Penyair Jerman yang Meninggal di Kota Malang
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/
Tatkala insan dari tlatah jauh memasuki alam tropis Jawa Dwipa, meyakini keberadaannya, akan diserap suara-suara gaib.
Kehadiran suara merambahi sekujur badan jiwa, naluriah berkecambah meresapi aura keganjilan.
Nalarnya ditelan pusaran keagungan, yang dicari tapak kehakikian. Kesantausaan hayat ketulusan menebarkan budhi mengembangkan pekerti.
Mendapati restu leluhur atas bencah dipijaknya. Dinaya meruh didengarnya, bisikan tak terlihat namun sangat dekat, melebihi denyutan nadi.
Dibawa terbang menuju pengetahuan tak terhingga, pengajaran tiada di negerinya.
Hingga yakin nasib kata-katanya membuncah hadir, kala anak bangsa yang didiami melestarikan.
***
Ku persembahkan sastrawan Max Dauthendey, dari buku “Malam Biru di Berlin” penerjemah Berthold Damshäuser dan Ramadhan K.H., penerbit PT. Star Motors Indonesia, 1989:
Dialah penyair, pengarang prosa impresionistis, yang seringkali latar belakang karyanya eksotis. Dua kali menempuh perjalanan ke Asia, kedua di tahun 1914. Di tanah Jawa sebagai orang Jerman ditangkap tentara Belanda, sewaktu itu keadaan perang dengan Jerman. Karena terpaksa tinggal di Jawa dan merindu istrinya, Max Dauthendey meninggal di kota Malang. Marilah simak salah satu puisinya:
KEPADA CIKURAI
Oh gunung, yang nyundul angkasa,
Puncakmu nyaksikan jaman segala,
Engkau yang abadi, yang tak dapat menjadi tua,
Tahun-tahun yang berlalu tak mengganggumu jua.
Dan abad-abad yang lewat tiada pula kaurasa
Bila kau sejukkan dahi di angkasa.
Kau telah hidup waktu lelaki pertama
Merebut hati wanita yang semula.
Kau tetap akan hidup bila pasangan penghabisan
Lenyap pada peradaban penutupan.
Betapa penting kuanggap kesusahanku.
Betapa penting hari kemarin, hari ini dan esok.
Kau mengajar melihat jauh di atas keseharian,
Kau mengajar untuk percaya pada keabadian.
Garut 1915
***
Membacanya; tubuhku merinding kepercayaanku terbit, gunung paku bumi bagi orang Jawa, tertancap sudah sampai akhir masa.
Laksana badan dewata berkasih sayang diselimuti kabut dataran tinggi, melahirkan bulir-bulir iman kehidupan.
Menjadi kehendak sah tercapailah awan sebayang-bayang di mata, mengagumi pesona Dwipa.
Ukuran penerimaan nyata dari kehadiran naluri mengejawantah, disadap dirinya merindu rasa.
Jika pulang tak terbilang hari-hari di atas kapal, menyeberangi lautan derita asin garam angkasa.
Tentu merasakan air pertiwi ini betapa murni, bagaikan belaian ibunda bagi anak-anaknya.
Max diguyur derasnya perasaan, seakan lupa sekejapan seperti di negerinya sendiri.
Bathin teridamkan menggetarkan bulu-bulu, merangkum keseluruhan indra pengetahuan.
Aku saksikan kerling bola matanya pada gadis-gadis desa. Senyumnya membumi, sapaannya seperti panji-panji pujangga negeri ini.
Menorehkan kata-kata kalbu kemerah, melihat kaki-kaki lincah menanjaki pebukitan. Dirinya terpanah jantung blingsaran, rindu menggayuh.
Max masih khidmat mencium harum bunga, meski tangannya diborgol penjajah dalam penjara masa.
Mengabdikan seluruh kepada negerinya tercinta. Angin Dwipa kabarkan ketentramannya dilindungi dewata.
Jemari lembut begitu santun membelai kertas, demi mengguratkan selarik kisah. Atas segala deritanya, sampailah ke tanganku.
Pengelana yang setiap hari menuruti nafas kata dari ruh merubah maknawi, sedari getar sukma menetas balada.
Max tak kenali diriku, tapi percaya layangnya menuju naluri diugemi bencah ini, yang dirasa hingga tandas diakhir masa.
Adakah kegembiraan kali itu? Manakala dirinya menyatu getaran jiwaku. Auranya tidak kurang merambahi setiap kalbu.
Demi kabarkan negeri ini menyimpan angin semerbak wangi, anak-anaknya menghiasi kekisah penuh legenda.
Kata-kata Max menandaskan kesadaran hari-hari patut dikaji, selepas dijalani bagi tempaan lelaku jaman sejati.
Setatap mata elang mengeruk pengertian, yang hadir kesuburan faham bau kembang keadaban.
Menyaksikan kaum pribumi berjuang ke medan tempur, demi sedepa-depa ingatan sejarah;
darah air mata bumi putra, menjadi perhitungan kelak di kemudian hari merdeka.
Max tak menyangka di usianya baru enam tahun (1867-1918) di Jerman, pujangga agung tanah Jawa R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) meninggal dunia.
Dirinya seakan diawasi, lelangkah mungilnya diperhatikan; yang tertanda kali ini hembusan moyang terkisahkan.
Dedaun tropis gugur dihantarkan pulang, kering keemasan pengabdian, pepohon tegar bercerita jaman berulang.
Burung-burung menembangkan kepiluan dalam sangkar kepahitan, deritanya padaku, dan pada puncaknya berabadi.
Hatur salam dariku atas guruku, KRT. Suryanto Sastroatmodjo (1957-2007), semoga tuan bersahabat guyub dan damai di sisi-Nya…
Sabtu, 27 Maret 2010
Sabtu, 20 Maret 2010
Khalil Gibran (1883-1931)
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/
“Kami sangat menyayangimu
meski dengan kasih yang membisu
terlindung di balik tabir terselubung.
Dan kami masih selalu mengharapmu
bukan dalam basa-basi yang semu” (Khalil Gibran)
Khalil Gibran lahir di tanah Beshari, Lebanon. Kala itu masuk Provinsi Suriah, Khilafah Turki Utsmani. Pada tanggal 6 Januari 1883 dan meninggal 10 April 1931. Seorang penyair sekaligus pelukis, yang menghabiskan sebagian besar masa produktifnya di Amerika Serikat.
Adalah sosok pelamun yang menjelma sastrawan besar. Bakat alamiahnya luar biasa, dibangun dari kitab-kitab lama. Serupa akar-akar menyedot inti sari bumi, tiada penyangkalan.
Mengikuti ritme hayati kepolosan bocah, keluguannya menghadirkan keayuan. Jiwa-jiwa lembek terkuras tenaganya, oleh musik kenangannya mengangkat kesambillaluan.
Membius harapan, sebab baginya matahari tiada patut dilawan namun diresapi. Dedaun pemikiran melebar rindang bergoyangan, melenakan pencari.
Pemilik daya serap ampuh atas ketampanan kata-kata tak melepaskan satuan jejiwa pembaca. Dendam belati dingin sehalus sampai keikhlasan.
Dirinya terbuai kidung sendiri, berlalu tanpa keterkejutan, mengaliri sungai-sungai hayat menyamudra.
Mendaki kegelapan kangen pada terangnya rindu tersampaikan awan.
Yang berarus peroleh kesegaran membisu, menelusuri relung jiwa. Para penyimaknya mendapati buah-buahan berlimpah, tergantung di mega-mega.
Hanya kerendahan hati hujan tiba, melewati ketenangan mencapai wewarna kehakikian.
Pemampu kepercayaan kuat terjadi; tanah digedor kalbu, langit digayuh pilu, keselarasan bathin mencapai yang dilamunkan.
Kabut turun menjelma bintik embun, hempasan laut garamkan pantai, lalu kesetiaan mendapati limpahan pahala.
Was-was musnah, hantu murung selalu mengikuti. Melewati laluan sunyi tapakan khusyuk terjerat. Tak hendak jejakkan kaki, lumpuh angan-angan terlampau tinggi.
Tatkala turun sekapas randu tiada kendali nurani. Maka separuh insan percaya padanya, separuhnya lagi meninggalkannya.
Kesunyian malam membius helaian rambut ketakutan sesuara burung kematian. Ada kehawatiran, namun diteruskan merajah menuruni onda-ondakan masa.
Andai naik segemintang di angkasa, bayangan bulan di telaga memberi makna, lantas kesepian kamboja di pekuburan sesal menebarkan aroma.
Ada tak dapat diraih tapi sedap dirasai, menempuh pebukitan rindu menuju jaman diperkirakan kekasih.
Jiwa santun bersalam damai, sukma lembut merenggut ruh, pekabaran bayi terlahir suci;
menangis ingin perhatian lebih, arus rahayu penghidupan, nafas-nafas keluar-masuk menfitrikan badan.
Nabi kesepian menangis dalam bathin kata-kata, menghibur lewat tarikan kalimah, menari di atas panggung seluruh terdiam.
Tak tahu penonton terkagum atau berpulang, sebab pancaran cahayanya, sekuat tak kenali yang terjadi.
Gibran berkata: “kecerdasan pikiran hanyalah nyanyian burung murai di awal musim semi yang lamban.”
Ini mendamaikan selisih agar peperangan tak menerus di muka bumi. Hidupnya derma kasih menyayangi, berpeluk memahami lahirnya bibit tumbuh lestari.
Menebarkan jala sejauh-jauhnya menerima yang diperoleh sedari tangkapan tulus.
Hanya hati perbedaan berjalin, sebab akal berbahaya jikalau ditopang hasrat serakah. Seperti binatang liar siap menerkam mangsa.
Ia seakan berkata; damaikan nalarmu dengan kerendahan kalbu. Sebab batu mutiara berkilau; sesudut menerima cahaya pun memancarkannya.
Jikalau nalar kalbu rukun, nyanyian rindu sentausa menyadap keringat pengunjung berduyun-duyun. Dan pekabaran rantau, dituturkan berkesungguhan senyum.
Yang tidak dimiliki cukup menginsafi kisah alunan masing-masing. Berharap keharmonisan berkicau dari kedalaman jarak telah ditanak pengalaman, diperoleh di jalan kembara dijumput pelahan sangat tekun.
Sampai batu-batu diterjang kendaraan, mewujud tekat membulat, pula bencana alam pelajaran saling mendoa sesayap kasih sayang sesama;
sejiwa kesepian mati suri, akan sadar bangkit kembali.
http://pustakapujangga.com/
“Kami sangat menyayangimu
meski dengan kasih yang membisu
terlindung di balik tabir terselubung.
Dan kami masih selalu mengharapmu
bukan dalam basa-basi yang semu” (Khalil Gibran)
Khalil Gibran lahir di tanah Beshari, Lebanon. Kala itu masuk Provinsi Suriah, Khilafah Turki Utsmani. Pada tanggal 6 Januari 1883 dan meninggal 10 April 1931. Seorang penyair sekaligus pelukis, yang menghabiskan sebagian besar masa produktifnya di Amerika Serikat.
Adalah sosok pelamun yang menjelma sastrawan besar. Bakat alamiahnya luar biasa, dibangun dari kitab-kitab lama. Serupa akar-akar menyedot inti sari bumi, tiada penyangkalan.
Mengikuti ritme hayati kepolosan bocah, keluguannya menghadirkan keayuan. Jiwa-jiwa lembek terkuras tenaganya, oleh musik kenangannya mengangkat kesambillaluan.
Membius harapan, sebab baginya matahari tiada patut dilawan namun diresapi. Dedaun pemikiran melebar rindang bergoyangan, melenakan pencari.
Pemilik daya serap ampuh atas ketampanan kata-kata tak melepaskan satuan jejiwa pembaca. Dendam belati dingin sehalus sampai keikhlasan.
Dirinya terbuai kidung sendiri, berlalu tanpa keterkejutan, mengaliri sungai-sungai hayat menyamudra.
Mendaki kegelapan kangen pada terangnya rindu tersampaikan awan.
Yang berarus peroleh kesegaran membisu, menelusuri relung jiwa. Para penyimaknya mendapati buah-buahan berlimpah, tergantung di mega-mega.
Hanya kerendahan hati hujan tiba, melewati ketenangan mencapai wewarna kehakikian.
Pemampu kepercayaan kuat terjadi; tanah digedor kalbu, langit digayuh pilu, keselarasan bathin mencapai yang dilamunkan.
Kabut turun menjelma bintik embun, hempasan laut garamkan pantai, lalu kesetiaan mendapati limpahan pahala.
Was-was musnah, hantu murung selalu mengikuti. Melewati laluan sunyi tapakan khusyuk terjerat. Tak hendak jejakkan kaki, lumpuh angan-angan terlampau tinggi.
Tatkala turun sekapas randu tiada kendali nurani. Maka separuh insan percaya padanya, separuhnya lagi meninggalkannya.
Kesunyian malam membius helaian rambut ketakutan sesuara burung kematian. Ada kehawatiran, namun diteruskan merajah menuruni onda-ondakan masa.
Andai naik segemintang di angkasa, bayangan bulan di telaga memberi makna, lantas kesepian kamboja di pekuburan sesal menebarkan aroma.
Ada tak dapat diraih tapi sedap dirasai, menempuh pebukitan rindu menuju jaman diperkirakan kekasih.
Jiwa santun bersalam damai, sukma lembut merenggut ruh, pekabaran bayi terlahir suci;
menangis ingin perhatian lebih, arus rahayu penghidupan, nafas-nafas keluar-masuk menfitrikan badan.
Nabi kesepian menangis dalam bathin kata-kata, menghibur lewat tarikan kalimah, menari di atas panggung seluruh terdiam.
Tak tahu penonton terkagum atau berpulang, sebab pancaran cahayanya, sekuat tak kenali yang terjadi.
Gibran berkata: “kecerdasan pikiran hanyalah nyanyian burung murai di awal musim semi yang lamban.”
Ini mendamaikan selisih agar peperangan tak menerus di muka bumi. Hidupnya derma kasih menyayangi, berpeluk memahami lahirnya bibit tumbuh lestari.
Menebarkan jala sejauh-jauhnya menerima yang diperoleh sedari tangkapan tulus.
Hanya hati perbedaan berjalin, sebab akal berbahaya jikalau ditopang hasrat serakah. Seperti binatang liar siap menerkam mangsa.
Ia seakan berkata; damaikan nalarmu dengan kerendahan kalbu. Sebab batu mutiara berkilau; sesudut menerima cahaya pun memancarkannya.
Jikalau nalar kalbu rukun, nyanyian rindu sentausa menyadap keringat pengunjung berduyun-duyun. Dan pekabaran rantau, dituturkan berkesungguhan senyum.
Yang tidak dimiliki cukup menginsafi kisah alunan masing-masing. Berharap keharmonisan berkicau dari kedalaman jarak telah ditanak pengalaman, diperoleh di jalan kembara dijumput pelahan sangat tekun.
Sampai batu-batu diterjang kendaraan, mewujud tekat membulat, pula bencana alam pelajaran saling mendoa sesayap kasih sayang sesama;
sejiwa kesepian mati suri, akan sadar bangkit kembali.
Puisi-Puisi Imamuddin SA
SAMUDRO MOLO
tak bisakah aku
sedikit menyisir nyanyian ombak
sekedar berdiri
memaknai jejak
laut itu
yang sejenak lalu
menunjukkan taringnya
membiarkan nafas habis termangsa
namun kini
keganasan singgah kembali
membuyarkan mimpi
lewat riak sungai tak terkendali
tuhan ....
adakah ini batu ujian
ataukah sebatas peringatan
akan pengingkaran;
tentang rapuh zaman
sungguh, segalanya kau hadirkan
untuk menyambut keberadaan
tahun kesembilan
dalam wujud luka bersahut-sahutan;
entah darah yang bagaimana
esok kan balik menyapa
dan aku masih enggan berkata
Kendalkemlagi, 2009
TENTANG KEPUTUSASAAN
kudengar suaramu dari tepi laut
melantunkan lagu nelayan
tentang perahu dan ikan
tentang gemuruh ombak
yang menghempas tepian
aku menyisihkan waktu
sekedar menyelami nyanyianmu
sejenak mengusik batinku;
dari jauh
kau seolah menyapaku
mengisahkan yunus
dalam selimut ikan paus
sungguh aku semakin mengerti
bahwa keputusasaan
bukanlah suatu jalan
kala melangkah di hadapan tuhan
dan kini aku harus kembali
menghampiri saudara-saudaraku yang lalai
mencoba membata hati
mengokohkan kaki
biar rapuh iman tak menghampiri
Kendalkemlagi, 2009
PAYUNG SAKSI
batu ini menjadi payung suci
dalam lambaian nadi
saksi
keperkasaan tirta membasahi
sungguh, kembara batin
yang telah mengepak mimpi
menembus tabir ilusi
kini singgah di pelayaran hari
menafsir misi
sendiri
namun, adakah hasrat kan kembali
bertasbih selaksa ibnu hajar
di pesisir jalan ini?
batu ini menjadi payung suci
dalam lambaian nadi
saksi
keperkasaan tirta membasahi
Kendalkemlagi, Oktober 2007
tak bisakah aku
sedikit menyisir nyanyian ombak
sekedar berdiri
memaknai jejak
laut itu
yang sejenak lalu
menunjukkan taringnya
membiarkan nafas habis termangsa
namun kini
keganasan singgah kembali
membuyarkan mimpi
lewat riak sungai tak terkendali
tuhan ....
adakah ini batu ujian
ataukah sebatas peringatan
akan pengingkaran;
tentang rapuh zaman
sungguh, segalanya kau hadirkan
untuk menyambut keberadaan
tahun kesembilan
dalam wujud luka bersahut-sahutan;
entah darah yang bagaimana
esok kan balik menyapa
dan aku masih enggan berkata
Kendalkemlagi, 2009
TENTANG KEPUTUSASAAN
kudengar suaramu dari tepi laut
melantunkan lagu nelayan
tentang perahu dan ikan
tentang gemuruh ombak
yang menghempas tepian
aku menyisihkan waktu
sekedar menyelami nyanyianmu
sejenak mengusik batinku;
dari jauh
kau seolah menyapaku
mengisahkan yunus
dalam selimut ikan paus
sungguh aku semakin mengerti
bahwa keputusasaan
bukanlah suatu jalan
kala melangkah di hadapan tuhan
dan kini aku harus kembali
menghampiri saudara-saudaraku yang lalai
mencoba membata hati
mengokohkan kaki
biar rapuh iman tak menghampiri
Kendalkemlagi, 2009
PAYUNG SAKSI
batu ini menjadi payung suci
dalam lambaian nadi
saksi
keperkasaan tirta membasahi
sungguh, kembara batin
yang telah mengepak mimpi
menembus tabir ilusi
kini singgah di pelayaran hari
menafsir misi
sendiri
namun, adakah hasrat kan kembali
bertasbih selaksa ibnu hajar
di pesisir jalan ini?
batu ini menjadi payung suci
dalam lambaian nadi
saksi
keperkasaan tirta membasahi
Kendalkemlagi, Oktober 2007
Puisi-Puisi Imamuddin SA
ADA YANG BUTA
ada yang ragu
di bilik hatimu
akan seberkas keyakinan
sayu
apakah rakaat-rakaat laku
kan menyebrangmu
sampai di pantai keabadian itu
ataukah hanya sebatas tarian jasad
dengan qasidah tak bersyarat
sementara, jiwamu berkecamuk
bertanya-tanya akan darojat sholat
yang tak kunjung teralat
ada yang buta
- taqlidmu
Surabaya, 23 Agustus 2008
MENIMBA TELAGA SUCI
cukup lewat puitika munajat
tuk menguras kawah di hadapannya
dan harus dengan gayung
sahadat sungsangku
mengeja abjad demi abjad lakuku
tuk menimba telaga suci
dari degup sisi sendiri;
maaf, aku telah lalai!
Kendalkemlagi, Oktober 2007
DARI ALIF SAMPAI YA’
kepada Sang Nabi
lidahku laksana kutub
dan sarafku tak bergaun wol
hingga bibirku membeku
membisu
imajiku kaku
tiada aksara terangkai untukmu
hampa mengukir puitika puja syahdu,
sungguh segalanya telah terlampaui keanggunanmu
gontai jalan hatiku
mengangan angan tuk kembali memujimu
sebab abjad terusang olehku
di sisa degup sahadat
merekat
kusisipkan rekaat munajat
lewat tembang-tembang yang kau gurat;
“dari alif sapai ya’
adalah bukti perjalanan waktu
disingkap kebersatuan laku
terkunci keyakinan kalbu,
esok kita kan bersatu
kala kusanggup membongkar tanda
yang kau kisah untukku
sebab yang tertuju hanyalah satu;
yakinku!”
Kendalkemlagi, Maret 2008
ada yang ragu
di bilik hatimu
akan seberkas keyakinan
sayu
apakah rakaat-rakaat laku
kan menyebrangmu
sampai di pantai keabadian itu
ataukah hanya sebatas tarian jasad
dengan qasidah tak bersyarat
sementara, jiwamu berkecamuk
bertanya-tanya akan darojat sholat
yang tak kunjung teralat
ada yang buta
- taqlidmu
Surabaya, 23 Agustus 2008
MENIMBA TELAGA SUCI
cukup lewat puitika munajat
tuk menguras kawah di hadapannya
dan harus dengan gayung
sahadat sungsangku
mengeja abjad demi abjad lakuku
tuk menimba telaga suci
dari degup sisi sendiri;
maaf, aku telah lalai!
Kendalkemlagi, Oktober 2007
DARI ALIF SAMPAI YA’
kepada Sang Nabi
lidahku laksana kutub
dan sarafku tak bergaun wol
hingga bibirku membeku
membisu
imajiku kaku
tiada aksara terangkai untukmu
hampa mengukir puitika puja syahdu,
sungguh segalanya telah terlampaui keanggunanmu
gontai jalan hatiku
mengangan angan tuk kembali memujimu
sebab abjad terusang olehku
di sisa degup sahadat
merekat
kusisipkan rekaat munajat
lewat tembang-tembang yang kau gurat;
“dari alif sapai ya’
adalah bukti perjalanan waktu
disingkap kebersatuan laku
terkunci keyakinan kalbu,
esok kita kan bersatu
kala kusanggup membongkar tanda
yang kau kisah untukku
sebab yang tertuju hanyalah satu;
yakinku!”
Kendalkemlagi, Maret 2008
Jumat, 12 Maret 2010
HANTU JIWA IMAN BUDHI SANTOSA
Imamuddin SA *
Iman Budhi Santosa lahir di Magetan, 28 Maret 1948. pendidikan formalnya: S. Pb. M. A. 4 th Yogyakarta (1968) dan Akademi Farming (1983). Ia pernah bekerja pada perkebunan teh di Kendal (1971-1975) dam Disbun Prop. Dati I Jateng (1975-1987). Pada tahun 1969 bersama Umbu Landu Paringgi Cs mendirikan Persada Studi Klub (PSK) komunitas penyair muda di Malioboro. Ia menulis sastra dalam dwi bahasa, yaitu Indonesia dan Jawa. Karya-karyanya kerap mengisi antologi-antologi puisi maupun cerpen di antaranya: antologi puisi Tugi (1986), Tonggak 3 (1987), Zamrud Katulistiwa (1997), Embun Tajalli (2000) dan lain-lain. Cerpenya dalam antologi Lukisan Matahari (1993), Liong Tembang Prapatan (2000), dan lain-lain. Sejak tahun 2004 ia menjadi anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta (DKKY) seksi bahasa dan sastra Jawa.
Iman Budhi Santosa lahir di Magetan, 28 Maret 1948. pendidikan formalnya: S. Pb. M. A. 4 th Yogyakarta (1968) dan Akademi Farming (1983). Ia pernah bekerja pada perkebunan teh di Kendal (1971-1975) dam Disbun Prop. Dati I Jateng (1975-1987). Pada tahun 1969 bersama Umbu Landu Paringgi Cs mendirikan Persada Studi Klub (PSK) komunitas penyair muda di Malioboro. Ia menulis sastra dalam dwi bahasa, yaitu Indonesia dan Jawa. Karya-karyanya kerap mengisi antologi-antologi puisi maupun cerpen di antaranya: antologi puisi Tugi (1986), Tonggak 3 (1987), Zamrud Katulistiwa (1997), Embun Tajalli (2000) dan lain-lain. Cerpenya dalam antologi Lukisan Matahari (1993), Liong Tembang Prapatan (2000), dan lain-lain. Sejak tahun 2004 ia menjadi anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta (DKKY) seksi bahasa dan sastra Jawa.
Rabu, 10 Maret 2010
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Nurel Javissyarqi
http://www.pustakapujangga.com/
Dante Gabriel Rossetti (12 Mei 1828 – 9 April 1882. Dalam buku M. Taslim Ali, tercantum 1830 - 1894). Meski tidak setenar penyair Dante Alighieri (1265 – 1321), namun kisah hidupnya patut disuguhkan kini. Adalah anak Gabriel Rossetti, seorang patriot Itali yang menyingkir ke Inggris pada tahun 1824. Berpendidikan King’s College, pemimpin Pre-Raphaelite Brotherhood, yang didirikan bersama Holman Hunt dan Millais. Mula-mula terkenal sebagai penerbit, setelah sajaknya yang terbaik terbit: The Blessed Damozel, kemudian sebagai penyair dan pelukis Inggris. Umumnya sajak-sajaknya bernuansa mistik hayali. The Eearly Italia Poets, ialah terjemahan sajak-sajak para penyair Itali sampai buahpena Dante (1861). Kisah menggetarkan bagi penafsir; “Poem,” sehimpunan sajak yang mula dikubur bersama petimati istrinya. Tetapi kemudian digali kembali, diterbitkan tahun 1870 dan Ballads and Sonnets (1881). Sejak istri tercintainya meninggal dunia, Dante menarik diri menjadi seorang semi petapa.
TIGA BAYANG-BAYANG
Dante Gabriel Rossetti
Kau kupandang, nampak matamu
Dalam bayang rambutmu,
Bagai pelayat melihat kali
Dalam bayang pohon kayu;
Lalu kataku: kalbuku mengeluh,
Wahai, andai boleh menunggu
Di sana, minum puas dan mimpi
Dalam nikmat sepi itu.
Kau kupandang, nampak hatimu
Dalam lindap matamu,
Bagai pencari nampak kencana
Dalam bayang di kali;
Lalu kataku: Wahai! Apatah ilmu
Perebut kurnia kekal itu,
Yang demi gagal, jiwa tantangannya?
Kau kupandang nampak cintamu
Dalam bayang hatimu,
Bagai tukang silam nampak mutia
Dalam limbur lautan;
Aku lalu berkamit, bukan lesu
Terengah, tapi terharu:
Ach, gadisku, kau tahu mencinta,
Dan cintamu bagiku gerangan?
{dari buku “Puisi Dunia,” jilid II, susunan M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1952}
***
Aku lamunkan Dante membongkar kuburan istrinya, demi mengambil sajaknya. Seolah sudah kehilangan jiwa kepenyairan, setelah terbit The Blessed Damozel.
Adakah pertarungan bathin? Antara kekosongan hayat tanpa gairah istri. Lalu melihat kehidupan terus berjalan di hadapannya.
Atau terbangun dari mimpi. Kalau kumpulan sajaknya boleh diambil atas restu sang tulang mayat. Ataukah kesintingan mengeduk yang sejatinya ingin dipendam.
Namun pertarungan di bidak catur kesusastraan menuntutnya tetap hadir, dibawah kepercayaannya mulai musnah, akan gairah penciptaan terbaik dari sebelumnya.
Dunia kepenyairan tak lebih panggung persilatan. Siapa tidak sanggup mengatur strategi, kelak kecewa menjadi petapa linglung seperti dirasa Dante di masa-masa tua.
Mentalnya dihantui dosa, sehingga tak mampu membangkitkan keyakinan. Atau tiada berbakat jadi penyair tulen, yang digariskan sebagai sosok mempuni.
Pengaturan nafas amat penting, demi terus berjalan sampai dituju. Betapa berbakat kuat daya seseorang, tapi jika nanti habis di tengah laluan, separuh kesiaan.
Racun sesal kebuntuan nalar sesak mendalam, derita mengeruknya habis lontang-lantung tiada ketegasan.
Padahal jiwa-jiwa kepenyairan terpantul dari mental tangguh. Kalau bathin layu, lemahlah nafasan karya.
Sebab aturan pernafasan beraura ke dalam kata-kata terserap dari khasana sejarah keilmuan yang terbaca. Selalu bergumul menyimak jagad alit serta besar, di kedalaman diri mengejawantah.
Panjangnya nafas kepenyairan disamping kesungguhan menghujam ke liang lahat. Juga keinginan kuat merekam. Laksana kelana jalan-jalan dilalui, menjadikan referensi kemudian hari.
Bayu menghantarkan pengetahuan melalui pori-pori indrawi, yang ditempa jantung sukma. Materi-materi penampakan menjelma penanda hati.
Kelak mewujud dan ini selalu dilakukan. Sebab terlepas saja, berangkat sedari awal perjalanan.
Ada seraut tuntutan meski dalam payah, maka aturan nafas menentukan. Terpantullah ketabahan mengolah, menyimpan nilai jiwa demi memudahkan berkarya.
Karena kata-kata akan lenyap mudah dilupakan, jikalau tak sigap menyimpan. Namun jika khasana bathin telah dihatamkan, betapa silap perubahan dapat dipastikan muncul di kemudian.
Serupa ketiba-tibaan tetapi bukan. Inilah muasal endapan sungguh dicencang dalam kalbu fikiran, segairah meledak, was-was bergelora kelahiran.
Maka kesempatan mencipta dapat dibangun, tidak harus menanti kabar langit datang.
Membaca puisi Dante Gabriel Rossetti di atas, tampaklah jeli, pada kejadian pembongkaran kuburan.
Keniscaya dilalui demi bertapa. Atau terpuruk tenggelam dalam keinsyafan, akan kelemahan mengatur gairah kepengarangan.
Ada kegamangan di balik kesungguhan tatapan, laiknya nalar meliar dari keteguhan kasih, goda menari-nari se-ruh puisi tidak mudah ditangkap.
Sedang jemari tangan cemas menggayuh kebenaran. Atau keraguan aneh memancarkan keyakinan berfikir, seperti memandang kebun jagung melalui jendela.
Lukisan terindah kenyataan, namun realitasnya tidak mudah diungkap semua orang.
Dante terjebak kelambu, seluruh pancaindranya mengunyah pesona sajak, namun jasadnya kaku atas faham dosa mengusik kuburan.
Hanya diam batu jika orang tanya perasaannya. Atau belum sampai mereka bertanya, ada tabir melingkupi hingga berat ditanya.
Kepercayaan dibebankan kenangan iman belum tuntas, mendiami bayang-bayang ruhaniah puisi belum terjadi. Manakala lebur, dalam keinsyafan memaknai berlebih.
http://www.pustakapujangga.com/
Dante Gabriel Rossetti (12 Mei 1828 – 9 April 1882. Dalam buku M. Taslim Ali, tercantum 1830 - 1894). Meski tidak setenar penyair Dante Alighieri (1265 – 1321), namun kisah hidupnya patut disuguhkan kini. Adalah anak Gabriel Rossetti, seorang patriot Itali yang menyingkir ke Inggris pada tahun 1824. Berpendidikan King’s College, pemimpin Pre-Raphaelite Brotherhood, yang didirikan bersama Holman Hunt dan Millais. Mula-mula terkenal sebagai penerbit, setelah sajaknya yang terbaik terbit: The Blessed Damozel, kemudian sebagai penyair dan pelukis Inggris. Umumnya sajak-sajaknya bernuansa mistik hayali. The Eearly Italia Poets, ialah terjemahan sajak-sajak para penyair Itali sampai buahpena Dante (1861). Kisah menggetarkan bagi penafsir; “Poem,” sehimpunan sajak yang mula dikubur bersama petimati istrinya. Tetapi kemudian digali kembali, diterbitkan tahun 1870 dan Ballads and Sonnets (1881). Sejak istri tercintainya meninggal dunia, Dante menarik diri menjadi seorang semi petapa.
TIGA BAYANG-BAYANG
Dante Gabriel Rossetti
Kau kupandang, nampak matamu
Dalam bayang rambutmu,
Bagai pelayat melihat kali
Dalam bayang pohon kayu;
Lalu kataku: kalbuku mengeluh,
Wahai, andai boleh menunggu
Di sana, minum puas dan mimpi
Dalam nikmat sepi itu.
Kau kupandang, nampak hatimu
Dalam lindap matamu,
Bagai pencari nampak kencana
Dalam bayang di kali;
Lalu kataku: Wahai! Apatah ilmu
Perebut kurnia kekal itu,
Yang demi gagal, jiwa tantangannya?
Kau kupandang nampak cintamu
Dalam bayang hatimu,
Bagai tukang silam nampak mutia
Dalam limbur lautan;
Aku lalu berkamit, bukan lesu
Terengah, tapi terharu:
Ach, gadisku, kau tahu mencinta,
Dan cintamu bagiku gerangan?
{dari buku “Puisi Dunia,” jilid II, susunan M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1952}
***
Aku lamunkan Dante membongkar kuburan istrinya, demi mengambil sajaknya. Seolah sudah kehilangan jiwa kepenyairan, setelah terbit The Blessed Damozel.
Adakah pertarungan bathin? Antara kekosongan hayat tanpa gairah istri. Lalu melihat kehidupan terus berjalan di hadapannya.
Atau terbangun dari mimpi. Kalau kumpulan sajaknya boleh diambil atas restu sang tulang mayat. Ataukah kesintingan mengeduk yang sejatinya ingin dipendam.
Namun pertarungan di bidak catur kesusastraan menuntutnya tetap hadir, dibawah kepercayaannya mulai musnah, akan gairah penciptaan terbaik dari sebelumnya.
Dunia kepenyairan tak lebih panggung persilatan. Siapa tidak sanggup mengatur strategi, kelak kecewa menjadi petapa linglung seperti dirasa Dante di masa-masa tua.
Mentalnya dihantui dosa, sehingga tak mampu membangkitkan keyakinan. Atau tiada berbakat jadi penyair tulen, yang digariskan sebagai sosok mempuni.
Pengaturan nafas amat penting, demi terus berjalan sampai dituju. Betapa berbakat kuat daya seseorang, tapi jika nanti habis di tengah laluan, separuh kesiaan.
Racun sesal kebuntuan nalar sesak mendalam, derita mengeruknya habis lontang-lantung tiada ketegasan.
Padahal jiwa-jiwa kepenyairan terpantul dari mental tangguh. Kalau bathin layu, lemahlah nafasan karya.
Sebab aturan pernafasan beraura ke dalam kata-kata terserap dari khasana sejarah keilmuan yang terbaca. Selalu bergumul menyimak jagad alit serta besar, di kedalaman diri mengejawantah.
Panjangnya nafas kepenyairan disamping kesungguhan menghujam ke liang lahat. Juga keinginan kuat merekam. Laksana kelana jalan-jalan dilalui, menjadikan referensi kemudian hari.
Bayu menghantarkan pengetahuan melalui pori-pori indrawi, yang ditempa jantung sukma. Materi-materi penampakan menjelma penanda hati.
Kelak mewujud dan ini selalu dilakukan. Sebab terlepas saja, berangkat sedari awal perjalanan.
Ada seraut tuntutan meski dalam payah, maka aturan nafas menentukan. Terpantullah ketabahan mengolah, menyimpan nilai jiwa demi memudahkan berkarya.
Karena kata-kata akan lenyap mudah dilupakan, jikalau tak sigap menyimpan. Namun jika khasana bathin telah dihatamkan, betapa silap perubahan dapat dipastikan muncul di kemudian.
Serupa ketiba-tibaan tetapi bukan. Inilah muasal endapan sungguh dicencang dalam kalbu fikiran, segairah meledak, was-was bergelora kelahiran.
Maka kesempatan mencipta dapat dibangun, tidak harus menanti kabar langit datang.
Membaca puisi Dante Gabriel Rossetti di atas, tampaklah jeli, pada kejadian pembongkaran kuburan.
Keniscaya dilalui demi bertapa. Atau terpuruk tenggelam dalam keinsyafan, akan kelemahan mengatur gairah kepengarangan.
Ada kegamangan di balik kesungguhan tatapan, laiknya nalar meliar dari keteguhan kasih, goda menari-nari se-ruh puisi tidak mudah ditangkap.
Sedang jemari tangan cemas menggayuh kebenaran. Atau keraguan aneh memancarkan keyakinan berfikir, seperti memandang kebun jagung melalui jendela.
Lukisan terindah kenyataan, namun realitasnya tidak mudah diungkap semua orang.
Dante terjebak kelambu, seluruh pancaindranya mengunyah pesona sajak, namun jasadnya kaku atas faham dosa mengusik kuburan.
Hanya diam batu jika orang tanya perasaannya. Atau belum sampai mereka bertanya, ada tabir melingkupi hingga berat ditanya.
Kepercayaan dibebankan kenangan iman belum tuntas, mendiami bayang-bayang ruhaniah puisi belum terjadi. Manakala lebur, dalam keinsyafan memaknai berlebih.
Nalar Evolusi Syariah dalam Dialektika Peradaban
Muhammadun AS*
http://m.kompas.com/
Judul buku : Evolusi Syariah: Ikhtiar Mahmoud Mohamed Taha bagi Pembentukan Hukum Islam Kontemporer
Penulis : Agus Moh. Najib
Penerbit : Pesantren Nawesea Press Yogyakarta
Cetakan : 1, 2008
Tebal : xiii + 99 halaman
Perdebatan ihwal pergulatan teks dan realitas konteks dalam gerak sejarah kitab suci selalu dipenuhi oleh gejolak interpretasi yang penuh kontroversi. Pada masa awal Islam, Umar bin Khattab yang berhaluan kritis dan progresif berseberangan dengan gaya pemikiran Bilal bin Rabah yang membaca teks secara literer. Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafiyah, menggelorkan spirit liberalisme di Irak (tepatnya di Kufah dan Basrah) yang juga berseberangan dengan gaya pemikiran Malik bin Anas, pendiri mazhab Malikiyah, yang sangat berpegang teguh dengan teks literer kitab suci.
Perdebatan ilmiah tersebut, dalam jejak peradaban Islam, kemudian memunculkan kontroversi sejarah antar keduanya. Dalam bahasa Adonis, mereka yang terus berubah (al-mutahawwil) akan selalu berhadapan (vis a vis) dengan yang menghendaki stabilitas (al-tsabit). Keduanya, menurut Adonis, telah mengisi medan kontroversi sejarah bangsa Semenanjung Arabia secara dialektik dan berkelanjutan.
Salah satu percikan kontroversi di masa kontemporer menimpa pada diri seorang intelektual progresif asal Sudan, Mahmoud Mohamed Taha. Ya, karena kontroversi pemikirannya, pada 18 Januari 1985, Taha harus menjalani eksekusi kematiannya yang dipimpin langsung oleh Presiden Numeri. Selang 76 hari pasca eksekusi mati tersebut, 6 April 1985, Presiden Numeri jatuh karena gelombang demontrasi menentang tragedi intelektual yang memilukan. Apa gerangan yang membuat Taha harus dieksekusi mati oleh Numeri?
Taha menggelindingkan tema yang "rawan" dalam membangun paradigma hukum Islam kontemporer. Gagasannya ia istilahkan dengan Risalah Islam Kedua (al-Risalah al-Tsaniyah min al-Islam, The Second Message of Islam). Dalam pemikirannya, Taha menyuguhkan pandangan religius yang universal. Agama, bagi dia, yang hakiki sebenarnya berada disisi Allah dalam keabsolutan dan ketakterbatasannya. Namun karena kasih sayang-Nya, agama tersebut diturunkan dari sisi Allah yang absolut kepada manusia yang nisbi di bumi, sehingga ujung awal dari agama tersebut beraa ditempat manusia, sedangkan ujung akhirnya berada di tempat Allah dengan segala keabsolutan dan ketakterbatasannya (hal. 56-57).
Ujung agama ditempat manusia itulah yang oleh Taha dinamakan syariah, suatau sarana dan jalan yang harus dilalui untuk menuju agama (din) hakiki yang berada di sisi Allah. Dengan demikian, Taha membedakan antara agama dengan syariah. Agama bersifat absolut yang berada disisi Allah, sementara syariah bersifat historis dan terikat oleh ruang dan waktu sesuai dengan kemajuan pemikiran dan peradaban manusia. Ini berarti syariah mengalami evolusi (tathawwur) terus-menerus seiring kemajuan tingkat kemampuan manusia dalam pentas sejarah (hal. 89).
Evolusi syariah di zaman modern sekarang membutuhkan sebuah perangkat dasar utama Islam dalam menjawab sekian tantangan modernitas yang menyeruak. Untuk itu, bagi Taha, umat Islam harus kembali kepada ayat-ayat Makiyah (ayat yang turun di Makkah). Ayat Makiyah berbeda dengan ayat Madaniyah. Ayat Makiyah memuat pesan Islam yang abadi dan fundamental, yang menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan yang fundamental dan martabat yang melekat pada seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, keyakinan agama, ras, dan lainnya. Sementara ayat Madaniyah adalah ayat-ayat cabang (furu') yang berlaku sesuai dengan kondisi dan kemakpuan umat Islam waktu itu.
Ayat Makiyah itulah yang dikatakan sebagai Risalah Islam Kedua (al-Risalah al-Tsaniyah min al-Islam), sedangkan ayat Madaniyah dinamakan al-Risalah al-Ula fi al-Islam (Risalah Islam Pertama). Bagi Taha, Risalah Islam Pertama (madaniyah) yang bersifat cabang dan lokal tidak bisa digunakan untuk mengeneralisir berbagai persoalan yang kemudian timbul di zaman kemudian. Untuk itu, sebuah keniscayaan bagi umat Islam untuk kembali pada ayat makiyah yang mendedahkan masalah fundamental dan universal, sehingga bisa digunakan sebagai landasan dalam membangun paradigma syariah/hukum Islam kontemporer.
Dalam konteks itu, bagi Taha, ayat Makiyah akan menasakh ayat madaniyah. Naskh bagi Taha bukan berarti penghapusan yang final dan eksklusif, namun hanya merupakan penangguhan pemberlakuan sampai datang waktu yang sesuai. Dari gagasan tersebut, ada implikasi hukum yang akan muncul di era kontemporer terkait gagasan relatifisme historis dalam pendekatannya terhadap syariah. Implikasi tersebut adalah aturan dan ketentuan syariah yang tidak sesuai dengan nilai kemanusian, keadilan, daan kesetaraan harua tidak lagi menjadi acuan, karena tidak sesuai dengan kondisi zaman modern sekarang. Ketentuan tersebut antara lain ajaran tentang jihad, hukuman bagi orang murtad, perbudakan, zakat, bagian waris, kompetensi menjadi saksi, poligami, dan hijab, yakni memakai pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya dan memisahkan komunitas laki-laki dan perempuan dalam pergaulan sosial (hal. 93).
Gagasan yang diusung Taha merupakan bentuk komitmennya dalam memegang teguh ayat-ayat al-Quran yang sesuai dengan zaman modern sekarang. Ayat-ayat tersebut adalah ayat-ayat dasar yang mempunyai standar lebih tinggi dari paa ayat-ayat cabang dan muatannya sejalan dengan konstitusionalisme, hak asasi manusia universal, dan perdamaian universal. Syariah modern harus didasarkan paa ayat-ayat dasar ini, sementara syariah historis harus ditangguhkan dulu. Yang dilakukan Taha, bagi penulis, sama sekali bukan menolak atau membuang ajaran Islam, namun justru kembali kepaa semangat aslinya (hal. 83).
Walaupun Taha akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di tiang gantungan, tetapi spirit pemikirannya yang tertuang dalam buku ini menjadi sebuah "narasi besar" dalam melakukan pembacaan ulang atas doktrin syariah yang kaku dan membeku. Doktrin syariah yang membatu seharusnya menjadi pemicu sarjana Muslim melakukan kerja ilmiah yang serius di tengah dialektika multiperadaban dewasa ini. Buku ini, setidaknya, membantu kita melakukan ijtihad ilmiah kontemporer, sebagaimana yang telah dilakukan Taha di Sudan.
*) Redaksi Jurnal Mazhabuna Fak. Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
http://m.kompas.com/
Judul buku : Evolusi Syariah: Ikhtiar Mahmoud Mohamed Taha bagi Pembentukan Hukum Islam Kontemporer
Penulis : Agus Moh. Najib
Penerbit : Pesantren Nawesea Press Yogyakarta
Cetakan : 1, 2008
Tebal : xiii + 99 halaman
Perdebatan ihwal pergulatan teks dan realitas konteks dalam gerak sejarah kitab suci selalu dipenuhi oleh gejolak interpretasi yang penuh kontroversi. Pada masa awal Islam, Umar bin Khattab yang berhaluan kritis dan progresif berseberangan dengan gaya pemikiran Bilal bin Rabah yang membaca teks secara literer. Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafiyah, menggelorkan spirit liberalisme di Irak (tepatnya di Kufah dan Basrah) yang juga berseberangan dengan gaya pemikiran Malik bin Anas, pendiri mazhab Malikiyah, yang sangat berpegang teguh dengan teks literer kitab suci.
Perdebatan ilmiah tersebut, dalam jejak peradaban Islam, kemudian memunculkan kontroversi sejarah antar keduanya. Dalam bahasa Adonis, mereka yang terus berubah (al-mutahawwil) akan selalu berhadapan (vis a vis) dengan yang menghendaki stabilitas (al-tsabit). Keduanya, menurut Adonis, telah mengisi medan kontroversi sejarah bangsa Semenanjung Arabia secara dialektik dan berkelanjutan.
Salah satu percikan kontroversi di masa kontemporer menimpa pada diri seorang intelektual progresif asal Sudan, Mahmoud Mohamed Taha. Ya, karena kontroversi pemikirannya, pada 18 Januari 1985, Taha harus menjalani eksekusi kematiannya yang dipimpin langsung oleh Presiden Numeri. Selang 76 hari pasca eksekusi mati tersebut, 6 April 1985, Presiden Numeri jatuh karena gelombang demontrasi menentang tragedi intelektual yang memilukan. Apa gerangan yang membuat Taha harus dieksekusi mati oleh Numeri?
Taha menggelindingkan tema yang "rawan" dalam membangun paradigma hukum Islam kontemporer. Gagasannya ia istilahkan dengan Risalah Islam Kedua (al-Risalah al-Tsaniyah min al-Islam, The Second Message of Islam). Dalam pemikirannya, Taha menyuguhkan pandangan religius yang universal. Agama, bagi dia, yang hakiki sebenarnya berada disisi Allah dalam keabsolutan dan ketakterbatasannya. Namun karena kasih sayang-Nya, agama tersebut diturunkan dari sisi Allah yang absolut kepada manusia yang nisbi di bumi, sehingga ujung awal dari agama tersebut beraa ditempat manusia, sedangkan ujung akhirnya berada di tempat Allah dengan segala keabsolutan dan ketakterbatasannya (hal. 56-57).
Ujung agama ditempat manusia itulah yang oleh Taha dinamakan syariah, suatau sarana dan jalan yang harus dilalui untuk menuju agama (din) hakiki yang berada di sisi Allah. Dengan demikian, Taha membedakan antara agama dengan syariah. Agama bersifat absolut yang berada disisi Allah, sementara syariah bersifat historis dan terikat oleh ruang dan waktu sesuai dengan kemajuan pemikiran dan peradaban manusia. Ini berarti syariah mengalami evolusi (tathawwur) terus-menerus seiring kemajuan tingkat kemampuan manusia dalam pentas sejarah (hal. 89).
Evolusi syariah di zaman modern sekarang membutuhkan sebuah perangkat dasar utama Islam dalam menjawab sekian tantangan modernitas yang menyeruak. Untuk itu, bagi Taha, umat Islam harus kembali kepada ayat-ayat Makiyah (ayat yang turun di Makkah). Ayat Makiyah berbeda dengan ayat Madaniyah. Ayat Makiyah memuat pesan Islam yang abadi dan fundamental, yang menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan yang fundamental dan martabat yang melekat pada seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, keyakinan agama, ras, dan lainnya. Sementara ayat Madaniyah adalah ayat-ayat cabang (furu') yang berlaku sesuai dengan kondisi dan kemakpuan umat Islam waktu itu.
Ayat Makiyah itulah yang dikatakan sebagai Risalah Islam Kedua (al-Risalah al-Tsaniyah min al-Islam), sedangkan ayat Madaniyah dinamakan al-Risalah al-Ula fi al-Islam (Risalah Islam Pertama). Bagi Taha, Risalah Islam Pertama (madaniyah) yang bersifat cabang dan lokal tidak bisa digunakan untuk mengeneralisir berbagai persoalan yang kemudian timbul di zaman kemudian. Untuk itu, sebuah keniscayaan bagi umat Islam untuk kembali pada ayat makiyah yang mendedahkan masalah fundamental dan universal, sehingga bisa digunakan sebagai landasan dalam membangun paradigma syariah/hukum Islam kontemporer.
Dalam konteks itu, bagi Taha, ayat Makiyah akan menasakh ayat madaniyah. Naskh bagi Taha bukan berarti penghapusan yang final dan eksklusif, namun hanya merupakan penangguhan pemberlakuan sampai datang waktu yang sesuai. Dari gagasan tersebut, ada implikasi hukum yang akan muncul di era kontemporer terkait gagasan relatifisme historis dalam pendekatannya terhadap syariah. Implikasi tersebut adalah aturan dan ketentuan syariah yang tidak sesuai dengan nilai kemanusian, keadilan, daan kesetaraan harua tidak lagi menjadi acuan, karena tidak sesuai dengan kondisi zaman modern sekarang. Ketentuan tersebut antara lain ajaran tentang jihad, hukuman bagi orang murtad, perbudakan, zakat, bagian waris, kompetensi menjadi saksi, poligami, dan hijab, yakni memakai pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya dan memisahkan komunitas laki-laki dan perempuan dalam pergaulan sosial (hal. 93).
Gagasan yang diusung Taha merupakan bentuk komitmennya dalam memegang teguh ayat-ayat al-Quran yang sesuai dengan zaman modern sekarang. Ayat-ayat tersebut adalah ayat-ayat dasar yang mempunyai standar lebih tinggi dari paa ayat-ayat cabang dan muatannya sejalan dengan konstitusionalisme, hak asasi manusia universal, dan perdamaian universal. Syariah modern harus didasarkan paa ayat-ayat dasar ini, sementara syariah historis harus ditangguhkan dulu. Yang dilakukan Taha, bagi penulis, sama sekali bukan menolak atau membuang ajaran Islam, namun justru kembali kepaa semangat aslinya (hal. 83).
Walaupun Taha akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di tiang gantungan, tetapi spirit pemikirannya yang tertuang dalam buku ini menjadi sebuah "narasi besar" dalam melakukan pembacaan ulang atas doktrin syariah yang kaku dan membeku. Doktrin syariah yang membatu seharusnya menjadi pemicu sarjana Muslim melakukan kerja ilmiah yang serius di tengah dialektika multiperadaban dewasa ini. Buku ini, setidaknya, membantu kita melakukan ijtihad ilmiah kontemporer, sebagaimana yang telah dilakukan Taha di Sudan.
*) Redaksi Jurnal Mazhabuna Fak. Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Kerancuan Pemikiran Cak Nur
Muhammadun AS
http://m.suaramerdeka.com/
”ISLAM sebenarnya dimulai dengan proses sekularisasi dan ajaran tauhid merupakan pangkal tolak sekularisasi” (Cak Nur).
Teks itulah yang menjadi substansi pemikiran Nurcholis Madjid (Cak Nur) dalam gagasan sekularisasi. Berpangkal dari statement tersebut Cak Nur melahirkan gagasan rasionalisasi dan desakralisasi. Cak Nur merumuskan ide tersebut berdasarkan cara pandang terhadap fenomena peralihan animis ke kepercayaan tauhid (masuk Islam). Cak Nur lantas menjustifikasi idenya itu dengan sekuralisasi yang diperintahkan. Sekularisasi ini, bagi Cak Nur, bukanlah sekularisasi sebagai penerapan sekularisme seperti yang terjadi di Barat yang, bagi Cak Nur, dilarang.
Cara berpikir dan muatan pemikiran Cak Nur seperti itu terasa sangat kontroversial di telinga kebanyakan umat Islam. Karena dalam Alquran maupun hadis tak sedikit pun menjelaskan ihwal sekularisasi. Tak pelak, saat menggelar istilah tersebut pada 1970-an, Cak Nur mendapatkan banyak bantahan dari intelektual Indonesia, termasuk di antaranya adalah HM Rasidji dan Imaduddin Abdurrahim. Dari sinilah kita dibawa oleh Cak Nur ke pengembaraan yang jauh dan masuk ke dalam rimba konfusi semantik dan scientific dengan idenya yang ia klaim sebagai sekularisasi yang diperintahkan oleh Islam.
Du pengkritik Cak Nur adalah kawan karib dan lawan berpikir. Sekarang pengkritiknya murid Cak Nur sendiri. Dialah Prof Dr Faisal Ismail yang pernah diajar Cak Nur pada mata kuliah ”Modern Islamic Development in Indonesia” di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Kanada. Sebagai murid yang baik, Faisal Ismail menumpahkan kegundahan pemikiran gurunya dalam buku ini.
Penulis ingin menjadi murid yang baik bagi Cak Nur. Dengan koreksi total pemikiran sekularisasi Cak Nur inilah Faisal ingin menunjukkan diri sebagai murid Cak Nur yang bisa membuat sang guru tersebut bahagia di alam barzakh. Bagi penulis, mengagumi Cak Nur bukanlah dengan menerima pemikirannya secara taken for granted, justru model murid semacam inilah yang dulu sering diejek dan marahi Cak Nur, karena justru akan memitoskan Cak Nur dan membuat pemikiran dan intelektualitas mandek.
Tidak Sepakat
Kembali ihwal masalah sekularisasi, penulis sangat tidak sepakat dengan pemikiran sang guru ini. Baginya gagasan sekularisasi sangat rancu kalau dilekatkan dalam Islam. Islam tidak mengenal sekularisasi, apalagi sekularisasi yang diistilahkan Cak Nur adalah peralihan dari animis menuju tauhid. Islam tidak mengenal sekularisasi, apalagi ada sekularisasi yang diperintahkan. Dalam pembacaan penulis, tidak teks prinsip dalam Alquran maupun hadis yang menjelaskan sekularisasi. Baik itu secara eksplisit maupun implisit. Bagi penulis, Islam dimulai dengan akidah tauhid dan ajaran tauhid merupakan jiwa, semangat, dasar, dan pangkal tolak islamisasi.
Sementara itu, tidak ada bukti empiris-historis-sosiologis yang mengindikasikan, apalagi membuktikan, Nabi dan umatnya pada masa itu telah melakukan sekularisasi. Baik legitimasi normatif dan legitimasi historis-sosiologis yang ilmiah, tak ada penjelasan sedikitpun sekularisasi dilekatkan dalam Islam. Cak Nur sendiri, kala itu, juga tidak mampu membuktikan dasar epistemologis dalam Alquran yang menjelaskan ihwal sekularisasi. Di berbagai makalah dan bukunya, Cak Nur ”gagal” menjelaskan dasar epistemologis sekularisasi yang melekat dalam Alquran. Begitu juga Cak Nur tidak memberikan contoh-contoh konkret tentang sekularisasi yang, menurut dia, diperintahkan itu. Berbicara tentang ajaran dan perintah dalam Islam, Cak Nur tidak mampu merinci atau menyebut contoh-contoh ayat atau hadits sebagaimana yang sesuai dengan idenya sekularisasi yang diperintahkan.
Pangkal Tolak
Cak Nur hanya mengemukakan, misalnya, suatu ide tauhid merupakan pangkal tolak sekularisasi secara besar-besaran. Itu bukan contoh tentang sekularisasi yang diperintahkan (perintah harus ada nash, seperti shalat). Sekularisasi yang diperintahkan dan ide yang diklaim sebagai sekularisasi yang diperintahkan adalah berbeda (halaman 50).
Karena Cak Nur tidak berangkat dari definisi yang jelas tentang sekularisasi, dan idenya juga lahir dari rahim epistemologi yang ”serampangan”, maka ide sekularisasi yang ditawarkan Cak Nur sebenarnya merupakan ide yang tumpang tindih dalam berbagai gagasan turunannya. Terjadilah inkonsistensi, inkoherensi, dan konfusi dalam pemikiran sekularisasinya. Dari sini, sang murid melihat beberapa kesalahan dalam ide sekularisasi sang guru. Pertama, Cak Nur telah berbuat kesalahan terminologis karena secara ekslusif menggunakan istilah sekularisasi hanya bagi animis yang convert ke kepercayaan tauhid. Kalau orang Islam yang convert ke animis, Cak Nur tidak bisa menjelaskan apa-apa soal ini. Kedua, Cak Nur telah berbuat arbitrary karena memakai istilah sekularisasi untuk suatu peristiwa yang sebenarnya disebut konversi (perpindahan animis pada kepercayaan tauhid). Bukti kerancuannya adalah: tauhid merupakan pangkal tolak sekularisasi secara besar-besaran. Yang benar adalah: tauhid merupakan pangkal tolak islamisasi.
Ketiga, Cak Nur telah membuat kesalahan karena, menurut dia, terjadi sekularisasi pada animis yang masuk Islam. Kesalahan ini berpangkal pada ketidakpahaman Cak Nur bahwa sebenarnya sekularisasi itu hanya dilakukan oleh seseorang (atau sekelompok orang) yang masih terikat kepada kepercayaan atau agama yang sedang ia anut.
Keempat, Cak Nur telah berbuat kesalahan karena, bagi dia, terjadi sekularisasi pada animis yang beralih kepada agama Islam (menjadi muallaf). Ini berarti, tauhid telah membuat muallaf mengalami sekularisasi besar-besaran. Padahal, muallaf itu mengalami islamisasi, menjadi Islam, berakidah Islam, dan beridentitas Islam. Bukan menjadi sekuler atau mengalami sekularisasi. (halaman 75-76).
Di sinilah, Faisal Ismail yang sekarang menjadi Guru Besar Islamic Studies di UIN Sunan Kalijaga, membongkar kerancuan pemikiran sang guru. Sekali lagi, penulis hanya ingin menjadi murid yang baik. Dengan saling koreksi dalam dunia intelektual inilah, bagi penulis, terjadi perdebatan dinamis yang bisa menggairahkan iklim keilmuan yang diskursif. Faisal juga menantang publik untuk mendiskusikan ulang ide Cak Nur dan kotrapemikirannya atas sang guru.
http://m.suaramerdeka.com/
”ISLAM sebenarnya dimulai dengan proses sekularisasi dan ajaran tauhid merupakan pangkal tolak sekularisasi” (Cak Nur).
Teks itulah yang menjadi substansi pemikiran Nurcholis Madjid (Cak Nur) dalam gagasan sekularisasi. Berpangkal dari statement tersebut Cak Nur melahirkan gagasan rasionalisasi dan desakralisasi. Cak Nur merumuskan ide tersebut berdasarkan cara pandang terhadap fenomena peralihan animis ke kepercayaan tauhid (masuk Islam). Cak Nur lantas menjustifikasi idenya itu dengan sekuralisasi yang diperintahkan. Sekularisasi ini, bagi Cak Nur, bukanlah sekularisasi sebagai penerapan sekularisme seperti yang terjadi di Barat yang, bagi Cak Nur, dilarang.
Cara berpikir dan muatan pemikiran Cak Nur seperti itu terasa sangat kontroversial di telinga kebanyakan umat Islam. Karena dalam Alquran maupun hadis tak sedikit pun menjelaskan ihwal sekularisasi. Tak pelak, saat menggelar istilah tersebut pada 1970-an, Cak Nur mendapatkan banyak bantahan dari intelektual Indonesia, termasuk di antaranya adalah HM Rasidji dan Imaduddin Abdurrahim. Dari sinilah kita dibawa oleh Cak Nur ke pengembaraan yang jauh dan masuk ke dalam rimba konfusi semantik dan scientific dengan idenya yang ia klaim sebagai sekularisasi yang diperintahkan oleh Islam.
Du pengkritik Cak Nur adalah kawan karib dan lawan berpikir. Sekarang pengkritiknya murid Cak Nur sendiri. Dialah Prof Dr Faisal Ismail yang pernah diajar Cak Nur pada mata kuliah ”Modern Islamic Development in Indonesia” di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Kanada. Sebagai murid yang baik, Faisal Ismail menumpahkan kegundahan pemikiran gurunya dalam buku ini.
Penulis ingin menjadi murid yang baik bagi Cak Nur. Dengan koreksi total pemikiran sekularisasi Cak Nur inilah Faisal ingin menunjukkan diri sebagai murid Cak Nur yang bisa membuat sang guru tersebut bahagia di alam barzakh. Bagi penulis, mengagumi Cak Nur bukanlah dengan menerima pemikirannya secara taken for granted, justru model murid semacam inilah yang dulu sering diejek dan marahi Cak Nur, karena justru akan memitoskan Cak Nur dan membuat pemikiran dan intelektualitas mandek.
Tidak Sepakat
Kembali ihwal masalah sekularisasi, penulis sangat tidak sepakat dengan pemikiran sang guru ini. Baginya gagasan sekularisasi sangat rancu kalau dilekatkan dalam Islam. Islam tidak mengenal sekularisasi, apalagi sekularisasi yang diistilahkan Cak Nur adalah peralihan dari animis menuju tauhid. Islam tidak mengenal sekularisasi, apalagi ada sekularisasi yang diperintahkan. Dalam pembacaan penulis, tidak teks prinsip dalam Alquran maupun hadis yang menjelaskan sekularisasi. Baik itu secara eksplisit maupun implisit. Bagi penulis, Islam dimulai dengan akidah tauhid dan ajaran tauhid merupakan jiwa, semangat, dasar, dan pangkal tolak islamisasi.
Sementara itu, tidak ada bukti empiris-historis-sosiologis yang mengindikasikan, apalagi membuktikan, Nabi dan umatnya pada masa itu telah melakukan sekularisasi. Baik legitimasi normatif dan legitimasi historis-sosiologis yang ilmiah, tak ada penjelasan sedikitpun sekularisasi dilekatkan dalam Islam. Cak Nur sendiri, kala itu, juga tidak mampu membuktikan dasar epistemologis dalam Alquran yang menjelaskan ihwal sekularisasi. Di berbagai makalah dan bukunya, Cak Nur ”gagal” menjelaskan dasar epistemologis sekularisasi yang melekat dalam Alquran. Begitu juga Cak Nur tidak memberikan contoh-contoh konkret tentang sekularisasi yang, menurut dia, diperintahkan itu. Berbicara tentang ajaran dan perintah dalam Islam, Cak Nur tidak mampu merinci atau menyebut contoh-contoh ayat atau hadits sebagaimana yang sesuai dengan idenya sekularisasi yang diperintahkan.
Pangkal Tolak
Cak Nur hanya mengemukakan, misalnya, suatu ide tauhid merupakan pangkal tolak sekularisasi secara besar-besaran. Itu bukan contoh tentang sekularisasi yang diperintahkan (perintah harus ada nash, seperti shalat). Sekularisasi yang diperintahkan dan ide yang diklaim sebagai sekularisasi yang diperintahkan adalah berbeda (halaman 50).
Karena Cak Nur tidak berangkat dari definisi yang jelas tentang sekularisasi, dan idenya juga lahir dari rahim epistemologi yang ”serampangan”, maka ide sekularisasi yang ditawarkan Cak Nur sebenarnya merupakan ide yang tumpang tindih dalam berbagai gagasan turunannya. Terjadilah inkonsistensi, inkoherensi, dan konfusi dalam pemikiran sekularisasinya. Dari sini, sang murid melihat beberapa kesalahan dalam ide sekularisasi sang guru. Pertama, Cak Nur telah berbuat kesalahan terminologis karena secara ekslusif menggunakan istilah sekularisasi hanya bagi animis yang convert ke kepercayaan tauhid. Kalau orang Islam yang convert ke animis, Cak Nur tidak bisa menjelaskan apa-apa soal ini. Kedua, Cak Nur telah berbuat arbitrary karena memakai istilah sekularisasi untuk suatu peristiwa yang sebenarnya disebut konversi (perpindahan animis pada kepercayaan tauhid). Bukti kerancuannya adalah: tauhid merupakan pangkal tolak sekularisasi secara besar-besaran. Yang benar adalah: tauhid merupakan pangkal tolak islamisasi.
Ketiga, Cak Nur telah membuat kesalahan karena, menurut dia, terjadi sekularisasi pada animis yang masuk Islam. Kesalahan ini berpangkal pada ketidakpahaman Cak Nur bahwa sebenarnya sekularisasi itu hanya dilakukan oleh seseorang (atau sekelompok orang) yang masih terikat kepada kepercayaan atau agama yang sedang ia anut.
Keempat, Cak Nur telah berbuat kesalahan karena, bagi dia, terjadi sekularisasi pada animis yang beralih kepada agama Islam (menjadi muallaf). Ini berarti, tauhid telah membuat muallaf mengalami sekularisasi besar-besaran. Padahal, muallaf itu mengalami islamisasi, menjadi Islam, berakidah Islam, dan beridentitas Islam. Bukan menjadi sekuler atau mengalami sekularisasi. (halaman 75-76).
Di sinilah, Faisal Ismail yang sekarang menjadi Guru Besar Islamic Studies di UIN Sunan Kalijaga, membongkar kerancuan pemikiran sang guru. Sekali lagi, penulis hanya ingin menjadi murid yang baik. Dengan saling koreksi dalam dunia intelektual inilah, bagi penulis, terjadi perdebatan dinamis yang bisa menggairahkan iklim keilmuan yang diskursif. Faisal juga menantang publik untuk mendiskusikan ulang ide Cak Nur dan kotrapemikirannya atas sang guru.
Kartun Nabi Muhammad dan Kearifan Khalayak
Wicaksono
http://blog.tempointeraktif.com/
Ranah blog kembali berderak-derak pekan ini. Ada blog yang memicu kegegeran karena memuat kartun Nabi Muhammad dengan pose dan cerita yang tak senonoh.
Umat Islam tersinggung, dan polisi pun bergerak mengusut pembuatnya. Polisi menilai pengelola blog itu telah melakukan penistaan dan penodaan terhadap agama Islam.
“Yang lebih parah Mas, nama blogger seperti kita ini jadi ikut tercoreng karena insiden ini, Mas,” kata Mat Bloger, kawan saya yang tekun dan terus mengikuti perkembangan kabar itu.
“Orang bisa menganggap kita, para blogger, sebagai kelompok yang nggak bener, Mas. Jangan-jangan orang akan mengira kita sejenis gerombolan pengacau belaka.”
“Begitulah kehidupan di ranah Internet dan blog, Mat. Blog memang bukan wilayah atau benda suci. Ia bisa tercemar oleh bakteri dan kuman pengganggu. Lalu ada kelompok yang tersinggung dan marah.
Tapi, menurut saya, kita sebaiknya lebih arif dan bijaksana menghadapi kasus ini. Tak perlu emosional. Blog bisa berpengaruh sekali. Isi blog yang tersebar bisa menghasut. Pendapat khalayak ramai bisa terbentuk. Dan seseorang atau sekelompok orang dirugikan.
Tapi marilah kita renungkan sejenak. Perlukah kita cemas bila yang dihadapi hanya satu atau dua blog dengan jumlah pengunjung harian beberapa puluh atau ratus orang saja, sementara kita hidup di negeri yang penduduknya, katakanlah, 220 juta?
Mungkin perlu. Tapi itu berarti kita mungkin sudah tak bisa lagi membedakan antara subyektivitas dan obyektivitas. Sebuah tulisan atau komik yang menyakitkan hati belum tentu berarti sesuatu yang mengacau negeri. Demokrasi, konsep yang menjadi landasan ranah blog, memang riuh dan rumit, tapi tak mudah untuk terus ditampik.
Saya malah khawatir, jika kita terlalu berlebihan bereaksi dan merespons blog sontoloyo itu, akibatnya bisa berabe. Blog hosting Wordpress bisa-bisa ditutup. Para blogger yang numpang blog di sana pun ikut kecipratan getahnya. Blog mereka tak bisa diakses lagi.”
“Nah, itu dia yang saya cemaskan juga, Mas. Sampean tentu masih ingat kasus film Fitna! yang membuat pemerintah memblokir Youtube dan beberapa situs lain tempo hari. Siapa yang rugi? Kita semua, kan?” kata Mat Bloger.
“Betul. Gara-gara seekor tikus, lumbung terbakar. Terjadi collateral damage. Padahal semestinya tak perlu berlebihan seperti itu.
Saya merasa para blogger juga tak senang dan mengecam tindakan blog yang memuat kartun Nabi Muhammad itu. Para blogger toh bukan komunitas pengacau.
Blogger itu kelompok yang melihat blog sebagai alat — yang terkadang dilupakan — untuk memperbaiki kualitas dan mengembangkan pilihan-pilihan baru dalam bacaan.
Saya dengar mereka bahkan sudah melaporkan blog itu ke pemilik Wordpress. Menurut saya, ini langkah yang bagus. Di ranah blog, ada yang namanya kearifan khalayak. Kearifan khalayak inilah yang menjadi penjaga nilai-nilai dan etika kehidupan di ranah blog. Kalau ada yang menyeleweng, khalayak bereaksi.”
“Terus blog kampret itu enaknya diapain, Mas? Apa perlu kita bongkar saja?”
“Nggak usah, Mat. Biarkan saja. Jangan diakses, jangan ditengok. Anggap saja dia seperti kotoran di jamban rumah. Daripada repot-repot memikirkan blog itu, lebih baik sampean berkemas-kemas menghadapi acara besok?”
“Acara apa, Mas?”
“Besok kan ada acara Pesta Blogger 2008. Sampean datang, kan?”
“Oh iya, Mas. Saya hampir lupa. Sampean mau manggung, ya? Saya datang, deh. Acaranya pasti seru, kan?”
“Iya, pasti. Besok kita bakal senang-senang di Pesta Blogger. Sampai ketemu di sana, ya.”
http://blog.tempointeraktif.com/
Ranah blog kembali berderak-derak pekan ini. Ada blog yang memicu kegegeran karena memuat kartun Nabi Muhammad dengan pose dan cerita yang tak senonoh.
Umat Islam tersinggung, dan polisi pun bergerak mengusut pembuatnya. Polisi menilai pengelola blog itu telah melakukan penistaan dan penodaan terhadap agama Islam.
“Yang lebih parah Mas, nama blogger seperti kita ini jadi ikut tercoreng karena insiden ini, Mas,” kata Mat Bloger, kawan saya yang tekun dan terus mengikuti perkembangan kabar itu.
“Orang bisa menganggap kita, para blogger, sebagai kelompok yang nggak bener, Mas. Jangan-jangan orang akan mengira kita sejenis gerombolan pengacau belaka.”
“Begitulah kehidupan di ranah Internet dan blog, Mat. Blog memang bukan wilayah atau benda suci. Ia bisa tercemar oleh bakteri dan kuman pengganggu. Lalu ada kelompok yang tersinggung dan marah.
Tapi, menurut saya, kita sebaiknya lebih arif dan bijaksana menghadapi kasus ini. Tak perlu emosional. Blog bisa berpengaruh sekali. Isi blog yang tersebar bisa menghasut. Pendapat khalayak ramai bisa terbentuk. Dan seseorang atau sekelompok orang dirugikan.
Tapi marilah kita renungkan sejenak. Perlukah kita cemas bila yang dihadapi hanya satu atau dua blog dengan jumlah pengunjung harian beberapa puluh atau ratus orang saja, sementara kita hidup di negeri yang penduduknya, katakanlah, 220 juta?
Mungkin perlu. Tapi itu berarti kita mungkin sudah tak bisa lagi membedakan antara subyektivitas dan obyektivitas. Sebuah tulisan atau komik yang menyakitkan hati belum tentu berarti sesuatu yang mengacau negeri. Demokrasi, konsep yang menjadi landasan ranah blog, memang riuh dan rumit, tapi tak mudah untuk terus ditampik.
Saya malah khawatir, jika kita terlalu berlebihan bereaksi dan merespons blog sontoloyo itu, akibatnya bisa berabe. Blog hosting Wordpress bisa-bisa ditutup. Para blogger yang numpang blog di sana pun ikut kecipratan getahnya. Blog mereka tak bisa diakses lagi.”
“Nah, itu dia yang saya cemaskan juga, Mas. Sampean tentu masih ingat kasus film Fitna! yang membuat pemerintah memblokir Youtube dan beberapa situs lain tempo hari. Siapa yang rugi? Kita semua, kan?” kata Mat Bloger.
“Betul. Gara-gara seekor tikus, lumbung terbakar. Terjadi collateral damage. Padahal semestinya tak perlu berlebihan seperti itu.
Saya merasa para blogger juga tak senang dan mengecam tindakan blog yang memuat kartun Nabi Muhammad itu. Para blogger toh bukan komunitas pengacau.
Blogger itu kelompok yang melihat blog sebagai alat — yang terkadang dilupakan — untuk memperbaiki kualitas dan mengembangkan pilihan-pilihan baru dalam bacaan.
Saya dengar mereka bahkan sudah melaporkan blog itu ke pemilik Wordpress. Menurut saya, ini langkah yang bagus. Di ranah blog, ada yang namanya kearifan khalayak. Kearifan khalayak inilah yang menjadi penjaga nilai-nilai dan etika kehidupan di ranah blog. Kalau ada yang menyeleweng, khalayak bereaksi.”
“Terus blog kampret itu enaknya diapain, Mas? Apa perlu kita bongkar saja?”
“Nggak usah, Mat. Biarkan saja. Jangan diakses, jangan ditengok. Anggap saja dia seperti kotoran di jamban rumah. Daripada repot-repot memikirkan blog itu, lebih baik sampean berkemas-kemas menghadapi acara besok?”
“Acara apa, Mas?”
“Besok kan ada acara Pesta Blogger 2008. Sampean datang, kan?”
“Oh iya, Mas. Saya hampir lupa. Sampean mau manggung, ya? Saya datang, deh. Acaranya pasti seru, kan?”
“Iya, pasti. Besok kita bakal senang-senang di Pesta Blogger. Sampai ketemu di sana, ya.”
SKETSA DI BALIK HURUF KATA-KATA DARI PELUKIS
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/
Bahasa ibu ibarat bakat tertanam. Sebagai pelukis menuangkan warna, penulis menyiratkan makna; kata-kata menghadirkan warna. Bagaimana penyair melukis kemerahan senja keindahan fajar, seolah purnanya kata yang sanggup mewakili pewarnaan bunyi menghasilkan imaji.
Semisal kata “mawar,” m di depan berasal imajinasi merekah, dan w di tengahnya menawan, ini sketsa yang kerap memasuki perasaan insani. Contoh kata “senja” berhasil menampakkan warna sesungguhnya, atas awalan s ditarik artian sementara atau hidup yang sementara. Kerapkali pandangan umum dikatakan senja berkaitan kematian. Dan kedekatan ajal, huruf j di tengahnya berdaya pantul jasadiah atau tubuh kefanaan.
Ini mengangkat ingatan sebelumnya dinyatakan, sehingga mendapati pengesahan magis. Tentu ada yang membantah hanya rangkaian semata, tapi aku katakan inilah kesepakatan universal yang dihasilkan pribadi tengah melampaui pembenaran.
Kata dalam bahasa Inggris “flower,” di mana imajinatifnya huruf f, hasil dari if atau andai, yang mana bunga sebagai pengandaian, hal ini dapatlah diteruskan. Olehnya vokal menjadi penentu warna saat ditekan maupun ditampilkan harumnya.
Ialah aku maksud kekuasaan kata menghipnotis pendengar, dan kelemahan yang sampai menghasilkan pemaknaan ganda. Seperti kata “bisa,” dapat diartikan dapat, atau mampu berpeluang, namun juga diartikan bisa dari ular, pun bisa kalajengking.
Ketimpangan ini berasal dari huruf b dan i yang menghadirkan bentuk kegagahan menunjuk ke dada, melahirkan bisa sebagai berkemampuan. Sedangkan huruf s dan a, menimbulkan desis di gigi dalam pengucapan, yang menciptakan bisa sebagai bisa ular. Begitu pula kata semi serta kata sayang &st.
Dan kenapa aku hadirkan kata ulang tidak umum dalam karya, seperti jejaring dari kata jaring-jaring, pepintu dari pintu-pintu &ll. Itu digunakan demi kemudahan penyingkatan serupa kelaziman kata kekepu dari kupu-kupu.
Hal ini tidak sekadar corak, tapi pewarnaan yang melahirkan persetujuan imaji pembaca. Yang dilain tempat bisa membentuk emosi tersendiri bagi penikmat. Dan dalam bidang sastra emosi diperlukan, sebab karya berangkat dari perasaan lebih.
Memang pengulangan sanggup menimbulkan daya hipnotis sesulapan. Marilah seimbangkan ini; bahwa pengulangan yang menghasilkan ketajaman warna tujuan kata, pula bunyi yang ditampilkan, takkan ada kalau tidak mengikuti ingatan awal.
Contoh melukis buah apel atau anggur beraliran realis, sang pelukis menyapu berulang-ulang dengan tambalan warna sampai melewati titik kering tertentu dan titik basah dalam detikan pula, lantas kembali dipoles. Ini pengulangan sewajarnya seperti rutinitas dalam kehidupan realis.
Andai pengulangan menjadikan baik, hasilnya mendapati persetujuan khalayak. Olehnya, percobaan pada karya demi mewujudkan yang terbaik, harus melewati pergulatan huruf. Ditambal sulam ditumpuk, diplintir demi sesuara yang mampu memuaskan nalar bathin penikmat dari corak imbuannya.
Seperti Rudolf Christoph Eucken (1846-1926) yang merevisi tulisannya, membuat tetap baru atas karya-karyanya sampai terdiri banyak edisi revisian. Dalam lukisan dapat menengok aliran kubisme Picasso (1881-1973), yang melahirkan aliran post-modern, atas pergulatan elemen realisme Da Vinci (1452-1519) dalam dunia modernis.
Campuran warna siku lukisan Picasso mewujudkan bentuk mengagumkan, corak yang belum dikenal, belum terdeteksi, meski lewat alat bantu elektronik. Pun kemampuan pecatur handal Kasparov yang mengalahkan kecanggihan komputer.
Sebab itu, pergulatan di kancah kemanusiaan ialah pewarnaan hipnotis sungguh luar biasa, sampai menghidangkan kepercayaan berbeda yang berhubungan gelombang suara diterima telinga, olehnya standarisasi penerimaan pula kerap menentukan.
Telinga sangat terkait lokalitas yang terpengaruh musim pun cuaca rindu. Semisal kepekaan pendengar mencermati penerimaan yang mampu mengimajinasi sampai memenuhi ketepatan. “Saya minta dinyalakan perapiannya” (sedangkan masa itu musim panas, maka secara reflek orang sekitarnya terheran menimbulkan tanya).
“Mengapa di musim panas meminta perapian?” Kata “mengapa” merupakan penutup sekaligus jawaban. Sebab “mengapa” tidak membutuhkan jawaban berbelit-belit. Jikalau menggunakan kalimah: “Bagaimana bisa meminta perapian, saat musim panas?” Kata “bagaimana” adalah awal persoalan yang menimbulkan banyak jawaban.
Seperti disebut di atas, huruf b ialah penghasil warna kebanggaan, kebesaran, keagungan. Dan persoalan ini membutuhkan jawaban membanggakan. Sedang jawaban membanggakan biasanya memakai banyak argumentasi demi penopang apologi sebelumnya, atau penekanan yang menginginkan diyakini.
Kalau ditarik dari jauh, kuasa bahasa dipengaruhi penglihatan aksara, suara pada pendengaran yang menarik imaji serta fikiran dirasai. Sudah sepantasnya ini diturunkan demi penglihatan yang kerap melihat tulisan meloncat-lompat. Mungkin sebab bayangan Van Gogh (1853 -1890) yang tidak menghirau karyanya melampaui jamannya atau tidak.
Namun bukan berharap sejalan pelukis Belanda itu yang merasa bersalah juga benar seluruh, hingga berani memotong telinganya sebagai kesaksian pendengaran dan ketulian jamannya. Atau Socrates yang gagah meminum racun penguasa, tiada di benaknya sebersit menolak, apalagi menarik pendapat demi pendapatan.
Karena telah menelan dunia benda, dunia ide yang menghasilkan citraan seolah dirinya berkata: “akulah ide sekaligus jasad perbendaan.” Pula menyimpulkan arti pada kesempurnaan kata melukiskan benda, sampai peroleh persetujuan universal.
Di sini sekadar menyemangati bahwa “warna” merayu para wanita dan “kata” dapat merayu kaum lelaki untuk ingin mendalaminya. Mungkin salah satu bukti kenapa para nabi lelaki dan perempuan itu obyek lukisan yang diburu pihak lelaki. Wanita berkesepian ingin pujaan atau dipuji lewat kata-kata.
Mungkin rahasia terungkap, bahwa warna yang tersaksikan di jagad raya, menawan insan berjiwa hidup, kata-kata bijak mengantarkan makna kehakikian, kebenaran ide. Atau tulisan selain firman itu asumsi, diasumsikan untuk pemaknaan, sebab dengan pijakan makna demi memaknai lainnya. Dan lemahnya pemaknaan awal serupa mitos, diterima sebagai mitologi seperti firasat tampil menjelma ilmu.
Dan kalimah ini; “Setiap kata adalah perjuangan dan warna menjadikan nyawanya.” Menampilkan kekomplitan penulis dari dua bidang pelukis dan penulis, di samping kelengkapan alat diingini demi memaknai kehidupan. Kenapa setiap kata perjuangan? Sebab lewat kata, Averroes diusir, al-Hallaj di tiang gantung, Nietzsche dikucilkan. Dari kata pula, kata “jihat” menjelma ancaman juga “revolusi,” begitu genting bagi telinga.
Lalu kenapa warna menjadi nyawanya dengan menampilkan “warna,” semisal pengeboman WTC mendapat banyak sorotan. Inilah warna sodokan kata yang menghasilkan sebab mengagumkan, tidak terkirakan atau melebihi perkiraan. Dapat digaris bawahi, warna menghimpun gairah; senang, sedih, haru, asing & sebagainya.
Warna ialah hasil dari yang ditampilkan asal kata atau cat. Maka warna setelah kata merupakan pewarnaan. Atau kalimah; “Setiap kata ialah perjuangan dan warna menjadikan nyawanya” merupakan kekomplitan, kebertemuan padu setubuh dari dua masalah.
Dari sini aku berharap pembaca tulisanku tidak terperosok dugaan jauh dari benang paparan, tetapi menyelidik berulang balik dan kembali. Ini sejenis kebocoran lapisan ozon pengertian, dan semoga terik menghadirkan penyadaran siang di keseluruan serta malam sewajar jaman.
2006 Lamongan, Java.
http://pustakapujangga.com/
Bahasa ibu ibarat bakat tertanam. Sebagai pelukis menuangkan warna, penulis menyiratkan makna; kata-kata menghadirkan warna. Bagaimana penyair melukis kemerahan senja keindahan fajar, seolah purnanya kata yang sanggup mewakili pewarnaan bunyi menghasilkan imaji.
Semisal kata “mawar,” m di depan berasal imajinasi merekah, dan w di tengahnya menawan, ini sketsa yang kerap memasuki perasaan insani. Contoh kata “senja” berhasil menampakkan warna sesungguhnya, atas awalan s ditarik artian sementara atau hidup yang sementara. Kerapkali pandangan umum dikatakan senja berkaitan kematian. Dan kedekatan ajal, huruf j di tengahnya berdaya pantul jasadiah atau tubuh kefanaan.
Ini mengangkat ingatan sebelumnya dinyatakan, sehingga mendapati pengesahan magis. Tentu ada yang membantah hanya rangkaian semata, tapi aku katakan inilah kesepakatan universal yang dihasilkan pribadi tengah melampaui pembenaran.
Kata dalam bahasa Inggris “flower,” di mana imajinatifnya huruf f, hasil dari if atau andai, yang mana bunga sebagai pengandaian, hal ini dapatlah diteruskan. Olehnya vokal menjadi penentu warna saat ditekan maupun ditampilkan harumnya.
Ialah aku maksud kekuasaan kata menghipnotis pendengar, dan kelemahan yang sampai menghasilkan pemaknaan ganda. Seperti kata “bisa,” dapat diartikan dapat, atau mampu berpeluang, namun juga diartikan bisa dari ular, pun bisa kalajengking.
Ketimpangan ini berasal dari huruf b dan i yang menghadirkan bentuk kegagahan menunjuk ke dada, melahirkan bisa sebagai berkemampuan. Sedangkan huruf s dan a, menimbulkan desis di gigi dalam pengucapan, yang menciptakan bisa sebagai bisa ular. Begitu pula kata semi serta kata sayang &st.
Dan kenapa aku hadirkan kata ulang tidak umum dalam karya, seperti jejaring dari kata jaring-jaring, pepintu dari pintu-pintu &ll. Itu digunakan demi kemudahan penyingkatan serupa kelaziman kata kekepu dari kupu-kupu.
Hal ini tidak sekadar corak, tapi pewarnaan yang melahirkan persetujuan imaji pembaca. Yang dilain tempat bisa membentuk emosi tersendiri bagi penikmat. Dan dalam bidang sastra emosi diperlukan, sebab karya berangkat dari perasaan lebih.
Memang pengulangan sanggup menimbulkan daya hipnotis sesulapan. Marilah seimbangkan ini; bahwa pengulangan yang menghasilkan ketajaman warna tujuan kata, pula bunyi yang ditampilkan, takkan ada kalau tidak mengikuti ingatan awal.
Contoh melukis buah apel atau anggur beraliran realis, sang pelukis menyapu berulang-ulang dengan tambalan warna sampai melewati titik kering tertentu dan titik basah dalam detikan pula, lantas kembali dipoles. Ini pengulangan sewajarnya seperti rutinitas dalam kehidupan realis.
Andai pengulangan menjadikan baik, hasilnya mendapati persetujuan khalayak. Olehnya, percobaan pada karya demi mewujudkan yang terbaik, harus melewati pergulatan huruf. Ditambal sulam ditumpuk, diplintir demi sesuara yang mampu memuaskan nalar bathin penikmat dari corak imbuannya.
Seperti Rudolf Christoph Eucken (1846-1926) yang merevisi tulisannya, membuat tetap baru atas karya-karyanya sampai terdiri banyak edisi revisian. Dalam lukisan dapat menengok aliran kubisme Picasso (1881-1973), yang melahirkan aliran post-modern, atas pergulatan elemen realisme Da Vinci (1452-1519) dalam dunia modernis.
Campuran warna siku lukisan Picasso mewujudkan bentuk mengagumkan, corak yang belum dikenal, belum terdeteksi, meski lewat alat bantu elektronik. Pun kemampuan pecatur handal Kasparov yang mengalahkan kecanggihan komputer.
Sebab itu, pergulatan di kancah kemanusiaan ialah pewarnaan hipnotis sungguh luar biasa, sampai menghidangkan kepercayaan berbeda yang berhubungan gelombang suara diterima telinga, olehnya standarisasi penerimaan pula kerap menentukan.
Telinga sangat terkait lokalitas yang terpengaruh musim pun cuaca rindu. Semisal kepekaan pendengar mencermati penerimaan yang mampu mengimajinasi sampai memenuhi ketepatan. “Saya minta dinyalakan perapiannya” (sedangkan masa itu musim panas, maka secara reflek orang sekitarnya terheran menimbulkan tanya).
“Mengapa di musim panas meminta perapian?” Kata “mengapa” merupakan penutup sekaligus jawaban. Sebab “mengapa” tidak membutuhkan jawaban berbelit-belit. Jikalau menggunakan kalimah: “Bagaimana bisa meminta perapian, saat musim panas?” Kata “bagaimana” adalah awal persoalan yang menimbulkan banyak jawaban.
Seperti disebut di atas, huruf b ialah penghasil warna kebanggaan, kebesaran, keagungan. Dan persoalan ini membutuhkan jawaban membanggakan. Sedang jawaban membanggakan biasanya memakai banyak argumentasi demi penopang apologi sebelumnya, atau penekanan yang menginginkan diyakini.
Kalau ditarik dari jauh, kuasa bahasa dipengaruhi penglihatan aksara, suara pada pendengaran yang menarik imaji serta fikiran dirasai. Sudah sepantasnya ini diturunkan demi penglihatan yang kerap melihat tulisan meloncat-lompat. Mungkin sebab bayangan Van Gogh (1853 -1890) yang tidak menghirau karyanya melampaui jamannya atau tidak.
Namun bukan berharap sejalan pelukis Belanda itu yang merasa bersalah juga benar seluruh, hingga berani memotong telinganya sebagai kesaksian pendengaran dan ketulian jamannya. Atau Socrates yang gagah meminum racun penguasa, tiada di benaknya sebersit menolak, apalagi menarik pendapat demi pendapatan.
Karena telah menelan dunia benda, dunia ide yang menghasilkan citraan seolah dirinya berkata: “akulah ide sekaligus jasad perbendaan.” Pula menyimpulkan arti pada kesempurnaan kata melukiskan benda, sampai peroleh persetujuan universal.
Di sini sekadar menyemangati bahwa “warna” merayu para wanita dan “kata” dapat merayu kaum lelaki untuk ingin mendalaminya. Mungkin salah satu bukti kenapa para nabi lelaki dan perempuan itu obyek lukisan yang diburu pihak lelaki. Wanita berkesepian ingin pujaan atau dipuji lewat kata-kata.
Mungkin rahasia terungkap, bahwa warna yang tersaksikan di jagad raya, menawan insan berjiwa hidup, kata-kata bijak mengantarkan makna kehakikian, kebenaran ide. Atau tulisan selain firman itu asumsi, diasumsikan untuk pemaknaan, sebab dengan pijakan makna demi memaknai lainnya. Dan lemahnya pemaknaan awal serupa mitos, diterima sebagai mitologi seperti firasat tampil menjelma ilmu.
Dan kalimah ini; “Setiap kata adalah perjuangan dan warna menjadikan nyawanya.” Menampilkan kekomplitan penulis dari dua bidang pelukis dan penulis, di samping kelengkapan alat diingini demi memaknai kehidupan. Kenapa setiap kata perjuangan? Sebab lewat kata, Averroes diusir, al-Hallaj di tiang gantung, Nietzsche dikucilkan. Dari kata pula, kata “jihat” menjelma ancaman juga “revolusi,” begitu genting bagi telinga.
Lalu kenapa warna menjadi nyawanya dengan menampilkan “warna,” semisal pengeboman WTC mendapat banyak sorotan. Inilah warna sodokan kata yang menghasilkan sebab mengagumkan, tidak terkirakan atau melebihi perkiraan. Dapat digaris bawahi, warna menghimpun gairah; senang, sedih, haru, asing & sebagainya.
Warna ialah hasil dari yang ditampilkan asal kata atau cat. Maka warna setelah kata merupakan pewarnaan. Atau kalimah; “Setiap kata ialah perjuangan dan warna menjadikan nyawanya” merupakan kekomplitan, kebertemuan padu setubuh dari dua masalah.
Dari sini aku berharap pembaca tulisanku tidak terperosok dugaan jauh dari benang paparan, tetapi menyelidik berulang balik dan kembali. Ini sejenis kebocoran lapisan ozon pengertian, dan semoga terik menghadirkan penyadaran siang di keseluruan serta malam sewajar jaman.
2006 Lamongan, Java.
Makna Hijrah di Tengah Ketimpangan Sosial
Muhammadun A.S.
http://www.pikiran-rakyat.com/
Hijrah dari Mekah menuju Madinah menandai babak baru dalam proses perjuangan yang dijalankan Nabi Muhammad. Setelah lolos dari kepungan kaum Quraisy di rumahnya, Nabi ditemani Abu Bakar kemudian bersembunyi di Gua Saur (sekitar 5 km dari Mekah) selama 3 hari. Setelah merasa aman, menurut M. Husein Haikal dalam Hayat Muhammad (1972), Nabi dan Abu Bakar, dengan ketabahan, menempuh panas yang begitu membakar dalam perjalanan yang sangat meletihkan, mengarungi lautan pasir yang berbukit-bukit dan batu karang di tengah-tengah dataran Tihamah.
Hijrah menuju Madinah bukanlah karena Nabi putus asa berdakwah di Mekah. Juga bukan takut dengan ancaman dan penyiksaan. Tetapi, beliau hijrah karena diperintahkan oleh Allah. Beliau bukan takut dengan ancaman, tetapi beliau sangat sayang terhadap sahabat-sahabatnya yang selalu mendapatkan perlakuan kejam kaum Quraisy. Di Madinah, beliau memulai strategi perjuangan baru untuk membebaskan berbagai ketertindasan sosial yang terjadi secara kolosal di Semenanjung Arabia. Dalam rangka inilah, Nabi kemudian membangun persaudaraan (al-ikho’) antara kaum Muhajirin dan Ansor, membangun kesepakatan sosial kemasyaratan dengan seluruh suku dan pemeluk agama, atau dikenal dengan Piagam Madinah (Madinah Carter), dan mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah.
Tatanan hidup sosial kemasyarakatan yang dicipta Nabi di Madinah ini menjadi tatanan pertama dalam sejarah demokrasi di dunia. Inilah babak baru kehidupan Madinah yang menjamin kebebasan, persamaan derajat, dan kesempatan berkreasi. Ketika beliau pulang menaklukkan Mekah, yang dikenal dengan fathu Makkah, beliau tidak dendam dengan berbagai kekejaman yang telah dilakukan kaum Quraisy. Dari sini terlihat bahwa beliau menggugat penindasan sosial dan mengarahkannya menuju kesejahteraan dan ketertiban sosial.
Momentum hijrah 1429 dapat kita jadikan spirit dalam menggugat berbagai ketertindasan sosial yang melanda dunia. Ingat, bahwa setiap nabi dan rasul hadir di dunia bukan sekadar membawa wahyu berupa ibadah ritual. Mereka hadir untuk membebaskan masyarakat dari ketimpangan dan ketertindasan sosial. Muhammad sampai harus diusir dari Mekah, Musa diburu-buru Firaun, Ibrahim akan dipenggal dan dibakar oleh Namrud, Isa dikejar-kejar oleh penguasa suku. Karena kegigihan dan keikhlasan di tengah despotisme kekuasaan, mereka justru menjadi Rasul terpilih (ulu al-azmi) yang spirit perjuangannya selalu dikenang dan menjadi teladan pejuang kemanusiaan dalam menggelorakan perlawanan atas penindasan.
Muhammad telah membebaskan kaum lemah Arab dari despotisme suku Arab. Kaum budak, kaum miskin, dan kaum perempuan diangkat harkat dan martabatnya oleh Muhammad. Mereka kemudian menjadi orang yang tangguh, dan menyerahkan hidupnya untuk menopang perjuangan Nabi dalam membebaskan kaum Arab dari penindasan sosial. Dari sini terlihat bahwa kaum tertindas sebenarnya mempunyai potensi sendiri yang mampu membebaskan diri mereka dari ketertindasan sosial.
Perintah membebaskan diri sendiri ini telah ditancapkan dalam firman Allah dalam Q.S. Al-Nisa’ (7: 97). Tugas nabi dan para pejuang kemanusiaan adalah memberikan spirit perjuangan untuk melawan penindasan, sekaligus "turun gunung" menggugat despotisme kekuasaan. Karena spirit inilah, Asghar Ali Engineer melihat Islam sebagai agama pembebas dan Muhammad sebagai Nabi pembebas. Bagi Engineer, nabi sukses melaksanakan tugas profetiknya dalam membebaskan kaum tertindas Arab, dan bahkan Nabi menjadi teladan utama dunia dalam memangkas penindasan.
Kaum tertindas yang dijelaskan dalam Alquran antara lain fakir, miskin, anak yatim, peminta-minta, dan hamba sahaya. Mereka, dalam apa pun, termasuk konteks keindonesiaan, adalah kaum tertindas. Ketertindasan bukan sekadar peminggiran ekonomi, tetapi juga peminggiran hak-hak sosial, hak politik, dan budaya. Bagaimana Nabi dengan spirit Alquran membebaskan ketertindasan sosial?
Pertama, membangun semangat kerja. Dalam Q.S. 28: 77, dijelaskan bahwa manusia jangan sampai melupakan tugas-tugas kemanusiaan dalam menggali rezeki Allah di bumi di tengah kesibukannya dalam mengabdi kepada Allah. Harus berimbang. Kedua, mewajibkan umat Islam untuk membayar zakat. Dengan zakat inilah Nabi memutus kuasa kaum modal, sehingga orang kaya mau membagikan rezekinya kepada yang miskin. Ketiga, mengharamkan riba. Nabi mengecam habis para pengedar riba, karena riba ini akan menjadi batu loncatan dalam mencekik kaum miskin yang kekuarangan modal untuk usaha. Riba merupakan manifetasi penindasan yang sangat kentara, terlebih di tengah lilitan krisis multidimensional. Keempat, mengharamkan monopoli dan menimbun harta. Kelima, membudayakan infak dan sedekah. Bahkan, Alquran melihat bahwa orang akan mendapatkan kebaikan yang hakiki kalau orang itu mau menginfakkan sesuatu yang paling dicintainya.
Spirit membebaskan kaum tertindas yang dilakukan Nabi inilah yang tepat kita jadikan refleksi dalam momentum hijrah 1429 sekarang, terlebih lagi dalam konteks keindonesiaan. Krisis berkepanjangan yang tak kunjung usai dan berbagai praktik penindasan sosial yang terus menyeruak di berbagai lapisan masyarakat perlu mendapatkan solusi strategis dari seluruh komponen bangsa. Umat Islam sebagai mayoritas bertanggung jawab mencipta solusi strategis dengan menyerap spirit perjuangan Nabi Muhammad, sehingga umat Islam tidak hanya sibuk dengan praktik ritual. Umat Islam dan umat beragama lainnya seharusnya menjadi tulang punggung dalam mengatasi krisis berkepanjangan sebagai manifestasi ahli waris ajaran para nabi yang luhur.***
*) Penulis, peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (CePDeS) Jakarta.
http://www.pikiran-rakyat.com/
Hijrah dari Mekah menuju Madinah menandai babak baru dalam proses perjuangan yang dijalankan Nabi Muhammad. Setelah lolos dari kepungan kaum Quraisy di rumahnya, Nabi ditemani Abu Bakar kemudian bersembunyi di Gua Saur (sekitar 5 km dari Mekah) selama 3 hari. Setelah merasa aman, menurut M. Husein Haikal dalam Hayat Muhammad (1972), Nabi dan Abu Bakar, dengan ketabahan, menempuh panas yang begitu membakar dalam perjalanan yang sangat meletihkan, mengarungi lautan pasir yang berbukit-bukit dan batu karang di tengah-tengah dataran Tihamah.
Hijrah menuju Madinah bukanlah karena Nabi putus asa berdakwah di Mekah. Juga bukan takut dengan ancaman dan penyiksaan. Tetapi, beliau hijrah karena diperintahkan oleh Allah. Beliau bukan takut dengan ancaman, tetapi beliau sangat sayang terhadap sahabat-sahabatnya yang selalu mendapatkan perlakuan kejam kaum Quraisy. Di Madinah, beliau memulai strategi perjuangan baru untuk membebaskan berbagai ketertindasan sosial yang terjadi secara kolosal di Semenanjung Arabia. Dalam rangka inilah, Nabi kemudian membangun persaudaraan (al-ikho’) antara kaum Muhajirin dan Ansor, membangun kesepakatan sosial kemasyaratan dengan seluruh suku dan pemeluk agama, atau dikenal dengan Piagam Madinah (Madinah Carter), dan mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah.
Tatanan hidup sosial kemasyarakatan yang dicipta Nabi di Madinah ini menjadi tatanan pertama dalam sejarah demokrasi di dunia. Inilah babak baru kehidupan Madinah yang menjamin kebebasan, persamaan derajat, dan kesempatan berkreasi. Ketika beliau pulang menaklukkan Mekah, yang dikenal dengan fathu Makkah, beliau tidak dendam dengan berbagai kekejaman yang telah dilakukan kaum Quraisy. Dari sini terlihat bahwa beliau menggugat penindasan sosial dan mengarahkannya menuju kesejahteraan dan ketertiban sosial.
Momentum hijrah 1429 dapat kita jadikan spirit dalam menggugat berbagai ketertindasan sosial yang melanda dunia. Ingat, bahwa setiap nabi dan rasul hadir di dunia bukan sekadar membawa wahyu berupa ibadah ritual. Mereka hadir untuk membebaskan masyarakat dari ketimpangan dan ketertindasan sosial. Muhammad sampai harus diusir dari Mekah, Musa diburu-buru Firaun, Ibrahim akan dipenggal dan dibakar oleh Namrud, Isa dikejar-kejar oleh penguasa suku. Karena kegigihan dan keikhlasan di tengah despotisme kekuasaan, mereka justru menjadi Rasul terpilih (ulu al-azmi) yang spirit perjuangannya selalu dikenang dan menjadi teladan pejuang kemanusiaan dalam menggelorakan perlawanan atas penindasan.
Muhammad telah membebaskan kaum lemah Arab dari despotisme suku Arab. Kaum budak, kaum miskin, dan kaum perempuan diangkat harkat dan martabatnya oleh Muhammad. Mereka kemudian menjadi orang yang tangguh, dan menyerahkan hidupnya untuk menopang perjuangan Nabi dalam membebaskan kaum Arab dari penindasan sosial. Dari sini terlihat bahwa kaum tertindas sebenarnya mempunyai potensi sendiri yang mampu membebaskan diri mereka dari ketertindasan sosial.
Perintah membebaskan diri sendiri ini telah ditancapkan dalam firman Allah dalam Q.S. Al-Nisa’ (7: 97). Tugas nabi dan para pejuang kemanusiaan adalah memberikan spirit perjuangan untuk melawan penindasan, sekaligus "turun gunung" menggugat despotisme kekuasaan. Karena spirit inilah, Asghar Ali Engineer melihat Islam sebagai agama pembebas dan Muhammad sebagai Nabi pembebas. Bagi Engineer, nabi sukses melaksanakan tugas profetiknya dalam membebaskan kaum tertindas Arab, dan bahkan Nabi menjadi teladan utama dunia dalam memangkas penindasan.
Kaum tertindas yang dijelaskan dalam Alquran antara lain fakir, miskin, anak yatim, peminta-minta, dan hamba sahaya. Mereka, dalam apa pun, termasuk konteks keindonesiaan, adalah kaum tertindas. Ketertindasan bukan sekadar peminggiran ekonomi, tetapi juga peminggiran hak-hak sosial, hak politik, dan budaya. Bagaimana Nabi dengan spirit Alquran membebaskan ketertindasan sosial?
Pertama, membangun semangat kerja. Dalam Q.S. 28: 77, dijelaskan bahwa manusia jangan sampai melupakan tugas-tugas kemanusiaan dalam menggali rezeki Allah di bumi di tengah kesibukannya dalam mengabdi kepada Allah. Harus berimbang. Kedua, mewajibkan umat Islam untuk membayar zakat. Dengan zakat inilah Nabi memutus kuasa kaum modal, sehingga orang kaya mau membagikan rezekinya kepada yang miskin. Ketiga, mengharamkan riba. Nabi mengecam habis para pengedar riba, karena riba ini akan menjadi batu loncatan dalam mencekik kaum miskin yang kekuarangan modal untuk usaha. Riba merupakan manifetasi penindasan yang sangat kentara, terlebih di tengah lilitan krisis multidimensional. Keempat, mengharamkan monopoli dan menimbun harta. Kelima, membudayakan infak dan sedekah. Bahkan, Alquran melihat bahwa orang akan mendapatkan kebaikan yang hakiki kalau orang itu mau menginfakkan sesuatu yang paling dicintainya.
Spirit membebaskan kaum tertindas yang dilakukan Nabi inilah yang tepat kita jadikan refleksi dalam momentum hijrah 1429 sekarang, terlebih lagi dalam konteks keindonesiaan. Krisis berkepanjangan yang tak kunjung usai dan berbagai praktik penindasan sosial yang terus menyeruak di berbagai lapisan masyarakat perlu mendapatkan solusi strategis dari seluruh komponen bangsa. Umat Islam sebagai mayoritas bertanggung jawab mencipta solusi strategis dengan menyerap spirit perjuangan Nabi Muhammad, sehingga umat Islam tidak hanya sibuk dengan praktik ritual. Umat Islam dan umat beragama lainnya seharusnya menjadi tulang punggung dalam mengatasi krisis berkepanjangan sebagai manifestasi ahli waris ajaran para nabi yang luhur.***
*) Penulis, peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (CePDeS) Jakarta.
Meretas Moderatisme Global
Muhammadun As
http://www.pelita.or.id/
Pada tanggal 4-6 Februari 2004 lalu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali membuat acara yang spektakuler sekali. Yakni mengumpulkan para ilmuan dunia dalam sebuah konferensi guna membahas problematika kehidupan dunia global sekarang ini. Konferensi yang merupakan hasil kerjasama antara PBNU dan Departemen Luar Negeri (Deplu) ini sungguh luar biasa. Kalau selama ini Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah begitu getolnya melawan korupsi dengan berbagai kalangan LSM dan media, sekarang NU memelopori sebuah konferensi untuk menggalang kekuatan dunia guna membendung berbagai krisis yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Momentum konferensi ini akan membawa sebuah perhelatan yang luar biasa. NU sebagai sebuah lembaga sosial keagamaan yang menitik beratkan objeknya pada pengembangan masyarakat, dalam konferensi ini akan menjadi liputan yang menarik sekali. Kegagalan peran NU dalam dunia politik pada tahun-tahun lalu merupakan ibrah (pelajaran) agar NU tampil kembali membangun kekuatannya dalam merumuskan kebijakan menuju maslahatul ummah (kesejahteraan rakyat). Membangun masyarakat Madani (civil society) merupakan konsentrasi NU dimasa sekarang dan akan datang. Maka dari itu, menggalang kekuatan guna membangun sebuah civil society baik secara intern maupun ekstern, nasional maupun internasional, adalah sebuah keniscayaan. Dalam kesempatan konferensi ini, jelas, peran serta NU dalam membangun keberadaan civil soviety semakin vital. Revitalisasi peran NU di lingkup global ini akan mengantarkan NU sebagai organisasi yang, selain mempunyai jaringan yang luas, tetapi juga akan menjawab bahwa NU bukanlah organisasi orang-orang ndeso, yang bisanya hanya tahlilan dan jauh modernisasi dan transformasi pemikiran.
Peran NU di tingkat global ini sangatlah penting. Mengingat NU merupakan organisasi yang mempunyai massa yang sangat besar sekali, sehingga banyaknya jaringan dari berbagai negara akan memberikan kemudahan bagi warga NU untuk lebih meningkatkan kualitasnya dalam berbagai bidang kehidupan. Terlebih lagi dalam hal sumber daya manusia (SDM). Rendahnya kualitas SDM yang dimiliki warga NU inilah yang harus segera "dientas" oleh para pimpinan NU. Karena bagimanapun, kekuatan SDM NU hari ini akan sangat menentukan keberlangsungan NU di masa depan. Pencerahan yang telah dilakukan para ulama dulu merupakan tanggung jawab besar yang harus dipikul generasi muda NU di masa mendatang.
Selain revitalisasi peran tersebut, sebuah agenda besar juga menjadi topik yang hangat pada kesempatan konferensi tersebut. Yakni bagaimana membangun keberagamaan masyarakat yang toleran, berkeadilan, dan moderat. Berbagai fenomena yang terjadi di belahan dunia sekarang ini menunjukkan bahwa umat beragama, khususnya umat Islam, selalu dituding menjadi "biang kerok" dalam berbagai terorisme global. Islam yang tadinya merupakan agama yang penuh kedamaian (sesuai dengan namanya, Islam, memberi keselamatan pada sesama) telah disitorsikan umatnya menjadi agama yang penuh kejahatan, terror, dan bahkan agama "pengacau keamanan dunia". Dalam bahasa Pak Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU), Islam menjadi agama yang marah bukan agama yang ramah.
Cita-cita luhur agama untuk membawa perdamaian dan keselamatan seolah-olah semakin jauh dari kenyataan. Ini karena sebagaian kaum Muslim sering mendistorsi ajaran-ajaran Islam yang sebetulnya membawa kedamaian. Hal ini dipicu oleh adanya anggapan kaum fundamentalis bahwa ketertinggalan dan keterbelakangan umat Islam di berbagai penjuru dunia telah menyulut mereka untuk mengembalikan dan merengguk zaman keemasan yang hilang beberapa abad terakhir dengan model dan jalan apapun. Bagi mereka membagun Islam sebagai sebuah ideologi adalah keniscayaan. Maka doktrin yang sering mengemuka diantara mereka antara lain, Islam sebuah alternatif (al-islam huwa al-hal), menegakkan syariat Islam (tatbiq al-syariah), mendirikan negara Islam (al-khilafah al-islamiyah), Islam senantiasa powerfull dan tak tertandingi (al-islam yalu wala yula alaihi), Islam kompatabel untuk semua ruiang dan waktu (al-islam sholihun likulli zamanin wamakanin).
Realitas di atas merupakan embrio fundamentalisme Islam yang mengakibatkan mereka terjebak dalam pemahaman doktrin yang teosentrin. Mereka merupakan paham dan gerakan yang menyejarah dan bersifat massif dalam memahami doktrin-doktrin keagaman. Nashr Hamid Abu Zayd menyebut fenomena ini sebagai karakteristik dari peradaban teks (hadharat al-nash), sehingga membentuk masyarakat yang sangat menghargai teks. Tektualitas inilah yang membentuk keberagaman teosentris, yakni pandangan keagamaan mereka merujuk pada Tuhan, sedangkan yang lain dianggap merujuk selain Tuhan. Mereka mengklaim paling benar dan menolak keberagaman golongan lain (Zuhairi Misrawi, 2003). Azyumardi Azra (2002) mengkategorikan kelompok ini sebagai kelompok salafi radikal, yang berorientasi pada penegakan pengamalan Islam yang murni, Islam otentik yang dipraktikkan Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Mereka disebut salafi radikal karena mereka cenderung menempuh pendekatan dan cara-cara keras untuk mencapai tujuan, dari pada dengan pendekatan dan cara-cara yang damai dan persuasif.
Bentuk fundamenatlisme di atas lebih parah lagi ketika dibarengi dengan nilai-nilai yang radikal. Radikalisme sering kali menggunakan pemaksaan dan kekerasan sebagai alternatif untuk menggolkan pandangannya. Dalam misinya ini mereka cenderung menolak, mengganti sistem dan membenarkan kekerasan. Falsafikasi yang dijadikan landasan mereka adalah klaim mayoritas. Seperti mayoritas umat Islam di tanah air ini, yang sering dijadikan landasan untuk mendesak pandangan mereka untuk menetapkan hukum Islam (syariat).
Keberagamaan tersebut di atas perlu diantisipasi tidak hanya secara nasional namun harus secara global. Kalau di Indonesia, NU dan Muhammadiyah sudah berperan aktif mensosialisasikan dan membangun keberagamaan yang hanif, namun secara global, tetap Indonesia belum dianggap "bersih" dari sarang teroris. Maka dari itu, momentum konferensi ilmuan internasional merupakan momentum yang sangat strategis bagi NU khususnya dan masyarakat Indonesia untuk menyarakan moderatisme keberagamaan. Kaum moderat harus selalu mengedepankan sikap-sikap toleran (tasamuh), seimbang (tawazun), dan kedamaian (salam). Yang kesemuanya ini akan mendorong keberagaman secara hanif dan progresif. Membangun koalisi kaum moderat di tingkat global pada konferensi ini sungguh akan memberikan keuntungan yang luar biasa bagi masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Dan NU sebagai penggagas konferensi akan menjadi "pahlawan" yang menjadikannya sebagai organisasi yang kuat diakar rumput (grass root) sebagai basis massanya dan tetap mampu menjalin hubungan internasional secara luas. Hal ini sangat penting bagi NU untuk mengatakan pada dunia bahwa NU adalah organisasi yang kuat, modern, dan mempunyai kekuatan yang luar biasa.
*) Penulis adalah pemerhati sosial kemasyarakatan, staf pengajar PP. Sunan Ampel Jombang.
http://www.pelita.or.id/
Pada tanggal 4-6 Februari 2004 lalu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali membuat acara yang spektakuler sekali. Yakni mengumpulkan para ilmuan dunia dalam sebuah konferensi guna membahas problematika kehidupan dunia global sekarang ini. Konferensi yang merupakan hasil kerjasama antara PBNU dan Departemen Luar Negeri (Deplu) ini sungguh luar biasa. Kalau selama ini Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah begitu getolnya melawan korupsi dengan berbagai kalangan LSM dan media, sekarang NU memelopori sebuah konferensi untuk menggalang kekuatan dunia guna membendung berbagai krisis yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Momentum konferensi ini akan membawa sebuah perhelatan yang luar biasa. NU sebagai sebuah lembaga sosial keagamaan yang menitik beratkan objeknya pada pengembangan masyarakat, dalam konferensi ini akan menjadi liputan yang menarik sekali. Kegagalan peran NU dalam dunia politik pada tahun-tahun lalu merupakan ibrah (pelajaran) agar NU tampil kembali membangun kekuatannya dalam merumuskan kebijakan menuju maslahatul ummah (kesejahteraan rakyat). Membangun masyarakat Madani (civil society) merupakan konsentrasi NU dimasa sekarang dan akan datang. Maka dari itu, menggalang kekuatan guna membangun sebuah civil society baik secara intern maupun ekstern, nasional maupun internasional, adalah sebuah keniscayaan. Dalam kesempatan konferensi ini, jelas, peran serta NU dalam membangun keberadaan civil soviety semakin vital. Revitalisasi peran NU di lingkup global ini akan mengantarkan NU sebagai organisasi yang, selain mempunyai jaringan yang luas, tetapi juga akan menjawab bahwa NU bukanlah organisasi orang-orang ndeso, yang bisanya hanya tahlilan dan jauh modernisasi dan transformasi pemikiran.
Peran NU di tingkat global ini sangatlah penting. Mengingat NU merupakan organisasi yang mempunyai massa yang sangat besar sekali, sehingga banyaknya jaringan dari berbagai negara akan memberikan kemudahan bagi warga NU untuk lebih meningkatkan kualitasnya dalam berbagai bidang kehidupan. Terlebih lagi dalam hal sumber daya manusia (SDM). Rendahnya kualitas SDM yang dimiliki warga NU inilah yang harus segera "dientas" oleh para pimpinan NU. Karena bagimanapun, kekuatan SDM NU hari ini akan sangat menentukan keberlangsungan NU di masa depan. Pencerahan yang telah dilakukan para ulama dulu merupakan tanggung jawab besar yang harus dipikul generasi muda NU di masa mendatang.
Selain revitalisasi peran tersebut, sebuah agenda besar juga menjadi topik yang hangat pada kesempatan konferensi tersebut. Yakni bagaimana membangun keberagamaan masyarakat yang toleran, berkeadilan, dan moderat. Berbagai fenomena yang terjadi di belahan dunia sekarang ini menunjukkan bahwa umat beragama, khususnya umat Islam, selalu dituding menjadi "biang kerok" dalam berbagai terorisme global. Islam yang tadinya merupakan agama yang penuh kedamaian (sesuai dengan namanya, Islam, memberi keselamatan pada sesama) telah disitorsikan umatnya menjadi agama yang penuh kejahatan, terror, dan bahkan agama "pengacau keamanan dunia". Dalam bahasa Pak Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU), Islam menjadi agama yang marah bukan agama yang ramah.
Cita-cita luhur agama untuk membawa perdamaian dan keselamatan seolah-olah semakin jauh dari kenyataan. Ini karena sebagaian kaum Muslim sering mendistorsi ajaran-ajaran Islam yang sebetulnya membawa kedamaian. Hal ini dipicu oleh adanya anggapan kaum fundamentalis bahwa ketertinggalan dan keterbelakangan umat Islam di berbagai penjuru dunia telah menyulut mereka untuk mengembalikan dan merengguk zaman keemasan yang hilang beberapa abad terakhir dengan model dan jalan apapun. Bagi mereka membagun Islam sebagai sebuah ideologi adalah keniscayaan. Maka doktrin yang sering mengemuka diantara mereka antara lain, Islam sebuah alternatif (al-islam huwa al-hal), menegakkan syariat Islam (tatbiq al-syariah), mendirikan negara Islam (al-khilafah al-islamiyah), Islam senantiasa powerfull dan tak tertandingi (al-islam yalu wala yula alaihi), Islam kompatabel untuk semua ruiang dan waktu (al-islam sholihun likulli zamanin wamakanin).
Realitas di atas merupakan embrio fundamentalisme Islam yang mengakibatkan mereka terjebak dalam pemahaman doktrin yang teosentrin. Mereka merupakan paham dan gerakan yang menyejarah dan bersifat massif dalam memahami doktrin-doktrin keagaman. Nashr Hamid Abu Zayd menyebut fenomena ini sebagai karakteristik dari peradaban teks (hadharat al-nash), sehingga membentuk masyarakat yang sangat menghargai teks. Tektualitas inilah yang membentuk keberagaman teosentris, yakni pandangan keagamaan mereka merujuk pada Tuhan, sedangkan yang lain dianggap merujuk selain Tuhan. Mereka mengklaim paling benar dan menolak keberagaman golongan lain (Zuhairi Misrawi, 2003). Azyumardi Azra (2002) mengkategorikan kelompok ini sebagai kelompok salafi radikal, yang berorientasi pada penegakan pengamalan Islam yang murni, Islam otentik yang dipraktikkan Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Mereka disebut salafi radikal karena mereka cenderung menempuh pendekatan dan cara-cara keras untuk mencapai tujuan, dari pada dengan pendekatan dan cara-cara yang damai dan persuasif.
Bentuk fundamenatlisme di atas lebih parah lagi ketika dibarengi dengan nilai-nilai yang radikal. Radikalisme sering kali menggunakan pemaksaan dan kekerasan sebagai alternatif untuk menggolkan pandangannya. Dalam misinya ini mereka cenderung menolak, mengganti sistem dan membenarkan kekerasan. Falsafikasi yang dijadikan landasan mereka adalah klaim mayoritas. Seperti mayoritas umat Islam di tanah air ini, yang sering dijadikan landasan untuk mendesak pandangan mereka untuk menetapkan hukum Islam (syariat).
Keberagamaan tersebut di atas perlu diantisipasi tidak hanya secara nasional namun harus secara global. Kalau di Indonesia, NU dan Muhammadiyah sudah berperan aktif mensosialisasikan dan membangun keberagamaan yang hanif, namun secara global, tetap Indonesia belum dianggap "bersih" dari sarang teroris. Maka dari itu, momentum konferensi ilmuan internasional merupakan momentum yang sangat strategis bagi NU khususnya dan masyarakat Indonesia untuk menyarakan moderatisme keberagamaan. Kaum moderat harus selalu mengedepankan sikap-sikap toleran (tasamuh), seimbang (tawazun), dan kedamaian (salam). Yang kesemuanya ini akan mendorong keberagaman secara hanif dan progresif. Membangun koalisi kaum moderat di tingkat global pada konferensi ini sungguh akan memberikan keuntungan yang luar biasa bagi masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Dan NU sebagai penggagas konferensi akan menjadi "pahlawan" yang menjadikannya sebagai organisasi yang kuat diakar rumput (grass root) sebagai basis massanya dan tetap mampu menjalin hubungan internasional secara luas. Hal ini sangat penting bagi NU untuk mengatakan pada dunia bahwa NU adalah organisasi yang kuat, modern, dan mempunyai kekuatan yang luar biasa.
*) Penulis adalah pemerhati sosial kemasyarakatan, staf pengajar PP. Sunan Ampel Jombang.
Hari Aksara Sedunia, 8 September 2009
Indonesia Perlu Terobosan Jitu
Muhammadun A.S.
http://www.jawapos.co.id/
TANGGAL 8 September adalah Hari Aksara Sedunia. Bagi bangsa Indonesia, peringatan itu sangat strategis untuk merumuskan kembali kebijakan negara terkait dengan kondisi buta aksara yang masih mendera rakyat Indonesia.
Terlebih lagi, pada awal pemerintahannya, Presiden SBY menargetkan 95 persen penduduk Indonesia pada 2009 sudah melek aksara. Ini berarti pemerintah harus segera melakukan terobosan kebijakan agar buta aksara yang masih mendera segera mangkat, pergi dengan cepat. Sebab, buta aksara sangat berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia (HDI). Tinggi-rendahnya buta aksara akan menjadi penentu utama tinggi-rendahnya kualitas pembangunan manusia Indonesia.
Menurut Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), jumlah penduduk buta aksara di Indonesia saat ini tinggal 10,1 juta orang. Angka itu turun 1,7 juta orang jika dibandingkan dengan tahun 2007 yang tercacat 11,8 juta orang. Pada akhir 2009, jumlah penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas ditargetkan tinggal 7,7 juta orang.
Berdasar data Depdiknas, hingga 2007, jumlah buta aksara paling banyak di Jawa Timur, yakni 3,3 juta orang, kemudian disusul Jawa Tengah 2,25 juta orang. Namun, dilihat dari persentasenya, buta huruf paling tinggi di Papua, yakni 3.335.868 orang atau sekitar 24,88 persen dari jumlah penduduk. Adapun buta huruf paling sedikit terdapat di Sulawesi Utara, yakni 15.589 orang, disusul DKI Jakarta 69.822 orang (Kompas, 05/09/2008).
Kalau memang benar, data yang disuguhkan Depdiknas tersebut cukup memberikan aplaus bagi pemerintah. Data itu memberikan harapan akan optimisme merealisasikan pemberantasan buta aksara secara maksimal. Optimisme ini terkait dengan problem bahwa pemberantasan buta aksara yang dicanangkan pemerintah tidak menjamin bahwa mereka akan melek aksara terus. Sebab, terkait dengan berbagai hal, sangat mungkin mereka yang sudah melek itu akan kembali buta aksara. Hal ini juga diakui Depdiknas. Artinya, perlu kerangka kebijakan yang sistematis dan berkelanjutan dalam menciptakan masyarakat Indonesia yang bebas buta aksara.
Agenda pemberantasan buta aksara dalam gerak kebijakan yang dilakukan pemerintah selama ini terkendala oleh beberapa hal. Pertama, mereka berasal dari keluarga miskin. Kemiskinan sering menjadi kendala sangat praktis dalam upaya pembelajaran masyarakat. Mereka sibuk dengan agenda setiap hari dalam upaya mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Karena sibuk dengan ritualisme kerja sehari-hari, mereka menganggap melek atau buta aksara itu tidak penting. Bagi mereka, mengatasi masalah kemiskinan jauh lebih urgen di tengah balutan krisis multidimensi.
Kedua, mereka berada di daerah terpencil dan pelosok. Karena jauh dari pusat kebudayaan dan pusat peradaban, masyarakat menganggap diri mereka sebagai sosok inferior. Menjadi masyarakat terbelakang dipahami secara kodrati sehingga upaya dan usaha pemberatasan buta aksara tidak begitu penting dalam agenda kemasyaratan. Sebab, melek aksara belum mereka sadari sebagai bagian dari upaya penciptaan kemajuan dan kesejahteraan.
Ketiga, karena paradigma berpikir yang kalut tersebut, mereka kemudian tidak mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Belajar sudah tidak menjadi prioritas kerja sehari-hari mereka. Mereka menganggap sudah terlambat untuk belajar. Yang lebih tragis, belajar bagi mereka malah dianggap membuang waktu saja. Pola pemikiran yang demikian masih menggejala dalam tradisi masyarakat Indonesia. Bukan hanya mereka yang masih buta aksara, mereka yang sudah melek aksara pun masih enggan dan bermalas-malas dalam meningkatkan belajar serta tradisi membaca. Belajar dan membaca sering dianggap sesuatu yang "aneh" dan sok belajar. Inilah yang masih dilematis dalam struktur kesadaran masyarakat Indonesia.
Di tengah problem kalut tersebut, sudah saatnya dalam rangka merealisasikan pemberantasan buta aksara, pemerintah bekerja sama dengan berbagai pihak melakukan kerja sosial yang strategis, sistematis, dan berkelanjutan. Pertama, membongkar kesadaran semu ihwal belajar. Kesadaran akan lemahnya motivasi belajar merupakan pangkal persoalan dalam pemberantasan buta aksara. Berbagai program bisa diproyeksikan, tetapi kalau masyarakat enggan dan tidak punya semangat belajar, hasilnya pasti tidak maksimal. Kesadaran semu itu perlu dibongkar, diganti dengan kesadaran autentik ihwal motivasi belajar yang total dan penuh kesungguhan.
Kedua, memaksimalkan kerja sama dengan perguruan tinggi negeri dan swasta dalam upaya gerakan masif pemberantasan buta aksara. Kerja sama tersebut bisa dilakukan lewat program kuliah kerja nyata (KKN) yang langsung masuk dalam jantung tradisi masyarakat. Kalau selama ini kerja sama itu sudah dilakukan, maka perlu upaya maksimalisasi di berbagai tempat terpelosok dan marginal. Kerja sama tersebut akan sangat efektif kalau pemerintah dan perguruan tinggi juga bekerja sama dengan berbagai lembaga sosial yang mempunyai basis kultural yang jelas di berbagai daerah terpelosok itu. Misalnya, bekerja sama dengan organisasi sosial keagamaan yang mempunyai tradisi ritual keagamaan yang ajek dalam masyarakat. Kampanye pemberatasan buta aksara dapat dimaksimalkan dalam berbagai ritual keagamaan, terlebih bila dikampanyekan oleh agamawan dan tokoh masyarakat lokal.
Ketiga, program itu diintegrasikan dengan program pemerintah lainnya. Dalam konteks sekarang, maksimalisasi pemberantasan buta aksara bisa dilanjutkan lewat anggaran pendidikan 20 persen. Anggaran 20 persen dari total APBN dapat dijadikan modal berharga dalam menciptakan masyarakat yang melek aksara. Anggaran besar tersebut jangan hanya diorientasikan dalam penjaminan mutu (quality assurance) pendidikan menengah dan tinggi. Kaum buta aksara harus diperhatikan dengan serius sehingga indeks pembangunan manusia (HDI) semakin meningkat.
Demi masa depan bangsa, buta aksara harus kita berantas. Melek aksara adalah bagian penting pemenuhan hak asasi manusia (HAM). Peringatan Hari Aksara Sedunia menjadi catatan penting bagi Indonesia untuk terus berbenah menyongsong mimpi visi Indonesia 2030 yang maju dan berkeadaban.
*) Peneliti Cepdes Jakarta.
Muhammadun A.S.
http://www.jawapos.co.id/
TANGGAL 8 September adalah Hari Aksara Sedunia. Bagi bangsa Indonesia, peringatan itu sangat strategis untuk merumuskan kembali kebijakan negara terkait dengan kondisi buta aksara yang masih mendera rakyat Indonesia.
Terlebih lagi, pada awal pemerintahannya, Presiden SBY menargetkan 95 persen penduduk Indonesia pada 2009 sudah melek aksara. Ini berarti pemerintah harus segera melakukan terobosan kebijakan agar buta aksara yang masih mendera segera mangkat, pergi dengan cepat. Sebab, buta aksara sangat berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia (HDI). Tinggi-rendahnya buta aksara akan menjadi penentu utama tinggi-rendahnya kualitas pembangunan manusia Indonesia.
Menurut Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), jumlah penduduk buta aksara di Indonesia saat ini tinggal 10,1 juta orang. Angka itu turun 1,7 juta orang jika dibandingkan dengan tahun 2007 yang tercacat 11,8 juta orang. Pada akhir 2009, jumlah penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas ditargetkan tinggal 7,7 juta orang.
Berdasar data Depdiknas, hingga 2007, jumlah buta aksara paling banyak di Jawa Timur, yakni 3,3 juta orang, kemudian disusul Jawa Tengah 2,25 juta orang. Namun, dilihat dari persentasenya, buta huruf paling tinggi di Papua, yakni 3.335.868 orang atau sekitar 24,88 persen dari jumlah penduduk. Adapun buta huruf paling sedikit terdapat di Sulawesi Utara, yakni 15.589 orang, disusul DKI Jakarta 69.822 orang (Kompas, 05/09/2008).
Kalau memang benar, data yang disuguhkan Depdiknas tersebut cukup memberikan aplaus bagi pemerintah. Data itu memberikan harapan akan optimisme merealisasikan pemberantasan buta aksara secara maksimal. Optimisme ini terkait dengan problem bahwa pemberantasan buta aksara yang dicanangkan pemerintah tidak menjamin bahwa mereka akan melek aksara terus. Sebab, terkait dengan berbagai hal, sangat mungkin mereka yang sudah melek itu akan kembali buta aksara. Hal ini juga diakui Depdiknas. Artinya, perlu kerangka kebijakan yang sistematis dan berkelanjutan dalam menciptakan masyarakat Indonesia yang bebas buta aksara.
Agenda pemberantasan buta aksara dalam gerak kebijakan yang dilakukan pemerintah selama ini terkendala oleh beberapa hal. Pertama, mereka berasal dari keluarga miskin. Kemiskinan sering menjadi kendala sangat praktis dalam upaya pembelajaran masyarakat. Mereka sibuk dengan agenda setiap hari dalam upaya mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Karena sibuk dengan ritualisme kerja sehari-hari, mereka menganggap melek atau buta aksara itu tidak penting. Bagi mereka, mengatasi masalah kemiskinan jauh lebih urgen di tengah balutan krisis multidimensi.
Kedua, mereka berada di daerah terpencil dan pelosok. Karena jauh dari pusat kebudayaan dan pusat peradaban, masyarakat menganggap diri mereka sebagai sosok inferior. Menjadi masyarakat terbelakang dipahami secara kodrati sehingga upaya dan usaha pemberatasan buta aksara tidak begitu penting dalam agenda kemasyaratan. Sebab, melek aksara belum mereka sadari sebagai bagian dari upaya penciptaan kemajuan dan kesejahteraan.
Ketiga, karena paradigma berpikir yang kalut tersebut, mereka kemudian tidak mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Belajar sudah tidak menjadi prioritas kerja sehari-hari mereka. Mereka menganggap sudah terlambat untuk belajar. Yang lebih tragis, belajar bagi mereka malah dianggap membuang waktu saja. Pola pemikiran yang demikian masih menggejala dalam tradisi masyarakat Indonesia. Bukan hanya mereka yang masih buta aksara, mereka yang sudah melek aksara pun masih enggan dan bermalas-malas dalam meningkatkan belajar serta tradisi membaca. Belajar dan membaca sering dianggap sesuatu yang "aneh" dan sok belajar. Inilah yang masih dilematis dalam struktur kesadaran masyarakat Indonesia.
Di tengah problem kalut tersebut, sudah saatnya dalam rangka merealisasikan pemberantasan buta aksara, pemerintah bekerja sama dengan berbagai pihak melakukan kerja sosial yang strategis, sistematis, dan berkelanjutan. Pertama, membongkar kesadaran semu ihwal belajar. Kesadaran akan lemahnya motivasi belajar merupakan pangkal persoalan dalam pemberantasan buta aksara. Berbagai program bisa diproyeksikan, tetapi kalau masyarakat enggan dan tidak punya semangat belajar, hasilnya pasti tidak maksimal. Kesadaran semu itu perlu dibongkar, diganti dengan kesadaran autentik ihwal motivasi belajar yang total dan penuh kesungguhan.
Kedua, memaksimalkan kerja sama dengan perguruan tinggi negeri dan swasta dalam upaya gerakan masif pemberantasan buta aksara. Kerja sama tersebut bisa dilakukan lewat program kuliah kerja nyata (KKN) yang langsung masuk dalam jantung tradisi masyarakat. Kalau selama ini kerja sama itu sudah dilakukan, maka perlu upaya maksimalisasi di berbagai tempat terpelosok dan marginal. Kerja sama tersebut akan sangat efektif kalau pemerintah dan perguruan tinggi juga bekerja sama dengan berbagai lembaga sosial yang mempunyai basis kultural yang jelas di berbagai daerah terpelosok itu. Misalnya, bekerja sama dengan organisasi sosial keagamaan yang mempunyai tradisi ritual keagamaan yang ajek dalam masyarakat. Kampanye pemberatasan buta aksara dapat dimaksimalkan dalam berbagai ritual keagamaan, terlebih bila dikampanyekan oleh agamawan dan tokoh masyarakat lokal.
Ketiga, program itu diintegrasikan dengan program pemerintah lainnya. Dalam konteks sekarang, maksimalisasi pemberantasan buta aksara bisa dilanjutkan lewat anggaran pendidikan 20 persen. Anggaran 20 persen dari total APBN dapat dijadikan modal berharga dalam menciptakan masyarakat yang melek aksara. Anggaran besar tersebut jangan hanya diorientasikan dalam penjaminan mutu (quality assurance) pendidikan menengah dan tinggi. Kaum buta aksara harus diperhatikan dengan serius sehingga indeks pembangunan manusia (HDI) semakin meningkat.
Demi masa depan bangsa, buta aksara harus kita berantas. Melek aksara adalah bagian penting pemenuhan hak asasi manusia (HAM). Peringatan Hari Aksara Sedunia menjadi catatan penting bagi Indonesia untuk terus berbenah menyongsong mimpi visi Indonesia 2030 yang maju dan berkeadaban.
*) Peneliti Cepdes Jakarta.
Membangunkan Indonesia yang Terlelap
Judul Buku: Indonesia... BANGKIT!!!
Penulis: Tung Desem Waringin, Dkk.
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: cetakan I, 2009
Tebal: viii + 235
Peresensi: Naqib Najah*
http://www.harianbatampos.com/
Bila mereka yang bergelut di dunia politik sibuk mengurus persiapan Pemilu Presiden Juli mendatang, maka tak ada salahnya jika para ahli psikologi berkumpul meramu motivasi bagi negara yang tak kunjung lepas dari dilema ini. Inilah sumbangsih sekaligus bentuk solidaritas untuk membangun bangsa. Teriakkan Indonesia.... Bangkit!!! Begitulah yang diharapkan oleh para trainer motivasi dalam buku ini.
Memang benar adanya, bahwa kemajuan sebuah bangsa tergantung pada mobilitas mereka yang duduk di kursi negara. Namun siapapun tak bisa menolak bahwa memajukan (atau kalau boleh dibahasakan ‘mendidik’) jiwa rakyat adalah tugas penting yang tidak boleh disepelekan. Sebab dimana terdapat jiwa yang besar, maka lahirlah bangsa yang penuh kewibawaan. Namun sayangnya, banyak di antara pejabat negeri yang justru lupa dengan hal ini. Mereka sibuk merancang UU negara, tapi sedikit sekali yang peduli dengan mental rakyatnya.
Telinga kita sudahlah akrab akan pedoman yang mengatakan: kenyamanan hidup lebih penting ketimbang kemegahan, dan kekayaan hait lebih berharga daripada kekayaan materi; maka membangun jiwa rakyat sangatlah perlu mengingat kondisi negeri yang semakin parah ini. Ya, setidaknya bila ekonomi negara tak kunjung menemukan titik cerahnya, masyarakat kita masih memiliki jiwa yang luas, lapang akan segala cobaan.
Ibaratnya, para amotivator pada kesempatan kali ini mengajak masyarakat kita untuk rehat sejenak dari keadaan negeri. Dari hiruk-pikuk persiapan pemilu, dari kebisingan janji calon pemimpin negara yang sangat klise itu. Lewat buku yang tak sebegitu tebal ini, Pembaca diharapkan merasuk sebentar ke alam pikir mereka. Tariklah sebuah refleksi: benarkah ketidak-beresan negara selama ini seratus persen kesalahan para pemimpin?
Tak ada salahnya rakyat melayangkan suaranya, sah-sah saja mereka berdemo menuntut ini menuntut itu...... namun sebelum kita tenggelam jauh, alangkah baiknya kita menelisik jiwa secara lebih intens lagi. Bisa jadi, apa yang selama ini kita anggap sebagai ketidak beresan, adalah perantara jiwa kita yang salah menanggapi keadaan (baca: sikon). Ya, bisa saja suara-suara sumbang yang kita koarkan di hadapan gedung pemerintah itu, hanya karena jiwa kita yang tidak bisa menakar antara ditindasnya hak dengan proses menemukan kesejatian revolusi.
Sebagai rakyat, nampaknya sangat perlu berpikir positif terhadap kinerja atasan. Di sinilah lahan terciptanya interaksi dua kubu (rakyat dan pemimpin) yang bila terjalin sedemikian erat, maka akan terwujudlah ketentraman.
Termasuk berpikir positif, adalah memahami bahwa bangsa ini sedang menjalanai masa penemuan jati diri. Terlepas dari lama dan tidaknya proses penemuan tersebut, yang pasti demikianlah keadaannya. Bangsa Indonesia sedang berproses menuju kedewasaan, biarlah kepahitan dia kecap. Hal ini terlihat, setidaknya dari orasi kaum elit politik yang selalu menyertakan kata perubahan di setiap pidatonya. Bisa dipahami, siapa yang berusaha menemukan jati diri, tentunya menemukan kepahitan pula di tengah pencariannya itu. Oleh karenanya, menggiring psikologi rakyat, mengajak nalar mereka untuk sadar bahwa kesakitan rakyat tidak seratus persen kecurangan UU negara, atau ketidak sanggupan pemimpin untuk membangun sebuah bangsa. Barangkali saja, ini adalah imbas dari proses pencarian di atas.
Menakar antara ditindasnya hak dengan kesadaran arti proses sangatlah penting. Supaya aksi protes kita benar-benar didahului refleksi panjang, bukan sekedar gembar-gembor hak belaka. Ya, marilah menelaah kembali, mana hak yang sangat tertindas, dan mana kesadaran kita untuk melihat bahwa kesakitan kita adalah proses menuju kedewasaan bangsa.
Sebagai penerbit yang berinteraksi dengan penulis buku motivasi, kami melihat bahwa negara kita mempunyai masalah besar dalam cara berpikir (mind-set), begitu penerbit memberikan kata pengantarnya.
Patut sekali kita mengapresiasikan buku karya beberapa trainer motivasi kelas atas ini. Sebutlah, Adi W. Gunawan, Andrew Ho, Tung Desem Waringin, Anand Khrisna, James Gwee, Tommy Siawira dan beberapa kawan sejawat lainnya. Bahwa tak bisa dipungkiri, kehadiran para motivator telah memberi warna bagi bangsa ini, (hal. Viii).
Mereka (para motivator) berniat membangun bangsa bukan lewat rancangan UU, atau pencalonan diri sebagai anggota Legislatif, namun justru lewat titik kecil yang sangat esensial untuk kebangitan sebuah negeri. “Titik kecil” itu adalah, berbagi (ingat, ‘berbagi’ bukan ‘memberi’) motivasi kepada rakyat jelata. Dua hal yang terpikirkan oleh kami adalah sumbangan material kepada masyarakat kita yang terpuruk dan sumbangan inspirasi serta semangat atau motivasi kepada saudara-saudara sebangsa yang yang tenggelam dalam arus pesimisme dan keputusasaan, lanjut pengantar penerbit.
Biarlah kaum elit politik bermain dengan undang-undang, dan mereka (ahli motivasi) mentransfer inspirasi ke lubang jiwa manusia. Sebab Tuhan memberikan keunggulan pada jiwa masing-masing, sebab Tuhan mentakdirkan jalan yang berbeda bagi makhlukNya.
Barulah 20 Mei kemarin negeri ini marak oleh akan kata kebangkitan: Bangkitlah... Bangkitlah!!! Sebenarnya, kebangkitan seperti apakah yang kita maksud? Patut sekali kita menelaah arti kebangkitan tersebut...
***
*) Sampai saat ini, masih tercatat sebagai anggota Komunitas KUTUB Yogyakarta.
Penulis: Tung Desem Waringin, Dkk.
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: cetakan I, 2009
Tebal: viii + 235
Peresensi: Naqib Najah*
http://www.harianbatampos.com/
Bila mereka yang bergelut di dunia politik sibuk mengurus persiapan Pemilu Presiden Juli mendatang, maka tak ada salahnya jika para ahli psikologi berkumpul meramu motivasi bagi negara yang tak kunjung lepas dari dilema ini. Inilah sumbangsih sekaligus bentuk solidaritas untuk membangun bangsa. Teriakkan Indonesia.... Bangkit!!! Begitulah yang diharapkan oleh para trainer motivasi dalam buku ini.
Memang benar adanya, bahwa kemajuan sebuah bangsa tergantung pada mobilitas mereka yang duduk di kursi negara. Namun siapapun tak bisa menolak bahwa memajukan (atau kalau boleh dibahasakan ‘mendidik’) jiwa rakyat adalah tugas penting yang tidak boleh disepelekan. Sebab dimana terdapat jiwa yang besar, maka lahirlah bangsa yang penuh kewibawaan. Namun sayangnya, banyak di antara pejabat negeri yang justru lupa dengan hal ini. Mereka sibuk merancang UU negara, tapi sedikit sekali yang peduli dengan mental rakyatnya.
Telinga kita sudahlah akrab akan pedoman yang mengatakan: kenyamanan hidup lebih penting ketimbang kemegahan, dan kekayaan hait lebih berharga daripada kekayaan materi; maka membangun jiwa rakyat sangatlah perlu mengingat kondisi negeri yang semakin parah ini. Ya, setidaknya bila ekonomi negara tak kunjung menemukan titik cerahnya, masyarakat kita masih memiliki jiwa yang luas, lapang akan segala cobaan.
Ibaratnya, para amotivator pada kesempatan kali ini mengajak masyarakat kita untuk rehat sejenak dari keadaan negeri. Dari hiruk-pikuk persiapan pemilu, dari kebisingan janji calon pemimpin negara yang sangat klise itu. Lewat buku yang tak sebegitu tebal ini, Pembaca diharapkan merasuk sebentar ke alam pikir mereka. Tariklah sebuah refleksi: benarkah ketidak-beresan negara selama ini seratus persen kesalahan para pemimpin?
Tak ada salahnya rakyat melayangkan suaranya, sah-sah saja mereka berdemo menuntut ini menuntut itu...... namun sebelum kita tenggelam jauh, alangkah baiknya kita menelisik jiwa secara lebih intens lagi. Bisa jadi, apa yang selama ini kita anggap sebagai ketidak beresan, adalah perantara jiwa kita yang salah menanggapi keadaan (baca: sikon). Ya, bisa saja suara-suara sumbang yang kita koarkan di hadapan gedung pemerintah itu, hanya karena jiwa kita yang tidak bisa menakar antara ditindasnya hak dengan proses menemukan kesejatian revolusi.
Sebagai rakyat, nampaknya sangat perlu berpikir positif terhadap kinerja atasan. Di sinilah lahan terciptanya interaksi dua kubu (rakyat dan pemimpin) yang bila terjalin sedemikian erat, maka akan terwujudlah ketentraman.
Termasuk berpikir positif, adalah memahami bahwa bangsa ini sedang menjalanai masa penemuan jati diri. Terlepas dari lama dan tidaknya proses penemuan tersebut, yang pasti demikianlah keadaannya. Bangsa Indonesia sedang berproses menuju kedewasaan, biarlah kepahitan dia kecap. Hal ini terlihat, setidaknya dari orasi kaum elit politik yang selalu menyertakan kata perubahan di setiap pidatonya. Bisa dipahami, siapa yang berusaha menemukan jati diri, tentunya menemukan kepahitan pula di tengah pencariannya itu. Oleh karenanya, menggiring psikologi rakyat, mengajak nalar mereka untuk sadar bahwa kesakitan rakyat tidak seratus persen kecurangan UU negara, atau ketidak sanggupan pemimpin untuk membangun sebuah bangsa. Barangkali saja, ini adalah imbas dari proses pencarian di atas.
Menakar antara ditindasnya hak dengan kesadaran arti proses sangatlah penting. Supaya aksi protes kita benar-benar didahului refleksi panjang, bukan sekedar gembar-gembor hak belaka. Ya, marilah menelaah kembali, mana hak yang sangat tertindas, dan mana kesadaran kita untuk melihat bahwa kesakitan kita adalah proses menuju kedewasaan bangsa.
Sebagai penerbit yang berinteraksi dengan penulis buku motivasi, kami melihat bahwa negara kita mempunyai masalah besar dalam cara berpikir (mind-set), begitu penerbit memberikan kata pengantarnya.
Patut sekali kita mengapresiasikan buku karya beberapa trainer motivasi kelas atas ini. Sebutlah, Adi W. Gunawan, Andrew Ho, Tung Desem Waringin, Anand Khrisna, James Gwee, Tommy Siawira dan beberapa kawan sejawat lainnya. Bahwa tak bisa dipungkiri, kehadiran para motivator telah memberi warna bagi bangsa ini, (hal. Viii).
Mereka (para motivator) berniat membangun bangsa bukan lewat rancangan UU, atau pencalonan diri sebagai anggota Legislatif, namun justru lewat titik kecil yang sangat esensial untuk kebangitan sebuah negeri. “Titik kecil” itu adalah, berbagi (ingat, ‘berbagi’ bukan ‘memberi’) motivasi kepada rakyat jelata. Dua hal yang terpikirkan oleh kami adalah sumbangan material kepada masyarakat kita yang terpuruk dan sumbangan inspirasi serta semangat atau motivasi kepada saudara-saudara sebangsa yang yang tenggelam dalam arus pesimisme dan keputusasaan, lanjut pengantar penerbit.
Biarlah kaum elit politik bermain dengan undang-undang, dan mereka (ahli motivasi) mentransfer inspirasi ke lubang jiwa manusia. Sebab Tuhan memberikan keunggulan pada jiwa masing-masing, sebab Tuhan mentakdirkan jalan yang berbeda bagi makhlukNya.
Barulah 20 Mei kemarin negeri ini marak oleh akan kata kebangkitan: Bangkitlah... Bangkitlah!!! Sebenarnya, kebangkitan seperti apakah yang kita maksud? Patut sekali kita menelaah arti kebangkitan tersebut...
***
*) Sampai saat ini, masih tercatat sebagai anggota Komunitas KUTUB Yogyakarta.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito