapan lidi lanang disamakan dengan penyucian diri (hati). Buah pinang yang kuning langsat berorientasi pada buah pinang yang tengah masak/matang. Dalam hal ini unrkapan tersebut disamakan dengan buah kuldi yang pernah termakan oleh Adam dan Hawa saat berada di surga. Kabut pada baris ke-1 bait 16 disamakan dengan alam atau kehidupan yang samar (gaib) sedangkan pada baris ke-3 dimetaforkan dengan Tuhan Yang Maha Gaib. Asap dapur disepadankan dengan kepribadian yang buruk/kotor. Nyala damar dimetaforkan dengan cahaya hati/petunjuk, sedangkan sentong berkonotasi pada tempat damar menyala. Dalam hal ini sentong disepadankan dengan hati itu sendiri.

Dalam tingkat neveau vegetatif tampak bermacam-macam suasana yang membangun kepribadian si “aku” yang tecermin dalam sajak ini. Suasana-suasana tersebut berorientasi pada suasana yang begitu berat, mendalam, dan mengharukan dalam pribadi pengarang (bait 3, 5, dan 6). Suasana hati yang gontai, cemas dan tidak tenang juga telukiskan (bait 1, 9, dan 18). Hal ini seoalah-olah muncul sebagai suatu kewajaran dalam realitas perjalanan hidup si “aku” dalam mencari hakekat kesejatian tuhannya (bait 3, 4, 11, dan 12). Suatu harapan juga tertuang dalam sajak ini (bait 19 dan 20).

Tingkat pengalaman jiwa yang selanjutnya adalah neveau animal. Ini berupa nafsu-nafsu hidup, tanggapan-tanggapan indraan yang konkret, dan nafsu-nafsu jasmaniah. Nafsu-nafsu hidup dan jasmaniah tergambarkan melalui ungkapan “goda dan rayu (bait 1), merayumu dan membenciku (bait 5), murka (bait 7), rindu, cemas dan gamang (bait9), hati luka dan duka (bait 18), kebahagiaan, dipaksa (bait 19). Godaan, rayuan, kebencian, amarah, kerinduan, kecemasan, sakit hati, kesedihan, kebahagiaan, paksaan merupakan gambaran dari eksistensi nafsu. Semuanya bertumpu pada nafsu. Tanggapan indraan yang konkirit tecermin dari kata-kata uba rampe (sesaji-sesaji dalam ritual mistis), bunga mawar, kenanga dan kantiil (perkengkapan yang disediakan dalam ritual memantrai sesuatu), topeng (wajah palsu), apiku (sesuatu yang bersifat menyala, berkobar, dan membakar), berbulu (sesuatu yang menimbulkan kehangatan), bunga-bunga (gambaran yang indahdan memesona), cahaya bulan (sesuatu yang bersifat menerangi), burung hantu (gambaran dari malam dan ketakutan), anjing malam (gambaran dari sesuatu yang liar dan menakutkan), pucat (wajah yang tidak segar berseri yang menandakan bahwa diri seseorang itu sakit atau ketakutan), aurat (suatu aib atau agian-bagian tubuh seseorang yang mampu merangsang nafsu sahwat), surga (tempat yang indah yang penuh dengan kenikmatan), kulsi (buah yang enyesatkan yang menjadikan Adam dan Hawa terlempar dari surga), nyala damar (sesuatu yang bersifat menerangi dalam kegelapan), dan altar (tempat suci sebagai pemujaab/persembahan kurban kepada dew-dewa).

Tingkat keempat, neveau human dalam sajak ini tampak sebagai kesadaran si “aku” bahwa segalanya akan tiada arti jika ia tidak mampu menemukan, memandang, dan menyayangi kekasihnya (bait 3 dan 4). Kesadaran juga muncul dalam bait ke-11. Ini mengisyaratkan bahwa si “aku” mengikhlaskan penderitaan sesaat sebab ia sadar bahwa ada kebahagiaan yang lebih nikmat di balik semua itu. Si “aku” juga sadar, demi petunjuk dan jalan terang menuju sang kekasih, ia mebiarkan dirinya berada dalam kegelapan dan keheningan dari hal-hal yang mampu menggoda hatinya (bait 12). Kesadaran untuk bersabar juga muncul kembali dalam pribadi si “aku”. Ia tidak akan memaksa akan kedatangan kebahagiaan melalui kehadiran kekasihnya. Ia membiarkannya datang dengan sendirinya seiring perjalanan waktu, sebab itulah yang dinamakan kewajaran hidup. Dan inilah yang akan merangkai kebahagiaan yang lebih melimpah-ruah (bait 19). Si “aku” juga sadar bahwa kasih sayang kekasihnya lebih tinggi dari kasih sayangnya. Sebab kekasihnya tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa (bait 20).

Tingkat kelima adalah neveau religius/filosofi. Tingkat inilah yang tampak begitu kental dalam keutuhan puisi. Puisi ini mengarah pada perjalanan hidup si “aku” dalam melakukan hakekat kesejatian tuhan agar ia di kemudian hari berolehkan kebahagiaan dan kemuliaan. Sudah tampak jelas dari judulnya, Jaran Goyang, ini adalah mantra pengasihan untuk memikat hati seseorang. Tapi di sini beda. Judul itu berkonotasi pada yang lain. Si “aku” berusaha memikat tuhan dengan puja-puji doa dalam munajatnya. Ia mempersiapkan hal-hal dalam persembahan cinta kasih, ketulusan, dan kesucian hatinya agar tuhan berkenan cinta padanya dan selalu dekat dengannya.

mantraku terbang bersama malam bernafsu
adakah yang tak akan goyah karena goda dan rayu
telah kusiapkan uba rampe guna menjebakmu

bunga mawar, kenanga, dan kantil
agar kau selalu terpikat dan kintil
wahai kekasih berelok rupa dalam singgasana kekal (bait 1 dan 2).

Si aku menyadari bahwa segala pancaran kenikmatan yang diberikan tuhan kepadanya tidak aka berarti apa-apa apabila ia tak mampu dekat dan cinta kepada tuhannya. Ia semakin kecewa jika tuhan hanya sebatas bayangan angan dalam jiwanya saja. Ia menganggap bahwa perjalanan hidup yang telah dilaluinya haya sebatas kepura-puraan. Ia belum menemukan kesejatian hidup yang abadi.

apakah artinya cahaya wajahmu
bila tak bisa kupandang dan kusayang selalu
hanya bayangan melayang di batas angan dan tabu

bila tak kutemukan sukmamu dalam diri
hanyalah topeng hidup yang kupakai dan kubingkai
tak terwujud kesejatian hidup yang abadi (bait 3 dan 4).

Penegasan dilakukan oleh si “aku”. Ia menegaskan bahwa ia telah melakukan usaha-usaha tertentu dengan jalan menghadirkan kesucian hati dari perbuatan-perbuat nista yang menimbulkan kebencian tuhannya. Dengan hal itu, ia semakin yakin, bahwa kini tuhan telah semain dekat bersama hasratnya yang menggebu. Ia lantas mendamaikan nafsunya agar kebajikan berselimut dalam dirinya yang kemudian mampu menjadikan tuhan jatuh hati dan iba oleh doa munajatnya.

telah lama kugiring agar semua arwah merayumu
yang tak sudi kupinang karena membenciku
kini kupastikan engkau semakin dekat dengan apiku

yang selalu kunyalakan dengan birahi berbulu
agar harum tubuh menakjubkan rohmu
hingga hati luluh melihat doa malamku (bait 5 dan 6).

1876, Ruh Puisi Arthur Rimbaud di Salatiga

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/

Ruh puisi sebelum dituangkan penyairnya, masih mengawang di langit-langit bathin penciptaan. Betapa menggumuli cahaya rasa itu amat payah. Laksana air direbus di atas tungku dengan nyala api keabadian.

Mematangkan zat-zat pengalaman hingga tiada bakteri tersisa. Dari sana hadir kejelasan awal, tersugesti jiwanya sendiri demi memuntahkan gejolak terkandung lama. Sekelahiran musti, sesudah rindu tak tahan terbebani.

Kepercayaan terbit memusnahkan pekabutan was-was, tenggelamkan keraguan. Sirna bayang ketakutkan selama ini menghantui percintaan. Dalam peleburan ruang-waktu yang selalu digembol bersama kesadaran.

Tercapailah kata-kata dari mulut pena, menggambar di lelembaran kertas, memahat kayu kesaksian. Takdirnya melayarkan sampan nurani demi pelita umat manusia.

Kala raga bathin sukmanya dibuncahkan kepenuhan, menjalarlah dinaya kepenyairannya melalui jari-jemari cekatan menari dan terus-menerus bergetar.

“Putra Shakespeare” julukan dari Viktor Hugo (1802-1885) kepada Arthur Rimbaud. Menatap bayang dirinya tertimpa cahaya silam. Berbinar-binar matanya diruapi ruh nenek moyang terdekat. Membimbing jiwa-jiwa tidak jerah, kian kukuh beriktiar dalam pencarian.

Sampai titian akhir dirampungkan karyanya, dipelototi berulangkali di sana-sini. Dipangkas disesuaikan lebih manusiawi atau indrawi dari keadaan sebelumnya. Disimpan dalam kotak rapi, sebelum jarak penantian mempelajari yang berkisaran antara dirinya selama ini.

Kesungguhan berlanjut setelah keraguan menghantui balik, kecemasan diangkat kewaspadaan. Diambilnya catatan lalu, dibacanya keras-keras dalam bathin dan bersuara lantang. Di sinilah penyesuaian akhir terjadi.

Penggalan tiada ampun pada diri sendiri, pilihan kata melebihi jatuhnya hukum pancung. Warna diselaraskan melodi diseiramakan. Mematangkan hembusan perubahan yang selalu dikendarai. Jika ragu disimpan lagi, kalau dirasa purna diyakini berkesaksian akhir seperti awal kelahiran.

Bernard Dorléans dalam bukunya “Les Français et I’Indonésie du XVIe au Xxe siécle” menyebutkan Arthur Rimbaud berada di Jawa tahun 1876 sebagai anggota tentara Belanda. Kini izinkan diriku menafsirkan salah satu puisinya bertitel “Chanson De La Plus Haute Tour” dari buku Sajak-Sajak Modern Prancis Dalam Dua Bahasa, disusun Wing Kardjo, Pustaka Jaya, 1972:

LAGU MENARA TERTINGGI
Arthur Rimbaud

Datanglah, ya datang
Saat bercinta.

Aku sudah begitu sabar
Hingga semua kulupa.
Derita dan gentar
Ke langit musnah.
Dan haus maksiat
Membuat darahku pucat.

Datanglah, ya datang,
Saat bercinta.

Bagai padang
Terbengkalai lupa,
Belukar dan kemenyan
Tumbuh dan berbunga
Dalam dengung liar
Lalar-lalar kotor

Datanglah, ya datang
Saat bercinta.

Rimbaud, membangkitkan masa-masa penuh gairah dari dasar dirinya. Dinayanya diangkat melambung memenuhi panggilan jauh. Atau pribadinya yang menyerukan sebab musabab.

Lantas wajah-wajah berdatangan, berduyun-duyun mendapati kemungkinan. Kasih sayang menggebu dilumati rindu terdalam. Bersamanya segala ucapan mencipta atmosfer besar dalam rahim semesta.

Menebali keyakinan pada semua insan, laksana takdir digariskan. Tidak goyah meski seluruh penjuru dunia hendak menggagalkan. Itu ruh bathin mematangkan suara-suaranya menuju relung terdalam, kalbu jaman.

Kesabarannya menanti melululantakkan bangunan sejarah silam di atas timbunan kenangan pedih. Bebunga karang ingatan disapu hantaman gelombang atas luka-luka menggaramkan diri.

Hingga rasa gentar jua was-was, hanyut terseret arus hasratnya tak terjamah kembali. Musnah kecuali kehendak sah dan peleburan nafsunya memucatkan wajah-wajah ayu seampas tebu.

Atau kekelopak kembang layu oleh angin sayu mendadak menuakan waktu. Buah apel keriput sebelum terjamah jemari halus. Rimbaud memanggil kedatangan bayu bukan kemanjaan, namun pesona sumringah seasmara maut.

Datang angin purba membentur-benturkan mata anak-anaknya, pada bebatuan tebing meruncing legam. Di sana lelempengan waktu bersimpan hikayat kerinduan.

Tanah longsor menimbuni suara-suara lama, kini tergerus bayu pantai meniup tulang-belulang ribuan tahun silam. Yang terpendam menjelma batuan kapur, sepucat getir hujan dini hari.

Melupakannya kesadaran akan berpindah atau telah muksa. Kematian kekasih membayangi tercinta, terus mengharumkan percumbuan lekati bibir mengatup bergetaran.

Beterbangan seawan hitam melahirkan masa-masa menggoyang rerimbun kekokohan. Menara tertinggi kehadiran kala percintaan: maut selalu dirindu para pencari jalan keabadian.

Menjalarkan api abadi ke lorong-lorong buram. Hantu-hantu dibangkitkan bukan kangen, tapi petaka menimpa lama tersia.

Ngeri derita luput ke langit merah. Di padang-padang binasa berlipat amarah, datang sewaktu bercinta penuh gairah.

Demikian tafsiranku kali ini. Untuk riwayatnya aku petik dari buku Puisi Dunia, jilid I disusun M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1952:

Jean Nicolas Arthur Rimbaud (20 Oktober 1854 - 10 November 1891) penyair Perancis lahir di Charleville, Ardennes. Seorang berpendidikan agama, mula pendiam tapi tiba-tiba berontak meninggalkan sekolah dan ibunya, muncul di Paris pada usia 15 tahun. Langsung mendapatkan Paul Verlaine bersama sekumpulan sajak yang menggemparkan penyair-penyair di Paris. Yang kelihatan sajaknya berpandangan hayali dramatis. Fantasi serta perasaan halus melamun. Sajak bebasnya lincah, kata-kata yang dipergunakan sewarna bunyi bergeraknya gambar, asosiasi di sekitar satu metafor sebagai pusat.

Dari kumpulan ini mengalir arus simbolik masuk kesusastraan Prancis. Dalam beberapa hal Rimbaud dianggap pelopor aliran surealis, menulis sajak antara usia 15 dan 19 tahun. Himpunannya yang terkenal “Poésies”, “Une Saison En Enfer” , “Illuminations.” Sajak tersohornya “Le Bateau Ivre” penuh lambang peristiwa nasib-nasiban serta lukisan daerah-daerah jauh yang aneh.

Rimbaud tidak normal ini seakan sanggup melihat dengan mata bathinnya. Paul Claudel (1868 –1955) menganggapnya penyair terbesar yang pernah hidup. Setelah hampir ditembak mati oleh Verlaine, tiba-tiba menghilang. Menempuh hidup nasib-nasiban, berbakat di lapangan yang kurang cocok dengan pembawaan sastrawan. Menjadi pedagang gading, menjual senjata kepada Negus. Rimbaud meninggal di Merseille karena jatuh dari kudanya. Kakinya terpaksa dipotong, radang darah menamatkan riwayatnya.

Petikan http://en.wikipedia.org/wiki/Arthur_Rimbaud: tertulis, Mei 1876 mendaftar prajurit Tentara Kolonial Belanda demi berjalan bebas biaya ke Jawa (Indonesia), melakukan desertir dan kembali ke Perancis dengan kapal. Di kediaman walikota Salatiga, sebuah kota kecil 46 km selatan Semarang, Jawa Tengah, ada piagam marmer yang menyatakan Rimbaud pernah tinggal di kota.

Rimbaud dan Verlaine bertemu terakhir, Maret 1875 di Stuttgart, Jerman, setelah bebasnya Verlaine dari penjara. Saat itu Rimbaud menyerah menulis, memutuskan bekerja atau sudah muak kehidupan liarnya. Ada yang menyatakan berusaha kaya agar mampu hidup satu hari sebagai sastrawan independen. Terus bepergian secara ekstensif di Eropa, sebagian besar jalan kaki.

Di rumah sakit di Marseille, kaki kanannya diamputasi. Diagnosis pasca operasi ialah kanker. Setelah tinggal sebentar di kediaman keluarganya di Charleville, melakukan perjalanan kembali ke Afrika. Di jalan kesehatannya memburuk, dibawa ke rumah sakit yang sama. Pembedahan dilakukan dihadiri saudarinya Isabelle. Rimbaud meninggal di Marseille, dimakamkan di Charleville.

Minggu, 02 Mei 2010

MEMBACA JARAN GOYANG, HATI PUN BERGOYANG;

Catatan Kecil Sajak Samsudin Adlawi

Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/

Waktu itu, kira-kira sehabis Isya’, saya menguhubungi kawan saya. Saya bermaksud mau ngobrol-ngobrol denganya. Seketika itu saya lansung mengambil motor dan memacunya ke rumah kawanku tadi. Bukan sekedar kawan, tapi lebih dari itu. Entah apalah, yang jelas dia istimewa bagi saya. Namanya Nurel Javissyarqi.

Sesampainya di rumahnya, saya langsung bertemu dengannya. Seperti biasa, saya menemukannya sedang khusyuk dengan leptopnya. Membuat esai dan berkutat dengan facebook.

Kami ngobrol-ngobrol panjang lebar tentang face book dan sastra. Kami berbicara masalah pempublikasian karya sastra lewat facebook. Tampaknya akhir-akhir ini karya sastra ramai diperbincangkan di face book. Padahal beberapa saat yang lalu, bloog-lah yang meramaikannya. Sungguh perputaran peristiwa yang begitu cepat.

Selain ngobrol tentang facebook, kami juga nyentil sedikit masalah memudarnya media cetak dalam kalangan sastra, khususnya puisi. Baik di surat kabar maupun perbukuan. Peredaran puisi dalam perbukuan perlu diperhatikan. Pasalnya pihak penerbit enggan menerimanya untuk dilakukan penerbitan. Alasnnya, puisi pangsa pasarnya sedikit. Konsumennya terbatas. Hawatir pihak penerbit mengalami kerugian. Ini tidak jauh berbeda dengan nasib cerpen dan novel serius. Penerbit enggan menerimannya sebab mereka mengikuti selera pasar. Dan dalam realitasnya, pasar menghendaki karya-karya picisan, tenlit, dan teklit. Hal itu menyebabkan para sastrawan harus ekstra memutar otak agar dapat mempublikasikan karya-karyanya. Hanya mereka yang memiliki kemauan kuat dan modal vinansial yang cukuplah yang pada akhirnya dapat menerbitkan karya-karyanya. Apalagi bagi sastrawan regenerasi.

Begitu juga dengan surat kabar. Staf redaksi kerap meng-cut karya-karya sastrawan regenerasi yang ingin berkembang. Konon ada seorang penulis yang tengah mengirimkan karya-karyanya hingga mencapai ratusan karya, namun tak kunjung dimuat juga. Entah alasannya bagaiman. Mendengar kabar burung, katanya ada ungkapan baru; kalau tak kenal, maka tak saya-terbitkan. Kalau tak semadzhab, maka tak usah dihiraukan. Kalau tidak selera, maka tak perlu saya cantumkan. Tampaknya tiga ungkapan ini yang berdasarkan kabar burung melingkupi pempublikasian karya-karya sastrawan regenerasi. Padahal jika mau jujur dan objektif, tidak sedikit karya-karya sastrawan regenerasi memiliki kekuatan dan enak dinikmati. Perlu rasanya bagi sastrawan regenerasi untuk merapatkan barisan agar namanya muncul dalam khasanah kesusastraan. Tapi kini sastrawan regenerasi bisa sedikit bernafas dengan lega. Nasib karyanya sedikit terselamatkan oleh adanya blog dan face book. Tinggal seberapa kuat mereka dapat on line di sana.

Beberapa saat setelah perbincangan kami, kawan saya, Mas Nurel, begitu saya akrab memanggilnya, beranjak dari leptopnya. Ia menuju kamar bacanya. Tak lama kemudian ia balik lagi kepada saya. Ia membawakan saya dua buah buku terbitan terbaru PUstaka puJAngga. Salah satu dari dua buku itu karya Samsudin Adlawi. Seorang wartawan Jawa Pos kelahiran Banyuwangi.

Buku itu merupakan suatu antologi tunggal dari Samsudin. Hati saya langsung terpikat ketika melihat cover buku tersebut. Cover yang mencerminkan judul antologinya. Yaitu Jaran Goyang. Dengan ilustrasi dua kuda bersayap, yang saling mengaitkat kaki depanya satu sama lain. Yang satu berwarna kuning keemasan, satu lainnya berwarna biru lembayung.

Saya lalu membuka buku itu. Dan membaca-baca kandungan isinya. Hati saya sempat bergoyang. Apalagi saat melihat para komentatornya. Yang memberi komentar adalah para penulis dan kritikus terkenal. Bahkan di antara mereka ada yang berasal dari luar negeri. Saya sempat minder dan berkecil hati dengan mereka. Mereka tengah menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap karya Samsudin.

Daisuke Miyoshi telah menyatakan bahwa puisi-puisi Samsudin adalah puisi yang sukses sebab maknanya telah sampai pada pembaca. Ini bukan puisi kosong dan layak dimaknai semua orang yang bertuhan. Anett Tapai mengatakan kalau dengan karya ini Samsudin layaknya Jalaluddin Rumi yang lahir di Banyuwangi. Ada lagi Ilham Zoebazary yang menegaskan bahwa puisi-puisi Samsudin segar, menaikan gairah, dan tak terkira kaya nuansa. Tengsoe Tjahjono juga menyatakan hal yang serupa, puisi-puisi Samsudin adalah puisi yang berhasil sebab tidak harus disusun dalam wacana yang rumit dan pilihan kata yang pelik, namun cukup diksi biasa yang oleh kecermatan merangkai jadilah teks yang menimbulkan gigil pada rasa, kenyang pada makna. Rida K Liamsi juga menyatakan bahwa membaca puisi-puisi Samsudin adalah membaca renungan yang dalam tentang hidup, tetapi dengan semangat yang nakal, kritis, sinis, bahkan bercanda. Samsudin berhasil menyampaikan renungannya dengan menggunakan simbol-simbol yang sangat ragam, ragam juga dalam tema sehingga sehingga dalam pesona kata, diksi, sehingga puisi-puisinya selain enak untuk direnungkan di dalam kesendirian, juga enak untuk dibaca dengan ekspresif.

Dengan adanya komentar-komentar semacam itu, antologi puisi ini tampak begitu hebatnya. Dahsyat. Sebab para komentatornya adalah orang-orang hebat dan orang-orang besar. Memang saya akui, saya juga menangkap hal yang sama seperti mereka ketika melakukan proses pembacaan antologi ini. Diksinya sederhana, tidak pelik, kritis, nakal, simbolnya beragam, temanya juga beragam. Tapi ada sedikit pesona sajak yang mengganggu pikiran saya. Saya dalam penyelaman, seolah-olah diajak kembali pada nuansa klasik persajakan. Ada beberapa puisi yang mengingatkan saya pada gaya angkatan Balaipustaka. Suasan seperti itu tampak terlihat dari sajak Air, Dansa Akar, Gua, Rokok, Rubaiyat Cinta, Sel Imut, dan Teman Sejati. Entah ini suatu kemunduran atau sebatas rotasi selera estetika persajakan. Gaya lama terhapus gaya yang baru, gaya baru kembali pada gaya yang lama. Seperti siang dan malam, berotasi seiring perjalanan zaman. Seperti manusia, kadang susah, kadang bahagia, kembali susah, dan bahagia lagi. Sesekali kaya, sesekali jatuh miskin, dan bangkit lagi. Ah namun ini hanya sisi kecil dari keragaman saja-sajak Samsudin saja.

Puisi-puisi Samsudin sangat variatif. Bisa dibilang yang diusung Samsudin dalam puisinya adalah kompleksitas masalah hidup dan kehidup. Hal itu tampaknya terpengaruh dari mobilitas Samsudin sendiri, yaitu sebagai seorang wartawan. Bisa jadi ia diilhami oleh peristiwa-peristiwa yang tengah digelutinya saban hari. Ia kerap bersinggungan dengan masyarakat yang lebih komplek dengan problematika hidup. Sehingga tema yang diangkat dalam puisinya turut beragam pula. Namun dalam pengungkapannya, sajak-sajak Samsudin terasa hambar dan kurang permenungan. Benar atau tidak, subjektivitas pembaca sendirilah yang merasakannya.

Saat membaca judul antologi ini, Jaran Goyang, memori saya kembali dibawa pada khasanah kejawen. Saya teringat akan mantra pengasihan orang Jawa. Konon dikisahkan, jika seseorang ingin menggaet hati lawan jenisnya, bagi orang Jawa bias merapal mantra pengasihan Jaran Goyang yang ditujukan langsung kepada orang yang dikehendaki. Usut punya usut, orang tersebut pun akan jatuh hati. Gandrung. Dan kesengsem.

Tampaknya citra mantra pengasihan itu melingkupi hadirnya antologi Samsudin ini. Samsudin bermaksud ingin menggaet hati setiap orang yang melihat dan membaca antologi puisinya. Dan itu terbukti dengan adanya komentar-komentar dari tokoh-tokoh kesusastraan di atas. Mereka pada gandrung dengan puisi-puisi Samsudin. Mungkin mereka juga tidak punya azimat penangkal Jaran Goyang Samsudin. Tapi entah dengan pembaca yang lain, punya azimat penangkal atau tidak. Yang jelas Jaran Goyangnya Samsudin begitu membius. Entah dari sisi apanya, pembacalah yang bakal menemukan daya usik di dalamnya.

Fenomena judul antologi ini dimantabkan dengan judul puisi yang berjudul Jaran Goyang. Dalam puisi tersebut diejawantahkan praktik ritual pengasihan jaran goyang. Dikisahkan bahwa ritual ini dilakukan pada waktu tengah malam. Orang yang melakukannya dalam kondisi telanjang bulat. Tanpa sehelai benang pun. Ini bukan berarti semata-mata telanjang fisik, melainkan juga mengarah pada kepolosan dan keikhlasan batin.

ini upacara malam // upacaranya badan tanpa sehelai benang // seperti malam yang senantiasa telanjang (Jaran Goyang, hal:45, bait 1).

Suasana yang dimunculkan pada upacara ini harus benar-benar dalam kondisi sunyi. Sepi. Senyap. Tanpa ada suatu suara pun yang mengusiknya. Suasana seperti itu tidak hanya tercipta dari lingkungan sekitar saja, melainkan kesunyian yang membawa pada kekhusukan batin pelakunya juga harus tercipta.

ini upacara sunyi // berjalan tanpa bunyi // berkata tanpa bunyi // menembus tembok sepi (Jaran Goyang, hal:45, bait 2).

Upacara ini adalah upacara yang bersifat pribadi. Jadi ritualnya harus dilakukan seorang diri. Yang muncul dalam upacara ini hanyalah hasrat dan kehendak batin pelakunya yang tertuju kepada hati orang yang dituju. Menebarkan mahabah atas nama cinta pada perjalanan hidup anak manusia.

ini upacara angin // tarik nafas hembus ingin (Jaran Goyang, hal:45, bait 3).

Ritual ini berusaha keras untuk mempengaruhi pikiran seseorang. Membutakan cara pandangnya sehingga yang terpikirkan dan tertuju hanyalah si dia. Orang yang terkena pengasihan jaran goyang biasanya akan bersifat lupa dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Bahkan lupa pada dirinya sendiri. Ia hanya gandrung dan kepikiran pada orang yang memantrainya. Hatinya akan menjadi luluh. Yang diingat hanya si dia. Bayang-bayang wajah si dia akan melingkupi seluruh jiwanya.

dengan mantra kucuci otaknya // dengan mantra kutusuk matanya // dengan mantra kuganti hatinya (Jaran Goyang, hal:45, bait 4).

Orang yang tengah terpikat dengan mantra jaran goyang, tanpa sadar dalam batinnya tumbuh benih-benih cinta. Suasana kasmaran akan membias tanpa batas. Sebagaimana Davis menyatakan fenomena orang yang kasmaran. Orang kasmaran selalu beranggapan bahwa; “semua harapan di kepala hanya tahu namamu, lembaran putih hatiku mengenalmu, jerit tubuhku agar utuh, tangis itu milikmu, darahku mencucurkan namamu, mengalir, deras, namamu, namamu”.

Ketika seseorang dalam suatu malam telah merapal mantra pengasihan, dalam sajak Samsudin dikisahkan bahwa keesokan harinya orang yang jadi sasaran mantra akan gelap mata. Yang terpikir hanyalah orang yang merapal mantra saja. Hati dan pikirannya gelap. Ia terhipnotis. Seolah-olah yang ada dalam batinnya hanyalah nama si dia. Pesonanya meruang dalam kepribadiannya.

matahari menjelang // menggendong sekeranjang // otak mata dan hati yang // di dalamnya aku meruang (Jaran Goyang, hal:45, bait 5).

Gambaran puisi yang berjudul Jaran Goyang begitu jelas memberi isyarah bahwa daya magis yang terpancar dari mantra jaran goyang dapat menjadikan batiniah seseorang luluh-lantak. Hati seseorang dapat dengan seketika menjadi gandrung dan benih-benih cinta pun semakin bermekaran di sana. Semoga dengan adanya penyematan judul antologi ini, yaitu Jaran Goyang, seluruh hati orang yang memandang dan membacanya jadi turut bergoyang. Layaknya anting-anting, gontai dan bergelayutan, jika tak tergenggam kedalamannya. Laksana sang kembara gurun yang haus kejernihan air telaga maknanya.

ORASI TERAKHIR

Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/

Di suatu kota tinggal keluarga yang kata orang taat beragama. Mereka hidup tentram dan damai, mereka sekeluarga baik dan sopan pada tetangga. Bahkan para tetangga sering minta bantuan kepada mereka. Pemimpin keluarga tersebut sangat berpengaruh Pak Umar sebut banyak orang dan isterinya bernama Aisyah. Mereka berdua memiliki putra yang dikasih nama Yudi. Dia masih sekolah SMU didekat rumahnya. Yudi anak yang pandai karena dia selalu belajar kepada Ayahnya tentang agama dan banyak hal tentang kehidupan.

Suatu hari pak Umar menjadi pembicara pengkajian bulanan di daerah sekitar rumahnya. Sudah kebiasanya, menjadi penceramah disuatu pengajian keagamaan. Memang dia salah satu kyai yang disegani. Pak Umar berangkat dengan mengajak Yudi. Tiba saat Pak Umar mengisi pengajian, di dalam pidatonya Dia bilang “Melihat kondisi bangsa kita saat ini, kita harus banyak interopeksi diri, dan pemerintah harus segerah memberantas korupsi. Agar bangsa kita menjadi bangsa yang diridlohi Allah Swt. Dan bangsa kita menjadi makmur”. Para pendengar menganggukkan kepala tandanya setuju dengan apa yang diucapkan Pak Umar. Dua jam berlalu, banyak sudah yang ducapkan oleh Pak Umar kepada peserta pengajian dan akhirnya mereka berdua pulang kerumah.

Seorang anak biasanya meniru kebiasaanya orang tuanya, sama halnya dengan Yudi selalu menjadi pelopor pada acara diskusi soal agama di sekolahnya, sehingga Dia dapat julukan “Ustad” dari teman-temannya. Dia sangat disukai sama teman-temannya, tak jarang temanya minta tolong sama Dia untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan soal agama dengan jawaban yang bisa diterimaolehakal.

Waktu terus melaju hingga yudi harus mengakhiri masa SMU-nya dan beralih keperguruan tinggi. Dari awal dia punya rencana masuk jalur khusus, untuk masuk di perguruan tinggi yang masih satu daerah dengan dia, tapi memilki jarak yang sangat jauh. Dan dia harus meninggalkan rumah untuk kost. Yudi mulai mengurus segalanya sendirian tanpa ditemani oleh keluarganya hingga semuanya selesai dan tinggal melaksanakan perkuliahan.

Awal kuliah, yudi sangat gembira sekali kerena mendapatkan teman yang baru dan lain seperti di SMU dulu. Di dalam kelas Dia disukai oleh teman-temannya seperti dulu di SMU-nya. Bahkan sering dimintai tolong mengajari teman-temanya dalam hal mata kuliah. Memang yudi orangnya pandai dan cerdas.
Sudah sebulan Yudi kuliah, ada sedikit janggal yang dirasakannya, Dia terus berfikir.

“Oh ya, aku belum menemukan forum diskusi”.
Biasa dari SMU memang suka diskusi apalagi soal Agama. Malam tak bisa tidur, terus berfikir dimana ada kominitas diskusi “Besok habis kuliah aku harus jalan-jalan keliling kampus dulu dan tidak boleh langsung pulang”.
Pagi sudah tiba kebetulan hari itu Cuma satu mata kuliah dan sudah tidak ada tugas, jadi rencanya bisa dijalankan. Habis kuliah dia jalan-jalan keliling kampus. Tepat didepannya agak ke kiri Yudi melihat orang bergerombol
“Sepertinya orang diskusi” dalam hatinya.
Lalu dihampirinya “Lagi diskusi ya, boleh saya bergabung”. Lalu Yudi berkenalan satu satu,
“Anton, Mira, Ahmad, Ridwan, Aisyah”.
Diskusinya berlanjut lagi, menjadi tambah banyak permasalahn dengan datangnya Yudi, hingga waktu tidak bersahabat sama mereka. “ Sudah soreh” ujar Mira, “Ya, dilanjutkan nanti malam saja” Ridwan menyahut.
“Dimana?“Yudi bertanya kemereka, serempak menjawab “ Di sekret”, “Memang kalian punya?” Tanya yudi. Ahmad menjawab dan memberi alamat ke yudi, lalu pulang bersama-sama tiba sampai depan kampus mereka berpisah.

***

Yudi lansung pulang ke kost, menaruh tasnya di kamarnya dan lansung masuk kamar mandi untuk membersihkan badan. Seusai mandi Yudi mengabil buku yang dia punya, “Walaupun sedikit usang masih bisa dibaca dan tidak ketinggalan wacananya” ujar dalam hatinya. Lembar demi lembar dibukanya tak terasa adzan mahrib tiba. Sajadahnya dibentangkan dan langsung melaksanakan sholat tanpa ambil wudlu lagi, karena belum batal dari wudlu sholat ashar. Selesai sholat magrib, Yudi lansung pergi ke sekret teman-temannya tadi
“ Halloo kawan….!” Sapa Ahmad ke Yudi,
“Mana teman-teman yang lain?” Yudi menyahuti.
“Lagi makan sebentar lagi datang, itu mereka” jawab Ahmad.
Mereka diskusi lagi dan kali ini yudi agak kebinggungan karena banyak teori-teori baru yang muncul.
“Kawan aku tidak yambung” Yudi merasa binggung,
“Dengarkan aja dulu Yud nanti kamu nyambung sendiri”. Dan akhirnya mereka semua menyelesaikan diskusinya dengan banyak sekali pertanyaan bagi Yudi.

Besok paginya Yudi ketemu Ahmad
“Mau kemana, Mad?”
“Mau ke toko buku, kamu mau iku?”.
Dengan senang Yudi mengikuti Ahmad ke toko buku. Hingga sore tiba mereka pulang dengan membawa buku barunya yang tak sabar untuk dibaca.

Hari demi hari berlalu, Yudi senang mendapatkan komunitas yang baru, karena kemarin mengikuti pengkaderan sebagai syarat masuk dan menjadi anggota resmi di komunitas barunya. Hingga tak sadar dia nggak perna pulang kerumah orang tuanya hanya telfon dan kalau butuh uang minta transfer, walaupun satu kota tapi jaraknya jauh. Yudi, semua aktivis bertanya-tanya mana orangnya. Memang yudi pandai dan selalu konsisten dengan perjuangannya bahkan hampir tiap minggu tulisannya masuk di koran lokal, regional bahkan nasional juga masuk. Dengan ketelatenan dan kerajinannya membaca buku serta diskusi, menjadikan dia dikagumi oleh teman-temannya. Bahkan oleh para aktivis dari organisani kemasiswaan yang ada di kota tempat Yudi Kuliah.

***

Di rumah Yudi tinggal, Ayah dan Ibunya kangen sekali pada Yudi. Pak umar semakin terkenal dengan keahlian dan keapandaianya bercerama dihadapan publik. Hingga suatu hari ada rekanan dari politisi datang kerumahnya. Mereka memberi tawaran pada Pak Umar untuk bergabung di partainya dan langsung ditawari menjadi caleg. Tanpa berpiker panjang pak umar menyetujui. Karena itu yang menjadi keingginannya dibalik kepawaianya dan kepandaianya soal agama. Dalam hati berujar “Kesempatan untuk memasuki sistem dan merubah dari dalam prilaku politisi yang amoral”. Dan juga partai yang menawari pak Umar partai terbesar di Kotanya.

***
Masa libur kuliah telah tiba, Yudi pulang kerumah. Karena rasa kangennya terhadap kedua orang tua nya Ia cepat-cepat lari masuk kerumah, begitu di dalam rumah pak Umar dan istrinya menyambut kedatangan yudi. “ Yah, aku di rumah tidak lama, di kampus banyak kegiatan dan aku dibutuhkan sama teman-teman” bilang ke Ayahnya sambil memasuki kamarnya dan langsung merebahkan diri karena kecapean. Dua hari Yudi dirumah dan sudah waktunya kembali ke kampus.

Seminggu berlalu yudi dari rumah, di dalam organisasinya lagi sibuk menyiapkan aksi untuk mengontrol pemilu yang akan berlangsung. Sampai saat itu Yudi belum tahu kalau Ayahnya jadi Caleg dari partai terbesar di kotanya. Aktivis partai tersebut banyak melakukan dosa sosial.

Tiba di hari kampanye dengan kaget dan tersentak Yudi melihat Koran dengan Foto Ayahnya terpampam disana, dengan tulisan Caleg Jadi dari partai Pohon Kates. Saat itu juga Yudi telfon kerumah untuk memastikan tentang kebenaran apa yang barusan dilihat di koran. Dan yang menerima telfon adalah Ibunya, teryata benar itu adalah Ayahnya.

Sebulan selesai pemilahan umum yang diadakan di kotanya Ayah Yudi masuk di dewan dan jadi ketua dewan di darehanya.

***
“Bagaimana Yud, kamu masih meneruskan perjuangmu untuk melawan penindasan, walaupun kamu melawan Ayahmu sendiri” Kawan-kawan meyakinkan Yudi lagi “Setiap penindasan harus kita lawan, Ayahku sudah melakukan perselingkuhan terhadap politisi dan ini harus ditentang agar Agama tidak dijadikan komoditas politik dan membodohi rakyak”. Ujar Yudi dengan nada keras.

***

Yudi pulang kerumah pada hari libur Ayahnya, karena Dia ingin bertemu dengan Ayahnya. Sampai dirumah Dia bicara pada Ayahnya
“Yah, kenapa semua Ayah lakukan, untuk apa? Untuk Yudi, Yudi tidak butuh itu semua”
“Bukan begitu maksud Ayah, Kita harus berterima kasih pada partai Kates”,
“Apa yang perlu diterimasihkan, semua itu menjebak Ayah dengan massa yang Ayah miliki”
“Ayah sadar semua itu”
“Pokoknya Ayah harus Mengundurkan diri dan kembali lagi ke profesi Ayah sebagai pencerah Umat, kalau tidak mau Ayah berlawan dengan Yudi”
Yudi langsung berpamitan ke Ibunya untuk balik ke kampusnya.

***

Di kampus kawan Yudi menyiapkan Aksi untuk penolakan kebijakan pemerintah daerah yang tidak menguntungkan Rakyat. Dan semua itu Ayah Yudi terlibat dalam pengesahan Undang Undang yang dibuat untuk melegitimasi penindasan.

“Yud, besok kita aksi kamu jadi korlapnya kita aliansi dengan Organ Prodem yang lain”
Kawan-kawan yudi menginformasikan kepadaYudi
“Siap“ jawab Yudi.
Malam hari mempersiapkan perangkat-perangkatnya. Pagi hari Aksi dimulai, yudi berdiri paling depan dengan semangat yang berkobar-kobar. Tiba di depan kantor dewan di sana sudah di jaga ketat sekali oleh aparat Negara. Orasi bergantian menuntut pencabutan Undang-Undang yang disahkan oleh Dewan. Dan meminta ketua Dewan keluar, di tunggu lama tidak keluar-keluar. Aksi pun beruba menjadi panas, terjadi dorong mendorong antara peserta Aksi dengan aparat. Yudi kena pukul Aparat kepalanya bocor dan parah sekali, langsung dibawah kerumah sakit terdekat. Aksi dibubarkan oleh Aparat dengan banyak korban dari peserta aksi tapi yang paling parah adalah Yudi.

Kawannya mengabari ke Ibu Yudi, dan seketika itu Ibu Yudi berangkat menjenguk Yudi.
“Sudahlah Nak berhentilah melakukan demontrasi begini akibatnya” Ibunya berbisik ditelinga Yudi. Dengan nada agak keras “Tidak, tidak Mau” Yudi menjawab dengan nada agak kesakitan dikepalanya, sampai-sampai teman Yudi kaget. Yudi tidak mau pulang kerumah dan tidak mau minta Uang kekeluarganya. Beberapa hari dirumah sakit dan yudi akhirnya sembuh

Aksi besar-besaran terjadi Yudi ikut lagi, saatnya Yudi mengambil posisi di depan kawan-kawannya untuk melakukan orasi “Salam perlawanan, Kawan-kawan-kawan…..” belum sempat meneneruskan kalimatnya Yudi terjatuh dari tempat untuk orasi. “ Yudi tertembak…Yudi tertembak …” teriak barisan depan aksi demontarsi,.

Berakhir sudah perjuangan Yudi, “Kawan jangan berhenti sampai sini, perjuangan harus terus dilanjutkan walaupun orang terdekat kita yang melakukan penindasan…! harus kita lawan…!” “Yud bertahanlah“
“Aku tidak kuat lagi, sampaikan kepada Ayahku, menyerah dan cepat-cepat melakukan pengakuan dosa pada masyrakat yang ditindasnya.”“
Yud, bertahanlah…”
“Kawan-kawan lanjutkan perjuangan kita sampai ketidakadilan musnah di bumi ini”.

Bunga-bunga bertebaran dimana-mana seiring kepergian Yudi. Dan Aksi menjadi semakin besar

Malang, 2004

Bluke Kecil

Budi Darma*
http://www.jawapos.com/

ORANG tua Bluke Kecil tinggal di ruang bawah ta­nah se­buah gedung besar. Sewa ruang bawah tanah memang sa­ngat murah, dan orang tua Bluke tidak mungkin tinggal di ruang lain yang lebih mahal. Tentu saja, ruang bawah tanah tidak sehat. Kalau musim panas sinar matahari jarang men­jenguk ruang bawah tanah, dan kalau musim dingin, ruang bawah tanah bukan main dingin. Dan, barang siapa ting­gal di ruang bawah tanah pasti tidak mungkin menengok ke luar dengan bebas, sebab jendelanya sangat sempit, dan un­tuk menjenguk ke luar, mau tidak mau orang itu harus naik ke kursi atau meja. Detik demi detik, dengan sendirinya, ruang bawah tanah pasti mengundang berbagai ma­cam penyakit.

Ayah Bluke Kecil, Stavender namanya, adalah penjinak bi­natang buas Kebun Binatang Skebersky. Setiap hari, bahkan pada hari-hari libur resmi pun, Stavender berangkat ke kebun binatang menjelang jam enam pagi, dan menjelang jam tujuh malam baru sampai rumah kembali. Begitu tiba di rumah dia menyuruh Bluke Kecil mengambilkan bir, minum bir, batuk-batuk sebentar, kemudian tidur. Hanya kadang-kadang dia mengelus-elus kepala Bluke Kecil, dan hanya kadang-kadang dia berbicara kepada Bluke Kecil.

Ibu Bluke Kecil, Greta namanya, adalah sopir taksi. Le­bih kurang satu setengah jam setelah suaminya berangkat ke ke­bun binatang, Greta juga pergi. Berbeda dengan suaminya, dia tidak bisa menentukan jam berapa kira-kira dia akan pu­lang. Kalau penumpang banyak maka dia pulang malam, dan kalau kebetulan taksinya sedang tidak laku dia pulang le­bih awal. Kadang-kadang, pada saat dia pulang dia dapat bertemu dengan suaminya, dan kadang-kadang, dan ini le­bih sering, suaminya sudah tidur dengan dengkur yang me­mekakkan telinga baik istrinya maupun Bluke Kecil.

Sebagaimana suaminya, begitu sampai di rumah Greta pasti berteriak: ”Bluke Kecil, ibu kamu sudah datang! Am­bilkan bir! Apa kerjamu sepanjang hari, Bluke Kecil?”

Setiap hari ibu Bluke Kecil berteriak begitu, dengan nada yang benar-benar sama, tanpa ada perubahan sama sekali. Dan sambil berteriak minta bir, boleh dikatakan hampir se­lamanya ibu Bluke Kecil tidak pernah menengok ke arah Bluke Kecil. Mungkin, pada suatu saat kalau dia pulang dan Bluke Kecil sudah mati, dia tidak akan tahu bahwa Bluke Kecil, anak darah dagingnya sendiri, sudah tidak bernapas. Sebagaimana suaminya, kadang-kadang dia juga mengelus-elus kepala Bluke Kecil.

Setiap kali ayahnya mengelus-elus kepalanya Bluke Kecil se­lalu ketakutan, demikian pula setiap kali ibunya mengelus-elus kepalanya. Sambil mengelus-elus, ayahnya selalu bercerita mengenai binatang-binatang buas dan sekian ba­nyak korban yang sudah diganyang binatang buas, atau pa­ling tidak dilukai oleh binatang buas. Bluke Kecil me­rasa, ayahnya memang sengaja menakut-nakutinya. Dan setiap kali ibunya mengelus-elus kepalanya, ibunya selalu berce­rita mengenai sekian banyak laki-laki yang pernah dipukul dan ditendangnya, dan sekian banyak perempuan yang per­nah dia tempeleng, atau dia jambak rambutnya. Bluke Kecil merasa ibunya, sebagaimana pula ayahnya, sengaja mem­beri kesan bahwa dirinya hanyalah makhluk tidak berharga.

Tubuh ibu Bluke Kecil memang luar-biasa besar, namun luar biasa lincah. Bos taksi tempatnya bekerja menyukai dia karena dia jujur, berani, dan tidak pernah ragu-ragu me­nendang penumpang taksi yang kurang ajar, atau menggebuki teman-teman kerjanya yang bertingkah tidak senonoh. Setelah ibu Bluke Kecil bekerja sekian lama, se­betulnya bosnya ingin dia bekerja di kantor, dan bukan la­gi menjadi sopir, namun dia menolak. Dia bilang bekerja sebagai sopir lebih nyaman, karena dia bisa bergerak ke banyak tempat. Dan kalau ada penumpang minta diantarkan ke luar kota, katanya, rasanya lebih nikmat.

Tanpa disangka-sangka, sekonyong-konyong pada suatu hari ayah dan ibu Bluke Kecil bersikap sangat manis. Mereka mengajak Bluke Kecil berjalan-jalan ke kebun binatang, menonton film anak-anak, mengunjungi sekian banyak toko, kemudian masuk ke restoran. Dan akhirnya mereka menonton sirkus.

Setelah sampai di rumah ayahnya berkata, bahwa mulai bulan depan Bluke Kecil harus masuk sekolah. Ayah dan ibu Bluke Kecil telah memilihkan sekolah yang baik, mahal, dan bersih, meskipun jauh. Karena itu, kata ibunya, ayah dan ibunya akan mendidik dia agar dia siap memasuki dunia yang sesungguhnya.

Selama satu bulan penuh ayah dan ibu Bluke Kecil lebih banyak tinggal di rumah.

”Ayah dan ibu tahu, Bluke Kecil, kadang-kadang kamu ke luar rumah pada waktu ayah dan ibu bekerja.”

Bluke Kecil diam.

”Kamu tahu, Bluke Kecil, ayah dan ibu berkali-kali me­nga­takan kamu tidak boleh ke luar rumah kalau ayah dan ibu sedang bekerja. Kamu melanggar. Dan ayah dan ibu sudah memaafkan kamu.”

Bluke Kecil tetap diam, namun dalam hati berkata: ”Udara ruang bawah tanah tidak sehat. Kalau saya hanya menge­ram di sini terus, pasti saya sudah menjadi mayat.”

”Ayah dan ibu tahu, Bluke Kecil, setiap kamu ke luar sen­dirian, pasti kamu menemui kesulitan. Kamu diejek, dihina, dimintai uang. Kadang-kadang kamu juga ditonjok perut kamu sampai beberapa kali kamu muntah. Dan mes­kipun kamu jarang kapok, kamu sebetulnya takut.”

Bluke Kecil tetap diam.

”Ayah dan ibu tahu, Bluke Kecil, bahwa uang yang dirampas oleh orang-orang jalanan itu jauh lebih besar dari uang sa­ku kamu. Jangan kamu kira bahwa ayah dan ibu tidak tahu dari mana kamu memperoleh uang sebanyak itu. Ayah dan ibu tahu kamu mencuri, mencuri uang ayah dan ibu kamu sendiri, dari situ, laci meja itu, dari situ, almari itu, dan dari situ, kotak di pojok itu. Kamu memang cerdik. Uang yang ayah dan ibu sembunyikan di bawah kasur supa­ya tidak mudah kamu endus ternyata juga kamu curi. Dan ca­ra kamu mencuri juga cerdik. Kamu tidak pernah mencuri da­lam jumlah besar supaya tidak mencolok. Kamu selalu mencuri dalam jumlah kecil-kecilan tapi terus-menerus.”

Ibu Bluke Kecil mengeluarkan catatan, lalu berkata: ”Inilah daftar uang yang kamu curi, Bluke Kecil. Ada tanggal­nya, ada harinya, ada jamnya, ada juga uang dari tempat ma­na yang kamu curi. Semuanya tercatat serbarinci, serbajeli, serbatepat. Kamu jangan menyangkal. Jangan. Namun ketahuilah, Bluke Kecil, ayah dan ibu sudah memaafkan kamu.”

Lalu ayah dan ibu Bluke Kecil memberi tahu cara-cara un­tuk mempertahankan diri manakala dalam perjalanan pergi pulang ke sekolah nanti dia dihina, ditempeleng, dan di­mintai uang oleh berandal-berandal jalanan.

”Jangan takut kepada mereka, Bluke Kecil. Ayah dan ibu ka­mu berusaha keras untuk membuat kamu manusia bermar­tabat, jangan sampai terus-menerus dikalahkan, diinjak-in­jak, dan tidak ada habisnya dianggap sebagai sampah. Ka­mu harus melawan, Bluke Kecil, kalau kamu memang akan diinjak-injak. Namun kamu juga harus ingat, Bluke Ke­cil, kamu tidak boleh menyakiti siapa pun sebelum kamu di­sakiti terlebih dahulu. Lakukanlah tindakan-tindakan baik ke­pada semua orang. Namun kalau semua orang membalas pe­r­lakuan baik kamu dengan penghinaan, lawanlah mereka.”

Ayah dan ibu Bluke Kecil kemudian mencopot semua pa­kaian mereka. Dan baru kali itulah Bluke Kecil melihat ayah dan ibunya telanjang. Bagi Bluke Kecil, dalam keadaan te­lanjang ayah dan ibunya tidak tampak sebagai manusia, ta­pi sebagai sepasang binatang purba yang amat janggal dan juga amat lucu.

Bluke Kecil yakin, ayah dan ibunya pasti tidak tahu bah­wa sebagian uang curian yang dicatat oleh ayah dan ibunya de­ngan rapi itu sebetulnya dia pergunakan untuk menyewa komik di kios tidak jauh dari jembatan. Hampir setiap hari Bluke Kecil pergi ke kios itu, membaca beberapa komik, lalu membayar sewanya, lalu pergi ke beberapa tempat lain se­belum akhirnya pulang.

Dari komik-komik itulah Bluke Kecil belajar membaca sen­diri, dan akhirnya juga belajar menulis sendiri. Dan ini­lah yang tidak diketahui oleh ayah dan ibu Bluke Kecil. Dan inilah salah satu sebab yang mendorong keyakinan Bluke Kecil bahwa mencuri tidak selamanya jahat.

”Sekarang, Bluke Kecil, copotlah semua pakaian kamu.”

Bluke Kecil terpaksa ikut telanjang. Dalam hati Bluke Ke­cil ada perasaan ngeri. Seolah-olah dia ikut-ikutan tidak men­jadi manusia, namun menjadi binatang purba. Dan bukan hanya itu. Seolah-olah dia tidak mempunyai benteng per­tahanan apa pun. Segala sesuatu dalam perasaan dan pikirannya seolah-olah bisa dibaca bukan hanya oleh ayah dan ibunya, namun juga oleh semua seluruh dunia.

”Lihatlah ibu kamu, Bluke Kecil,” kata ayah Bluke Kecil.

Dengan gerak tenang, gemulai, dan meyakinkan, tangan ibu Bluke Kecil menapak lantai, kemudian seluruh berat tu­buhnya disangga oleh kekuatan sepasang telapak tangannya. Lalu tubuhnya turun, ganti kepalanya yang menyangga berat tubuh, lalu dalam keadaan kakinya di atas dan ke­palanya di bawah, ibu Bluke Kecil bersedekap. Ibu Bluke Kecil bernapas dengan tenang, kemudian tidur dalam ke­adaan tetap berdiri di atas kepala. Selang lebih kurang se­puluh menit ibu Bluke Kecil melakukan gerakan-gerakan lain, dan ayah Bluke Kecil bertindak sebagai pelatih.

Melalui latihan keras dan melelahkan, dalam waktu sepuluh hari Bluke Kecil sudah sanggup menirukan gerakan-ge­rakan dasar ayah dan ibunya. Karena Bluke Kecil dapat be­lajar dengan cepat, ayah dan ibunya menyatakan perasaan bang­ga mempunyai anak Bluke Kecil.

Dalam latihan-latihan itu perlahan-lahan Bluke Kecil me­nyadari bahwa sebetulnya ayah, ibu, dan anak saling mencin­tai. Ada ikatan batin yang sangat kuat di antara mereka. Kendati sampai saat itu Bluke Kecil masih merasa ada tembok-tembok kuat yang memisahkan ayah, ibu, dan dirinya, Bluke Kecil merasa bahwa tembok-tembok kuat itu justru penting untuk mempersatukan kasih sayang mereka.

Selama beberapa kali diajak ke kebun binatang dan perusahaan tempat ibunya bekerja Bluke Kecil benar-benar merasakan bahwa ayah dan ibunya sangat dihormati di tempat kerjanya masing-masing. Bukan hanya pegawai biasa yang menghormati ayah dan ibunya, namun juga atasan-atasan mereka. Rasa hormat itu sama sekali tidak dibuat-buat, namun benar-benar tulus.

Diam-diam Bluke Kecil merasa ayah dan ibunya menuntut agar dia nanti di sekolah juga dihormati, bukan hanya oleh teman-temannya, tapi juga oleh guru-gurunya. Ayah dan ibunya tidak menghendaki Bluke Kecil gagal. Kelak, ketika Bluke Kecil sudah tidak kecil lagi, ayah dan ibunya ingin agar dia menjadi manusia yang mempunyai harkat, derajat, dan martabat tinggi.

Bahwa ayah dan ibunya merasa gagal Bluke Kecil tahu de­ngan pasti setelah pada suatu malam ayah dan ibunya membuka beberapa peta dunia di meja makan. Bluke Kecil tahu betul bahwa ayah dan ibunya telah menyimpan peta-peta itu di tempat tersembunyi, mungkin dengan harapan Bluke Kecil tidak akan menemukannya dan membuka-bukanya. Namun, sebetulnya, sudah lama diam-diam Bluke Kecil membuka-buka peta-peta itu dan merenungkan apa gerangan makna masing-masing tanda pada peta-peta itu.

Bukan hanya itu. Bluke Kecil sudah lama menyembunyikan radio kecil dengan gelombang panjang dan gelombang pendek, radio yang ditemukannya secara tidak sengaja di tong sampah kira-kira satu kilo dari tempat tinggalnya. Pada waktu Bluke Kecil menemukannya, radio kecil itu dalam keadaan rusak. Dengan tekun Bluke Kecil mengotak-atik radio itu, sampai akhirnya radio itu bisa mengeluarkan suara-suara gembret. Setelah mencuri uang ibunya Bluke Kecil lari ke kedai kelontong, membeli dua baterai kecil, dan keluarlah suara-suara nyaring dari radio kecil itu.

Mulai dari saat itulah Bluke Kecil mempunyai kegemaran yang amat menyenangkan, yaitu mendengarkan siaran-siaran dari luar negeri melalui gelombang pendek. Maka, ke­tika ayah dan ibunya membuka peta-peta dunia di meja makan tahulah Bluke Kecil makna tanda-tanda pada peta-pe­ta itu. Bluke Kecil tahu bahwa dunia dibagi dalam lima be­nua, tahu di mana letak negara-negara besar, dan tahu di mana letak negara di mana dia tinggal dan di kota mana dia ting­gal. Mencuri uang orang tuanya, dengan demikian, bagi Bluke Kecil bukanlah dosa, karena uang itu untuk belajar membaca dan menulis, dan juga untuk membeli ba­terai, dan dengan baterai itu Bluke Kecil bisa membayangkan bagaimana dunia ini sebenarnya. Bukan hanya itu. Bluke Kecil juga bisa mendengar beberapa bahasa dari negara-negara lain di lima benua, dan Bluke Kecil juga bi­sa menirukan berbagai bahasa itu.

Bluke Kecil tahu, ayah dan ibunya mempunyai keinginan be­sar untuk menjadi pengelana dunia bukan dengan jalan menjadi pegawai perusahaan penerbangan atau pelayaran, dan karena itu bisa ikut terbang dan berlayar, namun sebagai orang-orang terhormat dan terkemuka. Sekali lagi, Bluke Ke­cil tahu. Dan kelak, ketika Bluke Kecil sudah tidak kecil la­gi, tahu bahwa seseorang yang terhormat dan terkemuka pasti diundang ke mana-mana bukan sebagai pegawai, na­mun sebagai pribadi yang kuat. Karena itu, ayah dan ibu Bluke Kecil juga tidak mau menjadi pengelana dunia sebagai pemain sirkus.

Kalau mau, pasti ayah dan ibu Bluke Kecil bisa menjadi pe­main sirkus yang bukan sembarangan. Ingatlah, ayah Bluke Kecil adalah penjinak binatang buas yang amat dihor­mati, dan sebagaimana ibu Bluke Kecil, tubuh ayah Bluke Kecil juga lentur. Dan Bluke Kecil juga tahu, ayah dan ibu­nya bukanlah orang-orang bodoh.

Dalam keadaan pura-pura sudah tidur Bluke Kecil pernah me­nyaksikan sendiri, ayah dan ibunya dalam keadaan sama-sama telanjang memelajari titik-titik kuat dan titik-titik le­mah tubuh manusia. Ketika kepala ayah Bluke Kecil dihan­tam sebilah kayu panjang oleh ibu Bluke Kecil, ayahnya tidak merasa apa-apa. Namun begitu tangan ibu Bluke Ke­cil menyentuh satu titik tepat di atas pusar, ayah Bluke Kecil menjerit-jerit sambil berjingkrak-jingkrak kesakitan. Lalu, dalam keadaan pura-pura sudah tidur pula, Bluke Kecil pernah menyaksikan ayah dan ibunya, dalam keadaan telan­jang pula, menari-nari dengan sangat indah. Dan Bluke Kecil tahu, barang siapa ingin menjadi pemain sirkus harus pandai menari.

Demikianlah, Bluke Kecil dalam keadaan pura-pura sudah tidur sering menyaksikan ayah dan ibunya dalam keadaan te­lanjang melakukan gerak-gerik yang benar-benar ajaib, kadang-kadang tidak masuk akal, dan kadang-kadang mengerikan juga. Pernah, misalnya, dengan mempergunakan pedang sewaan, ayah dan ibu Bluke belajar bertempur, saling menyerang, dan saling ingin merobohkan.

Bluke Kecil betul-betul tahu bahwa ayah dan ibunya tahu bahwa Bluke Kecil pura-pura sudah tidur namun sebetulnya ma­sih terjaga. Karena itulah, pada suatu malam, sehabis saling menyerang dengan pedang sewaan, ayah Bluke Ke­cil berkata kepada ibu Bluke Kecil: ”Itu, lho, anak kamu pu­ra-pura tidur.”

Ibu Bluke Kecil menjawab: ”Tinggalkan tempat tidur, Bluke Kecil, lalu, cepat-cepatlah lepas seluruh pakaian kamu.”

Dan setelah Bluke Kecil bangkit dari tempat tidur, ibunya lang­sung menyodorkan sebilah pedang: ”Seranglah saya, Bluke Kecil.”

Bluke Kecil pun bangkit, lalu menyerang ibunya dengan be­berapa ayunan pedang, tapi selalu luput.

”Sekarang seranglah ayah kamu, Bluke Kecil.”

Dan Bluke Kecil pun menyerang ayahnya dengan berbagai ayunan pedang. Tahulah Bluke Kecil, cara ibunya dan ayah­nya menghindar dari serangan ayunan-ayunan pedang bukanlah dengan gerak biasa, namun gerak tari yang amat indah.

Waktu satu bulan sudah habis, dan tibalah saatnya bagi Bluke Kecil untuk sekolah.

”Kamu Bluke Kecil, bukan?” tanya guru ketika kelas per­tama pada hari pertama baru saja dimulai. ”Ayah dan ibu kamu sudah beberapa kali datang ke sini. Mereka minta izin untuk menyuruh kamu sekolah tiga tahun terlambat. Boleh-boleh saja. Undang-undang negara kita tidak memba­tasi umur mulai sekolah, asal semua anak akhirnya lulus SD, SMP, dan SMA.”

Bluke Kecil mengangguk-angguk.

”Apa kerja kamu selama tiga tahun, Bluke Kecil? Menja­di pengantar koran? Atau pengantar susu? Undang-undang ne­gara kita tidak melarang anak-anak bekerja, jadi kamu ker­ja ini atau kerja itu juga tidak apa-apa.”

Bluke Kecil diam, sementara anak-anak lain heran, menga­pa ada anak setua itu baru mulai sekolah, dan mengapa pula ada anak sebesar itu dipanggil ”Bluke Kecil”, bukan ”Bluke Besar”, ”Bluke Tua” atau semacam itu. Anak-anak lain keder, karena mereka tahu, anak sebesar ini atau setua ini pasti jauh lebih pandai daripada mereka.

Memang, ternyata benar, Bluke Kecil amat pandai. Bluke Kecil tahu banyak mengenai makna angka dan huruf, ilmu bu­mi, kata-kata asing, dan sekian banyak hal yang pernah di­bacanya dari komik dan didengarnya dari siaran-siaran radio luar negeri, dan juga dari bisik-bisik ayah dan ibunya ketika mereka memperbincangkan dengan nada malu-malu mengenai negeri-negeri jauh. Maka, pada saat guru menga­jar Bluke Kecil sering ngalamun.

Bluke Kecil sadar bahwa dirinya asing dengan siapa pun. Ayah dan ibunya tetap berlagak sama seperti dulu, yaitu, ”Bluke Kecil, ambilkan bir”, ”Bluke Kecil, bikinkan kopi”, ”Bluke Kecil, untuk apa kamu mencuri uang lagi?” dan di sekolah dirinya juga asing dengan teman-temannya, asing pula dengan guru-gurunya. Anak-anak di sekitar tempat tinggalnya, seperti yang pernah dikatakan ibunya, mendekati dirinya hanya untuk minta uang, dan kalau tidak diberi uang mereka menempelengi dia. Bedanya, dulu Bluke Ke­cil ditempelengi dan lari atau menyerah dan memberi uang, dan sekarang Bluke Kecil melawan dan ditakuti. Pelajaran-pe­lajaran dari ayah dan ibunya telah membentuk Bluke Ke­cil sebagai anak pemberani, akan diam kalau tidak diapa-apa­kan, dan akan menghajar tanpa ampun apabila disakiti.

Semua guru juga sadar, Bluke Kecil asing dengan diri me­reka. Guru-guru tidak tahu bagaimana caranya mengha­dapi Bluke Kecil, karena tingkah Bluke Kecil sering menim­bulkan tanda tanya. Sering, misalnya, Bluke Kecil tertidur pu­las pada waktu guru sedang mengajar, dan karena ayah Bluke Kecil selalu mendengkur keras pada waktu tidur, Bluke Kecil pun sering mendengkur keras pada waktu gu­ru mengajar.

Namun, kendati Bluke Kecil sering tertidur dengan dengkur yang amat meresahkan, ternyata Bluke Kecil sanggup me­nyimak kata demi kata semua gurunya. Pada suatu hari, mi­salnya, guru ilmu bumi dengan penuh wibawa mengatakan, ibu kota Nepal adalah Sikkim. Langsung, dalam ke­adaan matanya masih menutup berat, Bluke Kecil menga­cung­kan tangan, sambil berkata: ”Kalau petanya kecil, me­mang tampaknya Sikkim menempel di Nepal. Karena itu, biasalah manakala orang-orang menganggap Sikkim ibu kota Nepal. Namun, Sikkim itu negara tetangga Nepal. Ibu kota Nepal tentu saja Katmandu, dan semua orang seha­rusnya sudah tahu. Hah, hah, hah …”

Akhirnya, semua guru berusaha untuk senang kepada Bluke Kecil, tapi semua guru tetap tidak senang kepada Bluke Kecil. Dan semua guru juga sadar, mereka hanyalah makhluk-makhluk bodoh, tidak tahu bagaimana harus mengajar karena otak mereka kosong, dan tidak tahu bagai­mana berkata-kata dengan meyakinkan di hadapan semua mu­rid, karena Bluke Kecil pasti tahu, apa yang mereka ka­takan mungkin keliru.

Akhirnya Bluke Kecil juga sadar, ayahnya menjadi penji­nak binatang buas bukan sekadar mengikuti darah nenek-mo­yangnya yang memang sejak dahulu menjadi penjinak bi­natang buas, namun karena, dan inilah yang penting, ayahnya melarikan diri dari kegagalan. Bluke Kecil dapat me­nebak, ketika me­ngelus-elus zripanzea ayahnya merasa se­dang berada di Ar­gentina karena asal-usul binatang buas zripanzea adalah Ar­gentina, pada waktu menimang-nimang bayi lodvivalia ma­malia layaknya ayahnya sedang berada di Uganda, dan pa­da waktu memandikan norgazus psinomalia ayahnya me­rasa seakan-akan berada di Babilon zaman da­hulu kala, karena dari situlah asal-usul binatang buas yang se­dang dia mandikan.

Bluke Kecil juga menduga, ibunya menjadi sopir taksi, pa­dahal kalau mau pasti mendapat pekerjaan lain dengan ga­ji lebih baik, karena ibunya, seperti juga ayahnya, adalah makhluk yang gagal. Dengan mengendarai mobil ke mana-mana, meskipun jarang ke luar kota, ibunya membayangkan sedang bepergian ke ujung-ujung lain dunia. Ibunya juga sering mengajak penumpang-penumpangnya untuk berputar-putar menempuh jarak yang lebih jauh sambil mengobrol macam-macam tanpa meminta bayaran tambahan, tidak lain karena, inilah dugaan Bluke Kecil, ibunya membayangkan sedang berkeliling dunia dan mengobrol dengan orang-orang dari negeri antah-berantah yang amat jauh.

Dugaan Bluke Kecil mungkin benar: ibunya sering mendapat tip berupa uang asing, kaos oblong dengan gambar dan kata-kata negeri asing, rokok merek luar negeri, gantungan ku­n­ci dari berbagai negara, dan entah apa lagi. Semua barang asing itu sering ditimang-timang ibunya, dan mungkin karena itu pulalah, ibunya tidak pernah memperhatikan Bluke Kecil dengan sungguh-sungguh.

Tanpa diduga-duga, pada suatu hari setelah sekolah usai, seorang guru baru pindahan dari kota lain menahan Bluke Kecil.

”He, Bluke Kecil, boleh kan sekali tempo saya main-main ke rumah kamu?”

Mata Bluke Kecil mendelong.

”Begini, Bluke Kecil. Kamu sekolah terlambat tiga tahun. Lalu kamu sering ngalamun. Sering pula tidur. Ternyata ka­mu pandai. Inilah ciri-ciri anak melarat. Bukan anak me­larat biasa, tapi anak melarat yang sudah tidak mempunyai ayah. Ibu kamu pasti perempuan hebat.”

Tanpa tahu sebabnya, Bluke Kecil menurut ketika Bapak Guru mengajak ke rumah makan.

”Jangan khawatir pulang terlambat, Bluke Kecil. Nanti ka­mu saya antar pulang. Saya ingin ketemu ibu kamu.”

”Maaf, Bapak Guru, ayah saya masih ada.”

”Kalau begitu, ibu kamu sudah tidak ada.”

”Maaf, Bapak Guru, ibu saya masih ada.”

”Ah, mosok begitu? Kamu pasti punya ibu tapi ayah kamu su­dah tidak ada.”

Bluke Kecil diam sebentar, kemudian, dengan malu-malu mengeluarkan sebuah potret dari tasnya. Potret itu diambil ketika ayah dan ibunya bersikap ramah, mengajak Bluke Ke­cil berjalan-jalan, masuk toko, mengunjungi rumah ma­kan, lalu menonton sirkus. Bluke Kecil sadar, dengan menyimpan potret itu, sebenarnya dia sangat mencintai ayah dan ibunya.

”Maaf, Bluke Kecil, saya kira kamu sudah tidak punya ayah. Begini, Bluke Kecil, saya sudah tidak punya istri. Tu­han Mahabesar. Arwah istri saya, dengan perkenan Tuhan Mahabesar, sekarang sudah berada di surga. Tadi malam saya didatangi arwah istri saya bukan dalam mimpi, namun ke­tika saya sedang makan. Istri saya minta maaf tidak bisa menemani. Sebelum pergi, istri saya, maksud saya arwah istri saya, minta saya mencari istri baru.”

”Maksud Bapak Guru, Bapak Guru mau mengambil ibu sa­ya menjadi istri Bapak Guru?”

”Ah, itu tidak penting, Bluke Kecil. Yang penting ternyata kamu masih mempunyai ayah.”

Setelah berhenti sebentar, Bapak Guru berkata: ”Begini, Bluke Kecil, katakan kepada ibu kamu, kalau ayah kamu su­dah tidak ada, Bapak Guru mau. Bapak Guru setia menunggu.”

”Kalau ayah saya tetap ada, Bapak Guru?”

”Makanya katakan, Bapak Guru mau, Bapak Guru setia me­nunggu.”

Setelah diam sebentar, Bapak Guru menyambung: ”Apa pekerjaan ayah kamu, Bluke Kecil?”

”Penjinak binatang buas.”

”Itu mungkin agak penting, Bluke Kecil. Sejarah me­nunjuk­kan, hampir semua penjinak binatang buas akhirnya di­terkam binatang buas.”

”Andaikata ayah saya pilot, Bapak Guru?”

”Pesawat terbang kan bisa jatuh.”

”Andaikata ayah saya kapten kapal, Bapak Guru?”

”Kapal pun pada suatu saat bisa tenggelam.”

”Andaikata ayah saya pegawai kantor pos, Bapak Guru?”

”Pegawai kantor pos kan bisa saja ketabrak mobil.”

”Mengapa Bapak Guru kurang ajar?”

”Hus! Jangan begitu, Bluke Kecil. Kamu kan mengandai-an­dai. Makanya saya juga mengandai-andai.”

”Tapi ayah saya benar-benar penjinak binatang buas, Ba­pak Guru.”

”Itu kenyataan, Bluke Kecil. Namun kenyataan pun tidak le­pas dari pengandaian. Ingatlah pepatah ‘’senjata makan tuan”. Itu pengandaian, bukan?”

Bluke Kecil dan Bapak Guru saling berpandangan.

”Begini saja, Bluke Kecil. Kamu akan saya ajak nonton teater. Bukan hanya sekali tempo, namun sering. Dengan non­ton teater kita dapat melihat cerita-cerita bagus. Kita melihat Van Couver, Shanghai, Sidney, Surabaya, Kopenha­gen, Berlin. Semua ada di teater.”

Bluke Kecil berpikir: ”Ini dia, manusia gagal!”

”Bagaimana, Bluke Kecil? Bilang pada ibu kamu, ya, Bapak Guru mau. Bapak Guru setia menunggu.”

Bluke kecil dan Bapak Guru saling berpandangan. ***
———–
*) Novelis, cerpenis, dan guru besar Universitas Negeri Surabaya. Olenka merupakan salah satu karya fenomenalnya.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito