Sabtu, 28 Februari 2009

Pada Trowulan Kita Bercermin

Zen Rachmat Sugito*
http://www.jawapos.com/

Majapahit, imperium yang mewariskan Negarakrtagama dan Sutasoma, sudah lama lewat, tapi ia tak pernah benar-benar minggat. Lewat Muhammad Yamin, (tilas) Majapahit hadir kembali dengan jalan sedikit memutar, tapi justru tepat pada fase genting persiapan kelahiran jabang bayi republik ini.

Saat sedang merenung-renung di tengah sidang BPUPKI, Yamin mengucapkan satu parafrase yang diambil dari Kakawin Sutasoma, yang ia ucapkan hanya untuk dirinya sendiri, semacam gumaman lirih: ''Bhineka tunggal ika...'' Tak disangka, seorang dari Bali dengan penampilan bak pandita yang duduk di sebelahnya menyahut, ''Tan hana dharma mangrwa.''

Saya tidak tahu persis siapa orang yang menyahut gumaman Yamin (ada yang bilang I Gusti Bagus Sugriwa, cendekiawan serbabisa dari Bali). Tapi, cukup jelas, fragmen kecil itu menjadi bagian tak terpisahkan dari digunakannya frase ''Bhineka tunggal ika'' sebagai sesanti atau semboyan republik ini.

Frase ''Bhineka tunggal ika'' sendiri diunduh dari bait kelima metrum ke-139 Kakawin Sutasoma karya Rakawi Prapanca yang bunyinya: ...Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Kurang lebih ia menjelaskan bahwa antara (agama) Buddha dan Syiwa itu berbeda tapi tetap satu karena memang tidak ada darma yang mendua.
***

Sayangnya, hanya sebatas itu tilas intelektual Majapahit direproduksi dan dikonversi menjadi bentuk-bentuk baru yang relevan. Selebihnya, yang diadopsi dan ditonjol-unggulkan dari Majapahit hanyalah kemampuan duet Gajah Mada-Hayam Wuruk dalam meluaskan teritori kekuasaan Majapahit, itu pun -seperti yang akan kita lihat sebentar lagi-- dalam cara yang sepotong-potong alias ''cari enaknya saja''.

Konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) -terutama dalam soal luas dan batas wilayah-- tak bisa tidak memang direproduksi dari luas wilayah Majapahit sebagaimana Gajah Mada memancangkannya dalam Sumpah Amukti Palapa.

Soekarno --terutama Muhammad Yamin-- adalah pribadi yang paling gigih mengejawantahkan luas wilayah Majapahit dalam bentuk baru NKRI. Yamin melakukannya dengan menyitir metrum-metrum tertentu dalam Negarakrtagama (terutama syair 13-15) untuk memperkuat argumentasinya. Soekarno --yang sebelumnya berseberangan paham dengan Yamin dalam soal hak warga Negara--kali ini segendang-sepenarian dengan Yamin. Hanya Hatta yang secara tegas menolak adopsi wilayah kekuasaan Majapahit versi Prapanca, terutama menolak dimasukkannya Papua.

Sayangnya, cara Majapahit mengelola teritori kekuasaannya yang luas dipandang sebagai kelemahan, bukan sebagai peluang. Majapahit mengelola wilayah kekuasaannya yang jauh dengan cara-cara yang mirip dengan otonomi di zaman sekarang, di mana penguasa-penguasa setempat diberi keleluasaan untuk mengelola wilayahnya sendiri. Yamin atau Soekarno menolak cara pengelolaan macam ini (itulah sebabnya gagasan federalisme Hatta ditolak secara dini). Selanjutnya, kita bisa melihat, bagaimana sentralisme dipraktikkan secara eksesif. Majapahit diadopsi wilayah kekuasaannya, tapi tidak cara pengelolaannya.

Majapahit melakukan semuanya dengan armada militer yang berporoskan kekuatan maritim yang tangguh. Dari pedalaman Mojokerto, kapal-kapal perang Majapahit --yang salah satunya dipimpin Nala-- berlayar ke nusa-nusa yang jauh, melakukan misi penaklukan atau misi dagang juga diplomasi. Soekarno sedikit banyak paham soal ini, itulah sebabnya Angkatan Laut RI cukup tangguh pada masa kekuasaannya. Tapi Soeharto menghancurkan fondasi kekuatan maritim yang diwariskan Soekarno dengan menganak-emaskan Angkatan Darat dan seraya pada saat yang sama mengabaikan (kekuatan di) laut(an). Soeharto menganakemaskan Kopassus yang kelak dikirim ke Timor Timur dalam Operasi Seroja --yang kata antropolog Daniel Dhakidae mirip pasukan jalady mantri-nya Majapahit.

Maka, tergelarlah titik balik, persis seperti yang diwedarkan Rama Cluring, kamitua dalam epos Arus Balik-nya Pramoedya: ''Sekarang makin lama makin sedikit kapal-kapal Jawa berlayar ke utara, ke Atas Angin, ke Campa ataupun ke Tiongkok. Arus kapal dari selatan semakin tipis. Sebaliknya arus dari utara semakin deras, membawa barang-barang baru, pikiran-pikiran baru, agama baru. ...Ya, kapal besar hanya dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya... termasuk penghancuran, penindasan, dan penipuan.''
***

Johan Huizinga, ketika menguraikan Abad Pertengahan dan Renaissance di Eropa, dengan baik menggambarkan bagaimana warisan peradaban Yunani dan Romawi Kuno digali tiada habis sekaligus dikonversi terus-menerus dalam teks-teks baru oleh para teolog, cendekiawan dan seniman. Peradaban besar, masih merujuk Huizinga, pastilah mewariskan pikiran cemerlang yang bisa terus direproduksi dan dikonversi menjadi pikiran-pikiran baru.

Yamin memang unggul dalam perkara ini. Pada umur 26 tahun, ia sudah menulis dan mementaskan lakon Arok-Dedes, umur 30 tahun mementaskan lakon Krtajaya, umur 31 tahun mementaskan lakon Sandyakala ning Majapahit. Yamin pula yang menyusun biografi Gajah Mada dan Tata Negara Majapahit. Dengan keluasan pengetahuannya tentang kesustraan Jawa Kuno dan ikon-ikon yang terpacak di banyak candi dan arca, ia susun buku 6000 Tahun Sang Saka Merah Putih.

Dalam soal mengkaji ulang warisan peradaban-peradaban kuno Nusantara (bahkan Pasifik) untuk kemudian mereproduksinya dalam bentuk baru yang bisa digunakan untuk kepentingan pada zamannya, Yamin nyaris tak ada tandingan. Semangatnya dalam melakukan studi --hingga level tertentu-- bisa dibandingkan dengan para cendekiawan di pantai-pantai Italia pada abad 12-13 saat menyiapkan fondasi kebangkitan Eropa melalui pengkajian ulang warisan intelektual peradaban Yunani-Romawi.

Yamin tentu tak sendiri, tapi apa yang dilakukannya tak pernah menjadi sebuah gerakan kebudayaan yang mengejawantah menjadi sebuah arus besar yang bergelombang dalam kurun yang panjang. Yamin dan orang-orang yang menjadi lawan tanding Sutan Takdir Alisjahbana yang menganjurkan untuk berpaling ke Barat dalam polemik kebudayaan pada tahun 1930-an (macam Ki Hajar Dewantoro, Sanoesi Pane atau Soetatmo) tak pernah berhasil mengerek gerbong Renaissance layaknya bangsa Eropa melakukannya terhadap warisan kebudayaan dan peradaban Yunani-Romawi pada akhir Abad Pertengahan. Inisiatif Ki Hajar dalam mengonversi konsep paguron yang berakar panjang dalam tradisi kita ke dalam sistem pendidikan modern yang disusunnya adalah inisiatif berharga yang sayangnya langka.

Minat dan semangat mereka dalam mempelajari warisan kebudayaan dan peradaban tua di Nusantara tergerus oleh syahwat politik yang merasa puas dengan mengadopsi pilar-pilar kekuasaan di masa silam untuk kepentingan menggerakkan instrumen nasionalisme. Reproduksi dan konversi pilar-pilar kekuasaan Majapahit secara eksesif dalam bentuk NKRI yang sentralistik tak diimbangi dengan reproduksi dan konversi warisan intelektual Majapahit yang menjadi ruh peradaban Majapahit ke dalam bentuk baru yang bisa memecahkan persoalan yang dihadapi zaman kita.

''Bhineka tunggal ika'' kita junjung layaknya mantra, tapi semangat zaman yang melahirkan sesanti itu --di mana agama Buddha dan Syiwa berdampingan damai laksana buku-buku teologi yang berjejer mesra di rak buku-- gagal kita adopsi dalam kehidupan sehari-hari. SARA menjadi isu yang mengerikan, etnis Tionghoa mengalami diskriminasi yang pahit, para penganut agama-kepercayaan di luar yang resmi dikejar-kejar dan tempat ibadahnya dihancurkan.

Baru belakangan saja upaya serius untuk memelajari dan mengkaji naskah-naskah lama dari khasanah Nusantara mulai banyak dibicarakan. Ini bukan hanya berlaku pada Majapahit yang ada di Jawa, tapi juga pada semua warisan kebudayaan dan peradaban lain di Nusantara, seperti Sureq la Galligo. Pentas La Galigo di Singapura dan New York hasil olah-kreasi Robert Wilson diliput besar-besaran, sesuatu yang membuat kita bangga, tapi pada saat yang sama menyedihkan karena tiba-tiba kita sadar: kemarin ke mana saja?

Kita gagal mempelajari Assikalaibineng, misalnya lagi, apalagi memopulerkannya agar bisa sejajar dengan Kamasutra. Tak pernah kita mampu mereproduksi naskah-naskah pengobatan dalam banyak bahasa lokal kuno untuk dikonversi menjadi sebuah tradisi pengobatan yang kuat dan mengakar dalam urat nadi kesadaran dan pengetahuan kita sendiri. Perdagangan gelap naskah-naskah Melayu dari Pulau Panyengat adalah ilustrasi riil yang --hingga level tertentu-- bisa dibandingkan efeknya dengan berubahnya orientasi maritim ke daratan bagi sebuah negeri yang dua-pertiga wilayahnya adalah lautan.

Jika Kakawin Negarakertagama atau Bharatayudha atau Sutasoma atau Siwaratrikalpa atau Centhini dikenal oleh bangsa-bangsa lain, ini bukan karena inisiatif bangsa kita, tapi berkat jerih payah sarjana-sarjana asing, dari mulai Brandes, Krom, Casparis, Zoetmulder, hingga Inindiak dan banyak lagi nama lain. Sosok seperti Poerbatjaraka, Slamet Muljana atau Koentara Wiryamartana -yang mewarisi asketisme dan ketekunan para rakawi dan meneruskan rintisan para sarjana asing di atas-- makin susah dicari di zaman sekarang.

Mereka seperti Ibnu Rusyd atau Maimonides bagi peradaban Eropa. Para cendekiawan Eropa di ujung Abad Pertengahan --berkat Perang Salib yang mempertemukan dua peradaban-- menyadari bahwa warisan intelektual nenek moyang mereka justru direproduksi dan dikonversi secara jenial oleh para sarjana muslim. Dari situlah, dari terjemahan dan kajian sarjana-sarjana muslim, mereka menggelar arus-balik kebudayaan, merintis Renaissance, dan memulai era baru kejayaan peradaban Eropa.

Atau, jangan-jangan, semua warisan kebudayaan dan peradaban lama di Nusantara memang tak cukup cemerlang untuk direproduksi dan dikonversi dalam bentuk baru (debat Ibn Rushd dan al-Ghazali tentang metode filsafat Aristoteles terjadi 2 abad sebelum Sutasoma dan Negarakrtagama ditulis), sampai-sampai dua Sutan kita (Takdir atau Sjahrir) sangat sinis pada orang-orang yang mempelajari dan mengagung-agungkan warisan masa silam sebagai ''praktik mengelap peti tua''.

Dua Sutan itu mungkin mengalami dilema seperti yang dialami Minke saat ditangai gurunya ihwal apa sumbangan bangsanya bagi peradaban manusia. Dengan tajam dan memukau, seperti menggemakan kembali suara Takdir dan Sjahrir, Pram melalui mulut Minke menulis: ''Bukan saja aku menggeragap mendapat pertanyaan dadakan itu, boleh jadi seluruh dewa dalam kotak wayang ki dalang akan hilang semangat hanya untuk menjawab.''

Saya berani bertaruh Takdir dan Sjahrir akan ikut protes jika mendengar Trowulan dihancurkan dengan ruda-paksa yang menyedihkan, sebab bukan itu yang mereka maksudkan dengan ''belajar dan berpaling ke Barat''. Lebih-lebih, mereka juga sedih, karena saat kita meninggalkan warisan lama kebudayaan dan peradaban Nusantara (seperti yang sedikit banyak mereka kampanyekan), saat yang sama kita juga tak tuntas belajar pada Barat yang mampu secara jenial mereproduksi dan mengkonversi warisan tua Yunani-Romawi. Pada Barat kita tak becus belajar, pada warisan lama kebudayaan dan peradaban sendiri kita berlaku serampangan dan asal comot yang enak-enaknya saja.

Trowulan yang rusak adalah cermin di mana samar wajah kita yang bopeng terlihat lamat-lamat di sana.

*)Sejarawan muda, tinggal di Jogja.

Senin, 23 Februari 2009

MISTERI TAWA ALA MILAN KUNDERA

Imamuddin SA

Realitas yang terjadi dalam kehidupan, sebuah ritmik dinamis yang terbentuk lewat gerak manusianya. Darinya, segala sesuatu itu mengada. Peristiwa-peristiwa serta benda-benda yang bersifat baru yang merupakan komplemen itu hadir akibat dari pola eksistensi mausia. Misalkan saja keberadaan barang-barang elektronik. Barang-barang semacam itu pada mulanya bulum ada di lingkungan ini. Itu termasuk barang baru yang difungsikan untuk mengefisienkan pribadi manusia sendiri dalam melengkapi kebutuhannya. Dulu, sebelum ada telekomunikasi, manusia masih kerap memperdayakan burung untuk memberikan kabar ke suatu tempat. Ada lagi dengan memasukkan secarik kertas ke dalam botol, lalu dilemparkan ke laut. Namun keberadaan kabar yang disampaikan lewat tindakan semacam itu memiliki nilai kecil untuk sampai pada orang lain yang dimaksud. Adakalanya kabar itu dibawa langsung oleh seorang utusan. Dan ini membutuhkan rentang waktu yang relatif lama. Baru kemudian setelah alar relekomunikasi (telepon) ada, hanya dalam hitungan detik, seseorang dapat memberi kabar kepada sesamanya yang notabenenya berada di tempat yang jauh dan berlainan.

Proses terbentuknya barang baru tersebut masuk dalam sebuah peristiwa. Jika sebuah peristiwa berkonotasi pada tindakan yang besar, itu dapat dikategorikan sebagai sejarah peradaban manusia. Lebih jauh dari itu, terjadinya peristiwa-perisriwa kecil dan sederhana dalam realitas ini juga pengaruh dari gerak manusia. Semisal adanya ramah-tamah, tolong-menolong, pencurian, pemerkosaan dan lain-lain termasuk sebagian dari eksistensi manusia. Bahkan peristiwa perang pun akibat dari ulah tangan manusia.

Semua itu terjadi akibat pola pikir seorang manusia yang mendapat sugesti dari kehendak hatinya. Baru kemudian terciptalah gerak utuk membentuk sesuatu yang baru. Membentuk suatu perubahan yang ada dalam lingkungan sekitarnya. Entah itu perubahan yang bersifat universal maupun sebatas sederhana. Dan semuanya itu, juga tidak terlepas dari eksistensi tuhan yang tengah memberikan keleluasaan kepada manusia untuk mengatur dan mengolah segala yang ada dalam realitas kebendaan ini. Manusialah pemimpinya. Pemimpin bagi dirinya. Pemimpin untuk lingkungannya.

Peran serta manusia dalam realitas kebendaan ini sangatlah dominan. Namun kemutlakkannya masih berada di tangan tuhan. Eksistensi tuhan di sini kebanyakan hanya meng-amini apa yang telah menjadi kehendak manusia. Hanya dalam momen-momen tertentu, tuhan menunjukkan kebesarannya, bahwa Ia lebih kuasa ketimbang manusia. Itu dilakukan hanya untuk menunjukkan bahwa kekuasan manusia itu masih berada dalam naungan kekuasaan tuhan.

Keleluasaan itu diberikan untuk pendayagunaan akal manusia sendiri. Bagimana eksistensi akal di sini dipertanyakan dengan serius. Dengan kemampuan akal yang ada, manusia diharapkan memberikan suatu kevariatifan serta kedinamisan dalam lingkungannya. Namun hal itu masih dengan satu catatan, jangan sampai membuat kerusakan di dalamnya.

Pemberdayaan akal dalam realitas ini sangat berperan aktif. Sebab eksistensi manusia di sini ditunjukkan dengan eksistensi akalnya. Descartes juga sempat menekankan akan pentingnya akal dalam realitas ini. Dengan pernyataan; ketika aku berfikir maka aku ada, ia sebenarnya telah membongkar keberadaan manusia yang sebenar-benarnya dalam lingkungan ini. Dengan pengolahan dan penggerakan akal, maka realitas lingkungan akan turut bergerak pula. Mobilitas akan terjadi secara dinamis. Itulah yang kemudian dapat dirujukkan pada ungkapan Milan Kundera; saat manusia berfikir, Tuhan tertawa.

Tuhan tertawa saat melihat manusia berfikir sebenarnya masih menimbulkan pertanyaan. Saya kira tawa tuhan di sini masih menjadi misteri. Apakah tawa itu menunjukkan suatu kebanggaan terhadap manusia, ataukah justru malah sebaliknya. Tawa itu sebagian dari penghinaan oleh tuhan terhadap misi kemanusiaan. Pernyataan Kundera dapat mengena pada kedua premis ini. Ini tinggal tumpuan berfikir manusia ditujukan ke arah yang bagaimana. Jika orientasi berfikir seorang manusia itu ke arah yang positif, maka tuhan akan bangga dengan sikap terebut. Namun jika pola pikirnya tertuju pada sesuatu yang bersifat negatif dan buruk, maka tuhan pun akan menertawakannya. Tuhan merendahkan kredebilitas manusia sebagai makhluk yang sempurna dengan keberadaan akal padanya. Misalkan peristiwa perang. Sudah jelas, tuhan membenci perpecahan, pertumpahan darah, dan kerususakan, tapi mengapa perang masih saja tetap terjadi. Semua itu tidak lepas dari kepentingan personal yang dipicu gelar, nama besar, maupun kedudukan.. Sehingga pola pikir pun terserang virus keserakahan dan eksistensinya terkendali oleh nafsu. Akal tak sanggup memfilter, menimbang dan menilai dengan baik. Akal lemah. Saat itulah tuhan menertawakannya.

Ini tidak hanya merujuk pada peristiwa universal seperti peperangan saja. Suatu tindak penilaian yang buruk dan negatif terhadap segala ungkapan, pernyataan, maupun tindakan orang lain itu juga sanggup merendahkan kredebilitas manusia di hadapan tuhan. Tuhan akan menertawakannya. Termasuk yang hanya bersifat prasangka buruk juga. Segala yang ada dan terjadi sebagai suatu rangkaian peristiwa negatif itu seyogyanya tidak dipandang dengan nilai yang buruk. Realitas semacam itu semestinya kita pandang sebagai suatu kemutlakan untuk becermin terhadap diri sendiri. Mengambil kebaikannya dan menjadikan kenegatifannya sebagai wacana serta pengalaman yang berharga. Biar tuhan bangga dengan pola pikir kita. Tuhan bangga dengan keberadaan kita dalam mengemban amanahnya.

Kundera juga memberi pandangan akan kebajikan utama yang kudu dikembangbiakkan oleh manusia. Hal itu meliputi; toleransi, humor, dan imajinasi. Toleransi berkaitan erat dengan tindakan penghormatan terhadap individu lain. Selain itu gotong royong dan tolong-menolong juga tergolong dalam tindak toleransi. Fokusnya untuk menjalin harmonisasi antarindividu. Jika ini telah tercipta, maka rasa aman, kepercayaan, serta kesejahteraan akan menjadi buahnya dalam lingkungan masyarakat.

Masalah humor tidak hanya semata-mata sebuah lelucon yang mampu membuat seseorang tertawa terpingkal-pingkal. Ini dapat dibiaskan pada persoalan usaha memberi kebahagiaan serta menciptakan suasana yang menyenangkan kepada individu lain. Sedangkan imajinasi berkonotasi pada tindak berfikir untuk menciptakan sesuatu yang baru. Manusia dituntut untuk berkreasi. Tentunya kreasi itu bukanlah sesuatu yang bernilai negatif. Kreasi yang tidak sekedar menguntungkan diri sendiri namun merugikan orang bayak. Ini bertalian dengan pernyataan bahwa saat manusia berfikir, Tuhan tertawa. Dan ketiga rumusan kebajikan itu bersifat menunjang-mengisi satu sama lain. Yang semestinya diaplikasikan secara bersama-sama, bukan sebagian saja. Kita tidak bisa meninggalkan salah satu di antaranya.

Kendalkemlagi, Pebruari 2009

Kematian Gandhi dan Masa Depan Perdamaian

Gugun El-Guyanie
http://guyanie.blogspot.com/

MOHANDAS Karamchand Gandhi (Mahatma, yang berati "Jiwa Yang Agung", sebagai julukan kehormatan), seorang bocah terlahir di tengah peradaban India yang masih tercengkeram kolonialisme dan imperialisme Barat.

Latar belakang sejarah yang penuh pergolakan, pertumpahan darah dan penjajahan hak-hak sesama manusia, menjadikan Gandhi dewasa menolak bertekuk lutut menyerah pada penjajah yang zalim. Namun, semenjak meninggalnya pada 30 Januari 1948, tubuhnya yang dihantam bom rakitan pengikutnya dari Hindu fundamentalis, dunia seakan sulit melahirkan tokoh yang sebanding dengan Gandhi.

Ahimsa, sebuah prinsip perlawanan Gandhi dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan dengan tetap antikekerasan, pada konteks kekinian patut kita refleksikan kembali. Abad modern yang bergelimang dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadikan misi hidup mulia Gandhi semakin terasing.

Setengah abad setelah si tubuh ringkih itu meninggalkan dunia mayapada ini, perdamaian menjadi komoditas yang terlalu mahal dan tabu untuk dibicarakan.

Perjuangan Gandhi untuk memperjuangkan kehidupan yang damai dengan kerelaan mengorbankan kenikmatan duniawinya, rupa-rupanya tak banyak yang menghargainya, apalagi meneruskan panji perjuangannya.

Penilaian Negatif

Orang bisa memaklumi ketika yang bersikap skeptis itu adalah kaum awam yang tak memikirkan filosofi kehidupan apa pun. Tetapi sangat ironis, kalau tokoh sejenius Profesor Worm Muller (penasihat Komite Nobel Norwegia), memberikan penilaian negatif terhadap perjuangan Gandhi.

Momentum tersebut terjadi ketika Gandhi dinominasikan sebagai penerima Nobel Perdamaian pertama kali pada tahun 1937. Dalam pandangan Muller, Gandhi memang seorang pemimpin yang penuh karismatik, tetapi kapasitasnya selaku maestro politik, kebijakannya sering tidak konsisten. Begitu pula jalan pemikirannya yang sulit dipahami oleh para pengikutnya.

Gandhi dianggap berwajah ganda. Sebagai pejuang kebebasan tetapi sekaligus juga seorang pemimpin yang diktator. Kampanye antikekerasan melawan Inggris dapat menyebabkan kekerasan dan teror. Begitu pula dengan kasus di Chauri Chaura, yaitu selama kampanye non-kooperatif I periode 1920-1921, sekumpulan orang menyerang kantor polisi dan membakarnya serta terjadi pembunuhan terhadap para anggota polisi.

Dengan sebelah mata, laporan dari Penasihat Komite Nobel itu juga menganggap bahwa ide Gandhi yang banyak mengundang simpati hanya terbatas untuk bangsa India semata. Salah satu contohnya adalah perjuangan perdamaian Gandhi di Afrika juga muara keuntungannya untuk India.

Skenario semacam itulah yang menggagalkan Gandhi untuk memperoleh nobel pada tahun 1937, bahkan sampai akhir hayatnya, tak satu pun penghargaan tersebut jatuh untuknya.

Memang, perjuangan yang penuh keikhlasan jauh dari tendensi pragmatisme sempit-seperti kemasyhuran, kedudukan apalagi kekayaan duniawi-tak akan pernah dipandang indah oleh siapa pun. Dalam filosofi Jawa, "sepi ing pamrih rame ing gawe". Sepi berarti kosong, kekosongan dari pamrih yang berarti kepentingan, keuntungan atau pujian. Rame yang bermakna penuh karya, seluruhnya berisi gawe yang berarti sepak terjang perjuangan yang penuh rintangan, pengorbanan baik jiwa dan raga.

Ada beberapa kemungkinan mengapa cita-cita mulia beliau sengaja disembunyikan dari sesuatu yang objektif. Pertama, sepintas mereka yang memandang satu mata terhadap spirit perdamaian yang diusung Gandhi, tak memahami esensi kehidupan itu sendiri. Sehingga hidup yang penuh kedamaian, keharmonisan dan keindahan tak berarti apa-apa.

Atau barangkali yang kedua, mereka telanjur skeptis bahwa perjuangan mewujudkan perdamaian adalah sesuatu yang utopis belaka. Sebagaimana adagium yang mengakar pada masyarakat Romawi Kuno, "sivis pacem para bellum, jika Anda ingin damai bersiaplah untuk perang". Artinya tak ada kehidupan damai yang sejati. Perdamaian itu sendiri ditegakkan dengan mengorbankan nyawa manusia, pertumpahan darah dan menuruti nafsu kebengisan.

Waktu damai hanyalah masa tenggang yang diapit oleh kekerasan sebelumnya yang akan disambung oleh pergolakan berikutnya. Setiap waktu, setiap tahun adalah tahun yang mengerikan (Anno Horrobilis).

Ketiga, apresiasi yang sempit dari orang-orang Barat sebagaimana terbukti dalam Komite Nobel Norwegia, menunjukkan terjadinya perang kepentingan. Faktor politiklah yang muncul secara dominan. Primordialisme Barat atau Eropa sentris, seakan keberatan ketika harus menjatuhkan pilihan kepada tokoh Timur yang notabene masih hidup dalam belenggu kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Terlebih Inggris pada waktu itu masih mencengkeram kuat India sebagai daerah koloninya.

Kesadaran

Sampai detik ini, warga dunia masih belum juga terbuka kesadaran damainya (peace consciousness). Sebuah kesadaran yang fitrah, sebagaimana Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan telanjang, kosong dari pergolakan apapun. Manusia berasal dari ketiadaan, kembali menuju ketiadaan.

Kearifan lokal itulah (local wisdom) yang diajarkan oleh RNg Ronggowarsito-seorang pujangga Yosodipuro II (1802-0873)-dalam sastra jawa, Sangkan Paraning Dumadi, asal muasal kejadian.

Beberapa teladan hidup Gandhi patut untuk dilahirkan kembali untuk menghadapi kehidupan yang semakin tua. Konsep perlawanan tanpa kekerasan, yang disebut ahimsa, keteguhan dalam kebenaran (satyagraha), dan swadeshi sebuah sikap konsistensi untuk berdiri diatas kemampuan sendiri.

Menjauhi kenikmatan duniawi (zuhud), telah membutakan mata Gandhi terhadap kekuasaan, kekayaan dan kemasyhuran. Gandhi tak segan-segan menolak jabatan politik yang diberikan kongres kepada dirinya. Menghabiskan hidup dengan tinggal di ashram yang jauh dari kemegahan, baginya jauh lebih mulia daripada hidup di istana. Menerima jabatan diibaratkannya sebagai memakai "mahkota berduri".

Gandhi memang telah meninggalkan dunia yang fana ini. Tetapi bukan berarti perjuangannya, teladan hidupnya, dan ajaran-ajarannya ikut terkubur oleh kerasnya tanah zaman globalisasi. Globalisasi yang mengajarkan gaya hidup materialis, hedonis dan pragmatis, membuat manusia teralienasi dari ke-fitrah-annya sendiri.

Mengalami kekeringan spiritual dan sepenuhnya dibimbing nafsu kebinatangan yang rakus tamak dan serakah. Menghormati jasa Gandhi terhadap semesta bukan dengan sikap mengkultuskannya. Tetapi mampukah kita semua melahirkan spirit Gandhi di zaman yang cerdas tapi beringas ini? *
------------------

*)Penulis adalah Koordinator Kajian Editorial LKKY (Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta)
1 Feb 2006, diambil dari Suara Pembaruan

KUMPULAN PUISI INDONESIA, PORTOGAL DAN MALAYSIA

Imamuddin SA

Memang benar jika sebuah karya ditentukan oleh zaman. Siapa yang suntuk dengan karya, dialah yang kelak tercatat dalam buku besar kesusastraan dan melegenda. Dan penyair besar itu tidaklah sebuah proses yang dadakan layaknya undian tabanas. Atau sekadar audisi. Tapi mereka yang benar-benar menyuntuki karyalah yang kelak bakal menemukan nama besarnya. Mereka senantiasa berproses untuk mencapai kekentalan tertentu dalam karya. Membubuhkan puitika dalam ruang kosong yang masih tersedia.

Saya kira mereka juga pasti tidak sekedar iseng menggurat karya. Apalagi hanya merajut kata dalam keindahan akustik. Mereka pasti menggali kedalaman makna dalam simbol-simbol yang tengah disematkan. Mereka sadar betul kalau sebuah karya itu diharapkan mampu memberikan pencerahan bagi tiap pembacanya. Setiap pembaca setelah menikmati karya akan berkesan dan bahkan mampu mengubah sikapnya. Itulah hakekat sastra yang bersifat mendidik.

Sebab-sebab itulah yang pada muaranya akan menjadikan seorang penyair diakui mobilitas karyanya dalam khasanah kesusastraan nasional bahkan internasional. Karyanya mendunia dan dijadikan rujukan elemen masyarakat. Namun bukan sebatas itu, mungkin usaha tersebut sudah cukup untuk mendapat pengakuan secara nasional. Akan tetapi belum tentu mendapat pengakuan di mata dunia. Ada satu usaha yang harus ditempuh seorang penyair. Yaitu penerjemahan ke dalam bahasa internasioal atau bahasa asing (disesuaikan dengan daerah yang bakal dijadikan objek penyebaran karya). Dan karya-karya itu disebarkan pula ke negara-negara lain. Dengan tindakan semacam itu, saya kira sebuah karya akan banyak dikenal dalam khalayak internasional.

Sekarang marilah menengok mobilitas sastra di negeri kita ini, Indonesia, berapa banyak karya-karya penyair besarnya yang tengah diterjemahkan, cukup minim bukan! Barangkali faktor inilah yang menjadi kendala kurang dikenalnya karya pribumi di mancanegara. Karya-karya dari sastrawan Indonesia kurang mendapat perhatian dari masyarakat mancanegara. Jangankan diperhatikan, dikenal saja tidak!

Fenomena yang cukup menarik, seandainya sudah ada bentuk penerjemahan karya ke dalam bahasa internasional, yang patut dipertanyakan masalah mutu penerjemahannya sendiri. Jangan-jangan dengan penerjemahan itu, mutu karya menjadi menurun. Namun sangat beruntung jika terjadi peningkatan mutu karya dengan adanya pen-translit-an tersebut. Ini mampu mengangkat kredebilitas penyair dan negara asal penyair di mata dunia. Jadi, harus benar-benar selektif dalam memilih pe-translit. Jangan asal comot. Yang penting ada orang yang mau me-translit, karya langsung diberikan begitu saja.

Ada satu tindakan yang sangat fantastis dalam dewasa ini. Ini kabar yang cukup menggembirakan. Sebagian kelompok ada yang tengah berkenan menyuarakan kesusastraan Indonesia di kanca internasional. Mereka membuat strategi, bagaimana agar kesusastraan Indonesia eksis di luar negeri. Strategi itu ditempuh melalui pembuatan antologi puisi tiga negara. Indonesia, Portugal, dan Malaysia. Antologi ini diterbitkan PT. Gramedia dengan tebal 424 halaman. Judulnya Kumpulan Puisi Indonesia, Portugal, Malaysia: Antologi de Poeticas. Dengan 118 puisi di dalamnya. Isinya dikemas dalam bentuk bahasa portugis yang dilengkapi dengan terjemahan bahasa Indonesia. Dengan demikian, paling tidak kesusastraan (puisi) Indonesia akan dikenal masyarakat Malaysia dan masyarakat Portugal (sebab pe-translit-annya dalam bahasa Portugis). Minimal para penyair kedua negara tersebut.

Antologi ini cukup banyak diisi karya-karya penyair ternama dari ketiga negara tersebut. Dari Portugal misalnya. Ada Dom Dinis, Joao Garcia de Guilhade, Sa de Miranda, Bernardim Ribeiro, Luis Vaz de Camoes, Almeida Gerret, Manuel Maria Barbosa du Bocage, Antero de Quental, Cesario Verde, Camillo Pessanha, Antonio Nobre, Florbela Espanca, Fernando Pessoa, Ricardo Reis, Alberto Caerio, Alvaro de Campos, Mario de Sa-Carneiro, Almada Negreiros, Jose Regio, Miguel Torga, Jorge de Sena, Sophia de Mello Breyner Andresen, Carlos de Oliveira, Eugenio de Andrade, Alexandre O’neill, Sebastiao da Gama, David Mourao-Ferreira, Antonio Ramos Rosa, Raul de Carvalho, Herberto Helder, Luiza Neto Jorge, Ruy Belo, Natalia Correia, Nuno Judice, Joaquim Manuel Magalhaes, Alberto, Manuel Gusmao, Ana Luisa Amaral, Fiama Hasse Pais Brandao, Jose Tolentino Mendonca, dan Jose Luis Peixoto. Dari Indonesia ada Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Muhammad Yamin, Roestam Effendi, Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Asrul Sani, Subagio Sastrowardoyo, Ramadhan KH, Toto Sudarto Bachtiar, Toeti Heraty Noerhadi, Taufiq Ismail, Rendra, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, Ibrahim Sattah, D. Zawawi Imron, Abdul Hadi WM, Ahmadun Yosi Herfanda, Suminto A. Sayuti, Afrizal Malna, Isbedy Stiawan, Fakhrunnas MA Jabbar, Acep Zamzam Noor, Zeffry J. Alkatiri, Joko Pinurbo, Agus R. Sarjono, Soni Farid Maulana, Taufik Ikram Jamil, Dorothea Rosa Herliany, Radhar Panca Dahana, Warih Wisatsana, Gus TF Sakai, D. Kemalawati, Ulfatin C. H, Fika W. Eda, Jamal T. Suryanata, Cecep Syamsul Hari, Jamal D. Rahman, Aslan A. Abidin, Asrizal Nur, Moh. Wan Anwar, Taufik Wijaya, Amien Wangsitalaja, Rieke Diah Pitaloka, Sutardji Calzoum Bahchri, Raudal Tanjung Banua, Marhalim Zaini, dan Fatin Hamama. Dari Malaysia ada A. Samad Said, Usman Awang, Firdaus Abdullah, Kemala, Baha Zein, Muhammad Haji Saleh, Latiff Mohidin, Abdul Ghafar Ibrahim, Siti Zainon, Moechtar Awang, Lim Swee Tin, Kassim Ahmad, Zaen Kasturi, Marsli, Hasyuda Abadi, dan Rahmidin Azhari. Nama-nama penyair yang tengah termaktub dalam antologi ini memiliki kontribusi yang tinggi dalam dunia kesusastraan di negaranya masing-masing. Karya ini memuat penyair yang bereksistensi pada abad tigabelasan Masehi hingga kiprah penyair dewasa ini. Sungguh, hadirnya buku ini benar-benar fantastis bagi masyarakat pecinta sastra dan umumnya bagi elemen masyarakat yang ada.

Melihat dari sosok penyair yang diturutsertakan dalam antologi ini, sudah barang tentu buku ini sangat bermutu tinggi. Kary-karya yang ada pasti mengandung nilai-nilai yang patut untuk diteladani. Ambil saja karya Dom Dinis penyair asal Portugal. Dalam sajak yang berjudul Ai Flores, Ai Flores do Verde Pino (Wahai Bunga, Bunga Pinus Hijau) ada nilai kesetiaan yang begitu tinggi. Si aku dalam sajak ini selalu mencari-cari keberadaan kekasih dan kawannya yang tengah berpisah dengannya. Si aku ingin merajut kebersamaan kembali. Meski ia tengah banyak dihianati dan didustai.

Tahukah engkau kabar kawanku,
ia yang mendustai janjinya padaku!
Oh Tuhan, di manakah gerangan dia?

Tahukah engkau kabar kekasihku,
ia yang mendustai sumpahnya padaku
Oh Tuhan, di manakah gerangan dia? (hal: 5, bait 3 dan 4).

Seperti itulah gambaran hidup yang semestinya. Ketika seseorang pernah didustai sesamanya, ia sesegera mungkin menghapus kedongkolan hatinya. Entah itu dilakukan oleh seorang kekasih ataupun seorang kawan. Sebab tak ada seorang pun yang tak luka tatkala penghianatan melingkupi pribadinya. Yang benar, bagaimana usaha dalam menyurutkannya. Akhirnya menghapusnya. Mengharapkan kebersamaan selalu menjadi payung dalam menyisir perjalanan hidup. Menganggap kedustaan tak pernah ada. Itulah cinta dan persahabatan yang sejati. Dan kelak bakal abadi.

Beda lagi dengan Joao Ruize de Castelo Branco. Peraih Nobel tahun 1998 ini dalam sajaknya Cantiga, Partindo-Se (Syair, Pergi Sendiri) memberikan penekanan pada aspek penyelaman diri terhadap orang lain. Ia seolah menyaran akan betapa pentingnya sorot mata dalam melukiskan batiniah seorang manusia. Melalui mata, seseorang mampu menangkap gambaran dan suasana batin seseorang yang berkecamuk. Mata, jendela bagi jiwa. Duka-derita, kesediha-kepiluan, kemarahan-kedengkian, sepi-rindu, kebahagiaan-ketenangan memiliki media khusus sebagai bentuk ekspresinya. Dialah mata. Cukup dengan meneropong pancaran sinarnya, seseorang mampu membongkar gejolak batin sesamanya. Namun ini menuntut kejelian tertentu dari kita agar benar-benar mendapatkan kevalidan ekspresinya.

Mata ini lebih baik mati, // dari pada hidup seratus ribu kali. // Mata sedih ini beranjak penuh kesedihan, // Jauh dari sebuah harapan yang indah, // Anda tak pernah menatap mata // Yang lebih sedih dari siapapun. (Hal: 11, bait 2)

Penyair tampaknya menggunakan majas sinekdoke pars prototo. Ia memakai kata sebagian untuk keseluruhan. Kata mata mewakili keadaan jiwa dan raga seorang penyair secara keseluruhan. Ia saat itu benar-benar dalam keadaan yang kalut dalam sedih. Ia sedih dan rindu sebab terjadi perpisahan dengan kekasihnya.

Setiap penyair memiliki gaya dan ciri khas masing-masing. Itu tidak lepas dari kedekatan psikologi serta kultur sosial masyarakat yang berkembang saat itu. Zaman pulalah yang juga turut berperanserta dalam membentuk karakter karya seorang penyair. Karena ada hubungan sebab akibat antara seorang manusia dengan lingkungan sekitarnya.

Coba tengok sajak Hamzah Fansuri, Rubayat. Di dalamnya terlukis kental bahwa antara lingkungan sekitar dengan seseorang itu terjadi hubungan sebab-akibat yang kuat. Dalam sajak tersebut menyaran pada keberadaan Hamzah saat ada di Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Konon dalam legitimasi masyarakat, orang yang pergi haji merupakan orang yang tengah pergi ke rumah Tuhan. Berarti ia pergi untuk menghadap Tuhan.

Orang yang menghadap, diindikasikan pasti terjadi pertemuan. Tapi tidak semua penghadapan diri itu terjadi pertemuan. Adakalanya orang yang menghadap itu harus pulang dengan tangan hampa. Hamzah Fansuri ternyata dalam ibadah hajinya, ia tidak menemukan keberadaan Tuhannya di sana. Dari kota asalnya, Barus ke tanah suci Makkah ia hanya menemukan kehampaan akan keberadaan Tuhan. Ibadah yang dilakukannya hanya sebatas syariaat semata. Itu adalah pintu gerbang untuk menggapai hakikat dan kesejatian. Segala yang ada di tanah suci tersebut hanyalah berorientasikan pada simbol-simbol religius yang mesti digali maknannya. Atas beningnya hati dan niat yang tumbuh dalam dirinya, Hamzah akhirnya menemukan jawaban akan keberadaan Tuhan yang hakiki. Ternyata Tuhan ada dalam rumahnya (dirinya) sendiri.

Hamzah Fansuri di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Baitil Ka’bah
Dari Barus ke Kudus terlalu payah
Akhirnya dijumpa di dalam rumah (bait 1, hal:165).

Persepsi semacam itu didasari akan sebuah hadits yang artinya barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Tuhan itu lebih dekat dari pada urat leher manusia sendiri. Itulah dasar-dasar yang kiranya melandasi pernyataan Hamzah bahwa Tuhan ada dalam dirinya. Sebab raga manusia merupakan rumah bagi batinnya. Jika seseorang telah mengenal Tuhan, sudah barang tentu ia akan mudah menjalin pertemuanatau orang dekat. Sebagai amsal, ketika seseorang telah akrab kenal dengan pimpinan perkantoran, ia sebenarnya telah memiliki modal untuk mengatur pertemuan. Bisa sedikit leluasa keluar masuk perkantoran itu. Ibarat ia telah memiliki orang dalam. Namun jangan sekali-kali disamakan antara pertemuan manusia-Tuhan dengan manusia-manusia. Harus ada hijab yang menjadi pemilahnya. Apabila sebuah pertemuan telah berlansung, diindikasikan akan tercipta suatu dialog. Memadukan sesama kehendak. Baru kemudian terbentuklah Kun.

Agar seseorang dekat dengan Tuhannya, istilahnya dikasihi Tuhan, itu berbeda jauh dengan cara mendekatkan diri kepada sesama manusia. Kalau kepada sesama manusia, orang yang ingin mendekatinya harus memiliki modal yang lebih. Boleh dibilang, kalau ingin dekat dengan pengacara, minimal harus bermodalkan uang yang cukup lumayn banyak. Kalau ingin didekati gadis atau perjaka, minimal bermodalkan ketampanan. Atau bahkan uang juga. Tapi berbeda dengan pendekatn diri kepada Tuhan. Seorang manusia yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan atau ingin dicintai Tuhan, ia tidak dituntut untuk mengeluarkan modal yang lebih. Bahkan tidak sama sekali. Ia cukup bermodalkan kepolosan, keikhlasan, dan keridlaan terhadap segala yang telah diperkenankan Tuhan kepadanya. Cukup itu, tidak perlu membawa apa-apa lagi.

Hamzah miskin orang uryani
Seperti Ismail menjadi qurbani
Bukannya Ajami lagi Arabi
Senantiasa wasil dengan Yang Baqi (bait 2, hal:165)

Hamzah saat itu benar-benar pasrah, polos, ikhlas, dan ridla terhadap ketentuan yang telah Tuhan berikan kepadanya. Ia mencitrakan dirinya sama seperti keridlaan Ismail AS saat Ibrahim AS hendak mengurbankannya. Dengan jalan itulah ia kemudian merasa dekat dengan Tuhan. Dekat dengan kekekalan.

Puisi Rubayat ini, merupakan cermin keadaan pribadi seorang Hamzah Fansuri dalam tahap pengenalan jati dirinya. Ia berusaha mengekspresikan secara total gemuruh batin yang begitu memekat. Ia memberikan tuntunan-tuntunan yang luhur bagi kita semua, terutama diri pribadinya yang dalam pencarian kesejatian. Bahkan dalam bait terakhir puisi tersebut merupakan pernyataan yang tegas akan status dirinya dalam kehidupan ini. Ia menegaskan bahwa setelah kesanggupan diri untuk ridla, menjauhkan diri dari kezaliman, serta mengenal sifat-sifat Tuhan yang ada dalam dirinya, maka ia pun menjadi pemimpin kedua dalam alam ini setelah Tuhan Yang Esa. Ia memiliki kewenangan untuk mengatur segala hiruk-pikuk yang berkecamuk dalam alam kebendaan ini. Khalifah fil ardli.

Hamzah Fansuri terlalu karam
Di dalam laut yang maha dalam
Berhenti angin ombak pun padam
Menjelma sultan kedua alam (bait 8, hal:166)

Suasana religiusitas juga diciptakan oleh Raja Ali Haji dalam sajaknya Gurindam Dua Belas. Kereligiusitasannya kental. Bahkan nilai-nilai sosial juga kuat. Apalagi semuanya disandarkan pada pribadi kita. Ia memberikan tuntunan dalam hubungan vertikal manusia dengan Tuhan dan hubungan horisontal manusia dengan sesamnya. Ini berorientasi terhadap sikap dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang berorientasi pada tindak pengenalan jati diri, zakat, kejujuran, bertutur kata, dermawan, perilaku, ilmu, kesabaran, pengendalian diri, dan lain-lain.

Pesona religius tampak kentara dalam ungkapan berikut; barang siapa mengenal Allah // suruh dan tegahnya tiada ia menyalah // barang siapa mengenal diri // maka telah mengenal akan tuhan yang bahari // barang siapa meninggalkan zakat // tiada hartanya beroleh berkat (bait 1-3, hal 169). Pernyataan ini memberikat isyarat bahwa tindak atau usaha pengenalan diri terhadap Tuhan merupakan hal yang tak dapat dipersalahkan. Dan proses pengenalan itu dicapai lebih awal dari tindak pengenalan diri sendiri. Pengenalan itu tidak hanya sebatas bertumpu pada sifat dan karakter pribadi kita, melainkan berorientasi pada hakekat kita ada di dunia ini. Tujuan kita hidup di alam ini juga harus kita kenali. Ini gerbang utama sebelum masuk pada pengenalan terhadap asma dan sifat Tuhan yang telah tersemat dalam diri kita dan menyamudra di dalamnya.

Pengenalan tersebut juga dapat mencakup pada karunia Tuhan yang tengah diberikan kepada kita. Baik berupa kesehatan dan kesempurnaan jasad serta kepribadian, maupun harta benda kita. Tindakan ini dapat diaplikasikan dalam bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Rasa syukur itu tidak sekedar diucapkan dengan ungkapan alhamdulillah saja, melainkan dalam perilaku keseharian. Semisal; kita dikaruniai lisan, cara penyukurannya semestinya dengan bertutur kata yang baik serta tidak dipergunakan untuk mengumpat orang lain. Lisan dapat lebih terjaga dan tak menggelincirkan kita dalam fitnah. Ini dapat masuk dalam kriteria zakatal fil lisani.

apabila terpelihara lidah // niscaya dapat daripadanya faedah (bait 4, hal 170)
mengumpat dan memuji hendaklah pikir // disitulah banyak orang yang tergelincir (bait 6, hal 170)

Kalau dari sisi harta, kita harus menafkahkannya dengan baik dan benar. Memberikan sebagian haknya untuk fakir-miskin. Bersedekah dan zakat. Sikap ini berkonotasi pada tindak untuk menghilangkan sifat bakhil dalam diri kita. Sebab dengan sifat bakhil, rasa toleransi dan solidaritas dengan sesama akan sirnah. Dan mampu mengarahkan kita pada sikap kikir. Melupakan diri dari hakekat harta yang telah dimiliki. Bakhil laksana perompak yang mesti dilawan dengan pedang kemurahan hati. Hal itu dilakukan agar semua karunia Tuhan yang tengah diperuntukkan bagi kita berolehkan berkah yang melimpah-ruah. Menjadikan hidup kita lebih bermakna.

barang siapa meninggalkan zakat // tiada hartanya beroleh berkat (bait 3, hal 169)
bakhil jangan diberi singgah // itulah perompak yang sangat gagah (bait 8, hal 170)

Coba tengok kembali pada puisi Firdaus Abdullah yang berjudul Dilema. Penyair asal Malaysia ini menyuarakan tentang kerukunan antas sesama. Toleransi dan persatuan. Terutama bangsa dan negara. Ia tidak menghendaki adanya peperangan. Baginya peperangan itu sebuah kerugian yang sangat besar. Tak ada sebuah kemenangan dalam peperangan. Kemenangan hanya bersifat fatamorgana. Sebab dalam peperangan ada yang mesti dipertaruhkan. Sama-sama mengalami kerugian, baik yang kalah atau yang menang. Yang kalah jadi abu. Yang menang jadi arang.

Antara harapan // yang tak mungkin // dan kemungkinan yang diabaikan // setimbun sesal yang pahit // dan serentetan nostalgia yang manis // berperang // dalam satu pertempuran // di mana kemenangan mutlak mustahil bertapak // karena // kalau tidak hancur jadi abu // maka terpangganglah jadi arang (hal 320).

Sungguh fenomena sajak yang benar-benar dilematis. Pernyataan yang dianggap sebagai tindak memakan buah simalakama. Itulah realitas dalam berperang. Harapan yang indah dan besar memiliki relatifitas kemungkinan yang cukup kecil. Dan bahkan kemungkinan tersebut kerap terabaikan. Pada akhirnya sebuah perang akan menghasilkan penyesalan yang begitu pahit dan keindahan hanya menjadi kenangan yang terus membayang dalam jiwa-angan.

Lebih lanjut fenomena kehidupan bernegara juga diungkap oleh Marsli N.O. Ia menggambarkan bagaimana jalannya pemerintahan. Penyair asal Malaysia ini dengan sajaknya yang berjudul Tanpa Kepala melukiskan kepincangan yang terjadi dalam realitas sebuah pemerintahan negara.

Tanpa kepala mereka berjalan // Tanpa kepala // Mereka khasanahkan segala indra // Hidungnya dipinggul // Matanya di dada // Telinganya di pusar // Mulutnya di perut // dan otaknya di lutut // Tanpa kepala mereka berjalan // Tanpa kepala mereka berbicara // Tanpa kepala mereka berfikir // Untuk sebuah wilayah // Bernama negara (hal 354).

Dalam puisi tersebut, begitu jelas terlihat kesungsangan dalam praktik pemerintahan negara. Ini juga dapat merujuk pada tidak adanya wewenang oleh seorang pemimpin negara dalam menjalankan roda pemerintahannya. Keputusan dan peraturan serta undang-undang yang tengah dirumuskan tak diindahkan dan diabaikan. Dianggap sebagai sampah rongsokan. Sistem pemerintahan tidak berjalan dengan semestinya. Hal itu tidak sejalur dengan rel yang ada. Dapat dikatakan anggota parlemen berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan kehendak pribadinya. Padahal di dalamnya masih ada pemimpin yang berkompeten memberikan kebijakan-kebijakan tertentu. Sistem pemerintahan jadi serba terbalik.

Kisah Pertemuan Dua Naskah

Judul Novel : Pucuk Cinta Bougenville
Penulis : Sitta Wulandari
Penerbit : Akoer, Jakarta
Cetakan : I Oktober 2008
Tebal : 202 Halaman
Peresensi : MG. Sungatno *
cawanaksara.blogspot.com

Bersama besutan cerita Wulandari ini, pembaca akan menemukan oase emajinasi yang menakjubkan. Dengan sebuah cerita berbingkai yang dicampurkan olehnya, menjadikan novel ini lebih berwarna dan membuai pembaca. Kita akan diajak memasuki dimensi-dimensi kehidupan waktu dan tempat yang berbeda. Namun, belum sampai kita terlalu tenggelam, dengan gesit Wulandari segera menggulung emajinasi pembaca dan mengembalikannya dalam cerita pertama.

Selanjutnya, cerita diarahkan kembali pada kelanjutan cerita yang berbeda dan digulung hingga kesekian kalinya untuk menjemput cerita yang pertama. Lebih asyik, fluktuasi cerita diiringi bahasa yang renyah, unik dan kocak serta dipadu dengan diskripsi khazanah budaya masyarakat desa pegunungan hingga muncul suatu kesan yang mengharukan.

Adalah Aura Meydiana Supit, sebuah nama yang dijadikan pemeran utama dalam novel ini. Semenjak kecil, Aura hanya sempat bertemu satu kali dengan kakek-neneknya. Ketika hendak berangkat ke Bali bersama beberapa rekannya untuk mengikuti suatu acara, ibunya mengingatkan bahwa Aura memiliki kakek- nenek yang tinggal disebuah pegunungan Trenggalek.

Dalam perjalanan, Aura berada dalam satu mobil bersama Mike. Memasuki kota Solo, mereka terjebak dalam kemacetan lalulintas yang cukup panjang. Akhirnya mereka mengambil jalur jurusan Madiun. Sialnya, macet terulang kembali. Mengetahui hal itu, Mike mengajak rekan-rekannya melalui jalan alternatif yang menyusuri jalan-ajalan pegunungan. Namun, belum sampai keluar dari kawasan pegunungan, perjalanan mereka kembali terganggu. Ban mobil yang ditumpangi Mike dan Aura tiba-tiba bocor. Dari sinilah Wulandari mengajak pembaca untuk mengalihkan perhatian pada tujuan Aura dan rekan-rekannya menuju Pulau Dewata.

Dengan segera, Mike yang dibantu Tristan dan rekan yang lain mengganti ban dengan ban cadangan. Aura yang sejak memasuki perjalanan di pegunungan terbuai dengan keindahan panorama alam yang ada, tanpa sepengetahuan rekan yang lain, berjalan-jalan sendirian. Langkahnya pun terhenti didepan rumah tua yang dihalaman depannya dipenuhi dengan indahnya bougenville. Tanpa sadar, Aura mendekati banyaknya bougenville yang mengayomi rumah itu. Sedangkan rekan-rekannya, baru sadar kalau Aura tidak bersama mereka setelah mobil siap untuk digunakan kembali. Mike dan rekan yang lain pun menjadi kebingungan dan mencari-cari Aura.

Sementara, Aura yang sedang terpesona dengan bougenville yang rindang dan mengayomi rumah, akhirnya dipergoki oleh sang pembantu. Setelah menjelaskan maksud dan tujuan kedatangannya, Aura diizinkan untuk menikmati keinginannya. Sambil bercakap-cakap dan mengitari taman, Aura pun mengenalkan diri. Sungguh terkejut, setelah kenal, ternyata rumah itu adalah rumah kakek neneknya yang pernah diceritakan sang ibunya. Aura pun dipertemukan dengan neneknya, Catherine, oleh si pembantu.

Sungguh bahagia ketika Catherine dipertemukan dengan Aura yang telah sekian lama tidak dipeluk oleh sang nenek. Tidak hanya menikmati keindahan bougenville yang ada, Aura juga dijamu dengan jajanan khas desa serta dipersilahkan melihat-lihat koleksi almarhum kakeknya, Nugroho Sastrodarsono. Sastrodarsono adalah seorang sastrawan yang lumayan terkenal di masanya. Anehnya, diantara barang-barang kenangan yang ada, hanya naskah sastra yang berjudul Bougenville karya kakeknya yang menjadikan Aura terpesona. Mengingat bahwa kedatangannya bersama rekan yang lain, Aura segera menghubungi salah satu rekannya dan mengajak mereka untuk mampir ke rumah nenek Catherine.

Sayang, setelah bertemu dengan rekan-rekannya, Aura menjadi berubah pikiran. Ia hendak menunda keberangkatanya ke Bali bersama rekannya. Aura lebih memilih untuk bertempat di rumah Catherine dan menikmati kerinduan sekaligus peninggalan-peninggalan Sastrodarsono. Meski dengan berat hati, akhirnya rekan-rekan Aura mengabulkan permintaannya.

Aura semakin terpukau dengan cerita Catherine bahwa naskah itulah yang mempertemukan cinta antara Catherine dengan Sastrodarsono. Dikisahkan, sewaktu membuat naskah Bougenville, Sastrodarsono bertabrakan dengan Catherine yang kebetulan sama-sama membuat cerita yang judulnya sama. Sejak peristiwa itulah yang kemudian menjadikan keduanya berkenalan hingga menjalin hubungan cinta. Uniknya, sejak itu juga keduanya sepakat sama-sama tidak melanjutkan cerita yang diangkat dalam naskah itu.

Sembari memegang dua naskah Bougenville karya Sastrodarsono dan Catherine, Aura mengungkapkan rasa tertarik pada naskah yang belum selesai itu. Ketika ditawari Catherine untuk melanjutkan perjalanan kisah Bougenville, ia pun dengan cepat menyetujuinya. Dengan rasa gembira, Aura segera memilih salah satu Bougenville itu. Akhirnya, pilihan Aura jatuh pada Bougenville karya kakeknya.

Dengan imajinasi yang cukup tajam dan berliku, Aura menulis Bougenville yang diadaptasi dari Bougenville Sastrodarsono. Untuk menambah keleluasaannya dalam mengumbar emajinasi, Aura menulis disetiap tempat yang menurutnya mendukung kepenulisan, termasuk dipuncak bukit yang tidak jauh dari rumah kakek neneknya itu.

Selama empat hari berturut-turut, Aura selalu mendatangi tempat duduk diatas bukit yang tidak jauh dari rumah neneknya. Namun, pada hari keempat, disaat asyik menulis, tiba-tiba Aura teringat dengan keluarga di Yogyakarta. Ia pun memutuskan untuk turun bukit dan segera pamitan kepada neneknya untuk diberi izin pulang ke Yogyakarta untuk sementara. Dengan jalan tergesa-gesa, disaat mendekati jalan yang dilalui kendaraan umum, tiba-tiba selembar tulisan terakhir yang dipegangnya terlepas dan terbang menghampiri seorang pemuda, Briant. Tanpa tahu bahwa secarik kertas itu dikejar-kejar oleh Aura, pemuda yang sedang kehabisan ongkos untuk pulang ke Yogyakarta itu memungutnya. Melihat hal itu, dengan basa-basi dan memberanikan diri, akhirnya Aura meminta kertas itu.

Sejak saat itulah Aura mulai kenal dan tahu tentang masalah yang sedang menimpa Briant. Akhirnya, Aura mengajak Briant untuk mampir ke rumah Catherine dan berharap ada bantuan untuknya. Sesampai dirumah, tiba-tiba rekan-rekan Aura berdatangan untuk mengajak Aura pulang. Selain itu, Briant juga diajak Aura dan rekan-rekan untuk pulang bersama-sama.

Setelah berpisah dan sampai dirumah masing-masing, Aura kebingungan mencari naskah bougenville-nya yang berada dalam map merah. Setelah beberapa hari, Aura menemukan naskah Bougenville yang ditulis Briant dalam map merah sama dengan milik Aura. Naskah yang juga belum selesai itu ternyata hasil tulisan Briant sewaktu masih melanjutkan studi di Australia. Aura pun tersadar bahwa sewaktu bertemu dengan Briant, Aura melihat map merah yang sama dengan map naskah Bougenville-nya Aura. Map itu tertukar sewaktu Briant pindah dari mobil yang ditumpangi Aura dan Mike menuju mobil yang lain.

Cerita dalam novel ini belum selesai, bahkan ending dari cerita Wulandari ini seakan diserahkan sepenuhnya kepada pembaca. Tentang akhir dari naskah Bougenville itulah yang kemudian menyiksa pembaca dalam indahnya penasaran. Meski begitu novel ini cukup asyik untuk dinikmati sembari mengumbar imajinasi yang romantis.***

Perjalanan Panjang nan Sejenak

Judul Buku : Kitab Para Malaikat
Pengarang : Nurel Javissyarqi
Pengantar : Maman S. Mahayana
Epilog : Herry Lamongan
Jenis Buku : Antologi Puisi Tunggal
Penerbit : PUstaka puJAngga
Tebal Buku : x+130hlm;15,5x23,5cm
Peresensi : Imamuddin SA

Hidup di dunia ini merupakan sebuah rangkaian perjalanan panjang namun sejenak. Dikatakan panjang sebab kehidupan manusia di dalamnya harus melalui beberapa fase. Secara fisikal, dimulai dari fase pembentukan jasad. Kelahiran dalam wujud balita. Kanak-kanak. Dewasa. Tua. Lanjut usia. Lantas tiada. Belum lagi perjalanan secara ruhaniah. Yaitu yang dimulai dari tataran syariat, hakikat, ma’rifat, serta fase penyatuan. Kesemuanya itu merupakan sebuah proses pencarian kesempurnaan dan jati diri kemanusiaanya. Dan rentang waktu antara fase satu ke fase yang lain itu cukuplah lama. Berpuluh-puluh tahun.

Dikatakan sejenak sebab dunia ini fana yang bersifat tidak kekal. Begitu juga dengan manusianya. Secara jasadiah, manusia pasti mengalami kematian di dalam dunia ini. Ia tidak kekal. Suatu saat ia pasti lenyap dari keberadaan kehidupan materi ini. Yang demikian itulah fenomena hidup di dunia yang merupakan sebuah rangkaian perjalanan panjang yang sejenak.

Dalam rangkaian perjalanan panjang yang sejenak ini, seorang manusia pastilah menemukan sesuatu yang lebih dalam hidup dan kehidupanya. Ia sudah barang tentu menemukan hikmah-hikmah tersendiri yang tidak sama dengan penemuan manusia yang lain. Yang lebih dulu hidup daripadanya. Namun jika ada satu kemiripan, itu merupakan suatu kewajaran. Sebab realitas kehidupan manusia sekarang tidak lain adalah hasil pengulangan realitas kehidupan yang silam. Yang menjadi pembedanya adalah cara pengungkapan dan penuangannya dalam realitas sosial. Tentunya dipengaruhi oleh setting suasana dan tempat yang berbeda. Jadi yang sama adalah akar konsep pemahaman idenya. Bukan sama secara realitas fisiknya. Hanya saja konsep ide yang lalu dalam realitas sekarang mungkin terdapat satu pengembangan sesuai dengan prifasi dan lingkungan fisiknya.

Penemuan sesuatu yang lebih dan hikmah-himah oleh seorang manusia itu berpangkal pada tindak pemaknahan terhadap simbol-simbol realitas yang ada. Simbol-simbol yang terdapat di sisi sayap kanan dan kirinya. Dengan adanya pemaknahan itu, maka beroleh manfaatlah dalam pribadi orang tersebut. Tidak menutup kemungkinan, orang lain pun turut merasakannya.

Hal itu tampaknya telah dicapai oleh seorang Nurel dengan menghadirkan karyanya Kitab Para Malaikat. Rangkaian hikmah yang dicakup dalam hidup dan kehidupanya berpangkal dari pemaknahan akan realitas yang melingkupi pribadinya. Perjalanan yang relatif panjang. Kurang lebih hampir sepuluh tahun ia mengumpulkan hikmah-hikmah tersebut hingga kini hadirlah sebuah buku yang berjudul Kitab Para Malaikat. Tempaanya tidak pada satu tempat melainkan di berbagai tempat. Seperti di pesantren Waticongol, Muntilan (Magelang), Tegal Sari, Jetis, (Ponorogo), Yogyakarta, Selat Sunda, Gersik, Lamongan, dan lain-lain. Ia laksana memungut satu demi satu kerikil makna kehidupan yang berserakan sebagai amunisi menelanjangi peradaban zaman.
Falsafah hidup sangat kental dalam Kitab Para Malaikat. Dalam tiap bagianya tersebar luas nilai-nilai falsafahnya. Falsafah tentang wanita misalnya. Siapa yang dapat menghormati dan menjujung martabat rumah tangga, masyarakat, bangsa, dan bahkan leluhur seseorang? Semuanya itu yang berperan adalah seorang wanita. Dialah panutannya. Dialah tulang punggungnya. Jika pribadi seorang wanita itu rusak, maka rusaklah semuanya. Martabat pun akan mengalami degradasi dengan indahnya.

Mengapa wanita sebagai penentu dan tulang punggug semuanya? Ini bukan merujuk pada tindak emansipasi wanita secara mutlak. Tidak mengunggulkan wanita harus memimpin segalanya. Memimpin rumah tangga, masyarakat, maupun bangsa dan negara. Ini melainkan berorientasi pada hakekat dasar wanita. Obsesi wanita sebagai seorang ibu dari anak-anaknya. Cinta kasih harus ditanamkan oleh seorang ibu kepada anaknya secara mendalam. Pendidikan dasar seorang anak tercermin lewat karakter ibunya. Sebab seorang ibu pada dasarnya lebih dekat secara psikologi dengan anak-anaknya. Seorang anak akan mempelajari secara alamiah kebiasaan-kebiasaan ibunya. Jika ibunya sering bersikap kasar, apatis, nakal, kurang sopan, dan sering keluar rumah, sudah barang tentu kelak karakter anak tidak jauh berbeda dari semua itu. Bahkan bisa berbuat lebih. Tidak ingatkah ketika seorang ibu mengalami sakit, maka bayinya pun turut merasakanya jua. Seorang ibu yang sedang guncang jiwa dan perasaanya, maka bayinya pun merengek tak henti-hentinya. Ini sebagai bukti bahwa kedekatan psikologi seorang anak cenderung mengarah pada kepribadian ibunya..

Jadi peranan wanita sebagai penentu kepribadian generasi berikutnya yang menjadi sorotan utamanya. Wanita harus bisa memberdayakan eksistensi pribadinya. Yaitu sebagai seorang ibu yang mencurahkan segenap kasih sayang, cinta, dan pendidikan dasar kepada anak-anaknya. Bukan memberi contoh buruk. Biar kelak tercipta generasi penerus yang lebih unggul. Generasi yang mampu menyemikan harkat dan martabat neneng moyangnya. Wanitalah panutanya. Tampaknya hal itu yang menjadi titik tolak ungkapan seorang Nurel; “Bagi bangsa-bangsa menghormati moyangnya, wanita // menjadi panutan, selendang panjangnya menyeret lelangkah // dan dunia setuju walau berkali-kali terhempas prahara” (Membuka Raga Padmi, I; XI, hal:5).

Pengajaran akan nilai-nilai keikhlasan juga semerbak dalam karya ini. Dalam perjalanan hidupnya, manusia harus senantiasa melangkah dengan penuh keikhlasan. Mengabdi dengan bekal keikhlasan lewat ketetapan hati, perkataan, maupun perilaku. Keikhlasan itu diwujudkan dalam bentuk ikhlas kala memperoleh kenikmatan. Dan ikhlas kala mendapatkan musibah. Hal itu memang terjadi secara bergantian. Ini sebuah kewajaran. Orang tidak akan merasakan kenikmatan sebelum ia pernah merasakan musibah atau sengsara. Begitu juga dengan sebaliknya. Ini merupakan sesuatu yang berkala. “Sakit serta nikmat ia terima sejauh tidak mengurangi kekhusyukan, // kesungguhan hayatmu mengabdi berbekal puja keikhlasan” (Anak Sungai Filsafat, IX; XXI, hal:52).

Nilai vitalitas juga terdapat dalam Kitab Para Malaikat. Ini seolah cermin dari pribadi pengarangnya. “Bara revolusi berasal dari rindu terkumpul gagasan sebelum bertemu, // dan akhirnya bentuklah yang menciptakan melodi ruangan takdirmu” (Musik-Tarian Keabadian, V; XI, Hal:31). Ungkapan ini bermaksud memberi dorongan dan semangat hidup. Bahwa sesungguhnya perubahan besar yang terjadi dalam pribadi seseorang itu bermula dari kerinduan untuk menggapai suatu hal. Di mana pencapaian terhadap suatu tujuan itu belum terwujud. Oleh sebab itu dorongan batin harus segera dituangkan dalam bentuk tindakan dan kesungguhan usaha. Adapun takdir di esok hari akan mengikuti kekuatan tindakan dan kesungguhan usaha dalam proses penggapaian suatu hal yang telah dirindu-impikan. Intinya, seseorang tidak boleh berhenti di tengah jalan saat hendak merengkuh sebuah impian dan cita-cita. Kuatkan tekad sampai muara.

Karya ini merupakan karya yang dituangkan dalam bentuk romantisme perjalanan hidup. Adapun yang menjadi selimutnya adalah romantisme filosofis. Disusun ke dalam beberapa bagian. Lebih tepatnya dua puluh bagian ditambah satu bagian muqaddimah sebagai pembuka awalnya. Bagian-bagianya adalah; Muqaddimah (Waktu Di Sayap Jibril), Membuka Raga Padmi; I, Hukum-Hukum Pecinta; II, Bait-Bait Persembahan; III, Ruang-Ruang Mengabadikan; IV, Musik-Tarian Keabadian; V, Diruapi Malam Harum; VI, Keinginan-Keinginan Mulia; VII, Di Atas Tandu Langitan; VIII, Anak Sungai Filsafat; IX, Sekuntum Bunga Revolusi; X, Penampakan Do’a Semalam; XI, Duka Tangis Busa, XII, Gelombang Merawat Pantai; XIII, Mengembalikan Niat Suci; XIV, Pembangunan Dunia Ganjil; XV, Siang Tubuh Malam Jiwanya; XVI, Secercah Cahaya Kurnia; XVII, Tanah Kelahiran Masa; XVIII, Ruang Waktu Padat; XIX, Muakhir (Kesaksian-Kesaksian); XX.
Dalam setiap bagianya tersusun secara panjang. Namun dibatasi dengan angka-angka romawi sebagai bentuk pemisahan baitnya. Hal itu tampaknya sebagai wujud ekspresi yang menyimbolkan bahwa karya ini digurat dalam rentang waktu yang relatif lama. Dan dalam ruang-waktu yang berbeda-beda.

Tampilan fisik Kitab Para Malaikat cenderung mengelabuhi penikmatnya. Penikmat akan terpancing untuk memaknai dan memahami dalam tiap baitnya secara terpisah. Tiap bait yang dicipta seolah mengusung topik yang baru. Padahal tidak. Itu sebenarnya merupakan satu kesatuan yang utuh dalam tiap sub bagiannya. Walaupun juga ada sedikit yang meloncat. Namun pada akhir bagianya bisa kembali pada topik pembahasan semula. Jika pola pemahaman penikmat dilakukan secara terpisah-pisah, maka benar apabila karya ini disebutnya sebagai karya yang pengguratanya menggunakan ritme Jurus Dewa Mabuk. Ritme yang tidak beraturan dan tak berarah. Namun mengandung kekuatan yang dahsyat dan mematikan lawan-lawanya.

Bahasa yang dipaki tidak sederhana dan terlalu sublim. Jadi butuh pemahaman ekstra untuk menguak intinya. Dan tiap bagianya pun terlalu panjang. Ini bagi penikmat yang kurang sabar, sering mengalami kejenuhan dan bosan. Serta sedikit mengambil hikmah yang terkandung di dalamnya. Yang paling sering akan menganggap ungkapan dalam karya ini minim makna dan pesan. Sekedar keromantisan bahasa yang disajikan. Namun bagi beberapa kalangan penikmat, ini sangat menyenangkan. Sebab ada tantangan yang lebih untuk menguak kesublimannya.

Selanjutnya, selamat menikmati. Selamat menerjemahkan inti. Semoga kesahajaan akan melingkupi jiwa-jiwa sang pencari.

WAHAI BUNGA, BUNGA PINUS HIJAU

Dom Dinis

Wahai bunga, bunga pinus hijau,
tahukah engkau kabar kawanku
0h Tuhan, dimanakah dia?

Wahai bunga, bunga ranting hijau,
tahukah engkau kabar kekasihku?
Oh Tuhan, dimanakah gerangan dia?

Tahukah engkau kabar kawanku,
ia yang mendustai janjinya padaku!
Oh Tuhan, di manakah gerangan dia?

Tahukah engkau kabar kekasihku,
ia yang mendustai sumpahnya padaku
Oh Tuhan, di manakah gerangan dia?

-Engkau ingin tahu kabar kawanmu
kukatakan padamu dia sehat dan hidup.
Oh Tuhan, dimanakah gerangan dia?

Engkau ingin tahu kabar kekasihmu
Kukatakan kepadamu dia sehat dan hidup.
Oh Tuhan dimanakah gerangan dia?

Kukatakan padamu dia dia sehat dan hidup
dan dia akan bersamamu sebelum tenggat waktu tiba.
Oh Tuhan, dimanakah gerangan dia?

Kukatakan padamu dia sehat dan hidup
dan dia akan bersamamu sebelum waktunya
Oh Tuhan, dimanakah gerangan dia?

*) dari kumpulan puisi Antologia De Poeticas, gramedia 2008

SYAIR PERGI SENDIRI

Joao Ruiz De Castelo Branco

Dewi, dengan sedih
Mataku pergi karena Anda, kasihku,
Anda tak pernah menatap mata
Yang lebih sedih dari siapapun.

Begitu sedih, begitu rindu,
Begitu pedih karena perpisahan,
Begitu lelah, berlinang dan sendu,
Mata ini lebih baik mati,
dari pada hidup seratus ribu kali.
Mata sedih ini beranjak penuh kesedihan,
Jauh dari sebuah harapan yang indah,
Anda tak pernah menatap mata
Yang lebih sedih dari siapapun.

*) dari kumpulan puisi Antologia De Poeticas, gramedia 2008

RUBAYAT

Hamzah Fansuri

Hamzah Fansuri di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Baitil Ka’bah
Dari Barus ke Kudus terlalu payah
Akhirnya dijumpa di dalam rumah

Hamzah miskin orang uryani
Seperti Ismail menjadi qurbani
Bukannya Ajami lagi Arabi
Senantiasa wasil dengan Yang Baqi

Hamzah ini asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Shar Nawi
Beroleh khilafat ilmu yang asli
Dari Abdul Kadir Sayyid Jilani

Hamzah Shar Nawi terlalu hapus
Seperti kayu sekalian hangus
Asalnya laut tiada berarus
Menjadi kapur di dalam Barus

Aho segala kamu anak alim
Jangan bersahabat dengan yang zalim
Karena Rasulullah sempura hakim
Melarang kita sekalian khadim

Kunjung-kunjung di bukit tinggi
Kolam sebuah di bawahnya
Wajib insan mengenal diri
Sifat Allah pada tubuhnya

Nurani kenyataan yang pasti
Supaya terang laut yang dalam
Berhenti angin ombak pun mati
Menjadi sultan kedua alam

Hamzah Fansuri terlalu karam
Di dalam laut yang maha dalam
Berhenti angin ombak pun padam
Menjelma sultan kedua alam

*) dari kumpulan puisi Antologia De Poeticas, gramedia 2008

GURINDAM DUA BELAS

Raja Ali Haji

barang siapa mengenal Allah
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah

barang siapa mengenal diri
maka telah mengenal akan tuhan yang bahari

barang siapa meninggalkan zakat
tiada hartanya beroleh berkat

apabila terpelihara lidah
niscaya dapat daripadanya faedah

hati itu kerajaan di dalam tubuh
jikalau zalim segala anggota pun rubuh

mengumpat dan memuji hendaklah pikir
disitulah banyak orang yang tergelincir

jika sedikit pun berbuat bohong
boleh diumpamakan mulutnya itu pekung

bakhil jangan diberi singgah
itulah perompak yang sangat gagah

jika hendak mengenal orang berbangsa
lihat kepada budi dan bahasa

jika hendak mengenal orang mulia
lihat kepada kelakuan dia

jika hendak mengenal orang yang berilmu
bertanya dan belajar tiadalah jemu

cahari olehmu akan guru
yang boleh tahukan tiap seteru

apabila banyak berkata-kata
disitulah jalan masuk dusta

apabila kita kurang siasat
itulah tanda pekerjaan hendak sesat

apabila anak tidak dilatih
jika besar bapanya letih

apabila banyak mencatat orang
itulah tanda dirinya kurang

apabila orang yang banyak tidur
sia-sia sahajalah umur

apabila perkataan yang lemah lembut
lekaslah segala orang mengikut

apabila perkataan yang amat kasar
lekaslah orang sekalian gusar

lidah suka membenarkan dirinya
daripada yang lain dapat kesalahannya

daripada memuji diri hendaklah sabar
biar daripada orang datangnya khabar

keaiban orang jangan dibuka
keaiban diri hendaklah sangka

jika orang muda kuat berguru
dengan syaitan jadi berseteru

hendaklah berjasa
kepada yang sebangsa

hendaklah jadi kepala
buang perangai yang cela

hendak memegang amanat
buanglah khianat

hendak marah
dahulukan hujjah

*) dari kumpulan puisi Antologia De Poeticas, gramedia 2008

RELIGIUSITAS SANG BINATANG JALANG

Imamuddin SA

Chairil Anwar merupakan seorang maestro dalam perpuisian Indonesia mutakhir. Dialah pendobrak stile puitis dari gaya ortodok kepada gaya yang lebih moderen dan terkesan tidak kaku. Karya-karyanya merupakan cermin eksprisi yang begitu tinggi akan kebebasan jiwa, entah itu dari kekangan penjajajah maupun dari tradisi lama perpuisian Indonesia. Ia membawa gaya dan visi baru dalam puisinya. Puisinya tengah keluar dari aturan puitis yang serba mengikat. Atas dasar hal itulah ia membentuk genetika baru dalam kanca perpuisian Indonesia. Ia telah membentuk angkatan baru yaitu angkatan 45 dengan gaya puisi yang lebih familier. Lebih dari itu, ada yang menyatakan bahwa dengan gaya puisi yang ditawarkan Chairil Anwar, sebenarnya sastra Indonesia baru terlahir.

Chairil Anwar lahir di Medan tanggal 22 Juli 1922. Ia tidak tamat sekolah di tingkat SMP sajaknya yang terkenal berjudul AKU. Sajak ini menggambarkan semangat hidupnya yang membersit-bersit dan eksistensialisme pribadinya. Dalam sajak itu ia menyebut dirinya sebagai Binatang Jalang yang kemudian menjadikannya terkenal.

Dalam pandangan pandangan secara umum, yang dinamakan Binatang Jalang memiliki konotasi makna yang negatif, rendah, bahkan hina. Pernyataan itu Chairil seolah mengeklaim diri sebagai sesosok manusia yang liar dan tak memiliki aturan. Hal itu jika ditilik daei sudut pandang puisi AKU. Di luar hal itu, pada dasarnya Chairil memiliki aturan yang begitu kuat. Aturan itu bertumpu pada nilai religiusitas. Lihat saja pada puisinya yang berjudul DOA.

DOA
kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
menginat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

Puisi ini tampaknya diperuntukkan untuk mereka yang meyakini akan adanya tuhan, terutama bagi mereka yang memiliki keyakinan kuat akan keberadaan tuhan dalam hidupnya. Puisi ini memiliki religiusitas yang sangat kental. Chairil pada dasarnya dalam puisi ini mengungkapkan akan betapa kuatnya eksistensi tuhan kepada manusia. Ia menyarankan lewat diri pribadinya bahwasanya ketika seseorang dalam suasana kalut dan bingung seyogyanya ia mengingat dan meyebut nama tuhan yang agung.

Tuhanku // Dalam termangu // Aku masih menyebut namaMu (bait 1)

Saat dalam kondisi kalut dan bingung semacam itu, Chairil masih berdzikir kepada tuhan. Ia ingat akan keagungan tuhan. Dialah yang kuasa atas segala yang ada. Ia menguasai langit dan bumi serta segala urusan yang berkaitan dengan manusia. Dialah yang memberi pertolongan bagi setiap manusia yang dalam kesusahpayahan serta membutuhkan perlindungan. Dan Allah lebih mengetahui (dari pada kamu) tentang musuh-musuhmu. Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi Penolong (bagimu) (An-Nisa:45).

Biar susah sungguh // mengingat Kau penuh seluruh (bait 2)

Ungkapan di atas tampaknya merupakan sebuah penegasan dari ungkapan yang sebelumnya. Dalam bait kedua tersebut pernyataan Chairil lebih diperjelas akan kondisi pribadinya. Ia sungguh dalam kesusahpayahan saat itu. Saat suasana batin semakin bertambah kalut, justru ia malah semakin mengingat akan eksistensi tuhan dalam realitas kehidupan ini. Ia merasakan betul bahwa tuhan benar-benar melungkupi alam ini. Seluruhnya dipenuhi dengan kebesaran dan keagungan tuhan sehingga tiada yang patut disebut dan dilantunkan kecuali nama tuhan. Dialah yang bakal memberi pertolongan dan jalan keluar terhadap semua permasalahan yang melingkupi dirinya saat itu.

Chairil dalam sajak ini tergambarkan sebagai sesosok yang meyakini bahwa hanya tuhanlah yang sanggup memberi petunjuk dan menunjukkan jalan keluar dari permasalahan yang sedang ia hadapi. Ia begitu bingung dan kalut sebab terhimpit beban derita hidupnya.

cayaMu panas suci // tinggal kerdip lilin di kelam sunyi (bait 3)

Kata cayaMu panas suci memiliki arti bahwa nur ketuhananlah memberikan kehidupan bagi setiap makhluk yang ada. Nur itu pulalah yang mengandung unsur kesucian. Ungkapan utu dirunut dari eksistensi panas yang tengah memberikan kehidupan bagi tumbuh-tumbuhan untuk melangsungkan pembuatan makanannya sendiri dengan jalan fotosintesis. Adapun kata tinggal kerdip lilin di kelam sunyi memiliki makna konotatif bahwa nur ketuhanan itulah yang menjadi penunjuk jalan manusia saat ia berada dalam kegelapan, saat ia dalam permasalahan dan sat dalam penderitaan. Nur itulah yang bakal menuntun ke jalan yang terang dan penuh dengan kebahagiaan.

Dalam kondisi kesusahpayahan yang dialami saat itu, Chairil benar-benar memasrahkan dirinya secara penuh kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Ia meyakini bahwa tak ada daya dan upaya yang sanggup dilakukan oleh dirinya kecuali atas izin dan kuasa dari Tuhan. Segala ketentuan nasib yang bakal menimpa dirinya disandarkan kepada-Nya.
Tuhanku // aku hilang bentuk // remuk (bait 4 dan 5)

Chairil saat itu benar-benar merasakan dalam kondisi terpuruk. Entah itu dari sisi kesehatan atau dari sisi permasalahan-permasalahan yang lain. Yang jelas ia tergambarkan dalam keadaan yang tidak berdaya. Saat itu ia berada di negeri asing. Ia tidak tinggal di tanah airnya. Ia tidak ada di Indonesia.

Tuhanku // Aku mengembara di negeri asing (bait 6 dan 7).

Setelah Chairil mengeluhkan diri kepada tuhan akan keberadaannya di negeri orang yang dalam kesusahpayahan, ia di akhir sajaknya terlukis melakukan pertaubatan. Ia seolah menyesali atas segala perbuatan yang telah dilakukannya. Ia berharap agar tuhan berkenan mengampuni segala dosa yang telah diukirnya dan berkenan memberi pertolongan kepadanya. Sungguh, saat itu ia tak sanggup berpaling dari-Nya.

Tuhanku // di pintuMu aku mengetuk // aku tidak bisa berpaling (bait 8)

Fenomena di atas merupakan realitas gemuruh batin Chairil Anwar yang terjadi saat itu. Ia benar-benar dalam kondisi yang tidak berdaya di negeri orang. Ia berada dalam kesusahpayahan yang begitu mencekam. Sungguh, segala yang tecermin merupakan sebuah nilai religiusitas seroang Chairil Anwar yang begitu tinggi. Nilai yang patut dijadikan teladan akan hakekat ketuhanan dalam hidup dan kehidupan ini.

PANGGUNG, IDENTITAS FIGUR DAN PENYAKIT TURUNAN

Nurel Javissyarqu*

Dalam setiap kaidah ajaran agama, faham aliran kepercayaan pun konsep wacana yang diserap dan teryakini. Sang pencetusnya membawa amanah pertama, yang menjadikan dirinya cermin bagi para pengikutnya. Sang utusan, sang martir dan sang yang pemuka itu diamini sebagai sosok paripurna, yang tingkah-lakunya memantulkan tauladan bagi rahmat sekalian alam.

Setiap insan yang menempuh perjalanan hayat, niscaya mendapati dirinya bersinggungan dengan sosok-sosok yang dikagumi. Atau hasrat lebih pada model yang disegani. Apa yang terjadi ketika cermin cerlang itu begitu kuat? Apakah membunuh kesadaran para pesolek?

Yang mewujudkan luaran atas kegagalan membentuk kejiwaan, akan menghadirkan pengertian dalam membangun kualitas diri, dengan apa yang terhadapi dari wujud-wujud figur teridam. Atau pengertian figuran tidak sekuat asalnya. Ini akibat dari ruang-masa yang berbeda, dengan peristiwa yang dialami sang figur. Maka inti daripada figur harus dipelajari, demi menggodok jati diri sebagai insan mempuni.

Akan bahaya jika mengambil bentuk luar saja untuk legitimasi, menjangkau kedudukan demi memperoleh untung semata. Atau figur yang teridam, lama-kelamaan menggerogoti jiwanya, sebab tidak mau atau tak mampu berjuang sejauh mana memahami sang figur merevolusi jiwa. Atau sengaja mengambil pakaian sang figur demi menyelamatkan dirinya, tanpa ada keinginan memperbaiki keadaan diri serta sesama.

Apa yang diperoleh dari pengadaan semu hanyalah kebohongan. Mengada di sini tidak menciptakan apa-apa, selain membuang waktu tanpa nilai tambah bagi lingkungannya. Seperti stempel yang sama tetapi tidak pada jamannya. Figur itu menjelma hantu gentayangan, yang dibangun untuk menakuti orang-orang baru tersadarkan dari sekilas warna kehidupan.

Figur tidak memiliki kekuatan kalau tidak dipercayai. Ia dapat merasuk menguasai jika diyakini, lalu menjelmalah si pengaku itu figuran. Maka berhati-hatilah agar jangan sampai terjebak figuran yang mengambil simpati, dengan memanipulasi lewat perubahan dirinya. Olehnya, menfiguri (membebek, mengekor) menjadi penyakit turunan yang harus dibasmi. Kalau tak mengetahui figur asli, sedurung menjalani tugas kesadarannya sebagai insan berpribadi mandiri.

Kita kudu bisa membedakan antara orang yang menemukan jalan, dengan yang hanya mengambil perangai yang difiguri. Maka koncekilah kalbu, karena setiap insan sejatinya memiliki figur halus yang belum tersentuh dalam diri, yang murni atas karakternya sendiri. Dan jangan terkelabuhi tampang kasar yang membuat diri kita merasa aman. Kebaikan figur akan tampak jika dipandang, namun menjadi konyol kalau tidak memahami, menguyah prosesi bagaimana sang figur itu membawa misi bermanfaat.

Figur yang baik menemukan dirinya dalam kenyataan pahit dengan keikhlasan, memperoleh kebaikan penerimaan. Ada figur revolusioner yang tidak mundur barang sejengkal, sebelum mendapati ketegasan dirinya sebagai pemberani membela pendapat (bertanggung jawab), pun menyokong pilihan kebenaran. Tentu keberpihakan figur membekas pada figur turunan, namun acapkali hal itu dipakai dalam bentuk-bentuk berbeda, serupa kelicikan memunculkan pamrih.

Figur itu identitas nilai, konsep wacana yang dipandang dari pergumulan pertimbangan bathin pemikiran yang matang. Hal kurang tepat jika melaksanakan keputusan figur tanpa mengetahui sejauh mana figur itu mengungkapkan akar permasalahan. Figur yang muncul demi kemaslahatan umat, tidak memetik perbuatan baiknya, tetapi seringkali turunannya yang mengambil untung dari fasilitas yang berupa warisan pamor.

Inilah kefatalan yang menjadikan perilaku figur tidak lagi dihargai dengan semestinya. Maka kudunya belajar mengetengahkan kritik perbaikan, demi mendapati faedah. Dan harus berani membongkar diri, apa benar telah mengidolakan figur hingga identitas dirinya hilang lenyap? Atau sudah mengambil inti sang figur dalam membangun keberzamanan diri? Atau lebih jauh, beranikah bersusah payah menemukan karakter diri tanpa pengilon (cermin) sang figur?

Dunia terbentuk oleh beberapa identitas figur. Dan sungai-sungai itu mengalir mengikuti alunanya masing-masing, menuju pada muara yang sama. Bersatu-padu seirama luapan kasih samudra kemanusiaan, yang menjunjung kelestarian. Kita tahu, pemain figuran bukan tokoh yang utama di dalam menjalankan sejarah pemikiran anak manusia. Figuran itu sekadar pelengkap nafas-nafas permainan. Tanpa figuran, jalannya kisah tetap bisa diterjemahkan, sebab figuran semacan kalimah sampiran.

Akan jauh berbahaya jika figuran mencetak figuran lain, sehingga banyak sekali sampiran. Figuran yang membuat figuran, hanyalah menuruti kesenangan nafsu yang menjadikan dirinya bukan sebagai figuran, namun harapannya menjadi pemain utama. Para figuran dari bentukan figuran pertama (turunan awal sang figur), acapkali berwatak buruk dengan mengambil untung kehadiran sang figur yang terlihat samar olehnya.

Figuran yang baik mengikuti naskah sutradara, namun yang lainnya membuat-buat sejenis bid’ah dari jalannya kisah. Biasanya figuran yang muncul pertama, kerapkali membuat ulah, mengabaikan naskah cerita kesungguhan sang figur. Sehingga para figuran selanjutnya, kurang faham atas kehadiran watak sang figur sesungguhnya, tersebab tergiur mengikuti figuran sebelumnya.

Bagaimana pun figuran perlu dimunculkan, demi memperindah benang merah sejarah sang figur, namun mustinya menyadari bahwa tonggak suatu nilai terbentuk dari figur asli, bukan atas pola-pakolah figuran. Memang, kadang terlihat dalam suatu cerita, figuran lebih ditampakkan daripada sang figur murni. Ini bukan berarti menanggalkan nilai dasar yang dikandung sang figur. Sebab sang figur ialah sosok penentu, magnit yang memiliki daya kegenitan sebagai aktor tersohor.

Bagi seorang sutradara yang membentuk nilai suatu negara atau bangsa, harus menggunakan figuran demi memaksimalkan kreasi, sehingga berkelebatnya tidak sekadar sampiran yang memberat-beratkan cerita atau ngelanturnya kisah. Tetapi membentuk kandungan nilai putaran roda pemerintahan, menjadi tampak seperti yang diharapkan.

Tentu ini harus didukung penciptaan figur handal, yang bisa diterima semua lapisan. Kita tahu sang figur lahir tidak dengan sendirinya. Namun oleh keberanian dan kebenaran politis dalam lingkungan yang membuat dirinya hadir diimpikan penonton juga para pemain lainnya. Yang lahir karena tersudutkan keadaan, keterpaksaan atas ruang-waktu. Sehingga dirinya menguliti makna hayat lahir-bathin di sekitar para figuran.

Adalah kehadiran sang figur baru dapat terjadi, setelah banyaknya figuran yang gagal mencipta identitas figur. Sang figur tidak hadir atas olahan tangan figuran, tetapi dari situasi kejiwaannya yang terjepit-hincit menjadikan dirinya utama. Karakter sang figur tersebut begitu kuat mencorong, sebab tempaan hayat yang keras menggencet mentalnya. Sejak kesadaran awal mengenal fitroh dirinya sebagai makhluk tuhan yang sempurna.

2006, 09,
*) Pengelana asal Lamongan, Jawa Timur, Indonesia.

Minggu, 22 Februari 2009

Puasa Dalam Budaya Jawa

Bambang Kuncoro
http://citizennews.suaramerdeka.com/

Budaya yang berlaku dalam suatu bangsa-–yang mencakup paradigma, sikap, dan pola tindakan– merupakan cerminan nilai budaya bangsa tersebut. Budaya terus berkembang seiring dengan bergulirnya waktu, namun nilai budaya yang telah ada tidak akan hilang sama sekali pada masa selanjutnya. Nilai budaya itu akan menjadi unsur pembentuk, unsur yang mewarnai, mendasari, bahkan dapat mendominasi nilai-nilai budaya sesudahnya.

Menurut sejarahnya, unsur pembentuk nilai budaya Jawa masa sekarang berasal dari 3 jaman terdahulu, yaitu jaman pra Hindu-Buddha, jaman Hindu-Buddha, dan jaman kerajaan Jawa-Islam. Sejak jaman pra Hindu-Buddha, orang Jawa telah mengenal bentuk organisasi desa (Suseno, 1984). Saat itu mereka telah menjalani kehidupan dalam masyarakat yang tertata rapi sehingga terbentuk nilai-nilai sosial-kemasyarakatan yang bertahan sampai sekarang.

Konsep pergaulan masyarakat Jawa tak dapat dilepaskan dari cita-cita mistik. Etika kebatinan menyatakan bahwa cita-cita mistik yang menyatakan kemanunggalan dan keharmonisan antara manusia dan Tuhan itu adalah model bagi hubungan manusia dengan masyarakat (Mulder, 1983). Oleh karena itu masyarakat Jawa memiliki konsep pergaulan dalam dua prinsip: rukun dan hormat.

Prinsip rukun menuntun agar bersikap sedemikian rupa agar tidak menimbulkan konflik. Prinsip ini menurunkan sikap gotong-royong, tolong-menolong, dan solidaritas. Sedangkan prinsip kedua (hormat) berhubungan dengan cara bicara dan membawa diri yang selalu menunjukkan hormat dengan orang lain. Sikap-sikap yang diturunkan oleh prinsip ini adalah memiliki isin (rasa malu), akrab, dan musyawarah (Suseno, 1984; Geertz, 1961).

Bagi orang Jawa, hakikat manusia sebagai makhluk sosial adalah berbudaya. Ketika tidak menunjukkan sikap dan tingkah laku seperti kedua prinsip di atas, maka akan dikatakan durung njawa (belum jadi orang Jawa yang sebenarnya) (Mulder, 1983).

Spiritualitas Jawa
Sejak jaman awal kehidupan Jawa (masa pra Hindu-Buddha), masyarakat Jawa telah memiliki sikap spiritual tersendiri. Telah disepakati di kalangan sejarawan bahwa, pada jaman jawa kuno, masyarakat Jawa menganut kepercayaan animisme-dinamisme. Yang terjadi sebenarnya adalah: masyarakat Jawa saat itu telah memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan yang bersifat: tak terlihat (gaib), besar, dan menakjubkan. Mereka menaruh harapan agar mendapat perlindungan, dan juga berharap agar tidak diganggu kekuatan gaib lain yang jahat (roh-roh jahat) (Alisyahbana, 1977).

Hindu dan Buddha masuk ke pulau Jawa dengan membawa konsep baru tentang kekuatan-kekuatan gaib. Kerajaan-kerajaan yang berdiri memunculkan figur raja-raja yang dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa. Maka berkembanglah budaya untuk patuh pada raja, karena raja diposisikan sebagai ‘imam’ yang berperan sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia (Simuh, 1999). Selain itu berkembang pula sarana komunikasi langsung dengan Tuhan Sang Pemilik Kekuatan, yaitu dengan laku spiritual khusus seperti semedi, tapa, dan pasa (berpuasa).

Jaman kerajaan Jawa-Islam membawa pengaruh besar pada masyarakat, dengan dimulainya proses peralihan keyakinan dari Hindu-Buddha ke Islam. Anggapan bahwa raja adalah ‘Imam’ dan agama ageming aji-lah yang turut menyebabkan beralihnya agama masyarakat karena beralihnya agama raja, disamping peran aktif para ulama masa itu. Para penyebar Islam –para wali dan guru-guru tarekat- memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf. Pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya yang bersifat mistik dapat sejalan, untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinan mereka.

Spiritual Islam Jawa, yaitu dengan warna tasawuf (Islam sufi), berkembang juga karena peran sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang menekankan pada berbagai latihan spiritual, seperti dzikir dan puasa, berulang kali disampaikan dalam karya-karya sastra. Petikan serat Wedhatama karya K.G.A.A. Mangku Negara IV:

Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyamkosani. Setya budya pangekese dur angkara (Pupuh Pucung, bait I)

Artinya:
Ngelmu (ilmu) itu hanya dapat dicapai dengan laku (mujahadah), dimulai dengan niat yang teguh, arti kas menjadikan sentosa. Iman yang teguh untuk mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan.(Mengadeg, 1975).

Di sini ngelmu lebih dekat dengan ajaran tasawuf, yaitu ilmu hakikat atau ilmu batin, karena dijalani dengan mujahadah laku spiritual yang berat (Simuh, 1999). Dalam masyarakat Jawa, laku spiritual yang sering dilakukan adalah dengan tapa, yang hampir selalu dibarengi dengan pasa.

Puasa dalam Masyarakat Jawa
Pada saat ini terdapat bermacam-macam jenis puasa dalam masyarakat Jawa. Ada yang sejalan dengan fiqih Islam, namun banyak juga yang merupakan ajaran guru-guru kebatinan ataupun warisan jaman Hindu-Buddha. Kata pasa (puasa) hampir dapat dipertukarkan dengan kata tapa (bertapa), karena pelaksanaan tapa hampir selalu dibarengi pasa.

Di antara macam-macam tapa dan pasa:
- pasa di bulan pasa (Ramadhan)
sama dengan puasa wajib dalam bulan Ramadhan. Sebelumnya, akhir bulan ruwah (sya’ban ) dilakukan mandi suci dengan mencuci rambut

- tapa mutih (a)
hanya makan nasi selama 7 hari berturut-turut

- tapa mutih (b)
berpantang makan garam, selama 3 hari atau 7 hari

- tapa ngrawat
hanya makan sayur selama 7 hari 7 malam

- tapa pati geni
berpantang makan makanan yang dimasak memakai api (geni) selama sehari-semalam

- tapa ngebleng
tidak makan dan tidak tidur selama 3 hari 3 malam

- tapa ngrame
siap berkorban/ menolong siapa saja dan kapan saja

- tapa ngéli
menghanyutkan diri di air (éli = hanyut)

- tapa mendem
menyembunyikan diri (mendem)

- tapa kungkum
menenggelamkan diri dalam air

- tapa nggantung
menggantung di pohon

Selain yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi jenis lainnya seperti tapa ngidang, tapa brata, dan lainnya.

Untuk memahami makna puasa menurut budaya Jawa, perlu diingat beberapa hal. Pertama, dalam menjalani laku spiritual puasa, tata caranya berdasarkan panduan guru-guru kebatinan, ataupun lahir dari hasil penemuan sendiri para pelakunya. Sedangkan untuk mengetahui sumber panduan guru-guru kebatinan, kita harus melacak tata cara keyakinan pra Islam-Jawa.

Kedua, ritual puasa ini sendiri bernuansa tasawuf, dalam arti, mistik. Sehingga penjelasannya pun memakai sudut pandang mistis dengan mengutamakan rasa dan mengesampingkan nalar.

Ketiga, dalam budaya mistik Jawa terdapat etika guruisme, di mana murid melakukan taklid buta pada Sang Guru tanpa menonjolkan kebebasan untuk bertanya. Oleh karena itu, interpretasi laku spiritual puasa dalam budaya Jawa tidak dilakukan secara khusus terhadap satu jenis puasa, melainkan secara umum.

Sebagai penutup, dapatlah kiranya dituliskan interpretasi laku spiritual puasa dalam budaya Jawa yaitu:

1. Puasa sebagai simbol keprihatinan dan praktek asketik
Ciri laku spiritual tapa dan pasa adalah menikmati yang tidak enak dan tidak menikmati yang enak, gembira dalam keprihatinan. Diharapkan setelah menjalani laku ini, tidak akan mudah tergoda dengan daya tarik dunia dan terbentuk pandangan spiritual yang transenden. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa pasa bertujuan untuk penyucian batin dan mencapai kesempurnaan ruh.

2. Puasa sebagai sarana penguatan batin
Dalam hal ini pasa dan tapa merupakan bentuk latihan untuk menguatkan batin. Batin akan menjadi kuat setelah adanya pengekangan nafsu dunia secara konsisten dan terarah. Tujuannya adalah untuk mendapat kesaktian, mampu berkomunikasi dengan yang gaib-gaib: Tuhan ataupun makhluk halus.

Interperetasi pertama dan kedua di atas acapkali berada dalam satu pemaknaan saja. Hal ini karena pandangan mistik yang menjiwainya, dan berlaku umum dalam dunia tasawuf. Dikatakan oleh Sayyid Husein Nasr, ”Jalan mistik sebagaimana lahir dalam bentuk tasawuf adalah salah satu jalan di mana manusia berusaha mematikan hawa nafsunya di dalam rangka supaya lahir kembali di dalam Ilahi dan oleh karenanya mengalami persatuan dengan Yang Benar” (Nasr, 2000)

3. Puasa sebagai ibadah
Bagi orang Jawa yang menjalankan syariat Islam. puasa seperti ini dijalankan dalam hukum-hukum fiqihnya. Islam yang disadari adalah Islam dalam bentuk syariat, dan kebanyakan hidup di daerah santri dan kauman.

Warisan-warisan Majapahit

Djulianto Susantio*
http://www.sinarharapan.co.id/

Majapahit merupakan sebuah kerajaan bercorak agraris terbesar di Indonesia. Keberhasilannya memakmurkan rakyat dan menjalin hubungan kerja sama dengan dunia luar, menjadikannya suri teladan bagi pemimpin-pemimpin bangsa pascakemerdekaan. Presiden Soekarno dan Menteri Pendidikan/Pengajaran Moh Yamin bisa disebut sebagai dua orang yang sangat mengagung-agungkan Majapahit.

Sampai kini warisan Majapahit terbilang sangat banyak dan beragam. Warisan berujud benda tidak bergerak bisa disaksikan di situs Trowulan berupa candi dan bangunan lain. Meskipun kebanyakan terbuat dari batu bata merah, namun beberapa candi menampakkan kemegahannya karena telah dipugar untuk kepentingan pariwisata.

Yang berupa benda bergerak disimpan di Museum Trowulan dan Museum Nasional Jakarta. Bahkan, banyak koleksi masih berada di museum-museum mancanegara dan kolektor-kolektor barang antik.

Warisan-warisan nonfisik pun tergolong tidak sedikit. Justru hal inilah yang tetap lestari sampai sekarang. Anda pasti mengenal semboyan negara kita “Bhinneka Tunggal Ika”, bukan? Kata-kata demikian begitu bermakna bagi kita. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berasal dari bahasa Sanskerta itu merupakan cuplikan dari kata-kata yang pernah diucapkan oleh Dewa Siwa dalam kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Sutasoma merupakan karya sastra terbesar kedua setelah Nagarakretagama. Keduanya ditulis oleh pujangga istana dari Kerajaan Majapahit.

Dikisahkan, Sutasoma adalah titisan Sanghyang Buddha yang mengajarkan kepada manusia untuk mengendalikan perasaan. Dia tidak suka menjadi raja. Karena itu Sutasoma lari dari istana dalam usahanya mencari kebenaran sehingga akhirnya menjadi penyebar agama Buddha. Di kahyangan lain, raja raksasa Purusada yang gemar makan daging manusia, berjanji akan mempersembahkan 100 orang raja kepada Batara Kala apabila lukanya dapat sembuh. Namun, Kala hanya mau persembahan seorang Sutasoma. Sutasoma sendiri bersedia dijadikan korban asalkan ke-100 raja itu dibebaskan.

Bhinneka Tunggal Ika

Akhirnya Batara Kala dan Purusada sangat terharu menyaksikan keluhuran budi Sutasoma sehingga sejak saat itu Purusada berjanji tidak akan memakan daging manusia lagi. Dewa Siwa yang menitis pada Purusada pun meninggalkan tubuh raksasa itu karena disadarinya bahwa Sutasoma adalah Sang Buddha. Katanya, mangkajinatwa lawan siwatatwa tunggal, bhinneka tunggal ika, tan hana dharmma mangrwa, artinya hakikat Buddha dan hakikat Siwa adalah satu (Kapustakaan Jawi, 1952).

Alkisah, dalam suatu kunjungan ke Bali pada 1962, Presiden Soekarno berkesempatan menonton pementasan wayang. Ketika usai, beliau kembali terkesan dengan kata-kata yang dilontarkan sang dalang tadi, yakni “Bhinneka Tunggal Ika”. Maka beliau mengusulkan agar kata-kata itu dipakai sebagai semboyan negara.

Warisan Majapahit lainnya adalah istilah “bhayangkara”, yang dikenal luas dalam jajaran kepolisian RI. Penetapan nama “bhayangkara” tidak lepas dari popularitas pasukan elite dari masa Kerajaan Majapahit bernama bhayangkari. Pasukan bhayangkari mulai dikenal pada saat Raja Jayanegara (1309-1328) memerintah Majapahit, menggantikan ayahnya Raden Wijaya.

Nama bhayangkari merupakan adaptasi dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Jawa Kuno. Arti sesungguhnya adalah hebat atau mengerikan. Di Kerajaan Majapahit bhayangkari termasuk pasukan kesayangan raja dan masyarakat. Soalnya, tujuannya bukan untuk menakut-nakuti rakyat, tetapi justru untuk melindungi rakyat dan kerajaan. Karena populer, nama ini kemudian identik dengan nama kesatuan pengawal kerajaan.

Nama bhayangkari mulai mencuat ketika beberapa pengalasan wineh (pengawas yang diistimewakan) merasa tidak puas dengan penobatan Raja Jayanegara. Oleh karena itu, menurut naskah kuno Pararaton, mereka berkomplot untuk menggulingkan sang raja.

Pimpinan bhayangkari yang paling terkenal adalah Gajah Mada. Dia berhasil menumpas beberapa pemberontakan di Kerajaan Majapahit. Adanya pasukan bhayangkari pula yang menyebabkan Majapahit mampu meluaskan ekspansinya ke luar Jawa hingga mancanegara. Karena prestasinya itu, Gajah Mada kemudian dinaikkan jabatannya menjadi Mahapatih.

Bendera

Tindakan yang pertama kali dilakukan Gajah Mada sejak menjadi mahapatih adalah memperkuat angkatan perang kerajaan, baik di daratan maupun lautan. Selain itu, untuk memajukan kesejahteraan negara, Gajah Mada membentuk jawatan-jawatan yang sebelumnya tidak dikenal, misalnya Jawatan Pekerjaan Umum yang bertugas memelihara dan membangun candi, keraton, dan gedung pemerintah serta Jawatan Pengadilan untuk benar-benar menegakkan supremasi hukum.

Bila ditelusuri, bendera merah putih yang kita kenal sekarang, sebenarnya juga merupakan warisan dari Kerajaan Majapahit. Sebuah prasasti bertarikh 1294 M menyebutkan bahwa bendera merah putih pernah dikibarkan pada 1292 oleh tentara Jayakatwang ketika berperang melawan Singhasari. Menurut kitab Nagarakretagama (ditulis tahun 1365), warna merah putih selalu digunakan dalam upacara hari kebesaran Raja Hayam Wuruk (1350-1389). Konon, warna merah identik dengan buah maja yang kemudian menjadi asal nama Kerajaan Majapahit. Warna putih identik dengan buah kelapa yang berisi air kehidupan. Merah merefleksikan darah, sementara putih mewakili tulang. Di Kerajaan Majapahit merah dan putih adalah warna yang dimuliakan.

Warisan-warisan Majapahit itu tentu saja merupakan kenangan buat kita yang hidup jauh dari masa lalu. Buah maja memang pahit. Namun, lebih pahit bila kita sendiri generasi sekarang yang merusak warisan-warisan berharga itu. Yang tragis, sebenarnya destruksi secara besar-besaran sudah lama terjadi di situs Trowulan. Dulu bahkan sampai sekarang pun demi menyambung hidup, penduduk setempat masih menggerusi bata-bata kuno menjadi semen merah. Paling kurang destruksi besar-besaran itu mulai berlangsung pada 1960-an. Anehnya mengapa masyarakat baru ribut sekarang hanya soal pembangunan PIM (Pusat Informasi Majapahit)?

Situs Trowulan sampai kini masih merupakan satu-satunya situs perkotaan yang paling lengkap di Indonesia. Dampak dari industri semen merah yang tidak terkontrol itu adalah melenyapkan banyak bangunan kuno. Dampak lain adalah banyak bangunan kuno tidak bisa dipugar lagi karena sisa-sisa yang ada tidak mampu mendukung kegiatan itu. Sejak lama banyak penduduk lokal juga sering menjadikan situs Trowulan sebagai ladang perburuan benda-benda antik. Benda-benda ini kemudian mereka jual kepada para penadah.

*) Penulis adalah seorang arkeolog. Tinggal di Jakarta.

Kamis, 19 Februari 2009

Mashuri, Wayang, dan Kekinian

Evieta Fadjar
http://www.tempointeractive.com/

Jakarta:...Aku putramu, yang kau beri nama Wisrawana dan bergelar Danapati alias Danaraja ketika memerintah Praja Lokapala menggantikanmu, tak juga mengerti, sampai di mana kasihmu kepadaku. Ingatanku masih terpatri pada tragedi hidup yang pernah kau sulut dan membakar seluruh diri dan harapanku. Sayang, segalanya bermula begitu indah...

Demikian kalimat pendahuluan dari novel Hubbu karya Mashuri, 31 tahun, yang memenangi Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006. Karya itu mengungguli 248 naskah lain dan berhak memperoleh hadiah utama Rp 20 juta.

Novel itu, menurut penulisnya, mencampur unsur wayang dengan kekinian. "Unsur yang dicampur aduk itu menarik," ungkap Mashuri, yang gemar memadukan surealis, sufi, dan pendayagunaan bahasa dalam karya puisi dan romannya.

Hubbu berasal dari bahasa Arab, yang berarti cinta. Novel ini berkisah tentang perjalanan hidup Jarot, nama panggilan tokoh Abdullah Sattar. Ini kisah tentang latar belakang keluarga, kisah cinta dengan obsesi-obsesinya, dan konflik batin masa remaja sehingga membuatnya merasa paling hina di dunia. Lalu ia memenggal masa lalu dan bangkit dari keterpurukan.

Mashuri mengaku awalnya ia ingin memberi judul Mahabbah. "Tapi kata itu lekat pada sosok Rabiah Adawiyah, sufi perempuan dari Basra, Irak. Saya mencari akar katanya, Hubbu. Sebab, novel ini hendak menggali hubungan cinta, kasih, dan berahi," ucap Mashuri, yang sedang menempuh pascasarjana itu.

Pengisahan novel ditempuh dalam berbagai sudut pandang dan gaya penceritaan beragam dari penuturan tokoh terhadap Jarot, lengkap dengan perspektifnya.

Bagaimana melahirkan novel ini? Dengan kiasan, Mashuri mengibaratkan proses kreatif karya ini mirip orang mengandung. Ia tidak mempersiapkan karya ini khusus untuk sayembara. "Saya hanya mencari bentuk lain pengungkapan atau ekspresi bersastra," ujar pengagum Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad ini.

Prosa dan puisi dianggap punya kelebihan dan kelemahan dalam menampung aspirasi. Puisi juga mewarnai novel ini. "Karena saya berangkat dari puisi," kata pria yang antologi puisi tunggalnya, Jawadwipa 3003, dibacakan di Fakultas Sastra Universitas Airlangga dengan teatrikalisasi, musikalisasi, dan diskusi.

Banyak rekan Mashuri menganggap novel itu adalah biografi Mashuri. Sebab, ada kisah mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Airlangga dan berlatar belakang pesantren. "Saya berusaha menghindari identifikasi yang bisa membunuh kekayaan tafsir tersebut. Ini fiksi kendati ada pijakannya," kata jebolan pondok pesantren Salafiyah Raudlatul Mutaallimin dan pondok pesantren Ta'sisut Taqwa Galang, Lamongan, itu.

Sebelum menulis novel, pria asal Lamongan ini sangat produktif menulis puisi, esai, dan sedikit cerpen, yang dipublikasikan di berbagai media cetak dan buku antologi. Ia juga aktif menulis puisi dalam bahasa Jawa (guritan). Kini ia sedang menyusun novel ambisius, Menafsir ulang Centini.

Bagi Mashuri, menulis adalah aktivitas yang diyakini membuatnya terbiasa berselancar di atas kata dan kalimat. "Setiap hari saya bikin puisi. Sebagai kesaksian atas hidup dan kehidupan," kata Mashuri, yang mengakui meminjam istilah ini dari penyair senior Herry Lamongan.

Pekerjaan bersastra itu dilakukan di sela-sela pekerjaannya sebagai wartawan surat kabar Memorandum, Surabaya. "Menulis untuk mengisi hidup, sedangkan menjadi wartawan untuk menyambung hidup," ujar mantan pengasuh rubrik Ngaji Sastra harian Duta Masyarakat itu.

Dari semua karya yang pernah dia buat, seperti puisi atau novel, tema yang memancing perhatiannya selalu berkisar soal seks, cinta, tradisi, dan kilas balik masa lalu dan kini. "Di dalamnya ada pengkhianatan, rahasia, dan tabu."

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito