Minggu, 28 Desember 2008

SINOPSIS FILM Denias; Senandung Di Atas Awan

Imamuddin SA

Film ini mengisahkan sebuah perjalanan hidup seorang anak kecil dalam menggapai cita-cita dan impiannya. Usia anak itu adalah usia anak Sekolah Dasar. Kira-kira sembilan sampai dua belas tahunan. Ia hidup dalam lingkungan masyarakat suku Boneo. Tepatnya di daerah Papua, Irian Jaya.

Nama anak itu adalah Denias. Ia tergolong seorang anak dari keluarga miskin. Meskipun demikian, ia memiliki cita-cita dan impian yang tinggi, yaitu bersekolah. Di daerahnya tida ada lembaga sekolah secara resmi dan layak dijadikan sarana belajar dan pembelajaran. Selama itu, ia dan anak-anak kampung yang lain bersekolah di sebuah Honei. Yaitu sebuah bangunan rumah yang saat itu dijadikan tempat belajar darurat yang kondisinya sangat memprihatinkan.

Denias merupakan seorang anak yang pandai, cekatan, berbakti kepada orang tua, serta berobsesi tinggi. Di sekolah dan di lingkungan bermain, ia memiliki seorang teman yang selalu mencuranginya dan berbuat tidak baik kepadanya. Dia adalah Noel. Suatu ketika, saat di sekolah,mereka sempat berkelahi. Hal itu disebabkan oleh Noel yang bersikap curang dan culas saat bermain.

Sebagai anak orang yang miskin, Denias berani melawan siapapun demi kebenaran, tak perduli dengan siapa ia berhadapan. Hal itu ia tunjukan kepada Noel yang notabenenya adalah anak seorang Kepala Suku yang bermartabat tinggi dan diyakini memiliki kekuatan supranatural di kampungnya.

Pada mulannya Denias dan teman-temannya di Honei tersebut diajar oleh seorang guru yang berasal dari Jawa. Ia terlihat cerdas dibanding dengan teman-temannya yang lain. Ia rajin dalam bersekolah. Bersekolahnya Denias itu tidak cukup lama. Karena Istru guru tersebut sakit keras di Jawa, ia akhirnya pulang ke Jawa. Honei itupun sekarang sepi. Sesepi hati Denias. Tidak ada yang bersekolah lagi.

Denias bingung. Harus kemana lagi ia akan bersekolah. Ia kemudian menemui seorang tentara RI yang bernama Pak Leo. Itu panggilan yang dilakukan oleh Denias kepada tentara itu. Sebenarnya namanya bukan Pak Leo. Yang benar adalah Maleo. Yaitu suatu nama untuk satu korps pasukan khusus TNI yang di tugaskan di kepulauan Irian Jaya. Pasukan itu terdiri dari cukup banyak orang. Namun yang di tugaskan di daerah Denias hanya satu orang itu saja. Denis kemudian mencurahkan isi hatinya yang merasa kalut sebab tidak dapat bersekolah lagi. Mendengar keluhan tersebut, Pak Leo pun hatinya tersentuh. Ia kemudian memutuskan diri untuk mengajar Denias dan teman-temannya di Honei itu.

Denias memang anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Hal itu dilakukannya sehari-hari. Suatu ketika ibunya terjatuh sebab kondisi kesehatannya yang kurang membaik. Melihat hal itu, Denias langsung sigap menghampirinya dan menolongnya. Ia berteriak histeris. Kebaktiannya terlihat sangat mendalam saat ia berkenan merawat ibunya. Dengan tulus dan ikhlas ia merawatnya.

Beberapa saat kemudian ibunya pun tertidur. Saat itu Denias tiba-tiba dipanggil oleh beberapa orang temannya. Yang namannya pasti pernah melakukan kesalahan dan keteledoran. Apalagi seorang anak kecil seusia Denias. Denias dipanggil dan rencanannya diajak berburu ke hutan. Ia dipaksa ikut oleh teman-temannya. Ia bingung. Ia berada dalam sebuah dilema antara merawat ibunya dengan paksaan teman-temannya.

Melihat ibunya yang sedang tidur pulas, rasa solidaritasnya muncul. Ia kemudian bersedia berburu ke hutan bersama teman-temannya. Namun sungguh naas, ia lupa bahwa sebelum berangkat berburu, ia menggantungkan bajunya di atas perapian dekat ibunya yang sedang tidur pulas. Baju tersebut kemudian terjatuh ke perapian. Api yang tadinya kecil kini menjadi besar oleh baju itu. ibunya tidak menyadari hal itu sebab sedang tidur. Kobaran api itu semakin membesar dan membakar rumah begitu juga ibunya. Denias melihat dari kejauhan ada rumah yang terbakar. Ia memastikan bahwa arah rumah tersebut adalah rumahnya. Ia lalu berlari dari hutan untuk pulang. Sesampainya di rumah, ia dikejutkan oleh kondisi fisik ibunya. Ibunya meninggal sebab terbakar api. Tubuhnya hangus. Derai air mata tak sanggup tertahan. Ia mengalami sok berat selama beberapa hari. Ia hanya bisa bermurung durja, meski ayahnya kerap menasehati dan memotivasinya. Pak Leo pun juga menasehatinya dan memberi semangat hidup yang baru kepada Denias. Akhirnya ia pun dapat menikmati hari-harinya dengan ceria lagi. Dan bersekolah lagi.

Denias kembali belajar bersama-sama dengan temannya. Ia bersemangat. Tapi semangatnya itu tidak didukung oleh orang tuanya. Ia kerap dilarang untuk bersekolah. Ia disuruh membantu bapaknya di rumah. Dalam kondisi semacam itu, semangatnya tidak kunjung padam. Ia bersekolah dengan sembunyi-sembunyi dari bapaknya.

Tidak lama kemudian, honei itu roboh dan hancur oleh gempa bumi. Denias dan teman-temannya tidak punya tempat sekolah lagi. Pak Leo lalu berinisiatif untuk membangun tempat sekolah yang sangat sederhana. Yang penting dapat dijadikan tempat belajar dan pembelajaran.

Pembangunan tempat itu ternyata mendapat hujatan dari beberapa warga dan kepala suku. Tempat itu dilarang berdiri di sana. Tidak lama dari kejadian itu, Pak Leo pun dipindahtugaskan dari kampung enias. Kini Denias kembali dirundung duka sebab tidak dapat belajar dan bersekolah lagi.

Dalam kondisi semacam itu, Denias terobsesi oleh kata-kata Pak Leo bahwa di balik gunung ada tempat sekolah. Tepatnya di kota. Denias hatinya merasa terpanggil. Ia kemudian memutuskan diri untuk meningalkan kampung halamannya dan juga orang tuanya. Ia pergi dengan sembunyi-sembunyi. Ia melewati gunung dan lembah untuk sampai ke kota. Ia berlari kencang untuk segera sampai di kota. Sungguh jauh tempat yang ditempuh Denias, namun tidak menyurutkan api semangatnya untuk bersekolah.

Sesampainya di kota, mendapat seorang teman yang bernama Enos. Ia adalah gelandangan. Untuk sementara waktu, Denias tinggal bersama Enos di pingguran jalan. Ia kemudian pergi kesekolah yang dimaksud. Di sana ia bertemu dengan Bu Sam. Seorang wanita cantik dan berbudi luhur. Bu Sam meanyakan tujuan Denias datang ke sekolah itu. setelah panjang lebar dijelaskan, Bu Sam pun tahu maksid dan tujuan Denias ke tempat itu. yaitu tidak lain untuk bersekolah.

Bu Sam dalam dilema. Berdasarkan aturan sekolah yang ada, Denias tidak dapat masuk di sekolah tersebut. Hal itu disebabkan Denias tidak punya cukup uang untuk biaya sekolah. Lebih dari itu, Denias tidak memiliki buku raport.

Bu Sam berusaha keras untuk bisa memasukkan Denias ke sekolah tersebut. Ia mensosialisasikannya kepada semua guru dan pengurus sekolah. Dan untuk sementara waktu, Denias tinggal di rumah Bu Sam. Namun tidak lama. Ia kemudian tinggal di asrama sekolah.

Bu Sam berjanji kepada Denias bahwa ia akan dapat masuk di sekolah itu. Selama berada di lingkungan sekolah, denias bertemu dengan seorang anak gadis yang berama Angel. Ia baik hati. Ia berteman akrab dengan Denias. Hal itu menyebabkan hati Noel sakit. Dan saat itulah Denias tahu bahwa Noel juga sekolah di tempat itu.

Denias mendapat syarat dari Bu Sam, bahwa jika ia ingin diterima bersekolah di tempat itu, ia tidak boleh nakal dan membuat ulah. Meski ia mendapat perlakuan kurang baik dari teman-temannya, ia harus dapat menahan emosinya. Ia harus mengalah jika ingin diterima.

Saat inilah perjuangan keras Denias diuji. Di sekolah dan di asramah itu, ia masih tetap sama seperti di kampungnya. Ia masih mendapat perlakukan yang tidak baik dan culas dari Noel. Kini ia harus sabar dan tidak menanggapi segala perlakuan Noel. Ia bahkan sempat dihajar habis-habisan oleh Noel dan teman-temannya tanpa ada alasan yang jelas. Demi bisa diterima sekolah di tempat itu, ia rela dipukuli dan tidak membalasnya. Bukanya dia tidak berani dengan Noel dan teman-temannya. Demi impian dan cita-citanya, ia harus besabar.

Saat di asrama, Noel juga bersikap sama. Ia bahkan lebih kejam. Ia membuat peraturan sendiri untuk tidak memperkenankan teman-temannya memberi tempat tidur pada Denias. Tempat tidur yang semestinya diperuntukkan Denias ia ambil alih. Sedangkan tempat tidurnya dibiarkan kosong. Denias dalam setiap malamnya selalu tidur di lantai tanpa alas suatu apapun. Dengan kondisi seperti itu, denias akhirnya jatuh sakit. Tapi tidak lama kemudian dia sembuh.

Di sekolah itu Denias masih belum diterima sebagai murid. Ia di sana difungsikan sebagai pelayan kantin. Melayani seluruh siswa yang sedang makan dan berjajan di sana. Suatu ketika, saat jam istirahat dan makan, denias mengantarkan hidangan kepada siswa-siswa tersebut. Denias dalam menjalankan tugasnya kembali mendapat perlakuan yang kurang baik dari Noel. Denias dijatuhkan oleh Noel, denias tidak menghiraukannya, tapi Noel malah mengajaknya berkelahi. Denias maunya dipukul oleh Noel, tapi kali ini ia sedikit membela diri. Piring yang masih ada di genggaman tangannya, ia jadikan alat untuk menangkis pukulan Noel. Tangan Noel pun patah dan berdarah sebab menghantam piring.

Denias merasa bersalah. Dalam hatinya, terbersit rasa salah yang begitu besar. Ia beranggapan bahwa telah melanggar nasehat Bu Sam. Dan ia pasti tidak akan diterima bersekolah di tempat itu. ia kemudian berlari kencang keluar. Entah kemana ia pergi. Sungguh jauh ia berlari.

Bu Sam mencarinya kesana-kemari, namun tidak kunjung menemukannya. Denias pada saat itu berencana untuk kembali ke kampung halamannya. Ia putus asa. Ia merasa bahwa impian dan cita-citanya untuk bersekolah kini telah pupus oleh satu kesalahan yang dilakukannya, yaitu dengan melukai Noel.

Denias adalah anak yang berbudi baik. Ia tidak lupa dengan orang yang menolongnya. Dalam kepedihan hati dan keputusasaannya, ia masih menyempatkan diri berpamitan kepada Bu Sam. Ia berpamit untuk pulang ke kampung halamannya. Saat itulah, Denias mendapat kabar gembira dari Bu Sam, bahwa ia diterima bersekolah di tempat itu. Hati Denias berbunga-bunga. Impian dan cita-citanya kini tercapai juga. Ia pun mengurungkan niatnya untuk pulang ke kampung halamannya. Ia bersekolah dan mulai mengukir masa depannya. Denias menari di atas awan.

Jumat, 26 Desember 2008

Kembang Sepatu di Antara Sepatu

A Rodhi Murtadho
http://rodhi-murtadho.blogspot.com/

Sepatu berbau busuk. Kembang sepatu berwarna merah. Pemandangan yang selalu ada di setiap hari Minggu. Di antara teriknya sinar matahari dan angin yang terus mengalir pada kesunyian yang membawa bau busuk sepatu. Tentu saja bau itu menjalar ke mana-mana. Yang pasti ke rumahku. Sebagai tetangga yang berdempetan. Bahkan halamannya juga hampir menjadi satu. Aku yakin tetangga yang berada di seberang sana dalam radius seratus meter masih bisa merasakan kebusukan sepatu itu.

“Mas, jangan kau buka pintu dan jendela, aku takut bau busuk sepatu itu akan menjalari rumah kita,” pintaku pada suamiku.

“Tapi udara segar tidak akan masuk, Dik,” kata Harjo, suamiku yang berperawakan kalem dan sangat sabar.

“Itu lebih baik daripada seluruh isi rumah ini akan menjadi sesak dan busuk.”

Kami sebenarnya tidak tahan. Lebih tepatnya, aku sangat tidak tahan. Bagaimana mungkin Kumajas, tetanggaku itu, tahan dengan bau busuk yang menyengat seperti itu. Pintu dan jendela rumahnya terbuka. Sepatu yang dijemur di atas pohon kembang sepatu berada tepat di depan rumahnya.

Kumajas memang seorang pengusaha sukses. Rumah dibeli sendiri dari hasil kerjanya. Bahkan mobilnya sampai tiga. Dia masih lajang dalam usianya yang hampir 30 tahun. Ketampanannya membuat greget para istri yang berada di perumahan Griya Cemara ini. Namun itu hanya berlangsung seminggu sejak kedatangannya. Sejak dia menjemur sepatu di halaman rumahnya, jangankan para istri, semua tetangga menjauhinya.

Hari sabtu, pekan terakhir bulan ketiga sejak kedatangannya, kulihat mobil Kumajas pulang pagi, sekitar pukul 10.00 WIB, tak seperti biasanya. Atau dia sakit. Tapi apa yang kulihat sungguh menyesakkan dada. Dia berjalan ke halaman rumahnya sambil menenteng sepatu. Menjemurnya. Kulihat rumah tetangga yang lain langsung tertutup rapat baik jendela, pintu, maupun seluruh lubang udara.

Aku sudah tidak tahan lagi. Biasanya dia menjemur sepatu busuknya hanya pada hari Minggu. Dan biasanya suamiku, Mas Harjo, selalu menghiburku meskipun aku tahu Mas Harjo juga sangat marah. Sebagai seorang istri, hari Minggu biasanya kugunakan waktu untuk menservis suami menjadi terganggu dengan ulah Kumajas menjemur sepatu busuknya.

“Mas, Mas Kumajas …” kuketok rumahnya, kupanggil sangat keras dan tentu saja sambil menutup hidungku.

Suara langkah dari dalam mendekati pintu. Tak begitu tergesa dan terdengar santai.

“Ya, saya sendiri, ada apa Bu Harjo?” kata Kumajas yang kemudian tersenyum manis.

“Ada apa, ada apa! Sepatu Mas itu lho. Bau! Biasanya hanya hari Minggu menjemurnya. Sekarang masih hari Sabtu kok sudah dijemur!”

“Oh, mungkin hanya perasaan Ibu saja. Sepatu itu tidak bau kok. Kebetulan sekarang ada waktu, jadi saya menjemurnya. Tidak usah menunggu besok.”

Aku semakin kesal dengan perkataan dan sikapnya yang merasa tak punya salah dan dosa atas perbuatannya.

“Kalau Mas mau bukti. Itu lihat! semua tetangga menutup pintu dan jendelanya agar tidak mati sesak napas karena mencium bau busuk sepatu Mas.”

“Saya yakinkan kalau sepatu saya tidak bau, Bu. Oke! Ibu silahkan duduk dulu. Saya ambil sepatunya.”

Aku duduk di ruang tamu sementara Kumajas berlari mengambil sepatu yang dijemurnya. Dia menenteng sepatu tanpa menutup hidung. Sempat terlintas di pikiran, kalau di dalam rumahnya, aku tidak mencium bau busuk sepatu itu. Padahal di rumahku dan rumah tetangga yang lain baunya sungguh menyengat. Aku tidak lagi menutup hidung. Mungkin lupa: terpesona dengan suasana dan harum ruangan rumah Kumajas.

“Ini Bu, kalau kurang percaya. Kalau bau tentu Ibu akan menutup hidung,” kata kumajas sambil menunjukkan dan mendekatkan sepatunya.

Aku merasakan keanehan dan langsung berlagak untuk menutup hidung. Namun perlahan kubuka karena memang sepatu itu tidak bau seperti yang selama ini tercium dari rumahku dan dari rumah-rumah tetangga yang lain. Aku malu. Menundukkan muka dan entah panas dari mana. Wajahku terasa sangat panas dan memerah.

“Bu, Bu Harjo, ada apa Bu? Wajah Ibu kok merah. Apa sepatu ini bau?”

Aku melihat sepatu yang sama yang pernah kuberikan pada Kumajas. Sepatu yang kutulisi namaku di bagian alasnya, ANA, yang kurencanakan sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-27. Namun menjadi sepatu tanda perpisahan kami.

“Ehm ..e .. tidak,” pelan aku menjawab.

Aku langsung mengingsutkan badan. Berlari menuju pintu tapi tanganku terasa tersangkut. Kulihat tangan Kumajas sudah erat memegang tanganku.

Kerinduan yang sudah lama menghilang, kembali lagi. Kumajas, mantan tunanganku, yang pernah kupuja beberapa tahun lalu harus kutinggalkan. Lebih tepatnya tiga tahun lalu sebelum pernikahanku dengan Harjo. Kumajas yang diam-diam mempunyai perempuan pujaan lain selain aku. Satu hal yang tak pernah kumengerti. Padahal kami telah merencanakan pernikahan setelah ulang tahunnya yang ke-27. Sebagai seorang perempuan, aku merasa sangat tidak dihargai. Tanpa pikir panjang, aku memutuskan pertunangan dengannya.

“Kau tahu, aku sangat merindukanmu, An?” didekapnya aku erat-erat dalam tubuh bidangnya.

Entah mengapa aku tak kuasa melepas dekapannya. Malah tanganku pun melingkar di tubuhnya. Erat. Kegairahan pun mulai muncul. Biarpun aku melakukannya dengan Mas Harjo tiga kali seminggu. Namun aku tak bisa membendung gairah yang muncul ini.

Sepi di luar, sepi menelan-mendesak. Lurus kaku pohonan. Tak bergerak. Sampai ke puncak.

“An, kita lakukan seperti dulu. Seperti biasanya,” kata Kumajas pelan.

“Mulutmu mencubit di mulutku,” kata kami bersamaan mengalir pelan.

Kami pun lunglai di bawah bimbingan birahi. Di samping sepatu. Kerinduan demi kerinduan terus terobati dalam dekapan dan cumbuan. Cucuran keringat pun tak sengaja menetes ke dalam sepatu. Panas nafas kami menghembus cepat di atasnya. Di atas sepatu Kumajas. Berguling ke sana kemari juga di atas sepatu Kumajas.

Sore hari, seperti biasa, para istri yang sedang menunggu suaminya pulang bergerombol ngobrol tak karuan.

“Bu, besok Kumajas akan menjemur sepatu atau tidak?” tanya Bu Agus kepada para istri, membuka obrolan.

“Paling, tidak. Soalnya aku tadi sudah merasakan kebusukan sepatunya,” ungkap Bu Tommy.

“Mudah-mudahan saja tidak. Kalau menjemur lagi, wah bisa mati sesak kita,” Bu Andrew berkata sambil mengibas-ngibaskan tangan di depan mukanya.

“Tapi kulihat Ibu Harjo tadi melabrak Kumajas, ya. Kulihat Kumajas langsung mengambil sepatunya,” Bu Tommy tersenyum memandangku.

Celaka, ibu-ibu ini tahu kalau aku mendatangi Kumajas dan jangan-jangan mereka juga melihat apa saja yang kulakukan bersama Kumajas.

“Iya, Bu. Aku kan tetangganya yang paling dekat, jadi baunya membuat pusing kepala. Mau pecah rasanya,” kataku mengiyakan untuk menghindari tudingan yang macam-macam dari para istri ini.

“Iya lha, kok ada sepatu yang baunya seperti itu,” kata Bu Agus menambahkan.

“Kalau ada pepatah, rumput tetangga lebih hijau dari rumput di halaman rumah kita enaknya diganti saja menjadi bau tetangga lebih busuk dari bau kita,” kata Ibu Tommy melengkapi.

“Atau lebih tepatnya, sepatu busuk tetangga lebih busuk dari tai kita,” kata Ibu Agus menambahkan yang kemudian disambut dengan tawa para istri.

“Bagaimana kalau kita labrak sama-sama. Gabungan para istri. Percuma dong kalau dulu kita diperjuangkan Kartini sementara sekarang hanya bisa tinggal diam. Mangku tangan. Menerima bau busuk sepatu Kumajas sialan itu,” kata Bu Andrew memprovokatori.

“Maaf, Bu. Mas Harjo sudah datang. Saya permisi dulu,” kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah untuk menyambut suamiku.

Lega rasanya kalau aku bisa cepat-cepat meninggalkan tempat ngobrol para istri. Karena aku sendiri yakin kelihaian mereka bisa membuatku terjebak. Mengatakan apa saja yang terjadi di rumah Kumajas ketika aku mendatanginya.

Seperti biasa kusambut Mas Harjo dengan hangat. Kulayani seperti biasa agar tidak timbul curiga. Kusiapkan air hangat untuk mandi. Makan malam sampai jadwal malam minggu yang kami buat. Melakukan hubungan intim suami istri.

Pagi yang masih rabun namun suara tetangga sudah memenuhi suasana. Aku mulai terbangun dengan malas. Begitu juga Mas Harjo yang juga ikut terbangun. Kuintip dari jendela. Para tetangga bercengkrama di halaman rumah masing-masing. Keanehan apa yang terjadi? Mungkin obrolan kemarin sore membuat kami beranggapan bahwa Kumajas tidak akan menjemur sepatunya.

Kualihkan pandanganku ke halaman Kumajas. Tak kusangka, sepatu Kumajas sudah berada di sana. Namun ada yang aneh diantara sepatu itu. Ada sebuah kembang sepatu yang mekar.

Dekapan Mas Harjo dari belakang membuatku kaget. Kurasakan kasih sayang suamiku yang begitu dalam. Pagi hari yang tak berbau meski Kumajas menjemur sepatu. Para tetangga pun melakukan aktivitas selayaknya sebelum Kumajas datang ke perumahan ini.

“Dik, masih pagi,” pelukan dan bisikan Mas Harjo membuat kami kembali ke ranjang dan mengulang kejadian semalam.

Hari mulai siang. Kulihat jendela dan pintu tetangga terbuka semua. Hanya rumahku yang belum terbuka. Aku mendekati pintu dan membukanya.

“Bu, Harjo. Benar kan Kumajas tidak menjemur sepatunya. Bau harum langsung tercium sekarang. Memang sebenarnya lingkungan kita ini bersih dan harum,” kata Bu Agus, yang rumahnya berada di samping kiri rumahku.

Kualihkan pandangan ke halaman Kumajas. Kulihat kembang sepatu yang sudah mekar dari pagi tadi. Kembang sepatu itu semakin mekar. Namun kulihat juga tetap sama. Sepatu Kumajas yang biasanya bau dijemur di sana. Sepatu yang membuat sesak pernapasan hampir satu perumahan. Tapi mengapa sepatu itu kini tidak dirasa bau olehku dan tetangga yang lain? Apakah kembang sepatu itu yang membuatnya tidak bau? Aku pun mulai berpikir kalau sepatu Kumajas memang tidak bau. Mana mungkin ada kembang sepatu yang begitu indah mau mekar di antara sepatu yang busuk.

Surabaya, 24 Maret 2006

Cinta dan Rasa Kemanusiaan

Judul Buku : Rumah Cinta
Penulis : Mustofa W Hasyim
Penerbit : Arti Bumi Intaran, Yogyakarta
Edisi : I, Mei 2008
Tebal : xi + 263 halaman
Peresensi: MG. Sungatno *
Media Indonesia, 21 Juni 2008
cawanaksara.blogspot.com

Absurditas di Sangkar RUU Pornografi

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

Bagi UU Pornografi ada semacam manifesto bahwa pornografi adalah buku, syair lagu, puisi, gambar, film, foto. Bahwa pornografi adalah saat pikiran hati dan perasaan meloncat dari ruang pasung. Bahkan biang pornografi dan pornoaksi adalah tubuh perempuan di depan mata jalang penguasa laki-laki.

Bersiaplah bagi kita, pengarang untuk menggali “kuburan” sendiri! Lebih dari itu, nikmati kepedihan menyaksikan karya-karya terbaik terancam bakal menemui ajal karena dibakar di tungku api!

Pesan ini bukan cuma isapan jempol, karena Rancangan Undang-Undang Tentang Pornografi lolos diundangkan sejak dua pekan lalu. Bukan berlebihan bila keadaan luar biasa mengerikan ini, sebanding dengan saat gaya absurditas novel dan drama berjaya di Perancis berkat pemantik tragedi perang dunia kedua. Mungkin engkau telah tahu. Barangkali pula kamu sedikit tahu.

Saat itu filsuf Jean Paul Sartre melempar konsepsi filsafat eksistensialis yang gemilang, kendati justru dalam lapangan sastra ia tak sebaik penganut-penganutnya: Albert Camus, Samuel Beckett, Eugene Ionesco, Friedrich Nietzsche. Mereka melalui karya-karyanya adalah manusia yang menyerupai nabi yang berjuang membebaskan umat dari gurita zaman modern.

Mereka sastrawan yang mengkritik puncak-puncak nalar yang diboncengi cemburu, ambisi, serakah, dan berbuah sikap metafisik atau sikap jiwa, yang nampaknya samar tetapi jelas, jauh tetapi dekat. Suatu sikap yang dalam pandangan mereka sebetulnya sama sekali sia-sia, tapi perlu meski tak harus berarti penting. Bahkan hingga paling tersia (pesimis maupun optimis). Bagi mereka yang penting adalah hidup “indah” menyongsong kematian.

Kehidupan rutin dan mekanis, kebosanan, keterasingan, kecemasan, dari banyak segi inhuman di dalam diri manusia, tergambar jelas dalam sederet karya, Caligula, Sampar (Camus), The Waiting for Godot, Endgame (Beckett), Zarathustra (Nietzsche) dan masih bisa ditambah deretan karya yang boleh dibilang kitabnya nabi senjakala modern.

Absurditas adalah gaya hidup untuk “menghibur diri dan bermain dalam tingkat keseriusan ludic,” dalam kurungan hukum mitos sisiphus mendorong batu besar ke atas bukit sebelum akhirnya menggelinding lagi ke bawah lembah. Atau sang Dajjal yang menggergaji besi api neraka, tapi suara adzan mengutuhkannya lagi dari gigitan gigi gergaji. Kaum penganut absurditas percaya tragedi besar manusia adalah sadar dirinya sia-sia. Kesadaran menggerakkan eksistensinya, sebergairah jabang bayi sejak saat kali pertama menyusuri bukit payudara ibu.

Lantas, adakah di masa kini tragedi lebih besar tengah terjadi, setelah setengah abad lebih absurditas hidup dengan nafas senin-kemis? Jawabnya ada, bahkan luar biasa banyak jumlahnya. Di negeri yang tanggung menyebut modern ini, bahkan bukan mustahil bakal mengalami tragedi yang luar biasa dahsyat bagi kemanusiaan zaman pascamodern, post kolonial, atau posttradisi.Yaitu, bila UU Pornografi diberlakukan. Yaitu tragedi yang terbesar dialami hamba-hamba kebudayaan, seniman, penyair, pengarang, penari dan perawat tradisi-tradisi adiluhung. Karena tidak hanya tubuhnya yang terancam tapi juga kebebasannya, karyanya. Mereka dalam kondisi ketakutan yang mencekam tapi spirit hidupnya menggeram.

Musti diakui, karya seni, juga sastra, novel, puisi, drama, tari yang menakjubkan keindahannya tak harus ada seks, bahkan sonder seksualitas. Akan tetapi hampir bisa dipastikan, setiap karya besar yang berbobot bagi kemanusiaan senantiasa mengandung erotisme (bukan seksualitas), semacam kegairahan pada cinta dan hidup, saling mengutuhkan, saling memasuki ruh makluk hidup yang “terhalang” batasan tubuh.

Namun, UU Pornografi telah terang-terangan mengamputasi bagian “tubuh” seniman dari keutuhannya, kebebasannya, kegairahannya untuk mengutuhkan diri dalam karya seni. UU Pornografi akan memproduksi orang-orang menjadi kerdil dan cacat “tubuh” dan jiwa. Bagi mereka yang melawan atas dasar spirit neo-absurditas sudah pasti akan ditebas, dijebloskan tahanan dan karya-karya mereka diberangus.

Erotisme bisa hadir dimana saja, di setiap karya seni yang mengekplorasi keindahan. Gairah Api Cinta! Birahikan Dunia! Lalu siapa yang tiba-tiba berani dengan traktat UU Pornografi menjadi hakim bahwa setiap yang erotisme adalah pornografi atau pornoaksi. Bagi anda penyair yang menulis sajak cinta, atau pengarang yang terlalu bergairah ngotot tak sudi menyiapkan kuburan sendiri, terang bakal ditimbun tanpa ampun.

Cermati, pasal krusial ini: Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat (pasal 1 ayat 1).

Artinya, tidak ada yang bisa dilakukan seniman terhadap erotisme dan tentu saja tubuh dalam karya terbaik mereka. Sebuah kemustahilan manakala wilayah penafsiran, otak, hati perasaan, juga imajinasi, persepsi, intuisi, interpretasi dipagari kawat berduri. Lalu bahasa apa yang lebih santun selain Yang Terpasung? Apalagi, bagi UU Pornografi ada semacam manifesto bahwa pornografi adalah buku, syair lagu, puisi, gambar, film, foto. Bahwa pornografi adalah saat pikiran hati dan perasaan meloncat dari ruang pasung. Bahkan biang pornografi dan pornoaksi adalah tubuh perempuan di depan mata jalang penguasa laki-laki.

Dengan kata lain, ini adalah kebiadaban. Dalam bahasa Einstein mungkin lebih santun, “Tidak ada kebodohan paling konyol selain mengulang-ulang kesalahan yang serupa.” Pemasungan imajinasi, interpretasi, persepsi, intuisi, juga pembakaran buku, pembabatan seniman telah terjadi sejak zaman bahuela. Di sini tak lama lagi masih akan terjadi. Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan (pasal 28 ayat 1)

Ada kalanya, terbayang dalam keadaan suram bukan mustahil muncul karya-karya seni magnumopus, masterpeace. Namun rupanya sekalipun ada neo-absurditas sangat sulit hal itu lahir di bawah cekam kerangkeng UU Pornografi. Absurditas akan sangat sulit dimaknai, disemangati lagi karena kesia-siaan hidup itu justru ada di tangan algojo “tuhan“ bernama polisi dan undang-undang. Bukan malaikat pencabut nyawa Izroil atas perintah Tuhan. Sebuah kesia-siaan yang berlipat ganda dari keadaan sebenarnya (manusia menjarah wewenang Tuhan). Pilihannya hanya ada dua “bunuh diri“ atau “dibunuh“. Atau barangkali bukan diantara keduanya?

Kalau pun ada diantara keduanya, kiranya hanyalah cinta pada hidup. Semacam “kecintaan” pada diri. Sepanjang yakin akan kodratnya, takdirnya, duduk perkaranya, perannya, misterinya, perkembangan kembara alam pikirannya, bacaan mutakhirnya, lalu hantu teror semisal UU Pornografi tadi. Cintalah, yang sanggup menggerakkan kepengarangan sepanjang masa dalam kondisi apapun.

Menjadi pengarang, adalah suatu upaya menjaga diri agar tak kehilangan hak milik sebagai manusia. Semacam cinta yang sesungguhnya, cinta yang berpuasa, cinta yang menahan diri agar terhindar dari kesepian, kecemasan, apalagi kehilangan. Cinta yang tidak takut pada jarak, waktu dan tentu saja ruang. Cinta yang bisa mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia, sampai dasar relung yang terdalam manusia. Cinta yang sulit diterjemahkan, disingkapkan dengan kata-kata karena kata tak sanggup menampung kandungan isinya.

Pengarang adalah seorang yang membabtiskan kata itu seperti manusia, juga seperti partikel, seperti gelombang abstrak. Sebab itu meskipun ia tahu begitu banyak, jutaan kata-kata, miliaran buku-buku, seperti juga manusia ia tahu bagaimana harus hidup, menyela dan menyusun pikiran besar. Ia pun tahu, perlu kerendahatian untuk berjanji—betapa pengarang tak akan tinggal diam saat menjumpai kenyataan seperti sekarang: Kata sudah demikian kejam menghabisi manusia. Akibatnya, kematian terjadi dimana-mana. Kecuali bagi siapa saja yang berani, bersih dan jujur.

Jadi satu-satunya amanah pengarang terletak pada kemuliaan dan kewajibannya untuk mengingatkan bahwa menghidupkan kata pada karya itu, sama halnya kreasi Tuhan meniupkan ruh hidup manusia seutuh-utuhnya di semesta. Inilah erotisme. Maafkan, bukan bermaksud menggambarkan kerja Tuhan dalam wujud manusia.

Akhirnya, maafkan pula bila terpaksa aku menyingkap kata yang mungkin semestinya tak perlu kusampaikan padamu. Bahwa Al Hallaj demi melunasi kemerdekaan jiwanya, ia lalu menabrak agama, suatu sumber yang kuyakin engkaupun sepakat sebagai segala sumber kreativitas. Bagaimana itu bisa terjadi? Lalu, bagaimana ini semua bisa terjadi di sini di depan muka kita sendiri? Semoga bagi kawan-kawan kita yang tak peduli, telah diberi kekuatan untuk bersiap mengunduh daya ciptanya dengan berapi-api. ***

*) Penulis adalah pengarang, sutradara dan pimpinan Komunitas Teater Keluarga. Kini bekerja sebagai peneliti dan anggota tim advokasi pada Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya

TAMPIL CANTIK DENGAN FILSAFAT?

Nurel Javissyarqi*

Angan yang tampak menarik kabut, bermuatan ruh dari bahasan. Tentu mengambilnya pelahan, agar tak tercecer di tengah penulisan. Judul di atas tercetus, sedari pantulan bukunya Naomi Wolf; Mitos Kecantikan. Di sini saya menggregeti pandangan, dari sekian jarak pemotretan yang terhampar-lapang.

Ini murni membangun kecantikan dari dalam, sebuah arahan yang kudu dilewati, kalau tak ingin perubahan kulit-tubuh menua-mengecewakan. Atau wacana ini diperbaharui dengan fitalitas keberjamanan, untuk tidak mandek di pagar idealitas, yang membelenggu kaki-kaki perempuan.

Membersihkan bak mandi terlebih dulu, agar tak reget mengotori tubuh. Cara tempuh bukan acara panjang-lebar, yang terharapkan mencapai puncak tanpa teleng kepala berbelit-belit, oleh kurang rapetnya saringan -renungan. Padahal duduk sebentar merasai, naluri mengajak nalar pada tindakan pengetahuan, mengambili pendapat tanpa harus berjalan melingkar, ketika yang diharapkan telah ada.

Judul di atas memakan separuh jalan, separuhnya lagi dengan diri yang diterbayangkan. Saat menunjuk patung atas tempaan cahaya, tentu mengetahui letak bayangannya. Atau filsafat itu, gerak tercepat menemukan sesuatu dengan kesuntukan atas langkah-langkah lumrah. Guna aspek keserupaan bisa ditarik dengan lemparan daya duga; permenungan ditambah perasaan, yang diharapkan sebagai dialogis tanpa harus tercebur seluruhnya.

Seekor merpati kipas begitu cantik dengan kodratnya terbang jinak, burung merpati pos sangat menawan sebagai pembalap di lapangan udara. Ini penyatukan pemahaman, maksud keseimbangan bentuk jiwa yang lempeng, bukan tersakiti idealitas tampakan yang menciptakan cemburu -sakit hati.

Pandangan yang menyehatkan tubuh dan jiwa, melalui peranan nalar-perasaan mengelolah bathin ke muka, juga saat terlelap selepas kelelahan bekerja. Maka garis bawah perlu; mamangfaatkan penyelidikan mengoreksi ulang, merevisi tingkah laku hasil usaha, untuk dimasukkan ke kamar hitungan intim menuju keselarasan. Membangun pribadi memacu capaian, ibarat iman itu peribadatan; kecantikan menggali wacana perubahan, antara diri di sekitar laluan hayat.

Memasuki ruang berdandan membawa kesegaran demi pertemuan, maka memperbaiki luaran itu membuang kesempatan tampil bercahaya dengan keyakinan. Yang di depan cermin mawas-diri terawat penglihatannya, nalar serta perasaannya dalam kamar pengantin di hadapan banyak orang.

Tampil cantik menyadari perawatan, tidak terbentuk oleh rutinitas membosan. Berbicara nilai dilestarikan sikap penerimaan; bola mata lentik bercelak sayang, hidung sedap di pandang mencium keindahan. Segala rasa demi keseimbangan menguatkan pendapat, tak terlalu jauh rembentan mata air menuju aliran dialogis makna keakraban samudra.

Bibir pantai berkecupan ikhlas, telinga mendengar rindu ke mula hening malam, merambat ke hadapan kembali. Rambut terurai, jangan lepas sia-sia atas kurang merawat kemajuan. Begitu juga kuku-kuku dibersihkan, meningkatkan amanah imbal-balik rasa syukur. Di sini, boleh memakai lebih dua pandangan, kiranya usia penerimaan itu mematangkan diri bermanfaat. Yang membawa takdir masing-masing di jalan yang diterka sebelumnya, untuk laluan kedirian saat mendapati artian kehidupan.

Yang bersayap maupun yang lumpuh, terbang membawa takdirnya masing-masing. Tentu yang terbaik tampil kedirian sendiri, seperti perkembangan pada tahap kesadaran, ditarik pelajaran dari daya-upaya kerja. Adalah perjuangan merawat kehadiran diri di tengah-tengah keseluruhan beragam.

Akan cantik memahami kekurangan diri setelah berikhtiar bathin menerima, kepasrahan aktif tidak -ngelokro. Memang insan tak bisa seratus persen sadar (dalam keadaan lama), tetapi bagaimana menjaga tingkatan jiwa, agar tidak di jalan itu-itu saja. Sepulang paparan di atas, seyogyanya berdialog mencocokkan impian memanggil harapan, tidak terlena di jalan hayat berserakan makna-makna.

Selalu yang mengisi ruang-waktu lebih berguna, ketampanan mandiri menghadapi soal, sampai jawaban beberapa persoalan terpenuhi tanpa kekecewaan. Ini tameng kebijakan, atas pertarungan yang berhasrat tidak sekadar pelengkap. Jangan sampai kehadiran tidak mencetuskan perasaan lain. Sikap itu atas kekurangan di hadapan daya-guna kejujuran fitrah, sebagai pengarung pada sungai-sungai hayat.

Tampil cantik itu menyadari tradisi menopang bentukan jiwa; di sini wacana perubahan membaca gerak jaman. Kita di samping jalan lain di sebelah, meski kedekatan memiliki pilihan serupa, bukan berarti timbangan berbobot seirama. Adalah kita mengerti diri, dan lelatihan penerimaan-penolakan, menentukan tampilnya filsafat hayati. Dalam segala kerinduan tercapai, atas penawaran diri.

Sedangkan penjajakan berulang, membentuk keayuan sikap sebagai insan berbudi. Kiranya paparan ini nggelambyar, tentu terpegang beberapa akaran yang bergelantungan. Dari sisi mana pun mendaki, bertemu puncak gunung kesamaan, menyungguhi hidup menempuh mimpi oleh lelatihan keseimbangan. Inilah pentingnya tampil cantik dengan filsafat hidup mandiri.

*) Pengelana 2006. 08 Lamongan, Jawa Timur, Indonesia.

MODEL CERPEN PSIKOLOGIS-SIMBOLIK-SOSIO-KULTURAL

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Damhuri Muhammad, Laras, Tubuhku bukan Milikku, Jakarta: Dastan Books, 2005, 219 halaman.

Ketika berbagai saluran komunikasi tersumbat, aspirasi dan amanat rakyat masuk keranjang sampah, gugatan para demonstran dianggap angin lalu, sementara para penguasa tidur nyaman dengan segala kebisutuliannya, sastra dapat digunakan sebagai salah satu alternatif; pilihan paling aman untuk mengungkapkan kegelisahan, unek-unek atau apapun yang mengganjal hati nurani kita. Dengan caranya yang khas, sastra bisa masuk ke ruang-ruang publik, mendekam di pojokan kelas, ruang kuliah, atau terus bergentayangan, memprovokasi siapa pun pembacanya.

Damiri Muhammad tampaknya menyadari benar posisinya. Maka, lewat sejumlah cerpen yang menjadi pilihannya, ia bisa leluasa mengumpat, mencaci-maki, mengkritik apapun atau siapa pun, dan sekaligus juga sebagai sarana menyelimuti keluh-kesah pengalaman subjektifnya. Dalam beberapa hal, antologi cerpen Laras, Tubuhku bukan Milikku (Jakarta: Dastan Books, 2005, 219 halaman), bolehlah ditempatkan sebagai representasi kegelisahan pengarangnya. Bukankah sastra di dalamnya bersembunyi pemaknaan pengarang atas pengalaman hidup dan tafsirnya atas fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya.
***

Agak berbeda dengan banyak antologi cerpen lain yang kadangkala berisi semacam ikhtisar tentang proses kreatif pengarangnya atau semacam uraian untuk memberi pembenaran—pertanggungjawaban atas tema yang diusungnya, Damiri Muhammad justru mengungkapkan sikap profesionalitasnya. “Potret Gamang Seorang Pengarang” (h. 9—18) mewartakan sebuah sikap kepengarangannya: mengarang sebagai profesi, sebagai pilihan hidup. Sebuah pernyataan yang jelas melawan gelombang besar ketersesatan masyarakat. “Mengarang bukanlah profesi, bukan pula sebuah pekerjaan. Mengarang adalah kebiasaan mereka yang suka berhayal, membuang waktu, dan menghamburkan kata-kata tak bermakna!” Itulah arus besar pandangan menyesatkan dan meracuni hampir semua lapisan masyarakat kita. Damiri Muhammad –meski tidak sendiri dan bukan yang pertama—coba menggugurkan pandangan masyarakat yang keliru itu.?

Pertanyaannya kini: cukup kuatkah modal (capital) yang dimiliki Damiri atas pilihannya itu. Apakah sejumlah cerpennya dalam antologi ini mengisyaratkan sebuah potensi yang menjanjikan yang akan membawanya pada sebuah monumen prestisius atau nama besar dan reputasi?
***

Ada 13 cerpen yang termuat dalam buku antologi ini. Keseluruhannya memuat tema-tema yang beragam. Meskipun begitu, jika kita cermati benar ke-13 cerpen itu, kita dapat menangkap beberapa hal yang dapat digunakan sebagai modal awal.

Pertama, latar belakang pendidikannya jelas merupakan modal yang paling berharga. Kedua, kisah-kisahnya yang tampak obsesif tentang pengabdian sosok anak dan citra ibu, keterikatan pada kultur puak, dan traumatis pada kegagalan masa lalu, sesungguhnya merupakan bahan dasar yang baru terungkapkan dalam bentuk fragmen-fragmen. Di sana tersimpan potensi dan kekayaan problem psikologis yang kelak akan melahirkan karya-karya yang memukau-mencekam. Ketiga, sikap kritis dan pengamatannya pada problem sosial politik yang terjadi di negeri ini, tidak hanya akan membawanya mengungkapkan potret sosial dan semangat zamannya, tetapi juga sebagai bentuk kesaksian dan catatan atas segala peristiwa yang terjadi pada zamannya. Keempat, kepiawaiannya dalam menyelimuti pesan ideologis, menyulap caci-maki menjadi ironi, dan fakta sosial menjadi fiksi simbolik, niscaya akan memberinya tempat yang aman dalam posisi kepengarangnya. Kelima, kemampuan mengolah kata-kata menjadi narasi—seperti juga dalang yang salah satu syaratnya harus mampu menyajikan cerita dan mendongeng—, sudha tampak menonjol dalam diri Damiri, meski harus diakui pula, di sana-sini ada duplikasi.

Dengan sejumlah kekuatan itu, agaknya kita boleh berharap, bahwa pilihannya menjadi pengarang, tidaklah keliru. Periksalah, misalnya, cerpen “Laki-laki dari Negeri Kutukan,” “Lelaki Ibu,” atau “Liang Lahat Jauhara.” Ambivalensi antara cinta dan benci, menikmati dan mengutuk, atau hasrat ingin lepas-bebas dan asyik-masyuk terpenjara, begitu hidup membayangi tokoh-tokohnya. Ada problem psikologis yang tak mudah dicampakkan. Ia seperti lengket-menempel, tetapi sekaligus juga disadari oleh tokoh-tokohnya, sebagai sesuatu yang harus dibunuh-dibenamkan.

Cermati juga cerpen-cerpen “Sayembara Menulis Surat Cinta,” “Riwayat Selembar Kain Bendera,” “Tamasya ke Museum Kata-Kata,” “Hikayat Negeri Sayembara,” “Telinga-Telinga yang Berpuasa,” atau “Elegi Tukang Kursi.” Bukankah semua yang diungkapkan di sana merupakan potret buram dan carut-marut kehidupan sosial politik di negeri ini. Damiri menyulapnya menjadi ironi yang pahit atau komedi simbolik. Ini salah satu cara yang paling aman dalam melakukan kritik terhadap siapa pun dan setajam apa pun. Cara ini pula yang –dengan style yang berbeda—dilakukan Danarto dan Putu Wijaya.

Yang juga menarik dalam antologi ini adalah potret hitam dunia perempuan. Tokoh Laras (“Tubuhku bukan Milikku”) boleh jadi merupakan refleksi kegelisahan pengarangnya. Dalam kointeks yang lebih luas, ia sekaligus merupakan representasi problem dunia wanita di negeri ini. Arogansi dan superioritas yang diperlihatkan sosok tokoh Ayah (: laki-laki), tidak hanya berdampak pada trauma psikologis yang terus melekat seumur hidup bagi korban, tetapi juga menghancurkan jati diri sebagai manusia. Bukankah kini banyak sekali bermunculan tragedi kemanusiaan seperti itu. Lalu, bagaimana pula kita menyikapinya. Damiri Muhammad mengangkat tragedi itu secara mempesona-meyakinkan.
***

Secara keseluruhan, antologi cerpen Laras, Tubuhku bukan Milikku, terkesan seperti umumnya cerpen yang muncul di koran Minggu. Padahal, sesungguhnya, jika dicermati benar, di hampir semua cerpen Damiri ini, kita melihat adanya kekuatan yang berkaitan dengan problem kultural yang khas Minangkabau, problem psikologis yang melahirkan trauma dan obsesi yang terkendali, dan potret sosial politik yang diledek begitu sinis. Dalam konteks peta cerpen Indonesia kontemporer, jelas antologi cerpen ini telah ikut memperkaya khazanah tematiknya. Sementara itu, gaya ledeknya yang khas Minang –ngenye dan sinis—boleh jadi bakal ikut menyemarakkan gaya penulisan cerpen kita dewasa ini. Rasanya tak berlebihan jika kita berpengharapan bahwa sangat mungkin Damiri Muhammad sebentar waktu lagi akan menghasilkan tonggak dan monumen yang lebih kokoh dan prestisius.

Rasanya, pilihan Damiri Muhammad menempatkan kepengarangan sebagai profesi, sangat beralasan, dan (semoga) menjanjikan!

*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok.

Kamis, 25 Desember 2008

BELAJAR MENULIS DARI EKA KURNIAWAN*

Sutejo
http://thereogpublishing.blogspot.com/

Dalam gagas utama MataBaca, edisi September 2005 (hal. 10-11), salah satu penulis muda produktif dan banyak mengolah cerpen yang berangkat dari obsesi tertentu, rajin membuat catatan perjalanan atau penelitian sederhana. Pengarang ini adalah Eka Kurniawan. Di samping itu dia berpesan kepada kita begini (a) menulislah tentang hal apa saja yang kau ketahui dan (b) naskah yang ditolak dapat kita otak atik lagi, diedit lagi, kemudian dikirimkan ke media yang lain.

Sebagaimana Ucu Agustin, pesan tertolaknya tulisan merupakan peringatan agar kita dapat memperbaikinya kembali. Kalau Ucu berpesan ketika tulisan ditolak nggak usah gelisah maka Eka Kurniawan bilang lebih dari itu untuk kiranya dapat diperbaiki kembali, diotak-atik lagi. Dengan begitu, kita akan dapat melihat kekurangannya. Apalagi biasanya, koreksi dan saran dari redaktur diiringkan dalam penolakan itu.

Ibarat penjual kue seorang penulis perlu rajin untuk menawarkan dan terus meningkatkan kualitas kue yang diproduksinya. Hal ini mengingatkan filosofi kapitalisme yang memang memberikan ruang demikian. Tulisan yang ditolak media bukanlah kiamat bagi penulis. Bisa jadi hal itu disebabkan (a) kekurangcocokkan gaya dengan media yang kita tuju, (b) kadang masih dikaitkan dengan aktualitas tema, (c) kadang disebabkan alokasi karakter yang disediakan media tidak ditepati, (d) menyinggung pihak tertentu sehingga pertimbangan security menjadi pilihan penolakan, dan (e) perimbangan nama penulis (ini tentunya tidak semua media).

Untuk itu, jika salah satu alasan ini yang kita terima maka tinggal bagaiamna kita menyesuaikan dengan masukan dan selera itu. “Perngorbanan” estetik kadang-kadang harus diambil untuk pemuatan. Bukankah otoritas memang berada di tangan redaktur? Soal kualitas bagaimanapun dan kapan pun akan terus dapat diperdebatkan. Di sinilah, saya teringat akan pesan Maman S. Mahayana, untuk tetap berpegang pada “kualitas estetis” dalam kenisbian yang selalu dapat didialogkan.

Hal kedua yang dipesankan Eka adalah menulis dapat tentang apa saja. Hal ini berkaitan dengan tema atau masalah. Artinya, karena kehidupan terdiri dari aneka bidang kehidupan, dan begitu banyak persoalan yang melingkari kehidupan ini; maka sedemikian luas dan terbataslah bahan kepenulisan itu. Kuncinya, empati dan kemampuan berlibat kita dalam menggali, mengidentifikasi, dan mengeksplorasinya menjadi bahan cerpen yang menarik. Seno Gumira Adjidarma pernah menulis persoalan yang sederhana, telinga. Telinga dalam imajinasi Seno, dituangkan dalam dramatisasi percintaan seorang tentara yang di medan perang kemudian menemukan mata-mata yang diperung telinganya untuk dikirimkan pada kekasihnya. Absurd, memang. Tetapi itulah, jika imajinasi liar, dan hal itu sangat mungkin terjadi.

Demikian juga, Agus Noor pernah menulis cerpen judulnya mulut. Metafora mulut tentu sedemikian luas dan bias. Untuk ini, maka seorang penulis dapat mengembangkan sesuai dengan keliarannya masing-masing. Semakin liar, barangkali semakin baik. Tergantung bagaimana kita mengolahnya menjadi cerita yang nalar, logis, dan kaya-kaya nyata terjadi. Meskipun kecil kemungkinan, tetapi cerita sendiri sering berangkat dari keganjilan-keganjilan yang teralami (sebagaimana akuan Budi Darma) maka hal ini pun menjadi mungkin dan mudah untuk dikembangkan.

Sebagaimana Seno Gumira Adjidarma dan Budi Darma yang memanfaatkan perjalanan sebagai upaya research, penelitian sederhana, maka dapatlah kita melakukan pencatatan atas kejadian yang kita alami itu. Buku harian saran Danarto dapat sebagai alat utamanya. Mungkin merupakan rekaman peristiwa aneh, kejadian biasa, atau apa saja. Karena itu, jika Anda sedang melakukan perjalanan menarik kiranya jika Anda mau untuk melakukan teknik ini karena ke depan ia akan menjadi bahan penulisan yang menarik pula. Semakin avontour perjalanan itu maka akan semakin menarik pula. Arswendo Atmowiloto pernah melakukan perjalanan dengan kelompok sirkus kemudian melahirkan novelnya yang berjudul Cirkus. Demikian juga Ernest Hemingway yang menulis Lelaki Tua dan Laut setelah melakukan perjalanan panjang ke Afrika. Mengapa kita tidak memanfaatkan perjalanan untuk hal yang produktif, untuk bahan kepenulisan?

Hal lain yang tak kalah menarik dari pengalaman Eka Kurniawan adalah pentingnya obsesi. Sebuah obsesi memang dalam praktik kehidupan ini seringkali menggerakkan. Apalagi dalam kepenulisan tentu tidak jauh berbeda. Obsesi merupakan keinginan yang tersembunyi, terselubung di balik hati; yang menarik untuk diwujudkan. Jika kita memiliki obsesi tertentu maka menarik kiranya untuk dituangkan ke dalam tulisan. Entah, apa dan kapan. Entah berguna atau tidak, yang pasti jika kita mau mengawali dalam bentuk kepenulisan bukan hal aneh jika kemudian akan berbuah hasil yang menggembirakan di belakang hari.

Obsesi ini selanjutnya juga bersifat lampu penggerak. Obsesi akan mengingatkan pada (a) mimpi tentang teks cerpen yang bagaimanakah yang kita impikan, (b) mimpi idola seperti apakah penulis yang kita idamkan, (c) mimpi pemaknaan yang bagaimanakah yang ingin kita lesapkan, dan (d) puncak obsesi akhir dari semua rangkaian dunia kepenulisan yang kita impikan. Obsesi menjadi sebuah cita. Cita menjadi daya. Daya akan alirkan kreativitas. Kreativitas memberikan keunikan. Keunikan akan melahirkan kekhasan kita sebagai seorang penulis yang berbeda dari yang lainnya. Inilah, ruh kepenulisan yang menarik untuk diobsesikan. Sebuah dunia lepas dari keterpengaruhan orang lain! Tetapi dalam prosesnya tidak ditabukan mengekor atau memodeli dari sastrawan lain.

Hem, bagaimana dengan Anda? Kalau melihat perjalanan Eka Kurniawan menulis demikian mudah dan sederhana mengapa kita tidak memasuki pintu pengalaman yang sudah terbuka? Sambil menyalakan lampu harapan, barangkali obsesi tersembunyi dapat diwujudkan.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos.

Sabtu, 20 Desember 2008

Bingkai: Membangun Lampung dengan Buku

Udo Z. Karzi*
http://www.lampungpost.com/

Saya membaca sebuah artikel Abdullah Khusairi di rubrik buku berjudul Membangun Malayu dengan Buku (Padang Ekspres, 30 November 2009). Isinya tentang sebuah pesta. Bukan pesta bir atau hura-hura. Tapi, pesta buku.

Malam Anugerah Sagang yang digelar Yayasan Sagang di Hotel Ibis, Pekan Baru, pertengahan bukan Oktober lalu. Sebanyak 13 kategori anugerah diserahkan kepada lembaga dan persona yang layak menerimanya. Tapi yang paling penting dari acara ini adalah bagaimana enam buku diluncurkan.

Enam buku itu, Perjalanan Kelekatu (kumpulan sajak) karya Rida K. Liamsi, Tamsil Syair Api (sajak pilihan Riau Pos 2008), Bulu Mata Susu (kumpulan puisi) karya Ramon Damora, Dunia Melayu dalam Novel Bulang Cahaya dan Tempuling kumpulan sajak karya Rida K. Liamsi, kritik sastra oleh UU Hamidy, Pipa Air Mata (kumpulan cerpen Riau Pos 2008), dan Kampung Kusta (kumpulan karya jurnalistik) Rida Award 2008.

Semuanya diterbitkan Yayasan Sagang. Yayasan yang didirikan Seniman Perdana Rida K. Liamsi.

Membaca artikel ini, pikiran saya "kembali pulang" ke Lampung. Karena ingatan saya tidak lekang dari Negeribatin di ujung selatan Pulau Sumatera itu, saya modifikasi saja judul tulisan itu menjadi Membangun Lampung dengan Buku.

Agak malu hati juga sebenarnya kalau membicarakan dunia perbukuan di Lampung. Apalagi hendak membandingkan dengan Riau; jangan dikata Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta.
***

Berdasarkan data--dokumentasi ala kadarnya dari berbagai berita koran, Lampung Post terutama--sepanjang dua tahun (2007-2008), Lampung menghasilkan tidak sampai tidak sampai 20 buku yang ditulis orang Lampung (setidaknya yang mengaku orang Lampung), baik yang berdomisili di Lampung maupun tinggal di luar Lampung, baik diterbitkan penerbit di Lampung maupun penerbit luar Lampung.

Tahun 2007, terdapat buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung (Fadilasari), 100 M Dari Gardu Pos Kota (antologi puisi, Dewan Kesenian Metro/DKM), Kumpulan Dongeng dari Kalianda (Rudi Suhaimi Kalianda), Setengah Abad Alzier (Himawan Ali Imron, Hasanuddin Z. Arifin, dan Hermansyah), Peri Kecil di Sungai Nipah (novel Dyah Merta) Bau Betina (kumpulan sajak, Binhad Nurrohmat), Sastra Perkelaminan (kumpulan esai Binhad Nurrohmat), Laut Akhir (kumpulan sajak Isbedy Stiawan Z.S.), Lelaki yang Membawa Matahari (kumpulan sajak Isbedy Stiawan Z.S.), Goran (novel Imelda A. Sanjaya), dan Mak Dawah Mak Dibingi (kumpulan sajak Lampung Udo Z. Karzi).

Tahun ini, sampai dengan pertengahan Desember 2008, terdapat buku-buku Demonstran Sexy (kumpulan sajak Binhad Nurrohmat), The Bed Horse, Kuda Ranjang (kumpulan sajak dwibahasa Inggris-Indonesia Binhad Nurrohmat), Setiap Baris Hujan (kumpulan sajak Isbedy Stiawan Z.S.), 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional (Heri Wardoyo dkk.), Depo Manggarai (novel Nazaruddin), Luka di Champs Elysees (novel Rosita Sihombing), dan Gema Secuil Batu (kumpulan sajak Iswadi Pratama). Sebuah buku lagi, Menuju visi Indonesia 2030, Konstruksi Lampung Prespective (Mustafa), saya tidak tahu penerbit dan tahun terbitnya.

Lalu, Dewan Kesenian Bandar Lampung (DKBL) diberitakan (Lampung Post, 3-2) akan menerbitkan buku legenda yang berkembang dalam masyarakat. Waktu itu, yang sedang dipersiapkan, Legenda Sumur Putri. Tapi, sudah terbit atau belum, saya tidak tahu kabarnya.

Dari jauh, saya mendengar kabar dalam waktu dekat ini Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Teknokra Universitas Lampung (Unila) tengah mempersiapkan buku sejarah Teknokra. Dan, BE Press, sebuah penerbitan di Bandar Lampung memiliki perhatian khusus terhadap khazanah lokal Lampung mempersiapkan dua buku berbahasa Lampung, yaitu Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuong (kumpulan cerita Asarpin Aslami) dan Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan (kumpulan sajak Oky Sanjaya).

Dalam pengetahuan saya, setidaknya ada dua lagi nama penulis kelahiran Lampung yang produktif melahirkan buku, yaitu Anjar (Bandung) dan Eko Sugiarto (Semarang). Beberapa rekan asal Lampung, kabarnya, meski tidak berdomisili di Lampung juga menjadi penulis, bahkan memiliki penerbit sendiri.

Dari buku-buku yang disebut tadi, saya hanya menemukan nama Matakata, BE Press, dan Sijado sebagai penerbit buku di Lampung. Sebelumnya, beberapa penerbit Lampung sempat melahirkan buku: Universitas Lampung Press, Teknokra, Dewan Kesenian Lampung (DKL), Bumilada, Pustaka Melayu, Warna, Jung Foundation, dan beberapa LSM. Data ini tidak memasukkan penerbitan proyek yang diselenggarakan pemerintah karena tidak beredar di masyarakat umum, tidak dijual, dan distribusi yang terbatas.

Data ini, boleh jadi, jauh dari akurat. Selain saya tidak memiliki buku-buku tersebut, saya juga tidak memiliki akses informasi yang memadai. Tapi, apa pun, tulisan ini sebenarnya hanya semacam ingatan dan/atau untuk mengingatkan saja.
***

Kembali kepada gagasan membangun Lampung dengan buku, agaknya pikiran ini jauh dari populer. Sepanjang tahun 2008 dan 2009, energi orang Lampung sepertinya telah dan akan terkuras untuk hal-hal yang lebih konkrit dan lebih praktis. Pemilihan kepada daerah (pilkada) tahun 2008 dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 lebih jelas kontribusinya untuk kehidupan dan penghidupan bagian sebagian orang. Proyek-proyek fisik yang menelan jutaan bahkan miliaran rupiah tentu lebih nyata juntrungannya. Jangan kata ada momentum pilkada dan pemilu, dalam kondisi normal sekalipun, sedikit sekali yang konsen dengan kerja-kerja budaya dan intelektual.

Namun sekecil apa pun, saya masih berharap ada pihak-pihak yang sedikit peduli dengan kerja-kerja budaya dan intelektual semacam menerbitkan buku. Masyarakat Lampung, saya pikir, harus berterima kasih banyak kepada Isbedy Stiawan Z.S. yang produktif menghasilkan buku-buku karya sastra. Secara tidak langsung, Isbedy telah memperkenalkan (kebudayaan) Lampung ke berbagai belahan bumi dan menyumbang pemikiran yang tidak sedikit bagi pembangunan Lampung melalui karyanya (baca: buku).

Selebihnya, ada juga Panji Utama, Binhad Nurrohmat, M. Arman A.Z., Dyah Merta, Y. Wibowo, Dina Oktaviani, dan lain-lain yang tadi sudah disebut-sebut. Dan, yang paling anyar, Iswadi Pratama (dengan gegap gempita saya sambut buku puisi perdanamu, Gema Secuil Batu). Yang lain, semoga menyusul melahirkan buku.

Pertanyaannya, mengapa harus buku? Soalnya, intelektualitas--tanpa harus mengutip sesiapa pun--sangat lekat dengan pemikiran dalam bidang apa pun (sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya). Pemikiran yang komprehensif, sistematis, dan tentu saja gampang dikutip adalah pemikiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Tulisan pendek (sebuah artikel, sebuah puisi, sebuah cerpen), hanyalah sepercik pemikiran dari sebuah gagasan yang luas dari si penulis. Maka, agar pemikiran seorang menjadi utuh, setidaknya berupaya mencapai utuh, dia harus dibukukan.

Membangun Lampung dengan buku, dengan demikian, sebuah upaya membangun Lampung dengan pemikiran yang lebih komprehensif, sistematis, dan utuh; yang dilakukan seorang penulis, sastrawan, budayawan, pemikir, intelektual atau cendekiawan. Semua profesi ini dalam tataran yang setara: menulis dan menerbitkan buku.

Bagi kebanyakan orang (biasanya disebut awam) mungkin sama sekali tidak terpikirkan untuk membangun Lampung dengan buku. Intelektualitas dan buku memang sebuah upaya untuk tidak menjadi awam, menjadi orang kebanyakan. Upaya menulis buku secara kasat mata memang tidak menguntungkan, tetapi Lampung akan mendapatkan manfaat yang lebih besar dari gagasan-gagasan yang dielaborasi dalam buku. Dalam bahasa yang sekarang populer: menjadi inspirasi (inspiring) bagi pembangunan Lampung.
***

Secara khusus, saya hendak menyinggung sedikit tentang sebuah tradisi baru. Setelah Hadiah Sastera Rancage 2008 diberikan sastra Lampung, tidak bisa tidak setiap tahun harus ada buku sastra Lampung yang masuk penilaian Rancage. Sebab, sejak 2008 Yayasan Kebudayaan Rancage akan rutin memberikan Hadiah Rancage untuk sastra empat bahasa Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung. Dengan kata lain, tidak ada pilihan lain, Lampung harus menerbitkan buku sasta Lampung minimal satu buku satu tahun. Tidak boleh putus. Ini serius.

Dalam sebuah wawancara (The Jakarta Post, 11 Februari 2008), saya mengatakan kondisi ini sebagai kabar gembira untuk sastra dan sastrawan Lampung sekaligus tantangan yang tidak mudah. Soalnya menerbitkan buku sastra Lampung jelas tak untung. Karena itu, pemerintah daerah, penerbit buku, perguruan tinggi, usahawan, sastrawan, dan masyarakat Lampung harus benar-benar mau menyisihkan waktu, tenaga, dan dana untuk membangun tradisi baru bahasa dan sastra Lampung: menulis dan menerbitkan sastra Lampung!
***

Upaya membangun dunia perbukuan di Lampung dan sekaligus juga mendorong kemajuan Lampung melalui dunia pemikiran (buku) memang tidak mudah. Tapi, bukan hal yang utopis. Pengembangan perbukuan di Lampung harus melibatkan banyak pihak. Mari memajukan Lampung dengan buku.

*)Editor pada BE Press, Bandar Lampung, sementara ini tinggal di Pangkalan Bun, Kalteng.

Kamis, 18 Desember 2008

EKSPRESI RUANG DI ANTARA PENDAPAT

Nurel Javissyarqi*

“Kecenderungan itu suatu kerahasiaan yang sedikit terungkap”

Pendapat ialah nilai, kelembutan air atau hembusan angin. Di antaranya ada nilai-nilai yang bisa digali tempat duduknya. Kita tak dapat memaksa pembaca, melaksanakan yang pernah kita geluti di alam nalar jadi keyakinan. Cukuplah diri, biar lainnya menarik jarak tempuh sebab perjalanan insan berbeda-beda.

Barangkali maksud temuan dari pendapat sebelumnya. Bagaimanapun tempat damai di hadapan orang, bisa berbalik kekacauan. Maka keadilan sebagai waktu mendiami ruang berketepatan, percakapan cahaya yang menjelma pembicaraan hangat menghadirkan kesadaran.

E.M. Cioran itu anak emas pendapat Nietzsche, tapi saudara boleh tak sefaham. Meski ada kesamaan nilai, boleh tak sama pengertian dalam batok kepala. Yang terindah mengambili sesuatu, serta mengeluarkannya dengan kemampuan melewati pengertian, sebagai keadilan penilaian atau pijakan.

Kita tidak mungkin mengikuti politisi kata-kata menerus, apalagi yang mendasarkan riwayat hidupnya sebagai kajian, meski pada seorang sejarawan. Karena boleh jadi yang kita mengerti itu pembetulan, lantas kita menemukan yang terpunyai sungguh dari teks-teks tersaksikan.

Kiranya kurang bijak menentang pendapat tanpa mengetahui takarannya. Kita mendiami tempat masing-masing, dan kebenaran mutlak hanya gambaran keuniversalan dari sesuatu yang disengaja sebagai nilai baru, yang bukan hukum saklek mudah patah arang.

Perbedaan yang menimbulkan perasaan masam atau rasa tak pernah tercecap namun ada, hadir saat membaca sebagai jarak dari beberapa nilai yang dipelajari. Tidak perlu hawatir keramaian, sebab bukan pertentangan. Lalu keburukan menuntut tidak dirasa, saat sedang mempersiapkan pendapat yang sudah tertanam semacam jiwa lapang.

Ketika tidak menyukai nilai yang ditanam, usah berbenci. Mereka masih serupa, mendiami ruang pribadi. Ini rahasia jarak agar yang dimaksud tidak jadi batu sandungan, ketika hendak ke alun-alun pendiskusian, tidak gontok-gontokan dari bermacam cabang aliran.

Simbul hadir di antara perberbedaan, memiliki kesamaan tingkat yang pencariannya damai. Dan kepemilikan paling besar, sebelum memahami kehadiran berbendapat. Ini kelapangan, membagikan hasil bukan paksaan pengalaman, tapi memberi kegembiraan. Berkah, itu bukan sesalan yang berangkat dari hitungan logika rasa semata, namun kesungguhan kerja di punggung matahari membakar kalori. Panas uap keringat, angin mengiringi senandung sebagai kesatuan kehendak.

Senja milik orang-orang memperhatikannya, dan kita tak punya, sepulang dari temaram menuju kemalaman. Namun gelap malam bagi semuanya, kecuali yang berada di tengah gemerlap kota. Langit selalu hadiahkan ruang pengertian, demi terus berjalan mengambili yang terasakan sebagai penerimaan, menghadirkan nilai universal.

Andai semua membantah, berarti ada ruang lain menjadi jarak terlaksana. Jarak tidak berarti kalau tak mendiami titik tertentu, meski sementara. Paparan ini bukan pembagian, andai muncul tuntutan, itu mengambil dari yang terpunyai di antara semuanya. Seperti hari ini mendapatkan capaian sendiri; keadilan perbuatan yang membutuhkan-berkecukupan.

Tidak bisa memungkiri, kita pernah lelah di ambang kebosanan. Dan istirah itu jarak penyembuhan, semisal nilai-nilai tertata apik. Menerima yang termiliki, dan menolaknya sebab tiada ruang untuk didiami. Maka jarak yang kita telusuri, sebenarnya ruang pribadi.

Ruang kosong terisi penerimaan sebagai waktu yang kita jalankan. Meski cara berangkat dari orang, kita memiliki hak dikembangkan berkepemilikan. Inilah studi masuknya diri menemukan pendapat, yang didasari lelatihan atas prosesi berulang. Pribadi mandiri tanpa harus memenggal kepala yang lain.

Kita memiliki ruang damai sejati, lewat berfikir seimbang tanpa paksaan dari keyakinan membelenggu. Maka melatih pertimbangan, sejenis melumasi penalaran kapan pun waktu, yang tidak tersendat bentuk karatan. Mengawasi timbangan, membetulkan yang kurang tepat atas jalannya keindahan, tapi bukan melupakan kehendak pertimbangan.

Membuka ruang kemungkinan bayu melewati pintu-jendela, memperbolehkan orang lain melihatnya, kecuali kerahasiaan. Sebab, pun takkan sanggup memasukinya, mereka hanya mereka-reka mendekati pembenaran, atas sikap kecenderungan. Adalah kecenderungan itu suatu kerahasiaan yang sedikit terungkap.

Ini berbeda dengan pintu terbuka was-was. Penantian hawatir ialah daerah rawan, butuh penyembuh serupa pengharapan baik. Kehawatiran itu perasaan miskin mendera, selalu kurang puas atas wilayah kesunyian. Dan kepenuhan didasarkan kecukupan diri sebagai kekayaan bathiniah. Kepenuhan murni datang pelahan, atas bangunan penerimaan tak goyah dari kesunyian gaib.

Jiwa-jiwa merdeka setelah membuka pepintu pendapat. Ini bukanlah membuang kesuntukan, tapi usaha menarik nafas dalam, dan dikeluarkan dengan niat kebugaran. Tentunya tidak mengganggu jika demi kesehatan mandiri, sebab mengeluarkan bau tak sedap. Bersikat gigilah, sebagai kesiapan sebelum bercakap, inilah kesungguhan data jadi mempuni.

*) Pengelana asal Lamongan, 2006 Jawa Timur, Indonesia.

Seni Sandur: Sebuah Bentuk Eksistensi Seni Pertunjukan Tradisional

(khususnya di Daerah Lamongan)
Joko Sandur

Kembang kelampok pak empange masang patok
Tak sawang kembange kelampok
Pak Empange masang patok
Becike kudune piye
Sing sayuk sing rukun
Tumandang makarya
Gawe bangun negara
Ala sorak….,alah hore
Ala sorak….,alah hore


Begitulah sebuah bait kidungan atau tembang yang sering di kumandangkan para niyogo kesenian tradisional sandur, notabene kesenian tradisional asli Lamongan.

Di samping itu, ada beberapa kesenian tradisional yang masih hidup terpelihara eksistensinya. Di antaranya : dongkrek, kepang dor, kepang sandur, turungga sola, jaran jenggo. Dan masih banyak yang belum terkafer penulis. Namun rasa kehawatiran, keprihatinan penulis muncul, sebab seni tradisi, khususnya daerah pedesaan, semakin terpinggirkan. Hampir-hampir tidak memiliki dukungan sosial, politik, ekonomi, bahkan kebudayaan.

Sehingga menjadi permasalahan yang tak pernah berakhir. Seni tradisi yang integral dengan system nilai tradisional masyarakat penyangganya, dipertanyakan eksistensinya. Pesatnya kemajuan teknologi dituding sebagai biangnya. Di luar itu, datangnya gelombang indrustri budaya dan pariwisata yang jauh dari nilai-nilai tradisi, memaksa seni pertunjukan tradisional tampil dalam kemasan menghamba pada kepentingan kapital.

Kesenian yang semula merupakan jenis kesenian aktraktif dan sering ditampilkan dalam acara tradisi di desa, sebagai wujud rasa syukur penduduk kepada Pencipta Alam Semesta, tiba-tiba bergeser menjadi pertunjukan kemasan, yang di tampilkan dalam festifal-festifal yang dilombahkan. Ini menjadikan kesenian tradisi berada di simpang jalan: mempertahankan nilai-nilai tradisional atau larut dalam dinamika kemajuan teknologi yang kapitalis? Di sisi lain, berbagai bentuk kemasan seni tradisi sebagai akibat strategi budaya industri, dituduh memudarkan nilai, ruh tradisionalnya.

Isu terpinggirnya seni tradisi pedesaan senantiasa menggiring lembar diskursus kebudayaan lokal. Bahkan, tampilnya beberapa festifal kesenian di sejumlah lokasi di pedesaan, yang di selenggarakan secara berkala lewat kegiatan adat atau industri budaya untuk konsumsi global, yang diproduksi atas kepentingan individual atau kelompok tertentu. Kendati, ada yang menganggap sebagai bagian konsistensi dari kefakuman masyarakat untuk melanjutkan kesinambungan tradisi maupun guna menumbuhkan kesadaran lokal.

Berbagai kasus seni pertunjukan di Jawa Timur (khususnya di Lamongan) dan di kota-kota lain, yang menonjol pada era belakangan ini. Terutama, tentang karakter khas yang menjaga kesinambungan suatu seni pertujukan tradisi semestinya memperhatikan kekhasan yang melingkupi wilayah di mana kesenian itu hidup, tumbuh berkembang. Entah itu mengenai konsepsinya, keterkaitannya dengan aspek lain, pun menurut sifatnya.

Seni tradisi diterima masyarakat sebagai suatu hasil budaya yang di wariskan dalam beberapa generasi. Seni pertunjukan tradisi tumbuh dengan system kepercayaan yang berkembang pada masyarakat pendukung kesenian tradisi yang berhubungan erat dengan ritus dan sistem kepercayaan. Sebagaimana sifatnya, ia memiliki karakter yang lentur nan cair, karena lingkungan masyarakat yang selalu dinamis.

Kesenian yang berdaya adalah kesenian yang telah mampu meraih ruang publik sekaligus membentuk segmen penonton, yang selaku penyanggah kehidupan keseniannya. Dalam realita seni pertunjukan tradisi, hadirnya ruang publik dibentuk oleh suatu keperluan menggelar pertunjukan dari tujuan pagelaran. Untuk mencapainya, dibutuhkan patronase dan elemen yang mengakomodasi kebutuhan tersebut.

Patronase ialah karakter khas. Kini patronase bukan lagi dilakukan penguasa setempat atau pemimpin agama. Melainkan dimiliki komunitas publik seni itu sendiri. Serupa yang disebutkan I Made Bandem, partisipasi (dedikasi) komunitas itulah watak seni tradisi yang menonjol. Karenanya, dedikasi mewujudkan sifat patronase yang tercipta bukan karena kekuasaan semata. Inspirasi dan aspirasi dari komunitas untuk kepentingan komunitasnya. Dukungan, perlindungan ini dilakukan langsung oleh masyarakat penyanggah atas nama pribadi, kolektif, serta bentuk kelembagaan. Merekalah penyelenggara hajat, pemimpin grup, produser rekaman, pemerintah daerah, instansi terkait.

Kata lain, patronase seni pertunjukan dimiliki oleh para penanggap seni pertunjukan dan pendukung atau komunitas publik seni. Berbagai misal seni pertunjukan di Indonesia (khususnya di Jawa Timur) sekarang tumbuh berkembang karena adanya korelasi yang kuat antara seniman, penyelenggara hajat, dan penonton aktif. Perpaduan ketiga ungsur ini memberikan warna pertunjukannya. Tetapi yang paling penting, bagaimana generasi kita dapat menghidupkan kesenian tradisional tersebut, sebab ini tanggung jawab bersama. Kita merasa terpanggil selaku masyarakat pendukung demi keberadaan eksistensinya, khususnya seni tradisional yang lahir di daerah Lamongan.

Raymond Williams (1977: 121) memilah kesenian kedalam 3 kategori: kesenian dominan, kesenian residual, dan kesenian emergen.

Kesenian dominan sebagai komoditas yang masuk pada belahan hubungan ekonomi kapitalistis, misalnya: film, senetron, lagu-lagu pop, dan jazz yang didukung oleh industri mega rupiah.

Kesenian residual umumnya berupa kesenian yang diwarnai oleh kesenian tradisional. Ini lebih direstui, dan digunakan oleh khalayak kelas menengah (semisal wayang kulit purwa jaya), tetapi bukah wayang wong, (dalam budaya jawa), sebab wayang kulit purwa jawa, telah menjadi bagian identitas kelas menengah perkotaan, ada pula yang posisinya tidak pasti atau jelas-jelas terpuruk pada strata ekonomi paling bawah, misalnya kethoprak, ludruk, dan wayang wong, dalam budaya jawa, termasuk juga kesenian sandur yang berada dikota soto ini, tepatnya di desa berkecamatan Modo-Lamongan.

Kesenian emergen merupakan alternatif atau oposisi terhadap kesenian dominan. Musik dangdut sebagai produk budaya Indonesia kontemporer, bisa dipandang sebagai kesenian emergen. Pula hadir sebagai kesenian rakyat.

Perbedaan substansial pada ketiganya, tidak hanya ditentukan oleh fariabel proses definisi sosialnya, tradisi, kelembagaan dan bentuknya. Melainkan juga dinamika hubungan, proses perkembangan, fariabel kesejahteran, serta unsur-unsurnya. Kesenian dominan hadir sebagai yang menghegemoni kesenian lainnya. Genre kesenian ini sebagai komoditas yang masuk ke wilayah ekonomi kapitalis. Kesenian residual bersifat tradisional (‘archaic’), alternatif dan oposisi terhadap kesenian dominan.

Sedangkan kesenian emergen ialah kesenian massa (popular). Pada dinamika perkembangannya, kesenian emergen dapat berubah menjadi yang dominan.

Kata akhir. Sebagai generasi muda bolehlah dengan kesenian dan kebudayaan arus global, yang nge-pop lagi nge-tren, tetapi jangan keterlaluan, hingga pada akhirnya menyeret kita lupa asal-usul di mana dilahirkan. Karena kita selaku pewaris, penerus dan masyarakat pendukung seni tradisional, terpanggil untuk menjaga memelihara, melestarikan eksistensinya.

Media dalam Cermin Dinamika Global

Y. Wibowo
http://kebunlada.blogspot.com/

MEDIA, baik cetak maupun elektronik, sebagai sesuatu yang embedded dalam arus globalisasi membawa implikasi besar bagi perubahan perilaku dan gaya hidup (life style) individu, kelompok dan atau masyarakat dunia. Mengaitkan media dengan budaya tidak bisa terlepas dari persoalan globalisasi dan integrasi pasar dunia karena perwajahan media akan sangat ditentukan pergeseran isu-isu globalisasi dan kepentingan kapital.

Dalam kontek Indonesia, perubahan perwajahan media dengan mudah kita ditelusuri. Pada era Orde Baru secara jelas kita melihat perwajahan dunia (khususnya) media massa sangat didominasi kekuatan negara. Pada era reformasi, ada angin segar bagi kebebasan media massa dalam menyampaikan berita dan informasi bagi publik.

Tetapi, perubahan yang terjadi dalam perwajahan dunia media massa dengan kebebasannya dalam analisis, dilihat sebagai bagian yang tidak terlepas dari kepentingan kapitalisme global, yang bersumber pada kaidah-kaidah neoliberalisme, dengan memiliki muatan kepentingan pasar global (libralisasi ekonomi global) di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.

Di balik kebebasan dunia media massa dan banyaknya institusi media bermunculan, tidak sepenuhnya fungsional dan berkorelasi dengan proses-proses demokratisasi di Indonesia. Satu sisi, institusi media massa sebagai satu kombinasi antara kegiatan pers dan kepentingan modal terbebas dari kekangan rezim penguasa.

Sisi lain, tampak pada perkembangannya pers makin tidak bisa melepaskan diri dari cengkeraman the invisible hand mekanisme pasar serta proses-proses alami akumulasi modal yang mengarah pada konsentrasi dan homogenisasi komoditas informasi.

Dalam masyarakat kapitalisme global atau disebut juga masyarakat konsumer, terdapat tiga bentuk kekuasaan yang beroperasi di belakang produksi dan konsumsi, yaitu kekuasaan kapital, kekuasaan produsen serta kekuasaan media massa. Bagaimana mereka memanfaatkan dan menggunakan televisi sebagai media menyampaikan pesan-pesan atau propagandanya kekonsumen mereka di seluruh dunia demi kepentingan sendiri tanpa memedulikan apa dan bagaimana nanti dampaknya.

Menghadapai dominasi dan infiltrasi kekuatan pasar dalam kehidupan pers adalah sebuah keniscayaan yang harus disikapi kesadaran kritis; keberlangsungan institusi media sangat ditentukan pelaku ekonomi melalui iklan atau promosi lainnya. Persoalannya adalah bagaimana kepentingan pelaku pasar dalam industri media massa itu dibarengi dengan apa yang dikonseptualisasikan Habermas; ketersediaan public sphere sebagai ideal type (kawasan publik atau ruang publik) dalam kebijakan pengelolaan industri media massa. Dalam implementasi ke dalam tindakan adalah bagaimana tindakan rasional dengan maksud instrumental yang dibimbing technical rules dengan tujuan maximizing expected utilities dan tindakan rasional.
***

Seiring terbitnya Majalah Playboy, perdebatan berkaitan apakah benar media massa mampu memengaruhi perilaku dan seberapa besar pengaruhnya masih menjadi diskursus. Pada sisi prespektif yang mengatakan media massa memiliki pengaruh besar bagi terjadinya perubahan perilaku individu adalah landasan argumentasi yang melihat media massa sebagai kekuatan perubahan seperti dikemukakan Dennis McQuil dengan menunjukkan model reaksi individu terhadap efek media, dengan mengacu penjelasannya pada model stimulus-respons (S-R).

Tetapi, pendapat ini banyak dibantah karena meragukan respons terhadap stimulus individu akaibat pesan yang dikirim media atau sebab lain. Hal ini berdasarkan kenyataan individu bukanlah kotak kosong yang hanya memiliki satu pesan dari media.

Individu hidup dalam struktur penuh berbagai informasi. Bantahan terhadap argumentasi model S-R itu datang dari James Curren yang menempatkan komunikan pada posisi otonom dengan menekankan media massa bukan determinan dalam konstruksi makna.

Masyarakat memiliki kebebasan memilih dan menentukan sehingga pemirsa dapat mereduksi dominasi kekuasaan media massa. Namun, masyarakat tetap percaya bahwa respon individu tersebut dipengaruhi pesan media sebagai bagian instrumen konstruksi sosial masyarakat.

Dalam hal media massa sebagai lembaga kemasyarakatan (social institution), dan sebagai lembaga kemasyarakatan media massa merupakan subsistem kemasyarakatan tempat ia berada bersama-sama dengan subsistem lain. Dengan demikian, media massa tidak hidup secara mandiri, tetapi memengaruhi dan dipengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan lain.

Apabila kita memahami media massa sebagai bagian subsistem yang ada di masyarakat, proses interaksi dan saling memengaruhi antarsubsistem yang ada (politik, ekonomi, dan sosial-budaya) akan terjadi karena keberadaan dan posisi media massa bukan semata pada relung kosong atau hampa.

Sebab itu, dalam menjalankan fungsinya media massa harus memberikan keseimbangan pada tataran informasi, pendidikan, menghibur, dan memengaruhi. Korelasi idealisme media massa itu akan berkait dengan bagaimana keempat fungsi dijalankan.

Karena dalam implementasi kerjanya, media massa memiliki minimal tiga tanggung jawab mendasar, yakni 1). Tanggung jawab sosial (social responsibility), 2). Tanggung jawab nasional (national responsibility) dan, 3). Tanggung jawab individual (individual responsibility).

Berangkat dari media massa dengan kemunculannya sebagai sebuah keniscayaan sejarah, yang menjadi titik krusial adalah bagaimana perkembangan teknologi informasi dan institusi media sebagai bagian yang terlahir dalam rasionalitas instrumental hendaknya dapat beriringan dengan kemunculan ruang partisipasi, sehingga publik memiliki ruang publik sebagai upaya ikut mewarnai dinamika kehidupan media massa.

*) Editor Penerbit Matakata, Lampung/ LampungPost,4Mei2006

Selasa, 02 Desember 2008

ABSTRAKSI INDONESIA DI AMBANG "TRAGIK'S"

Nurel Javissyarqi*

Yang tampak tiap hari, kita mencabuti akar-akar tradisi, mencopoti pernik-pernik pertiwi. Ini jelas jika membaca kedirian masing-masing atas makna menyungguhan perubahan di segenap wilayah. Istilah Sartre dalam pengantar The Wretched of the Earth, Frantz Fanon; kita sejenis kuda yang telah dicap besi panas pada pantat. Khasana intelektual kita bukan berakar di kedalaman nurani. Hati getir tercabik-cabik sebab tak ada yang patut dibanggakan.

Kita sudah lama membuang kehormatan diri di tong sampah, beserta baju kebesaran Nusantara yang melapuk. Ujaran-ujaran moyang tidak terpakai, seakan lambat mengembalikan bayu kesadaran ke dasar nalar tanah air. Akar tropis tergerus dengan mengumbar senyum sinis. Jiwa-jiwa tergerogoti kepicikan pesimis, atas langkah kaki yang diayun kesombongan dasi di sekitar bangsa pribumi.

Ini takkan tersentuh selagi tidak iqra’ menyinaui; di sudut mana sebaiknya duduk, dan di saat kapan harus berdiri. Bukan beramai-ramai menjadi pemain yang merecoki medan hitungan, seperti seruduk banteng telinga tuli.

Ribuan sarjana banyak menganggur menanti lowongan kerja. Inikan keblinger, tidak memberdayakan diri agar mempuni. Tes masuk pegawai berjubel hingga pingsan berkali-kali, semacam lukisan menggelitik. Seharusnya malu, bukan malah adu gengsi saat hendak melangkahkan sepatu mendaftar pengawai.

Para mahasiswa telah merugikan keuangan negara sebab berleha. Tidakkah pendidikan disubsidi, tetapi hanya main-main kuliah dan skripsi. Menjadi ajang permainan para senior yang mengikuti aturan sebelumnya, inilah ketololan yang membelunder.

Telinga yang tertutupi keangkuhan batu, sia-sia pembicaraan para hakim yang membaca gerak-gerik, sedang dirinya tidak bergerak sama sekali. Suka suap dibangga-banggakan, bagai kenangan terkutuk. Seyogyanya menjelma hantu rupawan untuk menggoda generasi, agar tidak terjebak dalam lubang serupa.

Semoga tak menjual kebangsaan dengan sesuap nasi, tidak melelang pendapat demi mengeruk pendapatan. Meramu pengalaman dahulu sebagai jejak langkah menuju jenjang kedewasaan penerimaan. Kenangan ialah bukti sejarah tidak berulang, tiada tercatat di dinding peradaban, kalau tak dalam ingatan anak-anak jaman. Proses berkelanjutan; sia-sia merugi di hari tua, jika tak sanggup mencium bibir kemerdekaan.

Lama nian dikungkung peraturan yang merecoki gerak menerbangkan jiwa, sering kali kecelik yang tidak terperhatikan segera luput terlupakan. Ternyata esok hari meminta jatah disuntuki. Atau kita sering membangun sesuatu yang terkuasai, namun membiarkan yang tidak terfahami. Jadilah terbingungkan di tempat duduk, diwaktu perubahan letak terbuka bagi siapa saja. Sungguh aneh, pendapatan nilai terabaikan demi materi, menyusun khasana tanpa membagikan pencerahan pada sesama.

Benang Kusut Kesadaran
Suap, salah satu dari ribuan kesalahan bangsa kita yang berkelanjutan. Nilai-nilai agama dalam perkembangan dewasa ini, belum mampu menangkal virus tersebut. Kalau merogok ke safana pribadi, kita telah melepaskan rasa malu diganti kerakusan. Berapa persen insan Indonesia yang sadar, tidak mengulang balik kesalahan kemarin?

Suap itu mata rantai besi setan yang bersinambung, jika tak diputus dengan penegasan hukum transparan. Mulut manis atas kata-kata pembangunan, namun tak bisa menggeser pandangan dahalu atas wawasan yang keliru. Revolusi sosial seharusnya dimulai, ini bukan menghakimi perbuatan keji dengan kehancuran, tetapi bagaimana insan sebagai tangan-tangan tuhan.

Deretan kekalahan tampak mencolok, membiarkan ambruk menuju muara akhir tidak bahagia. Memang kita terlahir dari beberapa aturan, namun tidakkah di saat kesadaran tersemat dalam tubuh kehendak, bertekad mencapai kebaikan bersama. Seharusnya berani menanggalkan aturan yang tak manusiawi, yang tak berpribadi menjunjung tinggi nilai pertiwi.

Kita telah menjelma robot-robot di pelosok pencarian profan. Naluriah mesin, perhitungan angka mekanik, manajemen untung yang merenggangkan sifat persaudaraan. Keyakinan tahayul dibangun dari sugesti keblinger. Lalu penelitian menjelma hukum ketuk palu, namun tidak sigap dalam menerima perubahan pada jenjang perbaikan.

Jiwa-jiwa sok paripurna dalam kamar kerdil menghadapi cermin kesendirian, seperti barisan komando tanpa kompromi. Demokratisasi mencekik lahan-lahan yang dianggap merusak tatanan kota, adalah wujud sepinya pertukaran nilai kasih sesama, semisal penggusuran.

Tidak mungkin mengudar benar kusut sendiri, apalagi hiruk-pikuk perubahan kian melek kebendaan. Mentalitas pandangan yang membangun sekadar tampakan, meninggalkan jauh pemberdayaan jiwa mandiri. Manakala perubahan merusak hati, kaburlah idealitas. Apalah hebat jika dibanding bocah kecil bermain, yang suntuk menikmati alam fikirannya sendiri?

Racun memasuki otak, mengkaratkan wawasan kebangsaan, hilang tenggang rasa merusak keseluruhan dialogis keadilan, diganti momentum kepentingan. Alokasi dana diraup tangan-tangan gurita yang malas bekerja. Konsep budi pekerti tergadai norma dadakan yang mementingkan tempat, lalu perjalanan waktu menjelma kebohangan.

Apalah yang didapat dari bolak-balik rumah ke kampus dunia? Jika pelajaran menerima hanya tertangkap angan, lalu menguap dibawa tidur panjang. Mimpi sesaat terbangun dengan ritualitas tidak bertambah. Seharusnya menghitung, berapa energi yang dikeluarkan dan berapa mutu diri memberi perbaikan lingkungan.

Kualitas diri tidak pada potongan rambut atau cara berjalan, tetapi fungsi dari sumbangsi, bukan membuntu kesempatan sesama dengan keping uang. Sukses besar bukan memiliki perabotan mewah, tetapi kebahagiaan bermanfaat tanpa pamrih, sebab sadar hidup hanya sekilas.

Apa yang dibanggakan dari hayat, jika nantinya memasuki kotak wayang? Apa yang tertinggal kebendaan, esok menjadi rebutan. Adalah tidak berfikir panjang kalau mengeruk untung sesaat nafas.

Kita sering wegah sebab jalan di depan sulit diterjang. Pahala sekali meneruskan, tentu mendapati temuan; kesadaran penilaian mandiri, gagasan yang terpendam kesibukan, bakal muncul keberuntungan atas prosesi berkelanjutan. Serupa hal baik yang tak terfikirkan sebelumnya.

Seharusnya berkaca agar tahu di mana posisi, ke mana memperbaiki kualitas bangsa. Kita seperti anak hilang tanpa identitas, umpama buih centang-perenang tidak sanggup mencipta sebutir garam renungan.

Ketidakjelasan itu selayaknya disadari, bukan ngelukru serupa bebatuan krucuk yang diangkut truk, atau segebok jiwa yang tak berguna. Padahal perjalanan waktu semakin mengecurut pada pemahaman jika menyetiai, namun bisa ambyar kalau tak memiliki daya ingat juang.

Demi lebih terang, kudunya memahami anatomi kesadaran. Bagian apa yang mampu kita angkat, di jarak mana menarik nafas menapaki keterbukaan. Dan dengan siapa bergandeng tangan berkecup mesra cita-cita, yakni gerak berharga daripada membaca tanpa motivasi ke sana.

Produktivitas Situasi Atas Angan
Tiap tanda dimaknai sebagai jejak kelanjutan; membaca anggang-anggang atau menterjemah yang terjadi nanti. Di mana kesadaran berada di lumbung kesegaran, yang jauh dari jamur kesambilluan. Memperbaharui diri menjaga vitalitas kerja agar tetap harmoni.

Ini kedewasakan pandangan, menerima segala kelapangan yang pahit di hati. Nasib-nasib terbangun atas olahan situasi sebagai bahan strategis, tidak harus melewati pedoman akademis yang belum tentu seirama. Sebab logika yang beredar tiap hari, seringkali tak mematuhi aturan umum para ahli.

Sungguh kita sanggup menyimak menjadi mempuni, dengan terus mencoba mencari formula memaknai perjalanan hayati. Kematangan datang bersusulan jika mengemban kehausan jiwa, tidak pernah puas di mana ruang-ruang pembusukkan.

Serta merapatkan barisan dari asosiasi masa silam, memetik manfaat kehadiran kini. Kebertemuan yang menyatukan gagasan realitas mendatang di tengah-tengah fikiran, tertangkap seirama perasaan yang melampaui wilayah ingatan. Mengorek daya duga asal muasal masa lalu, membongkar kemungkinan dengan yang sedang berjalan untuk hakiki.

Sebersit ingatan mengulas balik dengan kesungguhan, diri mengumpulkan kenangan menjadi nilai-nilai, demi tanjakan esok lebih ringan. Endapan nalar, daya renung jiwa, menilik hati dengan gigih mengaduk relung sunyi. Ialah sebuah kerja yang terus dirawat, sehubungan debu-debu menggesek dari kisaran terpaan angin lalu.

Semenjak diberi ingatan, keterangkatan peristiwa dihadapkan kekinian sebagai buah anugrah, lantas menimbang sejauh mana tanjakan, seberapa daya fisikal renung serta analisa mencapai dinamika. Hikmahnya, terhindar dari rasa bosan yang menguntit pelaku.

Kebosanan di walayah kemandekan serupa lumpur hidup, daerah angan yang tak memiliki gairah analitik, ongkang-ongkang kaki yang membius jiwa mematikan sukma, jika tak ditolong segera. Olehnya, perkawinan realitas di sela-sela pemikiran masa lalu, menjadi kembang kreativitas yang meninggalkan sisi-sisi melemakan, memprekes lemak-jiwa.

Maka rawatlah ingatan sebagai referensi atas yang tergerak kali ini untuk mendapati bentuk faedah, nilai-nilai terhadap fenomena gejala alam memantulkan idealitas. Kiranya yang berani menimbang angan ke depan, mendapati nikmat kesetiaan.

Ganjaran yang sudih menandaskan keyakinan, mendapati realisasi dari angan-angan. Kebertemuan daya duga sewaktu dijalankan. Inilah angan yang mendekati jangkauan pelaku. Jiwa setia menyelidik cemburu yang memburu kefahaman diri, karakter yang menarik balik sebagai ketajaman rasa demi masa-masa mendatang. Niscaya logika memberi tawaran rasa. Pengolahannya serupa bahasa pada kunyahan gigi-gigi para sastrawan.

Inilah lingkungan kefahaman bersama, perjuangan dari ketertinggalan melihat kemerosotan, kejahiliaan kemarin. Disaat ide melembaga, menjemalah kesombongan penjara yang melepaskan ingatan kerja masa silam. Sebelum jauh terperosok, akar-akar perlu dipegang, merangkak ke tepian awangan, agar selamat badan cita-cita menghirup kemungkinan yang tertandakan dari memori silam-semilam.

Maka membangun tidak lantas meninggalkan ruh tempo dulu, sebab daya cita perjuangan-lah yang mendamaikan jiwa. Kepedulian diri terhadap sesama menjadi jala tanggung jawab, sebagaimana candradimuka psikologi diri, demi kemantapan mental alam tropis nalar pertiwi.

*) 2006, Pengelana asal desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Jawa Timur.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito