Kamis, 25 Februari 2010

DENNY MIZHAR DAN ALAM PUITIK GUNUNG KIDUL

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/

Tuhan Yang Aku Penggal Dan Naluri Insani Yang Mati
Denny Mizhar

Aku pernah memenggal nama tuhan
ketika tak kuat menjumpai tempat singgahnya.

Batu-batu kerikil tajam melukai kakiku
di jalan menapaki pertapaan.

Kesunyian singgah dalam kesilaman masa
keharuan menebar putik-putik kamboja
lelah dengan mudah.

Bayangan-bayangan kematiannya
bergelayut di dinding nalarku penuh angka.

Tak habis aku menginjaki nasib selalu patah
warna bercahaya hilang tertutup kabut nestapa.

Penempaan akan diri
kian berulang-ulang dalam kehangatan purnama
ah, masih saja jauh kelanaku, sedang tubuhku penuh darah.

Dengan segala daya aku berlari merangkul sepi
di puncak perbukitan dimana tuhan pernah aku makamkan.

Seketika mulutku berkhotbah
mempertanyakan naluri insani juga mati di bukit putih.
***

Membaca puisi Denny Mizhar, mengingatkanku seringnya terjadi orang kendat, atau bunuh diri di Gunung Kidul (GK). Dari persoalan bermacam-macam yang tampaknya ada kecenderungan nasib pahit, terpancar di balik bencah tanahnya. Kefahaman ini didukung penulis puisi, yang pernah bilang dirinya sedang di sana. Lantas diriku teringat lukisan beraliran dekoratif karya pelukis Harjiman (almarhum), yang seluruh obyek lukisannya mengenai alam GK yang gersang; cucuran air hujan jarang sampai menghijaukan pandang.

GK salah satu kabupaten di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), alamnya dulu sangat kering, tanah merah bercampur bebatu. Padahal masyarakat kebanyakan mengandalkan pertanian, sebagai mata pencarian hidup. Tapi waktu demi waktu insan giat berfikir dan pekerja ulet. Mulai menapaki tangga keindahan, ada yang ke Ibukota dan di Yogyakarta sendiri, demi mencukupi hayatnya. Lantas pemerintahan DIY menggalakkan penghijauan, yang kini dapat dipanen lewat semilir bayu. Namun "tradisi" bunuh diri, masih berjalan di awal tahun 2000-an. Semoga tulisan ini turun, sudah tiada lagi yang mengecutkan nyawa tersebut.

Sebenarnya aku ingin kembarai warna pantai Kroasia lewat google, sebab diriku belum ke sana, terus kujumpai puisi Denny. Lalu kuarahkanlah pada warna lokal yang tidak kalah menariknya, meski laut selatan GK tiada permainan voli pantai dengan pemain yang aduhai. Tapi tanjung karang putihnya ayik juga dipandang mata. Aku mulai saja mengupas karyanya, demi tidak ngelantur tak karuan. Kuterjemahkan perbait, kuanggap Denny Mizhar sudah berkali-kali hatamkan Sabda Zarathustra -Nietzsche, sehingga kudapati lebih naik, meski dengan secarik catatan:

I
Kerap manusia mendapati kesadaran kelemahannya, ketika sudah melampaui batas dinaya, sampai memulangkah apa saja yang diyakini. Saat itu juga, yang ditanggalkan begitu kuat hadir, tapi tak merasakan puncak perjumpaan. Sebab tengah menyatukan kesaksian, semisal jiwa ateis masih merasai kehadiran-Nya, ketika nalar tak mampu menjangkau, melemparkan duga pada hayalan.

II
Di jalanan hidup berliku penuh duri-duri tajam, dari kebodohanlah terlihat adanya kelicikan. Di sini ketakmampuan mencerna terbayang, tapi dengan memasuki goa pertapaan bertafakkur, semuanya terang dalam keinsyafan pemahaman.

III
Dalam sunyi, nilai-nilai bathin yang sudah ditapaki, menyembul mencapai langit-langit goa menyatu ruangan. Memantulkan terang cahaya dari pintu selalu terbuka, sedari pelatarannya tercium bunga harum ingatan kamboja. Bau kewaspadaan disebut keheningan makmur, kelapangan jiwa menerima.

IV
Namun, nalar yang menghitung denting air menetesi batuan putih di lantai goa, melayarkan gambaran usianya. Rumusan hidup dari bacaan, ingatan kalender merayunya berfikir kausalitas. Hati tergoda membentangkan angka, memasukkan dalam makna kesatuan bersusah payah. Serupa peperangan di medan kemanusiawian.

V
Tatkala nalar dilayarkan dengan bukti rangkaian kata "Tak habis aku..." Maka keindahan kalbu yang rapi segugusan cahaya puitik, atas pencarian hakikat dikehendaki puisi itu, membuyar penyesalan tiada habis-habisnya. Kekecewaan tergambar padat, ke puncaknya warna gelap gulita menusuki bagian rasa.

VI
Ialah cahaya-gelap pun purnama, serta bayang-bayang kelebatan dahan, mematangkan makna. Dari gerak itu bukan berasal cahaya, tapi paduan angin perasaan bergetar menyempurnakan kehangatan. Serupa "tubuhku penuh darah" atau rasa meruh di luar, sedang menyaksikan ketelanjangan sendiri.

VII
Di bait ini, logika pemenggal tuhan tak berdaya, kembali ingin mendekapi sunyi, ke hati yang pernah ditinggalkan. Meski dalam tempo detikan, tapi jarak hati dan nalar sungguh jauh, kalau tak sedang merasai kegenapan. Sepadan penyatuan selaras, lalu keduanya (hati-fikiran), bergegas keluar dari goa pertapaan, ke bukit pemakaman tuhan. Perbendaharaan makna, lenyap dari hadapan aku lirik, bermuwajjaha kepada-Nya.

VIII
Akhirnya nasib berkesaksian, lewat mempertanyakan yang tak butuhkan jawaban para penyaksi. Apakah ada atau tidak, mulutnya berucap; bahwa tuhan yang hadir dalam wacana pun, perlu nafas-nafas ruh kehadiran demi kebesaran-Nya. Kalau bukan manusia sendiri tak akan sanggup memaknai, atau terkubur nuraninya di bukit putih.

Rabu, 24 Februari 2010

Kritik Sastra dan Alienasi Kaum Akademisi

Fahrudin Nasrulloh*
http://www.surabayapost.co.id/

Seperti apakah perkembangan sastra mutakhir Jawa Timur? Pertanyaan ini tidak gampang dijawab dalam satu penyoalan tapi justru dari sanalah kita bisa terus berupaya menggalinya dari berbagai perspektif. Perkembangan sastra di Indonesia boleh dikatakan sangat kuat dan menggembirakan. Munculnya berbagai jenis-bentuk dan genre sastra dalam dekade terakhir ini memperkaya khasanah sastra kita; melalui beragam perspektif dari hasil riset mereka di dalam kehidupan dan perkembangan persoalan di wilayah perkotaan yang memunculkan karya-karya yang dapat diandalkan dan mampu mengisi perbendaharaan rohani. Secara khusus misalnya, munculnya para penulis perempuan yang menguakkan diri mereka ke dalam masyarakat melalui novel, cerpen, dan puisi yang nampak seiring dengan tema-teman feminisme yang juga disorot dengan berbagai perspektif lain.

Begitu pula dengan para penulis lainnya yang berusaha untuk lebih memperkaya sastra melalui sejarah lokal melahirkan karya-karya yang bukan hanya dalam perspektif sastra saja, tapi bisa juga sebagai kontribusi di dalam perkembangan pemikiran sosial, antropologi, etnografi, keagamaan, dan lain-lain. Yang menarik, kini kita temukan suatu cara kerja dari kalangan penulis yang dengan intensif melakukan riset dan studi perbandingan melalui penelitian dari perspektif sosiologis, antropologi, etnografi, nilai-nilai religius, politik, etos kerja ekonomi. Semuanya itu dijadikan sebagai bahan dalam penciptaan karya.

Marilah kita ambil contoh puisi karya Mardi Luhung, salah satu penyair Jawa Timur yang kini sangat menonjol bukan hanya di wilayahnya saja, namun juga berpengaruh dalam kehidupan sastra di Indonesia. Puisi yang dihasilkan dari pengamatan yang intensif terhadap berbagai cerita lokal, legenda, mitos, fabel, dan celoteh humor warga serta cara pandang hidup dalam kehidupan seks dan sejarah leluhur keluarga menjadi bagian dari proses penciptaan penyair yang berdomisili di Gresik ini. Sama halnya dengan Nurel Javissyarqi, penyair Lamongan, melalui proses perjalanannya dalam studi keagamaan selama 8 tahun dan proses pencarian dasar-dasar pemikiran lokal yang dipadukan dengan keyakinannya serta sejumlah arus pemikiran global dari para pemikir pos moderen hingga membentuk keunikan dan kelebihan tersendiri pada puisi-puisinya.

Pada wilayah Novel, Mashuri yang dengan tekun dan nampak kuat menciptakan suatu kerangka dan muatan lokal membuat banyak kalangan pengamat sastra di Jakarta terperangah. Sementara itu Zoya Herawati yang kini sedang menyelesaikan suatu novel yang paling tebal di wilayah Jatim dan Indonesia, sekitar 7-8 ratus halaman, merupakan hasil penelitian sepanjang 10 tahun di Madura. Novel dengan latar belakang sejarah sosial pada tahun 1960-an dan ditarik hingga kini, serta ulang-alik pada masa lampau secara terus-menerus, membuktikan, bukan hanya secara teknik, kepiawaian Zoya. Tapi juga memberikan perspektif dan membongkar posisi kaum perempuan akibat sistem politik yang tidak adil.

Itulah kilasan singkat sebagai ilustrasi dari perkembangan mutakhir sastra di Jawa Timur, yang sesungguhnya masih terdapat bukan hanya satu atau dua namun belasan atau bahkan puluhan penulis yang bisa dihandalkan. Jawa Timur sangat mungkin bisa menjadi simpul sejarah sastra seperti juga sastra Jawa lama yang pada abad ke-16 sangat kuat mempengaruhi perkembangan di wilayah Jawa Tengah (baca: Mataram), seperti yang pernah didedahkan oleh de Graaf.

Namun, perkembangan sastra Jawa Timur yang menggembirakan itu, tidaklah didukung oleh atmosfir tradisi kritik yang baik. Misalnya kita bertanya-tanya, siapakah kalangan kampus atau akademisi yang menulis kritik sastra mutakhir di Jawa Timur? Kita dapat menoleh dan mempertanyakan hal ini pada kalangan akademisi, selain kita sudah bosan disesaki akan data jumlah peminat jurusan sastra Indonesia yang setiap tahunnya meluluskan ratusan orang yang rata-rata tidak jelas orientasi spiritnya. Sementara itu kita juga menyaksikan peningkatan strata pendidikan para pengajar yang kini rata-rata magister dan tak sedikit yang meraih doktor. Lalu, untuk apakah jenjang pendidikan yang tampak tinggi dan wah itu dan berada dalam posisi sebagai akademisi jika mereka tidak melecut diri untuk menggali dan mengembangkan khasanah sastra mutakhir? Adakah mereka menganggap sastra mutakhir Jawa Timur tak layak untuk dikupas dan dijadikan bahan studi yang sebenarnya melimpah itu?

Yang menyedihkan adalah dari kalangan akademisi kita, pada sisi lain mereka tidak juga melakukan penelusuran pada masa silam, tiadanya kupasan sastra di masa lampau, dan oleh sebab itu sastra mutakhir tak pula tersentuh. Ironi lainnya, justru kalangan penulis sangat intensif melakukan penelitian kembali dalam proses penciptaan karyanya. Jadi, apa sesungguhnya tugas akademisi, selain mengajar, bukankah melakukan penelitian? Ataukah mereka mengalami sejenis disorientasi atau aborsi intelektual? Bila memang demikian, boleh jadi para akademisi telah terkubang dalam kondisi alienasi, dan tak berbeda seperti kebanyakan pegawai negeri!

*) Penggiat Komunitas Lembah Pring Jombang.

Senin, 15 Februari 2010

Marco Polo (1254-1324) Mampir di Jogjakarta?

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/

Marco Polo (15 Sep 1254 - 8 Jan 1324), pedagang penjelajah lahir di Venezia, Italia. Pergi ke Tiongkok semasa kuasanya Dinasti Mongol. Menemukan kekisah menarik dan aneh, dari dunia Timur bagi bangsa Eropa. Para cendekia berpendapat Marco ke Tiongkok, tetapi tidak mengunjungi semua tempat, yang tergambar di bukunya (Xanadu). Kisah menarik untuk Indonesia, cerita unicorn (kuda bertanduk satu) yang dijumpai di Sumatra. Namun ilmu pengetahuan membuktikan, yang ditemuinya bukan sembrani, melainkan badak.
Dataran Indonesia yang disebut di bukunya: Pulau Jawa Besar (Jawa); diperkirakan sangat luas, karena pantai selatannya tidak sempat dikunjungi. Juga diceritakan ekspedisi penyerangan, kegagalan Kubilai Khan. Pulau-pulau Sondur dan Condur (belum jelas); diperkirakan kepulauan di Laut Cina Selatan, yang digunakan patokan pelayaran. Pulau Pentam (Bintan); letaknya dari selat Singapura. Kota Malaiur (Melayu atau Palembang?); dikisahkan raja-raja Melayu, diantaranya Paramasura. Pulau Jawa Kecil (Sumatra?); diperkirakan Sumatra, sebab ciri-ciri komoditas pun hewan (gajah, badak, elang hitam) disebutkan. Kerajaan-kerajaan Ferlec (Perlak) pula Basma (Pasai?); dituturkan beberapa kerajaan bertetangga, juga suku Battas (Batak) di pedalaman. Kerajaan-kerajaan Samara (Samudra) dan Dagroian (belum jelas); disebutkan pohon kelapa (Malay palm) disamping legenda kanibalisme famili yang meninggal. Kerajaan-kerajaan Lambri (Lamuri) dan Fansur (Barus); mengenai legenda manusia berbulu memiliki ekor (orangutan?), kapur barus, pula sagu kelapa.
{dari http://id.wikipedia.org/wiki/Marco_Polo}
***

Sebelum menguak misteri kuda sembrani, akan kuceritakan awal diriku terpikat olehnya. Semasa kecil, ketika orang tua masih hidup di kediaman buyut Kasipah, setiap malam tak ingin melewati mendengarkan kisah sembrani, yang katanya bertengger di dahan pohon klampis, belakang rumah dekat kuburan.

Dongeng masa kanak membayang, laksana menghidupi alam bawah sadarku, kerap kali tiba-tiba melonjak, dibangunkan dinaya kesadaran ganjil, menghantar diriku terus berolah rasa, bergulat pada alam antara;

Kreativitas angan menjelajahi penalaran, berkumpul di degup kesaksian, dibopong dan ditopang realitas laku kenyataan, dan Tuhan Maha Ajaib mendorong kepada puncak kepastian.

Kala bertemu penulis senior KRT. RPA. Suryanto Sastroatmodjo (almarhum) di Jogja, dan mengetahui jiwaku terperdaya kisah belia, aku diajaknya jalan-jalan ke percandian sekitar Jogja.

Kali itu bukan candi kutemui, namun sebongkah batu besar persegi empat, panjangnya satu depa satu depa, yang kukira seratus orang tak mampu mengangkatnya, tepatnya di daerah Piyungan Jogjakarta.

Batu besar itu menarik, tengahnya tertanca besi, yang berada persisi di tengah atas, anehnya di sebelah batu, ada pohon beringin, yang seyogyanya dedahannya menaungi.

Tapi memang ganjil, dedahannya semestinya menjunur menutupi ubun-ubun batu, menyamping atau berubah arah ke posisi tidak wajar, menjauhi batu tersebut.

Batu ajaib itu di sekelilingnya tergurat beraneka relief, yang paling menarik bagiku, relief kuda sembrani atau unicorn di sebelah barat letaknya.

Ciri-cirinya kuda bersayap, ujung ekornya tumpul seakan dipenuhi lebat bulu-bulu. Aku melihat takjub merinding, sebab dongeng buyutku tidak main-main, setidaknya Tuhan perjodohkanku akrab dengan beliau, yang kuanggap guru spiritual menulis.

Bersama mas Suryanto, pribadiku sangat dekat dengan bebatuan candi, sampai mengetahui prosesi membangun ulang atas candi Ijo misalnya, pun candi-candi lainnya.

Walau kami bukan arkeolog sekadar pengelana, tapi dari buku-buku yang ada, bisa membedakan bebatuan candi atas usianya, lalu selisih ratusan tahun pun mengerti, walau dengan tatapan mata elusan jemari.

Kadang sempat dicurigai para dinas resmi, namun dengan arkeolog luar negeri, yang ditugaskan menata ulang batuan, malah santun, mungkin merasa sejiwa.

Cacatan di wikipedia disebutkan, Marco Polo bertemu sembrani, atau kuda bertanduk satu, yang dijumpai di pulau Sumatra, namun ilmu pengetahuan menyangkal, dengan menyangka badak bercula satu.

Kukira tersebut bukan dongeng semata, Morco pun mendengar ringkikan kuda, serta kepakan sayapnya, seperti kudengar saat-saat mau tidur, diselimuti malam gelap di kedalaman pedesaan.

Kuda itu memiliki lintasan penerbangan, serta waktu-waktu tertentu yang merindingkan bulu, hanya orang pernah mendengar dan melihatnya saja yang percaya.

Serupa perihal langkah kaki-kaki para prajurit, yang kadang mengelilingi keraton Jogjakarta di tengah malam, ada banyak saksi mendengar, padahal tak tampak oleh mata.

Sampai sekarang ilmu pengetahuan, masih kerap disenggol perihal yang belum sanggup diwedarkan, dengan tuntas secara jasadiah.

Ini menggejala tak hanya di dunia Timur, di Barat pula mengakui alam lain selain yang tampak. Ditemukannya relief kuda sembrani ialah menguatkan kesaksian, serupa relief-relief lain pada candi-candi lain.

Ada kehidupan di sana, peradaban ditumpuk timbunan kebodohan, serupa bebatuan candi tertimbun tanah liat, datangnya longsor serta banjir besar.

Tapi gending nyanyiannya terus mengidupi rerumputan, perasaan halus bersama alam atas bumi, dengan kalbu menjaga kelestarian, demi dipunggah kembali, sebagai kekayaan bathin perbendaharaan, bagi mau bersanding nafas-nafas pertiwi.

Di belahan lain, jika menelisiki jauh, dimungkinkan mendapati kenyataan mengagumkan, semisal ditemukannya tulang belulang Dinosaurus, wujud kepurbakalaan, yang menghampiri logika indrawi.

Demikian memakan waktu bertahun-tahun, seperti mengembalikan batuan candi berserakan tidak tentu arah, hanya arsitektur para ahli arkeolog dan dibentuk panitia khusus.

Serupa pemugaran pertama candi Borobudur di tahun 1900, diketuai Dr. J.L.A. Brandes, dilanjutkan Van ERP (1907-1911) yang berlangsung besar-besaran dengan biaya 100.000 Gulden, lantas menjadi kebanggaan?

Semoga nilai leluhur tetap luhur terpelihara di jagad bumi Nusantara, dengan kasih sayang merawat juang, serupa embun kembali muda di pagi harinya, pada rerumputan tropis Indonesia.

RUMI DAN SYU’AIB ANTARA HARAPAN DAN PERSEMBAHAN

Imamuddin SA.

Harapan identik dengan adanya keinginan. Orang yang menginginkan suatu hal pastilah ia memiliki harapan agar hal tersebut bisa segera terengkuhnya. Sebaliknya, untuk mendapatkan sesuatu tentunya seseorang harus ada pengorbanan, baik pengorbanan secara fisik maupun perasaan. Pengorbanan juga identik dengan persembahan.

Berbicara masalah harapan dan persembahan, kali ini akan diorientasikan pada harapan dan persembahan Syu’aib AS. Syu’aib AS merupakan salah satu dari sekian banyak nabi dan rasul yang diutus tuhan untuk menjadi perantara memberi pencerahan kepada umat manusia yang berjalan dalam lembah kesesatan. Ia diutus untuk kaum Madyan yang cenderung berbuat kemungkaran, kemaksiatan, dan tipu-menipu dalam kehidupan sehari-hari. Yang paling jelas melekat pada kepribadian mereka adalah kecurangan dan penghianatan dalam hubungan dagang, seperti pemalsuan barang, pencurian dalam takaran dan timbangan.

……Berdo’alah, menangislah di waktu malam, sampai terdengar suara yang dahsyat dari langit memecah gendang telingamu…… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).

Ungkapan pertama, yaitu “Berdo’alah, menangislah di waktu malam, sampai terdengar suara yang dahsyat dari langit memecah gendang telingamu”, ini merupakan himbauan dan anjuran dari seorang Rumi. Dalam sajaknya, ia menghimbau kepada siapa saja yang hendak menuju tuhan agar senantiasa bermunajat pada suasana yang hening dan juga penuh dengan ketenangan. Suasana itu tidak lain adalah saat malam telah tiba. Tepatnya pada sepertiga malam karena saat itulah segala bentuk aktifitas manusia yang berkaitan dengan urusan keduniawian telah berhenti sejenak. Jadi momen itulah yang cocok untuk bermunajat kepada tuhan.

Mengapa waktu tersebut merupakan waktu yang cocok untuk bermunajat? Hal tersebut berdasar pada hadits nabi yang berbunyi: sesungguhnya setiap malam, disepertiga akhir malam, Allah turun ke langit dunia, Dia berkata: adakah yang bisa aku Bantu? Adakah yang bisa aku Bantu?

Perlu dijadikan catatan bahwa ungkapan Allah turun ke langit dunia, bukan merujuk pada eksistensi Dzat-tillah yang turun ke dunia. Dalam fenomena, Tuhan sebelumnya berada jauh dari tempat dan jangkauan manusia. Hal tersebut bertolak belakang dengan firman Allah yang artinya “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat dari pada urat lehernya.” (QS. Qaf, ayat 16).

Berdasarkan ayat tersebut, keberadaan tuhan begitu dekat dengan diri pribadi seorang manusia. Ia bahkan lebih dekat dari urat leher manusia. Yang menjadi orientasi makna konotasi ungkapan Allah turun ke langit dunia, adalah rahmat dan hidayah Tuhan diberikan kepada seorang manusia, apabila ia berkenan bermunajat pada waktu itu, sebab Tuhan saat itu menawarkan rahmat dan hidayah-Nya kepada siapa saja yang sedang bermunajat atau memohon kepada-Nya.

Dalam karya ini, Rumi mengambil percontohan munajat yang dilakukan oleh Syu’aib AS. Kisah munajat Syu’aib ini tampaknya Rumi ambil dari karya Attar, yang berjudul Ilehinama. Hal itu mengisahkan bahwa Syu’aib ketika bermunajat mendapatkan bisikan gaib yang datang dari langit. Bisikan itu mempertanyakan perihal munajatnya. Saat itu Syu’aib AS bertaubat akan segala dosa yang pernah dilakukanya.

Katika suasan khusuk melingkupinya, terdengar seruan kepadanya bahwa segala dosanya akan diampuni. Selain itu, seruan itu juga menawarkan kepada Syu’aib AS perihal kenikmatan surga dan memerintahkan dia untuk segera mengakhiri munajatnya.

……“Jika kau orang yang bergelimang dosa, akan kumaafkan kau dan kuampuni dosa-dosamu. Surgakah yang kau ingin raih? Lihatlah, kuberi sekarang, diam dan akhiri permintaanmu itu!” …… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Saat mendengar bisikan semacam itu, Syu’aib AS tidak serta-merta memperoleh kepuasan diri serta kebahagiaan hati. Ia tidak menghentikan munajatnya. Ia justru semakin khusuk dan bahkan menolak tawaran surga yang dijanjikan kepadanya. Ia tetap berdiri kokoh dengan harapan dan juga keinginan utamanya yaitu bertemu dan bersanding dengan Tuhan, sebab hanya Dia-lah Dzat yang sepatutnya dijadikan tujuan peribadatan dan penghambaan, bukan surga, neraka maupun yang lainya. Sebagaimana Al Qahthani menjelaskan bahwa Allah (Tuhan) adalah Dzat yang diibadahi dan dijadikan tujuan penghambaan, yang memiliki hak penghambaan serta peribadatan makhluk-makhlu-Nya.

Tidak hanya itu, Syu’aib bahkan meneguhkan hati bahwa ia akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk bisa bertemu dan bersanding bersama tuhan, walaupun seluruh samudra telah menjadi api. Jika di tempat itu ia bisa bertemu dan bersanding dengan tuhan, ia akan rela menghanguskan diri ke dalamnya.

……Syu’aib menjawab, “ Tak kuminta ini ataupun itu. yang kuminta hanyalah menatap wajah tugan semata. Walaupun tujuh samudra seluruhnya menjadi kobaran api yang mematikan, akan kuhanguskan diriku jika disitu aku dapat menyatu dengan-Nya!”……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Bagi pecinta sejati, yaitu orang-orang yang benar-benar mengoroientasikan hidupnya hanya kepada tuhan semata, hal tersebut tidaklah aneh. Baginya, segala sesuatu yang bersifat kebendaan dan kemakhlukan berada dalam kekuasaan Tuhan. Sesungguhnya ia tidak memiliki suatu daya dan kekuatan kecuali atas kehendak dan kuasa Tuhan, sehingga ia tidak perlu ditakuti.

Api adalah benda dan makhluk sebab ia termasuk barang baru yang merupakan salah satu dari sekian banyak ciptaan Tuhan. Jika Tuhan berada di dalam kobaran api, bagi pecinta sejati, semua itu tidaklah menjadi sebuah penghalang untuk segera bertemu dan bersanding dengan-Nya. Ia tidak akan ragu dan takut akan sengatan panasnya, sebab ketika Tuhan telah bersamanya, panas api tidak akan ada artinya. Semua akan tunduk bersama kuasa-Nya. Sebagaimana kisah Ibrahim AS yang dilemparkan Namrut ke dalam tungku api yang begitu besar. Saat itu panas api bukan membakar tapi berubah menjadi kenikmatan dan juga rahmat. Firman tuhan yang berbunyi: Hai api menjadi dinginlah dan jadilah keselamatan bagi Ibrahim (QS. Al-Ambiyaa’:69).

Berbeda dengan orang-orang yang hanya berorientasi pada aspek keduniawian, ini sungguh aneh dan mustahil untuk dilakukanya. Jangankan ia berani menghanguskan diri ke dalam lautan api, ia baru melihat nyala api dari sebuah rumah yang terbakar, sudah lari terbirit-birit.

Bukan sekedar itu, dalam munajatnya, Syu’aib AS kembali mengujarkan harapanya secara lebih khusuk. Ia berkata bahwa munajat yang dilakukanya tidak akan berhenti sebelum ia mendapatkan pengabulan harapanya. Ia akan terus memohon dengan linangan air mata agar bisa bertemu dan bersanding dengan tuhan. Ia tidak mendambakan apapun selain tuhan. Ia bahkan rela berada di dalam neraka asalkan di tempat itu ia bisa bertemu dan bersanding dengan tuhan. Surga bukan jadi orientasinya lagi dan bukan tempat yang layak ia huni ketika di sana ia tidak menemukan tuhan.

Sungguh peneguhan hati yang luar biasa. Ia telah lepas dari keterikatan eksistensi surga dan neraka secara universal. Surga yang notabenenya menawarkan kenikmatan-kenikmatan, ia singkirkan begitu saja. Neraka yang notabenenya penuh dengan siksa dan derita, justru ia pilih asalakan di tempat itu ia bisa bertemu dan bersanding dengan tuhan.

……Tapi jika aku tak diizinkan menatap-Nya, maka mataku akan terendam air mata menutup rapat hingga terhalang untuk melihat impian itu, lebih baik aku menetap di api neraka, surga bukanlah tempat tinggalku…… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Untuk bisa bertemu dan bersanding bersama tuhan, seorang manusia harus dalam kondisi suci lahir dan batin.Tindakan untuk melepasakan diri dari keterikatan rasa terhadap segala sesuatu selain tuhan merupakan tahap terakhir dari hakekat bersuci dan mensucikan diri. Sebagaimana Al-Ghazali menegaskan bahwa bersuci itu ada empat tahapan, yaitu; 1) membersihkan lahir (anggota badan) dari hadas dan kotoran-kotoran, 2) membersihkan badan dari perbuatan-perbuatan dosa, 3) membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan hina, 4) membersihkan pribadi dari selain tuhan.

Surga dan neraka merupakan salah satu dari ciptaan Tuhan. Setiap ciptaan berarti masuk dalam kriteria makhluk, oleh karena itu, surga dan neraka bukanlah tujuan utama bagi seorang pecinta sejati seperti Syu’aib AS. Eksistensinya harus dilenyapkan dari pribadi seseorang yang benar-benar hendak menuju tuhan. Hal tersebut disebabkan surga dan neraka sanggup menjadi tabir penghalang bagi pribadi seseorang untuk bisa bertemu dan bersanding bersama tuhan. Sejalan dengan itu, Al-Farabi juga menyatakan bahwa pada dirimu dan dari dirimu ada hijab, apalagi dari pakaianmu yang berupa badan, karena itu berusahalah untuk menghilangkan hijab dan telanjang, dan dalam keadan demikian engkau dapat mencapai-Nya.

Esensi dan eksistensi tuhan menjadi orientasi utama dalam munajat ini. Syu’aib AS selalu memberi penegasan-penegasan yang begitu mendalam akan hasrat dan keinginannya untuk bertemu dan bersanding besama tuhan. Baginya, surga terasa seperti neraka Jahannam apabila tidak diliputi dengan cinta kasih Tuhan.

……Tanpa belas kasih-Nya, surga bagiku hanya seperti neraka Jahannam. Aku akan dilulur oleh warna dan aroma bau sang maut; dimanakah cahaya keabadian yang diperdebatkan itu? …… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Ungkapan belas kasih-Nya jika ditinjau lebih jauh akan merujuk pada nama Tuhan dalam asmaulhusnah yaitu Ar-rahma dan Ar-rahim. Nama ini berada dalam urutan paling awal. Hal tersebut menunjukan bahwa nama ini merupakan nama yang utama bagi tuhan. Perlu diingat bahwa di dalam sebuah nama pastilah mencerminkan sifatnya. Jadi dalam nama Ar-rahman dan Ar-rahim mengandung sifat Maha Pengasih dan Maha Penyanyang. Sebagai mana Ibnu Qoyyim berkata bahwa di dalam nama-nama-Nya terdapat sifat-Nya.

Ar-rahman dan Ar-rahim merupakan pondasi awal dalam mencipta segala sesuatu yang berada dalam kesemestaan alam ini. Segala sesuatu tidak mungkin tercipta tanpa diikuti dengan kasih sayang Tuhan. Begitu juga dengan keberadaan surga. Surga tidak mungkin ada jika ia tidak diliputi kasih sayang Tuhan. Tuhan mengadakan suatu hal merupakan bukti kasih saying-Nya sehingga hal tersebut ada secara esensi dan eksistensinya. Oleh karena itu, nabi mengisarahkan agar dalam setiap hendak melakukan sesuatu harus diawali dengan membaca basmalah. Hal tersebut menandai bahwa setiap gerak manusia adalah berkat kasih sayang Tuhan.

Untuk kata surga, ini bisa ditafsirkan pada pemberian Tuhan yang berupa kenikmatan. Jika pemberian Tuhan yeng berupa kenikmatan ini dalam munajatnya diterima oleh Syu’aib, ia takut menjadi penghalang untuk bisa bertemu dan bersanding bersama-Nya. Ia menjadi lalai dengan tujuan utamanya, yaitu Tuhan. Ia bisa terbuai dengan kenikmatan-kenikamatan yang telah diberikan Tuhan kepadanya.

Jika ia telah terbuai oleh hal tersebut, secara otomatis ia akan lupa terhadap pemberi-Nya (Tuhan). Ketika ia lupa, kenikmatan itu bisa berubah menjadi bencana dan siksa bagi dirinya. Selain itu ia bisa gagal bertemu dan bersanding bersama tuhan. Hal tersebut sesuai dengan ungkapan bahwa orang yang hanya bergembira dengan Allah, tidak terpengaruh oleh kelezatan lahirnya nikmat, dan tidak karena kurnia-Nya, sebab ia sibuk memperhatikan-Nya, sehingga terhibur oleh-Nya semata, maka tidak ada yang terlihat padanya kecuali Allah. Selain itu, siapa yang tidak melihat pemberi nikmat di dalam nikmat itu, maka nikmat itu hanya berupa istidraj (dilulu) dan berubah menjadi bala’. Kiranya hal itulah yang menyebabkan Syu’aib AS menolak pemberian surga dan berdalih bahwa surga bisa berubah menjadi Jahannam baginya jika di sana ia tidak mendapat cinta kasih Tuhan dengan membiarkanya bisa bertmu dan bersanding bersama-Nya.

Mengapa Syu’aib bertanya tentang keberadaan cahaya keabadian? Hal itu sebenarnya sebagian i’tibar dari penyebutan diri Tuhan. Tidak ada sesuatu yang abadi kecuali diri Tuhan semata. Adapun idiom Tuhan digantinya dengan kata cahaya. Ini sesuai firman-Nya dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 35 yang artinya: Allah adalah cahaya langit dan bumi, perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar, pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohin yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tidak tumbuh di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah maha mengetahui sesuatu (QS. An-Nur:35).

Syu’aib merindukan cahaya keabadian itu sehingga ia menanyakan terus perihal keberadaanya. Cahaya itu adalah cahaya Illahiah, cahaya di atas cahaya. Dialah pembimbing manusia untuk menuju hakekat hidup yang sejati dan tidak ada yang sanggup memberi bimbingan menuju kesejatian kecuali Dzat Tuhan semata. Itulah esensi dasar Syu’aib AS mengi’tibarkan tuhan dengan memakai idiom cahaya.

……Kata mereka, “Akhiri ratap tangismu, agar penglihatanmu tidak hitam, sebab matamu akan buta jika menangis berlebih-lebihan” ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).

Kata mereka merujuk kepada orang-orang yang berada disekeliling Syu’aib AS yang tidak lain adalah kaum Madyan. Hal tersebut bukanlah merujuk pada sesuatu yang lain, baik mengarah pada bisikan gaib dari langit atau yang lainya. Ini adalah kaumnya sendiri. Rujukan ini berdasar pada terjemahan karya Rumi yang diberi judul Kasidah Cinta dan diterjemahkan Hartoyo Andangjaya. Dalam terjemahan itu kata mereka di ungkapkan dengan artian orang-orang berkata.

Secara lebih rinci, ungkapan tersebut merupakan himbauan dari kaum Syu’aib AS. Mereka menghimbau agar Syu’aib AS mengakhiri munajat dan tangisanya sebab ia bisa mengalami kebutaan mata. Tampaknya peristiwa ini diasumsikan berlangsung ketika hari sudah menjelang pagi. Saat itu orang-orang sudah mulai melansungkan aktifitas sehari-harinya. Ini diperkirakan saat orang-orang berlalulalang di sekitar rumah Syu’aib AS.

Saat mendapat himbauan semacam itu, Syu’aib AS justru memberi penegasan kepada mereka. Syu’aib berkata bahwa ia tidak akan bersedih karena buta. Baginya, buta mata tidaklah berarti sebab menurutnya bagian tubuh yang lain bisa berubah menjadi mata. Tentunya semua itu juga tidak terlepas dari kehendak, kuasa, dan keridlaan Tuhan.

……Syu’aib menjawab, “Bila kedua mataku akhirnya buta hanya karena menangis, maka setiap bagian dari diriku akan berubah menjadi mata; mengapa aku harus bersedih karena buta?” ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).

Ungkapan ini jika dinisbatkan dapat merujuk pada Al-qur’an surat Yasin ayat 65 yang artinya; “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan dan kaki mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan”. Hal ini menunjukan adanya Kebasaran dan Maha Kuasanya Tuhan yang sanggup menjadikan segala sesuatu bisa berbicara, melihat, dan juga mendengar. Tuhan tidak merasa kesulitan untuk melakukan hal itu.

Salah satu pertanda Maha Kuasa Tuhan yang ditunjukkan-Nya di dunia ini adalah menjadikan kepekaan indra yang sangat tinggi bagi orang yang buta. Orang buta tidak bisa melihat sesuatu dengan matanya, tetapi Tuhan memberikan rahmat-Nya yang lain yang berupa kepekaan terhadap indra-indra yang lain pula, oleh karena itu, orang buta bisa mendeteksi segala hal yang ada disekelilingnya dengan cermat. Ia bisa mengetahui sesuatu dengan pasti lewat perantaraan indra peraba, pencium, pencecap, dan pendengarnya. Tidak hanya itu, Tuhan bahkan juga memberinya mata batin yang kerap dikenal dengan istilah indra keenam. Hal itulah yang kiranya menjadi maksud dan tujuan perkataan Syu’aib AS bahwa setiap bagian dari tubuhnya akan berubah menjadi mata.

……Namun jika akhirnya Ia merampas mataku untuk selamanya, akan kubiarlah mata benar-benar menjadi buta karena ia tidak layak menatap junjungan kasih!” …… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Dalam penegasanya lebih lanjut, Syu’aib AS mengungkapkan bahwa ia akan mengikhlaskan kedua matanya menjadi buta. Hal tersebut dilakukanya sebagai suatu bentuk persembahanya kepada tuhan. Syu’aib AS benar-benar tulus dan ikhlas memberikanya, ketika penglihatan itu harus diminta kembali oleh Tuhan.

Tampaknya hal ini sesuai dengan makna dasar ungkapan inna lillahi wainna ilaihi raajiuun. Arti ungkapan tersebut yaitu segala sesuatu adalah kepunyaan Allah dan sesungguhnya ia akan kembali kepada-Nya. Syu’aib AS menyadari benar akan hal itu. Ia paham betul bahwa dirinya dan seluruh isi alam semesta ini adalah kepunyaan Tuhan dan suatu saat pasti akan kembali kepada-Nya juga.

Segala yang dimiliki oleh manusia pada hakekatnya hanyalah titipan Tuhan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Yang dikatakan titipan, suatu saat pasti akan diambil oleh pemiliknya. Saat itulah seseorang harus rela dan ikhlas menyerahkan kepada pemiliknya yang mutlak. Begitu juga dengan eksistensi indra penglihatan, ia merupakan titipan Tuhan yang dibebankan kepada manusia sebagai alat utuk melihat segala sesuatu yang ada disekelilingnya. Untuk semuanya itu, tidak ada batasan waktu dalam pengambilanya. Kapanpun dan dimanapun, Tuhan sewaktu-waktu bisa mengambilnya. Entah diambil pada akhir hayat manusia ataupun di masa tua, muda, maupun balita, semuanya masih berada dalam misteri ilahiah.

Selain itu Syu’aib AS juga sadar bahwa penglihatan mata lahir manusia tidak sanggup menangkap keberadaan Dzat Tuhan yang sejati. Hal tersebut dikarenakan Dzat Tuhan yang sejati bersifat kasat mata yang tidak dapat maujud di dalam alam materi. Ia bahkan tidak dapat digapai dengan logika. Ia hanya dapat digapai dengan keyakinan dan pengetahuan intuitif bahkan Ia merupakan wujud yang sempurna.

Kesadaran semacam inilah yang ditunjukan oleh Syu’aib AS. Dengan merelakan penglihatan lahirnya kepada Tuhan. Ia menumbuhkan harapan baru dalam hatinya. Ia berharap dengan kebutaanya, Tuhan berkenan memberikan penglihatanya yang baru yang berupa penglihatan batin melalui peneguhan keyakinan dan juga pengetahuan intuitif, yaitu pengetahuan yang berdasarkan pada wahyu ilahiah. Sungguh harapan dan persembahan yang begitu agung dari seorang Syu’aib AS.

Perlu diingat, dalam sejarah para nabi, Syu’aib pada akhirnya tidak mengalami kebutaan mata secara fisik. Karakter fisiknya pada umumnya sama dengan kebanyakan orang. Ia utuh dan tidak mengalami cacat pada kostruksi fisiknya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Harapan Syu’aib dalam munajatnya hanyalah ingin bertemu dan bersanding bersama Tuhan (Allah) di kehidupan mendatang, yaitu akhirat. Harapan itu ia iringi dengan sebuah persembahan yaitu peniadaan surga dan neraka dalam dirinya. Ia melepas keterikatan diri terhadap esensi dan eksistens surga yang notabenenya menjadi tujuan hidup manusia pada umumnya.. Tidak hanya itu, ia bahkan rela menyerahkan penglihatan lahirnya sebagai sebuah persembahan asalkan ia kelak dapat bertemu dan bersanding bersama Tuhan (Allah). Tentunya, persembahan tersebut diliputi dengan perasaan tulus dan ikhlas yang terpancar dari pribadinya.

RUMI DAN JEJAK TUHAN DI ATAS SAJADAH MUSA

Imamuddin SA.

Dalam pembahasan sebelumnya telah disinggung bahwa hakekat hidup manusia di dunia ini adalah untuk kembali kepada Tuhan dengan membawa limpahan keselamatan dan kebahagiaan. Dengan kata lain, orientasi hidup di dunia ini hanya kepada Tuhan. Manusia hidup di dunia ini hanyalah proses pencarian terhadap hakekat Tuhan yang haqq, agar saat ia kembali kepada-Nya kelak sanggup memperoleh keselamatan dan kebahagiaan.

……“Dunia ini ibarat Thursina, dan kami Musa pencari sinar-Nya; setiap petunjuk datang dari-Nya, puncak gunung ini akan pecah berkeping-keping” ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Rumi menegaskan, bahwa semua tempat yang berada di dunia ini diibaratkan sebagai bukit Thursina serta semua manusia berposisi sebagai Musa AS. Manusia berposisi sebagai subjek yang melakukan pencarian terhadap bukti keberadaan tuhan dalam realitas kehidupanya. Tentunya bagi Rumi perlambang ini bukan berorientasi kepada seluruh manusia, tetapi bagi mereka yang yakin dan percaya akan keberadaan tuhan.

Mengapa Thursina dan Musa yang menjadi perumpamaan? Hal tersebut dikarenakan, kedua citra ini merujuk pada sebuah kisah yang termaktub di dalam Al-Quran surat Al-a’raf ayat 143. Surat ini menceritakan bahwa di bukit tersebut Musa AS bermunajat kepada Allah dan memohon kepada-Nya agar berkenan menampakkan bentuk dzat sejati-Nya. Kemudia Allah berkata pada Musa AS: “Engkau sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku, tetapi cobalah lihat bukit itu, jika ia tetap berdiri tegak di tempatnya, niscaya engkau akan dapat melihat-Ku”. Musa AS kemudian menoleh ke arah bukit yang dimaksud. Pada saat itu, ia melihat bukut-bukit yang tadinya berdiri tegak kini menjadi hancur berkeping-keping masuk ke dalam perut bumi tanpa meninggalkan bekas.

Fenomena semacam itu merupakan ilustrasi dari Tuhan, bahwa dzat-Nya yang sejati tidak dapat ditangkap secara lahir. Dzat-Nya bersifat kasat mata yang tidak dapat terwujud dalam alam materi dan bahkan tidak sanggup digapai dengan menggunakan logika berfikir atau akal karena kesempurnaanya.

Kant yang bergelar sebagai Raksasa Ahli Pikir juga menyadari akan hal itu, sehingga ia berkata: Dzat Tuhan itu benar-benar ada dan merupakan perkara yang besar utuk dibahasnya, tetapi letaknya jauh di atas kemampuan akal, oleh karena itu saya terpaksa berhenti sejenak dari pengetahuan akal, supaya saya sediakan tempat buat iman. Selain itu Ibnu Khaldun juga menambahkan, bahwa mempergunakan akal untuk menimbang soal-soal yang berhubungan dengan keesaan Allah, hidup di akhirat kelak, hakekat kenabian, hakekat sifat-sifat ketuhanan, atau persoalan lain yang terletak di luar kesanggupan akal adalah sama dengan mencoba mempergunakan timbangan tukang emas untuk menimbang gunung. Ini tidaklah berarti timbangan itu tidak boleh dipercaya. Soal yang sebenarnya ialah akal itu mempunyai batas-batas yang dengan keras membatasinya; oleh karena itu, tidak bisa diharapkan bahwa akal itu dalam memahami Allah dan sifat-sifat-Nya, karena otak hanyalah satu dari beberapa atom yang diciptakan Allah. Secara lebih lanjut Agustin juga menyatakan bahwa tuhan tidak bisa ditanggap atau di sifati, sebab Ia mengatasi sifat dan gambaran. Beleh saja manusia memberi sifat kepada tuhan, namun sifat-sifat tersebut tidak sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia.

Dengan jelas, fenomena di atas menegaskan bahwa Dzat Tuhan secara kodrati tidak dapat ditangkap oleh penglihatan dan bahkan oleh akal manusia. Dzat Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan logika apa lagi harus mewujud dalam alam dzahir. Dzat Tuhan hanya dapat digapai dengan keyakinan bahwa Dia itu ada sebagai wujud yang sempurna.

Sebuah pertanyaan, apa yang dapat dilogikakan serta ditangkap oleh indrawi manusia sebagai bukti keberadaan tuhan? Yang dapat dilogikakan serta ditangkap oleh indrawi manusia adalah eksistensi Tuhan. Jadi, bukan esensi-Nya.

Apa perdedaan esensi dengan eksistensi? Sebenarnya kedua istilah ini sama, yaitu sebagai penunjuk keberadaan suatu hal, baik hal tersebut bersifat hidup atau mati. Perbedaanya terletak pada kriterianya. Esensi merupakan intisari; sesuatu yang menjadikan suatu hal itu apa adanya, atau sesuatu yang dimiliki secara umum oleh bermacam-macam hal, sedangkan eksistensi merupakan bentuk yang menunjukan keberadaan suatu hal yang hidup yang berbeda dengan yang lainya (Partanto dan Barry, 1994:133 dan 159).

Sesuatu yang pasti dimiliki oleh semua benda adalah dzat, sedangkan yang menjadikan suatu benda hidup itu berbeda satu sama lainya adalah pergerakanya. Eksistensi mengarah pada suatu bentuk amaliah atau akhlak dari suatu hal. Jadi, sekali lagi yang dapat dilogikakan sekaligus ditangkap oleh indra manusia adalah Akhlak atau Fi’liyah Tuhan. Akhlak Tuhan ini tercermin melalui nama dan sifat-Nya. Sebagaimana Al-Kindi mengungkapkan, bahwa alam lahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya dzat yang tidak tampak. Dzat yang tidak tampak tersebut hanya dapat diketahui dengan melalui bekas-bekas-Nya dan kerapian yang terdapat pada alam ini.

Berdasar pada pandangan Al-Kindi, bentuk alam yang tertata rapi tidak mungkin ada dengan sendirinya, melainkan pasti ada yang menjadikanya. Yang menjadikan alam tidak lain adalah dzat yang tidak terlihat. Dzat itu adalah Dzat Tuhan.

Dzat Tuhan secara mutlak tidak dapat dipandang dengan menggunakan penglihatan mata, tetapi dapat diketahui melalui bekas-bekas-Nya yaitu akhlak dan perbuata-Nya serta kerapian alam semesta ini. Adapun sifat dan amaliah Tuhan tercermin melalui nama-nama-Nya yang termaktub dalam Asmaul Husnah yang berjumlah sembilan puluh sembilan.

Rumi mengilustrasikan kembali perihal kehancuran bukit yang dipandang Musa AS saat itu. Kepingan-kepingan bukit yang tidak sanggup menerima penampakan Dzat Tuhan secara lahir itu menjelma menjadi beberapa bentuk. Bentuk kepingan tersebut ada yang berwarna hijau, putih, menjadi mutiara, batu manikam dan ambar.

……Sebagian kepingan menjadi hijau, sebagian kepingan menjadi putih, sebagian kepingan menjadi mutiara, sebagian lagi kepingan menjadi batu manikam dan ambar ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).

Jika ungkapan tersebut ditinjau lebih jauh lagi, ungkapan itu mengandung perlambang. Perlambang itu meliputi: warna hijau identik dengan ketenagan dan kedamaian, warna putih identik dengan kesucian dan kemuliaan, mutiara identik dengan batu permata, manikam identik dengan intan, dan ambar identik dengan damar yang keras seperti batu yang terdapat di dsar laut dan berbau harum.

Semua kriteria tersebut apabila ditarik satu garis lurus, akan menghasilkan satu pengertian baru. Pengertian tersebut adalah sesuatu yang berharga dan bernilai tinggi dalam kehudupan ini yang menjadi incaran setiap orang.

Hubunganya dengan konsep yang dibangun Rumi adalah berorientasi pada keagungan dan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Barang siapa yang ditunjukkan tanda-tanda kebesaran dan keagungan Tuhan kepadanya, niscaya itu adalah sebuah rahmat yang tinggi nilainya dan mereka termasuk orang-orang yang beruntung karena hal tersebut sanggup memperkuat keimanan yang telah tumbuh di hati seorang manusia akan esensi dan eksistensi Tuhan.

Lebih lanjut Rumi menghimbau kembali kepada siapa saja yang hendak mengetahui Dzat Tuhan secara lahir, hendaknya kisah Musa AS dijadikan wacana. Alam semesta akan porak poranda dan hal semacam itu patutlah kiranya untuk dijadikan wahana dalam memperkuat keimanan dan sebagai bukti adanya Tuhan Yang Maha Esa.

……Kau yang sangat merindukan wajah-Nya, lihatlah batu pecahan gunung-Nya itu ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Musa AS tidak ingin mengulagi lagi tidakanya untuk memohon agar Dzat Tuhan mewujud dalam alam lahir. Ia hanya berharap dan rindu terhadap bukti-bukti keberadaan Tuhan di alam semesta ini sebagi wahana dan petunjuk dalam mendekatkan diri kepada-Nya.

Tentunya dalam lirik puisi Rumi selanjutnya, ia menisbatkan dirinya sama dengan Musa AS. Sama bukan berarti sama dalam tataran sebagai nabi dan rasul, namun sama dalam konsep pemahaman bahwa dia tidak mengharapkan agar Dzat Tuhan mewujud dalam alam lahir. Ia hanya berharap agar mendapatkan petunjuk-petunjuk ilahiah sebagai wahana mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karena itu, Rumi menyatakan dengan ungkapan sebagai barikut:

……“O gunung, angin apa yang berhembus di puncakmu? Kami telah mabuk oleh suaranya.” …… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Rumi sungguh lihai dalam mengambil citra untuk disematkan sebagai konstruksi dasar karyanya. Ia memilih citra yang mengandung nilai filosofis yang tinggi sebagai pengingat kembali, mereka yang mendewakan logika maupun siapa saja yang hendak melakukan pencarian bukti akan adanya Tuhan. Ia juga memberikan wacana baru bagi tiap orang agar mereka tidak salah persepsi saat menafsirkan konsep ketuhanan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Dzat Tuhan secara kodrati tidak dapat ditangkap oleh penglihatan dan bahkan oleh akal manusia. Dzat Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan logika apa lagi harus mewujud dalam alam dzahir. Dzat Tuhan hanya dapat digapai dengan keyakinan bahwa Dia itu ada sebagai wujud yang sempurna. Dzat Tuhan secara mutlak tidak dapat dipandang dengan menggunakan penglihatan mata, tetapi dapat diketahui melalui bekas-bekas-Nya yang tampak pada indrawi mausia, yaitu akhlak dan perbuata-Nya serta kerapian alam semesta ini. Adapun sifat dan amaliah Tuhan tercermin melalui nama-nama-Nya yang termaktub dalam asmaul husnah yang berjumlah sembilan puluh sembilan.

KIDUNG IMANENSI RUMI DI BALIK JUBAH MUSA

Imamuddin SA.

Untuk tiap-tiap umat itu ada rasulnya (QS. Yunus, ayat 47). Berdasarkan ayat tersebut, dalam tiap umat manusia pasti memiliki seorang rasul di setiap zamanya. Rasul tersebut diutus tuhan hanya untuk menyampaikan ajaran kebenaran tentang esensi Tuhan yang telah diselewengkan dan bahkan diingkari oleh suatu umat. Ia mengajak sekaligus mengarahkan mereka yang berada dalam kesesatan agar kembali pada jalan yang benar serta memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. Hal tersebut ia lakukan dengan meneladankan sifat dan sikap yang terpancar melalui perkataan maupun perbuatan.

Ajaran-ajaran yang dibawakan oleh seorang rasul bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran-ajaran tersebut diterimanya sebagai wahyu dari Tuhan. Adapun proses penurunan wahyu itu dilakukan dalam situasi, tempat, maupun bentuk yang berfariasi. Hal ini menunjukan bahwa eksistensi wahyu berdasakan pada eksistensi Tuhan, sehingga seseorang tidak dapat mengetahui, apalagi menentukan, kapan wahyu akan diberikan.

Dalam sebuah kisah diceritakan, bahwa saat Musa AS bersama keluarganya hendak kembali ke mesir, ia melihat sinar api yang menyala-nyala di atas bukit Thursina. Melihat hal semacam itu, Musa AS kemudian mengharap kepada keluarganya untuk tenang dan berdiam diri di tempat tersebut. Ia kemudian berlari menghampiri sumber api tersebut. Tatkala ia telah sampai di sumber api itu, terdengarlah seruan kepadanya yang bersumber dari kobaran api yang menyala-nyala. Kisah ini terdapat dalam surat Thaha ayat 9-13.

Kisah tersebut di atas dilukiskan Rumi secara indah dan mempunyai kandungan makna yang lebih menyentuh sekaligus mendalam. Rumi seolah-olah mengingatkan dan memberikan gambaran secara khusus kepada orang-orang akan esensi tuhan yang sejati.

……Ingatlah kisah musa dalam semak yang terbakar, semak berkata: “Aku adalah air telaga Kautsar, lepaslah terompahmu, mari!”
“Janganlah takut pada api karena aku adalah air dan madu dalam api:”…… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Kisah ini mengandung esensi yang sama dengan surat Thaha ayat 11-14. Peristiwa itu termasuk peristiwa penurunan wahyu yang pertama kepada Musa AS. Di tempat itu, ia memperoleh wahyu ketauhidan, yaitu tentang keimanan kepada Tuhan yang berorientasi pada keesaan-Nya.

Saat itu, Tuhan memanggil-manggil Musa AS dan menyatakan diri dengan ungkapan: Aku ini tuhanmu. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (QS. Thaha, ayat:12 dan 14). Hal ini digambarkan Rumi, bahwa suara tersebut bersumber dari semak yang terbakar. Dalam ungkapan Rumi, pernyatana diri tuhan lebih disublimkan lagi. Ia mengungkapkanya dengan gaya bahasa metafora dengan pernyataan: Aku adalah air telaga Kautsar.

Kisah ini bukanlah sebuah pernyataan yang menyatakan wujud Tuhan yang sebenarnya. Tuhan bukan berbentuk semak, api, maupun yang lainya, sebab wujud Tuhan adalah sempurna yang tidak menyerupai suatu apapun. Sebagaimana Ibnu Sina menegaskan bahwa Tuhan itu tidak bersekutu dengan benda-benda apapun, karena benda yang lain termasuk sesuatu yang boleh ada dan boleh tidak, dan merupakan hasil ciptaan dari Tuhan. Dzat Tuhan berbeda dengan dzat-dzat yang lainya, Dzat Tuhan tidak ada batasnya sehingga Ia tidak ada yang menyamai-Nya. Begitu juga Ibnu Arabi menambahkan, bahwa tidak ada yang menyamai Dia dalam penciptaan-Nya. Esensi-Nya tidak dapat ditangkap oleh kita, sehingga kita tidak dapat membandingkan Dia dengan objek-objek terlihat, dan tidak pula tindakan-tindakan-Nya itu menyerupai kita. Pesona ini hanyalah sarana penurunan wahyu. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, bahwa wahyu diturunkan dalam situasi, tempat, maupun bentuk yang berfariasi, dan suasana yang semacam ini merupakan kejadian penurunan wahyu kepada Musa AS.

Kata Aku dalam ungkapan: Aku adalah air telaga Kautsar, merupakan bentuk ungkapan tuhan yang menggunakan perantara atau medium semak yang terbakar. Air adalah sumber kehidupan yang menghidupi segala-galanya. Air bagi Thales adalah pangkal, pokok dan dasar segala-galanya. Telaga Kautsar adalah telaga yang berada di surga yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang mensyukuri nikmat Allah dengan cara beribadah dan berkorban kepad-Nya, sedangkan surga adalah tempat yang indah yang dipenuhi dengan kenikmatan-kenikmatan.

Dari gambaran tersebut, maka ketauhidan yang tecermin adalah: Tuhan (Allah) adalah sumber, pangkal, serta pokok kehidupan yang mutlak Dialah yang memberi kehidupan, keindahan, serta kenikmatan-kenikmatan. Dialah tujuan hidup dan kehidupan bagi manusia, yang tidak harus didekati dengan perasaan taku terhadap sesuatu apapun sebab Dia adalah pemegang segalanya yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan.

“……………….., lepaslah terompahmu, mari!”
“Janganlah takut pada api karena aku adalah air dan madu dalam api: ……” (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).

Sejak awal, penggambaran kembali kisah Musa AS dalam puisi tersebut dengan maksud memberikan doktrin ketauhidan kepada tiap-tiap orang. Setiap orang yang telah yakin akan esensi dan eksistensi Tuhan, seyogyanya menanggalkan perasaan takut terhadap segala sesuatu yang berada di luar keberadaan Tuhan yang sanggup menghalang-halangi proses menuju kepada-Nya. Hal tersebut disebabkan oleh hakekat Tuhan yang kuasa atas segala sesuatu termasuk kehidupan, panas, dan pembicaraan pada api yang terpancar dari kisah Musa AS.

Ketika seseorang telah yakin akan ke-kuasa-an Tuhan, mengapa dia harus takut terhadap sesuatu yang lain yang mesih berada dalam ruanglingkup kuasa-Nya? Tuhan bahkan sanggup menjadikan panas api menjadi dingin sebagaimana kisah Ibrahim AS saat dilemparkan Namrud dan pengikut-pengikutnya ke dalam tungku api yang besar. Ibrahim AS justru memperoleh tahta dan kedudukan yang mulia di sisi Tuhan dan di antara sesamanya. Ia memperoleh keselamatan sekaligus kesejahteraan dari-Nya.

……”Kesejahteran pasti saatnya datang padamu, tahta ini bagimu, selamatlah!” ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).

Ungkapan di atas tidak mengarah pada kisah Ibrahim AS, melainkan lanjutan dari kisah Musa AS. Ungkapan tesebut memiliki kronologis yang sama dengan kisah Ibrahim AS, yaitu apabila seorang manusia sanggup melepas segala kebendaan serta yakin bahwa segalanya berada dalam kekuasaan Tuhan, maka ia akan memperoleh keselamatan, kesejahteraan dan martabat tinggi disisi Tuhan dan di antara sesamanya.

Rujukan serta lanjutan kisah tersebut dinyatakan bahwa setelah Musa AS sanggup menanggalkan rasa takutnya terhadap kobaran semak yang sanggup berbicara, ia memperoleh kesejahteraan, martabat tertinggi dan keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Kesejahteraan hidupnya tercermin melalui penurunan wahyu dan penganugrahan mu’kizat yang diberikan kepadanya yang berupa tongkat yang bisa berubah menjadi ular dan tangan yang bisa memancarkan sinar putih yang cemerlang saat dikepitkan ke ketiaknya. Martabat tertinggi tercermin dari proses pengangkatannya sebagai nabi dan rasul. Adapun keselamtanya berupa keselamatan di dunia dan akhirat. Keselamatan di dunia berupa kemenangan dari bala tentara Fir’aun yang menyerangnya.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa doktrin keimanan yang tercermin dalam sub pembahasan ini adalah: Tuhan (Allah) adalah sumber, pangkal, serta pokok kehidupan yang mutlak Dialah yang memberi kehidupan, keindahan, serta kenikmatan-kenikmatan. Dialah tujuan hidup dan kehidupan bagi manusia, yang tidak harus didekati dengan perasaan takut terhadap sesuatu apapun sebab Dia adalah pemegang dan kuasa atas segalanya yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan. Jika hal tersebut telah melekat erat dalam hati seseoarang, ia akan memperoleh keselamatan, kesejahteraan dan martabat tinggi di sisi tuhan dan di antara sesamanya.

Selasa, 02 Februari 2010

ANAK-ANAK SRIGUNTING

Haris del Hakim

Angin awal musim hujan itu menjatuhkan empat anak burung Srigunting dari sarangnya. Sepasang induknya merasa khawatir, namun sayap mereka terlalu rapuh mengangkat sarang beserta anaknya untuk kembali ke dahan.

Induk jantan terbang rendah ke bawah, hinggap di bibir sarang, kemudian mengembangkan sayap untuk melindungi anaknya dari hujan, sebentar kemudian ia hinggap di dahan di samping induk betina.

“Mengapa kamu kembali?” tanya Srigunting betina.
“Aku kedinginan,” jawab Srigunting jantan. “Sayapku hampir membeku menadahi rintik hujan.’

“Ah, kamu memang egois. Tidak punya kasih sayang terhadap anak sendiri.”

Kemudian Srigunting betina terbang ke bawah dan berbuat seperti Srigunting Jantan. Tidak lama kemudian dia kembali ke samping Srigunting jantan.

“Mengapa kamu kembali?” tanya Srigunting jantan.
“Keadaan anak-anak tidak seperti yang kubayangkan. Tubuh mereka membeku dan paruhnya pucat. Aku tidak yakin mereka bisa bertahan hidup?”

“Seharusnya kamu tetap di sana dan tidak meninggalkan mereka kedinginan,” kata Srigunting jantan menyindir.
“Anakku tidak butuh belas kasihan!” jawab Srigunting betina ketus.
***

Empat ekor anak Srigunting saling merekatkan sayap untuk menghangatkan tubuh. Rintik hujan dan udara dingin seakan bersekutu menyerbu mereka. Anak Srigunting pertama berkata dengan paruh menggigil, ”Orang tua kita keterlaluan. Mereka hanya menjenguk kita lalu kembali bermesraan di sana.”

Anak Srigunting kedua menimpali dengan paruh yang tak kalah menggigil, “Mereka melihat kita sekadar membuktikan kita masih bertahan hidup.”

“Jangan berprasangka buruk!” tukas anak Srigunting keempat. Paruhnya segera mengatup karena takut bertambah dingin

“Berprasangka buruk bagaimana?” tanya anak Srigunting kedua dengan paruh bergetar. “Kita menyaksikan sendiri apa yang mereka lakukan terhadap keadaan kita yang kedinginan seperti ini.”

“Ya,” sambung anak Srigunting pertama. “Kita seperti bukan anak mereka.”
“Bungsu, bicaralah,” kata anak Srigunting ketiga kepada adiknya.
“Apa yang harus kukatakan?” jawab anak Srigunting bungsu menahan dingin.

“Bicaralah apa saja tentang orang tua kita!”
“Aku tidak mau berkata apa-apa tentang mereka.”
“Mengapa?”

Anak Srigunting pertama dan kedua terperangah mendengar tanggapan adik bungsu mereka yang bernada dingin. “Mereka sibuk dengan urusannya sendiri.”

Anak Srigunting pertama dan kedua bersorak, karena merasa memiliki satu lagi pendukung. Mereka berdua segera meledek saudara ketiga yang tidak berpendukung. Udara yang dingin menjadi sedikit hangat. Kelenjar penghasil sel penghangat tubuh bekerja seirama emosi mereka. Tiga anak Srigunting mengutuk induk mereka melalui saudaranya sendiri. Caci maki dan cemooh seperti menjelma bulu tebal yang menghangatkan badan dan menyingkirkan dingin jauh-jauh.
***

Hujan telah reda. Keempat anak Srigunting masih berkicau. Kedua induknya sesekali terbang rendah mengawasi mereka. Seorang anak berseragam sekolah sedang naik becak sambil berbicara melalui handphone keluaran terbaru. Dia cekikikan dan berkali-kali tertawa renyah. Sementara tukang becak berkali-kali mengusap keringat pada dahinya yang kedinginan.

“Berhenti sebentar,” kata anak berseragam sekolah itu. Tukang becak gelagapan menginjak rem. Anak itu melompat dari becak tanpa merasa berdosa dan mematikan handphone-nya.

Langkah kaki kecil yang bersih itu bersicepat ke sarang burung Srigunting yang jatuh karena hujan. Dia bersiul-siul riang mendapat hadiah besar.
***

Srigunting jantan berkata pada Srigunting betina,”Anak-anak kita senang dengan sarang baru itu.”

“Kamu saja yang menganggap mereka senang,” jawab istrinya. “Anak bungsu kita masih tetap kurus.”

“Dia memang lain dari saudaranya. Dia sangat sulit menyesuaikan diri dengan keadaan baru.”

“Dia punya prinsip sendiri. Dan aku juga yakin dia paling menyintai kita.”
“Kamu yakin yang lain telah melupakan kita?”
“Setidaknya terhadapku yang mengerami cangkang mereka selama berhari-hari.”
“Baiklah kita coba.”
***

Anak-anak Srigunting sedang bercengkerama dalam sangkar berukuran 2x2 meter. Anak Srigunting pertama telah berbadan gemuk, sehingga sulit terbang dengan lincah. Dia tiba-tiba berteriak yang membuat kaget ketiga saudaranya.

“Ada apa?” tanya anak Srigunting ketiga.
“Aku mendengar kicau induk kita.”

Keempat anak Srigunting itu memasang telinga baik-baik. Tidak berapa lama mereka melihat kelebat burung Srigunting betina di atas sangkar mereka.

“Itu induk kita,” kata anak Srigunting kedua.
“Husst! Jangan bicara sembarangan,” bentak anak Srigunting ketiga.
“Ya,” imbuh anak Srigunting pertama. “Siapa tahu dia adalah burung Srigunting lain yang sedang kehilangan anak-anaknya.”

“Siapa yang masih ingat wajah induk kita?” tanya anak Srigunting bungsu. “Aku sendiri sudah lupa.”

“Aku juga,” jawab tiga anak Srigunting yang lain hampir bersamaan.
“Kalau begitu kita tidak perlu menghiraukannya,” putus anak Srigunting kedua. “Bukankah repot akibatnya bila kita menganggap induk pada Srigunting yang bukan induk kita?”
Ketiga saudaranya mengiyakan pertanyaan itu.
***

“Bagaimana?” tanya Srigunting jantan pada istrinya. Ia merasa kasihan menyaksikan istrinya berkali-kali berkelebat di atas sangkar anaknya, namun tidak ada tanggapan sedikit pun. Ia sendiri sudah lelah berkali-kali berkelebat sejak kemarin.

“Mereka belum mengenali kita,” kata istrinya.
“Aku menjadi ragu, apakah mereka benar-benar anak kita atau bukan. Apakah kamu yakin mereka adalah anak-anak kita?”

“Aku yakin sekali. Kamu masih ingat wajah anak kecil yang memungut sarang dan anak-anak kita? Tadi pagi aku melihat dia keluar dari rumah itu.”

“Bukti itu saja belum cukup.”
“Kamu masih ingat ranting-ranting yang kita ambil dari sarang Manyar dan Emprit? Aku melihat masih ada beberapa lembar di sangkar itu.”

“Baiklah, aku sedikit percaya. Tetapi, mengapa kamu tidak bicara langsung dengan mereka?”

“Kamu sendiri tahu, mereka tidak menghiraukan keberadaan kita. Aku sudah berkali-kali berkelebat dan berkicau seperti dirimu kemarin, tetapi mereka tidak kunjung menyahutiku.”
***

“Apakah kalian tidak merasa aneh?” tanya anak Srigunting ketiga. “Sudah empat hari ini dua ekor Srigunting itu berkelebat berkali-kali di atas sarang kita.”

“Kamu salah lihat. Mereka tentu bukan burung yang sama,” kata anak Srigunting kedua.

“Siapa bilang mereka burung Srigunting yang berbeda. Lihat ekornya yang terpotong separuh!”

“Barangkali mereka ingin berkenalan dengan kita?” tanya anak Srigunting pertama coba mengalihkan pembicaraan.

“Barangkali benar kalau mereka itu induk kita, seperti yang kamu katakan beberapa hari yang lalu,” kata Srigunting ketiga pada Srigunting kedua.

“Aku masih belum percaya,” jawab anak Srigunting bungsu. “Kalau benar mereka berdua adalah induk kita, tentu mereka tidak sekadar berkelebat di atas rumah kita ini. Mereka pasti tidak enggan untuk turun lebih dekat kemudian menanyakan keadaan kita atau paruh mereka mencium paruh kita.”

“Mereka takut dimasukkan sangkar bersama kita.”
“Bukan takut, tetapi malu.”
“Malu kepada siapa?”
***

“Kita di sini sudah hampir seminggu. Kita berkelebat-kelebat terus sepanjang hari, namun tidak ada hasilnya,” kata Srigunting betina pada suaminya.

“Kamu sudah putus asa?” tanya Srigunting jantan.
“Tidak. Aku hanya bosan dengan cara kita. Bagaimana kalau kita tidak sekadar berkelebat, tetapi lebih mendekat ke arah mereka.”

“Itu berbahaya, karena kita bisa ditangkap dan dipenjara oleh tuan rumahnya. Aku sudah jenuh menghabiskan tiga setengah tahun usiaku dalam sangkar itu. Lagi pula, tidak sepantasnya seekor induk mengiba-iba untuk diakui sebagai induk oleh anaknya. Biarlah mereka melalaikan kita, tetapi kita tidak pernah melupakan mereka. Lebih penting dari itu, mereka yang harus tahu etika seekor anak burung terhadap induknya.”

“Jangan hanya bisa menganggap mereka keliru. Kita sendiri tidak pernah mengajarkan etika seekor anak Srigunting terhadap induknya.”
“Mereka harus belajar sendiri!”

Kedua Srigunting itu terus berbantah-bantahan hampir seharian. Pada hari itu mereka tidak sekali pun berkelebat ke sangkar anak-anak mereka. Ketika senja hampir berubah menjadi gelap, mereka pulang sendiri-sendiri tanpa perjanjian apakah akan kembali lagi keesokan harinya.
***

“Sepasang Srigunting itu sudah pergi,” kata anak Srigunting bungsu.
“Dari mana kamu tahu mereka benar-benar pergi?” tanya anak Srigunting pertama.

“Sejak kemarin aku tidak melihat mereka berkelebat.”
“Mungkin mereka bersembunyi,” kata anak Srigunting ketiga.

Keempat anak Srigunting itu memasang mata dan telinga dengan awas. Sesekali saja mereka bergerak dari dahan buatan untuk sekadar menghilangkan lelah dan bosan.
***

Dua ekor Srigunting hinggap di dahan. Mereka saling berjauhan dan membelakangi arah. Srigunting betina di sebelah selatan menghadap ke timur, sedangkan Srigunting jantan di sebelah utara menghadap ke barat. Mereka tidak lagi berkelebat atau berkicau seperti beberapa hari yang lalu.

Sementara itu, beberapa meter dari sangkar terlihat seorang anak kecil sedang bermain game dalam handphone. Di sampingnya seorang separuh baya asik membaca koran. Sesekali dia membenahi kacamatanya. Lelaki itu membenarkan letak kacamatanya kemudian berdiri.

“Kukira itu Srigunting peliharaanku. Tidak salah lagi, itu adalah Srigunting yang lepas enam bulan yang lalu. Rupanya dia sudah pulang?” katanya heran.

Anak kecil itu menghentikan permainannya dan melihat ke arah Srigunting yang dimaksud oleh bapaknya.

“Kamu masih ingat dengan Srigunting kita, bukan?” tanya Lelaki setengah baya itu pada anaknya. “Ekornya yang terpotong itu digunting oleh ibumu agar tidak tertukar dengan Srigunting yang lain.”

Anak kecil itu mengawasi Srigunting di atas dahan sambil mengingat-ingat sesuatu. Lelaki setengah baya sudah tidak tahan melihat kelambanan anaknya dan menyuruhnya bersicepat untuk menangkap Srigunting yang ekornya terpotong.***

Surabaya, agustus 2006

LUDRUK; KESENIAN DAN PERLAWANAN KAUM MARGINAL

Gugun El-Guyanie
Jurnal The Sandour, Edisi 2008

Kemarin rakyat digemparkan dengan isu “reog Ponorogo” yang diklaim oleh Malasyia. Sekarang kita munculkan wacana seni ludruk yang sama-sama dari Jawa Timur sebagaimana Reog dilahirkan. Ini kita maknai sebagai suatu sikap kultural-apresiatif terhadap kekayaan warisan seni lokal di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekali lagi marilah mengangkat dengan hormat produk seni nenek moyang yang diinjak-injak anak cucunya sendiri. Juga mencintai dan merasa memiliki (sense of belonging) karya-karya tradisional yang dianggap kampungan (subaltern).

Masih adakah generasi sekarang ini yang mengenal kesenian khas Jawa Timur yang bernama Ludruk? Sungguh nasionalisme generasi muda abad 21, diuji bukan karena tidak mengenal bahasa persatuan, tidak hormat pada merah putih atau tentang pancasila. Tetapi karena mereka sudah kehilangan kesadaran historis untuk sekedar ingat pada karya-karya tradisional khas daerah masing-masing. Kaum muda Indonesia saat ini sudah tercerabut dari akar-akar kearifan budaya lokal yang menyimpan khazanah eksotisme dan heroisme kaum tradisionalis marginal. Salah satu khazanah penting yang sedang meredup dan dilupakan oleh para pewarisnya adalah ludruk. Ludruk bagi penulis semenjak berkenalan dengannya bukan saja memiliki nilai kesenian khas rakyat, namun juga menanamkan spirit perlawanan dan kritik sosial khas orang pinggiran yang tertindas dan terhisap.

Untuk melacak akar historis seni ludruk sebenarnya tidak sulit. Walaupun banyak terjadi perbedaan tentang asal muasalnya, pada prinsipnya memiliki substansi yang sama. Salah satunya adalah hasil penelitian Suripan Sadi Hutomo, menurut kamus “Javanansch Nederduitssch Woordenboek” karya Gencke dan T Roorda (1847), Ludruk artinya Grappermaker (badutan). Sumber lain menyatakan ludruk artinya penari wanita dan badhut artinya pelawak di dalam karya WJS Poerwadarminta, BPE Sastra (1930). Sedangkan menurut S.Wojowasito (1984) bahwa kata badhut sudah dikenal oleh masyarakat Jawa Timur sejak tahun 760 M di masa kerajaan Kanyuruhan Malang dengan rajanya Gajayana, seorang seniman tari yang meninggalkan kenangan berupa candi Badhut.

Ada yang menyatakan bahwa embrio kesenian ludruk menurut penuturan beberapa narasumber dan kalangan seniman ludruk, pertama kali muncul sekitar tahun 1890. Pemulanya adalah Gangsar, seorang tokoh yang berasal dari desa Pandan, Jombang. Gangsar pertama kali mencetuskan kesenian ini dalam bentuk ngamen dan jogetan. Ia mengembara dari rumah ke rumah. Dalam pengembaraannya ini Gangsar kemudian melihat seorang lelaki sedang menggendong anaknya yang sedang menangis. Lelaki itu berpakaian perempuan, dan ini dianggap Gangsar sebagai fenomena lucu dan menarik, sehingga dia bertanya mengapa laki-laki kok mengenakan busana perempuan. Menurut si lelaki, ia memakai baju perempuan tersebut untuk mengelabui anaknya, untuk membuat anaknya merasa bahwa dia digendong oleh ibunya. Menurut nara sumber ini, peristiwa itulah yang menjadi asal munculnya laki-laki yang berperan sebagai wanita dalam kesenian ludruk. Narasumber lain menyatakan bahwa ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907, oleh pak Santik dari desa Ceweng, Kecamatan Goda kabupaten Jombang.

Dari berbagai narasumber, pada kesimpulannya bahwa Jombang sebagai tanah air yang melahirkan kesenian ludruk yang benih-benihnya sudah tertanam di akhir abad 19. Hingga tumbuh berkembang dengan subur dari periode pemerintahan ke periode pemerintahan selanjutnya. Dari zaman kolonialisme Belanda sampai zaman Jepang, dan berlanjut hingga zaman pembangunanisme Orde Baru. Secara kultural geografis, ludruk melakukan ekspansi dari Jombang ke daerah lain di wilayah Jawa Timur, seperti Surabaya, Malang, Madiun, Madura dsb. Dengan tetap lahir dari rahim kesenian masyarakat kelas marginal yang kurang terpelajar, kelompok ekonomi miskin dan kelas sosial terpinggirkan.

Cak Durasim dan Ludruk
Menyebut-nyebut ludruk tanpa nama Cak Durasim ibarat berbicara Proklamasi tanpa menyebut nama Soekarno, atau sama halnya berbicara Reog dengan meninggalkan nama kota Ponorogo. Cak Durasim hidup sezaman dengan dr. Sutomo, tokoh politik pada zaman itu yang populer dengan peristiwa 10 November Surabaya atau kemudian dikenal dengan Hari Pahlawan. Pada tahun 1933, Cak Durasim mendirikan Ludruk Organizatie (LO), merintis pementasan ludruk berlakon, yang kemudian amat terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan kolonial Belanda maupun Jepang.

Ludruk pada masa itu memiliki multifungsi. Pertama, berfungsi sebagai hiburan dan kesenian rakyat. Kedua, sebagai alat penerangan atau pencerahan rakyat pinggiran yang jauh dari informasi. Ketiga, fungsi politis yaitu sebagai media menumbuhkan nasionalisme daan provokasi perlawanan terhadap penjajah. Peristiwa puncaknya akibat kidungan “Jula Juli” yang menjadi legenda di seluruh grup Ludruk di Indonesia yaitu : “Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro. Tuku klepon ndhu stasiun, Melok Nippon gak oleh pensiun”. Akibatnya cak Durasim dan kawan kawan ditangkap dan dipenjara oleh Jepang hingga wafat setelah sekian lama keluar dari penjara.

Kemudian menginjak masa Kemerdekaan (1945-1965), ludruk berperan informatif untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan dalam mengisi kemerdekaan. Ludruk yang terkenal pada zaman tersebut adalah ludruk Marhaen milik Partai Komunis Indonesia yang juga sekaligus digunakan sebagai corong PKI untuk melakukan penggalangan masa untuk tujuan pemberontakan. Terbukti ludruk benar-benar dekat di hati rakyat atau wong cilik di wilayah Jawa Timur. Ada dua grup ludruk yang sangat terkenal yaitu : Ludruk Marhaen dan Ludruk Tresna Enggal.

Ludruk Marhaen pernah main di Istana Negara sampai 16 kali. Hal ini menunjukkan betapa dekatnya para seniman ludruk dengan para pengambil keputusan di negeri ini. Ludruk ini juga berkesempatan menghibur para pejuang untuk merebut kembali Irian Jaya, TRIKORA II B yang memperoleh penghargaan dari panglima Mandala (Soeharto). Ludruk Marhein lebih condong ke kiri sehingga ketika terjadi peristiwa G30S/PKI Ludruk ini bubar. Peristiwa G30S/PKI benar-benar memporak porandakan grup-grup Ludruk terutama yang berafiliasi kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat milik PKI. Hingga terjadi kevakuman antara 1965-1968, dan sesudah itu muncullah kebijakan baru menyangkut grup-grup ludruk di Jawa Timur. Kemudian pada tahun 1968-1970 terjadi peleburan ludruk yang dikoordinir oleh Angkatan Bersenjata dalam hal ini DAM VIII Brawijaya. Dan setelah tahun 1975, ludruk kembali menjadi milik rakyat yang independen.

Ternyata Indonesia mengenal Jombang bukan hanya karena menjadi ibu kota pesantren yang memiliki ratusan ribu santri yang mendalami ilmu agama. Atau juga bukan hanya ada intelektual Islam Nurcholis Madjid, tokoh sekaliber Gusdur sampai ke bapaknya (A Wahid Hasyim), bahkan ke kakeknya sang pendiri Nahdlatul Ulama (KH Hasyim Asy¢arie). Dan juga bukan hanya ketenaran budayawan kondang Emha Ainun Nadjib sampai spirit jihadnya Abu Bakar Ba¢asyir, yang semua tokoh tadi dilahirkan dari Jombang. Indonesia dan kita semua harus melihat Jombang dari satu pintu lagi, yaitu pintu seni kerakyatan yang bernama ludruk. Karena di dalamnya kita temukan local wisdom, nasionalisme, heroisme, eksotisme estetis dan nilai-nilai kerakyatan yang dalam.

Kita menghidupkan kesenian rakyat daerah bukan untuk tujuan primordialisme-etnosentrisme yang sempit. Tetapi memasuki samudera NKRI melalui pintu-pintu kerakyatan yang termarginalkan, mencintai tanah air dengan menengok kampung halaman tempat kita dilahirkan. Karena seni yang diciptakan nenek moyang kita, memiliki nilai sakral untuk menuju Tuhan dan menyelamatkan bangsa yang sedang tenggelam dalam kemurkaan-Nya.

Sajak-Sajak Imamuddin SA

BECERMIN DI HENING AIR

kusampaikan bening keraguan
pada dedaun pupus
biar segala kegoncangan angin
tercurah di redup cahaya senja;
kemarin

mungkinkah ini aku
becermin di hening air
memunguti sisa luka yang hampir punah;
ah, jangan-jangan yang kulihat adalah wajahmu
wajah yang telah kupinjam darimu
beberapa waktu lalu

dan aku pun menyaksikan
lewat kedamaian alirnya
ada sesosok bayang-bayang
bersujud pada tubuhnya
Kendalkemlagi, Oktober 2008



MENGERINGKAN LARA

bershalawat
mengeringkan lara
dalam ketakjuban hampir sirnah
membayang kejernihan syafaat
dari kesempurnaan cahaya di atas cahaya

aku yang duduk dalam gelap lampu
nyaris tersenyum
menyapa sayup nyanyianku;

ah, tembangku mengalir
membentur-bentur dinding waktu,
kembali menyapaku

Kendalkemlagi, Oktober 2008



KEPADA HALAJ

kau tak pernah memanggilnya tuhan
tapi kau kerap berbisik padaku;
aku
aku
aku
haqq!

meski berkali-kali suara itu mengusik
namun aku masih tak mengerti,
ada isyarat gaib di samudraku
ada maqam yang belum tersentuh

sungguh mustahil
aku mendayung perahu di gurun syahadatmu
menyeberang diri ke seberang tawasinmu
aku layaknya beo dalam mimesis kata-katamu;

dan kini biarkan
panggung temali itu
menjadi saksi jahiliahku
menjadi cambuk jejak perjalananku

Kendalkemlagi, Oktober 2008



PERSINGGAHAN MAYA

tak kan kubiarkan benalu hati
bersemi di pohon yakinku
menghapus keindahanya
dengan kesungsangan rupa
persinggahan maya

dalam kembara
ingin kutanam seribu kamboja
di kebun batinku
saat sehelai rumput masih bisa tumbuh;
sebelum kering
sebelum gersang
sebelum pasi
sebelum rintik hujan menetes kembali
menghidupkan yang telah mati

Kendalkemlagi, Oktober 2008



ADA TANGIS DARI YANG MATI

sayu kudengar nyanyian hati nan fitri
dalam takbir kemenangan diri,
namun ada yang berbisik;
“ada tangis dari yang mati
tentang kekalahan sendiri
sebab terbitnya surya pembalasan
atas malam kedurhakaan
silam”

dan aku bertanya akan kesejatian
benarkah aku telah membayi di seberang perayaan?

Kendalkemlagi, Oktober 2008

Yasunari Kawabata (1899-1972)

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/

Yasunari Kawabata, lahir di Osaka 14 Juni 1899, meninggal di Kamakura 16 April 1972. Novelis Jepang yang prosa liriknya memenangkan Nobel Sastra 1968. Usia dua tahun yatim, lantas tinggal bersama kakek-neneknya. Neneknya meninggal ketika ia berusia 7 tahun, kakak perempuannya hanya sekali dijumpai setelah kematian orangtuanya, meninggal ketika Kawabata berusia 10 tahun, dan kakeknya ketika ia berusia 15 tahun. Pindah ke keluarga ibu, Januari 1916 ke asrama setara SMP, yang bolak-balik menaiki kereta api. Setelah lulus 1917, ke Tokyo berharap ujian masuk Dai-ichi Koto-gakko’ di bawah Universitas Kekaisaran Tokyo. Berhasil lulus tahun yang sama, masuk Fakultas Sastra Inggris. Juli 1920 lulus SMA, mulai di Universitas Kekaisaran Tokyo. Selain menulis sebagai wartawan Mainichi Shimbun di Osaka dan Tokyo. Menolak semangat militer yang menyertai Perang Dunia II, juga tidak terkesan pembaruan politik sesudahnya. Kawabata bunuh diri 1972, meracuni badan dengan gas. Banyak teori dikemukakan penyebabnya, kesehatannya memburuk, hubungan cinta gelap, pun keterkejutan bunuh diri Yukio Mishima 1970. Berbeda Mishima, ia tidak meninggalkan catatan, motifnya tidak jelas.
Menerbitkan cerpen Shokonsai Ikkei, karya yang hingga kini diakui nilai sastranya. Ketika kuliah, beralih jurusan Sastra Jepang, skripsinya “Sejarah singkat novel-novel Jepang,” lulus Maret 1924. Oktober 1924, bersama Kataoka Teppei, Yokomitsu Riichi dan sejumlah penulis muda memulai jurnal sastra Bungei Jidai. Ialah reaksi aliran sastra Jepang lama, khususnya Naturalis, saat yang sama bertentangan sastra buruh Sosialis. Ini gerakan seni untuk seni, dipengaruhi Kubisme Eropa, Ekspresionisme, Dada serta gaya modernis. Shinkankaku-ha sering keliru ditafsirkan Neo-Impresionisme. Istilah ini digunakan Kawabata untuk filsafatnya, gerakannya dipusatkan memberi impresi baru dalam penulisan sastra. (Okubo Takaki [2004] Kawabata Yasunari–Utsukushi Nihon no Watashi. Minerva Shobo).
Dapat pengakuan atas sejumlah cerpennya tak lama setelah lulus, kemasyhurannya dengan Gadis Penari dari Izu 1926, kisah menjelajahi erotisisme orang muda sedang berkembang. Kemudian hari menjajaki tema-tema serupa. Salah satu novelnya terkenal Negeri Salju, terbit bertahap 1935-1937. Salah satu pengarang terkemuka Jepang dan langsung klasik, yang digambarkan Edward G. Seidensticker “merupakan adikarya Kawabata.”
Setelah Perang Dunia II sukses novel-novelnya, Seribu Burung Bangau, Suara Gunung, Rumah Gadis-gadis Penidur, Kecantikan dan Kesedihan, juga Ibu kota Lama. Yang dianggapnya terbaik, Empu Go 1951, kontras dengan karyanya yang lain, setengah fiksi pertandingan Go 1938, yang dilaporkannya kelompok surat kabar Mainichi. Permainan akhir karier empu Sh?sai, dikalahkan penantang muda, meninggal sekitar setahun kemudian. Permukaan cerita mengharukan, sebagai penceritaan kembali mengenai perjuangan puncak, oleh sejumlah pembaca, dianggap paralel simbolis kekalahan Jepang Perang Dunia II.
Presiden P.E.N. Jepang selama bertahun-tahun setelah perang dan kekuatan pendorong di balik penerjemahan sastra Jepang dalam bahasa Inggris serta bahasa Barat lainnya. {Ringkasan http://id.wikipedia.org/wiki/Yasunari_Kawabata} ***

Setelah waktu lalu, telah kubongkar kedirian Yukio Mishima, kini kan kucoba menelusuri perihal bunuh dirinya Yasunari Kawabata. Dari riwayatnya, dapat diambil dua perkara, yang mendorongnya menghabisi diri.

Pertama, keterkejutan matinya Mishima, yang usianya jauh lebih muda di belantika sastra Jepan, yang juga menggemparkan, seperti saat dirinya mendapatkan Nobel sastra.

Kedua, termakan racunnya sendiri menganggap terbaik karyanya, Empu Go 1951, setengah fiksi pertandingan Go 1938 , adalah permainan akhir karier empu Sh?sai, dikalahkan penantang muda, hingga meninggal sekitar setahun kemudian.
***

Seperti tubuh berbicara pada ruh teks belum tercipta, terus gentayangan, tak menetap menimbulkan gejala panas demam, tekanan mengharuskan kematangkan.

Dialog tak putus-putus di suatu panggung pertunjukan yang tidak pedulikan penonton, asyik memasuki dialog-dialog, yang kadang tak selalu berhadapan tubuh imaji.

Ada bentangan magnetik, yang saling tangkap-menjegal, atau teks saling berbicara sesamanya, percakapan bathin melelahkan, terus dilakukan.

Seolah tanpa nafas istirah, selalu tiada persetujuan, kecuali telah terpenggal, ketika teks sudah tercipta, melewati proses pendarahan.

Aku bayangkan lahirnya bayi mementingkan kerelaan, dari segenap kerinduan bayang kematangan, jemari memetik buah-buah takdir, juga biji jatuh, hampir persis bergulirnya teks dari tubuh.

Tatkala satu-persatu berguguran, biji-biji dilayarkan sungai atau gelombang lautan, perceraian dari buah atau kelopak kembang, itu menyegarkan sisi tertentu.

Tentunya masih pahit, tapi di sinilah waktu mendekati kesembuhan, kesegaran lain adalah setitik keceriaan, menerbitkan matahari harapan.

Di sini tak lagi malam atau malas berselimut keacuan, biji terus berlayar menyebarkan berita sampai dataran.

Usaha berlangsung mengakar keyakinan dari pancaran kehadiran, oleh terik mentari menjanjikan tumbuh yang berasal kelupaan.

Ada keanehan, ketika tubuh teks kian menjulang, namun terus meyakini yang diterbayangkan iman.

Kehadiran masa silam terangkat kesaksian angin, mengabarkan negeri jauh tiada terbilang, terus memeram dalam kesadaran takdir.

Begitu Kawabata menulis ulang nasib empu Sh?sai, pada bukunya Empu Go, kedekatan teks dan tubuh menjanjikan angan-angan besar menjadi kenyatan.

Dan kekalahan Jepang di Perang Dunia II, kekalahan empu Sh?sai, yang mungkin sebagai sosok gelap lain atas dirinya, setidaknya pernah menelusuri hayatnya.

Pun keterpurukan mental, ketika mendapatkan Nobel sastra. Di sini aku kutip pengantar Ajip Rosidi, Osaka, Februari 1985, terbitan Djembatan 2004, pada buku Penari-penari Jepang, terjemahan Matsuoka Kunio:

“Hadiah Nobel diterimanya justru ketika ia sudah lama tidak menulis karya kreatif yang baru. Karyanya yang terakhir sebelum hadiah itu diberikan kepadanya ialah Kata-ude (Tangan sebelah) yang ditulisnya tahun 1963. Menurut sebagian orang, kegersangan penciptaannya itulah yang menyebabkan pada tahun 1972, Kawabata melakukan bunuh diri dengan menghisap gas.”

Tercermin betapa mental Kawabata bukan mengejar ketenaran, apalagi kekayaan, bukan. Tapi ada yang diwajibkan didirinya, ditindaklanjuti, setelah sekian masa bergelut kukuh, berkreatif menghitam padat.

Kegemilangan nama sekadar efek kejayaan abadi, atas darah hidup telah membumikan nilai-nilai, nafas-nafas sanggup menghidupkan lebih dari guncangan.

Yakni perubahan menyeluruh diharapkan, suatu gerak revolusi mental demi umat manusia.

Dirinya merasa kalah oleh keketulan kian larut dalam kebuntuan, seakan tidak mencapai kejayaan kembali.

Kecuali, merebutnya balik dengan melenyapkan badan sendiri, tanpa catatan adalah cacatan itu sendiri, suatu pembeda, dari akhir Mishima juga tradisi Jepang.

Alam mendekati kematian, merupakan wilayah yang selalu digelutinya sehari-hari, tiada ruang asing di kedalaman jiwanya, semua serba realis dan tragis.

Bau maut sudah lebih dari akrab, kamar menyingkap referensi belahan dunia. Bukan kematian ditakuti, tapi lenyapnya gagasan besar, dari keseluruhan hidupnya.

Setidaknya ada kehawatiran pamor Mishima yang menjulang terang, kecemasan terus menggerogiti, seakan detik-detik lumatnya sebatang lilin, diganti terangnya lampu.

Segala bacaan sirna, kala membaca dirinya dalam warna hitam, atau pandangan silau membutakan.

Kawabata selalu merasa sakit kegagalan, kehancuran hawatir mati dalam keadaan tidak kesatria, di sinilah bertarungnya prinsip secara jantan.

Teranglah mental pengarang itu sekumpulan nilai-nilai tahan banting, dari pertarungan antara realitas dengan bayang-bayang sejarah, serta yang tertanda di depan.

Selalu bergolak, sekali pecirit takut, ludes sudah sebagian syaraf kejantanannya dalam berkarya.

Terus menggerogoti hingga lumpuh tidak sanggup menyuarakan kata-kata, selain dengung dengkur kekalahan, mimpinya hanya di selesaikan dalam ocehan, tak sanggup mengaduk relung jaman.

Kawabata telah jadi prinsip, setelah menuntaskan dirinya dalam gas beracun, mampu menundukkan segenap kecemasannya.

Daripada karya-karyanya, tak lagi menjamah bathin manusia yang menggelinding cepat, berbolak-balik sepadan angin di kinciran masa.

Sudah menjadi lumrah, mental terus dipanasi di atas tungku referensi membara, bukan sekadar nyala yang malah menghabiskan masa-masa tanpa janji purnama.

Di sini tempaan jiwa menyambangi sukma, senantiasa meremajakan diri, sekuat apa yang menjadi takdirnya.

Biji-biji membatang, tiada yang ditakuti kecuali tidak berguna, sebab waktu kumpulan padat makna, ketika disanggupi berolah rasa, menajamkan indra ke sudut semestinya.

Pucuknya angin cahaya harus digayuh dengan nikmat sempurna, serta gelap malam menjadikan jasad utuh, memantulkan gemintang perbendaharaan.

Seperti pohon pisang, setelah berbuah harus ditebang, daripada pembusukan, begitulah Kawabata mengakhiri nyawanya sendiri.

Perempuankah Aku

A. Rodhi Murtadho

Perempuankah aku? Sementara aku sendiri berpikir, aku bukan perempuan. Mungkin aku seharusnya dilahirkan sebagai laki-laki. Namun alat kelamin laki-laki yang seharusnya kumiliki tertinggal di rahim ibu saat melahirkanku. Perutku tergores pisau bidan saat persalinan ibu. Membentuk tubuh bagian bawah seperi perempuan. Sehingga aku diberi nama perempuan, dirawat dan dibesarkan layaknya anak perempuan.

Erlinda Putri. Nama perempuan yang seharusnya kumiliki. Namun ketika besar, nama itu berubah menjadi Dada Putra. Tak bisa kusalahkan mereka yang mengganti nama dan menyebutnya demikian. Memang dada yang seharusnya tumbuh, jika aku perempuan, tak juga tumbuh. Hanya rambut panjang yang menggambarkan aku perempuan. Memang aneh, tubuh yang kumiliki rata. Tak seperti perempuan seusiaku. Hampir dua puluh tahun umurku. Dada dan pantat seharusnya tumbuh menonjol dan memperlihatkan aku perempuan, tak juga tampak. Seperti laki-laki badanku tumbuh.

“Mau ke mana Dada Putra?” tanya Gugun, teman kuliah satu jurusan tetapi berbeda kelas.

“Mau ke kampus,” jawabku lirih.

Pada hari selasa, tak pernah kulewatkan sapaan Gugun sejak dua tahun silam setiap kali aku berangkat ke kampus. Sapaan dengan pertanyaan yang sama. Seperti dipersiapkan. Di depan kosnya yang berada di depan kampus, duduk sendiri menghadap jalan. Kadang ada temannya yang menemani. Namun lebih sering terlihat sendiri.

Rumah yang agak jauh membuatku harus naik angkutan kota untuk sampai di kampus. Angkutan yang tak bisa mengantar sampai ke dalam lingkungan kampus membuatku harus berjalan. Sekitar seratus meter. Melewati banyak warung dan rumah-rumah. Termasuk kos Gugun. Itu sebabnya Gugun seperti selalu memiliki kesempatan untuk menyapaku.

Kadang lawakan dari teman-temannya mencibir tubuhku. Namun terdengar secepat kilat Gugun menghentikan mereka. Terlihat pelan-pelan mereka. Saling tertawa. Gugun hanya melayangkan sapaan dan senyum seramah-ramahnya.

Bentuk tubuh yang aneh membuat aku minder di hadapan teman-teman. Perempuan sebagai status dan dandanan. Namun laki-laki yang menyelimuti tubuh dan jiwa. Aku semakin aneh dengan namaku. Dada Putra. Seolah aku berubah menjadi laki-laki. Rambut makin hari makin menyusut pendek. Tumbuh kumis di atas bibir. Aku semakin bertingkah menjadi laki-laki. Itu sebabnya teman-teman perempuan enggan mengajakku pergi bersama ke kamar mandi. Kalaupun bertemu di kamar mandi, mereka langsung mengingsutkan badan menghindar dariku.

Semakin berpikir kalau aku ini laki-laki. Aku harus mencari kelaminku yang tertinggal di rahim ibu. Tapi entah bagaimana caranya. Aku jarang sekali bertemu ibu. Aku berangkat kuliah, ibu baru pulang. Kerja katanya. Dan ketika sore hari sepulang dari kampus, ibu pergi. Kerja katanya. Kapan aku bisa merogoh rahim ibu untuk mencari alat kelaminku.

Semakin bingung aku dengan keadaan yang terus berubah. Kadang kulihat tubuh di cermin, sangat mirip laki-laki. Hanya saja tak ada alat kelamin laki-laki sebagai kesempurnaannya.

“Hai, ngelamun ya?” sontak suara Gugun mengagetkanku.

“Nggak…nggak!” spontan aku menimpali.

Kami mengobrol. Tak jelas arahnya. Mendiskusikan masalah yang kadang sudah kami bahas. Seperti memiliki banyak waktu untuk bertukar pikiran. Menumpahkan masalah walaupun kami sesibuk apapun. Tugas kuliah, jadwal kuliah, hobi, keluarga, rencana masa depan, atau hal-hal yang pribadi. Namun obrolan menjelang sore menjadi obrolan yang sangat baru dan mengejutkan.

“Aku suka dan sayang kamu, Da.”

Spontan aku kaget setengah mati. Layaknya badai sunami dicampur gempa tanpa penerangan dari matahari karena terjadi gerhana matahari total. Longsor seketika mental yang aku punya. Banjir tubuh dengan keringat yang mengucur perlahan. Panas dan terbakar wajah. Memerah. Jantung semakin berpacu cepat.

“Kau menghina aku ya, Gun.”

“Bukan. Memang sejak lama aku menyimpan rasa ini dan menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakannya padamu.”

Semakin besar badai yang datang. Semakin besar kekuatan gempa. Semakin gelap suasana. Semakin panas wajah. Semakin basah baju oleh keringat. Mati rasa tubuh. Nafas pun sudah tak terasa alirannya. Hanya otak yang berpikir keheranan dan syaraf mata yang harus berkedip.

“Aku tak tahu, Gun. Rasanya tak pantas. Kau laki-laki. Sementara keperempuananku hanya status. Orang-orang memanggilku Dada Putra. Pasti mereka menilaiku sebagai laki-laki. Aku juga berpikir kalau aku bukan perempuan. Itu sebabnya aku tak tahu bagaimana aku bersikap dan menjadi perempuan.”

“Kau perempuan bagiku, Linda.”

“Bukan. Aku bukan perempuan. Aku tak tahu bagaimana menjadi perempuan. Mengasihi dan menyayangi layaknya perempuan. Kau tahu sendiri, mengapa orang-orang mengganti dan memanggil namaku dengan Dada Putra. Karena aku memang bukan perempuan.”

Gugun. Tertunduk tersipu. Terdiam dengan raut muka yang menegang. Tak ada sunggingan senyum di wajahnya seperti biasa yang kulihat. Tampak berpikir dan lesu. Aku pun ikut terdiam. Hening suasana. Mengubah keriangan obrolan.

“Linda kau memang perempuan. Rambutmu panjang. Wajahmu mulus dan cantik. Suaramu nyaring menandakan perempuan. Ssetiap kali kulihat kau ke kamar mandi, kau pergi ke kamar mandi perempuan. Mengapa mesti kau ingkari kalau kau perempuan?”

“Itu hanya status, Gun. Perempuan. Hanya menjalankan statusku yang tertulis di akta kelahiranku. Sudah kubilang, aku tak layak menjadi perempuan. Kumisku akan tumbuh. Rambutku sebentar lagi akan pendek. Sementara dadaku tak seperti perempuan kebanyakan. Aku sama seperti kamu.”

“Persetan dengan statusmu yang kau ragukan. Persetan dengan ucapanmu bahwa kau bukan perempuan. Namun, kau tetap perempuan bagiku. Kau layak sebagai perempuan. Penerus Kartini, sebagai perempuan.”

Aku tak tahu yang dipikirkan Gugun. Mungkin semua laki-laki yang sedang kasmaran akan bersikap demikian. Selalu menerima kekurangan orang yang disukainya.

“Benar, Gun. Mungkin yang dimaksud Kartini dengan perempuan sejajar dengan laki-laki itu aku. Perempuan yang tak lagi menjadi perempuan. Aku tumbuh menjadi laki-laki.”

Hari semakin sore. Kami mengakhiri pembicaraan. Aku pulang ke rumah. Begitu juga dengan Gugun. Mungkin pulang ke kos. Aku tak tahu. Gugun mengambil jalan yang tak searah denganku untuk keluar kampus. Tak lagi berjalan bersama seperti biasa. Mengobrol sampai di depan kosnya.

Selama perjalanan, aku selalu terpikir ibu. Andai ibu memiliki waktu untukku, tentu akan kuceritakan kejadian tadi. Namun bagaimana mungkin. Ibu selalu bekerja setiba aku di rumah. Tak pernah aku tanyakan pekerjaanya. Hanya senyum yang tertinggal ketika ibu akan berangkat bekerja. Lesu dan marah ketika pulang. Namun ketika melihatku, ibu berusaha tersenyum. Seperti ada yang terpendam dalam pikiran ibu.

Aku hanya tahu maksud ibu bekerja. Menghidupi dan menyekolahkanku. Tak pernah tahu yang dipikirkan ibu ketika termenung duduk sendiri. Air mata berlinang. Isak tangis yang tertahan. Sering ibu memandang fotoku dan almarhum bapak. Seperti ada yang mau diucapkan tapi tetap tertahan. Ketika aku datang menghampiri, cepat-cepat diseka air matanya. Isak tangis cepat diubahnya menjadi senyum. Belain tangan mulus menyayang. Kadang kecupannya di keningku mampir begitu saja. Cepat-cepat pula ibu berpamit untuk pergi bekerja.

Aku tiba di rumah. Tak seperti biasanya pula terlihat. Ketika memasuki rumah, biasanya kulihat ibu berkemas dan berpamitan. Aneh. Tak kujumpai ibu di persimpanngan pintu rumah. Cemas mulai menghantui. Atau mungkin hanya sekadar cemas yang berlebih karena aku terlambat setengah jam dari biasanya. Kulangkahkah kaki menuju kamar ibu. Kubuka pintu perlahan. Terlihat ibu terbaring di ranjang. Seketika langsung kuhampiri.

“Ibu tidak kerja?” tanyaku membisik.

“Tidak, Ibu capek dan tidak enak badan,” jawab ibu tertatih.

“Badan Ibu panas, ke dokter ya?”

“Tidak usah. Buang-buang uang saja. Mending uangnya kamu pakai untuk biaya kuliah. Nanti juga Ibu sembuh sendiri.”

Tak kusangka perjuangan ibu begitu besar. Tak seperti yang terpikirkan dan terhayalkan. Ibu yang tak punya hati, kejam, tak mau memperhatikan, ternyata salah. Ibu penyayang dan penuh perhatian, penuh pengorbanan. Bahkan, jika pengorbanan itu harus dibayar dengan harus menahan sakit.

Malam bertambah buta. Aku menemani ibu yang terbujur lemas di ranjang. Kutunggui di sampingnya. Mencoba untuk mendekatkan jiwa yang lama terpisah. Pikiran mulai mengarahkan mataku. Menggerakkan tangan. Memfokuskan seluruh tubuh pada rahim ibu. Pikiran yang terus mengatakan kalau alat kelaminku tertinggal di sana dan harus segera kuambil.

“Ibu!” berbisik lirih.

“Ya, Lin. Ada apa?”

“Ibu, aku ini perempuan atau laki-laki?”

“Tentu saja kau perempuan, Lin. Namamu saja Erlinda Putri. Kau adalah putri ibu yang cantik. Aku bangga, Nak. Mestinya kau juga bangga dan bersyukur dengan dirimu.”

“Tapi aku merasa bukan perempuan. Aku tidak punya dada seperti Ibu. Di atas bibirku mulai tumbuh kumis. Banyak orang memanggilku Dada Putra. Pasti aku mestinya terlahir sebagai laki-laki dan alat kelaminku tertinggal di rahim Ibu. Dan pisau bedah milik bidan yang menolong persalinan Ibu menggores perutku.”

Lega rasanya mengungkap uneg-uneg yang lama bersarang di benak. Meski penuh ketakutan karena mungkin bisa saja ibu akan tersinggung. Namun bagaimana lagi aku akan mengungkapkannya. Atau mungkin kapan. Waktu dan kesempatan yang hadir untuk berbagi pikiran tak begitu banyak.

“Mengapa kau berpikir seperti itu, Nak? Kau Linda, putri Ibu. Kau perempuan, Anakku. Yakinlah itu. Dan cobalah untuk bersyukur kepada Tuhan atas dirimu. Cobalah untuk menerima apa adanya segala pemberian Tuhan.”

“Tapi, aku tak yakin, Bu, kalau aku perempuan.”

Sunggingan senyum di paras ibu yang cantik menghibur hati. Meskipun dalam pikiran, aku semakin bingung. Semakin yakin dengan keyakinan bahwa aku lelaki yang kehilangan kelamin saat persalinan. Tak pernah kusalahkan ibu dengan itu semua.

“Aku tak tahu, Bu. Bagaimana mengasihi dan menyayangi orang lain. Seperti Ibu menyayangi dan mengasihi almarhum bapak. Kalau aku perempuan, tentu akan dapat melakukan yang Ibu lakukan kepada Bapak.”

“Kau sedang jatuh hati dengan seseorang ya, Nak?” tanya ibu seraya menyunggingkan senyum lagi di bibirnya. Membuat parasnya makin nampak ayu. Tak heran kalau almarhum bapak sangat menyayangi ibu.

“Ehm tidak, Bu. Mungkin Gugun hanya bergurau. Tak mungkin menyukai diriku yang seperti ini.”

Senyum lebar makin terlihat di wajah ibu. Menampakkan seri wajah indah. Aku kontan merasa malu. Kata-kata yang terlontar, mencuat begitu saja dari bibir. Tak kusangka akan ditanggapi ibu dengan senyum.

“Nak, semua orang bisa mengasihi dan menyayangi. Termasuk kau. Wajar saja kalau Gugun suka dan sayang kepadamu. Sangat wajar jika kau juga jatuh hati dan ingin menyayangi Gugun. Kita memang digariskan untuk saling menyayangi dan mengasihi.”

“Ibu..,” kupeluk ibu dan seperti merengek di pelukannya, “lantas aku harus bagaimana. Aku merasa diriku adalah laki-laki. Sama dengan Gugun. Rasanya tak pantas jika aku…”

“Sudahlah. Gugun menyukaimu karena ada hal dari dirimu yang menarik baginya. Kau cantik. Biarkanlah rasa yang ada itu tumbuh. Sekarang mari kita istirahat. Ibu sudah sangat mengantuk. Kita lanjutkan besok saja. Sepertinya Ibu tidak bekerja lagi besok.”

Sepi tercipta seketika. Aliran nafas pelan dan teratur mengalir terasa. Kamar hangat membuat aliran darah mengalir terasa di pori-pori. Aku tak bisa berhenti berpikir.

Kecamuk semakin menggelora dalam benak. Tekad yang tertanam dan tertunda untuk kubuktikan akan menjadi kenyataan. Jika saja kuungkapkan kalau aku ingin melihat dan mencari sendiri alat kelaminku di rahim ibu. Namun bibir seperti kelu dan dingin. Tak sanggup untuk berucap.

Hari makin larut. Buta dan gelap menggerayangi malam. Mata kami terpejam dengan sendirinya. Tiba-tiba saja mataku terbelalak lebar. Kata maaf lirih terdengar dari mulut untuk ibu. Tangan menggerayang dan merogoh masuk ke dalam rahim ibuku untuk mencari alat kelaminku yang tertinggal. Memang tak salah lagi, alat kelamin laki-laki benar-benar kutemukan di sana. Rasa puas melegakan pikiran. Sekarang aku tahu kalau sebenarnya dan seharusnya aku terlahir sebagai laki-laki. Tetapi, mengapa banyak kutemukan alat kelamin laki-laki di rahim ibu?

Surabaya, 30 November 2004

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito