Kamis, 29 Januari 2009

Puisi, Cakram Emosi

Fariz al-Nizar*

Adalah sastra, sebuah jalan yang digadang-gadang untuk mengheningkan diri seorag selain mistisme atau tasawwuf tentunya. penyair ghalibnya banyak yang mengekspresikan kalbunya lewat goresan pena. Sajak, puisi dan juga proisi –meminjam istilahnya Emha Ainun Nadjib yang menemai tulisannya dengan terminologi tersebut yaiu persetubuhan antara prosa dan juga puisi sekaligus- dan juga syair.

Penyair atau munsyi-dalam bahasa kompas- adalah jiwa-jiwa yang selalu merasa terpanggil, sensitif terhad apa saja yang terjadi di sekelilingnya “arround them”. Ia begitu reaktif, responsif terhadap tiap cc kejolak yang terjadi baik di dalam maupun di luar dirinya. Tapi dalam hal ini reaksi serta respon merekan buka berupa aksi tapi bisa berupa novel, syair ataupun puisi.

Pada tataran ini bisa dibedakan reaksi pera penyair dalam mengahapi suatu problem dengan reaksi misalnya pemuda-pemuda organisatoris yang berafiliasi dengan organisasi yang bersifat gerakan, pembela, front. Dalam kasus Ahmadiyah misalnya, penyair tidak akan pernah mondar-mandir membombardir tempat jamaat Ahmadiyah tapi mereka lebih akan mengambil secarik kertas, alat tulis dan sesegera mungkin ia akan menuangkan kegelisahannya. Hal itu berbeda dengan pemuda gerakan tadi –kok gak capek gerak terus- mereka para pemuda gerakan itu lebih bersifat reaktif dengan cara menjadikan Ahmadiyah sebagai lumbung bulan-bulanan mereka.

W.S Rendra, ia mengeluarkan syairnya untuk kemanusian yang hilang di timur tengah, di mana Israel-Palestiana yang diwakili oleh hamas sedang bergejolak. Tapi lagi-lagi pemuda yang tergabung dengan organisasi gerakan mereka menghancurkan siangoge-sinagoge yang ada disekitar tempat domisili mereka.

Dalam pada ini bisa dikatakan bahwa puisi adalah cakram emosi seseorang walaupun yang dibaca adalah sesuatu yang bernada emosi-konfrontatif tapi jika itu berupa puisi semua itu kontan menjadi ah, bener juga kata orang ini…begitu kira-kira komentar yang akan keluar dari mulut para pedengar.

Saya bukan pembela abadi para penyair, saya bukan pem”back up” puisiwan dan saya juga bukan “muassib” para munsyi, tapi hal ini adaah murni ojektivitas bahwa puisi adaah rem dari lajunya emosi diri ini. Seemosi apapun seorang penyair ketika membaca puisinya, yang melihatnya sekalipun dijamin tak akan pernah menghiraukan ke”emosi”annya tersebut. Paling-paling mereka dengan enteng akan mengatakan wah itu penjiwaan puisi yang bagus.

Bukankah perkembangan puisi dewasa ini cukup menjanji? Di mana-mana ada orang membaca puisi, di rumah, di kantor, di bus dan juga tak pernah ketinggalan di saat-saat demo terjadi. Dan hal itu menunjukkan akan iklim kedewasaan serta kematangan kita setidaknya kematangan dalam menghadapi suatu tantangan serta amasalah yang kita alami.

Anda bisa pandangi wajah seorang Abdul Wahid B.S, Ahmad Mustofa Bisri, W.S Rendra, Goenawan Muhamad dan juga D.Zawawi Imron betapa sejuk dan teduh sorot mata mereka. Begitu juga anda bisa cermati cara bicara dan bertutur Ahmad Tohari, Taufiq Ismail, Agus R. Sarjono, Sapardi Djoko Damono dan Emha Ainun Nadjib betapa santun gaya bicara mereka.

Anda bisa kaji dan cermati biografi Chairil Anwar Almarhum, Muhammad Iqbal Almarhum, Rab’iah Adawiyah Almarhumah, Kahlil Gibran Almarhum, Jalauddin Rumi, Muhyiddin Ibnu Aroby dan juga Hamzah Fansuri betapa mengalirnya hidup mereka, betapa nyatanya kehidupan hidup mereka.

Dalam hal hidup Iqbal pernah berkata lewat goresan penanya
Kau mestinya bagikan gandum!
Ditumbuk, untuk menghilangkan kulitmu
Madzmumah, kotoran
Ditumbuk lagi, agar kau halus
Lembut jadi adonan
Dan terakhir kau harus bertemu
Setan yang berwujud api
Agar kau gosong atau jadi roti

Sepenggal syair di atas menggambarkan betapa dalamnya seorang penyairnya. Ia begitu dalam mendalami hidup dan kehidupan ini. Bagi seorag penyair di setiap langkah kakinya, kedipan matanya, anggukan kepalanya semuanya menjadi sangat puitis. Wallahu a’lam

*) Penikmat sastra, anggota baru FSL (Forum Sastra Lamongan)

Rabu, 28 Januari 2009

Sajak-Sajak W.S. Rendra*

BULAN KOTA JAKARTA

Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta
tapi tak seorang menatapnya!

O, gerilya kulit limau!
O, betapa lunglainya!

Bulan telah pingsan.
Mama, bulan telah pingsan.
Menusuk tikaman beracun
dari lampu-lampu kota Jakarta
dan gedung-gedung tak berdarah
berpaling dari bundanya.

Bulannya! Bulannya!
Jamur bundar kedinginan
bocah pucat tanpa mainan,
pesta tanpa bunga.

O, kurindu napas gaib!
O, kurindu sihir mata langit!

Bulan merambat-rambat.
Mama, betapa sepi dan sendirinya!

Begitu mati napas tabuh-tabuhan
maka penari pejamkan mata-matanya.

Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta
tapi tak seorang menatapnya.

Bulanku! Bulanku!
Tidurlah, Sayang, di hatiku!



KALANGAN RONGGENG

Bulan datang, datanglah ia!
dengan kunyit di wajahnya
dan ekor gaun
putih panjang
diseret atas kepala-kepala
dirahmati lupa.
Atas pejaman hati
yang rela
bergerak pinggul-pinggul bergerak
ronggeng palsu yang indah
para lelaki terlahir dari darah.
Wahai manis, semua orang di kalangan
tahu apa bahasa bulan!

Kabur bulan adalah muka-muka
adalah hidup mereka
menggelepar bayang-bayang
ikan-ikan ditangguk nasibnya.
Gamelan bertahta atas nestapa
kuda di padang berpacuan
mengibas sepi merangkul diri,
angin tak diharapkan
cari sarang dan tersia.
Ditolaknya sandaran nestapa
betapa gila ditolaknya!
Dan bila bertumbuk ke langit
terpantul kembali ke bumi.

Lalu si jagoan bersorak
pada harap adalah gila yang lupa.
Penyaplah, penyap,
nestapa yang hitam ditolaknya.
Balik pula.
Pula ditolaknya.
Dan selalu ditolaknya.

Wahai, Manis, semua orang di kalangan
tahu apa derita bulan.



LELAKI SENDIRIAN

Kirjomulyo duduk di depanku -
memandang ke luar jendela.

Dan ia diam juga
lembah yang dalam
kabut biru di perutnya.
Tapi di hatinya
pucuk-pucuk cemara
dipukuli angin hitam.

Bagai kerbau kelabu ia
lelaki dengan rambut-rambut rumput.
Dan ia diam juga.
Tapi di hatinya ada hutan
dilanda topan.

Lelaki yang mengandung dendam
lelaki yang mengandung kesunyian
mengutuki debu-debu kiriman angin
mengutuki birunya kejemuan.

Bagai kerbau kelabu ia
lelaki dimakan dan memuntahkan kutuk
bara menyala tanpa air siraman.



PISAU DI JALAN

Ada pisau tertinggal di jalan
dan mentari menggigir atasnya.
Ada pisau tertinggal di jalan
dan di matanya darah tua.
Tak seorang tahu
dahaga getir terakhir
dilepas di mana:
Tubuh yang dilumpuhkan
terlupa di mana.
Hari berdarah terluka
dan tak seorang berkabung.

Ajal yang hitam
tanpa pahatan.
Dan mayat biru
bakal dilupa.
Tanpa air siraman.
Tanpa buah-buah lerak
kulitnya merut berdebu.
Awan yang laknat
dengan maut-maut di kantongnya
melarikan muka
senyum laknat sendirinya.
Ada pisau tertinggal di jalan
dan mentari menggigir atasnya.

*) dari “Empat Kumpulan Sajak” terbitan Pustaka Jaya.

Selasa, 27 Januari 2009

SURAT YANG TRAGIK’S BAGI KAWAN FAHRUDIN

Nurel Javissyarqi*

Gagasan dan gerilyamu adalah situs yang bergerak. Maka, teruslah berjuang kawan! Revolusi belum selesai.... (Fahrudin Nasrulloh, via sms)

Dulu, kawan pernah menuliskan kisah saya di koran JP, namun maaf karena tulisan ini takkan sampai ke Jawa Pos. Tentu dapat difahami, karena kualitas tulisan saya tak sebanding dengan guratan kawan. Tetapi harapan mengembangkan situs sastra-indonesia.com &ll itu, agar coretan saya bisa dibaca orang lain, atau minimal sebagai dokumentasi pribadi.

Dan siapa tahu di pekuburan nanti, tertera kalimah “telah bersemayam jasad seorang penyair Nurel Javissyarqi.” Kalaulah dimasa hidup kini, belum berani menyandang prediket penyair atau sastrawan, karena tulisan saya tak pernah nongol di koran-koran bergengsi, maupun Horison. Namun saya nikmati kesendirian ini. Meski pernah suatu malam, saya tulis kata-kata sebentuk kesaksian, yang bertitel; KESAKSIAN SEORANG BODOH

Bagaimana ia menulis sajak-sajak
Apakah mereka tahu?
Ia di ambang kegilaan berkali-kali
Mendekati kematian tak henti-henti
Merasakan orang-orang edan senasib
Teman pengemis
Kelaparan
Tersiksa
Tak pedulikan ruang-waktu
Mencipta seribu sajak percobaan
Mencipta ratusan prosa bunuh diri
Mengkondisikan jiwanya tetap waras
Mengontrol kesintingan menjelma pencerahan
Menaklukkan ketaksabaran yang meledak-ledak
Kepala berkali-kali bukan lagi, tidak itu, kemana?

Surat ini tak banyak memberikan data semisal buku harianmu kawan. Namun coretan ini, dari kedalaman jiwa ingatan yang mengalami titik klimat kericuan. Semisal periode huru-hara, namun bukan hara-huru tanpa alas kaki pijakan -penalaran. Saya senantiasa pergunakan bahasa ruh atau bahasa yang menjelma, yang keinginannya banyak menghadirkan jejak peta, agar terasa bagimu. Sambil senantiasa menginsafi kekurangan diri, agar tidak menandaskan pribadi kata-kata tanpa akar kerja yang kukuh.

Berkali-kali saya diguncang rasa bergetar cemburu olehmu, serta kawan-kawan lain di persimpangan jalan yang bercabang. Memang sebuah awal keraguan dan diragukan, dekat dengan cemooh serta cibiran. Namun ketika bergerak terus; siapa yang meragukan orang pincang sanggup berlari? Seorang buta pasti menabrak ke sana kemari, untuk menemukan kesadarannya yang hakiki. Begitu pun saya di dunia maya kali ini.

Awalnya merasa di alam antara, namun nyatanya tidak demikian. Sebutan hamparan ladang maya itu, ketika kita tak suntuk menyetubuhinya. Namun saat indra manusia yang mengagumkan bekerja dengan kesungguhan, niscaya terbaca realitas sejatinya.

Hampir setengah tahun lebih dan tentu tak kan berhenti menyibukkan diri. Menyuntuki dunia internet, (hitung-hitung saya toh pengangguran) dan tidak memiliki banyak peluang, atas pahatan tangan ini dilirik para redaksi. Mungkin perbahasaan saya kelewat mer-ruh, namun sedikit demi sedikit saya belajar apa yang dikatakan Voltaire, “tulislah pendek-pendak, agar mereka mudah memahami.” Lantas saya pergunakan itu untuk mencerna bathin sendiri, juga bagi keanggunan imajinasi pihak pembaca.

Saya tak tahu persis apakah tulisan-tulisan saya terbaca orang lain. Setidaknya saya mencapai keasyikan belia, menemukan permainan baru sejenis petak-umpet dengan beberapa situs. Saya terus mempelajari dengan tanpa melupakan dunia sebelumnya, dan yang kini sedang berhimpit-hincit dengan mereka di dalam kaca jendela dunia.

Benar yang kawan katakan, situs ini bergerak. Berdialektik dengan masa, memperjuangkan waktu-waktu tenggang yang menegangkan pada batas-batas yang ditentukan oleh hayat. Dalam hal ini, saya masih mempelajari keterbatasan kerja. Dan terus menyerobot di sela-sela masa, untuk mendapati kehadiran bersinggah.

Jika kesusastraan bahasa kelembutan, maka perasaan sejati seharusnya berontak dari keadaan kemandekan, sebagai hakikat karya. Dunia bergerak sedemikian cepat, menjejak-melesat menguliti warangka sejarah. Maka sebilah keris benar-benar ampuh pamornya, atau sebaliknya kebobrokan itu tampak. Dan kita bisa menyinauhi kebodohan dari sana.

Tidakkah ketika keblongoran itu ditampakkan, akan melahirkan kesadaran rasa malu yang luar biasa. Inilah energi mengulang-balik, guna tidak terperosok ke dalam jurang yang serupa. Maka lelatihan itu, cahaya pengharapan akan keniscayaan yang menghampiri kita. Atau situs-situs yang bergerak-beredar itu, bukan situs kepurbakalaan yang mandek dari penelitian arkeolog yang salah jurusan, atau yang hanya menanti gajian. Tapi situs-situs itu menelanjangi diri sendiri, juga menyingkap bedak yang tebal pada wajah-wajah yang dulu berdahi cemerlang.

Saya senantiasa yakin kawan; orang-orang yang istikomah tidak luput dari berkah. Sebagaimana menonton pertunjukan teater yang kurang bagus, tidak lantas pulang menghakimi lewat anggapan kurang memuaskan. Tapi dengan melihatnya sampai tuntas, hingga para pemain membersikan panggung. Dan kita mendasarkan penelitian pada akhir yang seimbang, obyektif.

Atau jangan-jangan kawan juga tidak mau suntuk, akan jalannya pemikiran ini yang kelewat sundal, padahal yang terlontarkan adalah hasil jalan-jalan kita. Dari kerja ngelayap ke sana kemari itu, perbendaharaan kata-kata ini saya ungkap dengan emosional kelewat, menarik jiwa-jiwa berontak yang terkurang sistematis wacana muslihat.

Jika ingin menangkapnya kembali, kawan perlu mengasosisikan daya ingat untuk diperpadukan dengan jiwa nalar yang membludak, bahwa bara tetap bara. Sebab tubuh sekadar mempermudah mengindentifikasi atau menyebutnya. Sementara jiwa-jiwa terus menggelinjak merdeka, dengan tidak merasa ribet menjadi bagian -sejarah. Sebab kerja seorang bukan sekadar merakit kata menjelma bom waktu, atau tugu pencapaian. Tetapi yang bergulat dengan realitas menghadapi jamananya, mengupas kulit yang kaku, membebaskan diri tidak berkutat dalam anatomi tubuh. Namun sanggup keluar batas kepompong pembacaan obyektif dengan penuh kematangan kepak kekupu.

Kesusastraan mendudukan kalbu insani sesuai fitrohnya, dan membangkitkan jiwa-jiwa menghadirkan kesejatian, berdamai dalam khasana dunia. Ilmu ibarat sebilah keris, akan berfungsi jika perbendaharaan nilai hayat selalu digali. Guna tak keliru sasaran dalam menghujamkan keris ke tubuh lawan, salah menikam ke dada kawan.

Musuh itu ialah tradisi yang mencipta kemandulan di mana-mana, menekan dengan beberapa aspek aturan yang membuat langkah tidak nyaman, tidak lincah ataupun lugas bersetubuh, setelah mendapati pertahanan berupa kesadaran fitroh. Makna hidup sejati atas bangsa berbudi pekerti, menjunjung tinggi martabat kemanusiaan. Ini bukan satuan ideologi, namun leburnya jiwa-jiwa universal dalam setiap tingkap jenjang kehidupan sampai akhir jaman.

Jiwa ini kian menggilas kawan, sementara jemari belum menemukan kelincahannya melafalkan huruf demi huruf, maka bersabarlah meneruskan langkah-langkah. Ini semisal takaran kata, menyadari pentingnya kata-kata sejak melek membaca, tempat penuh manfaat bagi pelajar semacam kita.

Kata-kata ialah besi berdaya magnit, angka-angka memiliki makna di dalamnya, dirangkai laiknya adonan molekul. Yang mencipta asosiasi penalaran, tidak mandek dalam struktur menghakimi suatu nilai yang belum pasti. Serupa kelicikan mereka dalam menganalisa, atas kemauannya paling pribadi.

Maka bebaskan keliaranmu kawan, mengolah segenap pemikiran dari bidang-bidang yang kau miliki. Sebagaimana keberangkatan manusia itu berbeda-beda. Tidak bisa dipaksakan, sebab waktu senantiasa memaknai perubahan. Dan nalar-nalar kejujuran, jauh lebih berbekas, meski ditampilkan seorang autodidak.

Sekali lagi, bersabarlah membaca kawan, karena ketidaksabaran bukan para pembaca saya. Memang mekanik terstruktur itu kokoh dalam memperjuangnya kendali kerjanya. Namun jika diantaranya ada yang rapuh, akan merusak pada organ tubuh yang lain. Olehnya, tak selamanya yang bergaris terang itu kebenaran. Ketika tidak diawasi dengan teliti lebih dalam, pembengkokan tidak kentara bisa terjadi, ketika kita berpandangan lurut ke depan, tanpa mengindahkan tampilan yang lain.

Saya jadi teringat, seorang kawan pernah berkata; “kalimah yang sulit dimengerti karena si penulisnya belum mampu mencerna jalan fikirannya.” Namun diam-diam dalam nalar saya berucap; “tidakkah jalan pemikiran manusia naik-turunnya berbeda, dan dengan kondisi tertentu memiliki pemaknaan yang berbeda pula. Maka yang tampil ialah selera menyatakannya. Dan setiap penulis, memiliki para pembaca masing-masing. Tidaklah ini tergantung magnetik yang menggetarkan dirinya, yang tidak sampai melukai, kecuali iseng berkecup sayang.

*) Pengelana asal Lamongan, Jatim, Indonesia.

Senin, 26 Januari 2009

BUKU SEBAGAI BENTUK PERLAWANAN

Fariz al-Nizar

Dalam nomenklatur filsafat ilmu, Jujun Suryasumantri memberikan ilustrasi menarik, sebuah ilustrasi unik tentang “segitiga cinta” yang disimbolkan oleh kebudayaan, ilmu dan tekhnologi di pihak lain, dalam uraiannya Jujun menjelaskan bahwa pada dasarnya segitiga yang melatarbelakangi simbiosis antara ketiganya adalah dikarenakan cakupan yang satu lebih luas dari yang lainnya, secara herarkis Jujun menyebutkan bahwa kebudayaan melahirkan ilmu dan ilmu pada gilirannya nanti anak beranak-pinak yang kelak di sebut dengan teknologi (Jujun Suryasumantri: 2004) tapi yang pelu dititik tekankan dalam tulisan kali ini adalah tentang kebudayaan yang erat kaitannya dengan karya sastra.

Karya sastra lazimnya karya-karya yang lain sering kali lahirnya dilatarbelakangi oleh satu peristiwa yang misalnya menimpa sang sastrawan, baik itu berupa pengalaman pribadi atau lainnya atau selain itu biasanya karya sastra sering terlahir dikaranakan lebih sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem kebudayaan yang ada. Ambil contoh sang novelis legendaris Marah Rusli, dia mengarang novel monumental-setidaknya di mata orang pribumi- yang berjudul Siti Nurbaya adalah lebih dikarenakan sebagai bentuk perlawan terhadap sistem kebudayaan yang mengakar pada waktu itu yaitu budaya kawin paksa.

Dalam hal ini, karya sastra atau lebih spesifiknya buku dapat dijadikan media paling efektif untuk meng-counter hegemoni-hegemoni distorsi yang terjadi, contoh sebagaimana di atas, bisa dijadikan bahan rujukan atau bahkan bisa dijadikan sebagai representasi dari keberhasilan karya sastra -yang berbentuk buku lebih spesifiknya- dalam melawan tradisi-tradisi yang dirasa kurang memihak. Tradisi asal yang dipresentasikan melalui sosok Datuk Marinnggih yang tua Bangka, bopeng-bopeng dan buruk hati ditemukan atau dilawankan lebih tepatnya dengan sosok Syamsul Bachri yang tampan, gagah, terpelajar, penuh kobaran cinta asmara serta kesediaan untuk berkorban.

Dan pada akhirnya bisa ditebak, Pembacapun tersayat hatinya, merasa iba pada Syamsul Bachri yang dianiaya oleh tradisi sehingga tak urung dia harus patah hati, tapi yang menarik di sini adalah dikarenakan saking ibanya pembacapun seakan melupakan penghianatan Syamsul Bachri yang ikut penjajah dan memerangi kampungnya sendiri.(Agus R. Sarjono:1999).

Syamsul Bachri telah membius pembaca, sehingga secara emosional kita semua seakan-akan tak pernah mempedulikan penghianatannya, justru yang menjadi public enemy adalah Datuk Maringgih yang merupakan simbolisasi dari budaya lokal. Hamparan karya sastra yang dipenuhi dengan tema menghujat tradisi lewat representasi yang dekat dengan hati dan khazanah pengalaman kaum muda yaitu kawin paksa terbukti mampu membabat habis kebudayaan tersebut. Dan sampai sekarang kenyataan di lapangan membuktikan bahwa hampir praktik-praktik kebudayaan semacam kawin paksa sudah tidak ditemukan lagi.

Contoh lain yang dianggap dan layak disebut sebagai fenomena karya sastra yang dibukukan adalah novel tetralogi yang di tulis oleh Andrea Hirata, sang novelis handal yang namanya dielu-elukan oleh banyak orang dikarenakan kepiawaiannya dalam merangkai kata-kata, beriamjinasi serta bermetafor ria. Bahkan Nicola Horner seorang jurnalis dari London tak segan-segan menyebutnya sebagai seniman kata-kata.

Novel pertama Andrea Hirata yang berjudul Laskar Pelangi telah berkembang bukan hanya sebagai bacaan sastra saja, melainkan lebih dari itu novel tersebut banyak dijadikan referensi ilmiah, atau bahkan banyak dijadikan sebagai bahan skripsi atau bahkan tesis. Sebagaiman yang disinggung dalam epilog tentang tetralogi Laskar Pelangi. Tak pelak karya sastra pada titik ini mampu menembus lebih jauh dari hanya sekedar sebagai karya sastra. (Andrea Hirata:2008).

Lebih jauh lagi, karya sastra -yang berbentuk buku tentunya- belakangan ini dirasa sangat sukses dalam menembus premis-premis sensitif atas pemahaman ajaran atau doktrin-doktrin agama. Dalam hal ini novel Ayat-Ayat Cinta tentunya dapat dijadikan sebagai representator atas keberhasilan tersebut, bisa kita lihat piawainya Habibirrahman El-Syirazi dalam membius ibu-ibu yang tadinya sangat anti dengan yang namanya poligami menjadi sangat setuju, setuju atau minimal mebuat mereka-mereka para ibu-ibu mau untuk berfikir lagi, poligami bukan hanya pemenuhan syahwat tapi lebih dari itu poligami adalah lebih kepada pengorbanan, ketulusan serta keihlasan begitu kira-kira yang ingin disampaikan oleh Kang Ibik (sapaan akrab Habiburrahman El-Syirazi).

Tak pelak lagi, mereka yang pada awalnya sangat menolak praktik poligami yang katanya tidak adil, merekapun akhirnya setikdaknya mau untuk membuka hati untuk berdiskusi berbicara dengan tenang hati mengenai poligami. Dalam hal ini apresiasi penuh bisa kita alamatkan pada para sastrawan-sastrawan yang dengan gigih melawan praktik-praktik tak sehat di negeri ini, karena menurut W.S Rendra hanya para jagoan saja yang mapu menerobos, melawan tatanan masyarakat semacam itu (W.S. Rendra: 1997).

Oleh karena itu setidaknya kita tentunya mengharapkan sastrawan-sastrawan kita untuk lebih gigih dan produktif untuk melawan kebudayaan-kebudayaan yang tak sehat sebagaimana di atas. Dan perlu diingat pada tulisan ini pembahasan kita lebih kita kerucutkan pada karya sastra yang berbentuk buku, jika kita mau melebarkan ke beberapa karya sastra yang lain mungkin sudah berapa banyak karya sastra yang menjadi lokomotif penentang praktik-praktik ketidakadilan mulai dari “puisi balsem”nyanya Gus Mus, “sarimin”nya Butet Kartaredjasa sampai dengan “gossip jalanan”nya Slank yang menggegerkan senayan semuanya adalah karya-karya yang membangkang praktik ketidak sehatan.

Perlawanan lewat tulisan telah terbukti lebih efektif dibandingkan dengan perlawanan dalam bentuk yang lainnya, misalnya demontrasi bengak-bengok pinggir dalan, karena dalam tulisan ada sesuatu yang lain yang tidak pernah kita temukan pada bentuk perlawanan-perlawanan yang lainnya. Maka mari kita menulis sebagai bentuk perlawanan!

Minggu, 25 Januari 2009

‘Renaissance’ Kesusastraan

Prof Dr Faisal Ismail MA*
http://www.kr.co.id/

SALAH satu ciri khas Yogyakarta adalah sebagai kota budaya. Antara tahun 1960-an sampai 1980-an, Yogya dihuni seniman, sastrawan dan budayawan yang mempunyai reputasi yang sangat baik dan menonjol di pentas nasional karena bobot kreativitas dan ajang aktivitasnya yang berkualitas tinggi.

Di bidang sastra, nama-nama sastrawan yang patut disebut antara lain: Motinggo Boesye (novelis), WS Rendra (penyair), Darmanto Jatman (penyair), Kuntowijoyo (novelis), Rahmat Djoko Pradopo (penyair), Umbu Landu Paranggi (penyair), Abdul Hadi WM (penyair), Emha Ainun Najib (penyair), Linus Suryadi AG (penyair) dan Korrie Layun Lampan (penyair dan novelis).

Di bidang teater, nama-nama mereka yang menghiasi kerja seni antara lain WS Rendra, Chaerul Umam dan Syu'bah Asa, Arifin C Noor, Azwar AN, dan Masbuchin. Dengan Bengkel Teater Rendra antara lain mementaskan 'Menunggu Godot' dan 'Kasidah Barzanji', sementara Teater Muslim menggelar 'Prabu Salya'.

Selanjutnya, Bagong Kussudiardja sangat terkenal di bidang seni tari Jawa dengan olah improvisasinya yang sangat menarik dan mengesankan. Beliau berimprovisasi dengan mengawinkan unsur tradisionalitas dan modernitas dalam olah seni tari. Beliau memiliki padepokan tersendiri untuk mengembangkan kreativitas seni tarinya.

Di bidang seni lukis, nama-nama seperti Amri Yahya (dengan Sanggar Putihnya), Fajar Sidik dan kawan-kawannya mengharumi dunia seni lukis. Perlu juga dicatat nama Dick Hartoko, seorang penulis kebudayaan yang kreatif dan terkenal serta mengasuh secara tekun majalah kebudayaan Basis yang berkantor di Jalan Abu Bakar Ali.

Demikianlah perkembangan sastra, seni dan budaya di Yogya antara 1960-an sampai 1980-an. Setelah itu, perkembangannya menunjukkan arah yang menurun. Bahkan di mata orang yang pesimis, perkembangan sastra, seni dan budaya di Yogya mengalami kelesuan. Rendra, Chaerul Umam, Syu'bah Asa, Arifin C Noor, Masbuchin dan Korrie hijrah ke Jakarta. Darmanto Jatman jadi dosen di Undip Semarang. Umbu Landu Paranggi memilih tinggal di Bali. Bagong dan Amri Yahya wafat.

Kesenian dan kebudayaan di Yogya mulai mengendor. Para pekerja seni seperti Emha Ainun Najib, Butet Kertaradjasa, dan kawan-kawan yang lain tetap melanjutkan kerja-kerja seni mereka di Yogya.
***

KHUSUS tentang perkembangan sastra di Yogya pada masa 1960-an sampai 1980-an, keadaannya sangat mengesankan. Rendra, Darmanto Jatman, Kuntowijoyo, Abdul Hadi dan Umbu Landu Paranggi sangat aktif menyelenggarakan diskusi puisi. Karya-karya mereka sering muncul di majalah Sastra dan Horison. Mereka membaca puisi di Malioboro di bawah pohon asam dalam rangka memperingati Hari Chairil Anwar. Mereka menggelar poetry reading di kampus-kampus universitas.

Penerbitan kumpulan puisi, baik yang diusahakan sendiri dalam bentuk stensilan maupun yang diterbitkan oleh penerbit profesional, bermunculan dari waktu ke waktu. Yogya menjadi lahan subur yang banyak memberikan inspirasi kepada sastrawan. Karya-karya Motinggo Boesye dalam bentuk novel dan roman dengan mutu sastra yang tinggi dihasilkan di Yogya.

Begitu pula, puisi-puisi Rendra dan sajak-sajak Abdul Hadi WM yang berkualitas tinggi digubah ketika mereka berdua tinggal di Yogya. Para sastrawan Yogya berhasil mengupayakan antologi sajak berjudul Tugu, sementara Linus Suryadi AG menerbitkan buku antologi puisi bertajuk Tonggak (diterbitkan oleh Gramedia Jakarta dalam beberapa jilid).

Nama yang secara khusus patut disebut dalam menyemarakkan kegiatan dan apresiasi sastra di Yogya adalah Umbu Landu Paranggi. Dia adalah pengasuh lembaran sastra di koran Pelopor Minggu yang berkantor di Jalan Malioboro 175A. Umbu sangat sederhana, santun, arif dan bijak. Dia adalah penggagas berdirinya Persada Studi Klub (PSK), suatu wadah yang menghimpun para pengarang muda Yogya.

Secara reguler, setiap hari Minggu, Umbu mengundang para sastrawan muda Yogya untuk bertemu di kantor Pelopor Minggu. Para pengarang muda yang terhimpun dalam PSK antara lain Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budhi Santoso, Suwarno Pragolapati, Ahmad Munif, Soeparno S Adhy, Faisal Ismail, Jihaad Hisyam, Linus Suryadi AG, dan Emha Ainun Nadjib. Kami berdiskusi tentang puisi dan sastra pada umumnya.

Tidak hanya tentang proses penciptaan puisi, imajinasi dan kreativitas. Tetapi kadang-kadang juga kami berdialog tentang Tuhan, manusia dan kemanusiaan. Umbu juga pernah menbawa kami melakukan camping ke tempat-tempat tertentu atau ke pantai yang bernuansa imajinatif, inspiratif dan puitik guna mengasah kreativitas kami dalam proses penciptaan puisi. Setelah diseleksi, Umbu memuat sajak di lembaran Persada Pelopor Yogya bagi penyair pemula, dan mempublikasikan puisi di lembaran Sabana bagi penyair yang dianggap mulai 'matang'. Demikian Umbu membimbing kami untuk menjadi penyair dan sastrawan yang kreatif.

Sebagai alumnus Yogya, saya menyambut baik ide untuk menggalakkan kembali kegiatan sastra di Yogya. Langkah-langkah yang hendak ditempuh oleh Dewan Kesenian Kota Yogyakarta (DKK) bekerja sama dengan Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga patut diapresiasi karena langkah demikian dapat mendobrak kelesuan kegiatan sastra di Yogya selama ini.

Mari kita lakukan revitalisasi dan refungsionalisasi kegiatan sastra di Yogya untuk mengembalikan kota ini sebagai kota seni, sastra dan budaya. Jika penggalakan ini sukses, citra Yogya sebagai penghasil seniman, sastrawan dan budayawan yang berkualitas tinggi dapat dipertahankan dan ditingkatkan ke depan. 'Renaissance' kesusastraan dan kebudayaan di Yogya hendaknya dirintis, diraih dan ditingkatkan.

*)Sejarawan dan budayawan, Dubes RI di Kuwait.

Minggu, 18 Januari 2009

Puisi Puisi Abdul Wachid B.S.

http://www.suarakarya-online.com/
Rani yang Bertanya

Rani yang masih di kamarnya
Rani yang masih di mimpi kanaknya
Rani yang tak biasa di pagi harinya
Rani yang jalan-jalan di imajinasinya

Rani,
Tatkala bumi bagai dalam ayakan Tuhan
Pohon-pohon belakang rumahmu
cemas hempaskan tubuhnya
Tak lagi kuasa kuatkan akar-akarnya
Lintang-pukang orang-orang di bawahnya

Bagai dalam ayakan Tuhan
Tembok-tembok mengombak naik-turun
Rani,
Rumah-rumah seperti roti kering yang kau ledakkan
Di tanganmu. Lintang-pukang kurcaci menghindarinya

Rani yang dalam dekapan ibunya
Rani yang amat sangat ketakutan
Rani yang masih balita itu tengadahkan tangan
Rani yang bertanya
"Tuhan, apakah Engkau sungguh marah hari ini?"

Jambidan, Yogyakarta, 27 Mei 2006



Wonokromo

Silaturrahmi ke Wonokromo
Desa santri yang mengaji
Ada rumah kekasih yang tersembunyi
Sejarah masjid yang "Hamengkubuwono"

Ada pertemuan dua sungai
Di sikunya masjid itu hijau kebiruan
Ada makam di baratnya bila kulewati
Selalu kusampaikan salam pertemuan

Aku masih mendengar lantun
Gadis kecil menderaskan al-Qur'an
Entah di pesantren Gus Fuad atau Gus Katip
Kucari-cari suaranya seperti meratap

Lalu tertimpa gelak-girang para bocah
Di sore itu di halaman masjid hijau kebiruan itu
Aku masih mendengar larangan masuk rumah
Dari lelaki tua yang diabaikan itu

Tapi paginya setelah gempa luluhlantakkan
Rumah dan pesantren-pesantren
Orang-orang baru membaca tanda
Aku masih mendengar doanya

Dalam kalimat adzan
Kepada shalat kepada kebaikan
Aku masih mendengar doanya
Sekuntum melati di antara debu dan serakan batu bata

Silaturrahmi ke Wonokromo
Kucari-cari rumah kekasih yang tersembunyi
Kucari-cari suaranya semakin sayup menyepi
Ternyata rumah hatiku pun telah poranda

Wonokromo, Yogyakarta, 4 Juli 2006



Hujan Begitu Baik

ya. hujan begitu baik mencucikan yogya
dari debu, yang ranggaskan daun jambu
depan rumah kekasihku
dari diriku, yang mandi setiap hari
tapi tak juga sampai wangi surgawi

hujan mengendapkan debu
mengisi pori-pori tanah
lalu tertampung di dalam hati
menjadi harapan dan keyakinan
kekasih menari-nari di dalam pandangan

hujan menjelma panorama ajaib
dalam mata yang saling mencari dan menunggu
dan mengajakku memutar arloji
ketika ibu mendekapku di jendela
dan aku bertanya
"ibu, di mana bidadari sang kekasih itu?"
jawab ibu, "di saat hujan, ucapkanlah doa
sebab bidadari bertaburan dari langit itu
ditemani malaikat, akan memunguti doa-
doamu, agar lebih cepat sampai
pada perkenan Tuhan"

ya. hujan begitu baik menari-nari di daun jambu
di bawahnya sebuah halte yang
pasca gempa atapnya tinggal separoh
ternyata di halte itulah kekasihku
mencari dan menunggu dan mau membeku
hujan senantiasa tergoda padanya
hujan tak kuasa menahan rasa, bahkan
hujan telah basah mendekapnya
sampai membirukan bibirnya
ketika aku sampai padanya, hujan terkesima
dan kekasihku pun malu-malu
dan bertanya
"mengapa engkau begitu lama
sehingga aku melulu menjadi debu di halte ini?"

November, 2007



Segoroyoso

Mengapa dusun ini diberi nama Segoroyoso?
Padahal dilingkari pegunungan kapur selatan
Dan di sebaliknya suara ombak laut selatan
Tapi gedebur menggema ini dari dalam bumi

Di malam menambah bayang-bayang kematian itu
Tiap gedebur menggema ini dari dalam bumi
Kentongan sahut bersahutan menambah pilu
Seluruh rumah dan nisan telah rata dengan debu
Mengapa dusun ini diberi nama Segoroyoso?
Melewatinya seperti berdiri di atas perahu
Bergoyang batin, bergelombang hari-hari kau aku
Angin dan debu semakin selimuti tenda-tenda itu

Yogyakarta, 5 Juli 2006



Puncak Cinta

Rindu memang selalu sakit
Tapi pertemuan cinta akan mengobati

Puncak cinta adalah kerinduan
Karenanya kita bisa maknai
Harap-harap cemas
Pada kekasih yang dicintai

Karena cinta kita mengenali diri
Betapa aku membutuhkanmu
Kuhayati jatuh-bangunnya hatiku
Dalam mencintaimu

Tapi kunikmati saja kesakitanku
Karena merindukanmu
Seperti kurasakan nikmatnya cinta
Yang telah kucecap dari lidah hatimu

Warungboto, Yogyakarta, 27 Juni 2006

Sabtu, 17 Januari 2009

Sepanjang Jalur Gaza

Naqib Najah
http://batampos.co.id/

Bukanlah Tuhan sesuatu yang
paling dekat di kota ini, namun
adalah kemataian, tuan.

Kabar apa yang lebih menakjubkan ketimbang berita duka? Hari-hari di kota ini, adalah hari-hari neraka yang tak bisa lepas dari derita. Dentum roket yang menghantam permukaan kota, derak suara pesawat di setiap sudut cakrawala, tangis anak-anak, jeritan seorang ibu, itulah neraka yang tuhan sediakan sebelum akhirat menjelang.

Maka setiap hari aku menatap asap yang menggumpal seram itu. Tujuh hari sudah, dan asap itu tetaplah asap ledakan roket yang menyeberangkan beberapa penduduk menuju kematian: ayahku, (ah, ayah, tak akan kuucap sesuatu apapun, kecuali, ‘Tuhan memberkatimu selalu’), adikku Hussen, (boneka beruangmu masihlah tertinggal di antara reruntuhan bangunan, adik), Fayyad, (di akhirat, kita pasti bisa bertemu lagi, kawan. Kita habiskan hari-hari bahagia kita dengan segala macam permainan).

Cobalah tuan perdalam pikir jernih yang tuan miliki, bahwasanya dendam yang tuan-tuan simpan, (yang katanya hanya akan menghancurkan sekelompok tertentu, dan tidak membuat lecet secentipun kulit penduduk) telah mengundang duka yang mendalam. Mungkin tuan sulit mempercayai perasaan kami. Dan terlalu biasa menganggap sebuah kematain.

“Bukankah negara ini memang wilayah yang seorang malaikat pencabut nyawa terlalu sering mendatanginya?”

Betul, tuan! Negara ini telah menjadi bidikan utama malaikat Tuhan. Seperti juga bidikan utama sekelompok tak tahu perasaan. Sekelompok yang hanya peduli dengan dendam: Yahudi.

Aku lalui setiap bangunan. Kubaca reruntuhan kaca. Bangunan yang kemarin berdiri kokoh, ah, terlalu hebat sedetik ledakan itu membinasakan keindahan kota ini. Ya, kota ini memang indah. Tuan akan merasakan deru angin yang menerbangkan debu-debu, dan itulah tiupan angin (yang sekalipun terasa gersang) namun membuat setiap orang merindu persaingan. Angin itu, bila aku bermain bersama beberapa kawan, maka bisa menerbangkan baling-baling setinggi yang kami mau.

“Lemparkan dengan keras, Fayyad!” teriakku kepadamu, Fayyad. Lantas dengan sekuat tenaga kau melemparnya. Baling-baling terbang, rianglah seluruh kawan mengejar.

Seraya kita tunggu baling-baling itu jatuh, kadang aku dorong tubuhmu. Kau tersungkur, tertawalah kita. “Hidungmu, hay, Fayyad, tak ubahnya seorang badut,” begitu celetuk Yasmin, satu-satunya gadis di antara kita-kita yang jantan. “Fayyad-Fayyad, kau tampak lucu sewaktu hidungmu yang mirip paruh rajawali belepotan dengan debu.”

Rafah, inilah kotaku, tuan. Kota yang ‘terima kasih’ tuan telah merubahnya sedemikian rupa. Bila datang sebuah pertemuan, rasanya ingin kupukul muka tuan-tuan. Akan kutendang tubuhmu, tuan. Akan aku kerahkan seluruh tenagaku untuk melempari kepalamu yang layaknya batu dengan kerikil-kerikil Rafah. Itulah bukti kelapangan batinku, bukti ucapan ‘terima kasih’ atas kebengisan tuan-tuan.

Jalur Gaza..... Jalur Gaza..... Jalur Gaza..... Jalur Gaza..... Jalur GAZA!
Jalur kematian..... Jalur kematian....... Jalur kematian.... Jalur KEMATIAN!

Ah, mengapa aku selalu mencium aroma kematian di sini. Jalur ini, betapa pantasnya bila kusebut dengan jalur kematian saja. Jalur yang sebagai pembatas antara hidup dan mati, bukan pembatas antara dua kubu yang saling berseteru.

Di jalur ini, suatu sore, ketika senja di ufuk barat nampaklah damai, aku bersama seorang ibu sedanglah berjalan. Perjalanan yang nikmat, ibu memperlihatkan kepadaku, (juga kepada Hussen yang beliau dekap dalam gendongan) keindahan bangunan-bangunan kota. Seraya berjalan, diceritakannya kepadaku hikayat-hikayat masa lalu. Tentang Jerusalem, tentang sabda sang Nabi yang mengatakan bahwa selamanya negeri ini tak akan sepi dari keriuhan dendam.

“Hussen, Khudz hadzil li’b!” ambil boneka ini, adik! Maka diremaslah boneka beruang yang kuberikan. Hussen, adik kecil berambut keriting sepertiku. Berkulit putih, bermata tajam layaknya bulatan mata ayah. Bila mendengar dia mengeluarkan sepatah kata, rasanya aku ingin memaksa kedua mulutnya untuk berucap sepatah kata lagi. “Menggemaskan sungguh kau, Hussen!”

“Rasul sudah mengatakan bahwa negeri ini tak mungkin lepas dari serangan yahudi?”
“Benar sekali, anakku. Namun ada massanya di mana kita akan merasa tenang.” Jawab ibu.
“Kapan itu, wahai ibu? Kapan kita bisa lepas dari suara-suara ledakan?”

Ibu diam. Mengelus pipi Hussen. Dan bisa kau bayangkan sendiri, betapa riangnya seorang anak menunggu jawab tentang kedamaian. Maka kutunggu kedua bibir ibu bergetar mengucap kata.

“Itulah massa ketika malaikat Isrofil meniupkan terompetnya!”

Ternyata kiamat yang akan mengakhiri perseteruan ini. Dan mulai hari itu, dalam kepalaku tak kutemukan sebuah kerinduan kecuali rindu kiamat. Sebab telingaku terlalu bising dengan tangis anak-anak. Dengan jeritan seorang ibu di sudut Rafah. Sebab senja itu juga, terdengarlah derit pesawat-pesawat angkasa. Terdengarlah ledakan dahsyat yang berakhir tangis kedua mataku, tangis ibuku.

Kau tahu, di mana aku dan ibuku mencari Hussen? Aneh sekali Tuhan menulis skenario. Mengapa harus anak kecil yang belumlah sanggup memanggil ayah-ibu? Mengapa harus kematian yang mengakhiri perjalan sore itu?

Aku mencari Hussen. Aku masuki gumpalan asap. Ledakan bom itu menggetarkan bumi Rafah sangatlah keras. Mungkin Hussen terlepas dari pelukan ibu, sejurus ibu yang juga terguling-gulingkan menghindari reruntuhan bangunan.

Namun apa yang aku dapat, tuan? Aku telah menginjak beberapa jasad manusia. Hitam, suram, tak bisa laju nalarku mengenali. Bila kutemui sekujur tubuh mungil, maka bersiaplah kedua mataku mengucurkan air mata yang panjang. Yang tak mungkin selesai di esok hari. Dan nyata-nyata air mata itu selalu gugur dari kedua mataku. Sampai keesokan hari, dan tak kudapati kabar seseorang yang menyebutkan selamatnya anak usia tiga tahunan di antara robohnya kota.

Aku, ibuku, larilah menapaki jalan menuju rumah. Ah, aku dan ibuku tidaklah sendirian. Bukankah seluruh warga juga menggerakkan kedua kakinya cepat-cepat. Seolah ada yang sedang mereka cari. Ya, mereka memang sedang mencari. Mencari kabar bagiamana keluarga di rumah. Mencari kabar bagaimana seorang kawan di sepanjang jalur Gaza. Mencari kabar bagimana sahabat yang barulah usai melemparkan baling-baling. Mencari kabar bagaimana nasib manusia esok hari. Ketika asap kematian tak bisa hilang. Ketika negeri dirundung ledakan.

Dan ketika itulah kutemui seluruh bangunan rumahku hancur. Tempat di mana aku teduhkan tubuhku sehabis bermain dengan banyak kawan. Tempat yang... ah, biarlah detak jantung yang gemuruh gelisah ini yang akan menceritakan kepadamu.

Ibuku mencari ayah. Bisa kau menjawab kalimat ibu yang memanggil-panggil ayah? Lihatlah seorang perempuan yang meraup reruntuhan bangunan. Bergulung-gulung di atasnya. Berteriak. Mengacak-acak rambutnya. Sebelum kemudian datang seorang anak sebelas tahunan merangkul pundaknya. Mencoba menenangkannya dari segala gelisah. Dan bocah kecil yang juga tak bisa lepas dari air mata itu adalah aku.

Aku eratkan rangkulanku. Kucium aroma tubuh ibu yang berkeringat. Kudapati pada setiap bau ibu, aroma duka yang dalam. Aroma duka seorang ayah yang (jelas) tertimbun di antaran reruntuhan bangunan. Ayahku, adalah ayah yang tak pernah menulusuri jalan. Ayahku adalah suami yang menaruh ketergantungan pada sebentuk alat bernama kursi roda.

“Sudah ibu katakan kepadaku, kematian adalah perihal biasa di negeri ini!” mendengar kalimatku, berhentilah ibu meraup-raup reruntuhan.

Cerita sore itu, aku kesudahi dengan kematian ayahku. Dengan kematian Hussen.
***

Jangan kau anggap diriku sama seperti kemarin hari, tuan. Aku hari ini, bukanlah aku yang terlalu mudah menitikkan air mata. Sengaja aku dan ibuku menelusuri sepanjang kota Rafah. Batu-batu berserakan, samahalnya ketakutan yang hinggap pada setiap jiwa. Namun, bukan jiwaku dan jiwa ibuku.

Maka di sepanjang jalan Rafah, aku berbisik dengan batinku, “jangan menangis! Sebab tangismu tak akan berubah apa-apa. Kecuali penyesalan sebentuk luka.”

Berhentilah ibu di samping tiang listrik. Tiang yang sedikit condong, dan kabel yang menggelantung lemah. Bila seseorang tak hati-hati, tentunya akan menghantam kabel tersebut. Lantas bisa kau perkirakan sendiri apa akibatnya: kabel putus, mengeluarkan aliran listrik yang ganas. Ah, bukankah kota ini sudah padam dari listrik? Genjatan senjata sedemikian ganas, jelas-jelas pemerintah memutuskan segala bentuk aliran listrik. Ya, namun itu bukan daerah sekitarku berdiri sekarang. Ini daerah pusat, tuan! Mampuslah bila listrik dipadamkan. Mampuslah penduduk yang dirawat di Mustasyfa.

Tiang listrik yang condong ini, kudapati di atasnya burung-burung dara. Kelabu, seperti warna langit sekarang. Datanglah pada tempat ini, tuan. Pertemukan wajah tuan dengan burung-burung di atas. Pertemukan batin tuan dengan sisa nyala api di pinggir-pinggir jalan. Lantas bicarakan kepadaku, perasaan apa yang tuan dapat?

“Ketika kau menapaki jalan yang menurun, Jangan kau terburu-buru tersenyum, anakku! Sebab kelengangan kemarin hari adalah pertanda keriuhan esok. Dan di hadapan kita, nampaklah tanjakan yang panjang.”

Aku mendengar kalimat itu. Telah kutanam, dan tak mungkin hilang dalam ingatan. Ayahkulah yang mengajariku akan hal itu. Mungkin, ajaran tersebut juga tertanam dalam benak anak Rafah. Kota yang berdiri di atas jalur Gaza, jalur yang kukatakan lebih pas dibilang kematian.

Tuan, hebat sekali kekuatanmu. Di dekat nyala api itu, aku temukan sesuatu yang amatlah kental dalam nalarku: boneka beruang. Semoga tuan masih ingat, boneka siapa itu. Semoga juga tuan ingat, dua besi yang saling bertautan membentuk lingkaran itu adalah tempat mengasyikkan buatku bermain. Hussen, bila ibuku pegal menggendongnya, akan dilepaskan bermain di sekitar lingkaran besi itu. Hussen memegang lingkaran tersebut sebagai penyangga tubuhnya, dan aku berlari-lari kecil menakutinya dengan senapan.

“Mut ya, Hussen!” matilah kau Hussen. Dia berlari. Lari yang lambat, seraya dia genggamkan tangannya di lingkaran besi itu.

“La, la!” tidak-tidak. Ucapmu yang renyah.

Di sepanjang jalan Rafah, di sebuah lorong kecil, lorong yang penuh dengan tulisan Harrik Yadak, Harrik Yadak! Allah Fiina, Allah Fiina,* bisa aku kisahkan kepada tuan, bahwasanya tempat itulah lahan yang paling mengasyikkan buatku bersembunyi. Ketika hitungan seorang kawan sampai pada angka ke tiga, larilah aku menuju lorong itu. Dan bisa dipastikan Fayyad, Yasmin, atau kawan yang lain tak bisa menemukanku. Kecuali ketika aku lelah bersembunyi, maka bergeserlah aku sedikit keluar. Dan, “Hadzil asra, hadzil asra!” berteriaklah Fayyad mengatakanku sebagai tawanan.

Sudah kukatakan, tuan. Kota ini terlalulah dekat dengan kematian. Maka hendak kuundang dirimu pada hari kematianku. Tunggu saja suatu hari di mana kupersembahkan darahku untuk pertempuran. Sebab perjuangan rakyat Rafah adalah percuma, sebab Rasul sendiri telah mentakdirkan kemenangan Jerusalem di ujung hari yang manusia sebut kiamat.

Dan janganlah kau bilang Gazaku sekedar derita, sebab tuan akan menemukan banyak kisah berupa darah. Di sini!

Yogyakarta, 5 Januari 2008

---
Catatan:
*Gerakkan tanganmu, gerakkan tanganmu. Allah menyertai kita, Allah menyertai kita.

**) Bukan siapa-siapa. Hanya saja berulangkali menulis cerpen. Berulangkali pula menuliskan dalam buku catatannya: aku ingin kaya. Bersama kegelisahan, dia menekuni hidup di sanggar KUTUB (gus Zainal institute) Jogja.

Minggu, 11 Januari 2009

PRAMOEDYA ANANTA TOER DAN HADIAH MAGSAYSAY

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Apa maknanya hadiah Magsaysay bagi kebudayaan dan kemanusiaan? Penghargaan atas nama mendiang Presiden Filipina, Ramon Magsaysay (1907—1957) yang tewas dalam kecelakaan pesawat tahun 1957 itu dimaksudkan sebagai penghormatan kepada seseorang yang mempunyai kebesaran jiwa dan semangat, integritas dan perjuangan untuk kebebasan. Pendirian Yayasan Hadiah Magsaysay dilakukan sejumlah seniman dan cendekiawan Filipina untuk menghormati jasa-jasa mendiang presiden ke-3 Filipina itu. Itulah ruh, substansi, hakikat, yang mendiami makna hadiah Ramon Magsaysay yang dianggap sebagai sosok manusia yang berjiwa besar dan konsisten dalam memperjuangkan kebebasan sebagai hak manusia yang paling dasar. Dengan demikian, hadiah itu dicitrakan sebagai penghargaan atas perjuangan yang gigih, luhur, dan agung.

Hadiah Ramon Magsaysay itu dipandang hanya pantas, layak, dan patut diberikan kepada seseorang yang berjiwa besar, punya integritas, bercita-cita luhur dan agung, sarat idealisme, kaya gagasan besar, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang asasi: kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Maka, ketika seseorang dinyatakan berhak memperoleh hadiah itu, nilai-nilai kemanusiaan yang paling dasar itu, serta-merta melekat dalam diri dan jiwa orang bersangkutan.

Di situlah makna simbolik hadiah Magsaysay. Ia seperti mewartakan perjuangan individu atau kelompok yang tak kenal lelah mengangkat martabat manusia dan kemanusiaan. Untuk itu Hadiah Magsaysay diberikan kepada orang-orang Asia pilihan atau mereka yang bekerja di Asia yang memperlihatkan kontribusinya dalam lima bidang, yaitu Layanan Pemerintah (government service), layanan masyarakat (public service), kepemimpinan komunitas (community leadership), Jurnalisme, Sastra dan Seni Kreatif (journalism, literature, and creative arts), dan Pemahaman Internasional (international understanding). Hadiah Magsaysay dengan begitu merupakan simbol perjuangan individu dalam kelima bidang itu yang berhasil memberi kontribusi penting bagi cita-cita dan kebebasan dalam mengangkat nilai-nilai kemanusiaan. Hadiah itu telah mencitrakan keagungan, keluhuran jiwa, keteguhan hati, dan idealisme mereka yang dianggap berhasil mengabdikan dirinya dalam membela kebenaran, keadilan, dan martabat manusia melalui kejujuran hati nurani.

Di sana ada nilai-nilai kepantasan, kelayakan dan kepatutan yang dilekatkan tersirat kepada peraih hadiah itu. Nilai kepantasan sebagai dasar untuk mengukur kiprahnya dalam memperjuangkan harkat manusia dan kemanusiaan itu memberi arti penting bagi perkembangan bidang atau karya yang ditekuninya. Ada kriteria atau ukuran yang dapat diacu pada kiprah, prestasi dan hasil karyanya. Jika terjadi kontroversi, muara perdebatannya mengacu pada karya-karya, prestasi, dan kiprah yang pernah dilakukannya. Jika ternyata karyanya memang menunjukkan kualitas yang luar biasa atas segala nilai yang diperjuangkannya, maka pantaslah atau sepantasnyalah ia memperoleh itu.

Dalam hal itulah nilai-nilai kepantasan mesti juga dilengkapi dengan nilai-nilai kelayakan. Di sini, ukuran kelayakan menyangkut kualitas karyanya, kontribusi dan sumbangannya bagi peradaban, kebudayaan, dan kehidupan kemanusiaan. Lalu, bagaimana pula dengan perkara kepatutan? Patutkah sebuah mahakarya yang dihasilkan melalui keringat dan penderitaan rakyat ditempatkan dengan nilai-nilai yang luhur dan agung? Borobudur atau Tembok Besar Cina, misalnya, adalah dua mahakarya yang pantas mendapat pujian sebagai prestasi manusia yang luar biasa. Penggagasnya atau arsitek yang memerintahkan pembangunan dua mahakarya itu, pantas pula mendapat pujian setinggi langit. Itulah prestasi yang tidak dapat direngkuh oleh sembarang manusia. Ia menuntut kepiawaian gagasan yang brilian, kerja keras yang tak kenal lelah, dan pengorbanan jiwa-raga manusia dan harta-benda yang luar biasa.

Prestasi penggagas kedua mahakarya itu, pantas dan layak mendapat pujian sebagai manusia super yang mengutamakan prestasi dan hasil, daripada proses. Semata-mata ia mengejar prestasi, tanpa mempertimbangkan korban-korban yang berjatuhan. Di sinilah seyogianya kita mulai berhitung tentang kepatutannya. Jika proses pembuatannya harus menelan sekian ribu korban nyawa manusia, patutkah ia mendapat pujian sebagai prestasi yang membanggakan (atau mengharukan)? Bukankah itu sebuah paradoks; kontradiksi antara pencapaian prestasi dan korban yang terlalu mahal. Jadi, ketika kita bicara tentang prestasi, kepantasan dan kelayakan boleh melekat di sana. Ada kesan bahwa itu merupakan pencapaian dari sebuah ambisi untuk mengusung prestasi dan prestise. Mahakarya yang dihasilkan melalui ambisi untuk mencapai prestasi tertinggi dan sekaligus dapat mengangkat prestise terhormat bagi masyarakat bersangkutan.

Ketika kita menghubungkaitkannya dengan proses pencapaiannya, soal kepatutan bolehlah kita perdebatkan. Mahakaryanya merupakan sebuah prestasi luar biasa, dan ia mengangkat prestise masyarakat bangsanya. Tetapi, patutkah pencapaian sebuah ambisi diraih melalui keringat, darah dan nyawa sekian manusia yang menjadi korbannya? Patutkah ia ditempatkan sebagai pejuang harkat kemanusiaan dan mengangkat martabat dan peradaban manusia, jika ia berdiri berkacak pinggang di atas deretan roh yang menjadi korbannya?

Hadiah apapun sebagai simbol mengangkat harkat dan martabat manusia, simbol perjuangan melawan penindasan dan nilai kemanusiaan, seyogianyalah tidak menutup mata pada prespektif kepantasan, kelayakan, dan kepatutan tadi.
***

Mengapa ada kontroversi ketika Pramoedya Ananta Toer dinyatakan sebagai Pemenang Hadiah Magsaysay untuk kategori jurnalistik, sastra, dan komunikasi kreatif? Pramoedya Ananta Toer sendiri memang sosok yang kontroversial. Riwayat perjalanan hidupnya panjang dan niscaya, melelahkan. Pada zaman perang kemerdekaan, ia ikut berjuang dan terpaksa mendekam di penjara Bukit Duri. Itulah risiko sebuah perjuangan, dan Pram menyadari itu. Selepas keluar penjara, ia kembali gigih, mengangkat gagasannya dan menyuarakan hati nurani kemanusiaan. Maka, pada dasawarsa tahun 1950-an, Pram lewat sejumlah cerpen dan novelnya, membuat potret gelap peperangan, menggugat penindasan, dan menyuarakan harkat kemanusiaan. Lewat esai-esainya, ia juga menolak campur tangan politik dalam wilayah sastra.

Dalam artikelnya yang berjudul “Kesusasteraan sebagai Alat” (Indonesia, No. 7, Th. III, Juli 1952) Pramoedya menolak campur tangan politik dalam wilayah kesusastraan. Dalam artikel itu, Pram menyatakan: “Biasanya faktor-faktor etik dan politik memainkan peranan penting dalam hasil-hasil kesusastraan yang dangkal. … Dan di daerah daerah di mana faktor-faktor politik menentukan, tak jarang apa yang dinamakan kesusastraan itu campur-aduk dan merupakan bahan gubal antara sastra, propaganda, antipati terhadap politik tertentu, dengan melupakan kemungkinan-kemungkinan lain. Dalam hal ini, kesusastraan yang sesungguhnya dikurbankan oleh dan untuk politik. Kesusastraan demikian adalah kesusastraan propaganda yang belum lagi patut mendapat nama kesusastraan.”

Di bagian lain artikel itu, Pram juga mengecam pandangan Mao Tse Tung yang mengatakan bahwa literature and art should serve people, especially the workers, peasants and soldiers.” Apa komentar Pram mengenai hal itu? Inilah pandangannya: “ Dan kalau mengingat bahwa Mao Tse Tung adalah seorang yang berkuasa di suatu daerah tertentu, dapat orang berseru: alangkah sempit batas-batas yang menentukan daerah kesusastraan itu. Sempit buat seorang pengarang yang menghendaki daerah yang lebih luas … Kesusastraan yang harus melayani masyarakat, tidak bedanya dengan pelayan di restoran yang harus memuaskan langganannya. … Ini adalah kesusastraan yang boleh dinikmati sambil makan-angin: kenikmatan yang murah. … Kebebasan kesusastraan sebagai kemutlakan seseorang pengarang untuk mencapai tujuannya berganti jadi perbudakan kesuastraan demi kepentingan politik.“

Begitulah, melalui sejumlah novel dan cerpennya, Pramoedya memberi penyadaran tentang bahaya penindasan dan penderitaan akibat perang; tentang moral dan harga diri; tentang kejujuran dan kebenaran yang berhadapan dengan kemunafikan dan penyesatan. Sementara itu, melalui sejumlah esainya, ia bersuara lantang mengusung kebebasan kreatif, idealisme dan kejujuran pada hati nurani ketika sastra berkehendak mengangkat harkat manusia. Esai-esai Pram juga lantang menentang tindakan represif dan campur tangan politik dalam wilayah kebudayaan dalam lingkup yang luas dan kesusastraan khususnya.

Sampai di situ, Pramoedya Ananta Toer –waktu itu— sesungguhnya sudah pantas mendapat anugerah hadiah Magsaysay, bersanding dengan Mochtar Lubis. Karya-karyanya dasawarsa itu, jelas memberi penyadaran atas segala derita akibat perang, betapa perang selalu melahirkan kesengsaraan berkepanjangan. Dan muara dari segala penderitaan itu, tidak lain: rakyat! Di situlah karya-karya Pram mendapat tempat terhormat dalam daftar panjang karya-karya perlawanan terhadap tirani, represi, penindasan, dan pemerkosaan harkat hidup manusia. Pram dasawarsa tahun 1950-an adalah sosok pejuang kemanusiaan, gigih dan tak kenal kompromi!

Sebelas tahun kemudian setelah Pram menulis “Kesusasteraan sebagai Alat” (1952) muncul tanggapan mengenai sepak-terjang Pram yang dilakukannya pada tahun 1960-an itu. Tulisan yang berjudul “Pramoedya Cuci Tangan sesudah sebelas Tahun” (Duta Masjarakat, Edisi Minggu, 17 Maret 1963) merupakan tanggapan atas berita yang dilansir rubrik “Lentera” Bintang Timur, 10 Maret 1963 mengenai kuliah umum Nyoto, 2 Maret 1963 di hadapan para mahasiswa Akademi Ilmu Sosial “Aliarcham”. Dikatakan Nyoto, “sudah datang waktunya untuk mengadakan penghentian terhadap segala perdebatan mengenai “seni itu berpolitik atau tidak” karena barang siapa masih berkata juga seni itu “nonpolitik”, sesungguhnya dia itu reaksioner.

“Dengan memuat ucapan Nyoto dalam “lentera”/Bintang Timur-nya tanggal 10 Maret 1963, agaknya Pram ingin cuci tangan. Dan yang pasti, dengan itu dia telah “menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.”

Memasuki dasawarsa tahun 1960-an itu, sikap Pramoedya tampak berubah drastis. Apalagi setelah ia memegang rubrik “Lentera” harian Bintang Timur yang notabene adalah corong propaganda politik PKI. Buku Prahara Budaya (1995) yang disusun D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail berhasil mengungkapkan sebagian kecil dari apa yang terjadi sebenarnya pada masa itu. Beberapa tulisan Pram yang juga dimuat dalam buku itu, menunjukkan bagaimana terjadinya perubahan sikap dan perangai sosok seorang Pram. Dalam tulisan Pram yang menanggapi sebuah surat (Bokor Hutasuhut) yang ditujukan kepada H.B. Jassin (“Lentera”/Bintang Timur, 17 November 1963), Pram menyatakan perubahan sikapnya itu sebagai berikut:

“Kalau Saudara Bokor Hutasuhut membuka riwayat hidup saya yang tersimpan pada Balai Pustaka, akan melihat, bahwa di situ akan tertulis, bahwa saya menerima “pendidikan liberal” (1950), dan pada waktu itu pun saya seorang liberal. Saya meninggalkan liberalisme ini setelah bergaul dengan seniman-seniman Lekra, sekalipun prosesnya memakan waktu yang lama, tidak kurang dari tujuh tahun,” demikian tulis Pram. Selanjutnya, dikatakan pula, “Seseorang yang menyerah, bukan pejuang lagi, kalau ideologi perjuangannya dapat dipunahkan oleh musuhnya. Dan kalau seseorang berjuang tanpa sesuatu ideologi perjuangan, maka di dalam zaman modern ini hukumnya adalah petualangan.”

Boleh jadi karena sikap politiknya itu, Pram melihat orang per orang dari kacamata politik pula. Maka, siapa pun yang tidak sejalan dengan sikap politiknya adalah musuh, dan karena itu, harus dilawan, dibabat, dienyahkan. Bahkan, serangan itu tidak hanya ditujukan kepada gagasan yang berseberangan dengan perjuangan Lekra/PKI dan pribadi individunya, tetapi juga terhadap karya-karya orang yang bersangkutan. Buku-buku karya sastrawan yang tidak sejalan dengan garis perjuangan Lekra/PKI, disingkirkan, bahkan juga dibakar. Bur Rasuanto dalam artikelnya “Momen Pengadilan Pramoedya” (Horison, Oktober 1995, hlm. 10) menyatakan: “Dalam demonstrasi pembakaran karya-karya pengarang “musuh rakyat dan musuh revolusi” oleh Lekra dan CGMI tahun 1964, di antara buku yang dibakar itu termasuk buku-buku saya.”

Itulah yang terjadi dalam paroh awal dasawarsa tahun 1960-an sampai puncaknya terjadi pada tahun 1965. Dalam artikel Pram, berjudul “Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total” (Dimuat dalam Lembaran Kebudayaan “Lentera” harian Bintang Timur, 9 Mei 1965), Pramoedya Ananta Toer, antara lain, mengatakan: “Dengan dipersenjatai oleh amanat “Banting Stir” Bung Karno di depan MPRS, termasuk di dalamnya asas “Berdikari”, amanat Dasawarsa KAA-1 dan amanat Harpenas, Rakyat Indonesia dan para pekerja kebudayaan makin diperlengkapi persenjataannya untuk mengganyang kebudayaan Manikebu, Komprador, Imperialis dan Kontra Revolusi secara total.”

“Untuk waktu yang lama tukang-tukang tadah ini menadahi segala macam penyakit dunia kapitalis-imperialis pada satu segi, dan secara aktif ikut melakukan pembentukan ideologi-setan pada lain segi.

“17 Agustus 1965 yang akan datang, dalam merayakan 20 tahun kemerdekaan Indonesia, kebudayaan-setan ini seyogianya sudah harus tidak lagi mengotori bumi dan manusia Indonesia.” Di bagian lain, Parm mengatakan: “Sebagaimana diketahui penerbit-penerbit yang menerbitkan karya-karya Manikebu adalah seperti penerbit-penerbit pemerintah, penerbit-penerbit swasta untuk tidak menyebut beberapa nama. Apakah sebabnya penerbit-penerbit tersebut menerbitkannya dan apa sebabnya tidak pernah menarik kembali penerbitan-penerbitan tersebut dari peredaran? Apakah sebabnya ada penerbit yang justeru meneritkan buku-buku plagiat Hamka, sedang sudah diketahuinya karya tersebut adalah Plagiat? …”

“Gerakan Manikebu secara dialektik telah menyebabkan organisasi-organisasi massa belajar beraksi dalam satu front persatuan yang bulat. Dan aksi front kini telah menjadi tradisi di Indonesia. Maka gerakan mengembangkan kebudayaan-setan sebagai sistem perongrongan ini secara dialektik pun akan memutuskan aksi-aksi front yang akan datang. Perkembangan yang demikian takkan dapat dielakkan, sedang kemenangan-kemenangan baru sama pastinya dengan hancurnya lawan-lawan revolusi.”

Lebih jauh Pram menyatakan: “Dengan bersenjatakan “Berdikari”, Berkepribadian dalam Kebudayaan”, dan “Banting Stir”, pembersihan terhadap penerbit yang menjadi pabrik ideolozi (sic!) gelandangan telah merupakan suatu tantangan bagi semua organisasi kebudayaan yang progresif revolusioner.”

“Pembersihan ini bukan saja akan mengakibatkan terjadinya perkembangan yang sehat dalam pembinaan kepribadian nasional, juga menghabisi perbentengan terakhir musuh-musuh revolusi. Sedang di bidang sosial-ekonomi secara edukatif akan membantu penerbit-penerbit Manipolis memasuki form-nya sebagai alat revolusi sesuai dengan tuntutan situasi revolusioner dewasa ini.”

“Juga di bidang penerbitan, setiap kekalahan pada pihak lawan mengakibatkan terjadinya kemajuan ganda pada kekuatan revolusioner.”

Demikianlah, sikap politik Pram telah menyeretnya begitu jauh untuk berpikir dikotomis: yang tidak sejalan adalah musuh, oleh karena itu harus dibabat, disingkirkan, dienyahkan! Peristiwa pembabatan itulah yang membawa Pram harus melakukan penindasan terhadap siapa pun yang tidak sejalan dengan sikap politiknya. Mereka harus diperlakukan sebagai lawan, musuh. Mereka itulah yang membawa Kebudayaan Manikebu, Kebudayaan-Setan dan Ideologi-Setan. Jadi, dalam pandangan Pram, para penanda tangan Manifes Kebudayaan beserta para pendukungnya, tidak lain adalah gerombolan yang membawa kebudayaan dan ideologi-setan, kontra revolusi yang harus dibabat secara total.

Tindakan-tindakan Pram yang berkaitan dengan penindasannya terhadap mereka yang dianggap musuh itulah yang justeru sesungguhnya bertentangan dengan perjuangan terhadap penindasan dan semangat kebebasan. “Pram memang seorang teman yang pernah menimbulkan kesusahan kepada banyak sekali seniman dan pemikir bebas di Tanah Air, tapi Pram adalah seorang mahaputra sastra Indonesia,” begitu komentar Bur Rasuanto. Jika kemudian Pram menuai sendiri perbuatannya itu dengan hukuman berat yang ditimpakan pemerintah Orde Baru, tentu saja itu lebih merupakan sebuah risiko atas pilihan politik yang diambilnya. Bahwa para sastrawan dan seniman yang pernah ditindas Pram dapat memaafkan tindakan yang dulu dilakukannya itu, tidak pula berarti catatan sejarahnya dapat dihapus begitu saja. Sejarah, bagaimanapun juga, tetap harus ditegakkan sebagaimana adanya.
***

Ketika pada tahun 1995 Pramoedya Ananta Toer memperoleh anugerah hadiah Magsaysay, mengapa kemudian terjadi kontroversi? Bukankah itu merupakan kebanggaan bagi bangsa ini karena salah seorang warganya dipandang telah berhasil mengangkat citra sebagai sosok manusia yang gigih dan tidak mengenal lelah memperjuangkan kebebasan dan hak asasi manusia, sebagaimana yang disimbolkan oleh nama besar Magsaysay?

Mencermati kontroversi yang berkembang seputar pemberian hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer, segera kita dapat menarik tiga pandangan yang melandasi kontroversi itu.

Pertama, pandangan yang menentang pemberian hadiah itu mengingat ada bagian dari perjalanan hidup Pram yang justru bertentangan dengan ruh dan semangat yang menjadi dasar pemberian hadiah Magsaysay. Sebagian besar dari kelompok ini adalah para pelaku sejarah yang terjadi pada paroh pertama tahun 1960-an dan sebagiannya lagi terdiri dari individu yang mencoba menempatkan dalam lintasan sejarah yang tak terputus. Oleh karena itu, sosok Pram harus juga dilihat dari perspektif historis. Bukankah perjalanan hidup seseorang membawa masa lalunya sendiri? Oleh karena itulah, bagaimanapun juga, masa lalu tak dapat begitu saja direvisi, diganti, atau bahkan dihilangkan.

Kedua, menerima pemberian hadiah itu dengan menutup mata pada masa lalu dan melupakan sepak terjang Pram. Yang menjadi pertimbangannya semata-mata pada karya dan kreasi Pram sebagai sastrawan. Bahwa Pram pernah terlibat kegiatan politik dan ikut memperjuangkan ideologi politiknya dengan cara represif, biarlah itu tinggal sebagai masa lalu. Beberapa orang dari kelompok ini, juga pelaku sejarah tahun 1960-an itu, dan sebagian lagi menempatkan Pram seolah-olah tidak ada kaitannya dengan perjalanan hidupnya di masa lalu. Masa lalu, biarlah tinggal sebagai milik orang-orang tua, dan bukan menjadi milik generasi sekarang.

Ketiga, mendukung pemberian hadiah itu mengingat Pram telah membayar masa lalunya dengan sangat mahal. Para pendukung ini terdiri dari dua kelompok. Kelompok pertama melihat Pram sebagai sosok yang teraniaya, jika ia harus dikaitkan dengan masa lalunya. Mereka melihat, bahwa perbuatan Pram yang terjadi pada paroh pertama tahun 1960-an itu telah dibayar Pram melebihi tindakannya pada masa itu. Penganiayaan atas diri Pram tidak sebanding dengan apa yang telah dilakukannya. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk tidak mendukung Pram. Kelompok kedua melihat bahwa masa lalu Pram biarlah menjadi milik generasi Pram. Mereka membela Pram karena mereka merasa bukan bagian dari generasi masa lalu itu. Mereka menolak terlibat atau dilibatkan dalam persoalan yang terjadi pada lalu. Generasi sekarang, menurut mereka, tak ada hubungannya dengan masalah yang terjadi pada peristiwa dulu. Alasan lain yang dikemukakan mereka adalah belum adanya pengadilan yang memutuskan kebersalahan Pram. Jadi, tidak pada tempatnya menyalahkan seseorang, sementara pengadilan belum memutuskan vonis.

Terlepas dari persoalan pro dan kontra mengenai kebersalahan yang telah dilakukan Pram atau anggapan bahwa penganiayaan terhadap Pram terlalu mahal jika dibandingkan dengan tindakan masa lalunya, bijaksanalah jika kita mencoba mencermati duduk perkaranya secara proporsional. Tentu kita tidak bermaksud menghakimi atau membela Pram. Cukup kita coba memaparkan pandangan dan komentar seputar pemberian hadiah Magsaysay kepada seorang Pramoedya Ananta Toer, salah seorang sastrawan penting kita.
***

Sebagai sastrawan, harus diakui, Pramoedya Ananta Toer berhasil menorehkan namanya sebagai salah seorang sastrawan Indonesia terkemuka. Di kalangan sastrawan Indonesia sendiri, tidak ada keraguan untuk menempatkan karya-karya Pram sebagai salah satu tonggak yang ikut memperkaya khazanah sastra Indonesia. Oleh karena itu, ketika pemerintah Orde Baru melarang peredaran buku-buku Pramoedya Ananta Toer, banyak di antara mereka yang justru menentang kebijakan itu.

Bagaimanapun juga, sejumlah besar karya Pram memperlihatkan nilai sastra yang tinggi. Bahwa Pramoedya Ananta Toer pernah terlibat aktif dan menjadi salah seorang Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah lembaga kebudayaan di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI) tidaklah berarti buku-bukunya –terutama karya-karya yang dihasilkannya sebelum menjadi salah seorang Ketua Lekra—harus pula menerima hukuman. Jadi, tak ada alasan pula ikut-ikutan melarang peredaran buku-bukunya. Jika pemerintah Orde Baru melarang buku-buku Pram karena dipandang berbahaya, kita juga dapat memahaminya mengingat pendekatan dan sudut pandang yang dilakukan pemerintah, tidak atas dasar estetika, melainkan semata-mata berdasarkan pendekatan keamanan. Satu kebijakan represif yang sebenarnya terlalu berlebihan.

Demikian juga, kelompok yang menentang pemberian hadiah Magsaysay terhadap Pram, tidaklah didasari atau tertuju pada nilai karya-karya Pram, tidak pula lantaran garis politik yang dianutnya, melainkan pada tindakan yang pernah dilakukannya pada masa lalu. Kelompok ini beranggapan bahwa Pram pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan semangat dan cita-cita yang justru menjadi ruh, simbol dan substansi pemberian hadiah itu. Tindakan itulah yang dinilai dapat mencoreng nama besar dan reputasi ketokohan Magsaysay. Dengan demikian, tidak sepatutnya hadiah itu diberikan kepada seseorang yang dalam perjalanan hidupnya di masa lalu, pernah melakukan tindak penindasan atau ikut mendukung secara aktif tindakan yang bertentangan dengan semangat kebebasan dan kemerdekaan. Maka, jika Hadiah Magsaysay diberikan kepada Pram, dan ia pernah melakukan tindak penindasan atau setidaknya ikut mendukung perbuatan tercela seperti itu, bukankah itu berarti pemberian hadiah itu salah alamat.

Mochtar Lubis, sastrawan yang juga pernah mendapat hadiah Magsaysay tahun 1958, bereaksi keras. Ia bahkan mengembalikan semua hadiah yang telah diterimanya itu kepada Yayasan Hadiah Magsaysay sebab dinilainya tidak lagi konsisten memperjuangkan semangat perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Dalam pernyataan yang didukung oleh 25 sastrawan-budayawan Indonesia, dikatakan: “Kami menduga bahwa Yayasan Hadiah Magsaysay tidak sepenuhnya tahu tentang peran tidak terpuji Pramoedya pada masa paling gelap bagi kreativitas di zaman Demokrasi Terpimpin, ketika dia memimpin penindasan sesama seniman yang tidak sepaham dengan dia.” Demikian pernyataan Mochtar Lubis atas keputusan Panitia Hadiah Magsaysay yang memberikan hadiah itu kepada Pram.

Dalam pandangan mereka, seperti ditulis dalam majalah Panji Masyarakat (No. 836, 11—21 Agustus 1995) Yayasan Hadiah Magsaysay tidak memahami peranan Pram dalam masa Demokrasi Terpimpin. Padahal, itulah masa yang dinilai sebagai periode paling gelap dari kreativitas berkesenian. Selama itu Pramoedya Ananta Toer memimpin penindasan terhadap kreativitas para seniman nonkomunis…. Dalam masa suhu politik yang panas tahun 1960-an, Pram mengambil peranan aktif untuk menyingkirkan lawan-lawannya, terutama seniman di luar Lekra yang punya pengaruh besar di masyarakat….”

Pernyataan Mochtar Lubis itu menyebutkan pula, bahwa Pram telah melancarkan kampanye fitnah dan pemburukan nama secara teratur terhadap seniman-seniman non-Lekra/PKI, teror mental dan intimidasi sebagai pelaksanaan prinsip “tujuan menghalankan cara”, mengembangkan gaya bahasa caci-maki di pers Indonesia, melakukan kampanye pembabatan terhadap penerbit-penerbit independen …. “Kami khawatir, pemberian hadiah kepada Pramoedya sekaligus berarti pula bahwa Yayasan hadiah Magsaysay membayarnya untuk tindakannya menindas kebebasan kreatif sejak awal hingga pertengahan 60-an di Indonesia.”

Bagi Mochtar Lubis, penolakannya bukanlah pada pemberian hadiah sastranya kepada Pramoedya Ananta Toer, melainkan pada “sikap Pramoedya yang punya bakat ‘antikemanusiaan, antikebebasan kreativitas’ yang pernah dilakukan Pramoedya dengan caranya yang sangat kejam terhadap teman-teman sastrawan dan seniman yang tidak menjadi anggota Lekra di zaman Orba.” Tidak dapat dipisahkan antara pengarang sebagai manusia dari ciptaan sastranya, demikian Mochtar Lubis. “Jadi, pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak kreativitas orang lain, yang pernah dihantam Pramoedya habis-habisan itu seakan-akan dianggap tidak ada. Nah itu yang kami perjuangkan dalam aksi protes ini, supaya generasi muda yang akan datang, mengerti bahwa antara sastrawan dan karya sastranya yang pernah diperbuat di masa lalu itu, tidak bisa dipisah-pisahkan. Hal ini juga berlaku bagi Pramoedya. Jadi, Pramoedya harus berani bertanggung jawab dengan sejarahnya di masa lalu.”

“Bagi saya,” ujar Mochtar Lubis, “Pramoedya tidak perlu minta maaf kepada kami, para sastrawan. Saya pribadi tidak meminta hal itu. Yang kami minta, Pramoedya meluruskan kembali bahwa apa yang dilakukannya di masa lalu adalah tidak benar.”

Frankie Sionil Jose, novelis terkemuka Filipina yang pada tahun 1960-an itu pernah berkunjung ke Jakarta dan melihat sendiri kekacauan yang melanda kehidupan kesusastraan dan kebudayaan Indonesia waktu itu, juga mempertanyakan keputusan Panitia Hadiah Magsaysay. “Sebuah kesalahan besar jika Panitia memberikan hadiah kepada orang yang berseberangan dengan cita-cita Magsaysay,” ujarnya. “Saya menyalahkan mereka yang ada di Yayasan Magsaysay. Mereka telah melanggar kehormatan kenangan kepada Magsaysay. Lembaga itu, kini justeru memberi penghargaan kepada seseorang yang dengan cara amat kasar telah memperkosa cita-cita Magsaysay: cita-cita perjuangan hak-hak asasi, penentangan penindasan, dan pembela kebebasan kreatif.”

Sebagai sastrawan dan anggota PEN Internasional yang pada tahun 1980 menerima Hadiah Magsaysay, Jose tak habis mengerti, mengapa hadiah itu jatuh pada nama Pramoedya Ananta Toer. “If Ramon Magsaysay were alive today, I am sure he will condemn the Foundation bearing his name for giving the 1995 award to Pramoedya Ananta Toer,” begitu komentarnya kepada The Inquirer, suratkabar terbesar di Manila. Sementara dalam surat yang dikirim ke harian Republika (20 Agustus 1995), Jose menyatakan bahwa keputusan Yayasan Ramon Magsaysay itu sebagai memalukan. “Ini keputusan dungu!” tulisannya.

Frankie Sionil Jose sendiri tahu, ketika Pram menjadi salah seorang Ketua Lekra, Pram telah melakukan penindasan terhadap seniman yang tidak sealiran dengan Lekra. Dikatakan Jose, “I was in Indonesia in the early 1960s before the fall of Soekarno and I know Pramoedya’s background. He was responsible for jailing of his enemies who are mostly writers and he persecuted them.” Lebih lanjut, Jose –seperti dikutip harian Republika (8 Agustus 1995)—mengatakan, “… dalam sejarah kebangsaan Indonesia tindakan penindasan yang pernah dilakukan Pram tidak dapat dilupakan begitu saja. … Saya menyaksikan, betapa dia seorang tiran dan menindas sastrawan Indonesia yang telah berjuang merebut kemerdekaan. Beruntung Pram hanya dipenjarakan, tidak dibunuh.” Sementara Amnesti Internasional pada tahun 1961 menyebut Pram sebagai “seorang Marxis yang teguh, seorang radikal dan berhaluan kerakyatan yang secara alamiah dekat dengan politik kiri.”

Mantan Direktur Eksekutif Yayasan Magsaysay, Belen Abreau, sebagaimana yang ditulis Fadli Zon (Horison, Oktober 1995), menegaskan bahwa Pram tidak cukup syarat moral untuk menerima Hadiah Magsaysay. “It is not enough that you have excellent writings but what kind of an individual the person is. Did her or she promote the chances of fellow writers or did he or she harrass them? How can Pramoedya relate to others.”

Ada sekitar 70-an artikel yang membincangkan seputar penolakan terhadap pemberian Hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer. Gencarnya penolakan itu, semata-mata lantaran Pram pernah melakukan tindakan yang justru bertentangan dengan ruh dan arti yang menjiwai idealisme, semangat dan cita-cita Ramon Magsaysay sendiri. Jadi, dalam hal ini, Pram dianggap tidak patut menerima hadiah itu, lantaran ia pernah melakukan penindasan. Bahkan, sebuah surat pembaca yang ditulis Marinus Handiyono, Jakarta Barat (Gatra, No. 46/I/30 September 1995) ikut pula mempertanyakan sikap Pram. “Sebagai pembela kemanusiaan, seperti dalam karya-karya sastra Pram, saya sangat kecewa dengan sikap Pram yang berusaha menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan dengan menindas kemanusiaan.”

Sementara itu, Asrul Sani (“Soal Moral yang Korup”, Horison, 30, 6—10, 1995), juga menyatakan keberatannya. Dengan gaya retoris ia menyatakan keherannya. “… kenapa sebuah yayasan seperti Magsaysay memberikan penghargaannya pada pengarang seperti Pramoedya Ananta Toer, yang semasa pemerintahan Orde Lama telah mempergunakan bakat dan keterampilan kesenimanannya untuk menindas kemerdekaan para seniman lain.” Selanjutnya, Asrul Sani mencoba pula mengungkapkan terpecahnya seniman Indonesia dalam menanggapi pemberian hadiah Magsaysay kepada Pram. Kelompok pertama mengirimkan pernyataan yang ditandatangani sejumlah seniman, dan kelompok kedua mereka yang menolak menandatangani pernyataan tersebut.

“Tapi kedua belah pihak berbeda ini memiliki sikap yang sama mengenai beberapa pokok. Kedua belah pihak ingin Pramoedya menerima hadia tersebut, kedua belah pihak mengharapkan agar Pemerintah tidak mencekal Pramoedya dan mengizinkannya ke Filipina untuk menerima hadiah tersebut. Kedua pihak menyatakan, Pramoedya adalah pengarang Indonesia yang penting. Kedua belah pihak sama-sama menuntut supaya larangan terhadap karya Pramoedya dicabut. Di samping itu, pihak yang tak mau menandatangani dan yang keberatan terhadap statement tersebut juga mengakui dan menyatakan bahwa Pramoedya sudah melakukan teror terhadap rekan-rekannya sesama seniman di masa lampau. Yang tak mengakui hanya: Pramoedya Ananta Toer..”

Bagi Asrul Sani, duduk perkaranya bukanlah terletak pada pertentangan antara Pramoedya dan kelompok Manifes Kebudayaan, juga bukan pada sikap politik Pram, melainkan menyangkut moral seorang pengarang. “Bagi saya,” demikian Asrul Sani, “pengarang adalah hati nurani bangsanya. Sudah menjadi tradisi dalam dunia kesusastraan di mana pun juga bahwa komitmen pertama seorang pengarang adalah pada kebenaran dan pada martabat manusia. Sehingga satu demi satu mereka adalah ujung tombak kebebasan berpikir dan kebebasan mencipta.”

Lalu bagaimana dengan Pram, dan apa yang pernah dilakukannya? “Inilah sebetulnya yang dilakukan Pramoedya,” tulis Mochtar Lubis, “Ia menindas hak orang lain untuk memperoleh hak yang ia sendiri perlukan sebagai pengarang. Ia telah menyediakan dirinya menjadi alat bagi kekuatan yang melakukan penindasan tersebut. Inilah isu yang sebenarnya, bukan isu penekanan Manikebu.”

“Yayasan Magsaysay memberikan penghargaan kepada Pramoedya dengan alasan karena Pram dinilai berhasil melakukan pencerahan dengan cerita yang brilian tentang sejarah kebangkitan dan kehidupan modern masyarakat Indonesia—illuminating with briliant stories the historical Indonesia and modern experience of Indonesia people. Yayasan Magsaysay mendasarkan pemberian penghargaannya pada prestasi semata.”

Berseberangan dengan kelompok yang menentang pemberian hadian Magsaysay, kelompok yang mendukung mengungkapkan alasannya sendiri-sendiri. Alasan yang terutama didasarkan pada karya-karya Pram yang memang sangat pantas memperoleh penghargaan itu. Sejumlah karya Pram, baik sebelum ia memasuki dunia politik, seperti Keluarga Gerilya, Blora, Bukan Pasar Malam, misalnya, atau karya-karyanya ketika ia dipenjara di Pulau Buru, antara lain, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, memperlihatkan kualitas karya yang membanggakan. Sampai di sini, Pram telah menunjukkan dirinya sebagai pengarang penting dalam dunia sastra Indonesia. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk menolak pemberian hadiah Magsaysay kepada diri seorang Pram, karena memang sepantasnya ia menerima penghargaan itu..

Sesungguhnya, ketika yang dibicarakan karya-karyanya an sich, baik yang menolak maupun yang mendukung pemberian hadiah Magsaysay kepada Pram, justeru bersepaham, bahwa karya-karya Pram memang pantas menerima hadiah itu. Tetapi, ketika sosok Pram dikaitkan dengan tindakan masa lalunya, di situlah perbedaan pendapat tidak terhindarkan. Apalagi kemudian jika dikaitkan dengan peran politik Pram ketika ia menjadi bagian dari organ politik PKI melalui Lekra. Bagaimanakah sesungguhnya pandangan para pendukung Pram mengenai masalah tersebut?

Sitor Situmorang, salah seorang tokoh Angkatan 45 yang juga pernah mendukung kebijakan politik Orde Lama, menilai bahwa dalam pemberian hadiah apa pun, baik Nobel maupun Magsaysay, pastilah ada muatan politiknya. Biasanya hal itu, terutama ketika Komunisme di Uni Soviet belum ambruk, sangat dipengaruhi oleh faktor Perang Dingin yang diciptakan oleh Amerika Serikat. Perang Dingin yang terjadi sebelum Perang Dunia kedua adalah perang antara “Barat” dengan fasisme Jerman dan fasisme Jepang. Setelah Amerika Serikat membentuk NATO (Organisasi Pertahanan Atlantik Utara) pada 1948, maka Perang Dingin yang dikobarkan itu dicitrakan sebagai “perang” antara “Barat” melawan komunisme. Padahal, sebelumnya, negara yang berideologi Komunis seperti Uni Soviet dan RRC bersekutu dengan AS saat “menghabisi” fasisme Jerman dan Jepang.

Pada 1995, ketika Pram menerima hadiah Magsaysay, sebenarnya komunisme sudah “habis”, ditandai dengan diterapkannya “glasnost” dan “perestroika” di Uni Soviet dan robohnya Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur. Pada saat yang bersamaan, di Indonesia, dominasi Presiden Soeharto yang memaksakan ideologi Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi partai politik dan organisasi massa sedang masuk menuju masa-masa puncak kejayaan Orde Barunya. Dalam hal ini, Presiden Soeharto telah memilih untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya yang menentang asas tunggal Pancasila. Beberapa contoh kasus, dapat disebutkan di sini, Kelompok Petisi 50 yang dimotori Ali Sadikin (1980), kelompok Islam yang kemudian bermuara pada peristiwa tragedia Tanjung Priok (1984) adalah gerakan penentang yang coba disingkirkan penguasa Orde Baru. Jika kelompok-kelompok penentang itu sedikit pun tidak diberi ruang gerak, apalagi kelompok komunis yang menurut pandangan pemerintah Orde Baru sebagai dalang peristiwa G30S/PKI 1965 yang membawa korban sejumlah jenderal Angkatan Darat.

Dalam situasi politik seperti itulah Pramoedya Ananta Toer mendapat penghargaan berupa hadiah Magsaysay. Ketika Pram “teraniaya” oleh pemerintahan Soeharto, Pram dan para pendukungnya merasa bahwa ketika itu tidak ada seorang pun yang coba melakukan pembelaan terhadapnya. Yang dimaksud dengan “pembelaan” di sini adalah pembelaan secara hukum, karena fakta menunjukkan bahwa Pramoedya Ananta Toer dipenjara dan diasingkan di Pulau Buru tanpa melalui proses pengadilan.

Ketika Pram masih berada di Pulau Buru, buku-buku yang diterbitkannya pun dilarang beredar oleh pemerintah. Beberapa seniman yang dulu pernah “dihabisi” oleh Lekra, memang sempat menyuarakan, bahkan mendesak, agar pemerintah tidak melarang buku-buku tersebut. Namun, mesin politik Soeharto saat itu sangat kokoh dan tajam. Jangankan sastrawan, mahasiswa UGM, misalnya, yang membaca dan menjual secara sembunyi-sembunyi buku Pramoedya pun dihukum dan dijebloskan ke penjara di masa Orde Baru. Jelaslah bahwa pada saat itu, Pram berada dalam keadaan “tidak berdaya” sama sekali. Keadaan seperti inilah yang mendorong Yayasan Ramon Magsaysay memberikan hadiah yang nilainya diperkirakan sebesar Rp 100 juta itu.

Penilaian di dalam tim juri Magsaysay itu pun, karena dilakukan secara rahasia, tidak ada yang benar-benar tahu, kriteria dan alasan apa yang melatarbelakangi pemberian hadiah itu kepada Pramoedya Ananta Toer. Kabarnya, Panitia Hadiah Magsaysay sendiri terpecah; ada berapa orang yang setuju pemberian penghargaan itu, dan berapa orang yang tidak setuju. Namun, yang jelas, jumlah mereka yang setujulah yang dominan, sehingga Pram berhasil mendapatkan hadiah itu.

Pertanyaannya kemudian, mengapa hadiah itu tidak diberikan dari sejak dulu, dan mengapa pula baru pada tahun 1995 itu diberikan? Sekali lagi, tentu saja ada alasan-alasan politik yang melataribelakangi pemberian hadiah itu. Dengan diberikannya penghargaan Magsaysay kepada Pram di zaman Orde Baru, jelas terlihat bahwa Yayasan Ramon Magsaysay sepertinya mencoba menyuarakan demokratisasi, sebuah paham politik produk Amerika Serikat atau “Barat”.

Demokratisasi yang dihembuskan Yayasan Ramon secara tidak langsung adalah menolak adanya pelarangan buku, menuntut adanya kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berbeda pendapat. Dengan demikian, Yayasan Ramon tidak terlalu mempedulikan latar belakang Pramoedya Ananta Toer sebagai motor penggerak Lekra yang dulu pernah menindas seniman-seniman penanda tangan Manifes Kebudayaan dan para pendukungnya yang berhaluan humanisme universal.

Analoginya, jika dulu AS dapat bersekutu dengan Uni Soviet dan RRC ketika “menghabisi” fasisme Jerman dan Jepang, dalam perkembangannya kemudian, AS justeru berbalik berhadapan dengan Uni Soviet dan RRC ketika mereka (AS, Inggris, Australia, dan sekutu) hendak “menghabisi” komunisme.

Ketika Taufiq Ismail mengirim faksimile kepada Arief Budiman untuk ikut dalam aksi menolak pemberian hadiah Magsaysay kepada Pram, saat itu Arief berada di rumah K.H. Mustofa Bisri (Arief Budiman, “Hadiah Magsaysay dan Budaya Baru” Kompas, 14 Agustus 1995; Horison, Oktober 1995). Surat itu kemudian dibacakan dalam forum pertemuan tersebut. Gus Mus langsung memberikan reaksi atas surat ajakan itu, dan ia merasa keberatan dengan pesan yang disampaikan Taufiq Ismail. Gus Mus mengambil sikap seperti HAMKA yang begitu ia keluar dari penjara, ia langsung memaafkan Pram yang pernah memfitnahnya melakukan plagiat. Gus Mus cenderung memaafkan Pram, yang saat itu (di zaman Orde Baru) memang selalu teraniaya –yang secara tidak langsung dapat ditempatkan menjadi inspirasi bagi perlawanan terhadap rezim Soeharto.

Arief Budiman berpendapat bahwa apa yang dialami Pram di masa Orde Baru sebenarnya sudah lebih dari cukup dari apa yang dilakukannya di zaman Orde Lama. Sama seperti Goenawan Mohamad, Arief pun sudah melupakan peristiwa masa lalu itu, yaitu konflik masa lalu antara kubu Manifes Kebudayaan dengan Lekra, dan ia pun tidak menaruh dendam pada Pram.

Bur Rasuanto (“Momen Pengadilan Pramoedya,” Horison, Oktober 1995, hlm. 10) yang mencabut kembali keputusannya menandatangani “Pernyataan” yang ditujukan kepada Panitia Hadiah Magsaysay, mengungkapkann, bahwa mengingat Pram sendiri pernah menuduh bahwa Yayasan Magsaysay itu antek imperialis—neokolonialis … maka Hadiah Magsaysay bukanlah momen ganjaran (moment of reward), melainkan lebih merupakan momen pengadilan (moment of truth) yang harus dihadapi Pramoedya.

“Kalau Pram menolak, berarti dia masih konsisten dan konsekuen dengan cita-cita dan pandangannya yang lama. Tapi, kalau Pram menerimanya—dan dia memang menerimanya—artinya Pramoedya tidak lagi konsisten, ia telah meninggalkan paham lamanya dan mengakui bahwa kampanye yang dilakukannya dulu keliru. Tentu ada kemungkinan lain: ia munafik”

Begitulah, silang pendapat mengenai pemberian hadiah Magsaysay kepada Pram. Terjadinya perbedaan pendapat demikian, tentu saja harus kita tempatkan sebagai bagian dari proses demokratisasi. Meskipun demikian, apa yang terjadi dalam peristiwa 1960-an itu, bagaimanapun juga adalah pelajaran yang sangat mahal bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi para seniman, bahwa sikap jumawa (sikap untuk saling mendominasi, menguasai) – baik secara politik maupun ideologi – akan mendapatkan penolakan. Dalam konteks itu, seyogianya kita memang memaafkan peristiwa masa lalu itu, menempatkannya sebagai bagian dari perjalanan sejarah bangsa ini, dan oleh karena itulah, sejarah tidak boleh dilupakan begitu saja. Dengan mempelajari sejarah masa lalu itu, kita tidak hanya dapat menangkap banyak pelajaran daripadanya, tetapi juga dapat menempatkannya sebagai catatan masa lalu orang per orang. Di situ pula sejarah perlu ditegakkan, dipahami, dan ditempatkan sebagaimana adanya.

Maka, pemberian Hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer, seyogianya pula tidak dilihat sebagai sebuah kepantasan dan kelayakan seorang Pramoedya untuk menerimanya, tetapi juga dilihat dari kepatutannya jika dihubungkan dengan perilakunya di masa lalu. Dan sejarah masa lalu itulah yang memberi nilai atas kepatutan itu.

Geger Gember Genjer-Genjer

Alienasi Ketiadaan

Javed Paul Syatha

Segmen /1/

Pada Sebuah Galery Lukis
Tokoh:
Aku terlalu larut dalam tidur panjangku; mungkin saja mimpi yang menyeretku masuk ke negeri tak berjejak dari pikiran-pikiran yang jauh sekaligus menakutkan. Aku melihat batang-batang pohon beterbangan seperti dihempas badai, laut bergolak hebat, manusia-manusia tanpa kelamin berguling-guling mengitari aku dengan suara dan jerit ngeri. “Tuhan jika semua ini mimpi, beri aku mimpi yang lain!” seketika aku mendapati tubuhku meringkuk dipinggiran jalan raya dengan segala keresahan yang beku. Aku tidak akan percaya kalau tidak menyaksikannya sendiri; aku sangat bernafsu untuk membangunkannya, mengusir lalat-lalat yang berkerumun di mulutnya. Tapi benarkah itu aku? Tidak, aku tidak pernah sekalipun merindukan datang kepada diriku sendiri dengan mimpi, apalagi dalam keadaan yang tidak bisa aku percaya. Sungguh aku benar-benar merasa muak melihatnya, namun meski demikian aku musti tertawa; menertawakan kehidupan yang coreng moreng dari wajahku yang terlalu polos untuk kehidupan terasing ini.

Matilah aku! Ya, matilah aku, karena syurga telah menunggu dengan bidadari-bidadari bersayap perak, bukankah dalam kehidupan engkau terlalu najis untuk menyentuh seorang pelacur sekalipun? Maka matilah! sungguh, meskipun demikian aku adalah mimpi yang menakutkan bagi diriku sendiri. Tapi inilah yang terbaik dari sebagian kehidupan.

Demikianlah aku meringkuk kumal di pinggiran jalan raya; suatu pemandangan yang cukup menakjubkan saat puluhan warga kota berhamburan mengepungku dan tak satupun yang mengaku mengenali akau dalam gumamnya, padahal hampir sebagian dari mereka aku menghafalnya dengan baik. Sungguh mereka mengenakan topeng yang tidak lebih baik dari wajahnya sendiri-sendiri.

Tidak lama kemudian orang-orang berseragam itu mengamati aku lantas menggambarnya dalam bentuk seketsa tubuhku di jalan itu dengan batu kapur putih dan yang lain memasang plastik Panjang berwarna kekuningan tanpa aku tahu maksud mereka sedikitpun. Lantas aku buru-buru diangkat ke dalam mobil kemudian diantar ke rumah sakit dan orang-orang berseragam itu mendapat imbalan uang yang tidak sedikit; setara dengan harga pembunuh bayaran untuk satu mangsanya, kemudian mereka meninggalkan aku dengan senang hati.

Ya, disanalah aku merasakan sesuatu yang paling menjijikkan. Sekujur tubuhku terlihat pucat dan beku, aku dipindahkan dari lemari pendingin satu ke lemari yang lain, dari ruanggan yang penuh dengan mayat ke ruang praktik calon dokter, tubuhku diseminarkan, satu persatu organ tubuhku dimutilasi, kelaminku dipotong, mataku dicongkel, hati, jantung, ginjal dan otakku mereka simpan dalam etalase. Sebagian yang lain dimasukkan dalam plastik warna hitam kemudian dibuang ke laut dan menjadi menu saat senja bagi puluhan ekor predator ampibi. Sungguh akhir yang ngeri.

Tokoh: Demikianlah sebagian dari penggalan novel panjang yang tak pernah selesai dan menjadi inspirasi awal hadirnya lukisan-lukisanku, tapi bagaimana kalian bisa tidak menerimanya, padahal aku telah mempertaruhkan seluruh imajinasi dan impianku. Aku telah bekerja keras untuk semua ini!



Segmen /2/

Galeri lukisan itu selalu sepi dari pengunjung, seniman muda yang dipaksa tua oleh kerut keningnya itu hampir saja putus asa dengan apa yang telah ia kerjakan sepanjang usianya.

Hari-harinya, selain mengasiki suaranya yang parau juga asik dengan gitar kumal yang sedikitpun ia tak pecus memainkan harmony suatu nada. Bahkan ia telah biasa bicara sendiri, tersenyum sendiri, marah-marah kepada tuhan, membaca puisi keras-keras, kadang menangis tersedu memanggil-manggil nama ibunya dan tak jarang juga ia mengolok-ngolok dirinya sendiri selayaknya monolog dalam sebabak drama.

Pernah sekali waktu ia kering akan lukisan, lantas sebait puisi menjadi semacam aliran baru dalam hari-hari kanvasnya, dan sekarang lukisan puisi itu ia letakkan persis di depan pintu masuk sebuah galerinya yang sepi itu. Begini;
“… duniadunia corengmoreng!
kalian adalah sisasisa penolakanpenolakan sejarah
atas kepercayaankepercayaan zaman. maka segala sesuatunya layak
untuk mati:
dan aku adalah lukisan keterasingan
dari segala
yang pernah kau yakini
dan tak mau mati!



Segmen /3/

Tokoh: Semua memang terlanjur berbenturan, atau memang sengaja dibentur-benturkan dalam kehidupan, sebagaimana mimpi yang melampaui kesadaran akan dunia realitas, dan kebenaran yang bersandar pada kepercayaan. *

Sepanjang malam seniman itu berusaha keras menyelesaikan lukisan yang telah terbengkelai puluhan tahun dalam sebagaian mimpi-mimpinya, dan ingin menyelesaikannya sebelum ia mati. Sejak lama sebenarnya ia juga sudah menyiapkan obituari bagi dirinya sendiri, tapi tak kunjung mati juga. Mada di dalam galery dengan pintu setengah terbuka ia menggali kubur menanti kematian; barangkali Tuhan diam-diam telah menyetujui niatnya. Lantas orang-orang akan beramai-ramai membicarakannya, berebut lukisannya kemudian menjualnya sebagai barang langka karena pelukisnya sudah mati.

Tokoh: Ya, inilah akhir yang aku kehendaki, manusia-manusia menggelikan itu memburu lukisanku dan aku menertawakannya; karena aku telah menanggung semua beban berat kehidupanku sendiri, dan apa peduliku jika kelabang dan kalajengking saling menyengat di atas kuburanku nanti. Ya, aku akan mati, aku akan mati untuk pertama kalinya.

Seniman aneh itu menaruh lukisan terakhir yang baru diselesaikannya semalam di lubang kubur itu; berlukiskan wajahnya dan di sudut kiri bawah terterah tanda tangan bersebrangan dengan nama “Ifoel Mundzuk” lalu menguburnya dengan timbunan hasrat yang tergurat di keningnya.

Tokoh: Aku akan menebus kerja kerasku selama ini dengan pengasingan diri dari kehidupan, dari segala masa lalu; sebuah kehidupan baru dibalik kematianku yang lain. Meski orang seperti aku tidak pantas kehilangan roh untuk menempuh negeri beradab yang musti diperjuangkan, tapi aku harus membentuk dunia dalam kehendakku. Segala memang harus dilukiskan, lagi pula bukankah kita sebenarnya sedang hidup dalam tumpukan keterasingan! *
Tokoh: Mungkin hanya metamorfosisme sebentuk waktu; kelak menjawab segalanya. Ini hanyalah kesementaraan. (Gumamnya tajam...)

Lamongan, 2007

PERNIKAHAN DUA BULAN

Haris del Hakim

Purwani menjatuhkan dua butir jagung di atas tanah yang telah di-cebloki. Angin sawah musim kemarau yang panas menembus kain bajunya. Keringat menetes dari dahinya. Kulitnya yang sawo matang tampak semakin gelap mendapatkan sinar pantulan dari tanah yang coklat. Sementara itu, suaminya terus menjatuhkan batang kayu yang berfungsi untuk membuat lubang di atas tanah. Pandangan matanya terus ke bawah.

Mereka menikah dua bulan yang lalu. Bagi mereka bulan madu hanya berumur seminggu dan selebihnya adalah kembali bekerja, memeras keringat untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri. Tidak ada yang luar biasa dalam pernikahan. Seperti sendawa. Nafas berhenti sejenak kemudian mengalir kembali.

Sejak pagi mereka telah bekerja dan baru separuh lahan yang tertanami. Mereka seperti sengaja menentang panasnya matahari dan menakar kekuatan kulit kakinya. Kaki-kaki mereka yang telanjang terus melangkah.

“Ndalu, aku lelah,” ujar Purwani menyeka keringat di dahinya.
Pandalu menoleh ke belakang dan melihat keringat yang berjatuhan dari dahi istrinya. “Istirahatlah!”

“Tapi, kita belum selesai menaburkan benih ini.”
“Istirahatlah sebentar dan nanti lanjutkan kembali. Biarkan aku nyebloki guludan ini sampai selesai dan kubantu menanam.”

Purwani memberi tanda batas tanah yang telah ditanaminya dengan tonggak jagung yang masih tersisa dari panen sebelumnya. Ia melangkah ke pematang, di bawah rimbun pohon pisang. Didudukkannya tubuhnya yang ramping. Ia memandang suaminya, mengikuti irama langkah kaki dan batang ceblok yang jatuh. Satu dua. Satu dua.

Perempuan muda itu pun membuka kain penutup makanan yang dibawanya dari rumah. “Ndalu, kita makan dulu,” teriaknya.

Pandalu menjawab dengan pandangan yang terus ke bawah, seakan takut jatuhnya kayu di genggaman tangannya tidak tepat di atas kowakan. Sedangkan istrinya telah memasukkan nasi jagung ke dalam mulutnya. Sayur lodeh dan ikan asin terasa nikmat di mulutnya, apalagi angin yang berubah semilir begitu bersentuhan dengan pepohonan pisang.

Beberapa saat kemudian, Pandalu merasa lelah dan menyusul istrinya untuk istirahat. Ia beranjak ke tempat istrinya. Dibiarkan saja istrinya yang bersandar di batang pohon pisang. Ia pandangi wajah manis yang dipujanya sejak setahun lalu. Masa-masa bunga bersemi ketika jatuh cinta telah menjelma keberanian dan membuat mereka harus menjalani kenyataan. Kehidupan suami istri seperti penyerbukan putik dan kembangsari yang dihembus oleh angin. Terkadang hanya sejumput yang didapatkan dan berbuah bogang, namun tidak ada yang berharap seperti itu. Semua petani berharap bahwa tanamannya harus tumbuh dengan subur dan berisi.

Pandalu tidak mau membangunkan istrinya. Ia membuka sendiri kain penutup makanan dan mulai memasukkan nasi jagung itu ke mulutnya. Decak-decak pelan terdengar, mengiringi gerakan bibirnya yang terbuka saat melahap makanan.

Nasi jagung dalam bakul itu pun tinggal separuh. Ia mengakhiri makan dan matanya mencari-cari botol air minum kemasan yang telah diisi dengan air tanakan istrinya. Ia bersedah-sedah merasakan pedas sayur lodeh.

Ia bertanya pada istrinya, “Wan, di mana minumnya.”
Purwani tidak memberikan jawaban. Angin yang berhembus seperti membuatnya semakin menikmati keadaannya. Pandalu coba berdiri dan melengok ke sana kemari, mencari air. Tetapi, air yang dicarinya seakan sengaja sembunyi begitu tahu ia diperlukan.

“Wan, di mana air minumnya,” tanya Pandalu kembali.
Tetapi, tetap saja tidak ada jawaban. Pandalu coba menyentuh tangan istrinya. Lemas. Perempuan yang dicintainya tidak memberikan tanggapan apa pun. Dingin. Pandalu coba menggoyang bahu istrinya dengan tangan kiri, tapi perempuan itu tidak juga membuka matanya. Pandalu semakin gelisah. Ia letakkan piring ke tanah kemudian membersihkan tangannya yang kotor dengan mengusapkan ke batang pohon pisang.

Lelaki berkulit coklat itu menggoyang-goyang tubuh istrinya lebih kuat dengan kedua tangannya. Perempuan itu belum juga bergeming. Benak Pandalu penuh dengan bayangan-bayangan yang menakutkan. Perpisahan sepanajng kehidupan yang akan dijalaninya. Betapa menyakitkan. Putik akan terbang sesuka hati menuruti ke mana arah angin, tanpa keyakinan sebonggol jagung yang ranum setia menunggunya. Pandalu meraba hidung istrinya, mencari udara yang keluar masuk sebagai tanda kehidupan. Aliran udara itu begitu lemah, seperti angin yang terhadang rerimbun dedaunan.

“Wan, bangun!” jerit Pandalu.
Seperti isyarat yang diterimanya begitu saja, ia mendekap tubuh istrinya. Tetes air mata mulai membasahi kelopak matanya dan jatuh ke dada istrinya. Tetesan itu semakin lama kian deras dan tidak terbendung lagi. Tangis yang perlahan berubah menjadi sesenggukan.

“Wan, bangun!”
Entah kepada siapa kata itu ditujukan. Sebujur tubuh yang didekapnya benar-benar tidak menghirup udara. Perempuan yang bersedia setia menjadi istrinya hanya menjadi tubuh yang lemas dan perlahan mulai memucat. Burung kutilang yang berkicau seakan telah menyanyikan lagu duka.

“Wani, mengapa kamu tinggalkan aku sendirian.”
Gairah yang semula penuh gelisah dan cemas telah berubah menjadi ratapan. Ia hendak mengutuk waktu yang tidak mau bersekutu dengannya untuk menikmati kebahagiaan. Seperti masih tidak percaya, ia memandang wajah istrinya. Bibir coklat tua itu tersenyum dan mengenangkan kalimat yang pernah dikatakannya saat mereka berjanji untuk mengikat kasih cinta.

“Wani, kamu harus berjanji untuk tidak menangis. Walau seberat apa pun cobaan yang akan menghadang kita, kita harus tersenyum.”

Dan perempuan yang berada di dekapannya itu yang memberikan jawaban, “Ya, kamu juga tidak boleh meneteskan air mata atas apa pun yang menimpa kita.”

Saat kembang cinta bersemi tentu jauh dari musim gugur. Ia mencubit pipi istrinya dan berkata, “Tidak! Aku tidak akan menangis, karena yang kupuja telah kutanam dalam hatiku.”

Kemudian mereka tertawa bersama.
Pandalu tersenyum getir. Betapa pahit rasanya menahan air mata dari dada yang bergemuruh. “Aku tidak akan menangis, Wani.”

Ladang-ladang senyap tanpa manusia. Panas matahari telah menyuruh petani-petani tua yang mudah lelah agar segera pulang. Petani-petani muda hanyalah nama yang tidak dapat membuat seseorang bangga kepada temannya. Lagipula, tanah-tanah sudah tidak berharga dan mendapatkan air mesti bersusah payah dengan biaya yang tidak sedikit, sementara panen bukan harapan yang menyenangkan. Hanya keyakinan bahwa alam pun tidak sudi hanya sekedar sebagai tempat berpijak bagi cakar-cakar beton, yang membuat Pandalu dan Purwani mempertaruhkan hidupnya. Hanya kekuatan cinta yang mengajari mereka cara menanam dengan indah, seperti pula tanaman yang mengajari mereka cinta yang tulus.

Pandalu membujurkan tubuh istrinya. Disedekapkannya kedua belah tangan. Matanya terjenak pada butir-butir kecil warna merah di sela jari tangan kanan istrinya. Ia menatap tidak percaya dengan mendekatkan tangan itu lekat ke depan matanya. Nafasnya begitu berat ditarik dan dihembuskan. Setets air matanya jatuh dan selagi masih mengalir di pipinya segera diseka dengan bahunya yang hitam kekar.

“Mengapa kamu tidak mencuci tanganmu, Wan?” bisik lirih Pandalu. “Benarkah perutmu sudah sangat lapar, sehingga kamu lupa racun itu akan membunuhmu perlahan-lahan?”

Ia seperti berbicara pada angin dan tak pernah ada jawaban. Ia menyesal, mengapa tidak menyuruh istrinya untuk mencuci tangan, karena fungisida yang ditaburkan pada benih jagung bukan hanya untuk membunuh tikus, namun juga makhluk hidup. Perlahan-lahan sekali.

Sekali lagi tidak boleh ada air mata yang menetes, sepahit apa pun kenyataan yang harus dijalani.

Pandalu menyedekapkan tangan istrinya dan menutupinya dengan sarung. Tubuh itu telah bersentuhan erat dengan tanah dan ia di ambang bimbang antara menunggu hingga seseorang datang dan memberitahukan kematian istrinya ke rumah atau pulang dan membiarkan tubuh istrinya dirayapi oleh semut-semut.

“Aku akan setia di sini sampai senja sekalipun, sebab aku percaya petani pun setia mengunjungi ladangnya di waktu senja.”

Ia duduk di samping istrinya, tepat di sebelah kanan kepalanya. Doa-doa dilantunkan. Mohon ampun dipanjatkan. Segala khilaf kiranya lumrah. Manusia tidak lebih sehelai rambut yang kerap goyah dihembus angin.

Sekali lagi tidak boleh ada air mata yang menetes, sepahit apa pun kenyataan yang harus dijalani. Apalah doa bila hanya ratapan.

Pandalu bergegas meninggalkan istrinya kemudian mengambil wadah benih dan melanjutkan sampai di mana istrinya tadi menanam. Batinnya terbentang lapang seluas padang Kurusetra, medan pertempuran Pandawa dan Kurawa. Dia bukan Pandawa atau Kurawa. Dia adalah Kurusetra yang tidak hendak berpihak kepada yang kalah dan menang. Dia hanyalah saksi.

Sebelum genap ia menjatuhkan jagung di atas ceblokan yang dibuatnya, Pandalu menumpahkan bulir benih di wadah dan menimbunnya di dalam tanah. Kemudian ia pergi ke arah istrinya.

“Wani, aku sudah membuang benih beracun itu. Kalau nanti benih yang kamu tanam telah tumbuh, maafkan aku bila harus membabatnya. Bukan karena aku tidak ingin kenangan darimu, tetapi aku tidak mau kematianmu akan disusul oleh kematian-kematian yang lain.”

Pandalu mengangkat tubuh istrinya dan membawanya pulang.
Sekali lagi tidak boleh ada air mata yang menetes, sepahit apa pun kenyataan yang harus dijalani.

Kediri, 29 Agustus 2005.

• Ceblok adalah batang kayu yang ujungnya dilancipi dan berfungsi untuk membuat lubang di dalam tanah sebagai tempat taburan benih. Sementara ceblokan adalah lubang yang dihasilkan oleh ceblok.
• Guludan merupakan gundukan tanah di tengah ladang sebagai tempat kowakan, cerungan di atas guludan yang biasanya sebesar cangkul.
Haris Del Hakim, penulis novel dan cerpen.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito