Sabtu, 30 Januari 2010

MENEGUK SEJARAH DAN FALSAFAH

Judul Buku : Bung Sultan
Pengarang : RPA Suryanto Sastroatmodjo
Jenis Buku : Bunga Rampai Esai
Penerbit : Adi Wacana, Juni 2008
Tebal Buku : xxxiv + 230 hlm; 15 x 21 cm
Peresensi : Imamuddin SA.

Wartawan, penulis, sastrawan, budayawan dan siapa saja yang mengabdikan diri dalam bidang tulis-menulis, semuanya pastilah memunguti batu-batu peristiwa yang berserakan di tepian hidupnya untuk dijadikan konsep dasar karyanya dan sebagai suatu kesaksian kecil dalam sejarah kehidupan umat manusia. Meskipun bersikap kecil, jika batu-batu itu dikumpulkan secara terus-menerus, seseorang akan mampu membuat rumah sejarah, bukit sejarah, bahkan gunung sejarah.

Bung Sultan merupakan sebuah karya yang patut kita selami dan kita teguk setetes demi setetes bening air kesaksian serta pemikiran pengarangnya. Karya ini digurat dari serpihan peristiwa yang tertangkap oleh indrawi pengarangnya. Pengarangnya tidak lain adalah seorang tokoh yang fenomenal yang dimiliki bangsa ini, terlebih-lebih bagi keraton Yogyakarta. Dialah KRT. RPA. Suryanto Sastroatmodjo (Mas Sur).

Mas Sur adalah seorang redaktur surat kabar, sastrawan, serta budayawan. Dalam buku bunga rampai esai ini, beliau banyak menggoreskan falsafah hidup sebagai suatu wacana kehidupan bagi umat manusia. Selain itu, di dalamnya merupakan saksi sejarah bagi daerah Yogyakarta dan sekitarnya kala bergerak mengikuti siklus modernisasi. Falsafah-falsafah hidup dalam buku ini diracik sedemikian rupa yang diarahkan dan dibenturkan dengan kepribadian manusia, realitas fisik daerah Yogyakarta dan sekitarnya serta masyarakatnya. Fenomena tersebut juga dibumbui dengan khasanah kejawen pengarangnya selaku seorang Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) dan Raden Panji Anom (RPA).

Mas Sur dalam bunga rampai esai ini seolah mengingatkan kita semua akan hakekat hidup yang semestinya. Beliau menyatakan bahwa “Aja lali marang tetenger sing ana. Yen wus gumathok pathoke, yo ing kono kiwi kena digoleki punjere” (Jangan melupakan peninggalan yang ada. Manakala sudah jelas letak nisan yang dicari, maka akan lebih gampang mencari pusatnya. Apa yang disebut “tetenger” pada kalimat di atas adalah berarti sesuatu monumen yang ditinggalkan oleh tokoh tertentu yang dibanggakan oleh dunia seputar. “Pathok” yang divisualkan dalam bentuk batu nisan yang kukuh, secara langsung merupakan penunjuk dalam kehidupan di jagad ini, yang darinya suatu keturunan menapaki. Sedangkan “punjer” berarti pusat alias teleng dari nukilan sejarah yang berlangsung. Jika kita ingin sesuatu dari rantauan hakiki istilah ini, maka akan kita temukan perkataan “panjer” yang artinya senantiasa dipasang, digantungkan, dicantelkan, ditayangkan di pokoknya. Selain itu, dalam esainya yang berjudul “Jejak Menuju Cagak” beliau menegaskan definisi cagak yang gimaksus. Baginya, cagak merupakan suatu tiang-pancangan, bahkan juga berarti tonggak yang menandai suatu rangkaian peristiwa dalam kehidupan ini. Dengan kata lain, dengan menyebut adanya cagak pada kehidupan ini, agaknya manusia harus menyadari dua hal. Pertama, suatu kenangan terhadap sejarah yang berada di latar belakang, yang sekaligus sebagai kerangka tindaknya. Sedangkan yang kedua, suatu kesadaran yang lebih substansial, bahwasanya hidup ini berlangsung dari periode yang satu ke periode berikutnya, seraya mengembangkan jalur-jalur “kenerdekaan ruh”-nya”. Dengan kata lain, Mas Sur dalam nuku ini mengisyarahkan akan dua hal, yaitu kesejatian hidup dan sejarah kehidupan.

Buku Bung Sultan ini cocok dinikmati oleh mereka yang gandrung dengan wacana kebudayaan serta nilai-nilai falsafah hidup. Meskipun demikian, buku ini kurang cocok dikonsumsi oleh mereka yang berusia SLTA ke bahwah. Hal itu disebabkan oleh muatan buku ini yang terlalu berat dicerna oleh mereka yang seusia itu. Bisa jadi buku ini akan terasa membosankan bagi mereka dan malah memampatkan daya minat baca mereka terhadap buku ini.

Ada tujuh belas pokok bahasan dalam buku ini yang dirangkai dalam tujuh belas judul esai. Ketujuh belas judul tersebut adalah: “Tetenger, Punjer, dan Panjer”, Tapa Wuda Asinjang Rikma, Dari Tikungan yang Menuju Pertigaan, Sandiwara dan Sambiwara, Jejak-Jejak Menuju Cagak, Yang Melahap dan Yang Menggilas, Si Cacat yang Tanpa Cela, Ciri-Cira di Tengah Upacara, Tiada yang Hilang di Balik Watugilang, “Wara Ratna” Sri Pakubuwono IX, Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata, Yang Lingsir di Pesisir, Yang Semi di Praja Kejawen, “Sawingka Sih-ing Nugraha, Saretna Gurit Kuwasa”, “Bocah Among Pradah, Sepuh Angon Kewuh”, R.A. Kartini dan Kebudayaan, Sang Sinuwun dalam Buhul-Buhul Dimensi, Malioborodan Siklus Lingkungan: Dapatkah Model Penataan Renggaprajan Awet Bertahan?”. Selanjutnya; pemahaman tanpa rasa segalanya kan terengkuh tanpa makna. Dan akhirnya, selamat meneguk kedalaman bening air telaganya.

Jumat, 29 Januari 2010

Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837)

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/

KEPADA PENYAIR
Alexander Pushkin

Pantangkan penyair, mengharap sanjung yang ramai.
Riuh tepuk mereka sebentar mati gemanya;
Lalu kaudengar putusan timbangan Pak Tolol
Dan ketawa halayak yang bikin hati patah;
Tapi andai kau teguh, tak guncang dan sederhana,
Rajalah engkau dan nasib raja hidup sendiri.
Bathin bebas didiri berseru padamu: Teruskan!
Sempurnakan kuntum indah dari mimpi-mimpimu,
Tapi jangan harap-puji atas buah ciptamu.
Puji berakar di bathin; hakimnya engkau sendiri,
Dan ambil putusan terkeras terhadap diri sendiri.
Tapi, andai kau puas, biar itu kawanan menggonggong
Peduli mereka meludah dinyala siar mimbarmu
Dan pada tarian asap menyan dari kuilmu.

*) dari buku Puisi Dunia jilid I, susunan M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1952.

Jaman gemilang abad 19 kesusastraan Rusia didahului kemegahan Aliran Klasik, dipelopori Krylov, Derzjawin, Joukowsky, yang puncaknya Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837). Seperti penyair-penyair Eropa Timur, jikalau berkenalan Byron diharukan gubahan-gubahan, tapi romantik Byron pada Pushkin berganti corak realistis. Pada usia 22 tahun terbit karangannya “Ruslan dan Ludmilla” disusul “Tawanan di Kaukasus” yang disusunnya dalam pembuangan. Naskah drama sejarahnya bertitel “Boris Godunov” dan sajaknya yang lain “Poltawa” (1828) juga berbau romantik, tapi sejak berkenalan dengan Shakespeare, membawanya condong pada realistis. Kenyataan paling tragis, kejantanannya dipertaruhkan dalam pertarungan anggar, hingga menyudahi nyawanya di tahun 1837.
***

Seperti dendang keras di kepala, batu-batu pendirian memukul waktu padatan keyakinan, penyair pejuang kusemat namanya.

Tidak berhenti hujamkan belati kesungguhan, atas kata sampai menggigil, mentalnya ditempa sendiri di kisaran masa.

Kokohnya setegar pohon purba jiwanya tak mempan digergaji cibir pilu amukan masa.

Merangsek bagai kapal di tengah samudra tak mungkin lemparkan jangkar, menari-nari ikuti ritme gelombang bathiniah.

Meluncur sebola api diuntahkan ular naga, tiada henti kepalkan tangan, baginya tiada guna siksa kesunyian pula tepuk tangan panjang.

Sebab yang sejati keberanian, hatinya meremaja, tapi sukmanya setua rimbun daun-daun angkasa, atas pengetahuan merambahi pustaka dunia.

Dirinya tak ingin jadi mayat sia-sia, menggembol nasibnya nun jauh ke puncak pengunungan sajak.

Tiada angin semua hampa ketika kepenyairannya manafaskan kalimah, keelokan kenang dibawanya matahari.

Tiadalah pamrih, hanya insan tegar sudi fahami warna, dari sanalah Pushkin melukis riwayatnya.

Nyala setiap hari menggelinjak kobarkan segala, menuju ujung uji coba memantabkan kata-kata.

Jalan pernah dilalui takkan dilewati, andai terbentur tidak menjilati kebusukan lama.

Gairah meledak-ledak jantungnya dipompa jutaan masa, digayuh rindu melampaui mata-mata.

Kisah para penyair dituntaskan, dirinya menempati sudut diimani, jarak diperhitungkan menggosongkan laku.

Syaraf-syaraf menggelisah melebihi kritik penalaran puitik, analisanya bercepatan bintang hangus ditelan perubahan.

Bukan lemparan dadu tapi otaknya menelisiki tidur dibawanya mimpi gubahan terindah sampai terjaga.

Menulis di larut malam kekosongan tubuh terdapat limpahan, penyiksaan diri kerasnya usaha menyerat aura berseliweran.

Digodoknya di tungku jiwa, diaduk-aduk mengental selumatan serpihan menjelma kesatuan.

Magnit niatnya berikatan otot mendaging kesungguhan kemerah, buah ranum dihidangkan perjamuan matahari.

Nyawa dipertaruhkan keberanian, kegilaan di sebalik romantis, realitas sampai ambang tragis kesintingan.

Dari sana terpancang kesadaran kata bermula gema, gurat makna membeledak berjuta dalam batok kepala.

Bahasa lingkar warna melesat antar benua, planet pun galaksi malam tak malam jika tanpa anggur mati rasa.

Jantung satunya seniman dipertaruhkan, perasaan ludes dipukuli realitas ditanggung pilihan keblinger.

Tapi tidakkah ketinggian pandang terhampar setubuh cakrawala, suara kata-kata menyusup dari batas-batas anasir jamannya.

Sampai gairah hidup mati berbangkit gentayangan, satu detikan picu jauh mampu kembalikan ingatan.

Kejatuhan ulang tak dirasai, diri sudah faham lautan masa depan, lebih gemuruh dari dimaknai waktu itu.

Tiada berleha menumpahkan yang terserap, hisapan candu dihayati kesuntukan melebihi dukun santen.

Adalah jarum-jarum tak berhenti mencari tiada tanding tiada banding; rasa sedari rasa telah mati rasa, Pushkin ada.

Sungguh berat menyunggi beban kata di kota keras, pertarungan hidup mati dalam laknat siksa sendirian, kalau kaki-kaki tetap berkuda meyakini.

Yang diembannya dalam hayat, hantamannya paling keras tak buat gembira atau beringas tanpa kendali.

Dirinya tetap yakin, keterjagaan kata sampai mati dikerubungi sakit tetap terima.

Sebagai penutup kupersembahkan puisi bagimu:

UNTUK ALEXANDER PUSJKIN

Meratapi tebing nasib
hatinya mendekap belukar,
dibawanya kutukan para nabi
hidup yang perih merongga kekal.

Ketika angin di jemarinya
merambati leliku waktu,
tubuh yang terbenam malam
dikepakkan sayap lautan.

Menelaah Pola Interaksi dalam Sastra Melayu Tionghoa

Pembauran dan Pembentukan Budaya Indonesia
Dedi Pramono*
http://www.radarjogja.co.id/

Etnis Tionghoa di Indonesia telah dimaklumi sebagai golongan yang memiliki tingkat ekonomis yang lebih baik. Kita bahkan memahami kelompok ini dalam kesehariannya lebih berorientasi pada segi bisnis.

Walaupun ada beberapa orang etnis Tionghoa berkecimpung dalam bidang non-ekonomis, pada akhirnya bermuara pada persoalan ekonomis pula. Hal ini dapat dipahami, berbeda dengan kita yang dapat hidup karena mengandalkan alam dan kerabat, etnis tionghoa tertuntut harus dapat hidup layak secara mandiri.

Berdasarkan pemikiran tersebut, kita berasumsi interaksi sosial yang terjadi pada etnik tionghoa cenderung pada interaksi bisnis Jika pada kehidupan keseharian asumsi ini mungkin benar, lalu bagaimana dengan interaksi masyarakat Tionghoa dengan masyarakat sekitarnya dalam dunia imajinatif pada sastra?

Penelaahan interaksi sosial pada masyarakat Tionghoa dalam karya sastra perlu dilakukan untuk menambah pengetahuan kita, khususnya tentang gambaran motif interaksi sosial antaretnik di zaman kolonial melalui karya sastra Melayu Tionghoa. Di samping itu, juga penting dalam rangka pengembangan kebudayaan, terutama budaya pembauran dari beragam etnik dalam membentuk budaya Indonesia masa depan.

Dalam telaah ini subjek karya sastra (novel) Melayu Tionghoa berjudul Lo Fen Koei karya Gouw Peng Liang yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1903 dan Bunga Roos dari Cikembang karya Kwee Tek Hoay yang diterbitkan pertama kali oleh Drukkerij Hoa Siang In Hok Batavia pada tahun 1927.. Novel-novel ini ditetapkan sebagai subjek telaah di antara novel-novel Melayu Tionghoa yang lain karena mempertimbangkan representasi para tokoh dari beragam etnik yang ada di Hindia Belanda (kini Indonesia). Maka, kita harapkan dapat merepresentasikan interaksi sosial antar tokoh secara lebih komprehensif.

Motif interaksi novel
Motif interaksi sosial tokoh dalam novel (sebagai pengejawantahan dunia dalam imajinasi) akan sama dengan motif interaksi sosial pada hubungan kemanusiaan keseharian.

Kita mengira, pada umumnya, interaksi sosial, termasuk yang dikisahkan dalam sastra, dilakukan orang lebih diorientasikan pada pemuasan kebutuhan psikologis. Pemikiran ini mengacu pada kenyataan bahwa setiap laku manusia dalam interaksi sosial lebih ditekankan pada kebutuhan batiniah, seperti rasa aman, tenteram, bahagia, dan sebagainya.

Pemikian yang masih merupakan asumsi tersebut, kiranya belumlah lengkap, sebab psikologi bukan merupakan satu-satunya pusat perhatian bagi manusia dalam berinteraksi secara sosial dengan manusia lainnya.

Tampaknya hubungan manusia dalam kehidupan bersifat naturalis (alamiah). Dorongan interaksi secara naturalis ini setidaknya mencakup motif psikologis, motif ekonomis, motif biologiss, motif status sosial, dan motif agamis.

Motif psikologis adalah interaksi sosial antara tokoh cerita dengan tokoh lainnya yang dihubungkan dengan upaya pemenuhan kebutuhan psikologis dari masing-masing tokoh. Pemuasan kebutuhan psikologis ini misalnya rasa cinta, benci, cemburu, rindu, dendam, belas kasihan, balas budi, persahabatan, dan beragam faktor psikologis lainnya.

Motif ekonomis ditekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan material dari masing-masing tokoh. Pemenuhan kebutuhan material ini misalnya berupa makanan, minuman, uang, tanah, rumah, kendaraan, hadiah berupa benda, dan beragam wujud harta benda lainnya.

Adapun motif biologis berlandaskan pada upaya-upaya pemenuhan kebutuhan biologis dari masing-masing tokoh. Pemenuhan kebutuhan biologis di sini secara khusus kebutuhan syahwati (seksualitas). Adapun kebutuhan biologis (dalam pemahaman umum) seperti makan-minum dan kebutuhan kesehatan dikelompokkan pada motif ekonomis.

Motif status sosial terjadi karena adanya kebutuhan memiliki status sosial tertentu. Pemilikan status sosial misalnya pemilikan jabatan, pangkat, dan predikat sosial (seperti predikat kedermawanan, kepandaian, kebijaksanaan, kesaktian, dan lainnya).

Motif agamis berdasarkan kebutuhan pemuasan batin yang berupa kesalehan, sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan. Pemuasan dalam ujud kesalehan tersebut dapat berupa interaksi dalam peribadatan, perayaan keagamaan, dan kegiatan keagamaan lainnya.
Pada karya sastra Melayu Tionghoa, mengacu pada subjek telaah di atas motif interaksi meliputi motif psikologis, ekonomis, dan biologis.

Pola interaksi
Pola interaksi adalah pola hubungan yang ditetapkan berdasarkan etnik tokoh. Pada pola interaksi ditemukan beberapa pola interaksi sosial antartokoh yang dikelompokkan dalam 6 (enam) kategori. Kategori tersebut seperti interaksi tokoh Tionghoa dengan tokoh Tionghoa; tokoh Tionghoa dengan tokoh pribumi; tokoh Tionghoa dengan tokoh keturunan campuran Tionghoa-pribumi; tokoh Tionghoa dengan tokoh belanda; tokoh Tionghoa dengan tokoh Arab keturunan; dan tokoh non-Tionghoa dengan tokoh non-Tionghoa.

Berdasarkan hasil analisis tampak bahwa dalam Lo Fen Koei karya Gouw Peng Liang telah tampil beragam interaksi sosial dari berbagai jenis etnik bangsa, seperti Tionghoa, pribumi, Belanda, dan etnik lainnya (Arab-keturunan). Dari berbagai motif yang hadir dalam interaksi sosial tersebut yang paling dominan adalah motif ekonomis.

Motif ekonomis yang mendominasi novel Lo Fen Koei dalam interaksi sosial antara tokoh berpusat pada Lo Fen Koei sebagai tokoh utama pengisahan. Lo Fen Koei sebagai pachter opium yang menguasai sejumlah tanah perkebunan selalu mengandalkan harta bendanya dalam interaksi dengan beragam tokoh demi memuaskan keinginannya, terutama keinginan pemuasan biologis (seksualitas). Dengan demikian, motif ekonomis yang mendominasi novel Lo Fen Koei dalam interaksi sosial antartokoh, berakar pada motif psikologis-biologis (berakar sejak tokoh Lo Fen Koei menginginkan Tan San Nio dan Poij Oeij Nio sebagai istri-istri mudanya).

Lo Fen Koei merupakan pengejawantahan manusia-manusia kaya yang mengandalkan kekayaannya untuk mengatur manusia-manusia lain dalam rangka memenuhi semua kemauannya. Manusia seperti Lo Fen Koei ini menafsirkan bahwa seluruh kehidupan, termasuk di dalamnya ‘mengatur’ manusia, hanya dapat dilakukan dengan harta benda. Manusia seperti ini tidak memercayai motif interaksi sosial lebih ditentukan oleh motif-motif yang bersifat psikologis dan agamis.

Berbeda dari hasil analisis novel Bunga Roos dari Cikembang karya Kwee Tek Hoay. Pola interaksi tampil dari beberapa jenis etnik bangsa, seperti Tionghoa, pribumi, dan keturunan keturunan campuran Tionghoa-pribumi. Dari berbagai motif yang hadir dalam interaksi sosial tersebut yang paling dominan adalah motif psikologis.

Motif psikologis yang mendominasi novel Bunga Roos dari Cikembang dalam interasi sosial antara tokoh berpusat pada Oh Ay Tjeng, ayah dari Roosminah, sebagai tokoh utama pengisahan. Oh Ay Tjeng sebagai seorang administratur perkebunan yang jujur, romantis dan berbudi selalu menggunakan hati nuraninya dalam interkasi sosial dengan siapa pun.

Dengan demikian, jika motif ekonomis yang mendominasi novel Lo Fen Koei dalam interaksi sosial antartokoh, berakar pada motif psikologis-biologis, maka Bunga Roos dari Cikembang bermotif psikologis yang berakar rasa kasih sayang dan penghargaan kepada semua orang tanpa memperhitungkan derajat dan jenis etnik.

Berbeda dengan tokoh Lo Fen Koei pada novel Lo Fen Koei, Oh Ay Tjeng pada Bunga Roos dari Cikembang tidak pernah mengandalkan harta bendanya dalam interaksi dengan beragam tokoh demi memuaskan keinginannya, terutama keinginan pemuasan biologis (seksualitas). Ia lebih mementingkan kekayaan batiniah dan ketenteraman jiwa dengan sikap dermawan dan segenap sikap baiknya. Jika Lo Fen Koei tidak mempercayai motif interaksi sosial lebih ditentukan bukan oleh motif-motif ekonomis, Oh Ay Tjeng masih mempercayai bahwa interaksi sosial antar manusia tidak sekedar bermotif ekonomis tetapi juga bermotif psikologi bahkan agamis.

Barangkali contoh interaksi sosial tokoh Oh Ay Tjeng dalam Bunga Roos dari Cikembang patut dikembangkan untuk masa kini. Dengan demikian, kebermaknaan dan kebermanfaatan karya sastra Melayu Tionghoa dalam pembangunan budaya pada konteks kebangsaan Indonesia secara menyeluruh, makin terwujud.

*) Drs. Dedi Pramono, M.Hum, dosen Ilmu Sosial dan Budaya Dasar dan Sosiologi Sastra, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Jogja.

Apa Kabar Gundala?

Lutfi Rakhmawati
http://www.radarjogja.co.id/

Bulan ini, 40 tahun lalu, muncul kali pertama komik berjudul Gundala Putra Petir. Saat itu, Gundala, si tokoh utama, sempat menjadi pujaan anak-anak. Dia adalah superhero asli buatan Indonesia. Bagaimana nasib si pencipta tokoh itu sekarang?

Nama panjangnya adalah Harya Sura Minata. Tapi, nama bekennya Hasmi. Dialah sosok di balik tokoh superhero Gundala. Sejumlah judul komik yang saat itu populer lahir dari tangannya. Kini Hasmi berusia 63 tahun dengan dua anak yang masih kecil.

Komik dengan tokoh utama Gundala kali pertama di-launching pada 1969. Kehadiran Gundala kala itu mendapat sambutan hangat. Setelah itu, muncul judul-judul komik dengan tokoh utama Gundala. Hampir setiap tahun, lahir 1–4 judul dari tangan Hasmi. (selengkapnya tentang judul-judul komik Gundala baca grafis). Saking populernya kala itu (era 1970–1980), Gundala pernah difilmkan pada 1981. Film layar lebar itu disutradarai Lilik Sudjio. Tokoh Gundala diperankan aktor Teddy Purba.

Kini kepopuleran sang superhero Gundala agaknya tinggal nama. Hasmi mengakui, saat ini komik lokal tidak lagi punya tempat istimewa di kalangan masyarakat. Bila dahulu komik adalah hiburan yang punya prestise, saat ini banyak hiburan lain yang bisa diakses masyarakat dengan biaya lebih murah.

’’Fans saya (Gundala) rata-rata sekarang berusia 40–50-an tahun. Tidak banyak anak muda yang tahu saya. Era komik sudah kehilangan kepopulerannya mulai 1980-an,’’ kata Hasmi ketika ditemui Radar Jogja (Jawa Pos Group) di rumahnya di Karangwaru, Jogja. ’’Tapi, saya menganggap ini sebagai hal yang normal. Ini konsekuensi dari hidup di dunia global. Banyak hiburan asing yang masuk,’’ imbuhnya.

Hasmi menceritakan, masa-masa keemasan Gundala datang sebelum 1980-an. ’’Saat itu tidak banyak hiburan yang bisa dinikmati. Saat itu belum ada game dan internet. Baca komik sudah yang paling gaul,’’ katanya, lalu terkekeh.

Kepada penggemar setia yang masih mengingat Gundala dengan baik, Hasmi mengatakan bahwa dirinya sangat terkesan. ”Sampai saat ini, Gundala bisa dibilang sudah tidur selama 25 tahun. Tapi, masih saja ada yang kadang bertanya kepada saya tentang kelanjutan Gundala,’’ paparnya.

Sebagai salah satu hasil karya asli Indonesia, Hasmi berharap agar Gundala bisa kembali dikenalkan kepada generasi muda. Hasmi juga menilai ide memfilmkan Gundala sebagai ide bagus. ’’Mengenalkan lewat film itu ide yang patut dicoba. Memang belum tentu sukses dan biayanya juga tinggi. Tapi, kenapa tidak dicoba?” ujarnya.

Hiburan audio visual, kata Hasmi lebih diminati saat ini. Karena itu, Gundala juga bisa ditampilkan dalam audio visual. ’’Sekarang yang audio visual lebih disukai. Anak-anak lebih suka internetan dan main game daripada membaca. Mengapa tidak dikenalkan lewat audio visual?’’ katanya.

Hasmi menyadari, membuat film membutuhkan usaha dan dana yang jauh lebih besar daripada membuat komik. Namun, Indonesia saat ini punya banyak individu kreatif yang bisa mendukung dibuatnya film Gundala.

Menurut saya, tidak seharusnya kita ragu memproduksi film Gundala karena khawatir tidak akan diterima pasar. Kita punya banyak bekal untuk itu kok. Yang penting adalah kerja sama tim dan pendukungnya,’’ ucapnya yang siang itu ditemani sang istri Mujiati dan putri bungsunya, Batari Sekar Dewangga.

Selain setuju difilmkan, Hasmi juga tidak keberatan Gundala dijadikan game. Menurut dia, hal ini sah saja dilakukan asal karakter Gundala sebagai pembela kebajikan tetap dipertahankan. ’’Pada dasarnya, Gundala kan tokoh yang mengajarkan kebaikan. Mau dia tampil dalam bentuk film, animasi, atau game, sepanjang karakternya masih sama, saya tidak masalah,’’ tegasnya.

Mengangkat kembali superhero lokal, lanjut Hasmi, perlu dilakukan agar kebanggaan terhadap bangsa sendiri muncul. ’’Kita kan sedang mengalami krisis identitas dan budaya. Apalagi, negara tetangga sering mengklaim budaya kita sebagai bagian dari mereka. Karena itu, budaya yang masih ada, termasuk karya sastra, perlu kita angkat kembali. Dengan begitu, muncul kebanggaan,’’ terang ayah dua putri itu.

Media massa adalah satu di antara beberapa pihak yang paling bisa mengangkat kembali karya lokal, termasuk komik. Menyertakan kembali komik bersambung yang dibuat oleh komikus lokal bisa menjadi jalan awal untuk kembali mengenalkan komik lokal.

Bagi beberapa koran besar, rasanya tidak masalah untuk menyertakan seperempat halaman atau kolom kecil yang isinya komik lokal yang dibuat komikus lokal. Bila hal ini terus dilakukan, saya kira, pengenalan kembali karya lokal akan efektif,’’ tuturnya.

Media massa juga punya risiko lebih kecil daripada penerbit. Bila penerbit ’’nekat’’ menerbitkan karya komik tanpa persiapan matang dan survei pasar sebelumnya, kerugian yang diderita terlalu besar. ’’Tapi, media massa kan tidak. Mereka hanya ’ngikut’ di halaman korannya. Bila sudah efektif, baru giliran penerbit bekerja,’’ kata pria yang berulang tahun tiap Desember itu.

Tidak ada perayaan khusus untuk ulang tahun ke-40 Gundala? Hasmi mengatakan, beberapa fans memang sempat mengontak untuk mengadakan acara kecil. ’’Tapi, saya kurang paham. Belum dikontak lebih detailnya. Rencananya sih akan dilaksanakan di Jakarta,’’ tuturnya.

Melukis Bersama hingga Orasi Budaya

Menyambut Pergantian Tahun ala Seniman Jogja
A. Riyadi Amar
http://www.radarjogja.co.id/

Ada banyak cara yang dilakukan masyarakat Jogja untuk menyambut detik-detik pergantian tahun baru kemarin. Mulai menggelar doa bersama, pesta kembang api, hiburan musik hingga melukis bersama. Juga ada pertunjukan seni tradisional bernuasa modern seperti gamelan gaul, barongsay, jathilan dan kolaborasi keroncong karawitan serta orasi budaya.

Kanvas berukuran panjang antara 3 x 6 meter terlihat berjajar di tembok warna putih. Satu per satu perupa mengambil kanvas, bersiap melakukan aksi menggoreskan cat. Di antara perupa, dari yang muda hingga tua, ada yang melukis sambil berdiri. Ada pula yang sambil duduk di lantai keramik warna putih itu.

Itulah gambaran aksi puluhan perupa di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) dalam rangka menyambut detik-detik pergantian tahun. Perupa kawakan Djoko Pekik dan Suradmaji terlihat sangat akrab ketika melukis bersama di satu kanvas.

Pekik melukis seorang pria berambut ngepang yang sedang mengenakan topeng perempuan cantik. Lukisan yang didominasi warna kuning itu seakan menggambarkan kondisi realitas politik di tanah air. Di sebelah kiri, ada lukisan hasil karya perupa Suradmaji.

Mengenakan topi dan pakaian serba hitam, Suradmaji melukis tangan yang menggambarkan seakan ada orang yang tenggelam dan minta tolong. Dalam lukisan yang didominasi merah itu, Suradmaji juga menulis kalimat ndladuk asu ndladuk dan merahnya merah.

Tidak hanya perupa Djoko Pekik dan Suradmaji yang terlihat unjuk kebolehan menggoreskan cat kedalam kanvas. Perupa kawakan yang lain seperti Kartika Afandi dan Nasirun juga ikut memperlihatkan keahlihannya di hadapan ratusan pengunjung.

Hal yang ditampilkan adalah hal yang indah, mengagumkan dan membuat tenang. Padahal sebenarnya ada kejahatan yang disembunyikan dalam gambar yang indah itu. Mereka tidak berkomunikasi baik dengan masyarakat. Ada yang disembunyikan,’’ kata Djoko Pekik saat ditemui koran ini.

Sutradara kondang Garin Nugroho dalam orasi budayanya mengatakan, tahun 2008 diisi dengan politik tanpa rasa haru. Dari 500 pilkada yang sudah digelar di tanah air, semuanya menampilkan alat peraga kampanye berupa poster dan lain-lain yang jauh dari realitas sosial masyarakat.

Hampir semua menampilkan poster, tidak memperhatikan realitas rakyat sesungguhnya. Poster tidak memperhatikan hal-hal kecil dari masyarakat,” kata Garin.

Politisi lebih menonjolkan wajah dan profil mereka masing-masing. Namun tidak ada satu gambar yang menampilkan hubungan antara politisi dengan realitas masyarakat. “Kampanye mereka kebanyakan narsis. Hanya menampilkan diri mereka sendiri, tidak ada yang berhubungan dengan realitas masyarakat,” terangnya.

Dikatakan, berdasarkan hasil survei beberapa lembaga, lanjut Garin, popularitas politisi yang duduk di DPR, DPRD dan lembaga politik lain turun drastis. ‘’Ini kan ada yang tidak beres dari perilaku politisi kita selama ini. Politisi kehilangan rasa haru, kepekaan sastra dan kesenian. Padahal, ini penting untuk bisa memahami realitas,” ungkapnya.

Sementara rohaniawan Romo Budi Subanar mengungkapkan, tahun 2009 ini harus dijadikan renungan untuk menata kehidupan yang lebih baik. Jika selama ini masyarakat dalam berpolitik lebih mengarah pada ekonomi, maka, 2009 masyarakat harus berpolitik yang berbudaya.

Orang Jawa percaya dengan realitas. Sebelum bertindak, mereka selalu kosentrasi bertanya keluar dan ke dalam diri sendiri. Kemudian pada tahap berikutnya merenungkan asal mula kehidupan dan tujuan hidup,” kata dosen Universitas Sanata Dharma (USD) ini.

Romo Banar menilai selama ini masyarakat termakan oleh produksi dan konsumsi imajiner. Realitas ini dihadirkan oleh para politisi yang selalu membawa janji-janji manis perubahan. Menurut Banar, para pemimpin seolah-olah bisa mengatasi persoalan, seolah-olah selalu diterima oleh masyarakat.

Padahal sebenarnya tidak demikian. Negara ini membutuhkan seorang pemimpin yang mampu membawa perubahan seperti yang diharapkan. Masyarakat butuh bukti bukan janji kosong,” keluhnya.***

Didera Vertigo, Novelis N.H. Dini Pilih Aktif Melukis

Pratono
http://www.radarjogja.co.id/

Pengarang terkemuka N.H. Dini mengisi hari tua dengan aktif melukis. Karya lukisnya dijual untuk mengongkosi pengobatan sakitnya serta biaya hidup di panti lansia. Dia tetap bersemangat meski tinggal seorang diri, sementara dua anaknya tinggal di luar negeri.

PONDOK mungil di Desa Lerep di kaki Perbukitan Ungaran, Kabupaten Semarang, itu tampak asri dengan berbagai bunga serta tanaman di sekeliling halaman. Hawa sekeliling pondok di kompleks Wisma Lansia Langen Werdhasih tersebut sejuk dengan pemandangan yang indah.

’’Ya inilah hiburan saya kalau di rumah, merawat tanaman,’’ tutur N.H. Dini kemarin sambil menunjuk koleksi tanamannya.

Mengurusi tanaman adalah bagian keseharian pengarang novel Namaku Hiroko (1977) itu. Sebab, dari sanalah dia mengaku sering mendapat inspirasi untuk menulis. Setelah beberapa kali pindah tempat tinggal sejak memutuskan kembali ke Indonesia, sudah dua tahun terakhir mantan istri diplomat Prancis itu tinggal di Ungaran.

Wajah penulis produktif kelahiran Semarang 29 Februari 1936 tersebut tampak cerah. Seperti tulisan-tulisannya yang dinamis, Dini tetap bersemangat menerima Radar Semarang (Jawa Pos Group) yang didampingi Amang Suramang, komunitas baca Goodreads Indonesia.

Ibu dua anak itu memang tidak bisa dipisahkan dari dunia sastra Indonesia. Lebih dari 30 karya, baik novel, kumpulan cerita pendek, maupun terjemahan, telah dibukukan. Beberapa di antaranya bahkan sudah beberapa kali cetak ulang. Beberapa penghargaan atas perannya di dunia sastra dia terima. Salah satunya SEA Write Awards 2003 dari Kerajaan Thailand. ’’Hitung saja sejak 1970 saya menulis. Hampir setiap tahun ada yang terbit,’’ ujarnya.

Hanya, sejak sekitar pertengahan 2008, aktivitas menulis pengarang novel laris Pada Sebuah Kapal (1972) dan La Barka (1975) itu terhenti. Dia lebih berkonsentrasi melukis, sebuah aktivitas yang sebenarnya juga digeluti sejak 1960-an.

Selama ini, Dini memang telanjur lebih dikenal sebagai pengarang daripada pelukis. Namun, saat usianya sudah kepala tujuh ini, dia mengharapkan kegiatannya melukis bisa menjadi gantungan hidup. Terutama saat royalti yang diterima dari penjualan buku-bukunya sudah tak mencukupi biaya hidupnya sehari-hari.

Belasan lukisan bergaya dekoratif Tiongkok kemarin masih tersimpan di pondoknya. Lukisan-lukisan tersebut dia tawarkan Rp 5 juta–Rp 9 juta per buah, bergantung ukuran dan bahan yang digunakan. Mantan pramugari Garuda tersebut lebih senang menggunakan media tinta bak China di atas kertas biasa dan kertas China.

Khusus lukisan di atas kertas China, harga yang ditawarkan memang lebih tinggi. ’’Sebab, kertas yang tipis itu harus dibeli di Hongkong atau Singapura. Tidak ada di sini (Indonesia),’’ tegasnya.

Dini mengaku, melukis di atas kertas China sangat sulit. Karena kertasnya rapuh, dia harus menorehkan kuas dengan cepat dan lembut. Tapi, kelebihannya, pada tahap washing (pemberian warna dasar) lebih mudah. ’’Kalau pakai kertas China, dikuas dari belakang langsung meresap. Kalau kertas biasa, pemberian warna dasar lebih lama karena sulit meresap,’’ jelasnya. Tinta bak China dipilih karena bisa didegradasi menjadi sembilan warna.

Kedatangan perwakilan komunitas baca Goodreads Indonesia bersama Radar Semarang kemarin bertujuan mempersiapkan acara ulang tahun bagi Dini. Yakni, pada akhir Februari atau awal Maret 2009. Acara itu memang tak sepenuhnya bisa disebut peringatan ulang tahun karena wanita tersebut lahir pada 29 Februari. Tanggal itu hanya muncul empat tahun sekali (tahun kabisat).

Kegiatan tersebut, kata Amang, akan dikemas seperti ajang pertemuan antara pengarang dengan pembaca. Dini akan diberi kesempatan membacakan bagian novel yang ditulisnya dilanjutkan dengan diskusi dengan pembaca. ’’Selain itu, akan ada pameran serta lelang lukisan-lukisan karya Bu N.H. Dini,’’ tutur Amang yang kemarin mengambil foto beberapa lukisan untuk membuat katalog.

Sejak beberapa tahun terakhir ini Dini terserang vertigo. Awalnya, dia agak meremehkan penyakit tersebut dengan tidak berobat secara rutin. Tapi, vertigo sering kambuh, dia merasa tidak bisa beraktivitas secara normal. Akibatnya, banyak kegiatan yang terganggu. Termasuk tugas membimbing skripsi atau tesis sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.

’’Kalau saya harus membatalkan bimbingan skripsi karena sakit, anak bimbing saya kan rugi. Dari sana saya sadar agar berusaha tetap sehat, sehingga bisa membantu orang lain,’’ tegas wanita yang selama 24 tahun hidup dengan Yves Coffin (menikah pada 1960 hingga bercerai pada 1984), diplomat Prancis, yang tinggal berpindah-pindah dari Jepang, Kamboja, Filipina, Prancis, dan Amerika itu.

Saat ini, secara rutin wanita dengan dua anak –Marie-Claire Lintang dan Pierre Louis Padang (keduanya tinggal di luar negeri)– tersebut tiga kali dalam seminggu menjalani pengobatan tusuk jarum pada seorang kenalannya di Kota Semarang.

Sebagai seorang wanita yang hidup mandiri (tidak mau merepotkan anak), biaya hidup Dini setiap bulan tidak sedikit. Untuk biaya taksi menuju tempat praktik tusuk jarum, dirinya harus membayar Rp 140 ribu pulang pergi. Jadi, dalam sebulan hampir Rp 2 juta harus dikeluarkan hanya untuk biaya taksi.

Biaya hidup di Wisma Lansia yang terdiri atas makan, minum, air, dan listrik mulai Januari 2009 akan naik menjadi Rp 2 juta per bulan. Jadi, dalam sebulan, dia membutuhkan biaya hidup minimal Rp 4 juta. Untuk memenuhi kebutuhan itulah, dia menjual lukisan-lukisannya.

’’Royalti dari buku sangat kecil, sedangkan biaya hidup saya semakin bertambah usia malah semakin besar,’’ ungkap Dini yang menulis sejak di bangku kelas 3 SD itu.

Menurut dia, royalti terakhir yang dia terima tidak sampai Rp 6 juta. Itu merupakan royalti selama enam bulan untuk sejumlah buku yang diterbitkan sebuah penerbitan besar.

Meski untuk sementara berhenti menulis, sebenarnya aktivitas Dini di dunia sastra tidak berhenti. Dalam hard disk komputernya saat ini ada tiga naskah –sebuah novel dan dua seri cerita kenangan– yang sebenarnya siap diterbitkan.

’’Kalau tabungan saya cukup, ya saya tinggalkan dulu melukisnya. Kalau semua lukisan saya laku, saya janji meneruskan menerbitkan buku yang perlu sedikit dibongkar itu,’’ katanya. (el)

Suka Disebut Sastrawati Pinggiran

http://www.radarjogja.co.id/

SEBAGAI penulis, Anin, sapaan Anindita Siswanto Thayf, lebih suka menyebut dirinya sastrawati pinggiran.

Karya yang ditulisnya adalah sastra pinggiran. Ungkapan sastra pinggiran adalah ungkapan yang lebih disukainya.

“Saya adalah penonton yang menonton dari pinggir, sebagai pengamat. Bukan orang yang secara langsung terlibat dalam cerita. Cerita saya adalah cerita yang ditulis dari pinggir. Karena itu saya menyebutnya sastra pinggiran,” tuturnya.

Anin juga mengatakan Tanah Tabu, novelnya yang memenangkan penghargaan Dewan Kesenian Jakarta juga merupakan sastra pinggiran. Ketika menulisnya, dia tidak punya pengharapan tinggi apakah karya tersebut akan diterima dengan baik atau tidak.

“Bagi saya, sastra pinggiran harus terus ditulis. Entah usaha itu akan gagal atau berhasil, waktu jualah yang akan menilai. Yang terpenting bagi saya, percobaan itu telah saya lakukan,” ujar istri Ragil N ini singkat.

Nyatanya, Tanah Tabu mendapat pengakuan dari Dewan Kesenian Jakarta. Anindita ditetapkan sebagai satu-satunya pemenang. Cerita yang bersetting di Papua itu ditulis Anin tanpa sekalipun menginjakkan kakinya ke sana.

Alasan kenapa dia tidak pernah mengunjungi Papua untuk keperluan novelnya rupanya sederhana. “Ongkos ke sana mahal. Untuk pulang ke Makassar saja saya tidak bisa sering-sering. Apalagi ke Papua,” katanya dalam bedah buku novel ini di Yayasan Umar Kayam beberapa saat lalu.

Tanah Tabu dibuat berdasarkan riset terhadap sejumlah sumber, termasuk web komunitas dan blog pribadi selama dua tahun. Ide menulis tentang Papua datang dari kisah-kisah penduduk Papua yang sempat mampir di telinganya.

“Satu kenyataan pahit yang sempat membuat saya tersentak kaget dan miris, ketika menemukan betapa tidak mudahnya orang Papua mencari rumah kontrakan atau kos di Jogja, yang sesuai keinginan mereka,” jelasnya.

Pemilik kontrakan atau kos-kosan tidak berkenan menyewakan rumah atau kamarnya kepada penduduk Papua karena mereka tidak mewakili karakter “tetangga yang baik”. Orang Papua sering dinilai menghilangkan kenyamanan karena suka bikin ribut. “Mereka dianggap menyusahkan karena suka berbicara keras, memasang musik dengan keras, dan bertengkar keras-keras,” kata sarjana Teknik Elektro ini.

Sejak saat itu, dia semakin bersemangat menulis kisah penduduk Papua. Bahkan menulis itu pun bukan hal mudah baginya yang buta tentang Papua. “Terus terang, menulis Tanah Tabu bukan sesuatu yang mudah bagi saya,” paparnya.

Mengapa? Pertama, dia harus meninggalkan kepentingan menengah yang selama ini disandangnya. Dia harus membuat cerita yang tidak sesuai dengan persoalan-persoalan kelas sosialnya sendiri. “Di titik itu, saya sempat berpikir, jangan-jangan novel saya tidak akan terbeli,” paparnya.

Kedua, menulis Tanah Tabu membuatnya harus memihak. Konon, penulis harus netral. Tapi rupanya, dia harus memilih memihak manusia-manusia pinggiran seperti Mabel, Mace dan Leksi. Ketiga tokohnya adalah perempuan Papua. Tiga generasi dengan tiga karakter dan permasalahan berbeda.

“Saya sengaja menulis tentang Mabel, Leksi, dan Mace karena ingin membantu perempuan-perempuan tertindas lainnya dengan bakat dan kemampuan yang saya miliki: menulis. Harapannya, semoga tulisan saya bisa mengusahakan sedikit perubahan yang baik untuk mereka,” terangnya. (luf/nis)

Nobel Sastra Milik Penulis Anti-Tirani

http://www.radarjogja.co.id/

STOCKHOLM – Herta Mueller, 56, warga Jerman kelahiran Rumania menyabet Nobel Sastra. Panitia memilihnya karena Mueller dinilai mampu berkonsentrasi pada karya puisi dan prosa yang kritis, penuh dengan keterusterangan.

’’Dia bisa menjelaskan keadaan di saat hak milik (banyak orang) dicabut (oleh rezim berkuasa saat itu),’’ jelas Panitia Nobel seperti dikutip Associated Press kemarin (8/10).

Wanita kelahiran 17 Agustus 1953 itu memulai debutnya dengan menghasilkan kumpulan cerita pendek Niederungen pada 1982. Namun, karyanya disensor oleh pemerintahan komunis Rumania yang berkuasa kala itu.

Mueller pantang menyerah. Dua tahun kemudian dia berhasil mempublikasikan versi non-sensor di Jerman, yang menuai sambutan hangat. Dan, pada tahun yang sama, Mueller yang kini tinggal di Berlin ini juga menerbitkan Drueckender Tango di Rumania. Hanya beberapa karyanya yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Termasuk The Passport (1986), The Land of Green Plums (1994) dan The Appointment.

Mueller juga mendapatkan beberapa penghargaan dari berbagai universitas, kampus dan lembaga lain di Paderborn, Warwick, Hamburg, Swansea, Gainsville (Florida), Kassel, Gottingen, Tubingen and Zurich dan di tempat lainnya.

Sejak awal Mueller tertarik pada dunia sastra. Dia mempelajari sastra Jerman dan Rumania di Universitas Temeswar yang berada di Timis, Oara. Selama kuliah pun dia bergabung dengan Aktionsgruppe Banat. Yaitu sebuah kumpulan penulis muda Jerman yang menentang keditaktoran Nicolae Ceausescu. Mereka menginginkan adanya kebebasan dalam berbicara.

Setelah lulus Mueller bekerja sebagai penerjemah di pabrik mesin sejak 1977 hingga 1979. Tetapi dia dipecat ketika menolak menjadi informan untuk polisi rahasia. Sejak saat itu hidupnya diusik oleh polisi rahasia Rumania, Securitate.

Alasan lainnya adalah karena sebagian besar puisi dan prosa Mueller memaparkan kehidupan pemerintahan Rumania di bawah sang tiran Nicolae Ceausescu yang penuh tekanan, korupsi dan intoleransi. Maka, pada 1987 dia bersama suaminya, Richard Wagner pindah ke Jerman. Dan sejak 1995 Mueller menjadi anggota Deutsche Akademie fur Sprache und Dichtung di Darmstadt.

Darah semangat juang Mueller merupakan turunan dari kedua orang tuanya. Kala itu kedua orangtuanya merupakan anggota pembicara minoritas di Rumania. Kondisi berat pada perang dunia II kala itu membuat keturunan Jerman-Rumania dideportasi ke Uni Soviet pada 1945.

Termasuk ibunya yang menghabiskan hidupnya selama lima tahun di kamp pekerja di Ukraina. Setelah perang berakhir, Mueller menuangkan kesengsaraan ibunya selama hidup di pengasingan melalui karyanya yang ditulis di Atemschaukel pada 2009. (jpnn)

Kamis, 28 Januari 2010

‘Inkubator’ Pengembangan Bahasa Jawa

Sudartomo Macaryus
http://www.kr.co.id/

Inkubator, dalam bidang kesehatan digunakan untuk mengisolasi bayi yang memerlukan perawatan khusus. Sistem inkubator dimaksud ialah upaya membina dan mengembangkan bahasa Jawa pada lingkup geografis yang tertentu berdasarkan pemetaan wilayah yang secara konsisten menggunakan, memelihara, dan mengembangkan bahasa dan sastra Jawa. Karakteristik lainnya misalnya wilayah yang secara sinergis melaksanakan pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa secara terpadu antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Wilayah dengan indikator tertentu tersebut dapat ditetapkan sebagai lahan pembinaan dan pengembangan. Setelah berkembang, hasilnya sebagai model pembinaan dan pengembangan di daerah lain. Penentuan wilayah sebaiknya berdasarkan hasil pemetaan potensi di masing-masing kabupaten.

Upaya selanjutnya memperluas ranah penggunaan bahasa Jawa pada bidang yang bergengsi. Pertama, penggunaan bahasa Jawa sebagai pengantar skripsi, tesis, dan disertasi mahasiswa di Jurusan / Program Studi Bahasa dan Sastra Jawa dan Jurusan / Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa sebagai bukti kefasihan mahasiswa dalam berbahasa Jawa secara tertulis.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Prof Dr Edi Subroto. Menurutnya, mahasiswa Jurusan/Prodi Bahasa Inggris dan Jurusan/Prodi Pendidikan Bahasa Inggris wajib menulis skripsinya dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu, mahasiswa bahasa dan sastra Jawa juga perlu diwajibkan. Kedua, di Suriname yang 20 persen masyarakatnya keturunan Jawa memiliki dua stasiun televisi yang seluruh siarannya menggunakan bahasa Jawa. Pemda Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur yang menjadi sentral penggunaan bahasa Jawa tentu dapat mengupayakan hal tersebut.

Ketiga, berbagai perkembangan mengenai bahasa Jawa diinformasikan dengan menggunakan bahasa Jawa melalui media komunikasi cetak dan elektronik. Misalnya sejarah persebaran penutur bahasa Jawa yang sampai di berbagai wilayah di Indonesia (Lampung, Deli, Banjarmasin, dsb) dan di luar negeri sampai di Suriname dan Belanda, sarjana-sarjana yang telah meraih prestasi internasional atau meraih gelar akademik tertinggi yang meneliti bahasa dan sastra Jawa, dsb.

Semua itu memiliki kemungkinan ditampung dalam wadah yang menangani informasi, dokumentasi, dan publikasi mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan bahasa dan sastra Jawa. Keempat menambah surat kabar yang membuka rubrik basa Jawa sebagai upaya peningkatan ranah penggunaan bahasa Jawa.

Tanpa Perda?

Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang, tahun 2006 merekomendasi perlunya perda sebagai payung hukum pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa. Oleh karena itu, masyarakat wajib mengingatkan ketiga pemerintah daerah, yaitu Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Teguh Supriyanto berupaya mengingatkannya melalui artikel berjudul ‘Menunggu Perda Bahasa Jawa’ di Kompas (30/3/2009) yang ditanggapi Ari Subagyo dengan mempertanyakan apakah nasib bahasa Jawa tergantung perda?

Fenomena yang terjadi di Yogyakarta menunjukkan nasib bahasa Jawa tidak ditentukan oleh perda. Adanya perbedaan situasi di Jawa Tengah yang terdapat beberapa dialek dan di Jawa Timur yang terdapat dialek Jawa dan bahasa Madura dan bahasa Osing.

Ungkapan Witing tresna jalaran saka kulina (rasa cinta tumbuh dari kebiasaan) merupakan alasan perlunya perda untuk ‘memaksa’, sebab yang mulanya terpaksa, akan menjadi biasa, dan akhirnya menjadi budaya. Pemaksaan tentu harus didasari rasa peduli, cinta, kagum, dan setia agar kegiatan tidak bergantung proyek tetapi menjadi milik masyarakat dan tidak pernah habis. Tanpa rasa peduli, cinta, kagum, dan setia, perda hanya akan menjadi alat pemaksa untuk mencari proyek dengan kedok nguri-uri bahasa (dan budaya) Jawa dan anggaran menjadi bancakan sia-sia.

Agar anggaran berfungsi optimal, pembinaan dan pengembangkan diarahkan pada daerah inkubator yang telah menunjukkan kepedulian, kecintaan, kekaguman, kesetiaan, dan prestasi. Daerah tersebut dapat dikembangkan pula menjadi tujuan wisata budaya dan pendidikan yang dipadukan dengan perda lain, seperti pendidikan dan pariwisata atau perda yang lain.

Imperatif berikutnya (dengan atau tanpa perda), secara personal atau institusional, tumbuhkan rasa peduli, cinta, kagum, dan setia pada bahasa Jawa dengan mengajak anak-anak di sekitar rumah, RT dan RW untuk membaca gurit, cerkak, bermain sandiwara, dan sebagainya.

Manfaatkan hari-hari nasional atau yang lain sebagai ajang menampilkan prestasi pembinaan bahasa dan sastra Jawa dalam bentuk lomba, festival atau seni pertunjukan. Semangat peduli, cinta, kagum, dan setia pada lingkup/ perkara kecil berpeluang dikembangkan pada lingkup/perkara besar. Kita semua terpanggil, asal mau!

*) Dosen FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogya sedang menempuh S3 Linguistik di UNS.

1927, Tagore dan Pablo Neruda bertemu di Jawa

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/

Puisi bertitel Kepada Tanah Jawa, bukti Rabindranath Tagore (7 Mei 1861 - 7 Agus 1941) pada tahun 1927, di usianya ke 66, selepas jauh mendapatkan Nobel Sastra 1913, dirinya berada di bencah tanah Jawa.

Halaman 357, tepatnya sub judul, Hubungan Kita dengan Rabindranath Tagore. Ki Hadjar Dewantara dalam bukunya, bagian II A: Kebudayaan (terbitan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1967), berkata, bahwa pada tahun 1927, Sang Pujangga Rabindranath Tagore berkunjung ke perguruan Mataram Jogjakarya.

Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Pablo_Neruda. Menyebutkan Neruda di tahun 1927 dalam usianya ke 23, putus asa oleh kemiskinan, menerima jabatan konsul kehormatan di Rangoon, kolonial Burma, tempat yang belum pernah didengarnya.

Lalu bekerja serabutan di Kolombo (Sri Lanka), Batavia serta Singapura. Di tanah Jawa, bertemu dan menikahi istri pertama, seorang Belanda pegawai bank, yang bernama Maryka Antonieta Hagenaar Vogelzang.

Sementara menjalani tugas diplomatik, Neruda banyak membaca puisi, bereksperimen berbagai bentuk puisi. Menulis jilid pertama, dari kumpulan puisinya dua jilid, Residencia en la tierra (Menetap di Negeri), mencakup banyak puisi surealis yang belakangan terkenal. Pablo Neruda lahir di Parral, sebuah kota sekitar 300 km di selatan Santiago, Chili, 12 Juli 1904, meninggal 23 September 1973, dalam umurnya 69 tahun. Yang mendapatkan Nobel di bidang sastra tahun 1971.
***

Sejarah waktu bergerak, bersama kematangan jiwa menyepakati soal mengolah misteri tubuh, merebut ingatan lama, membetot alam purba dari kesilapan ditumpuk padatan kerja.

Lupa mengeja bathin mengejawantah, luasnya kesadaran ladang-ladang kemungkinan patut digali, penuh suntuk berkeringat, terbakarnya lemak terlena.

Alasan logika mudah dibenarkan, dengan serentetan perolehan akal, meski belum tentu, ketika adanya penalaran baru, lebih runtut dari sebelumnya.

Dan persoalan hati kerap tak masuk akal, tapi mudah diterima, pun ditolak dengan kebencian, di sinilah pijakan keliaran menerka, meyakini keraguan.

Atau keraguan sekaligus memberikan gambaran realis, titik-titik seimbang setaburan gemintang, dipetik demi pengetahaun di tempat lain.

Gitanyali mengantarkan Tagore mendapatkan Nobel, serta menyorong nasibnya bertemu Ramona Victoria Epifanía Ocampo (7 April 1890 – 27 Januari 1979) di Argentina.

Detik-detik penuh kelembutan kasih sayang, yang dikenang sepanjang jaman, meski keduanya jauh berselisih usia, Tagore 63 dan Victoria 34 tahun.

Atas dorongan ketidakmungkinan itu, kupertemukan Tagore-Neruda di tlatah Jawa, dalam masa-masa tak terjamah.

Kala itu, Tagore telah jadi pujangga besar dunia dan sudah berkeliling Eropa, namun dirasa belum genap takdirnya, kalau tidak injakkan telapak kaki di tanah Dwipa, yang dianggapnya tanah kedua India.

Di mana kisah besar seperti Ramayana, meresap ke tulang sum-sum bumi Jawa, sementara Pablo Neruda, dihempaskan nasib pahit kemiskinan sampai Batavia.

Menetap beberapa lama sebab menikahi orang belanda, dan kandas berceraian, sebelum menikah lagi dan lagi.

Waktu tidak dapat diatur lewat ketetapan pasti, kadang hanyut searus sungai menderas, pun pelan gemerincing di kaki-kaki batu, pula mandek datangnya el-maut.

Juga rahasia di balik penciptaan karya, seakan tiba-tiba atau keberuntungan, padahal sudah dipersiapkan atas jiwa kematangan.

Usaha keras membathin laksanakan perintah hati menyeberangi kemungkinan lahiriah, lantas melancong melampaui tubuh gagasan sebelumnya.

Ada keserupaan mimpi, lagi seakan terjadi, padahal tengah berjalin, begitulah kelahiran berulang, memasuki pepintu alam, penuh warna hakikat kedalamannya.

Pertemuan Tagore-Neruda tidak dibuktikan lewat kata-kata, namun dengan memenangkan hadiah yang sama, Nobel di bidang sastra, jiwa besar keduanya berjumpa lebih berwibawa.

Ada kesungguhan ampuh, tatkaka kaki-kaki Neruda di atas tanah serupa, kemendadakan jatuh takut sesuatu, secepat kilat kelopak mata terkatup, keterpejaman menyongsong ketakjuban, menghantar ke ruang kalbu saling terpaut rindu.

Atau dataran berbeda sama masanya, keterpisahan tidak suka, seperti di sisi jalan lain saling menuju satu arah, pun berpapasan sekadar kerling tidak mengenal.

Namun ada suara keganjilan, gema yang suatu waktu hadir dengan wujud tidak serupa, tetapi dari simpanan saling merindu sama-sama terluka.

Para insan berjiwa tangguh, memiliki daya tarik mendekat pula menjauh, dinaya terpantul atas niatan menyunggi beban hasrat kesunyian masing-masing, sedang jiwa yang tanggung hanya selintas lenyap.

Neruda sudah kenal sepak terjang Tagore, kebetulan itu kuasa tuhan pertemukan bahagia, Neruda tengah bulan madu di sekitar candi Borobudur, menikmati kesempatan menghirup alam tropis, di ketinggian gunung peradaban.

Setiap pagi-pagi bersama istri menaiki ondak-ondakan candi, sambil membawa catatan kembara, merevisi di samping relief-relief, yang masih sunyi pengunjung.

Ada semangat mengabadikan karya, kala menatap arca bergelimpangan hilang kepalanya, jiwanya terbang membumbung, bagai burung mengitari percandian.

Siang teduh dipayungi mendung, menggiring lamunan jauh, sambil memadukan irama puisinya dengan alam sekitar, yang sejuk permai.

Kadang sang istri bermanja-manjaan, ingin dikedup hangat sayang, ada kilauan cahaya, tatkala pengantin muda berpaut pagut ke dalam kuluman bibir tak habis manis, kian hari menggemuruh.

Merontokkan perasaan malu menjadi akrab bersahabat, sedegupan jantung selaguan alam Dwipa, dan apa yang digurat, kelak bernyanyian syahdu senantiasa dirindu.

Kedua insan hendak turun pulang menuju pondokan, tiba-tiba pandangan Neruda, disentakkan bayangan dikenalnya lewat majalah.

Dirinya merinding bergetar memasuki alam serupa mimpi, ketaksangkaan mengharu bathin sukmanya, menatap berkeyakinan dalam jiwa berselidik.

Benarkah yang duduk Rabindranath Tagore, pelan-lahan didekatinya sosok alim nan rupawan. Neruda perkenalkan diri disertai istrinya, lalu menanyakan kebenaran pertemuannya dengan pujangga Bengali.

Bibir Tagore terkatub bergetar bukan apa, usinya sudah lanjut, disamping habis menaiki tangga percandian, tapak-tapak melelahkan, hingga mengatur nafas sebelum berucap, pelan berkata, membenarkan pertemuan.

Dilihatnya Neruda membawa berkas-berkas kertas, namun tidak ditanya isinya, cepat-cepat jiwa muda Neruda mengulurkan tangan memberikannya, demi diselidik meminta pengertian.

Dengan lembut, Tagore menatap tulisan, membacanya dalam hati, meresapi betul tiap kata. Lalu dipandangnya hamparan percandian, didongakkan kepala ke langit tersenyum. Sedang Neruda sudah dari tadi merinding, seakan di hadapan maha guru spiritual.

Pertemuan singkat itu membekas di benak Neruda, seolah dapati karcis memasuki dunia sastra dengan jiwa besarnya, di ubun-ubunnya seakan mendapati restu pujangga India.

Tanah Jawa jadi saksi sejarah, bertemunya jiwa-jiwa mengemban hikayat hayat, demi mata air kesusastraan dunia, bathin purna sekepal batu mutiara memantulkan percaya diri demikian indah.

Lagu keraguan langgam surut, pula kadang berpasang segelombang laut selatan, suara-suara alam menguak tabir pertemuan dengan keluguan rupawan.

Pesona kejujuran bumi menghantar setiap cerita pada derajat ketinggian sah, seperti bayangan warna surga, meski belum memasuki nikmatnya.

Demikian tafsiranku, yang sejatinya alam menafaskan pertemuan mereka. Diriku sekadar tangkai pepaya, dimainkan anak-anak nasib di sungai kehidupan.

Maka haturkan maaf kepada bunda pertiwi, kalau sampai kini, belum ada anak-anaknya menyembul keluar gelanggang dunia sastra, seperti keduanya.

Semoga kelak tumbuh jiwa-jiwa seluas cakrawala, mengharumkan bangsa, tidak sekadar mewangi di telatah tanah airnya semata.

Kepada Yth Edgar Sahabatku

Hasnan Bachtiar

Aku memahamimu Edgar, penghianatan Helen, perihnya seseorang di surga, dan membiasnya asa bahkan dalam mimpimu. Saat kejadian Tamerlence, begitu pula aku, tiada kehidupan. Kau temukan suratku untukmu, benar kan Edgar? Kutulis, “tak ada apapun yang tersisa untuk disembunyikan dalam kehidupan.” Nampaknya kau mulai menikmatinya, kehidupan, Ligeia, sampai sesakit maut itu indah asal kau jumpai asamu. Tapi kau mencipta Edgar, kaulah penyebab datangnya maut itu, jangan tolol, kau pembunuh di Rue Morgue! Aku senang, kau mengakuinya.

Memotret Singkat Perjalanan Sang Pengelana (Catatan Kenangan Perjalanan)

Denny Mizhar

Udara panas kota Lamongan membuat gerah, waktu itu tak ada alasan untuk tidak berjumpa dengannya. Saya hubungi lewat hand phone, memastikan keberadaannya. Saya baru pertama kali jumpa dengannya waktu dia berkunjung ke kota rantau saya untuk membincang bukunya Kitab Para Malaikat kira-kira tahun 2008-an .

Sungguh buku kumpulan puisi yang tak biasa bagiku, bukan saja aku yang berkata demikian. Sehabis acara tersebut, saya tunjukkan pada kawan. Lalu bertanya padaku “Apa ini puisi?” aku jawab “Ya, ini puisi, lihat saja tertulis antologi puisi pada caver depan.” Begitulah awal perjumpaanku dengan pengelana dari Kendal Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

Saya yang baru saja memasuki dunia kata-kata (penulisan) khusunya puisi, ingin sekali berkunjung kerumahnya. Setelah saya pastikan ada dirumahnya. Motor saya pacu menuju kediamannya. Saya disambut hangat olehnya. Dan kita berbincang-bincang tentang kepenulisan, dia mengeluarkan buku-buku yang pernah di terbitkan stensilan, juga yang sudah di cetak dengan bagus. Saya terkesima dengan prosesnya. Kita berbicara kesana kemari, lalu dia masuk kedalam rumahnya. Rupanya mengambil buku yang isinya puisi di tulisnya dengan mesin ketik dan tebal sekali. Dia rekatkan dengan lem puisi-puisinya di buku tulis yang tebal sekali. Dalam hatiku ketika tulisan menggunakan mesin ketik tentunya sudah lama sekali.

Sehabis kita berbincang tentang buku-bukunya, lalu kita lanjutkan mengenai web yang di kelolanya yakni Sastra-Indonesia.com. Saya mengikuti perkembangan web ini juga blog-blognya sebagai pasukan jemari ujarnya. Sungguh kegigihan untuk berjuang mengenai kesusastraan. Aku selalu berdo’a untuknya agar kerjanya tak perna sia-sia dan berguna untuk Indonesia khusunya dunia sastra.

Tidak hanya sekali itu kami berjumpa, setiap pulang ke kampung halaman saya usahan untuk mengunjunginya. saya berharap ada motivasi-motivasi yang selalu disulutkan. Sebab saya masih sering terlena mendiami kemalasan untuk berusaha lebih baik. Dan dia selalu mendorong saya untuk lebih baik dan ulet untuk menulis khususnya puisi. Tak pernah aku dapat pelajaran yang berharga ini dari seorang yang benar-benar total di dunia kesussatraan, itu pandangan saya sebab saya belum tahu banyak tentang dunia sastra hanya orang-orang penulis satra di malang. Tempat saya kuliah dan bekerja.

Tak habis berpikir tanpa bantuan siapa-siapa dia mengelola web yang tampilan dan segalanya dia pesan pada temannya untuk di buatkan dan dia tinggal memposting tulisan-tulsannya juga tulisan-tulisan yang ia suntuki di halaman-halaman web koran, blog-blog punya penulis-penulis lainya atau buku-buku yang sudah lama. Ruang kerjanya adalah rumah dan tempat-tempat dimana dia singgah waktu itu.

Untuk kesekian kalinya, saya berkunjung kerumahnya. Saya temui di ruang kerja rumahnya. Yakni dalam toko kelontong di antara tumpukan-tumpukan barang jualannya dia membuat kolong yang bisa di tempati untuk tiduran dan menulis, sambil menjaga tokonya, kalau ada orang beli dia melayani.

Segalahnya daya dia berupaya untuk benar-benar masuk, berdiam dan bergerak dalam dunia kesusastraan. Tidak pernah mempertimbangkan untung dan rugi secara materi yang dia lakukan. Saya melihatnya adalah upaya-upaya membuat karyanya lebih baik dan terus baik. Bahan bakunya dalam menuangkan karya puisi dan karya tulisnya, dia membongkar-bongkar buku-buku lama yang isinya belum tentu sastra tetapi refrensi-refrensi lain yang menunjang baginya.

Begitulah kamera saya membidik sang pengelana Nurel Javissyarqi. Pengelana asal Kendal Kemlagi, desa yang jauh dari pusat kota Lamongan bahkan tranportasi umum jarang lewat. Tentu banyak hal juga yang tak saya ketahui. Tulisan ini saya buat, agar saya selalu terdorong akan kesemangatannya, ketotalannya, juga karya-karyanya banyak memberi pengetahuan bagi saya.

Malang-Lamongan, 2009

Kamis, 07 Januari 2010

Data Diri Mantan Presiden Abdurrahman Wahid

http://www.mediaindonesia.com/

Mantan Presiden Abdurrahman Wahid wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Rabu (30/12) pukul 18.45 WIB.
Berikut data diri Presiden keempat Indonesia yang dilengserkan 2001, sehingga posisi orang nomor satu negeri ini beralih ke Megawati Soekarnoputri yang sebelumnya menjadi Wakil Presiden.
Tempat, Tanggal Lahir : Jombang Jawa Timur, 4 Agustus 1940
Istri : Sinta Nuriyah
Anak :
1. Alissa Qotrunnada Munawaroh (P)
2. Zannuba Arifah Chafsoh (P)
3. Annita Hayatunnufus (P)
4. Inayah Wulandari (P)


ALAMAT
Rumah :
Jl. Warung Silah No. 10, Ciganjur
Jakarta Selatan 12630 - Indonesia
Kantor :
Jl. Duren Tiga Raya No. 4
Jakarta 12760 - Indonesia


PENDIDIKAN
1966-1970
Universitas Baghdad, Irak
Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab
1964-1966
Al Azhar University, Cairo, Mesir
Fakultas Syariah (Kulliyah al-Syariah)
1959-1963
Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur, Indonesia
1957-1959
Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia


JABATAN
1998-Sekarang
Partai Kebangkitan Bangsa, Indonesia
Ketua Dewan Syuro DPP PKB
2004-Sekarang
The WAHID Institute, Indonesia
Pendiri
2000-Sekarang
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Indonesia
Mustasyar
2002-Sekarang
Universitas Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur, Indonesia
Rektor


PENGALAMAN JABATAN
1999-2001
Presiden Republik Indonesia
1989-1993
Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI
1987-1992
Ketua Majelis Ulama Indonesia
1984-2000
Ketua Dewan Tanfidz PBNU
1980-1984
Katib Awwal PBNU
1974-1980
Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng
1972-1974
Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Ashari, Jombang
Dekan dan Dosen


PENGALAMAN ORGANISASI
2003
Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional
Penasihat
2002
Solidaritas Korban Pelanggaran HAM
Penasihat
1990
Forum Demokrasi
Pendiri dan Anggota
1986-1987
Festifal Film Indonesia
Juri
1982-1985
Dewan Kesenian Jakarta
Ketua Umum
1965
Himpunan Pemuda Peladjar Indonesia di Cairo – United Arab Republic (Mesir)
Wakil Ketua


AKTIVITAS INTERNASIONAL
2003-Sekarang
Non Violence Peace Movement, Seoul, Korea Selatan
Presiden
2003-Sekarang
International Strategic Dialogue Center, Universitas Netanya, Israel
Anggota Dewan Internasional bersama Mikhail Gorbachev, Ehud Barak and Carl Bild
2003-Sekarang
International Islamic Christian Organization for Reconciliation and Reconstruction (IICORR), London, Inggris
Presiden Kehormatan
2002-Sekarang
International and Interreligious Federation for World Peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat
Anggota Dewan Penasehat Internasional
2002
Association of Muslim Community Leaders (AMCL), New York, Amerika Serikat
Presiden
1994-Sekarang
Shimon Perez Center for Peace, Tel Aviv, Israel
Pendiri dan Anggota
1994-1998
World Conference on Religion and Peace (WCRP), New York, Amerika Serikat
Presiden
1994
International Dialogue Project for Area Study and Law, Den Haag, Belanda
Penasihat
1980-1983
The Aga Khan Award for Islamic Architecture
Anggota Dewan Juri


PENGHARGAAN
2004 Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Jakarta, Indonesia
2004 The Culture of Peace Distinguished Award 2003, International Culture of Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia
2003 Global Tolerance Award, Friends of the United Nations, New York, Amerika Serikat
2003 World Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan.
2003 Dare to Fail Award , Billi PS Lim, penulis buku paling laris Dare to Fail, Kuala Lumpur, Malaysia.
2002 Pin Emas NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Indonesia.
2002 Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
2001 Public Service Award, Universitas Columbia , New York , Amerika Serikat
2000 Ambassador of Peace, International and Interreligious Federation for World peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat.
2000 Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International
1998 Man of The Year, Majalah REM, Indonesia
1993 Magsaysay Award, Manila , Filipina
1991 Islamic Missionary Award , Pemerintah Mesir
1990 Tokoh 1990, Majalah Editor, Indonesia


DOKTOR KEHORMATAN
2003 Netanya University , Israel
2003 Konkuk University, Seoul, South Korea
2003 Sun Moon University, Seoul, South Korea
2002 Soka Gakkai University, Tokyo, Japan
2000 Thammasat University, Bangkok, Thailand
2001 Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand
2000 Pantheon Sorborne University, Paris, France
1999 Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand


HOBI
Mendengarkan dan menyaksikan pagelaran Wayang Kulit.
Mendengarkan musik, terutama lagu-lagu karya Beethoven berjudul Symphony No. 9 th, Mozart dalam 20 th piano concerto, Umm Khulsum dari Mesir, Janis Joplin dan penyanyi balada Ebiet G. Ade.
Mengamati pertandingan sepak bola, terutama liga Amerika latin dan liga Eropa.
Mendengarkan audio book, terutama mengenai sejarah dan biografi.
Abdurrahman Wahid telah menghasilkan beberapa buah buku. Hingga saat ini dia terus menulis kolom di sejumlah surat kabar. Selain itu, dia masih aktif memberikan ceramah kepada publik di dalam maupun luar negeri. (berbagai sumber)

Rabu, 06 Januari 2010

Puisi, Penyair, Penjahat

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

BARANGKALI ini serupa cerita misteri saja. Meski demikian, mungkin juga cerita ini justru bermaksud melampaui keberadaan manusia sebagai diri yang misterius. Sehingga boleh jadi tulisan ini sesungguhnya hendak menerobos sisi rohaniah—sebuah ruang yang tidak untuk diperdebatkan ada dan tiadanya, disoal keyakinan atau kadar ketidakpercayaan atasnya.

Inilah suatu gambaran, betapa apapun sama-sama diberi hak untuk disoal, sebagai pertanyaan atas dirinya sendiri. Karena itu boleh dikata inilah upaya menyingkap tabir alangkah sangat terbuka dan memungkinkan membedah wilayah ini. Bahkan amat mengundang gairah ketika manusia, siapapun, penyair, agamawan, orang biasa, juga penjahat berbicara dengan bahasanya masing-masing atas wilayah rohani tersebut—sepanjang tanpa meninggalkan watak misterinya.

Sebaliknya, justru sangat dapat dimengerti, dicurigai atau bila perlu dianggap makhluk asing di buminya sendiri manakala ada diantara kita manusia ini tak lagi menempatkan sisi misteri atas ruang itu. Jadi kefatalan menimpa bilamana sekelompok orang amat percaya diri bahwa seolah-olah tidak ada satupun pojok-pojok semesta ini yang misterius.

Sungguh malapetaka ini telah terjadi: berjuta-juta manusia ada di posisi yang tak manusiawi ini—orang-orang yang sangat percaya diri, seorang penjahat yang hidup sendiri di semesta ini sampai tidak pernah terungkap apakah kehadirannya di semesta ini sebentuk kejahatan ataukah justru kemuliaan. Lantas siapa yang memahami atas tragedi itu, apalagi ketika tuhan pun melakukan hal serupa? Saat tuhan tidak tahu-menahu selain dengan sangat percaya diri menurunkan ayat-ayat yang meski belum sempat dia kirim namun ia menggariskan larangan dan perintah?

Lebih dari itu tuhan juga menyisipkan ayat-ayat kompromi. Hanya beberapa gelintir ayat saja yang tak sempat direnungkan, termasuk perihal tumbuhnya kepercayaan diri yang berlebihan. Kedengarannya, hal ini terjadi oleh karena dunia batin tuhan pun seperti terjadi pada manusia. Bahwa keduanya telah bersama-sama dalam keberadaannya yaitu dalam pusaran Takdir dan Waktu. Tak satu pun yang bebas dari dua dalam satu atau satu dalam dua: Takdir dan Waktu. Dua dalam satu yang sangat misterius justru karena keadaannya, atau adanya telah dimisterikan sebagaimana tersingkap dari ayat-ayat Tuhan.

Misteri itu sepaham pertanyaan manusia mana yang menyeret dirinya Waktu atau Takdir. Atau dua-duanya dalam kesatuan yang saling seret sehingga menempatkan manusia seolah-olah tenggelam keberadaannya. Jikapun kemudian adanya sanggup menumbuhkan kepercayaan diri namun sebetulnya ia telah merenggut kuasa Tuhan itu melebihi Takdir dan Waktu.

Takdir manusia berbeda dengan takdir puisi. Kodrat penyair tidak sama dengan kodrat penjahat. Jasmani maupun rohani. Hanya saja barangkali diantara “mereka” yang memiliki takdir sendiri-sendiri perlu sesekali basa-basi untuk saling memasuki, saling merasuki, saling mempengaruhi meski itu sesuatu cara yang sia-sia: menjadi sesuatu yang lain. Kecuali bagi setiap yang punya kepercayaan diri luar biasa untuk menjadi sesuatu yang lain dan ini tragedi entah itu lucu atau tidak. Mungkinkah kita saling bertukar ruang rohaniah?

Menjawab pertanyaan ini serupa dengan bermain dalam tataran bahasa yang belum ada kosakatanya tentang kenyataan.
***

KODRAT puisi mesti ditulis atau dimantrakan. Tapi kodrat puisi tidak untuk dibaca karena kuasa puisi tak bisa dipindahtangankan, dipindahpikirkan, dipindahrasakan karena hal ini justru menyalahi ruh kehadirannya. Banyak sekali misteri yang hanya berpindah-pindah saja ketika puisi ditulis dan kemudian dibacakan. Apalagi oleh sang penyairnya sendiri. Misteri bukan untuk dipindahtangankan. Misteri untuk dipecahkan—paling tidak dicoba untuk dipecahkan meski tak sama persis dengan memecahkan teka-teki silang. Ada kejahatan, kebohongan di sana ketika puisi tengah dibacakan, bahkan oleh penyairnya sendiri. Penyair seringkali membunuh puisinya sendiri dengan kejam. Bahkan sekalipun ketika ia membaca, sebetulnya penyair sedang berbasa-basi untuk menempatkan diri selaku pembaca puisi: orang lain.

Mengherankan sungguh, mengapa manusia sampai hati melakukan demikian. Kejahatan besar manusia, pembaca, juga penyair adalah ketika tanpa ada perintah kemudian membaca puisi. Dalam sejarah umat manusia, yang diperintahkan dibaca adalah ayat-ayat Tuhan. Bukan puisi. Bahkan menurut catatan kritikus dan sastrawan, Mashuri, dalam surat Asy-Syuara, Al-Quran dengan lantang menabuh genderang perang terhadap para penyair. Terdapat peringatan yang sangat tegas bagi para penyair yang menyimpang dari jalan Tuhan. Dengan sebuah ancaman yang tidak main-main, bahwa penyair itu bakal mendapatkan siksa.

Kenyataan yang lebih fatal lagi, tidak sedikit yang kemudian mempersepsikan ayat-ayat Al-Quran adalah kata-kata yang puitis sehingga menjadi sangat kabur antara keduanya berkaitan dengan idiom dan estetika puisi. Penulisan artikel ini tidak hendak mempertegas mengatakan mana diantara keduanya yang diuntungkan dari perjumbuhan ini—yang tentu saja sudah menjadi khas manusia bisa dijawab mana yang diuntungkan.

Manusia amat sadar celah ini digunakan karena memang tidak ada tersebut di dalam ayat-ayat tentang pelajaran menulis puisi atau bagaimana puisi yang bagus dengan kadar estetik dan artistik yang tinggi dalam ayat-ayat suci Al-Quran.

Maka sangat wajar manakala puisi sangat kurang ajar, liar bahkan jahat bukan hanya karena tidak ada dalam kitab. Melainkan lantaran puisi meniru perilaku kejahatan manusia. Namun penulis artikel ini percaya, hal itu hanyalah basa-basi dari puisi. Ia punya ruh yang murni, ruang rohani yang keadaannya tak bisa sepenuhnya diungkap, disingkap. Puisi tetap menjadi misteri.

Barangkali hubungan yang benar antara puisi dan manusia itu mirip dengan jin dan manusia. Personifikasi ini juga tidak menggairahkan penulis untuk menjelaskan detail teoritisnya. Tak lain karena contoh ini kiranyaa sangat tepat justru karena penulis tidak punya kapasitas untuk menjelaskan hubungan keduanya: takdirnya, ruang waktunya, alam citanya dan sebagainya. Perkecualian bila ada kisah tentang jin yang merasuki ruang waktu manusia atau sebaliknya manusia yang berkomunikasi baik dengan jin. Perkecualian berarti keragu-raguan.

Boleh jadi benar bahwa ketika puncak-puncak pencapaian ilmu pengetahuan yang berbuah keragu-raguan, akhirnya ilmuwan mengembalikannya pada tataran yang murni, asali, sublim. Termasuk puisi. Sebut saja yang asali itu mitos atau religi. Puisi religius—terlepas dari masih terbukanya bagi para penjahat untuk mendistorsi metafora ini—mengandung arti sebagai laku religius lebih bertitik tolak pada proses menjadi, lahirnya dan seluruh takdirnya yang mendarah daging, meruang dan mewaktu padanya dalam pengertian yang rohaniah.

Sehingga barangkali benar puisi ditakdirkan lahir dari pengalaman religious penyair. Namun terus terang penulis artikel ini agak ragu dengan kata-kata tersebut karena alasan kosakata “religius” telah dipersempit dan mungkin juga kata-kata itu ditakdirkan menyempit. Satu-satunya yang menyakinkan adalah penggunaan istilah “pengalaman religious penyair” manakala adanya persyaratan rohaniah bahwa pengalaman religius tidak bisa ditranfer, dikomunikasikan kepada orang lain.

Pengalaman religius sangat personal. Bahkan boleh jadi manusia bukanlah makhluk satu-satunya yang berhak memfetakompli mendapatkan pengalaman religiusnya. Di sinilah puisi kemudian bernasib buruk ditakdirkan menjadi semacam pisau atau kapak kejahatan penyair. Apalagi penyair yang berharap lebih kepada puisi melampaui takdirnya dengan mengkomunikasikan pengalaman religius itu kepada orang lain.

Puncak dari kejahatan-kejahatan seperti ini serupa dengan konspirasi teori yang gelap yang berpeluang untuk disamarkan oleh para penyair-penyair yang sangat piawai dan menguasai jagad kepenyairan: sejarah, kritik, maupun teori puisi. Yaitu konspirasi teori para penyair cerdas. Seorang penyair cerdas, sebetulnya penyair yang cerdas tentu saja berbanding lurus dengan kejahatannya dan teori konspirasi ini sudah begitu banyak kita pelajari gejalanya di dunia perpolitikan atau kriminalisasi kekuasaan. Tidak sulit untuk membayangkan penyair yang demikian dan tentunya lagi-lagi korbannya adalah puisi.

Yang benar adalah setiap puisi senantiasa gelap bagi orang lain karena takdir puisi adalah ditulis dan bukan untuk dibaca. Ini bisa digunakan semacam kartu truf atau saksi kunci dalam upaya mengusut muasal puisi di belantara konspirasi teori, kecerdasan, dan ketika kejujuran penyair menjadi taruhannya. Betapa sulit untuk menguji perihal satu ini. Apalagi puncak-puncak atau ujung terjauh antara puisi, penyair, religiusitas, dan kejahatan semua itu justru berada di gerbang menuju ruang rohani.

Oleh karena itu, barangkali lebih tepat bila meminjam semacam asas pembuktian hukum terbalik untuk menguji ada tidaknya unsur kejahatan, kebohongan, korup atau bahkan hanya pencemaran nama baik yang menimpa diri penyair, puisi dan kemungkinan keterlibatan geng-gengnya. Sudah barangtentu salah satu alat bukti utamanya adalah puisi. Yaitu terkait ada tidaknya persyaratan setiap puisi yang senantiasa gelap bagi orang lain karena takdir puisi adalah ditulis dan bukan dibaca.

Tentu saja pembuktian ini harus dilakukan oleh para ilmuwan yang bebas dan jujur menggali spirit kemurnian puisi, paham akan kerohanian, psikologi dan juga penganut mazhab puisi sebagai ilmu sastra yang murni. Dalam bahasa penggagas Manifesto Puisi Gelap, Indra Tjahyadi tentang kemurnian, bahwa menghancurkan dunia bermakna mengembalikan kemurnian, mengembalikan kemurnian berarti mendekatkan manusia pada “surga” yang dijanjikan. Dan untuk sampai pada surga yang dijanjikan,manusia harus memahami “maut”, sebab hanya pada mautlah segala nilai-nilai kemanusiaan dapat dibangkitkan kembali dan manusia terselamatkan dari kejatuhannya yang mengerikan.

Mungkin juga sesungguhnya problem beratnya ada pada metafora itu sendiri sejak religiusitas, spiritualitas, rohaniah, alam cita yang tidak pernah selesai diperdebatkan kecuali bagi yang punya nyali untuk menghentikannya: menyakininya, mempercayainya atau mengakhiri demi tujuan-tujuan tertentu. Atau ketika yang lain memilih untuk saling bergerak diatara religi-rohani-alam cita-spiritual dan terkadang masih perlu menambah satu kosakata lagi, mitos.
***

PUISI bukanlah apa-apa bagi penyair yang sedang mengalami luka, penderitaan, siksaan tatkala menerima pengalaman “religious”. Puisi bukan obat sekalipun bagi penyair yang menyakini bahwa dalam ketersiksaan menerima pengalaman religius sang penyair menemukan kenikmatan. Mungkin tidak sedikit yang tak berhasil menemukan kenikmatan yang inhern dengan siksaan itu yang fatalnya kenikmatan seringkali dipersandingkan dengan pencerahan—sesuatu istilah yang amat khas manusiawi dalam sejarah peradaban manusia.

Walhasil, manusia, penyair, orang biasa semakin sulit untuk dibedakan. Namun sangat mudah untuk membedakan antara puisi dan penyair. Bahwa puisi bukanlah apa-apa. Puisi hanya ditulis oleh penyair karena takdirnya. Artinya, menjadi semakin sia-sia ketika mencoba menarik pemaknaan puisi yang bagus dan penyair yang luar biasa.

Bahwa satu kalimat terakhir ini tak lain merupakan usaha untuk menjawab spirit prosa. Penulis artikel ini sendiri termasuk yang ragu dan berpendapat hampir seluruh puisi-puisi yang ada jangan-jangan itulah sebetulnya spirit prosa. Atau setidaknya puisi-puisi yang sukses luar biasa menggiring pembaca untuk menjadi sesuatu yang lain: prosa. Lalu dimana puisi?

Bahkan selanjutnya, penulis artikel ini sangat percaya tidak sedikit puisi-puisi yang menjungkirbalikkan korbannya—utamanya mahasiswa sastra, sastrawan, calon penyair, ahli sastra yaitu ketika tanpa sadar dirinya sebetulnya sedang dibaca oleh yang berpura-pura sebagai puisi. Pilih mana yang benar: membaca atau dibaca?

Mengenai pertanyaan dibaca atau membaca pernah disingkap penyair F Aziz Manna, ketika menyoal banyaknya remaja yang gandrung pada karya-karya Kahlil Gibran. Bahwa sebetulnya yang terjadi adalah sebaliknya, membludaknya remaja yang tengah dibaca oleh “prosa” Kahlil Gibran. Gibran bukan apa-apa dan bisa diganti oleh siapa saja. Tapi airmata yang bercucuran, perasaan yang berlebihan, imajinasi yang sombong bukan pada tempatnya dan tetek mbengek pencitraan atas nama sastra itu adalah bukti konkret “kekayaan” hasil kejahatan, penjarahan, perampokan dan dzolim terhadap hak-hak asasi manusia.

Pendek kata, dalam kasus ini karena pembaca “prosa” Gibran tak memiliki kesanggupan menyingkap pengalaman dirinya sendiri, meski sebetulnya telah memiliki pengalaman batin yang serupa menempatkan pembaca sebagai korban dengan sosok berlumur dosa—memiliki tanpa kuasa. Dalam bahasa yang gampang dipahami tapi sulit dimengerti adalah betapa zaman sekarang semakin banyak nabi yang jahat atau kitab yang laknat—menyebarkan wahyu kepada umat adalah kejahatan terbesar yang tak terampuni karena sesungguhnya hal itu hanyalah untuk dirinya sendiri.

Manusia telah memiliki penderitaan yang sama justru karena kesempurnaannya yang puncak kekayaannya ada pada hati. Tidak perlu ditambah atau dikurangi dengan puisi. Puisi adalah puisi karena takdirnya. Puisi bukan seperti puisi. Puisi adalah puisi itu sendiri. Tetapi puisi itu seperti Rosario atau butir tasbih yang kebetulan dirangkai dalam satuan melingkar dan boleh berbeda ukuran. Sementara manusia, penyair itu doa dan sembahyangnya.

Dengan demikian, lalu dimana sebetulnya manusia berada? Analisa tajam pernah dikemukakan kritikus sastra Ribut Wijoto sebagaimana dipublikasikan media Jaringan Islam Liberal (JIL) beberapa waktu lalu. Ribut menyingkap dengan khidmat bahwa manusia tak pernah ada dalam puisi sebagaimana keterbatasan manusia yang hanya sampai pada pengetahuan menangkap tamsilan-tamsilan dunia keseharian atau dunia yang terhasilkan oleh indrawi kemanusiaan. Menurutnya, segala yang mucul di hadapan indrawi dan batin manusia hanyalah penampakan sifat-sifat Tuhan. “Manusia tak pernah ada, yang ada hanya Tuhan.”

Ketika keberadaan manusia dipastikan keraguannya, ketiadaannya tanpa terkecuali terhadap seluruh pencitraannya, perasaannya, hatinya, imajinasinya, alam citanya, maka puisi tetap sendiri dengan keindahannya yang menyendiri pula sebagaimana takdirnya. Mungkin puisi sedang melakoni kejahatannya. Barangkali lagi menebus kehormatannya. Tidak ada yang tahu.

Bukan mustahil kejahatan puisi terjadi karena menyerang pencitraannya, perasaannya, pikirannya, hatinya bahkan alam citanya. Akan tetapi siapa yang bisa menghentikan manakala justru dengan itu puisi hendak merebut kembali kehormatannya, kemurniannya?
***

BAGI penulis, menulis artikel yang dimaksudkan sebagai sebentuk gagasan perpuisian ke depan ini, tentu saja berikut menyadari peluang-peluang jebakan atas logika perihal puisi itu sendiri. Atau lebih tepatnya, menyoal setiap diterminan dan menyokong sikap apriori.

Jawaban setiap soal yang diajukan mungkin sulit dijawab (apalagi dengan kebenaran pasti) atas pertimbangan kemungkinan kesalahan logika tersebut. Barangkali hanya bisa diyakini dengan sebentuk bahasa langit belaka—yang kehadirannya bisa dirasakan meski tak perlu dibuktikan. Semisal, mengapa puisi tetap ditulis hingga kini bila mustahil dikomunikasikan? Tak lain karena sudah menjadi takdir puisi dan di luar takdirnya telah terlampau banyak campur tangan yang mendekati kecurangan, kejahatan.

Problem serupa tapi tak sama, terjadi pada masih adanya pembaca puisi yang mendeklamasikan puisi di depan publik. Kenyataan ini boleh jadi semacam “usaha keras kepala” untuk memberi makna puisi kepada orang lain—inilah usaha paling tersia-sia. Seberapa pun besar atau sekecil apapun pendengar atau pembaca puisi yang berhasil memaknai sebuah puisi, hal itu adalah masalah yang sama sekali lain. Bukan masalah puisi dan bukan pula masalah pengalaman religius yang melatari lahirnya puisi tersebut, apalagi masalah hubungan penyair, puisi dan penikmatnya.

Tepatnya hal itu adalah seberapa menyala daya tangkap penikmat, imaji, perasaan, intuisi, penafsiran dan sebagainya yang sama sekali tidak tergantung kepada sepotong puisi. Puisi yang sama dalam suasana yang lain, sanggup membawa pemaknaan yang berbeda. Apalagi sepenggal puisi yang berbeda. Artinya, tradisi pembacaan puisi sebetulnya kekonyolan yang dimaklumi demi atas nama baik puisi dan harga diri manusia ketika itu.

Sebetulnya, hal yang tak jauh berbeda bisa ditarik dengan garis lurus masalah perpuisian (berikut keragu-raguannya) adalah terkait dengan penerbitan buku-buku puisi yang masih berlangsung. Juga kritikus-kritikus yang menafsir, memberi makna atau menganalisa dan kemudian menempatkan puisi dalam sejarah perpuisian. Terhadap usaha penerbitan, tanpa mengurangi atau menambah kejahatan pada puisi, menempatkan usaha penerbitan buku puisi sebagai kegiatan paling konyol dari yang paling konyol adalah hal mudah. Setiap penerbitan senantiasa berorientasi pada usaha laba dan bukan nirlaba, tapi puisi tidak pernah bisa dijual. Tidakkah dua hal ini antara penerbitan dan penjualan puisi semata-mata hanya bermaksud mencoba menciptakan misteri yang membingungkan saja. Bukan misteri dalam arti terhadap yang asali dan senantiasa menjadi inspirasi.

Lalu kritikuslah, yang paling dekat dengan kejahatan terhadap puisi. Meski hanya kritikuslah yang sahih menggunakan bungkus keilmuannya atas nama pisau bedah puisi. Bahkan, boleh jadi yang terjadi sesungguhnya adalah kritikuslah otak dari seluruh kejahatan terhadap puisi ketika: membekukan puisi dalam aliran tertentu. Lima kata terakhir ini bisa penulis ganti dengan idiom yang pasti—inilah kejahatan.

Lantas apakah sesungguhnya puisi itu?
Barangkali takdir puisi itu serupa dengan kodrat sejarah ketika tak seorang pun yang berhak memfetakompli objektif atas namanya. Puisi adalah puisi. Pembaca puisi, kritik, tafsir itu bukanlah puisi itu sendiri.

Kecenderungan manusia untuk mempertimbangkan pengetahuan secara konseptual dan eksperimen juga menjadi hak asasi bagi puisi. Mungkin masalahnya hanya dua secara konseptual bisa serupa jalan keluar atau pintu menuju alam cita. Sebaliknya sebagai gagasan pun berpeluang bagai ruang jebakan yang menyebabkan manusia tak melakukan apa-apa—seperti penyair yang tak membuat syair. Namun, begitulah takdir puisi tetap harus ditulis. Mungkin tidak untuk dibaca apalagi untuk dimuat di media.[]

*) Penulis adalah pengarang, bergiat di Komunitas Keluarga (Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga), Kini bekerja selaku Head of Arts and Cultural Outreach, The Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya.

MEMBINCANGKAN TIGA CERPEN GUS MUS

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Ketika tahun 1970-an sastra Indonesia dilanda semangat eksperimentasi, sejalan dengan gerakan “kembali ke akar, kembali ke tradisi” sebagaimana yang diusung Abdul Hadi WM, kisah-kisah dunia jungkir balik dalam prosa, termasuk di dalamnya cerita pendek (cerpen), seperti menemukan pembenaran estetik. Absurdisme, melalui perkenalkannya dengan filsafat eksistensialisme, dipandang sebagai representasi dunia jungkir balik itu. Belakangan disadari, bahwa kisah-kisah supernatural dalam khazanah sastra tradisional kita yang tersebar di seluruh Nusantara, pada hakikatnya tidaklah berbeda dengan dunia jungkir balik yang berada di entah-berantah itu. Kisah-kisah itu juga kerap mengangkat peristiwa absurd. Tentu saja absurdisme dan kisah supernatural, secara konseptual tidaklah sama. Di sana ada keberbedaan akar tradisi kultural yang melatarbelakanginya. Dalam bahasa yang lain, masyarakat kita sudah sejak lama akrab dengan persoalan irasionalitas.

Tetapi itulah, semangat penjungkalan pada logika formal yang kemudian menghasilkan dunia jungkir balik itu, dianggap sebagai sesuatu yang baru ketika konsep itu diperkenalkan oleh para pemikir Barat. Seolah-olah, itulah kecenderungan baru yang penting diadopsi secara bulat-mentah –tanpa reserve—oleh kaum akademisi kita. Seolah-olah lagi, masyarakat kita sudah tertinggal jauh, sehingga perlu menyerap segalanya dari Barat. Maka, kegandrungan pun terjadilah dan Barat menjadi sumber inspirasi. Dan kaum akademisi pun makin terpukau oleh fenomena itu.

Bagi sastrawan sendiri, penggalian pada akar tradisi laksana sebuah keniscayaan. Maka, dengan semangat kembali ke akar, kembali ke tradisi, disadari –seperti telah disebutkan—bahwa dunia jurkir balik itu bukanlah hal yang baru bagi masyarakat kita. Logikanya sederhana: dunia jungkir balik itu sesungguhnya merupakan ekspresi realitas fisik yang berkelindan dengan realitas psikis. Keserempakan penghadiran realitas faktual yang kasat mata dengan realitas imajinatif atau psikis yang tidak kelihatan lantaran berada dalam dekaman pikiran atau perasaan, menyebabkan peristiwa itu terjadi seolah-olah tanpa hubungan kausalitas, tanpa sebab-musabab. Dalam peristiwa semacam itu, logika formal terpaksa dicampakkan. Itulah yang kemudian muncul, yaitu hadirnya peristiwa irasional yang melanggar logika formal. Berbagai peristiwa dalam tindakan dan peristiwa dalam pikiran, bercampur-aduk sedemikian rupa. Akibatnya, rentetan dan jalinan peristiwa itu laksana merepresentasikan segala sesuatu yang tidak terpahamkan: absurd!

Dilihat dari kecenderungan estetik karya-karya tahun 1970-an itu, Abdul Hadi WM mencatat ada semangat yang sama yang menjadi landasan dan wawasan estetiknya, yaitu semacam kerinduan untuk menggali nilai-nilai tradisi masa lalu budaya leluhur. Menurutnya, corak pendekatan dan sikap terhadap tradisi itu dapat dibagi ke dalam tiga kelompok kecenderungan:

1. Mereka yang mengambil unsur-unsur budaya tradisional untuk keperluan inovasi dalam pengucapan. Mereka melihat bahwa dalam tradisi terdapat unsur-unsur dan aspek-aspek yang relevan bagi pandangan hidup manusia mutakhir, khususnya irrasionalisme yang ternyata mendapat perhatian kaum eksistensialis dan penganut aliran sastra absurd;

2. Mereka yang mengklaim menumpukan perhatian hanya terhadap satu budaya daerah saja seperti Jawa, Minangkabau, Melayu Riau, Sunda dan lain-lain. Para penulis kecenderungan ini berkarya dengan maksud memberi corak khas kedaerahan terhadap perkembangan kesusastraan Indonesia;

3. Mereka yang mengambil tradisi langsung dari bentuk-bentuk spiritualitas dan agama tertentu dengan kesadaran bahwa tradisi dan budaya masyarakat Indonesia terbentuk berkat masuknya beberapa agama besar, seperti Hindu, Buddha, dan Islam.[1]

Begitulah, pada tahun 1970-an itu,kesusastraan Indonesia kemudian bergerak dengan semangat eksperimentasi itu. Dalam prosa, khasnya cerpen, nama-nama Kuntowijoyo, Fudoli Zaini, Muhammad Diponegoro, dan Danarto lalu dikaitkan dengan spiritualitas tasawuf dan mistik Jawa. Inovasi yang ditawarkan mereka lambat-laun menjadi sebuah kovensi ketika model eksperimentasi itu diterima sebagai ciri estetik. Dari sana lalu bermunculan pula sejumlah istilah yang bermuara pada apa yang disebut sebagai sastra Islam.

***

Apa kaitannya pemaparan di atas dengan cerpen-cerpen A Mustofa Bisri yang biasa dipanggil Gus Mus? Apakah Gus Mus terlambat mengikuti jejak cerpenis tahun 1970-an itu ketika kehadirannya telah lewat sekitar dua dasawarsa? Atau, ketika model spiritualitas tasawuf dan mistik Jawa itu mulai memudar, Gus Mus justru baru memulai kiprah kesastrawanannya? Sejumlah pertanyaan lain, tentu saja masih dapat dikemukakan. Juga tidak begitu menjadi persoalan benar, ada atau tidak adanya hubungan antara cerpen-cerpen Gus Mus dengan cerpen Angkatan 70-an. Tetapi, tentu saja penting artinya menempatkan cerpen karya pengarang tertentu dalam konstelasi dan sejarah perkembangan kesusastraan bangsanya. Di mana posisinya dalam alur panjang sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia? Itulah pertanyaan yang harus dijawab agar jelas letaknya dalam peta besar kesusastraan, sejauh mana kontribusinya, dan bagaimana wawasan estetiknya.

Begitulah, dengan cara itu, kita dapat pula melihat, apakah kehadiran Gus Mus dalam peta cerpen Indonesia sekadar memasukkan daftar nama dalam sebuah senarai atau justru memberi kontribusi –tematik atau stilistik—sebagai sebuah tawaran estetik? Bahkan, ketika secara tematik kita menghubung dan mengaitkannya dengan tema-tema sebelumnya, penempatan itu dapat menegaskan: apakah ia masuk dalam barisan epigonisme atau menyodorkan sesuatu yang baru dengan caranya sendiri. Berikut akan dibincangkan tiga cerpen A Mustofa Bisri yang termuat dalam antologi Bidadari Sigar Rasa (Dewan Kesenian Jakarta, 2005, hlm. 1—30). Adapun ketiga cerpen itu adalah “Lukisan Kaligrafi,” “Ngelmu Sigar Rasa,” dan “Gus Jakfar”. [2]

***

Kehadiran Gus Mus lewat cerpen-cerpennya itu sesungguhnya makin menegaskan, bahwa realitas spiritual masyarakat kita memang bergerak di antara rasionalitas dan irasionalitas; antara logika formal dan logika spiritual; antara dunia yang kasat mata dan dunia gaib. Tampak di sini, semangat yang melandasi Gus Mus bukanlah hendak menggali kembali akar tradisi—yang dikatakan Abdul Hadi sebagai kembali ke akar kembali ke tradisi—melainkan sekadar hendak mengangkat sebuah realitas sosiologis yang terjadi dalam komunitasnya, dalam masyarakat persekitarannya.

Dalam cerpen-cerpen Gus Mus itu, yang terungkapkan adalah “potret” komunitas persekitaran. Ia tidak berpretensi menyajikan simbolisme sufistik, sebagaimana yang dapat kita tangkap dalam cerpen-cerpen Fudoli Zaini atau Kuntowijoyo. Maka, kisah-kisah supernatural dalam cerpen-cerpen Gus Mus itu, boleh diperlakukan sebagai realitas sosial. Atau sebaliknya, realitas sosial, boleh tiba-tiba muncul bersamaan dengan peristiwa supernatural. Jadi, begitulah, hakikatnya, cerpen-cerpen Gus Mus merepresentasikan realitas masyarakat (Islam—pesantren) yang hidup dengan segala sistem kepercayaannya. Di luar perkara itu, suasana kehidupan kiai dengan berbagai persoalannya, setelah sekian lama tak terdengar selepas Umi Kalsum, Djamil Suherman (1963; 1984), kini seolah-olah sengaja dihadirkan kembali dengan pertanyaan besar: di manakah peranan para kiai hendak ditempatkan ketika zaman telah berubah dan kehidupan politik ikut mempengaruhi perilaku masyarakat. Dengan begitu, dilihat dari perjalanan cerpen Indonesia, kehadiran cerpen-cerpen Gus Mus, tentu saja tidak sekadar memperkaya tema cerpen kita, tetapi juga seperti menawarkan pandangan baru tentang terjadinya pergeseran peran kiai.

Jika Danarto mengkelindankan mistik Jawa dengan segala filosofi dunia pewayangannya dan tasawuf; Kuntowijoyo dan Fudoli Zaini menggali tasawuf dengan sentuhan eksistensialisme; Gus Mus terkesan lepas dari segala pretensi itu. Ia sekadar bercerita: inilah realitas dunia para kiai dengan segala sistem kepercayaannya, dengan segala kisah supernaturalnya. Maka, tokoh aku yang mendapat ijazah Mbah Joned dalam ngelmu Sigar Raga atau kisah Gus Jakfar dengan segala kesaktiannya, adalah potret sekitar kehidupan para kiai. Ia bukan kisah dunia jungkir balik model tahun 1970-an. Ia juga tidak dilahirkan dari semangat eksperimentasi atau hendak mengangkat tasawuf dan filsafat Jawa. Ia hanya memotret sisi lain dari sistem kepercayaan dalam kehidupan para kiai. Dengan begitu, perkara ngelmu Sigar Raga dan kesaktian Gus Jakfar adalah kisah supernatural yang real. Bahkan, dalam dunia pesantren kedua kisah itu telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan keseharian para santrinya, dalam sistem kepercayaan mereka yang tidak perlu diperdebatkan.

***

Cerpen “Lukisan Kaligrafi” agaknya lebih menyerupai sebuah ironi tentang dunia seni lukis kita. Dikisahkan di sana, pelukis, tanpa perlu memahami aturan-aturan penulisan khath Arab, tanpa perlu menguasai bahasa Arab, dan cukup sekadar mengetahui makna Al-Quran lewat terjemahan Departemen Agama, sudah cukuplah sebagai modal melukis kaligrafi. “Katanya dia asal ‘menggambar’ tulisan, mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab bertulisan Arab lainnya.” Sebaliknya, seorang kiai macam Ustadz Bachri, meski bukan pelukis, lantaran merasa menguasai perkara khath Arab, dan didesakpaksa untuk ikut pameran lukisan, tertantang juga untuk coba menjadi pelukis. Hasilnya tentu saja ustadz itu mendadak jadi pelukis “karbitan”.[3]

Sesungguhnya, cerpen itu laksana potret miniatur Indonesia. Gambaran di dalamnya laksana merepresentasikan kehidupan bangsa ini. Di negeri ini, siapa pun, lantaran keadaan atau lantaran dipaksa dan didesak, bisa menjadi apa pun; atau apa pun, bisa dikerjakan oleh siapa pun, meski bukan ahlinya. Itulah yang terjadi dalam pemerintahan kita selepas Orde Baru. Itu pula yang berulang kali terjadi dalam kabinet pemerintahan Indonesia dalam setiap pergantian pemerintahan siapa pun presidennya. Dan berkat pemberitaan media massa, opini gampang diciptakan. Tinggal masyarakat bertanya-tanya dalam ketidakpahamannya. Bukankah pesan itu juga implisit terekam dalam cerpen itu?

Gus Mus boleh jadi sekadar berpretensi menggambarkan terjadinya pergeseran peran kiai. Atau, sangat mungkin ia sekadar menulis cerpen sambil menyentil ke sana ke mari. Tetapi di situlah fungsi sastra. Ia mengungkapkan problem individual yang maknanya sering kali bersifat universal. Di balik itu, misteri lukisan yang tidak dapat difoto dan lukisan itu dihargai begitu mahal, dalam banyak kasus spiritual, hal itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Selalu ada peristiwa aneh dan mengejutkan. Selalu ada faktor kebetulan yang diyakini sebagai campur tangan Tuhan. Maka kejutan dalam peristiwa itu dimungkinkan oleh adanya sejumlah faktor kebetulan (possibility), yang berbuah menjadi keniscayaan ketika keyakinan tetap bergeming. Bukankah dalam cerpen itu kita dapat menemukan beberapa faktor kebetulan: si pelukis Hardi melihat rajah di depan pintu; dia akan menyelenggarakan pameran kaligrafi; cat yang tersisa hanya dua warna, putih dan silver; dan letak huruf alif berada di tengah kanvas. Beberapa faktor kebetulan itulah yang pada akhirnya membawa Ustadz Bachri berhasil menyelesaikan sebuah lukisan alif.

Faktor kebetulan yang dalam pemikiran strukturalisme kerap dimasalahkan ketika hubungan kausalitas terkesan dipaksakan, dalam cerpen-cerpen Gus Mus justru menjadi bagian penting jika dikaitkan dengan perkara keyakinan. Maka, faktor kebetulan yang dalam pemikiran strukturalisme ditempatkan sebagai bagian dari rangkaian peristiwa, dalam cerpen-cerpen Gus Mus malah menjadi bagian dari tema cerita. Di sinilah pentingnya teks tidak dilepaskan dari konteksnya, dari kultur yang mendekam di belakang yang tersurat dalam teks. Dengan pemahaman itu, faktor kebetulan punya dasar kultural, bahkan ideologis. Bukankah faktor kebetulan itu diyakini masih berada dalam lingkaran campur tangan Tuhan?

Cermati saja cerpen “Ngelmu Sigar Rasa”. Kesediaan Mbah Joned menemui tokoh aku; kondisi Mbah Joned yang sedang murah hati; kemudahan tokoh aku memperoleh ijazah dari kiai sepuh itu; dan lancarnya proses penerimaan ilmu sigar rasa, adalah rangkaian peristiwa yang serba kebetulan. Segalanya mengalir begitu saja lantaran Tuhan telah mengaturnya demikian. Bukankah itu masih berada dalam lingkaran sistem kepercayaan. Bukankah itu juga diyakini hanya akan hadir jika di sana ada keimanan yang tidak tergoyahkan, yang tetap bergeming?

Bagaimana pula kita memperoleh penjelasan rasional ketika si tokoh aku mempraktikkan ilmunya? Bagaimana roh tiba-tiba melayang meninggalkan jasad dan sekejap berdialog sebelum roh itu pergi entah ke mana? “Mus, aku pergi ya, kamu tinggal saja di rumah!” Kulihat diriku mengangguk dan melambaikan tangan. Aku pun pergi meninggalkan diriku. Itulah dialog yang terjadi antara roh dan tubuh. Sejumlah pustaka filsafat yang membincangkan hubungan roh, tubuh, dan jiwa, kerap gagal menjawab persoalan itu ketika segalanya hendak diuraikan lewat pendekatan rasional. Selalu ada wilayah yang tidak dapat disentuh rasio. Manusia adalah misteri bagi manusia. Lalu bagaimana pula kita hendak menjelaskan peristiwa dalam cerpen itu. Apakah peristiwa itu termasuk wilayah dunia jungkir balik, kisah supernatural atau justru potret real atas realitas sosiologis kehidupan para kiai?

Itulah salah satu kekhasan cerpen-cerpen Gus Mus. Ia tidak hendak menawarkan dunia jungkir balik dengan semangat eksperimentasi model cerpen-cerpen tahun 1970-an. Ia juga tidak bermaksud mengangkat kisah supernatural. Ia justru sekadar memotret sebuah realitas sosiologis yang sengaja hendak ditempatkan sebagai bagian dari tema cerita. Maka yang terjadi adalah sebuah kritik sosial ketika peran kiai mulai bergeser lantaran kemewahan melimpahinya; ketika nafsu duniawi menghilangkan jati dirinya.

Jika di akhir cerita digambarkan, terjadi pertemuan antara lelaki berpakaian putih-putih dan tokoh aku yang dikatakannya: orang itu memandangku seperti melihat hantu; dan sang ibu memperlakukan anaknya itu dengan segala keheranannya, itu bermakna bahwa tokoh aku secara spiritual tidak lagi memperlihatkan kesalehannya sebagaimana dulu ketika ia menerima ijazah dari Kiai Sepuh, Mbah Joned. Pertanyaan-pertanyaan ibunya menegaskan terjadinya perubahan itu: “Lo, Mus, apa-apaan kau ini?”/”Kapan kau datang dan akan terus pergi ke mana malam-malam begini”/ Itu pakaian siapa yang kau pakai? Kayak orang kota saja…”/Hei, Mus, kesambet di mana kau ini?”/ … “Mus, Mus, aneh-aneh saja kau!”

Begitulah, ketika tokoh aku menikmati buah kesuksesannya: jabatan, penghormatan, kemewahan, kekayaan, fasilitas, bahkan juga wanita, ia telah kehilangan keauliaannya, kehilangan kesalehannya, dan secara metaforis, berubah menjadi hantu. Meski begitu, ilmu sigar rasa yang diperoleh dari Mbah Joned, tetap tidak meninggalkan jasad si tokoh aku. Jadi, di sana ada dua jiwa yang berbeda. Lalu, bagaimana kita menjelaskan secara rasional tentang dua jiwa yang berbeda yang mendekam dalam satu tubuh?

Dalam kehidupan para aulia, perkara itu bukanlah sesuatu yang mustahil, bukan pula kisah supernatural, tetapi sesuatu yang niscaya ketika dikaitkan dengan kehendak Tuhan. Apa pun bisa terjadi atas kehendak-Nya. Kun fa ya kun diyakini sebagai keniscayaan. Jadi, kisah itu tidak datang dari dunia entah-berantah, tidak sekadar fiksi yang diambil dari dunia lain. Ia real sebagai realitas sosial yang dipercaya sebagai kebenaran ketika keimanan tentang itu diyakini datang atas kehendak-Nya. Bukankah apa pun dapat terjadi dan serba mungkin jika Tuhan berkehendak?

Kembali, dengan semangat sekadar memotret realitas sosial di persekitarannya, Gus Mus sesungguhnya juga menyampaikan pesan ideologisnya atas terjadinya pergeseran peran kiai. Bukankah pola ini berbeda dengan pesan spiritualitas Kuntowijoyo, Muhammad Diponegoro, Fudoli Zaini, atau Danarto, meskipun semuanya berada dalam wawasan estetik yang berakar pada sumber yang sama: pada Quran.

Dalam cerpen “Gus Jakfar” dikisahkan, bahwa tokoh Gus Jakfar adalah kiai yang pandai membaca tanda-tanda seseorang. Tentu saja kepandaian ini tidak sama dengan peramal, dukun, atau cenayang. Ia kiai yang mempunyai kelebihan tertentu. Suatu saat, ia menghilang selama beberapa minggu. Dan ketika datang kembali di tengah masyarakatnya, orang-orang melihat Gus Jakfar seperti tak punya keistimewaan lagi. Satu-dua orang yang penasaran, bertanya, ke manakah ia menghilang selama beberapa minggu itu. Kiai itu kemudian bercerita: Bermula dari mimpi berjumpa ayahnya. Sang ayah menyuruhnya mencari Kiai Tawakkal. Ia lalu berkelana mencarinya. Dan terjadilah perjumpaan dengan Kiai Tawakkal, Mbah Jogo. Ituilah realitas lain yang terjadi dalam kehidupan para kiai. Di sana, dalam cerpen itu, ada peristiwa tentang tanda pada kening kiai itu yang bertuliskan, ahli neraka; ada peristiwa sang kiai dikerubuti perempuan menor di warung remang-remang; berjalan di atas permukaan air sungai; dan akhirnya Kiai Jogo, menghilang entah ke mana. Sosok misterius Kiai Jogo tetap menyimpan misteri.

Apakah peristiwa itu cuplikan dari kisah supernatural? Bagi kiai, santri atau kalangan pesantren, kisah sejenis itu kerap diyakini sebagai kebenaran yang hanya dapat dialami oleh orang-orang tertentu yang dianggap pantas mengalaminya. Kisah seperti itu berada dalam garis tipis peristiwa faktual bagi mereka yang mempercayainya, dan peristiwa irasional bagi mereka yang tidak mempercayainya. Tetapi ia tetap hidup dan diyakini sebagai fakta sosiologis dalam komunitas pesantren.

Begitulah, ia bukan peristiwa jungkir balik, bukan pula fakta yang direkayasa menjadi fiksi. Peristiwa itu berkaitan dengan sistem kepercayaan. Oleh karena itu, ia diyakini pernah terjadi, atau akan terjadi suatu saat kelak dan dialami hanya oleh orang-orang pilihan. Dengan demikian, Gus Mus sengaja menampilkan sisi lain dalam kehidupan para kiai. Dan di sana, berbagai peristiwa rasional dan irasional, berkelindan dan hidup sebagai fakta sosial. Apa yang melatarbelakangi penempatan peristiwa irasional menjadi fakta sosial? Segalanya bersumber pada satu hal: keyakinan pada kuasa Tuhan. Dengan keyakinan itu, dengan kehendak Tuhan, apa pun bisa terjadi. Batas yang mungkin dan yang tidak mungkin berada dalam garis yang sangat tipis. Bukankah kekuasaan Tuhan tidak mengenal yang mungkin dan yang tidak mungkin. Bukankah yang mungkin dan yang tidak mungkin hanya ada dalam paradigma logika manusia yang terbatas dan terikat pada dimensi ruang dan waktu?

Bagaimana kita menjelaskan tanda yang menempel di kening Kiai Jogo yang bertuliskan: ahli neraka? Bagaimana pula kita menjelaskan langkah kaki kiai itu di atas permukaan air sungai?

Kembali, rangkaian peristiwa itu sengaja dihadirkan dalam kaitannya untuk mendukung tema cerita. Dengan cara itu, Gus Mus berhasil menyelusupkan pesannya tentang peran kiai dan sikapnya dalam menghadapi anugerah. Perhatikan kutipan berikut yang mengungkapkan pesan Kiai Jogo pada Kiai Jakfar:

“Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda ‘Ahli Neraka’ di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka, terserah kehendak-Nya, apakah Ia mau memasukkan diriku ke sorga atau ke neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnya Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung tadi yang kau pandang sebelah mata, pasti masuk neraka? … Kau harus berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi, kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabur, ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan, godaan untuk takabur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak.”

Itulah sesungguhnya pesan yang hendak disampaikan Gus Mus. Peristiwa irasional yang diangkatnya menjadi bagian penting dari tema cerita. Oleh karena itu, kembali, teks itu tidak hanya mempunyai akar kultural-sosiologis, tetapi juga bersifat ideologis. Dengan demikian, tidak dapat lain, cerpen-cerpen Gus Mus, hanya mungkin dapat mengungkap kekayaannya, jika kita melakukan pendekatan terhadapnya berdasarkan kondisi sosio-budaya dan sistem kepercayaan yang melatarbelakanginya.

***

Pembicaraan tiga cerpen Gus Mus tadi, tentu saja baru mengungkapkan sebagian kecil dari persoalan besar yang terjadi dalam kehidupan dunia pesantren dan berbagai persoalan yang melingkari kehidupan para kiainya. Bagaimanapun juga, Gus Mus telah berhasil mengungkapkan sisi lain dari kehidupan persekitarannya. Dalam perjalanan cerpen Indonesia sejak kelahirannya sampai kini, cerpen-cerpen Gus Mus berdiri tegak sendirian. Itulah salah satu sumbangan penting Gus Mus dalam memperkaya khazanah cerpen Indonesia. Jelas di sini, Gus Mus tampak tak berpretensi melanjutkan semangat Angkatan 70-an, tidak juga coba menawarkan tasawuf atau pesan sufistik. Ia sekadar coba memotret masyarakatnya sambil sekalian –dalam beberapa kasus—mempertanyakan kembali peranan kiai.

Akhirnya, harus saya sampaikan: membaca cerpen-cerpen Gus Mus, rasanya saya jadi ingin segera bertobat, kembali ke jalan yang benar, dan memperbanyak istigfar!

msm/1 April 2009

[1] Abdul Hadi WM, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, hlm. 6.

[2] Buku antologi cerpen Bidadari Sigar Rasa ( Dewan Kesenian Jakarta, 2005, 226 halaman) sebenarnya memuat 34 cerpen karya tujuh cerpenis Jawa Tengah (A. Mustofa Bisri, Eko Tunas, Herlino Soleman, Ratih Kumalasari, SN Ratmana, S Prasetyo Utomo, dan Triyanto Triwikromo). Diterbitkan dalam program Cakrawala Sastra Indonesia yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, 13—15 September 2005. Dari 34 cerpen yang dimuat dalam antologi ini, lima cerpen di antaranya karya A Mustofa Bisri, yaitu “Lukisan Kaligrafi,” “Ngelmu Sigar Rasa,” “Bidadari itu Dibawa Jibril,” “Mubalig Kondang,” dan “Gus Jakfar.” Untuk kepentingan tulisan ini, saya hanya membicarakan tiga cerpen, yaitu “Lukisan Kaligrafi,” “Ngelmu Sigar Rasa,” dan “Gus Jakfar.” Pertimbangannya semata-mata hanya karena ketiga cerpen itu menampilkan kesejajaran tematik.

[3] Kisah ini mengingatkan saya pada anekdot tentang pelukis abstrak dan anjing. Dikisahkan, lantaran kehabisan salah satu cat dengan warna tertentu, seorang pelukis abstrak terpaksa menunda pekerjaannya. Ia pergi ke toko cat dan meninggalkan lukisannya yang baru dikerjakan dalam beberapa sapuan warna. Anjingnya ditinggalkan di studio lukisnya. Tiba-tiba, seekor tikus lari ke sana. Si anjing terperanjat dan segera mengejar tikus itu. Berantakanlah studio itu, termasuk lukisan yang baru digarap. Ketika pelukis itu datang, tentu saja dia terperanjat, lantaran kanvas yang baru dilukisnya tergeletak di bawah; penuh tumpahan cat dan acak-acakan oleh bekas kaki anjing dan tikus. Bersamaan dengan itu, datang pula seorang kolektor lukisan. Begitu kolektor itu melihat lukisan yang tadi hendak digarap si pelukis penuh dengan cat yang tumpah ke sana, serta-merta si kolektor memungutnya. “Inikah karya terbaru Anda? Luar biasa! Saya baru melihat, ekspresi Anda begitu liar dan mengagumkan,” ujarnya sambil matanya terus memandangi kanvas penuh goresan yang tadi diacak-acak anjing ketika memburu tikus.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito