Jumat, 28 November 2008

KRITIK PSIKOLOGI TELAAH EMPAT SASARAN

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Sejak awal abad ke-20 kritik sastra berkembang dengan pesat. Dibidani oleh pemikiran Ferdinand De Saussure lewat Cours de Linguistique Generale, yang seolah-olah, mengukuhkan formalisme Rusia yang dirintis kelompok linguistik Moskow (The Moscow Linguistics Circle, 1915) serta kelompok Opojaz (The Society for the Study of Poetic Language 1916) dan mencapai kecermelangan melalui gagasan stukturalisme Roland Barthes.

Masa itu, kritik sastra yang menekankan pada sejarah dan biografi pengarang boleh dikatakan tergusur oleh pendekatan yang menempatkan karya sastra sebagai sebuah perangkat yang dibangun oleh unsur-unsur yang fungsional; karya sastra sebagai struktur yang memiliki kelengkapannya sendiri. oleh karena itu, tidak lagi diperlukan penjelasan lewat unsur lain yang berada di luar struktur. Itulah dasar pemikiran strukturalisme.

Dalam perkembangannya, pengaruh psikoanalisis Sigmund Freud ternyata ikut menyeruak yang juga mempunyai pengikutnya sendiri. paling tidak, belakangan ini Jacques Lacan mencoba memanfaatkan gagasan Freud dan menghubunggabungkannya dengan konsep Saussure. Bahasa ditafsirkan berdasarkan gagasan Freud. Usaha memanfaatkan gagasan Freud untuk menjelaskan karya sastra, dilakukan juga Max Milner. Malahan ia menggunakan hampir keseluruhan karya Freud dalam usahanya menafsirkan karya sastra dan karya seni lain. Di samping itu, tidak sedikit pula yang memanfaatkan gagasan Carl Gustav Jung untuk kepentingan yang sama. Hal ini melibatkan bidang di luar sastra terutama psikoanalisis Freud dan psikologi analitik Jung, penting artinya dalam penyelidikan karya sastra. Gagasan Jung belakangan digunakan sebagai landasan pendekatan arketipe (keinsanan purba) dan mitos dalam kesusastraan.

Secara ringkas dapat dirumuskan bahwa pendekatan psikologi, baik yang bersumber dari gagasan Freud maupun Jung, mencangkup empat penyelidikan yakni: 1) psikologi pengarang sebagai tipe dan individu; 2) bagaimana terjadinya proses penciptaan karya sastra; 3) sejauh mana psikologi diterapkan dalam karya sastra; dan 4) pengaruh karya sastra pada pembacanya.

Mengenai penyelidikan yang dapat dipandang sebagai bentuk lain dari ketaksadaran satrawan; atau penyelidikan karya sastra berdasakan teori mimpi Freud, seperti yang dikatakan Max Milner atau penyelidikan karya sastra dalam kaitannya dengan masa lalu dan proses pembentukan psikis manusia, sebenarnya bukan wilayah ilmu sastra dalam pengertian yang khusus. Penyelidikan tersebut termasuk ke dalam wilayah psikologi.

Demikian juga masalah yang menyangkut pengaruh karya sastra kepada pembaca dapat dimasukkan ke dalam psikologi jika pusat perhatiannya menyangkut reaksi psikis pembaca; tetapi dapat pula dimasukkan ke dalam sosiologi sastra (sosiologi pembaca), jika pusat perhatiannya pengaruh karya itu pada masyarakat pembaca. Lalu, dalam wilayah mana psikologi sastra dapat beroperasi dengan tetap menempatkan karya sastra secara proposional dan wajar. Sedangkan psikologi hanya sebagai alat “bantu” ?
* * *

Sebelum masuk dalam pembicaraan di atas, ada baiknya dipaparkan sekilas perjalanan sejarah psikologi sastra.

Sejak zaman Yunani Kuno, sudah banyak yang menaruh perhatian terhadap kebesaran para ahli pikir dan pujangga waktu itu. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang luar biasa, yang berbicara dan bertingkah laku di luar kesadarannya. Lalu, banyak diantaranya yang menghubungkannya, bahwa yang dialami para pujangga itu adalah keadaan antara neurotik dan psikosis.

Konon, tokoh yang pertama memperkenalkan dasar pendekatan psikologi ini adalah Aristoteles (384-322 SM). Kendati lebih ia dikenal sebagai filsuf dan tokoh formalisme, dalam karya Poetica ia telah memakai istilah katharsis untuk menggambarkan luapan emosi pengarang yang terungkapkan dalam karyanya. Gejala psikis ini yang lalu dipakai salah satu penyelidikan psikologis sastra.

Pada abad ke-3, Dyonisius Cassius Longinus (210-273 M), dalam karyanya On The Sublime, juga memuat konsep-konsep dasar psikologi pengarang. Menurutnya, hasil cipta pengarang dapat membangkitkan emosi-emosi pendengar atau pembacanya. Pendapat ini diperkuat pula oleh Sir Philip Sidney (1554-1588). Kritikus Inggris ini, lewat karyanya, Apologie For Poetrie ‘Pembelaan Puisi’ (Defence of Poesie), menyatakan bahwa karya sastra (puisi) dapat membangkitkan dan memberi kepuasan emosional bagi pembaca. “Penyair adalah pembawa obor agar tidak berbuat sesat dan keangkaramurkaan. Puisi dan penyair tak boleh disepelekan !”

Dua abad kemudian (1757) terbit karya David Hume (1711-1776), Of Tragedy. Penelitiannya tentang bagaimana orang merasa senang mendengar atau membaca kisah-kisah tragedi. Dipelajarinya fakta kodrat manusia (psichological date). Ia beranggapan, ego (self consciousness ‘kesadaran diri’) adalah suatu kepercayaan yang dapat dijelaskan melalui analisis perbuatan mental manusia.

Dasar-dasar kritik psikologi tampak pula dari perbedaan istilah reason (alasan) dan understanding (pemahaman) yang dikemukakan Samuel T. Coleridge (1772-1854). Dalam uraian tentang peranan imajinasi dalam proses kreatif penyair, ia menekankan, bahwa bahasa manusia yang terbaik adalah bagian yang timbul dari renungan atas tindak hati nurani … bagian-bagian yang terbesar ini yang tidak pernah berkesan dalam kesadaran orang-orang yang buta huruf. Ditegaskannya pula bahwa puisi haruslah sensitif (peka) dan melalui imajinasinya puisi dapat pula mengungkapkan kebenaran. Puisi juga harus mampu merangsang pembaca.

Di samping Coleride, William Wordsworth (1770-- 850) juga dianggap banyak menyinggung keadaan jiwa dalam diri penyair yang dianggapnya sebagai sumber kebenaran dalam puisi. Dalam “Kata Pengantar” dalam Lyrical Ballads (1800), ia mengungkapkan, bahwa “Penyair adalah manusia yang bicara pada manusia lain. Manusia yang benar-benar memiliki rasa tanggal yang lebih peka, kegairahan dan kelembutan jiwa yang lebih besar. Manusia yang memiliki pengetahuan yang lebih mendalam tentang kodrat manusia dan memiliki jiwa yang lebih tajam daripada manusia yang lainnya.”

Hubungan antara sastra dan psikologi atau antara sastrawan dan gejala-gejala kejiwaan, baik yang mendahuluinya maupun yang kemudian terungkapkan dalam karyanya seolah-olah dikukuhkan penemuan psikoanalisis Sigmund Freud (1856--1939). Bersamaan dengan itu, C.G Jung (1875--1961) lewat psikologi analitiknya, juga menyinggung masalah psikologi dalam hubungannya dengan sastra. Baginya, arketipe adalah imaji asli dari ketidaksadaran, penjelmaan pengalaman yang turun temurun sejak zaman purba. Penyair adalah manusia kolektif, pembawa, pembentuk dan pembina dari jiwa manusia yang aktif secara tak sadar.

Sementara itu dengan psikoanalisis sebagai dasar penyelidikannya, Freud menyatakan; “Seniman itu sesungguhnya orang yang lari dari kenyataan; ia tidak dapat memuaskan kebutuhan instinknya. Ia lari ke alam fantasi, mencoba memuaskan harapan-harapannya, kemudian kembali menghadapi kenyataan.” Karya sastra merupakan refleksi hidupnya. Dengan itu, seniman akan merasa dirinya menjadi pahlawan, raja, pencipta dari apa yang diinginkan tanpa perlu mengubah alam sekitarnya. Seniman tak lebih dari seorang pelamun yang disahkan masyarakat. Ia tidak berusaha mengubah wataknya, tapi mewujudkan watak dan fantasinya itu.

Pendapat Freud itu banyak mendapat kecaman. Di antaranya dari Wellek dan Warren. Keduanya tak setuju, “Apakah pengarang dapat disamakan dengan seorang yang mengalami halunisasi. Artinya apakah dengan begitu pengarang tak bisa lagi membedakan kenyataan -- khayalan, harapan -- kekhawatiran. Yang diungkapkan pengarang bukanlah halunisasi, melainkan kemampuan berimajinasi”.

Salah seorang perintis psikologi sastra adalah I.A. Richard. Karyanya yang berjudul Principles of Literary Cristicism (1924) sering digunakan sebagai sumber rujukan tokoh angkatan sesudahnya. Ia amat menekankan pentingnya hakikat pengalaman sastra terpadu (unified nature of literary experience), seperti yang dilakukan psokologi gestalt. Di sisi lain, ia menentang anggapan seni untuk seni. Alasannya, bahwa seni hanya akan dapat bermakna jika ia mampu berkomunikasi dengan pembacanya.

Pengaruh kuat psikologi gestalt tampak pada Herbert Read. Karyanya, Phases of English Poetry (1928), Poetry and Anarchism (1938), dan The Philosophy of Modern Art (1952). Di Indonesia, Goenawan Mohamad dan Arief Budiman pernah memperkenalkan kritik ini saat terjadi diskusi kritik sastra dengan aliran Rawamangun.

Tokoh lain yang menonjol adalah Norman H Holland. Sejumlah karyanya antara lain The First Modern Commedies (1959), The Sakespeare Imagination (1964), Psycoanalysis and Shakespeare (1965) --konon-- tampak jelas dipengaruhi psikologi dalam (depth psychology), yang juga tampak pada Leslia A Fiedler dalam karya pentingnya, Love and Depth in the American Novel (1960).

Sementara yang banyak terpengaruh aliran fenomenologis eksistensial adalah George Poulet. Karya kritikus asal Prancis ini berjudul Studies in Human Time (1950) dan Interior Distance (1952). Adapun Kenneth Burke, yang menurut Hardjana mengikuti jejak Maud Bodkin, lebih banyak dipengaruhi psokologi eklektika, terutama dalam tulisannya yang berjudul Charthasis: Second View. Pada karyanya yang lain, A Grammar of Motives (1945) Burke menafsirkan Ode on a Gracian Urn karya Keats sebagai tindak bermakna pralambang (symbolic action).
* * *

Psikologi sastra melakukan pendekatannya dengan melibatkan tiga unsur, yaitu pengarang sebagai pencipta, karya sastra dan pembaca selaku penikmat. Pada tahap awal karya sastra dianggap sebagai proyeksi pengarang. Aspek-aspek emosi yang terdapat dalam karya itu dianggap mewakili emosi-emosi pengarang. Dengan begitu latar belakang pribadi pengarang yang menjadi beban penyelidikannya. Lewat pendekatan psikologi, diharapkan dapat terungkapkan bagaimana pengalaman pengarang amat menentukan isi karyanya, seperti gaya, tema, dan penggambaran watak para tokoh ciptaannya.

Pada tahap kedua, adakah karya sastra itu mengandung data-data psikologi. Kritikus melacak dan mengungkapkan kebenaran teori psikologi yang diterapkan pengarang menunjukkan persamaan dan memisahkan hubungan antara pengarang dan karyanya.

Kritikus umumnya cenderung memilih dan memakai pendekatan ini. Soalnya dengan cara ini karya sastra tetap dianggap sebagai objek telaah utama. Sedangkan teori psikologi hanyalah sebagai alat bantu dalam melakukan penyelidikannya. Di Indonesia, M.S. Hutagalung dan Boen S Oemarjati pernah memperkenalkan pendekatan ini. Keduanya menelaah karya Mochtar Lubis (Jalan Tak Ada Ujung) dan Achdiat K Mihardja (Atheis) lewat pendekatan psikologi.

Pada tahap ketiga, kritikus berusaha menyelidiki “misi” pengarang yang terkandung dalam karyanya dalam hal ini pembaca dianggap sebagai objek sasaran pengarang. Kritikus bertugas menunjukkan unsur-unsur yang memberikan kepuasan dan daya pikat karya sastra yang bersangkutan dan mengapa karya itu memberikan pengaruh tertentu kepada pembacanya. Bagaimanapun karaya sastra mengandung aspek magis. Aspek inilah yang mebuat pembaca terpikat dan merasa puas. Lebih lanjut lagi, kritikus berusaha mendedah dan memahami alam magis yang dihadirkan karya itu. Demikianlah yang mesti dilakukan kritikus sastra dengan pendekatan ini adalah menempatkan psikologi sebagai alat bantu; karya sastra itu sendiri yang menjadi objek penelitiannya yang utama.

SUARA KARYA, Minggu, 20 Maret 1994

MUHAMMAD DI TIMUR DAN BARAT

Haris del Hakim

Bagi orang muslim, Muhammad dengan agama Islam adalah nabi dan penyelamat di dunia dan akhirat. Karena itu, menodai citra Muhammad adalah menodai agama mereka. Terlepas dari itu, fenomena penodaan citra Muhammad ternyata bukan hal baru. Dunia Barat mengenal Muhammad jauh berbeda dengan Muhammad yang dikenal oleh dunia Timur. Contoh citra Muhammad ada dalam karya Dante, The Divine Comedy.

Muhammad, yang disebut sebagai “Maometto”, muncul dalam canto (bagian dari suatu syair) 28 inferno. Muhammad berada pada lapisan ke sembilan dari sepuluh lapisan Bolgias of Malebolge, gugusan parit kelam yang mengelilingi kubu setan di neraka. Sebelum lapisan ke sembilan yang dihuni oleh Muhammad, terlebih dahulu Dante menjelaskan lapisan sebelumnya yang dihuni oleh para pendosa dengan dosanya yang lebih ringan, seperti: tukang cabul, orang tamak, orang rakus, pembuat bidah, pembuat onar dan angkara murka, orang yang membunuh diri, dan orang kufur (penghina Tuhan). Lapisan setelah Muhammad dihuni oleh para pemalsu dan pengkhianat, di antaranya: Judas pengkhianat Yesus, Brutus dan Casius pengkhianat Yulius Caesar. Setelah itu sampailah pada lapisan dasar neraka di mana setan sendiri berada.

Jadi, Muhammad termasuk dalam hirarki kejahatan yang berat. Dante menyebutnya sebagai semonator di scandalo e di scisma (penyebar skandal dan perpecahan). Hukuman terhadap Muhammad, yang merupakan siksaan abadinya, adalah hukuman yang sangat menjijikkan. Tubuhnya terus-menerus dibelah menjadi dua mulai dari dagu hingga ke anus, bagaikan, kata Dante, tong kayu yang papan-papannya dirobek. Pada bagian ini Dante menguraikan detil-detil eskatologis yang tercakup dalam hukuman tersebut: isi perut dan najis Muhammad digambarkan secara jelas. Muhammad menerangkan kepada Dante mengenai hukuman yang menimpanya, sambil menunjuk kepada Ali, yang juga berada dalam barisan para pendosa yang disiksa dengan dibelah tubuhnya oleh malaikat penyiksa. Ia juga meminta kepada Dante untuk memperingatkan seorang bernama Fra Dolcino, pendeta murtad yang sektenya menganjurkan komunalitas wanita dan harta benda, akan siksaan yang menimpanya. Docino sendiri merupakan pemimpin sekte pada masa Dante yang sedang melonjak debut teologinya. (Edward W. Said, Orientalism).

Uniknya, karya Dante tersebut terinspirasi oleh Risalah al-Ghufran, karya al-Ma’ari. Al-Ma’ari yang muslim menggambarkan bagaimana tokoh, bernama Ghufran, masuk surga dan ingin bertemu dengan para penyair di sana. Dia meminta penjelasan tentang makna kata-kata absurd dalam puisi kepada penyairnya langsung. Karya tersebut juga mengilhami Muhammad Iqbal, penyair dan pendiri negara Pakistan, untuk menulis Javidnamah; setelah dia membaca karya Dante. Citra Muhammad dalam Javidnamah dapat mewakili pandangan dunia Timur tentang Muhammad.

Iqbal menjelaskan tokoh utama masuk ke orbit Jupiter dan bertemu dengan Hallaj, sufi yang dihukum mati karena ajarannya yang dianggap subversif. Tokoh menanyakan misteri-misteri Muhammad dan Hallaj menjawabnya secara filosofis dan idealis dalam bentuk puisi panjang: sebab ia itu manusia, sekaligus zat / /zatnya bukan Arab, bukan Persia / dia manusia, namun sebelum adam / “Hamba-Nya” penulis nasib / di dalam dirinya ada perbaikan keporak-porandaan / “Hamba-Nya” pemberi ruh, sekaligus pengambil ruh / “Hamba-Nya” kaca sekaligus batu keras / “Hamba” itu sesuatu, dan “Hamba-Nya” sesuatu yang lain lagi – / /kita semua menanti; dialah yang dinanti-nantikan / “Hamba-Nya”tak berawal, tak berakhir / “Hamba-Nya” – dimana baginya pagi dan petang? / Tak seorang pun tahu rahasia-rahasia “Hamba-Nya”— / “Hamba-Nya” tak lain adalah rahasia “kecuali Allah”

Citra Muhammad di Barat tidak lebih seorang psikopat yang mengilhami umatnya menjadi teroris di abad ini, terlepas dari berbagai persoalan sosial-budaya-ekonomi-politik yang lebih rumit. Lebih-lebih para pelaku kekerasan, yang disebut sebagai teroris itu, lebih sering menggunakan label agama Islam sebagai perisai pembelaan. Sehingga, lengkap citra Muhammad di dunia Barat seperti itu.

Tentu saja hal itu sangat berseberangan dengan citra Muhammad di dunia Timur. Dunia Timur memiliki argumentasi, “Kalau seorang psikopat mampu memberikan arah segar kepada jalannya sejarah manusia, ini merupakan satu hal yang sangat menarik minat psikologi untuk menyelidiki pengalamannya yang sebenarnya yang telah mengubah budak-budak menjadi pemimpin-pemimpin manusia dan yang telah mengilhami perilaku dan membentuk perjalanan hidup seluruh ras manusia. Menilai dari berbagai aktivitas yang memancar dari gerakan yang dilancarkan oleh nabi, ketegangan spiritual danperilaku yang muncul darinya tak dapat dipandang sebagai suatu tanggapan terhadap semata-mata fantasi di dalam otaknya. Tak mungkin untuk memahaminya kecuali sebagai tanggapan terhadap situasi obyektif yang melahirkan antusiasme-antusiasme baru, tatanan-tatanan baru, titik-titik tolak baru. Jika kita lihat masalahnya dari sudut pandang antropologi, tampaklah bahwa seorang psikopat merupakan faktor penting dalam ekonomi organisasi manusia.” (Muhammad Iqbal, Metafisika Persia).

Bagi dunia Timur dan kaum muslim khususnya, Muhammad merupakan harga diri. Dia adalah penggerak lahirnya kebesaran Islam yang menguasai dunia selama 700 tahun. Sejak Muhammad meninggal dunia pada tahun 632, kekuasaan secara militer yang disusul dengan kebudayaan dan keagamaan Islam berkembang sangat pesat. Pada mulanya Persia yang megah itu dapat ditaklukkan, Syria dan Mesir, lalu Turki kemudian Afrika Utara pun jatuh ke tangan orang muslim. Pada abad kedelapan dan sembilan Spanyol, Sisylia, dan negara bagian Prancis pun ditaklukkan. Abad ketiga belas dan keempat belas, Islam hampir berkuasa sampai ke India, Indonesia, dan China.

Pencitraan Muhammad sebagai orang gila, dukun, penyair, merupakan citra yang memiliki akar sejak zaman Jahiliyah pada zaman Nabi Muhammad sendiri. Ketika itu para pemuka Qurais, yang dipimpin oleh Abu Jahal, merasa kehilangan pengaruh hegemoninya atas dunia arab. Agama baru yang dibawa oleh Muhammad secara perlahan-lahan, namun pasti, menggerogoti kekuasaan mereka. Sebagai pertahanan kekuasaan atas perlawanan Muhammad dan pengikutnya yang sebagian besar dari kalangan budak, para penguasa Qurais berkolaborasi dengan ahli kitab yang haus kekuasaan memberikan karakter yang negatif terhadap Muhammad.

Sebagai tanggapan atas hal itu, kitab suci orang Islam menjelaskan karakter Abu Jahal atau Abu Lahab sebagai orang yang binasa kedua tangannya, yaitu sia-sia dan tidak berguna semua harta kekayaan dan perbuatannya (QS. al-Lahab: 111). Sedangkan bantahan terhadap ahli kitab, alih-alih memburuk-burukkan justru penjelasan yang proporsional mengenai sejarah agama mereka. Tokoh kunci, seperti Musa, Ibrahim, Israil, Dzulkifli (yang diasosiasikan dengan Sidharta Gautama), Isa, dikukuhkan sebagai nabi orang Islam. Apabila semua itu tidak juga memberikan pemahaman baru tentang Muhammad dan agama yang dibawanya, maka jalan kaluarnya adalah menunggu waktu siapa di antara mereka yang benar.

DIALOG ANAK LAUT

Catatan Kecil tentang Puisi Mardi Luhung
Imamuddin SA

Siapa yang tidak kenal dengan Mardi Luhung! Penyair yang kerap dipanggil Hendry ini adalah seorang guru sebuah lembaga pendidikan di Gersik. Selain ia tekun dalam dunia pendidikan, yang tidak kalah lagi adalah ketekunannya dalam dunia kesusastraan. Ia dapat dikatakan sebagai motor kesusastraan di Gersik. Perjuangan sastranya di kota tersebut sungguh luar biasa. Hal itu terbukti dari eksistensinya sebagai gerilyawan sastra. Ia mencoba memasyarakatkan sastra mulai dari lingkungan bawah sampai atas. Dari sekolah sampai jalanan.

Mardi dalam karya-karyanya, khususnya puisi kerap menyuarakan realitas sosial kemasyarakatan kotanya. Ia kerap menyuarakan kultur sosial masyarakat kota Gersik yang notabenenya adalah kota pantai atau pelabuhan. Itu tecermin dari logat bahasa dalam puisinya. Yaitu keras tanpa dihalus-haluskan, ujaran atau kosa kata nelayan, suasana pelabuhan dan pantai, narasi keseharian masyarakatnya di pasar, jalan, dan gang, serta ruang publik lainnya.

Berbicara kultur masyarakat pesisir, memang tidak dapat dipungkiri bahwasannya kita akan banyak menemukan nuansa kehidupan yang keras. Mulai dari logat bicara sampai perilaku masyarakatnya. Kondisi semacam itu tampaknya secara dominan dipengaruhi oleh letak geografis daerahnya. Dirujuk dari segi nenek moyangnya, masyarakat pesisir dalam realitas kesehariannya dituntut untuk melaut. Dalam kondisi semacam itu, pada dasarnya dalam kesehariannya, mereka dihadapkan dengan tantangan kematian, gemuruh ombak, dan nasib yang tidak menentu. Mereka masih dibayang-bayangi oleh ketidak mengertian bahwa ia akan dapat kembali ke darat atau tidak. Untung atau tidak.

Hal itulah yang pada dasarnya membentuk karakter dan mentalitas masyarakat pesisir yang keras dan berani. Mentalitas dalam kesehariannya dipertaruhkan dengan maut. Setiap hari mereka ditraining oleh kematian. Itu adalah makanan dan terapi mentalnya. Bayang-bayang akan kematian dan maut sudah terbiasa melingkupinya sehingga hal itu kurang terhiraukan lagi. Hal itu mampu mejadikan mereka berkemauan keras dan lantang menghadapi segala bentuk tantangan hidup.

Aspek tersebut juga dapat mempengaruhi logat bahasa mereka. Jika mentalitas selalu dicekoki dengan training-training semacam itu, maka lambat laun logat bahasa yang tercipta adalah logat bahasa yang bernada tinggi. Logat bahasa yang mencerminkan egosentris yang jika dirasa-rasa atau didengarkan mengandung nilai kesombongan. Padahal itu tidak sama sekali. Itu adalah logat bahasa alamiah yang terbentuk oleh alam. Belum lagi pengaruh deru ombak yang menyebabkan intonasi suara harus keras. Sebab kalau tidak keras, suara tidak akan sampai dengan jernih pada respondennya. Dan itu menyebabkan komunikasi terhambat. Jadi, logat yang keras, kasar, dan egosesntris merupakan harmonisasi bahasa yang terbangun dalam kultur masyarakat pesisir.

Puisi-puisi Mardi sangat kental menyuarakan masyarakat pesisir. Ia kerap menggambarkan bagaimana realitas sosial yang melingkupi pribadi-pribadi mereka. Dalam puisinya, Mardi pernah menyatakan kebenciannya terhadap orang-orang yang mengaggap bahwa masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang tidak tahu aturan dan tidak memiliki unggah-ungguh dalam berperilaku. Terutama dari segi ungkapan bahasanya. Orang-orang tersebut kerap menganggap mereka kosro dan kasar. Bahkan kerap dianggap sebagai masyarakat yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungannya.

...... “dan tahukah kau yang paling aku benci? // adalah ketika kita sama-sama ke sekolah // dan sama-sama disebut: “Orang Laut.”
Orang yang dianggap sangat kosro // kurang adat dan keringatnya pun seamis // lendir kakap yang sebenarnya sangat mereka sukai”...... (Pengantin Pesisir, bait: 5-6 dalam Ciuman Bibir Yang Kelabu, 2007:3).

Anggapan-anggapan orang semacam itulah yang sangat dibenci oleh Mardi. Jika ditelisik lebih jauh, bahwa sesungguhnya mereka sendirilah yang pada dasarnya tidak memiliki unggah-ungguh bahasa. Mereka dengan seenaknya mengklaim dan menilai masyarakat pesisir tanpa memperhitungkan sebab-musabab pembentukan dialek bahasa mereka. Mereka tidak sadar bahwa dialek orang pesisir semacam itu merupakan bentukan alam yang berfungsi sebagai balance dalam kehidupan ini. Jadi, bagi Mardi tidak perlulah seseorang mengklaim ini dan itu kepada masyarakat pesisir. Biarkan saja mereka mengembangkan dialektika masing-masing. Toh pada dasarnya dialektika semacam itu tidak mengganggu harmonisasi antara masrakat yang satu dengan yang lainnya. Justru itu adalah rahmatal lil alamin.

Kehidupan orang-orang pesisir tidak terlepas dari ikan. Dalam kesehariannya, mereka selalu menumpahkan pikiran dan keringatnya untuk melaut. Untuk menangkap ikan yang sebanyak-banyaknya sebagai usaha dalam mempertahankan hidup.

Sebab terlalu kentalnya hubungan mereka dengan ikan, aroma tubuhnyapun mengandung aroma ikan. Itu secara alamiah dan tidak dimanipulasi dengan parfum-parfum pada umumnya. Baunya sedikit amis.

Fenomena semacam ini yang mungkin menyebabkan timbulnya tindakan pengucilan terhadap anak-anak laut ketika mereka membaurkan diri dalam masyarakat luas yang berada sedikit jauh dari lingkungannya. Ini biasanya terjadi ketika anak-anak laut melakukan urban ke kota. Entah itu ketika menuntut ilmu ataupun yang lainnya. Kalau di Afrika Selatan ada yang namannya Politik Apartheid mungkin di sini ada Politik Ikan Pahit. Dan Mardi seolah bertindak sebagai Nelson Mandelanya. Dengan suara-suaranya, ia berusaha menghapus kesenjangan sosial yang ada. Melenyapkan perbedaan parfum ikan dengan parfum moderen. Menanamkan image persamaan harkat dan martabat antara masyarakat kota dengan masyarakat pesisir.

Menanamkan persamaan harkat dan martabat dalam pribadi seseorang sangatlah penting. Tidak membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lainnya merupakan sebuah keutamaan. Ini adalah sebagian dari proses pemahaman diri. Memahami pribadi orang lain untuk diselami dan mencoba memposisikan diri sendiri pada posisi orang lain. Sebagaimana Abel Bonnard menyatakan bahwa persahabatan itu butuh pemahaman. Dengan sikap semacam itu, nilai solidaritas dan persahabatan akan terbangun kokoh. Jika solidaritas dan persahabatan telah terjalin antarindividu, maka persatuan dan kesatuan masyarakat dan bahkan bangsa akan tercipta. Sehingga perpecahan tidak akan terjadi. Tampaknya ini tidak sekedar tertuju pada masyarakat kota dengan masyarakat pesisir saja. Tapi juga untuk suku, agama, dan ras.

Kita kembali pada masyarakat pesisir. Bagi masyarakat pesisir, ikan adalah segala-galanya. Ikan adalah penopang hidupnya. Ikan adalah bulan. Dan bulan adalah ikan. Begitu kata mardi.

...... “Padamulanya bulan adalah ikan // yang menggeliat dan berdenyut // lewat jantung-tak-terbilangnya” ...... (Pada Mulanya Bulan Adalah Ikan, bait:1dalam Ciuman Bibir Yang Kelabu, 2007:61).

Ikan sangat berarti bagi kehidupan masyarakan pesisir. Semua tawa dan kebahagiaan bermula dari ikan. Ikan dapat dikatakan roh bagi masyarakat pesisir. Yang namanya roh, berarti ia menjadi perantaraan kehidupan. Orang yang rohnya melayang, secara otomatis ia tidak dinamakan orang. Tetapi mayat. Itulah eksistensi ikan bagi masyarakat pesisir. Kehidupannya bertumpu pada ikan. Mata pencahariaanya berorientasi pada ikan. Jika sehari saja mereka tidak mendapatkan ikan, duka bersarang tak tertahan. Tidak ada lagi bulan di pantai. Tidak ada lagi senyum masyarakat pesisir. Dan dapat dikatakan pula, ikan adalah separuh nyawa dari masyarakat pesisir. Separuh nyawanya lagi adalah wanita.

...... “Tiga ratus anak laut membuntuti. // anak-anak laut yang separuh badannya adalah ikan. // Dan separuh lagi adalah kemontokan keremajaan.// Seperti ke montokan gadis-gadis pinggir pantai. // Yang percaya pada maut dan laut.” ...... (Orang Tenggelam, bait:1 dalam Ciuman Bibir Yang Kelabu, 2007:133).

Orientasi wanita di sini cukup luas. Wanita dapat merujuk pada istri-istri dan gadis-gadis pesisir yang pada dasarnya keduanya itu berkonotasi pada cinta. Ikan bukan sekedar penyambung hidup sendiri, tapi ikan juga untuk menyambung hidup para wanita yang notabenenya tak mungkin melaut. Dengan mendapatkan ikan yang banyak, kesejahteraan keluarga akan tercapai. Begitu juga dengan cinta gadis-gadis remaja pun akan tegapai. Itu bagi mereka yang belum beristri.

Konon, secara mayoritas, orientasi wanita adalah materi. Siapa yang mengantongi uang banyak, dialah yang bakal menggenggam totalitas cintanya. Lihat saja, sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Ketika sang suami banyak uang, kasih sayang dan cinta sang istri begitu menyeluruh. Namun ketika uang tidak ada, yang banyak terjadi adalah emosional dan kemarahan. Dan ini sudah wajar, sebab wanita dikatakan sebagai kaum hawa. Kaum yang selalu menomorsatukan hawa nafsunya. Menomorsatukan materi dan fisik kemanusiaannya. Lebih jauh lagi, coba tengok lokalisasi. Siapa yang berkantong tebal, dialah yang bakal dimuliakan oleh para wanitanya.

Tapi tidak perlu dipikir panjang. Keberadaan wanita adalah sebuah keniscayaan. Ia sebagai penanda kesempurnaan manusia. Sebab wanita merupakan bagian dari laki-laki yang telah terbelah. Penyatuan laki-laki dan wanita, entah itu secara jasmani maupun rohani merupakan sebuah usaha dalam melengkapi kepribadian masing-masing. Berusaha menutup ruang kosong kepribadian. Jadi tidak ada lelaki yang tidak suka dengan kewanitaan. Dan tidak ada wanita yang tidak suka dengan kelelakian. Ini adalah kodrat umum kemanusiaan. Jauh dari pada itu, setiap lelaki pasti sedikit banyak memiliki sifat kewanitaan. Dan wanita juga pasti sedikit banyak memiliki sifat kelelakian. Sebab pada mulanya mereka adalah satu tubuh.

Setiap manusia pasti memiliki keseimbangan diri. Sekasar-kasarnya orang, pasti memiliki kelembutan. Dan selembut-lembutnya pribadi seseorang, kadang kala memunculkan tabiat yang keras. Entah sedikit atau banyak, itu pasti terjadi. Begitu juga dengan masyarakat pesisir, meskipun tampak terlihat kasar, ia masih memiliki kelembutan hati. Tinggal respondenya saja yang harus mampu memasuki ruang kosong itu. Dan mengambil kelembutannya. Entah dengan cara apa dan bagaimana, pikirkan saja. Sebab setiap individu itu memiliki cara yang berbeda-beda dalam memasuki kepribadian individu lain. Tentunya disesuaikan dengan karakter masing-masing.

Secara sekilas, bagi orang yang baru membaur dengan masyarakat pesisir, ia akan merasakan aura kepribadian yang keras. Itu wajar saja. Sebab ia belum terlalu akrab dan belum menjalin hubungan emosional yang kuat. Jika keakraban dan hubungan emosional telah terbangun, maka secara alamiah pasti merasakan kelembutan aura kepribadiannya. Dan bahkan cinta dan kasih sayangnya. Paling tidak kita akan mengetahui kelembutannya yang tercurah pada keluarganya. Dan bahkan lingkungan kemasyarakatannya. Sebagaiman tecermin dalam ungkapan Mardi berikut.

...... “Sejauh mata memandang, sejauh itu pula aku // memandang yang berjalan di atas laut. Siapa gerangan // mereka? Wajah dan pakaian mereka seperti gelombang // lembut yang menyisir pantai dan rumah-rumah, bakau // dan perahu-perahu yang dibalik, yang warnanya sedang // dibatik, dan lambungnya ditambal dengan keringat, cinta // dan lendir ikan yang terpukat” ...... (Yang Berjalan Di Atas Laut, bait:1 dalam Ciuman Bibir Yang Kelabu, 2007:131).

Perlu diketahui, bentuk solidaritas masyarakat pesisir itu sangat tinggi. Dan itu baru muncul jika seseorang mampu mengambil kelembutan hati mereka. Jarang seseorang mampu menyelami kepribadian masyarakat pesisir. Boro-boro menyelami, mendengar logat bicara dan perawakannya saja seseorang kebanyakan ogah bergaul. Alasan takutlah, mereka tak punya sopanlah, dan masih seribu alasan lagi diungkapkannya. Ini sebenarnya sebuah pandangan yang kurang objektif. Kebanyakan orang menilai dari segi luarnya saja dan melupakan kebatinannya. Bagi yang akrab bergaul tentunya pasti akan mengetahui hal itu.

NGALOR-NGIDUL TENTANG KEBUDAYAAN

(Bukan berarti kita tidak perlu mampir ke Barat atau Timur)
Haris del Hakim

Corak budaya satu warna yang bertaraf nasional yang mengiringi kekuasaan Orde Baru ternyata mempunyai imbas yang signifikan terhadap tradisi dan budaya yang bercorak kedaerahan. Kisah-kisah, kearifan, ataupun dongeng asal-usul suatu daerah menjadi tertepiskan oleh jargon-jargon yang mendukung pembangunan nasional, sebagaimana dicanangkan oleh masa pemerintahan Presiden Soeharto. Contoh paling gampang adalah pudarnya kekuatan baureksa sebagai penguasa di suatu daerah.

Kondisi tersebut mengakibatkan generasi yang lahir setelah itu “kehilangan” akar tradisi. Duapuluh tahun setelah berdirinya Orde Baru muncul fenomena generasi muda yang tidak memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal, sehingga sering terdengar istilah “malin kundang si anak hilang yang durhaka terhadap ibunda kampung halaman”. Gelombang reformasi yang turut menghembuskan otonomi daerah seakan menyentak kesadaran akan hilangnya nilai-nilai kedaerahan tersebut, tidak terkecuali di daerah Lamongan.

Kisah-kisah, warisan budaya, dan kearifan lokal, sebagai kekayaan dan sumber kebanggaan bagi generasi muda akan kedaerahannya menjadi niscaya untuk digali kembali. Kisah Panji Laras dan Panji Liris, misalnya, merupakan salah satu kekayaan daerah Lamongan yang perlahan mulai dilupakan atau tidak dipahami secara baik oleh generasi muda. Kisah yang melahirkan tradisi pinangan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki menyamarkan motif-motif dan tanpa disadari termasuk salah satu faktor pendukung patriarki secara kasar, tanpa pemahaman yang matang terhadap akar persoalan. Padahal, kisah tersebut merupakan tafsir masyarakat terhadap apa saja yang membuat kaum laki-laki lebih tinggi dari kaum perempuan.
***

Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta budhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata “budhi”, berarti budi atau akal. Artinya, kebudayaan dapat diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Sementara dalam bahasa asing dikenal dengan istilah culture yang artinya adalah kebudayaan. Kata tersebut berasal dari bahasa Latin “colere” yang berarti mengolah atau mengerjakan, lebih tepatnya mengolah tanah atau bertani dan dapat diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Soekanto, 1982: 166).

Terlepas dari definisi yang teoretis seperti di atas, kebudayaan adalah predikat-predikat atau “baju-baju” yang dipakai oleh masyarakat untuk mengungkapkan keberadaannya. Karena masyarakat cenderung majemuk dan beragam, maka tidak aneh apabila dalam suatu masyarakat timbul berbagai macam ekspresi budaya. Kebudayaan seorang anak sekolah tentu berbeda dengan mahasiswa, petani, pedagang, atau ibu rumah tangga. Lebih gampangnya begini, mengapa seringkali timbul persoalan antara adik-kakak-orang tua-dll, secara ringkas karena mereka berbeda secara budaya. Seorang anak sekolah senang dengan band, tampil di panggung-panggung, mimpi menjadi artis, tampil menarik dan menjadi bahan perhatian banyak orang, sementara kakaknya mungkin tidak lagi mempunyai perhatian di bidang seperti itu. Atau kalaupun masih perhatian tidak sebergejolak seorang remaja. Akibatnya, timbul konflik hanya karena masing-masing mempunyai bobot perhatian berbeda dalam satu bidang—saya tidak mengatakan sebagai tidak peduli, sebab semua orang pasti mempunyai rasa perhatian terhadap segala macam persoalan hanya berapa persen dia peduli dengan hal itu.

Cara berekspresi inilah yang kemudian menimbulkan pengkotak-kotakan tentang budaya Timur-Barat-Utara-Selatan tanpa ada garis batasan wilayah yang jelas. Sampai saat ini kita seringkali mendengar kekuatiran beberapa kalangan tentang budaya Barat dan masih mengagungkan budaya Timur. Di dalam benak kita sangat jelas terbentuk pandangan bahwa budaya Barat adalah budaya yang rusak atau meng-gebyah uyah semua yang berbau Barat adalah rusak, sedangkan budaya Timur adalah budaya yang adiluhung. Bahkan, ada beberapa kalangan yang mengharamkan semua hal yang bersifat Barat. Pikiran yang sederhana seperti itu membuat kita gagap menjawab persoalan apakah kemajuan teknologi bukan termasuk hasil kebudayaan orang-orang “Barat”? Di sisi lain kita juga gagap ketika ditanya apakah budaya Timur yang adiluhung itu? Jawaban yang muncul secara spontan serampangan adalah, “Pokoke Bukan Barat!”. Jawaban seperti itu belum tentu timbul dari pemahaman yang betul mengenai “Barat” itu seperti apa sehingga dapat menjlentrehkan “Bukan Barat”.**

Gugatan-gugatan seperti itu meminta kita mempertimbangkan penilaian-penilaian kita terhadap wilayah asal budaya yang terlanjur kita konsumsi. Sejarah kebudayaan dan peradaban Barat saat ini ternyata hasil dari sumbangsih peradaban Asia—kalau boleh disebut Islam adalah bagian dari Asia—yang diperoleh dari Yunani dan Rpmawi. Karena itu, menyikapi pengkotakan budaya Timur-Barat-Utara-Selatan tidak pelu ngotot-ngotot sebab bisa diselesaikan di warung kopi—di warung kopi kita menemukan teknologi hasil produksi kemajuan peradaban Barat, seperti HP, dan kita juga menemukan cangkul pak tani yang sedang istirahat setelah lelah bekerja di sawah.

Persoalan yang lebih penting sebenarnya adalah merenungkan dan berpikir apa yang ada di balik budaya Barat dan Timur atau Utara dan Selatan, sehingga kita dapat memberikan penilaian secara arif. Pada saat kita membeli HP, misalnya, kita tentu tidak menanyakan ini produk Barat atau Timur? Apalagi pertanyaan lain yang sangat penting, seperti: Apakah untungnya kita mempunyai HP dan apa kerugiannya? Berat mana antara untung dan ruginya? Dan pertanyaan paling mendasar adalah, apakah saya benar-benar membutuhkan alat komunikasi yang bernama HP atau sekadar karena teman-teman saya mempunyai HP, maka saya juga harus mempunya HP?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu baru lontaran-lontaran iseng yang memunculkan pembahasan lebih mendalam. Di antaranya, apakah kepentingan orang-orang menciptakan HP dan menjual sinyal yang memanfaatkan udara? Bukankah udara diciptakan untuk digunakan oleh seluruh makhluk secara umum dan tidak hanya untuk gelombang radio, sinyal hp, radar, dll. Benarkah kepentingan pembuatan teknologi murni untuk kepentingan manusia secara menyeluruh, tetapi mengapa hanya orang-orang yang berduit mempunyai alat-alat teknologi yang maju?

Saya mempunyai teman yang tidak mau disebut ketinggalan zaman, sebut saja namanya Polan. Polan berpendapat bahwa ukuran tidak ketinggalan zaman adalah apa saja yang dilakukan oleh teman-temannya, tentu saja termasuk saya. Kalau temannya membeli sepatu merk Adidas, maka dua hari kemudian dia pasti sudah memilikinya. Begitu pula dengan barang-barang lainnya. Kemudian, kami bersepakat untuk memiliki barang-barang yang berbeda merk dan jenisnya antara satu sama lain dan satu bulan kemudian kami ganti dengan merk dan jenis lain. Secara ekonomi Polan memang kaya dan dituruti segala kemauannya. Sehingga, apa yang kami miliki juga dimiliki oleh orang lain.

Pada suatu hari kami mengajak Polan ke tempat pariwisata. Polan sama sekali belum pernah ke tempat itu. Saat kami sedang asik-asiknya ngobrol, Polan kebelet untuk buang air kecil. Salah seorang teman kami mengatakan bahwa kencing di tempat ini berbeda dengan kencing di tempat lain dan harus sesuai dengan syarat-syaratnya. Kami semua pun berpendapat seperti itu. Polan minta kami untuk mengantarkannya dan memberi contoh, tetapi tak seorang pun yang mau karena tidak ada yang akan kencing dan kami memberikan jalan keluar agar dia menonton orang lain sebelum kencing. Polan sangat senang dan langsung berangkat. Sepuluh menit kemudian kami melihat Polan yang datang dengan lebam di pipi karena dipukul seorang preman.

Memang, sangat sulit untuk membedakan antara terbuka—di kalangan remaja dikenal dengan istilah “Gaul”, “Ngetrend”, “Gak Telmi”, “Pop”, dll—dengan tidak mempunyai identitas. Kalimat yang paling harus diperhatikan adalah bahwa manusia “menciptakan” kebudayaan dan kebudayaan “mempengaruhi” manusia. Seorang rocker dapat menciptakan kebudayaan rocker karena “rocker juga manusia” dan bukankah kita juga adalah manusia yang dapat menciptakan kebudayaan meskipun kita belum tentu rocker? So what gitu loh?
Ya, kita tidak bisa membiarkan sifat terbuka melindas identitas kita. Pertanyaannya kemudian, apa sih identitas kita?

Munculnya sebuah kebudayaan dari suatu kawasan tentu tidak lepas dari kepentingan-kepentingan masyarakat itu. Apakah kepentingan di balik kebudayaan masyarakat Eropa yang berpakaian terbuka? Apakah hal itu dipengaruhi oleh kondisi alam dan cuaca, stok kain yang terbatas, para pendahulu mereka yang suka telanjang, atau sebab-sebab lain? Apakah hal itu sama dengan kondisi kita sehingga harus memilih untuk berpakaian minim juga?

Pertanyaan-pertanyaan di atas akan mengajak kita berpikir tentang kondisi alam, faktor ekonomi, sejarah, dan kepentingan-kepentingan lain. Pengetahuan tentang semua itu setidaknya membuat seseorang tidak gagap memahami dan membaca suatu fenomena budaya, begitu pula ketika membaca karakter orang dari kawasan tertentu.
Sebagai penutup, kita masih sering mendengar bahwa nenek moyang kita dulu orang-orang sakti, tetapi mengapa penjajahan kolonial Belanda dapat bertahan sampai 350 tahun ditambah 3,5 tahun penjajahan Jepang? Siapakah sebenarnya yang menyebut nenek moyang kita sakti? Mengapa mereka menyebut nenek moyang kita sakti? Apakah kepentingan mereka menyebut nenek moyang kita sakti?

Begitulah, kita masih harus banyak bertanya kemudian mencari jawabannya, sebab banyak hal yang masih belum kita ketahui. Dan, Jurnal Kebudayaan “The Sandour” merupakan salah satu ikhtiar dari orang-orang Lamongan untuk mencari identitas budayanya, sebagai manusia yang tinggal di Lamongan secara khusus dan Indonesia secara umum, di tengah berbagai macam warna dan bentuk kebudayaan yang sedang berkelebat saat ini. Bacalah tulisan Raudal Ranjung Banua yang tidak menganggap sepenuhnya salah aksi teroris yang terlanjur disematkan untuk orang-orang Lamongan, bacalah tulisan Nurel Javissyarqi yang mengungkapkan bahwa filsuf dan sastrawan dunia dari India terpukau oleh negeri kita, bacalah tulisan Joko Sandur yang berbagi pengalamannya tentang tradisi Lamongan, bacalah cerpen AS Sumbawi yang namanya tidak asing di surat-surat kabar, dan masih banyak lagi penulis-penulis berkaliber nasional.
Ternyata, kita mempunyai budaya sendiri….

GEDUNG KESENIAN, DKL, DAN KOSTELA DALAM BAYANG-BAYANG MODERNITAS

TRAGEDI RAJA RAMSES II

Haris del Hakim

Raja Ramses II adalah salah satu penguasa Mesir paling populer pada tahun 3000 SM. Karakternya diabadikan dalam teks kitab suci agama Islam dengan menggunakan gelar Fir'aun.

Ramses digambarkan sebagai penguasa yang tiran dan despotik. Pada masa kekuasaannya terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap bayi-bayi laki-laki yang baru lahir. Ramses sama sekali tidak menghiraukan isak tangis orang tua mereka. Semua itu berdasarkan ramalan para dukun istana bahwa salah satu dari bayi itu bakal menjadi musuh yang menyebabkan kematiannya. Ramses tidak mau memiliki musuh. Jangankan musuh, oposisi saja dia tidak dapat menerimanya. Dia ingin menjadi penguasa tunggal tanpa sekutu. Dan pembunuhan bayi-bayi itu adalah cara pintas mematikan benih yang akan berkembang menjadi oposisi.

Pada masa Ramses ini perbudakan yang tidak manusiawi semakin merajalela. Rakyat disuruh bekerja keras membangun istana-istana yang megah dan makam-makam raksasa berupa piramid tanpa upah sepeser pun. Mereka disuruh bekerja keras untuk mengabdi kepada raja dan Negara tanpa tahu apa yang diberikan oleh raja dan Negara kepada mereka.

Dia menciptakan hegemoni budaya dan spiritual yang melanggengkan kekuasaannya. Dia menciptakan stigma yang sistematis yang didukung para cendekiawan dan agamawan, dalam kitab suci agama Islam disebut sebagai tukang sulap. Mereka ini mengedepankan pembangunan-pembangunan yang berhasil dibangun oleh Ramses. Dan yang lebih penting, segala tindakan Ramses disebut sebagai kebaikan yang berdasarkan pada pengetahuan logis dan ajaran-ajaran leluhur negeri Mesir. Sehingga, rakyat merasa senang dalam kekuasaannya atau tidak menolak kekuasaannya. Menurut Amien Rais, Fir'aun menjadi seorang penguasa tiran tidak sekadar karena kemauannya sendiri, tetapi juga didukung oleh penerimaan rakyat Mesir ketika itu (Amien Rais; 1999).

Pada puncak kesombongannya, Ramses mengangkat dirinya sendiri sebagai asas tunggal kebenaran. Bahkan, dia tidak segan-segan mendaku sebagai Tuhan. Dia memiliki kekuasaan dan dapat melakukan apa pun terhadap rakyat dan pembantu-pembantunya.

Karena itu, dia marah besar ketika Musa menyerukan adanya Tuhan selain dia. Musa, yang bagi Ramses adalah anak durhaka dan buronan yang pengecut, anak kecil yang air kencingnya mengotori jubah kebesarannya, bukan keturunan darah biru yang tahu etika-etika keluhuran, hanya anak pungut yang tidak jelas orang tuanya.

Akan tetapi, anak kemarin sore itu berubah menjadi musuh besar yang sangat berbahaya bagi kelangsungan kekuasaannya. Ramses pun mengatur rencana mengalahkan Musa secara politis dan mempermalukannya di depan rakyatnya.

Cara paling mudah adalah beradu kemahiran mempesona rakyat. Musa tidak memiliki lidah yang fasih dan lentur untuk bersilat lidah, sehingga rakyat akan mencemoohnya ketika mendengar bicaranya yang terbata-bata. Sementara Ramses memiliki puluhan tukang sulap yang fasih dan tekun mempelajari ajaran-ajaran kuno. Selain itu, mereka juga memiliki ilmu sulap yang tiada bandingan: tali-tali disulap menjadi ular-ular yang menakutkan.

Pada hari yang ditentukan, Musa dan tukang sulap Ramses bertemu untuk beradu ketangkasan. Rakyat Mesir telah berkumpul menyaksikan pertarungan siapakh sebenarnya wakil kebenaran. Musa menyuruh para tukang sulap beraksi yang segera disambut dengan lemparan tali-temali ke lapangan. Seketika itu semua orang melihat tali-tali berubah menjadi ular dan merambat ke mana-mana hingga membuat banyak penonton yang menjerit. Musa mendapat wahyu untuk melempar tongkatnya yang segera mengenai temali dan orang-orang pun sadar bahwa yang dilemparkan hanya tali dan bukan ular.

Peristiwa itu membuka mata hati banyak orang dan juga para tukang sulap. Mereka seakan sadar bahwa dukungan pada Ramses selama ini hanya semu dan pengabdiannya berdasarkan rasa takut atas kekejamannya. Seketika itu mereka berbalik arah mendukung Musa dan memusuhi Ramses. Akibatnya, mereka dihukum potong salib; dipotong tangan kiri dan kaki kanan atau tangan kanan dan kaki kiri.

Ramses benar-benar marah. Dia bertekad bulat menghancurkan Musa dan pengikutnya. Musa yang tahu rencana itu segera mengumpulkan pengikutnya dan meninggalkan Mesir. Ramses tidak tinggal diam. Dia mengerahkan segenap prajurit istana untuk mengejarnya.

Hingga di tepi Laut Merah tentara Ramses hampir mendapati Musa dan pengikutnya. Tetapi, mukjizat menyelamatkan Musa. Laut terbelah dan mereka menyeberang dengan selamat ke tepian. Setelah semua berhasil menyeberang, lautan kembali seperti sedia kala. Padahal, Ramses beserta tentaranya sedang di sana. Tak ayal lagi, mereka tenggelam di antara gelombang.

Seorang penguasa yang kejam dan mengaku sebagai Tuhan itu ternyata tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Bahkan, dia tidak tahu di mana akan meninggal. Dia telah membangun makam megah namun justru mati di lautan. Piramid-piramid yang dibangun dengan segala kekayaan itu tidak berguna sama sekali.

Ketika itu di antara tukang sulap yang lolos dari hukuman Ramses atau rakyat yang pernah ditindasnya merasa iba dan kasihan pada mantan penguasanya yang sedang gelagapan di antara gelombang dan meregang nyawa. Mereka minta Musa memohon agar Tuhan menyegerakan kematiannya, karena mereka sudah memaafkannya.

Akan tetapi, Tuhan tidak mengampuni kesalahan yang dilakukan Ramses. Manusia dapat memaafkan kesalahannya tetapi Tuhan belum dapat mengampuni orang yang berbuat lalim kepada makhluk-Nya. Meskipun, Ramses telah mengakui Tuhan Musa. Tetapi, sudah terlambat. Puluhan tahun Musa menyeru dia bukan Tuhan yang dapat berbuat semaunya dan sewenang-wenang, tapi dia justru merintangi dan menghalangi kebenaran yang dibawa Musa.

Kesalahan tetap kesalahan. Pemberian maaf untuk kesalahan yang tidak dapat dimaafkan berarti pendidikan bagi generasi yang akan datang untuk melakukan apa saja kemauan mereka tanpa menghiraukan orang lain, karena di saat sakaratul maut mereka akan dimaafkan.***

Novel Dazedlove

Reportoar Mahasiswi Demonstran
Karya Rodli TL

ONE

Name of Me, Ibrahima
;lahir seperti yang Hawa

aku melihat air mata cita menyambut
lebih dari sekedar kelebat kabut

menyelimut tubuh yang terbang
aku berkejar melambai awang

terlihat bayang dari sebening air mengikut

aku disapa Masyita
yang setia pada kesaksiannya atas Tuhan
tangannya_aku disambut Aisyah
yang dari kepalanya keluar cahaya kecerdasan

ayo kemarilah mendentingkan lagu surga
yang dicipta generasi Hawa
dari setiap jengkal telapak kasih yang melangkah

Kawan-kawan memanggil aku, Hima. Ya, Ibrahima lengkapnya. Seorang perempuan biasa yang punya kodrat seperti Hawa, punya kasih. Kelembutan adalah penyeimbang yang aku miliki untuk disampaikan pada dunia. Andaikata sebelum lahir aku ditawari Tuhan untuk memilih menjadi seorang lelaki atau perempuan, aku akan tetap setia untuk memilih menjadi perempuan. Karena perempuan memilki keindahan yang tidak dimiliki lelaki, dan dalam keindahan itu ada kedamaian. Kedamaian adalah bagian dari wujud Tuhan. Maaf, jangan buat kesimpulan bahwa Tuhan berwujud seperti perawan.

Nama Ibrahima cukup berwibawa kedengarannya. Tertanam keberanian yang luar biasa. Nama itu lebih berhak disandang oleh seorang lelaki dalam kesan yang ada. Tapi tidak salah bukan, apabila Bapak memberi nama itu pada aku yang Tuhan mentakdirkan aku seorang perempuan. Tapi ingat, bagaimanapun terkesan jantan nama itu, aku akan tetap meniti jalannya_aku sendiri, sosok yang memiliki anatomi yang sama dengan Hawa yang dilahirkan untuk memberikan keindahan dan kedamaian yang merupakan bagian dari jelmaan sifat yang dimiliki Tuhan. Sekali lagi maaf, jangan tergesa-gesa membuat kesimpulan bahwa perempuan itu adalah Tuhan.

Kawan pasti mengenal perjalanan transendentalnya_Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhan. Dia tak memilih Tuhan nenek moyang yang dianut, melainkan Tuhan semesta, bukan Tuhan sejarah. Menjadi penegak yang diyakini benar dengan tidak peduli aral melintang. Pembodohan dan penyesatan pun harus diberantas. Orang yang berdiam diri ketika melihat kedloliman adalah serendah-rendahnya derajat dalam iman. Kemampuan untuk saling mengingatkan adalah seberkah etika hidup bersama. Sungguh amatlah sia-sia dalam hidup kalau tidak mau saling mengingatkan. Berjuang memilih jalan yang hikmah adalah pilihan yang terbaik untuk menjaga kehidupan yang rahmatan lilalamin. Itulah sepintas perjalanannya_Nabi Ibrahim dalam menebarkan sifat-sifat keilahian. Juga pantas dilakukan oleh seorang perempuan bukan?

Mungkin itu alasannya_Bapak memberi nama Ibrahima pada aku. Dia tidak berkecil hati memiliki anak perempuan. Tidak memiliki tabiat yang terjadi pada para Bapak yang hidup pada zaman sebelum Islam tersebar di kota Makkah. Seorang Bapak merasa rendah derajatnya di hadapan masyarakat jika memiliki anak perempuan, maka diam-diam dibunuhlah anak bayi yang lahir tersebut apabila lahir perempuan karena dia adalah si Pemalu.

Aku yakin, Bapak memiliki cara pandang dengan pancaran hidayah yang mampu membuka mihrab realitas ciptaannya_Sang Kholiq terhadap bayi perempuan dan bayi laki-laki yang memiliki derajat yang sama di hadapan-Nya. Dia meyakini bahwa seorang perempuan juga mampu mendakwakan ajarannya_Tuhan yang syarat dengan nilai-nilai transendental dan sosial. Terbukti dengan nama seorang Nabi besar bersandang pada dirinya_aku. Pasti Bapak punya maksud dan cita-cita yang ada kaitannya dengan nama itu. Bapak bilang bahwa perempuan itu kehidupan. Seperti bumi sebagai sumber air yang juga mengalirkan. Sesekali jangan buat kesimpulan bahwa perempuan adalah Tuhan yang menyuburkan!

Aku lahir dari kota Lamongan yang dikenal dengan daerah pelanggan banjir di tiap musim hujan. Inilah kelebihannya dibandingkan dengan dareah-daerah lain. Di tanah kelahirannya_aku secara alamiah tiap tahun terjadi pemerataan kekayaan. Tidak ada orang kaya yang melebihi Nabi Sulaiman dan tidak ada orang miskin yang melebihi Nabi Muhammad. Sama-sama makan nasi berlauk ikan kali seperti kothok, keteng, bethek, sepat dan meminum air rawa atau sungai. Kalau ukuran hanya untuk makan, daerahnya_aku telah memiliki segalahnya yang didapatkan dengan gratis. Mau ikan tinggal memancing, mau sayur tinggal memetik kangkung, mau nasi ya nandur pari, cak!

Usai lulusan Madrasah Aliyah sempat aku bingung. Layaknya kawan-kawan yang lain yang mulai berfikir realitas masa depan. Kerja, kuliah atau nikah yang kawannya_aku selulusan menyingkat dengan KKN. Kalau kerja mau kerja apa, dan kalau kuliah mengambil jurusan apa dan jadi apa setelah sarjana aku raihnya? Juga kalau menikah apa tidak sia-sia Tuhan menciptakan aku sebagai perempuan belia yang masih panjang perjalanan untuk mengejar cita-cita.

Aku tidak tahu, siapakah yang menformat otaknya_aku sehingga beranggapan luas dunia ini sempit, hanya sesempit daun kelor. Ini paradigma dari barat, timur atau dari poros dunia yang diperkirakan sosok Dajjal akan keluar menjelang kiamat dengan muncul sebagai pahlawanan yang menawarkan segala bentuk pertolongan. Tolong diingat! Dajjal tak pernah bisa setara dengan Tuhan.

Tiba-tiba Tuhan tidak tinggal diam dari kebingungannya_aku. Tuhan memberikan pertolongannya dari jebakan cara berfikir pendek lewat kasih sayangnya_seorang Bapak dan Emak yang menyuruh aku untuk pergi ke luar kota hari ini juga. Aku harus mendaftarkan diri sebagai mahasiswa. Aku harus pergi ke Surabaya membeli formulir UMPTN. Tuhan memang memberikan pertolongan pada makhluknya itu tidak seperti seorang ibu yang memberikan air susu pada bayi, kun faya kun, tiba-tiba dalam sekejap mata sesuatu itu terjadi dan ada sesuai dengan yang kita inginkan. Tidak seperti itu Tuhan memberikan rahmat-Nya, yang justru mematikan fungsi akal yang merupakan tanda kesempurnaan manusia dibandingkan dengan makhluk lain.

Aku tak punya tujuan saat ini. Aku bermuara seperti buah yang jatuh di sungai yang airnya mengalir. Memasrahkan pada muara entah kemana aku bertujuh dan berhenti pada akhirnya. Aku menjadi buah yang akan membusuk atau tumbuh yang kemudian menghasilkan ribuan buah yang bermanfaat bagi makhluk alam.

Karena dalam formulir itu aku harus memastikan pilihan dalam menentukan program yang aku ambil, maka dengan bismillah aku tuliskan kode Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai pilihan satu-satunya. Aku tidak menghiraukan menjadi apa setelah aku sarjana dengan program yang telah aku pilih.

Satu bulan berikut aku lihat pengumuman di Koran Harian. Aku cari kata yang menginformasikan namanya_aku, dan memang ada, tapi aku belum yakin. Aku ambil kartu nomor yang aku simpan di saku. Aku cocokkan, ternyata memang benar, Ibrahima yang ada di daftar lulus seleksi UMPTN itu adalah namanya_aku.

Aku tidak bangga pada waktu itu, lantaran program yang aku ambil bukan program yang bonafit seperti halnya kedokteran atau teknik. Orang-orang menganggap bahwa setiap warga Indonesia yang berada di Negaranya sendiri pasti bisa berbahasa Indonesia dengan baik tanpa harus bersekolah apalagi kuliah di Perguruan Tinggi. Mubazir, membuang waktu dan uang saja. Sama-sekali tidak ada keistimewaan program yang aku ambil tersebut di mata kawan-kawan selulusan. Mereka memaklumi aku bisa lolos dalam seleksi Perguruan Tinggi Negeri lantaran memang tidak ada saingan. Dan hampir semua orang dekat termasuk saudara-saudaranya_aku melarang untuk melakukan regristrasi. Mereka rata-rata meminta aku untuk kuliah di swasta saja dengan mengambil program yang bonafit, paling tidak kuliah di Fakultas Ekonomi.

Dengan suntuk bercampur dongkol pada semua orang-orang yang aku kenal, aku berpamitan pada Bapak dan Emak serta sanak-saudara yang lain untuk tetap berangkat menuju kampus yang program dan jurusannya telah menjadi pilihannya_aku. Aku mulai tidak peduli pada siapapun yang melarang. Walau aku belum tahu seperti apa masa depan kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aku tetap berkeras kepala untuk terus melangkah.

Aku yang perempuan tidaklah menjadi alasan sebagai rintangan untuk merantau ke kota lain, kota Jember yang sama sekali belum aku kenal sebelumnya. Walau aku seorang perempuan, Aku harus memberanikan diri untuk berangkat ke sana. Aku juga tak mau saudaranya_aku untuk mengantar. Aku berfikir akan merepotkan saja lantaran mereka tidak sepenuh hati untuk mengantar aku, maka aku memilih pergi ke kota Jember sendirian.

Dua hari berlalu aku selesaikan daftar ulang untuk memasuki Perguruan Tinggi Negeri itu. Aku dikenal kawan mahasiswa yang merupakan anggota HMI yang menjadi sukarelawan informan tentang regristrasi dan tempat tinggal atau kost-kostan. Dia memperkenalkan namanya pada aku, Ifan nama panggilannya. Dia tidak terlalu tampan, tapi manis juga. Aku senang cara bicaranya, halus dan berisi. Dia sangat detail menjelaskan informasi yang sesungguhnya aku butuhkan. Tidak terlihat sok. Cerdas dan rama dia menyampaikan informasi.

Aku juga dikenalkan pada KOHATI, Mas Ifan menyebutnya. Dia adalah seorang mahasiswi bernama Nara. Sudah genap satu tahun dia menjadi mahasiswi program pendidikan Bahasa Inggris. Selama satu minggu aku tertampung di kost-kost-anya_Mbak Nara. Kamarnya bersih dan banyak buku yang dia koleksi yang tertata rapi pada rak buku. Tidak hanya diktat mata kuliah yang dia miliki, tapi juga buku-buku keislaman dan filsafat-filsafat keilmuwan. Buku-buku sastra juga banyak macam judulnya. Mbak Nara banyak mengajak aku untuk diskusi dengan tema-tema yang aku sukai. Dia tidak menggurui, tapi selalu bertanya pada aku tentang sesuatu yang sedikit aku faham. Kemudian dia mengajak untuk membendingkan dan menganalisa dari pemahaman yang aku miliki dengan yang dia tahu.

Satu minggu berlalu aku tinggal di Kota yang baru aku kenal. Aku juga telah menyelesaikan administrasi sebagai syarat menjadi mahasiswa Perguruan Tinggi. Dan hari ini adalah waktu pendaftaran menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan. Karena panitia hanya memberi waktu dua hari, maka aku secepatnya mendaftarkan diri di hari pertama. Kalau mahasiswa baru tidak mendaftarkan diri sebagai anggota HMJ maka dianggap mengundurkan diri dari status mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia.

Aku menemukan banyak peristiwa yang ganjil. Bukan lantaran banyak cowok yang tampan dan memandangi aku, melainkan orang-orang yang aku temui semua temperament, seringkali membentak, kalau aku tanya malah marah-marah. “Ada apa ini?” aku bertanya dalam benaknya aku. “Orang-orang kota yang terpelajar apa karakternya semacam ini, suka marah dan tak mau direpotkan dengan orang-orang yang sedang membutuhkan pertolongan?” dalam benaknya aku bertanya lagi.

Mahasiswa senior meminta aku untuk datang ke senior lain yang kemudian matanya melotot dengan suara yang meninggi memaksa aku untuk bernyanyi. Dengan lagu “Garuda Pancasila” yang setiap vokal a diubah menjadi i dan pada setiap kata harus diakhiri dengan t. Aku mencobahnya dan aneh kedengaranya. Dengan tanpa dosa aku lantunkan “girudit pincisilit ikulit pendukungmut…” Secara tiba-tiba aku tertawa ngekek karena aku mengangggap ada sesuatu yang amat lucu. Aku tak peduli pada banyak mahasiswa yang mengamati aku dengan tersenyum-senyum. Sambil tertawa-tawa aku menikmati dan menyanyikannya. Kadang-kadang aku bertanya pada para mahasiswa senior yang lain yang ada disekitar tempat pendaftaran.

ini komedi murahan, bukan?
setiap merdeka dipekikkan selalu saja menelan korban

apa boleh aku menyanyikan lagu
tentang nasionalisme yang dilecehkan

terbahak tepukan-tangan orang-orang mendengar
sebebas dagelan Kartolo melakonkan
hadirin pun mentertawai Negara masa depan

sebelum tertawa itu sakit,
maka mari kita tertawa melangit

lho, kenapa mesti diam?
ini demokrasi, Tuan!

Aku terus bernyanyi lagu Garudit Pancasilit yang panitia minta. Garuda Pancasila yang digubah vokalnya yang barang tentu maknanya berubah drastis. Dari sesuatu yang sakral menjadi susuatu yang jorok. Aku terus menyanyikan dan mempertanyakannya. Mereka tidak mau menjawab, lalu meminta aku untuk diam. Tapi aku tidak peduli, lantaran ini adalah perintah dari mahasiswa senior yang berada di kampus. Aku laksanakan saja, dan aku tidak mau berhenti. “I like it!” aku nerteriak pada mereka.

Para panitia itu memaksa aku untuk diam. Tapi aku terus berteriak berontak seperti orang kesurupan. Mereka melepaskan aku dan aku pun bernyanyi-nyanyi lagi. Aku bertingkah layaknya orang gila. Aku yakin mereka takut akan dituduh subversive atau penghianat sebab dianggap melecehkan lagu-lagu kebangsaan yang mengajarkan tentang nasionalisme. Tentunya mereka akan ditangkap apabila aparat tahu.

Mereka berteriak-teriak lagi meminta aku untuk diam. Aku semakin kacau menyanyanyikannya sambil berlari keluar kampus. Rupanya para panitia mengikuti aku, bahkan beberapa dari mereka berusaha menangkap aku. Aku berlari kencang sambil meledek mereka dengan ungkapan “mahasiswa senior silit.” Lantaran mereka berjumlah banyak, aku tertangkap dan dibopong ramai-ramai dibawa ke kampus. Tenaga aku habis rasanya. Aku diam saja dan pura-pura pingsan.

Hari ini aku begitu bahagia karena secara spontan aku berhasil mengerjai panitia. Aku sendiri tidak habis pikir, kenapa itu tiba-tiba muncul. Mungkin karena dalam kondisi kebingungan yang sedang memuncak karena diplonco para panitia yang selama ini aku belum faham apa maksudnya. Mereka selalu marah-marah ketika aku menanyakan sesuatu. Padahal sesuatu yang aku tanyakan berkaitan dengan permintaan mereka.

Esoknya aku harus masuk lagi melanjutkan regristrasi menjadi anggota organisasi intra kampus yang bernama HMJ SASTRANESIA. Sambil menunggu panitia aku sempat ngobrol dengan kawan-kawan peserta. Aku menyempatkan diri untuk berkenalan. Kita saling bercerita tentang peristiwa hari kemarin. Temannya_aku bilang bahwa karakter yang suka membentak-bentak itu memang disengaja oleh para panitia untuk melakukan perpeloncoan pada para peserta mahasiswa baru yang sedang mendaftar sebagai anggota mahasiswa jurusan. Aku semakin senang, karena sesuatu yang dibuat-buat oleh para panitia itu bisa aku balik untuk menjadikan mereka kerepotan.



TWO

Sparing Partner
;Rota, Kawan Barunya_Aku

senang aku senang
seorang kawan datang
menyanyikan lagu gurauan
seperti perahu ada dayung mengarungi
seperti layang ada benang menerbangi
bersama, ada duka yang berlupa
hidup sendiri itu rugi, menyatu adalah utuh

senang aku senang
yang berdendang melenggang
meliuk tawa pada yang tarus bersapa
menggapai cita-cita menelusuri mimpi
berangan aku menjadi, dengan kawan aku bernyanyi
hidup ini abadi, pada pengabdian yang damai

Mahasiswa baru yang pertama kali aku kenal adalah mahasiswa asal Probolinggo yang bernama Rota, berbadan gendut dan berambut hitam keriting. Dia suka bertingkah jahil pada kawan-kawan lain. Karena aku lumayan cantik, Rota bilang pada aku (syih GR). Maka dia tidak menyia-yiakan kesempatan untuk berkenalan dengan aku. Sama-sama suka bergurau, maka kami cepat akrab. Dialah yang menjelaskan banyak hal tentang maksud dan tujuannya_panitia yang selalu membentak-bentak pada setiap mahasiswa baru.

Aku dan Rota sama-sama mahasiswa pendidikan Bahasa Indonesia, maka secara tidak langsung kami memiliki persoalan yang sama yang sedang kami hadapi. Terutama yang ada kaitannya dengan persiapan orientasi mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Rota datang ke kost-annya_aku untuk mempersiapkannya bersama-sama. Walaupun kita sedang konsentrasi pada persiapan orientasi mahasiswa, tapi Rota sering memunculkan pembicaraan yang aneh-aneh. Nonton film terlarang, buat puisi, cowok-cewek ideal dan lain sebagainya. Ide-ide pembicaraanya kadang nggilani, kadang romantis, juga sesekali seperti kyai. Rota tak pernah kehabisan tema dalam setiap obrolan dengan siapapun.

“Him, kamu cewek ya?”
“Tidak. Something wrong with me?
“Kamu cewek aku cowok.”
“Kenapa kalau aku cewek dan kamu cowok?
“Cewek itu pernah ngintip tidak? Maksud aku ngintip cowok mandi.”
“Tak perlu ngintip, langsung melihat. Toh banyak cowok-cowok yang mengencingi pohon di pinggir jalan. Juga tidak ada yang menarik pada tubuh seorang cowok.”
“Masak iya?”
“Kalau ada itupun hanya dadanya. Itu juga bisa ditemukan di mana-mana. Kalau cowok kenapa suka mengintip cewek?” aku balik bertanya.
“Sudah kamu katakan jawabannya.”

“Its meant that the women lebih tahu diri, artinya tidak memamerkan di manapun tempat sesuatu yang menarik yang ada di tubuhnya. Coba kalau dibiarkan begitu saja, seperti suku yang masih primitif, pasti daya tariknya akan berkurang dan tentunya tak perlu susah-payah mengintip si cewek yang sedang mandi. And how about your opinion? lebih menarik mana melihat betis cewek-cewek yang biasa memakai jilbab dengan yang tidak? Tidak perlu dijawab!. Dimata laki-laki manapun akan menarik betis yang biasa tertutup. lantaran energinya masih utuh, jarang dikonsumsi penglihatan cowok-cowok seperti kamu. Rota, by the way kenapa you asked about this problem?”

“Memancing kamu saja, ternyata kamu kepancing juga untuk komentar.”
“Dasar, pantat besar!”
“Hima, kamu waktu sekolah di Aliyah jurusan apa?”
“Ilmu agama.”
“Wah, tentunya kamu tidak pandai matematika.”
“Siapa bilang?”
“Rota.”
“Ukurannya?”
“XL, maksudnya_aku, kamu bisa tidak menjawab pertanyaanya_aku ini?

Kalau bisa tentunya kesimpulannya_aku pada kamu berarti salah. Kalau kamu tidak bisa menjawabnya, ya itu memang kenyataanya. Memang benar kamu tidak pandai dalam ilmu matematika.”

“You look me down, Rota. Coba gimana soalnya, penasaran aku?”
“Ya, dengarkan! soal ini adalah soal cerita, butuh kecermatan dan daya konsentrasi yang cukup tinggi”
“Sudahlah jangan banyak bacot. Ayo bagaimana?”

“Kamu orang Lamongan dan aku orang Probolinggo. Tentunya tahu nama kereta api Logawa jurusan Surabaya-Jember. Begini soalnya; Kereta Logawa berangkat dari stasiun Jember jam 05.00 WIB. Kebetulan di pagi itu hanya membawa 25 penumpang. Kereta api berangkat tooot jek jek jek jek. Itulah suaranya, dan sampai pada stasiun Rambipuji kereta api berhenti. 13 penumpang telah siap dengan karcis dan langsung naik ke gerbong kereta api. Ingat-ingat Hima, dan analisa dengan cermat. Kereta api berangkat jam 05.20 jek jek jek jek……tooooooot jek jek jek….tepat pukul 06.00 sampai stasiun Klaka. Di stasiun Klaka penumpang turun 3 dan naik 11. Berangkat lagi jek jek jek…. toooot jek berhenti di stasiun Probolinggo penumpang turun 10 dan naik 7. Berhenti sekitar 15 menit karena menunggu kereta executive lewat. Jek jek jek……berangkat dengan berjalan agak lamban karena jalan menuju stasiun bangil agak naik. Di stasiun bangil tidak ada penumpang yang naik dan yang turun sebanyak 5 penumpang. Akan tetapi kelompok pengamen yang berjumlah 5 orang naik dengan membawa beberapa alat musik, diantaranya 2 guitar, 1 ketimpung, 1 bungo, 1 harmonika dan satu kecrek. jek… jek.. tooooot jek… berangkat dengan kecepatan bertambah. 17 menit sudah sampai stasiun Sidoarjo. Penumpang tidak ada yang turun dan tidak ada yang naik. Kereta langsung berangkat dan tepat pukul 09.00 sudah sampai stasiun Gubeng.”

“Sudah aku perkirakan pertanyannya. Yang akan kamu tanyakan adalah berapa jumlah jek jek jek..yang kamu bilang, betul kan?”

“Tentu tidak. Salah weeee…! Pertanyaanya adalah berapa penjual salak di stasiun Klaka yang naik dan berapa kali mereka bilang “laaaak sallaak manieees! laak sallaaak, salaknya maniees lek!” Ayo berapa jumlahnya, bisa menjawab? Pasti tidak bisa. Jadi kesimpulannya benar bahwa kamu tidak pandai dalam ilmu matematika. Sekolahnya saja di Madrasah Aliyah, Jurusan agama lagi, wah gak gaul!”

Itulah kebiasaan kawan aku Rota yang sering lontarkan tema-tema baru dalam setiap kesempatan dengan nada-nada pertanyaan. Aku sering terjebak dengan mem_pidatoi dia. Lantaran pertanyaanya lebih banyak menentang supaya seseorang berargumen dengan jawaban-jawabannya. Pada akhir pembicaraan yang aku sampaikan, selalu dia berkata menutup dengan nada iseng, dan pasti tidak mau mengalah.

“Hai Him, ada cowok yang naksir kamu!”
“Paling Rota sendiri?”
“Hima mau?”
“Rota sendiri gimana, mau tidak?”
“Kok kembali bertanya?”
“Kamu mau tidak? Kalau mau ya traktir dong aku!”
“Hima kok matre?”
“Rota mau tidak nraktir aku?”
“Kebetulan aku ada uang seratus rupiah, cukup buat beli permen. Hima satu aku satu, mesra kan?” pipinya yang tenbem tergerak karena tertawa bangga.

“Dasar si Gendut pelit. Mahasiswa hanya bermodal seratus rupiah di dompet. Mana ada cewek yang mau naksir!”
“Untuk mendapatkan cewek, bagi aku tidak butuh biaya, cukup dengan pasang senyum dan kedipan mata lalu dibumbuhi dengan ungkapan yang menyanjung si cewek, pasti hatinya rontok, dan pada saat itulah si cewek pasti berbaik hati pada aku”
“But isn’t will happen to me!”
“Lihat saja nanti.”

Rota kalau bicara tentang cinta, koyok iyozo’o. Seakan serba bisa tentang bagaimana strategi melakukan pendekatan dan mengungkapkannya. Dia pun banyak refrensi difinisi tentang cinta. Mulai dari gaya dan strategi Adam mengungkapkan cinta pada Hawa sampai cintanya_Abu nafas dia faham. Full of theories in telling about love. Cintanya_Rabiah kepada Pemilik keindahan pun sok filosof dia mengomentarinya.

“Kamu sudah menyiapkan untuk Orientasi kampus besok belum, Rota?
“Ini yang sulit, mencari telur ayam mata kerbau melirik ke bulan.”
“Ala, itu paling gampang! Besok aku buatkan.”
“Bagaimana kamu membuatnya?”
“Sekarang juga bisa kalau kamu mempunyai bahannya.”
“Apa saja bahan yang harus disediakan?”
“Satu telur ayam, sesendok minyak goreng, segelas minyak tanah, satu kompor, wajan, cutil dan piring, ditambah dua mata kamu harus melotot, tidak boleh berkedip ketika menggorengnya.”

“Cukup banyak persyaratannya. Lalu segelas minyak gas untuk apa?
“Untuk kamu minum,” aku tertawa ngakak dan langsung disambung Rota yang tertawanya menggema.
“Hima, kamu ini memang tidak pantas punya wajah cantik karena tidak selaras dengan mulutnya_kamu yang angger njeplak kalau ngomong. Oh ya, sudah jam malam ya Hima? Nanti ibu kostnya_kamu marah karena bising dengan suara kamu? Aku mau balik.”

“Balik badan grak, maju jalan!” Rota bergerak layaknya baris-berbaris.
“Asssalamualaikum!”
“Waalakum salam!” Tiba-tiba Rota kembali.
“Lapor jangan lupa aku dibuatkan telur mata kerbau melirik ke bulan!”
“Siap ndan!
“Laporan selesai!”
“Bubarkan! Sudah, minggat sana!”

Paginya aku dan kawan-kawan rombongan Panitia Orientasi dan Peserta berangkat ke lokasi alam dengan naik dua truck. Satu untuk panitia dan satu untuk peserta. Orientasi tahun ini diadakan di Taman Wisata pantai Tanjung Papuma. Selama dalam perjalanan para peserta bernyanyi ria. Hampir semua lagu yang kami hafal kami teriakkan. Mulai lagu sholawatan sampai dangdutan, lagu-lagu slow rock sampai lagu kebangsaan. Sesampai di pantai Watu Ulo kami harus turun karena truck yang mengantarkan kami tidak bisa naik bukit masuk ke Tanjung Papuma. Kami terpaksa harus jalan kaki. Tepat pukul empat sore waktu Jawa Timur bagian Jember panitia melakukan checking peserta dan beberapa persyaratan yang harus dibawanya.

“Telur mata kerbaunya_aku kamu bawa, Hima?”
“Kapan kamu titip aku?”
“Aku tidak titip pada kamu, tapi kamu berjanji buatkan aku.”

“I’m sorry, lupa aku. Aku tadi malam capek ketiduran gak sempat buat telur mata kerbau. Juga gara-gara aku ingat apa yang kamu ungkap. Cewek yang sedang berbaik hati pada kamu itu tandanya sudah masuk dalam perangkap romantisnya_kamu”

“Mati aku, bisa-bisa aku di plonco sama panitia. Ah, Hima jangan bergurau!”
“Bukankah yang kamu ungkapkan tadi malam itu serius? Aku juga serius dong biar balance. Kan kasihan kalau Rota bersikap serius kemudian aku tanggapi dengan main-main, ya kan?”
“Hima baik deh, hari ini cantik bak bidadari mangku kucing.”
“Ye… merayu lagi. Aku tidak akan terperangkap rayuannya_kamu.”
“Serius Hima?”
“Sejutarius!”
“Dengan terpaksa aku berlapang dada untuk menjadi bulan-bulanan panitia.

Dan dengan penuh kerelaan aku dikhianati gadis semanis Hima untuk ditertawakan kawan-kawan peserta,” Rota bergumam yang sepertinya berfikir tentang apa yang aku lakukan adalah tidak main-main.

“Malu dong!”
“Tidak hanya malu, tapi juga sakit hati rasanya, Hima!”
“Aduh kacihan, kawannya_aku hatinya cedang cakit. Tolong…. tolong panggilkan ambulance!
“Panggilan kok di ambulance”

“Mulai nervous ya? Ngomongnya mulai blepotan,” terus aku goda Rota yang mulai kelihatan cemberut. Tapi dia tidak bisa marah pada aku. Aku yakin, memang Rota bukan tipe cowok pemarah. Kalau cemberut dia kelihatan semakin lucu, seperti anak-anak yang tidak dibelikan mainan oleh ibunya.

Rota duduk bersandar di pohon memandangi ombak yang berkejar-kejaran sambil tangannya tanpa sadar mengumpulkan daun-daun yang berguguran.
“Ya, don’t worry Rota! dengan Hima pasti beres. Ambil di tasnya_aku!”

Rota masih apatis dengan keseriusannya_aku. Tapi terus aku goda supaya tejaga dari cemberutnya. Aku yakinkan bahwa aku benar-benar sudah membuatkannya. “Dasar si Gendut” Dia pun cepat berlari mengambil telur yang aku simpan di tasnya_aku.
“Kok telur ceplok?”
“Kalau didadar ya bukan mata kerbau, tapi jadi tai kerbau, genduuut!”
“Maksudnya_kamu?”

“Kalau didadar ya bukan telur mata kerbau, akan tetapi menjadi seperti kamu, tai kerbau, kang Mas Rota! Membuat telur mata kerbau ya harus diceplok. Plototi selama sejam pasti dengan sendirinya akan menjadi telur mata kerbau melirik ke bulan. Dan anggap saja mata_kamu yang sedang melotot itu adalah bulannya.”

“Melototi telur? Daripada dipelototi lak enak dimakan”
“Dasar ondlo! Coba kalau berani kamu makan, pasti kamu yang akan dipelototi oleh para mahasiswa senior, juga dijitak.”

Saat asyik-asyiknya aku berdebat dengan Rota, tiba-tiba salah seorang panitia menghampiri kami. Dia menegur kami dengan gayanya seorang panitia yang punya kekuasaan yang suka mengatur pada semua peserta. Tapi aku gak peduli siapa dia, aku paling suka menggoda cowok-cowok yang agak sok, tak peduli dia panitia.

“Hai Cowok, kenalan dengan kami dong!” Sambil aku lontarkan senyuman, dia pun membalas senyumannya_aku. Wajahnya cukup lumayan. Motifnya_aku hanya sekedar menggoda. Tapi paling tidak ketika dia menyambut senyumannya_aku, maka dengan mudah aku bisa mengarahkannya. Satu kosong di bawah aku. Pasti sedikit banyak dia akan melakukan apa yang menjadi kemauannya_aku.

“Hai, gadis siapa nama kamu?”
“Tanyakan pada teman sampingnya_aku!” Jawab aku dengan sedikit kemayu.
“Sungguh aku tidak diberi tahu ayahnya, siapa namanya.”
“Mana tanda peserta kamu?”
“Dibawa ketua panitia. Dia bilang tanda peserta yang punya wajah cantik harus di simpan panitia.”

“Siapa nama panitia itu?”
“Itulah keteledorannya_aku, tidak sempat menanyakan namanya.”
“Adik yang cantik, siapa nama kamu?”
“Kan aku sudah terdaftar di panitia sebagai peserta, kakak panitia yang ganteeeng!”

“Namanya jelek kak, jadi dia malu memberitahukannya”
“Ibrahima?” Panitia itu menyebut namanya_aku dengan bernada tanya untuk meyakinkan.

“Betul, ya namanya_aku seperti yang Kakak sebut tadi, Kakak panitia kok sudah tahu?”
“Bagi seorang panitia seperti aku harus hafal dengan nama semua mahasiswi terutama yang cantik.”
“Namanya_aku Endrik. Ok, kita nanti ngobrol lagi.”
“Kakak panitia jangan lupa, jangan galak-galak sama kami!”
“Itu nanti urusannya.”

“Kalau galak sama aku, kak Endrik akan rugi sendiri! Tidak bisa berteman dengan gadis secantik aku. Tapi kalau dengan Rota, temannya_ku ini, Kakak panitia harus galak. Nglamak kalau tidak digalaki. Jadi buat Rota awas ada anjing galak! ce kiki kik kik…..”
“Ngawur Hima, panitia dibilang anjing galak!” sambil berteriak Rota berkata.

“Lihat sendiri Kak, mulai nglamak dia. Masak kakak-kakak panitia yang galak dibilang anjing galak!” aku balas dengan teriakan juga agar panitia yang bernama Endrik itu dengar.

”Sudah, jangan banyak bergurau! Aku harus meninggalkan kalian, ada tugas lain yang harus aku kerjakan, nanti pasti kita akan ketemu,” kemudian kakak panitia yang bernama Endrik itu berjalan meninggalkan aku dan Rota. Dia meninggalkan dengan tebar pesona.

Gelombang laut itu bergemuruh menyisir pantai. Beberapa nelayan dengan perahu kecilnya mulai berangkat berlayar mengarungi laut mencari ikan. Nyanyian Doel Sumbang dengan Nini Karlina yang terdengar dari tape panitia menjadi indah sore itu. Seakan memberikan kabar suasana malam yang akan berlangsung di pantai itu. Senja mulai tenggelam, perahu-perahu nelayan mulai hilang. Tinggal lentera-lentera yang bergerak kerlap-kerlip yang mulai mengakrabkan dengan bintang-bintang di langit.

Seluruh panitia menyiapkan sholat jama’ah dan mewajibkan seluruh peserta yang beragama Islam yang tidak sedang berhalangan untuk ikut sholat berjama’ah. Kebetulan kebanyakan panitia kader PMII, maka ritual berjamaah dalam acara apapun tidak boleh dikesampingkan. Karena panitia beranggapan itu adalah salah satu awal untuk menanamkan kedisiplinan pada kader. Setelah sholat berjama’ah, salah satu dari panitia memberikan kultum sebagai penyegaran hati. Suara ombak berkejar-kejaran dengan angin laut begitu membawa suasana yang mulai gelap menjadi akrab. Setelah sholat panitia kordinator sie. acara mengkondisikan peserta untuk segera menyiapkan memasuki acara berikutnya.

Kordinator sie. acara orientasi mahasiswa mulai meng_guide acara. Seluruh peserta segera berkumpul di balairung wisata Tanjung Papuma sesuai dengan waktu dan ketertiban yang berlaku. Semua persyaratan harus dibawa dan diletakkan di depan peserta masing-masing. Panitia akan melakukan checking peserta beserta perlengkapan.

“Siapa nama kamu?”
“Kakak panitia tidak percaya dengan tulisan nama yang tercantum di perutnya_aku ini?” sambil aku memegangi nama dada dan memperlihatkan tulisannya.

Selalu saja aku menemui panitia yang kelihatan membodoh, mendekat lalu menanyakan nama. Padahal panitia sudah memberikan ketentuan untuk menuliskan nama di dada. Apa mereka tidak suka melihatnya karena nama dadanya_aku didak berada sebagaimana mestinya, tidak berposisi sebagaimana di dada cewek yang montok. Aku pikir setiap acara yang kepanitiaannya dikuasai laki-laki membuat salah satu peraturan yang menguntungkan sepihak. Persoalanan nama dada misalkan, mereka harus membuat peraturan untuk setiap peserta harus menggantungkan nama di dada dengan tujuan biar lebih leluasa mengamati lekuk dada peserta cewek. None all important name, however position. Jangan-jangan panitia yang banyak menanyakan namanya_aku lantaran posisi nama tidak aku sandarkan pada dada, melainkan aku gantung dengan tali yang panjang yang bersandar pada perut. Jadi panitia malas melihat nama aku. Dia lebih suka tanya lantaran ingin melihat bibirnya_aku yang indah bergerak.

Aku harus nakal biar panitia tidak sok berkuasa. Memang kadang kita merasa lemah kemudian orang lain akan semena-mena menguasai diri kita. Salah satu cara aku harus bertingkah yang aneh agar panitia lebih memperhatikan aku. Langkah berikutnya aku harus pasang perangkap supaya mereka mendekat dan selalu menanyakan sesuatu yang terjadi pada aku. Satu strategi sudah aku jalankan. Hanya persoalan nama dada yang aku tidak menempatkan sebagaimana mestinya.

Malam tiba bersama ombak pantai yang semakin menderu. Panitia memimpin acara malam keakraban, semua peserta wajib mengisi acara dengan bernyanyi atau membacakan puisi. Kadang ada yang berkelompok, juga diperkenankan tampil sendiri. Malam itu aku tampil drama dengan Rota. Waktu itu aku dan Rota memainkan lakon yang romantis yang membuat panitia dan peserta lain bisa menikmati cerita yang aku sajikan.

Malam semakin larut. Kami para peserta diwajibkan beristirahat. Sebelum istirahat panitia memberikan pengumuman yang berkaitan dengan tata-tertib. Salah-satunya adalah peserta dilarang berduaan dengan lawan jenis dengan tujuan untuk menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan. Agar tata-tertib tersebut dipatuhi, panitia menakut-nakuti dengan menyampaikan adanya mitos di lokasi orientasi. Tanjung Papuma telah diyakini banyak orang yang kaitannya dengan pasangan muda-mudi. Pasangan tersebut akan menemukan musibah bila mereka berduaan di tempat wisata itu sampai larut malam. Kalau tidak terjadi kecelakaan ya putus hubungan.

Di kala kawan-kawan peserta sedang menyiapkan diri untuk istirahat, aku mendekati Kak Endrik selaku Ketua Panitia. Sedikit manja pada dia, aku minta diantarkan membeli mie instant di warung yang selalu buka di malam hari apabila ada rombongan yang menginap. Dengan pura-pura uangnya_aku yang tertinggal di tas, aku meminta Kak Endrik untuk membayari aku. Ternyata baik hati juga dia.

Usai mengenyangkan perut, aku ajak Kak Endrik jalan-jalan untuk melihat suasana pantai. Ternyata Kak Endrik lupa dengan tata tertib yang mereka buat, juga dengan mitos yang dijadikan senjata untuk menakut-nakuti peserta.

“Kak Endrik sudah punya pacar?”
“Belum.”
“Ah, aku tidak percaya. Masak cowok seganteng Kak Endrik tidak punya pacar?” Aku mulai memujinya. Biar dia berbaik hati pada aku.
“Sumpah aku belum punya.”
“Halaa Kak Endrik, pakai sumpah segala. Jangan-jangan Kak Endrik play boy, ingin punya pacar banyak.”

“Jangan-jangan Adik Hima sendiri yang sudah punya pacar?”
“Kalau punya kenapa, Kak Hendrik cemburu?”
“Tidak, cuman sayang, gadis secantik kamu sudah ada yang memilki.”
“Kan enak, ada yang melindungi.”
“Tapi hidupnya kan tidak bebas seperti gadis-gadis lain.”

Aku dan Kak Endrik terus ngobrol panjang tentang making a date. Dia terus ngotot menjawab belum punya pacar apabila aku mendesak bertanya tentang itu. Begitu sebaliknya, dia selalu menyayangkan aku yang sudah punya pacar padahal belum. Dia berpendapat bahwa berteman dengan siapa saja dengan mesra itu lebih baik dari pada pacaran yang harus ada komitmen. Aku pikir itu enak di cowok dan tidak enak di cewek.

Kurang ajar juga dia, ternyata apa yang dia ungkap itu sungguh-sungguh. Orangnya selalu memanfaatkan kesempatan. Dari obrolan yang panjang dia mulai nafsu pada aku. Dari kebiasaanya mencubit pipinya-aku sampai pura-pura spontan jatuh dan merebahkan badanya ke badannya_aku. Aku mulai merasakan ada sesuatu yang kotor pada pikiran Kak Endrik. Secepatnya aku men-kode Rota yang aku minta untuk memata-matai dan berteriak menyampaikan adanya peserta dan panitia yang sedang berdua-an. Karena apa yang aku lakukan ini telah aku rencanakan dengan Rota. Kami tidak ingin mereka panitia menguasahi kita. We do not wish there is grind.

“Pengumuman-pengumuman, ada yang melanggar tata-tertib. Mereka sedang berduaan di pinggir pantai. Penguman-pengumuman, ayo kita tangkap ramai-ramai!”

Mendengar teriakan-teriakan Rota, Kak Endrik langsung bergegas lari bersembunyi. Tapi aku santai saja dan menyerahkan diri ke panitia. Dari beberapa panitia ada yang tahu kelebat larinya_Kak Endrik, mereka langsung mengejar dia. Karena tidak ada tempat persembunyian yang lebih aman dengan mudahnya beberapa panitia itu menemukan Kak Endrik.

Tibalah malam itu para panitia menyidang Kak Endrik selaku ketua panitia dan aku selaku peserta. Tidak lama kemudian kak Hendrik dipanggil panitia lain dengan alasan disidang di tempat terpisah dari aku. Dengan alasan menjaga nama baik panitia. Para panitia itu membentak-bentak aku atas kesalahan yang memang sengaja aku lakukan. Bukan main umpatan-umpatan yang dilemparkan pada aku. Seringkali para panitia itu menyebut aku dengan sebutan “pelacur berkerudung.”

Rota ternyata benar-benar menjadi pahlawan bagi aku. Dia berpegang teguh pada kesepakatan yang kami buat atas konsekuensi yang akan kita terima. Dia masuk pada arena persidangannya_aku. Dia mempertanyakan balik atas perlakuan panitia yang melanggar tata tertib yang mereka buat. Dia berargumen bahwa yang lebih bersalah adalah Kak Endrik selaku ketua panitia. Karena dia yang membuat policy maka seharusnya dia yang lebih bertanggungjawab untuk menjaganya. Tapi justru dia sebagai ketua panitia yang melanggar.

Perdebatan semakin ramai antara Rota yang didukung oleh semua peserta dengan para panitia. Mereka sama-sama bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing. Panitia terus ngotot akan memberikan saksi pada aku, sedang kawan-kawan peserta membelah aku dengan meminta Ketua panitia dihukum terlebih dahulu dengan hukuman yang lebih berat. Persetruan antara panitia dan peserta itu semakin melebar, maka semua agenda orientasi mahasiswa berantakan dan gagal total.



THREE

Behind The Theatre
;keindahan yang berteriak

Keindahan yang berteriak adalah ektase sebuah mimpi
terdengar pemabuk yang berbicara cinta

suci yang mati cahaya
cahaya yang mati suci

menyatu rindu membakar sukma meleleh menguap tak terlihat
layang melayang memutari yang awang cahaya yang terbang

aku melebur

Kecantikan yang nampak adalah bui yang menjelma
irama beralun panggung dilumat gelap
biru-biru merayap nyayat sunyi

Juliet atau Dedes berselimut warna
dada bertepuk desah melumat isi kepala

riuh menghujam mendetak detak terang merah
gaduh menggoda gelap sadab bertepuk tangan

diam! diam-diam aku bicara
aku diam

lelap-gelap aku mabuk dalam irama sandiwara yang tenggelam

Tatkala menjadi mahasiswa baru dalam usia bulan ketiga, aku seringkali melibatkan diri dalam kegiatan yang diadakan organisasi intra maupun ekstra kampus. Aku sering bertandang pada beberapa sekretariat organisasi mahasiswa. Semenjak itulah aku tahu banyak tentang pergulatan mahasiswa mulai dari sejarah perlawanan terhadap penjajah sampai pada pertarungan organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan partai politik yang sedang berkuasa.

Aku sadari betul bahwa mahasiswa punya andil yang amat besar dalam memberikan kontrol pada penguasa yang lalim, agent of control. Aku menjadi mahasiswi yang mulai suka berkomentar baik dalam diskusi kecil-kecilan dengan kawan-kawan mahasiswa, pada perkuliahan maupun pada persoalan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang dianggap kurang pas yang kemudian kami sampaikan melalui parlemen jalanan.

Suatu hari aku bermain ke sanggar Teater Tiang dan bertemu dengan Mas Patmo yang aku mengenalnya semenjak dia dan komunitasnya memperkenalkan pada mahasiswa baru pada acara yang diselenggarakan oeleh Senat Fakultas. Mas Patmo langsung mengajak diskusi panjang tentang puisi, mulai dari puisi Rabiah Al-Adawaiyah seorang perawan suci dari Basrah sampai puisi-puisinya_DN. Mulai dari puisi sufistik sampai yang sosialis Marxis. Aku telah memberitahukan pada Mas Patmo bahwa ketika masih duduk di bangku Aliyah aku ikut kegiatan teater juga senang membaca karya sastra. Sejak saat itulah aku dan Mas Patmo sering ngobrol nilai-nilai humaniora yang ada dalam karya sastra.

“Sastra itu keranjang sampah. Ribuan cercah dan caci maki. Umpatan umpatan tentang kebobrokan terangkum olehnya. Sastra itu WC Salman Rusdi bilang,” aku memancingnya Mas Patmo untuk bicara banyak tentang sastra.

“Itu realitas hidup. Sastra tak pernah bohong, dia menerima apapun sebagai imitation of life, sebagaimana ariestoteles katakana,” Mas Patmo menimpalinya.

“Akan tetapi, untuk mewujudkan estetika yang memuncak, kan tidak kemudian telanjang apa adanya? Tentunya harus ada pembungkusan dong. Seperti halnya ungkapkan cinta dengan bunga.”

“Kenapa tidak, kalau ternyata sudah tidak ada yang bisa mewakili. Kata mbalon dalam kontek tertentu tidak bisa diwakili dengan kata lain, apakah kemudian kata itu lalu disembunyikan atau dibuang dari kata-kata puisi, cerpen atau novel. Toh munculnya kata itu juga manusia yang ciptakan.

“Tapi persoalannya ada yang dimenangkan dan ada yang dikalahkan.”
“Maksud Hima?”
“Mas Patmo pasti mengenal apa itu kitsch, dan tentunya sangat faham betul tentang estetika. Keduanya berjalan pada jalan yang hampir tidak berbeda. Dan pada saat berjalan bersama-sama estetika pasti dikalahkan oleh kitsch bukan? Dan pada saat itulah kita sering temukan karya yang nggilani itu berlindung di balik estetika?”

“Kalau dibandingkan dengan yang masih setia dengan simbol-simbol bahasa yang lain tentunya tidak lebih baik. Akan tetapi hal tersebut masih lebih baik dari pidato-pidato kenegaraan yang menutupi kebohongan-kebohongan publik di balik idiologi-idiologi luhur. Padahal ajaran hidup apapun harus berani mengatakan apa adanya. “Katakan yang sebenarnya walaupun itu pahit,” kata mutiara Arab telah berujar. Sastra dan senilah yang sementara mampu mengamalkannya. Tak perlu sumpah kenegaraan pelakunya untuk senantiasa bertanggungjawab mengemban kenyataan. Lihat, hampir setiap hari para pejabat disumpah berdasarkan undang-undang dan kitab suci, tapi toh setiap detik mereka menghianatinya.”

Aku betul-betul terkagum-kagum pada jalan pemikiran Mas Patmo tentang filosofi aktifitas yang dilakukannya, very smart! Memang tak sia-sia seorang aktifis kampus menggeluti aktifitasnya. Bahkan andaikata dia tak mendapatkan ijazah sarjana pasti orang seperti Mas Patmo tak pernah risau menghadapi realitas masa depan. Dia kelihatan lebih siap dengan konsep-konsep pemikiran yang matang tentang kenyataan hidup. Banyak diantara kawan-kawan mahasiswa yang merupakan kelas elit dalam sebuah masyarakatnya karena intelektualnya toh pada akhirnya tidak siap menghadapi masa depannya. Ukurannya bukan materi tapi kesetiaan sebagai kholifah. Memberikan sumbangsih dalam hal managerial pada realitas sosial dengan berpegang teguh untuk saling membahagiakan.

“Mas Patmo, lalu kalau teater bagaimana?”
“Sama saja, sastra dan teater adalah awalnya peristiwa sastra lisan. Dulu kakek-nenek kita suka mendongeng, berpantun, bermantra juga suka melihat pagelaran ludruk, ketoprak untuk memenuhi kebutuhan spiritual yang nama lainnya adalah estetika dalam seni. Mereka yakin, sastra dan seni teater mampu memberikan pencerahan-pencerahan tentang hidup ini. Orang membaca, mendengarkan karya sastra atau menonton pertunjukan teater sungguh merasa senang ketika penikmat itu menemukan kekonyolan-kekonyolan tentang pengalaman dirinya dalam karya tersebut. Sebagaimana pengalaman menggarong dalam cerpen garong-garong yang ditulis karya Taufik Ismail. Juga orang tua yang selalu menganggap anaknya lebih baik dari orang lain yang menolak menikahkan dengan anaknya lantaran calonnya tak sebaik anaknya dalam naskah Arifin C. Noer yang berjudul Turkeni Dan Madekur. Tentunya para penonton tidak tersinggung atas keberadaan dirinya menempel terungkap pada tokoh dalam karya pertunjukan. Justru tertawa dan setelah pulang kemudian mereka akan merenungkan tentang realitas tokoh tersebut dalam pertunjukan yang kemudian ditarik pada kehidupan sesungguhnya.”

Mulai itu aku tertarik menerjuni kembali pada dunia teater. Apa yang diungkap Mas Patmo bahwa teater memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menjadikan pelakunya memahami realitas hidup. Tidak sekedar itu, teater menawarkan metode improvisasi dalam mengarungi kenyataan yang masih tetap dengan mempertimbangkan kepentingan orang lain. Justru improvisasi muara akhirnya untuk menyenangkan dan membahagiakan orang lain. Lantaran beberapa alasan itulah aku mulai banyak berdiskusi dan mengkaji sebenarnya teater, of legitimate stage philosophy.

“Mas Patmo aku ingin bergabung dengan Teater Tiang, bagaimana caranya?”
“Organisasi teaternya_kami tidak butuh orang ganteng atau cantik.”
“Apa aku terlalu cantik untuk masuk teater?”
“Hima merasa tidak?”
“Harus dong, Tuhan akan marah kalau aku tidak mensyukuri karyanya yang paling agung ini.”

“Jadi kamu merasa cantik”
“Mas Patmo sendiri gimana? Menilai aku cantik, manis, jelek atau biasa-biasa saja.”
“Jangan Gede Rumongso! Kamu memang cantik” Glodak, rasanya aku ingin jatuh.
“Tapi itu realitas Mas Patmo, sudah sering orang mengatakannya semacam itu,” sambil tertawa ngekek.
“Makanya, gadis secantik kamu tak perlu ikut kegiatan teater.”

“Aku semakin penasaran. Padahal Juliet, Ophelia, Laila Majnun, Siti Nurbaya, Zaitun dan karya-karya besar lainnya selalu menghadirkan tokoh perempuan-perempuan yang cantik. Apakah dia muncul sebagai tokoh protagonis maupun antagonis. Apa alasannya Mas Patmo ungkapkan larangan masuk taater tidak boleh cantik? Seperti aku maksudnya_aku, ce kiki kik kik….”

“Bukan tidak boleh, tapi tidak butuh.”
“Kalau Mas Patmo sebagai sutradara dalam menggarap naskahnya saini KM. yang berjudul Ken Arok, apa Mas Patmo dalam meng-casting tidak membutuhkan aktris yang cantik untuk memainkan tokoh Ken Dedes?” tanyanya_aku berikutnya. Mas Patmo mulai blingsutan terhadap pertanyaan-pertanyaannya_aku yang semakin lama semakin mengejar. “Aku pikir kamu sudah mengerti jawaban tentang persoalan kecantikan dalam dunia teater karena kamu sudah membaca banyak karya besar.”

“Tidak. Betul-betul aku penasaran malam ini dengan persoalan yang Mas Patmo ungkapkan? Aku ingin tahu malam ini juga alasannya, kenapa itu bisa terjadi?”

Tiba-tiba seorang mahasiswi datang yang aku yakin dia salah satu anggota Teater Tiang yang seangkatan dengan Mas Patmo. Orangnya care pada lingkungan sekitar, apalagi pada orang-orang yang dianggap baru dilingkungannya. Dia cepat menyapa dan mengenalnya.

“Walah sedang asyik ngobrol, Gi.”
“Adik siapa namanya? Dari mana dan apa hubungannya sama Patmo?”
“Aku Hima mbak, mbak sendiri siapa namanya?”
“Aku Eny, Pendidikan Luar Sekolah.”
“Aku mahasiswa baru Mbak, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pingin ikut taeter Mbak, tapi tidak boleh sama Mas Patmo.”

“Masak tidak boleh?” Mbak Eny meyakinkan pertanyaannya_aku.
“Betulkan taeter tidak butuh orang cantik atau ganteng?”
“Masak gitu mbak?” semakin aku ingin tahu pendapatnya_Mbak Eny.
“Oh itu, bisa jadi betul, alasannya mungkin Patmo lagi jatuh cinta pada Adik, siapa namanya? aku kok lupa.”
“Hima.”
“Oh iya, pada Adik Hima. Kan di organisasinya_kami ada peraturan bahwa tidak boleh pacaran sesama anggota.”
“Begitu Mbak?”
“Itu pertanyaan yang mana? Maksud pertanyaan_aku itu cinta Patmo atau peraturan pacaran?”

“Lho ya Eny mulai ngawur,” sambil cengegesan Mas Patmo telihat tampan juga. Pas dia memerankan tokoh Anusapati dalam lakon Ken Arok. Agak ingusan wajahnya tapi cerdas.
“Halaaaah……. memang benar aja kok pura-pura mengelak, iya tidak Gi?”
“Sudah, sudah, kembali ke jalan yang benar.”
“Oh iya, yang mana Dik Hima?”
“Kalau dua-duanya gimana Mbak Eny?”

“Ya, sangat berhubungan dan beralasan kalau gadis cantik seperti kamu tidak boleh masuk teater. Alasanya, kalau Patmo lagi jatuh cinta pada Adik Hima tentunya cinta Patmo akan terhalang peraturan organisasi lantaran sesama anggota dilarang pacaran.”

“Tapi kalau aku siap menolak bagaimana Mbak Eny?”
“Ya kasihan Patmo dong Dik Hima, gimana sih Adik Hima ini kok tidak tahu aja. Patmo, kamu orangnya gampang frustasi tidak?”
“Kalau ditolak Hima, jelas frustasi dong.”

Mbak Eny orangnya ceplas-ceplos. Kalau ngomong tidak peduli siapapun yang dihadapinya. Aku senang dengan orang seperti dia karena cepat bisa akrab, tapi mungkin bahaya juga andaikata benar Mas Patmo jatuh cinta pada aku, pasti mati kutu. Mbak Eny memang kalau bicara suka nyangkut soal yang pribadi. Tapi menjadi menarik untuk dibuat tema bercanda. Dia juga lumayan cerdas untuk nyambungkan persoalan-persoalan yang kadang tidak terpikirkan orang lain walaupun dengan gurauan.

“Begini Mas Patmo dan Mbak Eny, aku semakin penasaran. sesama anggota organisasi dilarang pacaran. Kalau tiba-tiba di tengah perjalanan ada salah satu anggota yang jatuh cinta bagaimana solusinya. La wong jatuh cinta itu kadang-kadang mak bedunduk muncul. Apalagi ada istilah witing tresno jalaran soko kulino atau istilah ngetrennya cilok bukan cinlok.”

“Bagaimana, Gi?”
“Lho pertanyaanya itu diajukan pada kamu, kok malah dilimpahkan pada aku.”
“Kamu kan Ketua di sanggar ini, tentunya kamu punya persiapan solusi apabila hal ini terjadi.”
“Ya aku panggilkan Pak Modin, beres kan? Kan agama modern membenarkan kawin modin tanpa wali.”

“Dikawinkan modin atau dikawin sama modin? cek kik kik kik…..maaf intermezzo.”
“Kamu mau dikawin sama Modin?” Mbak Eny bertanya pada aku.
“Kalau dikawin tidak mau, tapi kalau dikawinkan mau dan sebelumnya aku akan mengajukan pertanyaan dulu,” jawabnya_aku.
“Dasar tuktan!”
“Apa itu tuktan?”

“Tukang tanya seperti Hima. Bahaya orang seperti kamu. Misalkan nanti kamu dikawinkan Modin, dalam prosesi akad Pak Modin menuntun calonnya_kamu untuk menyatakan akad pernikahan tiba-tiba kamu tanya. Pasti acara pernikahannya_kamu, kacau jadi ajang diskusi.”

“Katanya mahasiswa itu harus kritis?”
“Itu jargonnya. Coba itu lakukan di perkuliaan, pasti kamu tidak lulus!”
“Waduh semakin banyak nih pertanyaan yang mau aku ajukan. Kritis konsekuensinya tidak lulus, what’s the relationship?”
“Maaf Hima, diskusi harus kita lanjutkan lain waktu. Kawan-kawan sudah mulai berdatangan untuk latihan.”
“Gik, proposalnya banyak yang ditolak.” Tanya seorang cewek yang pasti anggota Teater Tiang juga.
“Lho kok lapor ke aku, sana ke Pimpro!”
“Maaf salah alamat.”

Satu persatu para aktor, staf produksi berdatangan. Para aktor langsung ke pendopo tempat latihan dan berteriak-teriak, Mengucapkan beberapa dialog-dialog yang diperankan sebagaimana tuntutan naskah. Berlari cepat lambat, cepat lagi, berjalan, berlari lagi, statis. Pemain musik langsung memainkan musik sebagai ilustrasi pentas. Mereka berdiskusi tentang bentuk musik yang menjadi tuntutan naskah dengan pertimbangan setting dan suasana.

Seorang cewek yang rambutnya panjang kawan-kawan anggota sanggar teater memanggilnya dengan mbak Nala. Dia adalah Pimpinan Produksi yang memimpin rapat dengan staf produksinya. Mulai dari evaluasi kerja masing-masing staf sampai pada perencanaan anggaran dana, rencana pengeluaran dan pemasukan baik dari donatur atau sponsorship. Management publising baik yang ada kaitannya dengan penonton tetap atau penonton baru. Pertimbangannya mulai dari persoalan tematik sampai pada fasilitas yang harus di dapat penonton. Menjadi agenda utama dalam obrolan staf produksi tersebut. Hampir lima puluh persen persiapan berjalan. Hanya beberapa sumber dana yang menjadi persoalan pelik. Biasa taeter kampus bukan kesenian yang nge-pop di masyarakat lingkungan kampus pada khususnya. Tapi lantaran komitmennya yang luar biasa para anggotanya dengan ikhlas mengorbankan uang anggaran apelnya untuk kepentingan produksi pertunjukan teater.

“Kawan Patmo, ada persoalan dengan latihan hari ini?”
“Satu aktor pembantu belum hadir.”
“Ada pemberitahuan?”
“Belum ada.”
“Bukan belum, tapi tidak ada. Berapa kali dia tidak hadir?”
“Tiga gali, tapi tidak berturut-turut.”
“Kamu merasa terganggu nggak dengan ketidak hadirannya?”
“Sulit untuk mengangkat unsur-unsur drmatiknya, karena peran pengganti sementara tidak bisa dijadikan ukuran.”

“Kamu sutradara harus bersikap tegas dong. Aku tidak mau ambil pusing. Apa mau kamu ganti, apa mau kamu tunggu sampai dia datang, terserah kebijakan sutradara selaku pimpinan tim kreatif. Yang penting aku mau pertunjukan mempunyai nilai tawar dengan harga ticket tiga ribu rupiah. Tuh dia datang, silakan sutradara urusi!” Mbak Nala bersikap tegas dalam memimpin dan menkoordinasi semua crew pertunjukan. Sebab itulah seringkali produksi pertunjukannya tidak pernah sepi dari penonton.

Mina, namanya aktris pembantu yang sedikit pendiam dan gampang menangis kalau dimarahi.

“Sebelumnya Mina dipersilakan menangis! Aku kasih kesempatan satu menit.” Cewek itu merunduk diam dan menarik nafas dalam-dalam. Sesekali menatap mata Mas Patmo, lalu matanya berkaca-kaca meneteskan air mata yang meleleh pada pipinya yang warna putih bedaknya masih nampak. Air matanya membuat garis aliran yang tak lurus diantara bedaknya. Suara cegugan mulai muncul satu persatu sambil tangannya meremas-remas copy-an naskah dramanya.

“Air mata dan suara cegukannya_kamu tidak akan menyelesaikan masalah. Karena kamu bukan anak-anak lagi. Kamu seorang mahaiswa bukan? Apalagi sudah semester tiga, seharusnya kamu lebih dewasa. Tidak cengeng seperti ini. Sedikit ada masalah pasti kamu ungkapkan dengan air mata. Kenapa kamu terlambat? Kita tahu kamu punya cowok dan kita tidak melarang siapapun pacaran termasuk kamu. Itu urusan pribadinya_kamu selagi kamu mengerti, selagi kamu bisa menempatkan pada tempatnya. Sungguh tidak bijaksana kalau aku menyuruh kamu putus dengan cowoknya_kamu. Yang aku minta kamu tahu proporsinya. Kapan saatnya pacaran, kapan saatnya mengerjakan tugas kuliah, kapas saatnya berteater? Masak aku harus membuatkan jadwal harian tiap aktor yang berkaitan dengan kegiatan pribadi. Mulai dari bangun tidur, mandi, sikat gigi, sarapan, ganti baju sampai lepas baju dan tidur lagi. lama-lama pikirannya_aku jadi jorok dong. Karena selalu memantau kegiatan pribadi semua aktor yang kebanyakan cewek. Sudah, kalau kamu hari ini siap latihan, berlari dan berteriak-teriak seratus kali! Kalau belum siap pulang sana dan besok kalau kamu masih yakin teater itu masih bermanfaat bagi kamu, aku masih menerima kamu sebagai aktris dengan syarat peristiwa ini tidak terulang lagi. Dan kalau perenungan kamu muncul anggapan yang tidak bermanfaat dalam benaknya_kamu, besok tak perlu datang walaupun sekedar minta maaf!”

Aku menyaksikan peristiwa teater sebelum pertunjukan. I can take a lot of lesson from it, aku bisa mengambil banyak pelajaran dari peristiwa tersebut. Ungkapan tentang bukan membutuhkan orang cantik dalam teater mulai sedikit terjawab. Persoalan komitmen yang paling utama memang disetiap kegiatan apapun, teater dan kehidupan sesungguhnya.

Mas Patmo dan cowok-cowok yang lain lumayan menarik dipandang. Cewek-ceweknya juga banyak yang tidak kalah cantik dengan mahasiswi lain pada umumnya. Tapi toh mereka kelihatan setia dengan dunia panggungnya. Walaupun cowok-cowoknya sepertinya jarang mandi dan bajunya yang kumuh, mereka tetap kelihatan aduhai.

Memasuki semester kedua aku memutuskan diri untuk kegiatan intra kampus yang bergerak dalam pengembangan bermain seni akting. Aku bergabung dengan Teater Tiang. Aku mulai banyak terlibat dalam penggarapan pementasan yang secara subtansial ada kesamaan dalam menyuarakan anti penindasan. Aku banyak diskusi dengan para seniornya.

Pertama kali aku tetarik masuk komunitas teater tersebut lantaran beberapa aktifisnya juga seringkali terlibat dalam aktifitas parlemen jalanan. Mereka seringkali melakukan pertunjukan teatrikal untuk menarik mahasiswa lain dalam memberikan dukungan juga membacakan beberapa puisinya dalam membakar semangat demonstrasi. Lantaran teater masih dianggap kegiatan mahasiswa yang belum terkooptasi partai politik dan tidak mau dikekang sistem yang sedang diberlakukan maka teater lebih terasa mampu menohok oknum-oknum penindas rakyat.

Aku juga tertarik menulis puisi panflet seperti WS Rendra. Bahkan kadang lebih dasyat karena muncul dari seorang perempuan seperti aku (bolehkan sedikit sombong?). Apalagi kalau aku membacakannya. Matahari seakan mau meledak menghancurkan rezim penghianat perjuangan para pahlawan. Mendung seakan berlarian dan menghentakkan angin dengan kilatan-kilatannya.

Anggap saja aku adalah mahasiswi yang paling dianggap banyak bicara di kampusnya¬¬_aku. Semakin acap-kali dibilang cerewet oleh kawan-kawan mahasiswa maka semakin leluasa untuk angkat bicara ketika melihat sesuatu itu belum pas menurut aku. Aku tidak memilih kehidupan hedonism yang kebanyakan mahasiswa ikuti dengan alasan lebih gaul. Aku juga paling benci dengan sepatu hak tinggi yang menawarkan simbol sebagai lambang kepasrahan terhadap laki-laki.

Berlidah clurit kawan-kawan_nya aku memberikan julukan. Awalnya kawan-kawan seringkali mengatakan bahwa aku adalah perempuan yang tidak bisa diam, membisingkan dadanya_mereka yang masuk lewat pasang telinga. Akan tetapi lambat laun kawan-kawan yang mencibir aku mulai banyak yang dekat dengan aku. Baik kepentingan tugas mata kuliah maupun dengan tujuan untuk menautkan hatinya.

Walau aku punya keberanian yang luar biasa untuk menyuarakan yang aku anggap benar, aku tetap memberikan hormat pada siapapun dan bergaul sebagaimana mestinya mahasiswa dengan mahasiswa, mahasiswa dengan dosen bahkan dengan ibu-ibu penjual nasi. Aku tetap menyadari kodrat aku sebagai seorang perempuan, feminis, menutup aurat dan tetap mematuhi etika masyarakat yang sedang berlaku. Aku pulang larut malam atau sampai tidur di kampus sangat beralasan. Bukan sekedar nongkrong atau malas di kost-kostan. Apalagi hanya sebatas biar terlihat aktifis padahal dalam rangka mencari pacar.

Aku telibat dalam komunitas Teater Mahasiswa bukan untuk sekedar main-main. Tidak seperti biasa mahasiswa lain lakukan. Aku mau menulis puisi, cerpen naskah drama dan catatan-catatan harian. Aku sebagai seorang mahasiswi harus memiliki keuletan dalam merekam apapun dalam bentuk tulisan. Aku sadari memillih berteater sebagai kegiatan kongkrit dalam mengembangkan potensi itu bukan pilihan yang mudah. Makanya aku tidak sekedar mencari teman apalagi ingin tahu saja tanpa melakukan proses kreatif.

Aku bersama kawan-kawan Teater Tiang meproduksi pertunjukan teater yang berjudul Mulut yang aku adaptasi dari cerpen Putu Wijaya sebagai representasi demokrasi yang terbungkam. Semar Mencari Raga, dari tulisannya Shindunata adalah usaha advokasi petani yang kehilangan kesuburan lahannya. Tiang-Tiang Kata yang mengungkap ribuan sumpahnya_pejabat merusak tatanan moral sampai pada tingkat pendidikan dasar. Ekskusi Suatu Hari Kemudian sebagai perwujudan matinya Mahkama Agung yang tak memeiliki landasan untuk mengambil keputusan dalam peradilan. Bersama kelompok teater kampus aku mempunyai sumbangsi yang luar biasa untuk ikut serta menggulirkan gerakan Reformasi.

“Kawan-kawan pekerja teater yang terhormat, alangkah mulianya bila kita mahasiswa angkatan muda berani mencoba sekian strategi perjuangan untuk membangun peradaban anti pengebirian terhadap demokrasi yang sesungguhnya. Peradaban anti penindasan dan perampasan hak-hak asasi manusia. Maka saatnyalah kita turun kembali ke jalanan. Ini adalah keterpanggilan kita sebagai wujud angkatan muda mahasiswa untuk ikut terlibat aktif dalam penyelenggaraan kehidupan yang berbudaya anti pemerasan. Ratusan lebih kemrosotan nilai-nilai yang telah kita pertontonkan pada masyarakat lewat panggung pertunjukan teater yang kita yakini mampu memberikan penyadaran dan pencerahan untuk memandang kehidupan ke depan. Bukan persoalan kita mengulang kembali sejarah tentang pertarungan Manifest Kebudayaan dengan Lekra. Namun kita harus berani mencoba sekian strategi berkesenian untuk melakukan pendidikan intelektual dan emosional yang muara akhirnya menawarkan kehidupan yang indah dan damai.”

Sempat terjadi pro-kontra di kalangan anggota Teater Tiang untuk melibatkan diri turun ke jalan. Mas Patmo misalnya, menganggap bahwa turun ke jalan adalah penyempitan wilayah kesenian.

“Kita memiliki ruang tersendiri yang banyak kawan-kawan mahasiswa tak mampu menciptakan ruang tersebut untuk mengungkap realitas nurani yang lebih dalam. Kita tidak perlu ikut terlibat pada parlemen jalanan yang kawan-kawan telah perpengalaman telah banyak penghianatan-penghianatan pada bentuk perjuangan semacam itu,” Mas Patmo berargumen untuk mempertahankan pendapatnya.

“Mas Patmo kali ini memiliki filosofi kesenian yang semoga benar. Akan tetapi ada hal-hal yang semoga bisa dijadikan alasan kenapa kita harus kembali turun jalan. Diantaranya adalah ini merupakan tuntutan sebagaimana tuntutan kita ikut mengubur mayat di pemakaman. Sebenarnya dengan menangisi kepergianya sudah cukup, akan tetapi keadaan yang kita harus datang mengantar ke pemakaman, sebagaimana dalam persoalan ini. Kita harus menyadari setiap ruang apapun pasti memiliki kelemahan dan kelebihan yang kita tidak bisa men_justifikasi bahwa sesuatu itu lebih baik dan bentuk yang lainnya kurang baik. Akan tetapi kondisinya pasti bisa berubah. Ada persoalan perlawanan yang sebenarnya tidak bisa diungkap lewat pertunjukan taeter yang biasa kita lakukan. Begitu pula dalam persoalan pertunjukan taeter lewat panggung, juga ada sesuatu yang memang tidak bisa diungkap lewat pertunjukan tetaer jalanan, apalagi aksi demonstrasi.”

Perdebatan untuk memilih apa harus kembali turun ke jalan atau tetap masih berdiri di atas panggung itu semakin sengit. Terjadi pro dan kontra luar biasa. Anggota Teater Tiang pecah menjadi dua kubuh yang menonjol. Sebagian mendukung aku dan sebagian mendukung pendapatnya_Mas Patmo. Karena perdebatan konsep berkarya yang semakin memanas, hampir saja aduh fisik diantara kawan-kawan cowok. Tapi lantaran kami cepat menyadarinya bahwa perdebatan ini hakekatnya adalah dinamika aktifitas mahasiswa. Alangkah sangat bodonya bila untuk memecahkan masalah ini dilukai dengan tindakan anarkis hanya lantaran sedang emosional saat itu.

Pagi harinya di halaman Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan sebagian anggota Teater Tiang mulai berteriak-teriak membacakan puisi-pusinya Khairil Anwar, Rendra, Taufik Ismail dan puisi-puisi sejenis karya penyair handal yang mampu membakar semangat demonstran. Para birokrat Fakultas sempat mempertanyakan kegiatan tersebut lantaran tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Akan tetapi karena kelihaian beberapa kawan anggota Teater Tiang dalam berdiplomasi yang para anggota juga ikut terlibat pada akhirnya birokrat fakultas menaruh hormat terhadap perjuangan sekelompok anggota taeter.

Dalam perhelatan politik yang luar biasa itu, masih saja ada kawan-kawan mahasiswa yang dadanya bertarung melawan rasa penasaran tehadap keberadaannya_aku yang cantik memang (sih, sombong lagi). Bukan saja wajah, akan tetapi kecakapannya_aku dalam berfikir dan bertanggung jawab itulah membuat Mas Patmo mulai menemukan keistimewaan yang luar biasa pada aku. Dia menganggap menemukan keistimewaan pada perempuan seperti aku ini lengkap dengan keberaniannya mengungkap kebenaran dan melurusklan sesuatu yang aku anggap salah. Aku tahu itu lantaran ada perasaan yang sama yang terjadi pada dirinya_ku tentang Mas Patmo. (Maaf, aku hanya menduga-duga lantaran aku merasakannya).

Aku mulai bisa menemukan dinamika organisasi mahasiswa yang sebenarnya. Penuh dengan inovasi pengetahuan seperti yang dilakukan Aristoteles dengan para muridnya berdiskusi di Taman Academos yang merupakan embrio Perguruan Tinggi yang kini telah perkembang di seluruh belahan Nusantara.

Mas Patmo yang merupakan kakak angkatan aku terselang dua periode juga memiliki menejemen yang baik dalam mengembangkan oreganisasi intra kampus khususnya Teater Tiang. Dia juga memiliki perhatian yang luar biasa terhadap semua anggotanya yang tidak membeda-bedakan apakah dia cewek atau cowok, cantik atau kurang cantik, dari Jawa Barat atau dari Madura. Dia memahami betul bahwa setiap anggotanya memilki potensi yang perlu digali dan dikembangkan. Organisasi intra kampus tersebut semakin dinamis semenjak kehadirannya_aku dengan pemikiran-pemikiran yang cemerlang untuk mengimbangi pemikiran Mas Patmo yang seperti air laut.

Mas Patmo semakin bergejolak dalam manghasilkan karya-karya naskah dramanya untuk melakukan manufer-manufer kritik ketidakadilan yang dibumbuhi dengan percintaan romantis melankolis menjadi sangat enak ditonton oleh kalangan apapun, Baik mereka yang masih memiliki daya apresiasi rendah sampai pada mereka yang sudah menghabiskan novel-novel peraih nobel.

Lantaran kajian Mas Patmo yang tidak main-main dalam menyikapi sosil masyarakat penonton tentang tematik dan gaya penggarapan yang masih setia pada kenyataan kebutuhan penonton. Juga kekuatan kreatifitas estetikanya yang luar biasa dalam mengolah pertunjukan. Hampir penonton teater merasa puas ketika melihat pertunjukan yang disutradarai Mas Patmo. Dia benar-benar bisa mensiasati selera masyarakat dalam menawarkan nilai-nilai estetika sebagai pencerahan bathiniyah. Bukan berarti larut mengikuti selerah pasar dengan membabi buta tanpa mempetimbangkan efek dan pengaruh terhadap pencerabutan akar budaya.



FOUR

People Power
;parlemen pada jalanan sejarah

panas menjelang
siang berkoar-koar megaphone menelusuri jalan-jalan kota
seperti kemarin yang akan datang
kesetiaan demonstran pada panjang jalan sejarah
mahasiswa

minggiro minggiro minggiro
kami para demostran mau lewat
kalau tak mau minggir pasti akan tersingkir
mingggiro minggiro minggiro

munduro munduro munduro
kami para demonstran mau lewat
kalau tak mau mundur pasti akan tersungkur
munduro munduro munduro

Menyanyi berarak-arak kawan-kawan mahasiswa melakukan aksi turun jalan menuntut turunnya harga sembako yang melambung, mengoreksi kebijakan kenaikan SEMBAKO yang semakin melengkapi penderitaan rakyat, mengutuk birokrasi pemerintahan yang bersesak-sesak KKN. Dan ujung-ujungnya menuntut Presiden Suharto turun dari kursi kepresidenannya yang telah didudukinya selama kurang lebih 32 tahun. Puluhan bendera merah putih berkibar menyembul semangat keringat puluhan mahasiswa berteriak-teriak lewat pengeras suara megaphone.

Hidup mahasiswa! Hidup rakyat!
Kawan-kawan mahasiswa, hari ini saatnya kita menyuarakan keadilan. Berjuang bersama rakyat membongkar kembali pemerintahan yang memeras rakyatnya. Mari kita bergandeng tangan menyuarakan kebenaran. Menyuarakan hati nurani rakyat yang selama tiga puluh dua tahun dibohongi dan ditindas. Saatnya kita berjuang bersama rakyat. Mengangkat dari penindasan oleh rezim yang kini sedang perkuasa.
Memang sejarah dunia penuh dengan sampah yang bernama penindasan dan pembohongan. Tapi kita harus yakin bahwa firman Tuhan pasti benar. Datang kebenaran dan hancurlah kebatilan. Sungguh kebatilan akan binasa.

Turunkan harga sembako!
hapus KKN!
dan Turunkan Suharto!
Hidup mahasiswa! Hidup rakyat!

Teriakan tuntutan Reformasi menyayat-nyayat itu terus menjerit di jalanan kampus yang menyusup pada kosentrasi perkuliahan dari menara gading. Di pintu gerbang kampus puluhan mahasiswa demonstran berhadap-hadapan dengan petugas keamanan. Kawan-kawan mahasiswa bergantian orasi. Semua berhak mengekspresikan diri atas kegelisahan-kegelisahan yang selama ini terpendam, terkekang. Kami telah sepakat tidak gentar menghadapi resiko apapun yang akan terjadi atas demokrasi yang kami teriakkan. Rota yang kini bergabung dengan SMID juga tak pernah absent untuk naik ke atas panggung memegang megaphone dalam mebacakan beberapa pantun atau puisi yang satire. Ada satu puisi Rota yang tidak bisa lepas dari ingatannya_aku. Puisi lucu itu hampir selalu dibacakan pada setiap melakukan demonstrasi sebelum membacakan puisi-puisi berikutnya. Ketika Rota berjalan naik ke atas mimbar, kawan-kawan yang lain langsung serentak menyanyikan lagu “prok prok bunyi sepatu” yang dijadikan ide dasar penulisan oleh Rota.

“Prok prok bunyi sepatu/Sepatuku kulit lembu /Kudapat dari ibu/Karena rajin membantu.” Rota pun langsung berteriak humor dan berjalan dengan body yang menggelembung.

hingar berbaris serdadu
prok-prok bunyi sepatu.

itu milik kau

kau dapat dari Ibu
karena rajin membantu?
/mengadu?

plok plok bunyi sepatu
auuu…
sepatu serdadu bertengger di mulut aku

Puisi itu seakan menjadi puisi wajib ketika mengakhiri bentrokan atau bermain dorong-dorongan dengan aparat. Kami beregu mahasiswa sedang lawannya_kami beregu polisi dan tentara. Semua kawan-kawan yang tergabung dalam demonstran mahasiswa seringkali membaca puisi yang diciptakan Rota itu bersama-sama untuk mengakhiri permainan dorong-dorongan dengan polisi dan tentara. Usai membacakan bersama-sama kami pun serentak bergerak mundur dengan tertawa. Kadang nakal memang kami dengan puisi-puisi dalam melakukan demonstrasi.

Polisi yang masih terlihat ganteng-ganteng yang membuat pagar betis itu seakan bersenyum luka bila aku berpuisi. Mungkin mereka menyesal menjadi polisi. Andaikata saat ini Tuhan menawarkan pilihan antara tetap menjadi polisi, tentara atau mahasiswa, aku yakin kebanyakan mereka akan memilih menjadi mahasiswa karena mereka berfikir dalam benaknya akan berteman dengan aku dan bagaimana bisa memacari aku.

Kepada yang terhormat.

berpagar betis
berwajah tampan, gagah

Tiada ingatkah dengan Banowati?
yang mengajarkan Arjuna bercinta

Akulah Banowati itu.
Kekasih yang lama
sedang kau adalah Arjuna yang pernah tergolek di sisinya

kalau kau lupa,
kemarilah akan aku ingatkan bagaimana cara bermesra

Sesekali aku menggoda mereka para petugas keamanan yang selalu menghalangi kami untuk berdemo ke luar kampus. Tiap kali kami melakukan aksi mereka cepat-cepat menutup pintu gerbang kampus dan berbaris menghadang kami, lalu kami memaksa untuk keluar kampus dengan mendobrak pintu pagar besi itu. Setelah aku membesarkan dan menghibur mereka dengan puisi-puisi yang romantis, aku sambut dengan beberapa puisi berikutnya yang mengingatkannya siapa kami sebenarnya. Bahwa kami para demonstran yang telah terukir dalam perubahan sejarah sosial dan politik, kami memiliki peran untuk menentukan masa depan Bangsa. Kami bukan parlemen murahan yang mudah dijual-belikan. Apalagi tuduhan yang seringkali ditujukan pada kami para demonstran yang meluruskan demokrasi sesungguhnya, dan mengingatkan pemerintah dalam menjalankan amanat rakyat. Kami seringkali dituduh dengan julukan dengan OTB Bahkan GPK. Seperti siluman anak dedemit saja. Justru para pejabat yang korup itulah para tuyul anak setan, selalu saja memakan hak-hak rakyatnya.

- this student history DEMONSTRATOR
is story line as long as coup d'etat

-student doeloe - I scream the REVOLUTION
cutting under
disbanding PKI
degrading Soekarno

- student now - I scream the REFORM
cutting under
vanish the KKN
degrading Soeharto

I scream; this student history
(artinya silakan diterjemahkan sendiri)

Berbait-bait puisi serapah yang aku bacakan bergantian dengan orasi kawan-kawan demonstran terus memuncak menggapai panas matahari, menguap seperti asap ribuan kendaraan merayap di jalanan. Bait-bait puisi itu meyusup lewat pori-pori lalu mengembara bersama darah menumpahkan air mata orang-orang yang mendengarkannya.

Aku dan kawan-kawan demostran adalah sekelompok mahasiswa Perguruan Tinggi Jember. Kami melakukan long-march mengelilingi kampus. Mulai dari double way pintu gerbang kampus dan berakhir di Fakultas Ekonomi. Sembilan Fakultas kami singgahi, mencari dukungan dari kawan-kawan mahasiswa se-kampus untuk melakukan perjuangan bersama.

Aksi jalanan itu adalah pertama kali yang kami sekelompok mahasiswa Perguruan Tinggi Jember melakukannya pada minggu pertama Juli 1997 untuk mengawal gerakan Reformasi. Mematangkan isu dan strategi gerakan ketika kawan-kawan mahasiswa yang lain sedang liburan melepas kerinduan, menetek pada ibu masing-masing. Kami para mahasiswa yang mengorbankan waktu pulang dengan terus-menerus melakukan kajian-kajian tentang materi dan konsep gerakan. Kami yakin bahwa aksi yang kami lakukan ini adalah semata-mata kepentingan rakyat.

Bahwa mahasiswa adalah masyarakat intelektual muda terpilih yang memiliki tanggung jawab besar sebagai social control atau agent of change. Yang peranannya telah tercatat dalam sejarah revolusi melawan penjajah dan juga menggulingkan Orde Lama masa kepemimpinan presiden Soekarno. Sebagai kekuatan moral force yang membangkitkan kesadaran berbangsa secara demokratis yang sesungguhnya juga untuk mengingatkan kelalaian penguasa dalam menyelenggarakan pemerintah atas nama rakyat.

Pertengahan tahun 1997 sangat sulit untuk mencari dukungan perjuangan aksi turun jalan dari mahasiswa, dosen dan civitas akademika Perguruan Tinggi. Normalisasi kehidupan kampus benar-benar mengkondisikan mahasiwa tertidur pulas. Sangat terasa bagi kami melakukan aktifitas yang sering bergulat dalam memberikan kontrol kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Kebanyakan mahasiswa, dosen dan seluruh civitas akademika menganggap kami yang suka berteriak-teriak di jalanan adalah sebatas pelarian bahwa kami tidak bisa berperan dalam akademisnya_kami. Atau sekelompok mahasiswa yang konyol yang berbuat tanpa mempertimbangkan resiko yang luar biasa besarnya. Kami harus berhadapan dengan petugas keamanan bersenjata yang acap kali bawa bedil untuk mengajak perang-perangan.

Adalah dampak dari diberlakukannya NKK/BKK yang menyumbat saluran komunikasi dalam bentuk depolitisasi kehidupan kampus yang mematikan kreatifitas, inovasi dan improvisasi dalam mengamalkan Tri Dharma perguruan tinggi. Sistem tersebut mulai diberlakukan setelah meledaknya gerakan mahasiswa tahun 1974 dalam peristiwa 15 Februari yang sekarang dikenal dengan istilah Malari. Melalui surat keputusan menteri No. 028 tahun 1974 yang isinya menyangkut kewenangan lebih besar kepada pimpinan perguruan tinggi untuk mengontrol mahasiswa. Pada tahun 1978 dikeluarkan lagi Surat Keputusan Menteri P dan K No. 01/V/1976 untuk menyempurnakan pengebirian terhadap kemerdekaan atas kekuatan politik mahasiswa. Dengan berlakunya undang-undang tersebut pemerintah tidak was-was lagi pada kekuatan mahasiswa yang pasti setiap saat melakukan perlawanan pada pemerintah. Mahasiswa yang merupakan miniature People Power berada dalam kendali Pemerintah Pusat melalui Rektor-Rektornya.

Dr. Daud Joesoef sebagai menteri pendidikan pada waktu itu merasa berhasil membungkam protes mahasiswa, kampus tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya sebagai people power yang lewat BKK dibawah pengawasan ketat birokrasi kampus. Sebagai sistem yang dengan tujuan untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru yang mengkondisikan seluruh kegiatan mahasiswa benar-benar terkontrol oleh birokrasi kampus dan pemerintah pusat. Tentulah para aktifis kampus yang merupakan kekuatan people power dan intelektual muda menjadi pasif dalam melakukan pengabdiannya kepada masyarakat untuk memberikan control terhadap kekuasaan.

Reformasi bergulir dan sejarah pergolakan politik berulang. Demonstrasi mulai bermunculan di kampus-kampus seluruh Indonesia yang dilakukan beberapa kelompok mahasiswa. Depolitisasi kampus melalui surat keputusan menteri yang menyangkut normalisasi kehidupan kampus tak memiliki kekuatan lagi dalam membungkam gejolak kekuatan mahasiswa sebagai kekuatan perlawanan pada rezim otoriter. Kekuatan mahasiswa mulai menampakkan peran yang sesungguhnya dalam mengkritisi kebijakan pemerintah. Tidak lagi memposisikan dirinya sebagai masyarakat elit yang berada di menara gading. Kami kembali bergabung dengan penderitaan rakyat, melakukan aksi turun jalan.

Aku seorang mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan acap-kali berdebat untuk menyatuhkan konsep-konsep yang kawan-kawan anggap mampu memberikan penyegaran dalam pembahasan strategi perjuangn gerakan mahasiswa. Di lapangan aku dan kawan-kawan seperjuangan berorasi dan membacakan beberapa puisi yang mampu mentertawakan dengan sindiran-sindiran satire pada aparat, membakar mahasiswa untuk terus bersemangat melakukan perjuangan. Bulu kuduk merinding pada setiap orang yang melihat dan mendengarkan isi dan semangat orasi aku dan kawan-kawan. Aku tak pernah absent dalam setiap demonstrasi mahasiswa yang menentang rezim yang sedang berkuasa.

Nama kelompok demonstran kami adalah GEMAJARAK yang kepanjangannya Gerakan Mahasiswa Jember Atas Rakyat. Suatu malam kami membahas dengan alot untuk menamai kelompok gerakannya_kami. Aku awalnya tidak sepakat dengan memberikan nama pada gerakan lantaran aku menganggap gerakan kelompoknya_kami tidak mimiliki kepentingan apapun selain untuk mengedepankan kepentingan rakyat. Tidak perlu nama apalagi Anggaran Dasar dan Rumah Tangga gerakan. Sebagaimana organisasi formal mahasiswa baik di luar maupun di dalam kampus. Yang terpenting adalah motif, visi dam misi perjuangan yang mengedepankan keadilan semata-mata atas nama rakyat. Bukan atas nama kekuasaan yang seperti diungkap oleh Karl Max, bahwa dalam masyarakat tidak ada kebenaran dan keadilan. Yang ada sesungguhnya hanyalah power atau kekuasaan. Kekuasaanlah yang akan menkontruksi kebenaran dan keadilan. Kalau teori itu harus terjadi, maka rakyatlah yang harus berkuasa.

Suatu waktu pergerakan aksi jalanan yang biasa aku dan kawan-kawan lakukan pernah dimanfaatkan oleh sekelompok mahasiswa yang biasanya bergerak sebagai LSM untuk melakukan penggalangan dana yang tujuannya tidak jelas. Aku dan kawan-kawan seperjuangan menuntut, tapi kami tidak bisa karena kami tidak memiliki bukti konkret. Sekelompok LSM tersebut mencaploknya sebagai bergaining promo kepada penyandang dana baik pada instansi pemerintah atau swasta dengan mendompleng bahkan mengklaim bahwa yang biasa turun jalan itu adalah aktifitasnya. Mereka mau meralat beberapa pernyataan sikap yang merugikan pemerintah setempat dengan syarat harus ada kompensasi dari instansi terkait untuk memberikan dana kegiatan bakti sosial katanya.

Aku dan kawan-kawan mengetahui hal tersebut dari salah satu pejabat BAKESBANG pemerintah daerah tatkala oknum tersebut mencari dan menagih kesepakatan yang telah dibuat kepada seseorang yang mengaku sebagai korlap demonstran yang biasa kami lakukan. Sejak saat itulah kami mulai merapatkan barisan perjuangan. Kami selalu memberi nama kelompok gerakan aksi jalanan pada spanduk panjang, pada lembaran pernyataan sikap, dan pada pembukaan-pembukaan orasi.

Gerakan Reformasi yang awalnya sporadis kini mulai bergema di lingkungan kampus. Hampir seperempat mahasiswa dari perguruan tinggi setempat terlibat dalam gerakan tersebut, walaupun masih banyak yang sekedar ikut-ikutan. Muncul kelompok-kelompok demonstran bersenjatahkan megaphone, bendera merah putih dan spanduk yang bertuliskan jargon perjuangan dan nama gerakan. Sedang bermunculan nama-nama gerakan mahasiswa yang berjuang mengatasnamakan rakyat. GEMPAR, GEMPUR, FMJ. LINGKAR, GM DEMA UNEJ dan lain-lain adalah beberapa kelompok demonstran yang secara bergantian turun jalan. Kadang-kadan bersama-sama kalau ada isu yang harus secepatnya disikapi. Ada uga yang masih tetap dengan nama organisasi formalnya masing-masing seperti halnya HMI, GMNI, GMKI, PMKRI, PMII, IMM, dan lain sebagainya. Hanya SMID yang tidak nampak pada waktu itu lantaran preasure dari pemerintah terlalu berlebihan dengan cara melakukan penagkapan yang membabi buta terhadap para anggotanya. Makanya anggota-anggota SMID lebih memilih bergabung dengan kelompok gerakan lain.

Beberapa komponen civitas akademika mulai menyadari peran yang sesunggunya sebagai masyarakat intelektual yang dituntut berperan aktif dalam memberikan kontrol kebijakan-kebijakan pemerintah untuk berpihak pada rakyat. Aksi jalanan bukan sesuatu yang naïf lagi walaupun masih sering berhadapan dengan popor bedil atau gas air mata aparat. Media massa pun meposisikin dirinya sebagai mediator untuk mempublikasikan dalam menyuarakan pernyataan sikap ke publik. Walau bagaimanapun juga, dalam moment semacam itu juga sangat menguntungkan untuk menaikkan oplah penjualan lantaran hampir semua mahasiswa punya keinginan yang amat besar untuk mengetahui informasi dari koran-koran tentang aksi jalanan yang kebanyakan di lakukan di seluruh kampus perguruan tinggi di Indonesia yang muara akhirnya berpengaruh pada perubahan politik secara nasional.

Ketika Reformasi mulai bergulir, semua elemen masyarakat tidak mau ketinggalan dalam mengikuti perubahan politik yang hampir tiap hari, tiap jam bahkan tiap detik. Seluruh mahasiswa terus mengikuti perubahan dengan mencari informasi secepatnya yang mereka dapatkan dari media masa. Mereka ingin menjadi pelaku sejarah dalam sejarah baru Reformasi.

Kapal akan tenggelam, lantaran
nahkodanya telah beruban

Tidak berkekuatan seperti dulu
Maklum sudah banyak cucu

Bapak nahkoda yang tua
terlalu lama pegang peta

Badai pasti berlalu
tapi, pak tua harus turun dulu

Kapal akan karam dengan semua penumpang.
Berlayar yang tak tentu tujuan

Matanya sudah rabun, tidak bisa lihat karang di depan
Kapal berarah pada bebatuan

Siapkan bendera merah putih setengah tiang
dan berbait lagu padamu negeri

lalu kita lempar dengan meneriaki yel-yel Reformasi



FIVE

The Woman’s Bloody
;duka lapar anak-anak

ini kesengajaan atau diluar perencanaan?
ribuan anak merengek
lambungnya berhimpit dengan kulit
kerut dahi para perempuan meneteskan darah
duka lapar anak-anaknya

bukan hujan tak mau turun
bukan pohon tak mau berdaun
bukan biji tak mau berisi, juga
bukan bunga tak mau bebuah

lantaran gaji yang tak terupah
lantaran panen yang tak berharga
lantaran jual yang tak ada laba, juga
lantaran pekerja yang ter PHK

satu persatu jiwa terkubur
meringkuk di negeri subur

kemarin anak, sekarang suami
liang lahat itu telah tergali
pada siapa berikut menanti

Adalah catatannya_aku ketika terlibat dalam aksi damai mogok makan. Aku merasakan betapa derita rakyat yang tidak mampu menghadapi hidup dengan kemiskinan. Ribuan tenaga kerja yang ditinggal lari mandornya lantaran krisis moneter mengguncang perusahaan-perusahan. Hasil tani para petani yang harga jualnya tak menutupi biaya tanam dan pupuk. Para pedagang kecil selalu rugi karena harga tidak pasti. Para buruh pabrik banyak yang ter-PHK. Betul-betul kematian mengancam seluruh keluarga mereka, seluruh rakyat Indonesia. Negeri subur hancur lebur oleh penguasa yang kufur pada alamnya, pada rakyatnya yang memberikan kepercayaan.

Aku tiba-tiba menjadi sosok perempuan yang misterius di mata kawan-kawan. Bersama empat sekawanan demonstran aku terlibat dalam aksi damai mogok makan. Aksi itu sebagai ungkapan rakyat yang mulai kelaparan, tidak mampuyai uang untuk membeli beras karena harganya tidak terjangkau dari penghasilannya. Aksi itu kami lakukan di depan prasasti Universitas Jember. Aksi simpati mogok makan ini kami lakukan setelah beberapakali aksi demonstrasi mulai dapat dukungan dari sivitas akdemika Perguruan Tinggi Jember dan simpatisan demonstrasi semakin lebih banyak. Beberapa dosen juga mulai merespon aktifitas mahasiswa yang berlangsung dalam menuntut Reformasi total dalam segalah bidang.

Berita tentang penculikan tiba-tiba muncul pada malam kedua. Beberapa simpatisan mulai merapatkan dan menjaga keamanan para pemogok makan. Aku menduga-duga pasti berita itu terskenario untuk menakut-nakuti kami. Mungkin dari Perguruan Tinggi setempat lantaran Perguruan Tinggi tersebut punya kepentingan untuk menggagalkan aksi semacam ini dalam rangka menyelamatkan diri dari teguran pemerintah pusat. Atau mungkin juga pemerintah daerah yang juga dirugikan dengan aksi yang kami lakukan. Mereka para Penguasa tidak bisa mengerem aksinya_kami yang memungkinkan akan mendapat banyak simpati yang berdampak pada protes turun jalan akan semakin membesar. Tentunya petugas keamanan juga akan semakin direpotkan dengan teriakan-teriakan Reformasi yang menggelinding seperti bola salju.

Tak cukup alasan memang, mereka para Penguasa dan Aparat tersebut menggagalkan aksinya_kami, alasan subversif tentu tidak, mengganggu keamanan sekitar apalagi. Sungguh tiada alasan apapun. Maka patutlah mereka menggelindingkan isu untuk memerangi lewat serangan yang meneror psikologinya_kami. Kami ditakut-takuti dengan berita bahwa di sekitar kampus ada Hantu Muka Rata yang bergentayangan. Banyak pemerkosaan pada mahasiswi berjilbab yang dilakukan para tukang becak. Sampai pada akhirnya isu penyerangan camp-camp aktifis mahasiswa dan penculikan terhadap para pimpinan demonstran.

Kawannya_kami yang bernama Anton adalah pengurus Senat mahasiswa yang aku sendiri belum mengenal terlalu jauh. Tapi dia sering nampak di acara-acara pertemuan mahasiswa yang kawan-kawan demonstran lakukan. Dia kelihatan baik di mata kawan-kawan lantaran banyak ide yang disumbangkan pada aksinya_kami tentang isu dan strategi gerakan. Apalagi persoalan keselamatannya_kami. Dia memiliki banyak informasi tentang ancaman dan pengawasan yang di lakukan petugas keamanan.

“Kawan-kawan, ini demi nasib kalian. Bagaimana kalau malam ini kita pindah ke tempat yang lebih aman, di Kantor Unit Kegiatan Mahasiswa atau di sekretariat salah satu OMEKS.”

“Bagaimana kalau kita menginap di Hotel, ada dana dari sumbangan para simpatisan bukan?” Aku langsung menyelanya.
“Hima jangan bergurau semacam itu!”
“Biar tidak terlihat rapat demonstran sungguhan.”
“Hima, ini sungguh-sungguh.”

“Maaf aku kira mimpi. berarti ini beneran? coba aku cubit kulit lengannya_aku,” aku menjiwit dan menepuk-nepuk pipin aku. “Oh iya beneran. Sumpah ini tidak mimpi, ini beneran,” sambil tertawa menggoda.”

“Sudah, sudah Hima, kita kembali ke jalan yang benar.”
“Ya mulai terpengaruh, ya ya, silakan diteruskan! Sampai di mana obrolan kalian tentang nasib kami?”

“Begini Hima, untuk malam ini kalian tidak usah tidur di sini. Kita mencari tempat yang lebih aman. besok pagi-pagi kita kembali ke sini,” rayunya_Anton pada kami yang sedang mogok makan.

“Halaa… demonstran kok takut hantu. Katanya kita melakukan aksi ini sampai mati kalau tuntutan kita tidak dipenuhi. Katanya mati dalam memperjuangkan kebenaran adalah mati sahid”

“Persoalannya bukan mati dan hidup Hima. Kalau berhadapan dengan kematian aku pikir orang-orang seperti kalian tidak perlu diragukan keberanianya. Berapa tanki gas air mata yang telah menyemprot wajah kalian, berapa peluruh karet yang menyusup pada bagian kaki kalian? Tapi ini persoalan lain!”

“Persoalan lain bagaimana maksud Anton?”
“Kawan-kawan demonstran yang kami hormati, kalau kematian itu terjadi pada kalian dengan cara misterius, itu yang akan membelokkan perjuangan kalian. Coba kawan-kawan berangan-angan. Kalau misalkan diantara kalian tiba-tiba meninggalkan kami, kemudian isu yang berkembang atas kematian itu dimangsa hantu. Lalu apa yang bisa kita lakukan. Tentunya dengan kondisi semacam ini kita tidak bisa berbuat apa-apa dan penguasa yang seharusnya bertanggung-jawab dengan mudah akan lepas tangan dengan cara mengkambinghitamkan hantu. Dan dengan mudah mereka akan membelokkan opini dari perjuangan sebenarnya. Mereka akan membelokkan ke persoalan-persoalan yang tidak bisa masuk akal. Tentunya dengan modus operandi semacam itu skenario yang akan dijalankan oleh para aparat baik yang ada daerah maupun yang ada di pusat untuk bisa lepas dari pertanggungjawaban pada KOMNAS HAM.

“Ini pembicaraan serius bukan? Ok, aku mau melanjutkan. Kalau hanya sekedar teror semacam ini tiba-tiba kita harus kompromi, kenapa kita sudah membuat statement yang telah ditulis surat kabar bahwa kita akan mogok makan sampai Penguasa Orde Baru turun dari kekuasaanya. Kenapa kita seringkali bentrokan dengan pagar betis keamanan yang siap dengan pentungannya ketika turun jalan kalau kita takut mati dan takut jasa-jasa kita tidak ditulis dan dikenang. Itu adalah konsekuensi logis seorang demonstran!”

“Tapi ini lain persoalannya. Ini nyawa taruannya yang akan hilang dengan sia-sia dan tidak bisa dipertanggungjawabkannya!” komentar kawan lain yang mulai terpengaruh Anton.

“Hima, ini skenario yang membelokkan perjuangan kalian. Apa kalian tidak rugi dengan pengorbanan yang kalian lakukan, tiba-tiba orang-orang akan membelokkan tujuan perjuangan. Tentunya mereka yang seharusnya bertanggungjawab akan bertepuk tangan. Ini bagian dari menejemen konflik. Ini strategi pemutar-balikan fakta! Sekali lagi Hima, saya akan menggaris-bawahi, nyawa kalian akan hilang dengan sia-sia. Kamu dan kawan-kawan akan mati konyol.”

“Aku akan menerima dengan lapang dada. Karena apa yang aku lakukan ini sama sekali aku tidak berfikir target pribadi, akan tetapi proses yang menjadi konsetrasi aku berjuang. Sama sekali aku tidak ingin menjadi orang terkenal dan orang-orang akan menjuluki aku sebagai pahlawan dalam gerakan Reformasi ini. Jangan, sekali lagi jangan sampai aku melakukannya. Aku melakukan ini lantaran aku berfikir ini baik untuk kemaslahatan orang banyak. Sekarang aku persilakan kawan-kawan untuk menginap di hotel. Cepat pergi sana! Pesta menunggu kalian dan berpelukan dengan para pejabat. Makan yang kenyang, besok datang kemari lalu ngomong lagi ke wartawan bahwa mogok makan kita memasuki hari yang ke empat.”

“Baiklah kalau tidak mau, aku hanya sekedar memperhatikan dan mengkawatirkan nasib kalian terutama kamu, Hima. Jaga baik baik diri kalian!” dengan menyesal Anton menarik kebaikannya karena bertepuk sebelah tangan. Kawan-kawan juga tunduk terdiam atas sikapnya_aku yang dengan tegas menolak uluran kebaikannya_Anton.

Lima hari kami mogok makan. Satu-persatu kawan-kawan mulai berguguran masuk rumah sakit dr. Soebandi yang berada di Patrang. Pada saat kondisi yang amat kritis itu ribuan mahasiswa se Jember mulai bersepakat mebuat aksi jalanan yang tergabung dengan Front Mahasiswa Jember Pro Reformasi yang disingkat dengan FMJ PRO REFORMASI. mereka berencana turun jalan. Route yang mereka lakukan start dari STAIN Jember menuju UMJ jalan Karimata, IKIP PGRI Jl. Jawa. Masuk kampus UNEJ lewat pintu gerbang fakultas Ekonomi. Keluar lagi ke Jl. Raya lewat Doble way JL. Kalimantan berjalan menuju Gedung DPRD Jember dan berakhir di Alun-Alun depan Kantor Pemerintah Daerah. Aksi Reformasi mahasiswa se Jember seringkali terjadi ricuh. Hampir di setiap kampus pintu gerbang ditutup lantaran demonstran tidak diizinkan melakukan aksi keluar kampus. Di STAIN misalnya, dua mahasiswa kepalanya bocor terkenah pentungan aparat saat mahasiswa memaksa keluar. Di UMJ sempat terjadi ketegangan, kejar mengejar antara aparat dan mahasiswa tapi tidak samapai terjadi insiden yang parah. Di pintu gerbang UNEJ aparat sempat menyemprotkan gas air mata yang membuat ratusan mahasiswa semburat.

Ribuan mahasiswa yang tergabung dalam aksi turun jalan penggerak Reformasi itu memilki strategi yang matang yang tidak dibaca oleh aparat keamanan. Barisan aparat mulai dibuat bingung oleh ribuan mahasiswa yang keluar dari berbagai penjuruh arah jalan. Pada akhirnya aparat keamanan membiarkan mahasiswa keluar kampus, dan secepat mungkin petugas keamanan melakukan penjagaan yang amat ketat pada gedung DPRD. Hampir semua Petugas yang melakukan penjagaan di kampus-kampus ditarik dan dikomando untuk memberikan pengamanan gedung DPRD dan kantor Kepala Daerah. Beberapa KOMPI petugas keamanan dari Polisi Brimob dan TNI dikerahkan. Layaknya menghadapi pasukan penjajah yang mau merebut Kedaulatan Negara.

Di luar dugaan, gedung Golkar samping barat gedung DPRD menjadi sasaran mahasiswa. Entah apa yang menyulut kemarahan massa mahasiswa. Tiba-tiba mereka melakukan aksi dengan brutal. Mereka masuk ke wilayah gedung dan memecahi kaca yang ada. Bentrokkan tak bisa dielakkan antara mahasiswa dan petugas keamanan. Puluhan kawan mahasiswa dilarikan ke rumah sakit lantaran sebagian kepala mereka bocor kena pentungan aparat juga beberapa petugas keamanan dari Brimob yang kena lemparan batu pada wajah mereka.

hidup mahasiswa, hidup rakyat!
turunkan suharto dan antek-anteknya
adili bersama keluarganya dan kroninya

ini bukan mimpi, rezim otoriter harus mati
kepala berotak bebal berhati nakal
tua-tua keladi si tua siap-siap mati
jangan terus makan upeti.

lat-lat para penjilat seperti lalat
banyak bermobil mengkilat
lat-lat para penjilat seperti lalat
memang aparat suka pantat.

Paska aksi mogok makan. gelombang Reformasi terus membesar. Tidak ada yang mampu membendungnya. Orang-orang yang kemarin mengecamnya bahwa gerakan Reformasi adalah gerakan kenakalan mahasiswa atau gerakan pengacau keamanan tiba-tiba muncul dalam barisan aksi demonstran. Mereka hanya membeli ticket untuk naik kereta Reformasi.

Hari berikutnya demonstran tidak mendapatkan pengawalan apalagi perlawanan dari aparat keamanan. Para demonstran lebih leluasa melakukan aksi jalanan. Kondisi jalan-jalan terasa lapang, hanya kendaraan-kendaraan umum yang lalu lalang. Beberapa mahasiswa demonstran mengatur arus lalu lintas dengan sendiri biar tidak terjadi kemacetan. Sama sekali tidak ada pengamanan apalagi perlawanan dari aparat keamanan.

Tiba-tiba muncul rombongan masa tujuh truck dan lebih kurang sembilan mobil pick-up. Massa meneriakan hidup rakyat-hidup rakyat. ratusan masa yang bearak-arakan tersebut muncul dari bundaran Jl. Sumatra dan berjalan memasuki Jl. Jawa depan IKIP PGRI Jember. Waktu itu mahasiswa yang tergabung dengan kelompok demonstran sedang orasi memadati Jl. Jawa. Mahasiswa demonstran terus memberikan jalan pada pengguna untuk terus melakukan perjalanan. Nyaris tidak terjadi kemacetan.

Angkatan Bersenjata

Bubarkan saja
menjadi MENWA
atau Pramuka
di bawah naungan mahasiswa

Para demonstran semakin yakin dan bersemangat dalam aksi-aksinya. Kami yakin bahwa kami para demonstran benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat. Terlihat rakyat mulai memberikan dukungan yang kongkrit dengn ikut turun jalan. Rombongan arak-arakan truck muncul lagi. Balik dari Jl. Karimata melewati Jl. Jawa yang pada waktu itu mahasiswa sedang berorasi. Para mahasiswa demonstran menaruh hormat dengan bertegur-sapa “hidup rakyat!” Truck terus melaju masuk melewati Jl. Sumatra.

Barisan demonstran meneruskan perjalanan yang jumlahnya semakin bertambah besar lantaran puluhan mahasiswa IKIP PGRI juga ikut bergabung. Mereka berjalan dari Jl. Jawa memasuki Jl. Karimata menujuh kampus UMJ. Sampai depan Fakultas Ekonomi tiba-tiba muncul dari arah belakang rombongan truck dengan massa bersenjata tajam. Mereka turun dan merebut sepanduk, pamflet-pamflet yang merangkum tuntutan-tuntatan aksi. Para mahasiswa sadari hari ini mereka tidak sedang bertemu massa yang mendukung aksinya. Kami bertemu dengan preman atau pasukan sipil yang merusak barisan demonstran. Suara-suara ancaman pembunuhan permunculan. Kami para mahasiswa demonstran dan preman saling berebut dan tarik-menarik spanduk. Juga kawan-kawan yang cowok saling adu jotos. Awalnya kawan-kawan mahasiswa melakukan perlawanan, akan tetapi muncul pasukan sipil berikutnya yang bersenjata clurit, pedang yang dipersiapkan untuk menebas perut para demonstran. Kawan-kawan mahasiswa semakin kuwalaan dan ketakutan. Semuanaya semburat berlarian menyelamatkan diri. Beberapa kawan mahasiwa masuk kampus menyelamatkan diri. Banyak diantara mereka yang terluka punggungnya terkena sebetan clurit.

Aku melompat pagar kampus yang tingginya sekitar satu setengah meter yang aku tidak berfikir panjang lagi untuk menyelamatkan diri. Tidak aku sadari di balik pagar kampus Fakultas Ekonomi adalah parit seluas dua meter yang memiliki kedalaman kira-kira dua meter juga. Aku masuk parit yang penuh dengan limbah peceren. Aku tak peduli dengan bau busuk limba slokan itu. Aku menenangkan diri dengan bersembunyi di balik sampah-sampah untuk menyelamatkan diri. Bergerak sedikit, para preman itu pasti tahu aku yang sedang bersembunyi dibalik lumpur sampah. Sangat mengerikan senjata dan teriakan-teriakan mereka. Kelebat clurit yang berkilau memantulkan sinar matahari itu seakan siap menebas lehernya_aku. Betul-betul aku gemetar hari ini.

Andaikata mereka bukan pasukan sipil, pasti aku akan keluar dan melawan mereka. Mereka adalah orang-orang bayaran yang diaduh dengan kami. Jika aku dan kawan-kawan melawan mereka, tentunya opini yang akan berkembang adalah mahasiswa musuh rakyat, bukan lagi mahasiswa pembela rakyat yang biasa kami dengungkan dalam setiap diskusi dan aksi.

Bajingan, mereka berjalan kemari. Pasti mereka tahu persembunyian_aku. Pasti mereka akan menganiaya aku. Aku harus mencari akal secepatnya untuk bisa selamat dari sabetan clurit mereka. Itu masih mending, lha, kalau mereka memperkosa aku, wah pasti akan lebih celaka. Hi takut, jangan sampai aku mengandung benih orang yang tak aku kenal. Aku harus menyelamatkan diri. Aku harus cepat ke darat dan berlari minta tolong. Tapi ini tidak mungkin lantaran orang-orang yang berlalu lalang rata-rata kawan-kawan mahasiswa yang jumlah mereka lebih sedikit dengan para preman yang sedang berkeliaran di kampus. Bila aku lari pasti dengan mudah mereka akan menangkap aku, dan pasti tidak ada yang berani menolong aku dari penganiayaan para preman yang wajahnya seram-seram itu.

Waduh, lebih dari lima orang yang berjalan kemari. apa yang harus aku lakukan. Aku harus selamat, haruskah aku menenggalamkan kepalaku pada lumpur slokan ini. Bukan bau yang menjadi persoalan akan tetapi aku pasti tidak mampu bertahan lebih dari satu menit untuk menahan nafas dalam air. Mereka pasti akan mendengarkan suara desahan aku ketika aku selesai menenggelamkan kepalanya_aku dalam air. Ya, aku kini punya ide, tetapi ini terlalu berspekulasi, antara mereka percaya dan tidak mereka pada sandiwaranya_aku nanti. Ini harus aku lakukan, mudah-mudahan Tuhan tidak marah atas apa yang akan aku lakukan. “Tuhan aku butuh keselamatan dari panjenengan Gusti hari ini. Tolong lindungilah hamba-Mu. Tuhan izinkanlah aku membuka auratnya_aku. Tuhan izinkan aku melepas kerudung dan membuka bajunya_aku. Yang aku lakukan ini bukan untuk melacurkan diri. Akan tetapi yang akan aku lakukan ini hanya untuk mengelabuhi mereka dan terhindar dari kedloliman yang mereka lakukan. Tapi Tuhan, tanpa izin dan pertolongan-Mu pasti usaha ini sia-sia.”

Aku harus berpura-pura menjadi orang gila dengan membuka kerudung dan baju aku. Tidak, aku kira aku tak perlu membuka baju. cukup kerudung ini saja dan aku lumuri bajunya_aku dengan lumpur slokan. Aku yakin dengan begitu, aku layaknya seorang perempuan gila yang mencari calon suami yang telah lama tidak dijumpainya. Ya, hari ini aku harus berani gila di hadapan siapapun termasuk di hadapan para pasukan sipil itu. Aku berbicara sendiri di slokan dan kadang-kadang tertawa dengan ikan-ikan yang ada.

“Ayo ikan, kemarilah kita akan bermain bersama! Ikan, apa yang kalian suka? Aduh, aku takut ikan-ikan besar datang kemari. Oh tidak, mereka kemari tidak mau memakan aku. Lihat saja indah warnanya. Mulutnya komat-kamit seperti mengajak aku bergurau. Ada ikan emas, ikan mujaer, ikan nila, ikan lele, ikan gabus dan hampir semua ikan datang kemari menghadiri undangan perkawinannya_aku. Tapi sayang, aku hari ini tidak melihat ikan tempe sama ikan telor yang berenang bersama dengan mereka. Jangan-jangan mereka marah tidak mau menghadiri acara pestanya_aku. Oh tenyata mereka adalah rombongan pengiring kemanten laki-laki. Waduh, hati aku gemetar, sebentar lagi aku akan duduk bersanding dengan calon suaminya_aku. Dia menjadi Raden Kamajaya dan aku menjadi Dewi Ratinya. Sungguh bahagia aku hari ini.”

Aku terus bergumam, apa saja yang muncul dalam kepalanya_aku untuk aku katakan. Semakin tidak nyambung semakin bisa meyakinkan mereka, bahwa aku adalah seorang perempuan gila yang sedang gandrung dengan pernikahan. Aku terus tertawa dan berjingkrak-jingkrak menyambut kedatangan rombongan pengiring kemanten. Saking gilanya mungkin, aku tak peduli dengan terima tamu. Aku sambut sendiri mereka yang akan membawa calon suaminya_aku. Aku harus lebih gila dari lakon Suminten Edan cerita rakyat dari Ponorogo. Atau seperti Suratminah yang kena ajian kemat Jaran Goyang dalam sandiwara rakyat Cirebon.

“Monggo, sugeng rawuh mohon doa restu selamat datang terima kasih atas kehadiran, matur suwun kulo aturaken monggo disekecaaken dinikmati hidangannya. Pangapunten engkang kuata bele palenggahan lan pasugatan tidak sesuai dengan harapan para pengiring. Lha pengantennya dimana? Aku tidak melihatnya. Apa mereka sudah menempati tempat duduknya. Oh ternyata belum. Tidak ada seorang pun yang duduk di atas kursi pengantin. Ikan-ikan mana pengantennya? Jangan-jangan kalian tinggal di jalan sana.”

Aku naik ke darat dan berjalan dengan menangis mencari penganten, calon suaminya_aku. Kadang-kadang aku tertawa dan sesekali menanyakan ke orang-orang yang sedang berjalan di jalan kampus. Aku pun memberanikan diri untuk menggoda para preman-preman yang terus mencari kawan-kawan demonstran. Aku tanyakan pada mereka tentang penganten laki-laki, Juga aku menganggap diantara mereka ada yang menjadi pengantin.

Sungguh aku tertawa beneran karena ternyata para preman itu juga punya rasa takut. Mereka sungguh terlihat ketakutan dengan apa yang aku lakukan. Mereka berlari tunggang langgang dan aku terus meneriakanya dengan sebutan pengantin calon suaminya_aku. Aku terus berlari pada preman-preman yang masih berkeliaran di kampus. Aku terus manuk-nakuti mereka agar secepatnya mengurungkan pencarian pada kawan-kawan. Satu-persatu mereka kembali ke truck dan mobil-mobilnya. Aku berjalan menjauh dari jalanan umum ke tempat yang sepi untuk memakai kerudungnya_aku lagi.

Aku bahgia luar biasa hari ini, lantaran Tuhan memberikan pertolongan dari berbuatan dlolim para preman itu pada aku. Sungguh terasa pertolongan Tuhan hari ini. Sambil sujud syukur aku panjatkan segala pujian pada penguasa yang memiliki Maha Kasih terhadap ummatnya. Aku merasa begitu dekat dengan Tuhan detik ini. Sampai tidak terasa kebahagian dan kedamainan itu mengalir dari lubuk hati yang terdalam keluar bersemayam dengan air mata. Baru kali ini aku merasakan tangisan yang amat indah, tangisan yang amat damai yang sebelumnya tak pernah aku rasakan. Aku sadari hari ini, bagaimanapun juga manusia butuh kekuatan diluar dirinya, maka Tuhanlah yang memiliki segalanya. Adalah realitas kehidupan bahwa keberadaan Tuhan bukanlah sesuatu yang misteri melainkan logis dalam realitas hidup ini. Manusia yang membahasakan sifat-sifatnya supaya terjadi kehidupan yang sesunggunya. Harus disadari oleh siapapun memang bahwa manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan seperti halnya kemampuan panca indra kita yang menerima cahaya, suara, aroma, dan rasa. Maha Besar Tuhan dengan segalah firman dan ciptaanya.

Tiba-tiba penyatuhanya-aku dibuyarkan oleh rengekan suara sirine yang meminta untuk diperhatikan orang-orang sekitar. Dan pada saat itu, gabungan beberapa Kompi Brimob dan tentara datang dengan masuk wilayah kampus dengan tujuan mengamankan. Biasa Petugas keamanan kita datang selalu terlambat lantaran membicarakan ongkos operasi sebelum bertindak. Tidak peduli masyarakat dalam keadaan genting atau tidak, yang terpenting adalah kesepakatan uang rokok. Atau bentuk semacam ini memang tersetting sebelumnya. Bahwa kerusuhan harus dibuat. Lalu kemudian mereka datang menjadi pahlawan. Orang-orang yang melihatnya bertepuk tangan karena seakan diuntungkan, padahal bohong-bohongan.

Aku teringat kawanya_kami pada usia kanak-kanak. Waktu itu aku dan kawan-kawan laki-laki sepulang sekolah Madrasah Ibtidaiyah. Belum ada TPQ waktu itu, maka kami punya waktu banyak untuk bermain. Walau aku anak perempuan, aku dan kawan-kawan bermain perang-perangan dengan bersenjatah pelepah pisang. Tapi sebelumnya kami membuat beberapa kesepakatan, diantaranya adalah siapa yang menjadi tentara, siapa yang menjadi pengacau dan siapa yang dikacau. Setelah terjadi kesepakatan kami bertindak, maksudnya_aku bermain. Salah satu kawannya_kami bilang bahwa Bapak-Bapak tentara itu juga sering main perang-perangan yang caranya semacam ini. Aku bertanya pada waktu itu, “jadi sebenarnya penjahat atau pengacau itu tidak ada, tetapi hanya dibuat-buat?” Kawanya-kami mengatakan “ya.” Dan aku bilang pada mereka, “kalau begitu, jika kalian besar jangan menjadi tentara, kan tentara suka bermain seperti anak kecil, padahal mereka kan besar. Orang besar itu harus bekerja mencari uang untuk sekolah anak-anaknya.” Kawan-kawanya_aku sepertinya mengiyakan. Ternyata aku sedang berkenang usia kanak-kanak. Maklum, memang itu adalah bagian dari suasana kedamain ketika kita dalam kondisi mengenang masa lalu.

Aku memutuskan mencari kawan-kawan yang tadi berlarian dan bersembunyi menyelamatkan diri. Satu-persatu aku ketemu dengan mereka dan kami bersepakat untuk mencari kawan-kawan yang lain. Aku bilang pada kawan-kawan kalau bertemu dengan kawan yang lain, tolong diajak berkumpul di depan Kantor Pusat Universitas. Beberapa korlap dan para demonstran yang selamat langsung berkumpul sambil berteriak-teriak mengutuk aksi premanisme. Dan yang lain masih mendata beberapa kawan. Jangan-jangan diantara kami ada yang tekena target premanisme tersebut. Sekitar tujuh belas kawan yang belum kami temui. Beberapa selang kemudian, mereka datang berkelompok. Tapi jumlah mereka belum lengkap. Ada satu yang masih belum berkumpul.

“Negara kita memang benar-benar bermartabat rendah. Bayangkan, aksinya_kami adalak aksi damai yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan harus dibenturkan dengan para preman jalanan. Ini Negara apa? Pemerintahan busuk!”

Aku muncul dan langsung bergabung dengan kawan-kawan. Aku berusaha menenangkan kawan-kawan atas insiden tersebut. Emosi kawan-kawan masih sulit untuk dikontrol. Aku meberikan kesempatan pada kawan-kawan untuk terus meluapkan emosi atas tindakan premanisme yang menghadang aksinya_kami. Beberapa wartawan berdatangan dan mewancarainya. Semua punya kesempatan untuk menjadi orator untuk diwawancarai para wartawan.

Menjelang dhuhur. Aku dan kawan-kawan langsung mengadakan pertemuan untuk melakukan konsolidasi aksi selanjutnya. Sebelumnya aku banyak bilang ke kawan-kawan bahwa kita harus menggali apa yang menjadi motif dibalik adu-domba ini? Tidak sekedar motif melenyapkan kita atau menakut-nakuti agar kita bungkam dalam mengkritisi kebijakan yang kita anggap miring. Tapi ini skenario yang luar biasa jahatnya untuk menjatuhkan komitmen gerakan. Aku yakin mereka ingin membalik kenyataan bahwa rakyat tidak butuh kita, rakyat tidak lapar. Gerakan yang biasa kita lakukan ini menjadi semacam onani, semata-mata untuk kepentingan kita pribadi atau kelompok. Opini itu yang mau disampaikan ke publik.

Diantara kami pun menanyakan keberadaan salah satu kawanya_kami yang sampai saat itu belum berkumpul. Dia adalah kawan akrabnya_aku yang bernama Rota. Aku paling takut, jangan-jangan ada sesuatau yang terjadi pada Rota. Rota memang orang yang berbahaya di mata para pertugas keamanan dan kekusaan. Lantaran kebiasaannya_dia yang jahil seringkali membuat para petugas keamanan merasa malu dan blingsutan. Apalagi kalau sedang berdemo, dia selalu berada pada barisan yang paling depan agar langsung bisa bertatap muka dengan para petugas.

Pernah suatau saat Rota menyulut mercon yang besarnya sebesar lengan kaki dan panjangnya sekitar 20 cm. Dia keluarkan dari tas lalu dia sulut mercon sebesar itu. Aku dan kawan-kawan demonstran sangat ketakutan. Para Petugas keamanan juga berlari tunggang langgang sambil menutup telinganya. Aku berfikir mercon yang sumbuhnya sedang berapi-api itu akan meledak dengan ledakan yang sangat dasyat. Tapi kurang ajar Rota, sebelum sumbuh itu mencapai batang mercon. Rota berlari mengambilnya dan langsung mengejar beberapa petugas keamanan dengan mengacung-acungkan mercon tersebut. Rota benar-benar nekat dengan melakukan mercon bunuh diri (bukan bom bunuh diri). Sekali lagi, Rota memang kurang ajar. Dia kemudian tertawa terbahak-bahak dengan bangga bahwa dia berhasil mengerjai para Tentara dan Brimob. “Tentara dan Polisi sama-sama tertipu,” sambil bernyanyi dan berjoget-joget mengekspresikan keberhasilannya. “Lihat Pak Tentara dan Pak Polisi, ini hanya kertas biasa, kenapa kalian takut? Tentara dan Polisi sama-sama tertipu!” Sambil menggoyang pantanya yang semakin menggelembung.

Ya, pasti ada sesuatu yang terjadi pada Rota ini. Tiba-tiba kenangan tentang Rota bermunculan. Aku cepat menanyakan ke kawan-kawan, tapi mereka tidak ada yang tahu. Ada yang mengetahui, tapi hanya keberadaan terakhir yang berlari di belakangnya. Rota memang orangnya gendut, kalau berlari dia paling lamban karena harus menarikan perut dan pantatnya. Pasti Rota tetangkap para gerombolan pasukan sipil itu. Kami membuat tiga tim untuk melakukan pencarian Rota. Yang pertama, mencari di sekitar tempat kejadian penyerbuan. Yang kedua, mencari ke tempat-tempat di mana Rota biasa bertandang. Dan yang terakhir, membuat publikasi berkaitan dengan keselamatannya_Rota, dan pernyataan sikap atas peristiwa yang telah terjadi yang tuntutannya diajukan kepada Petugas keamanan yang bertanggung-jawab pada peristiwa penyerbuan pada demonstran aksi jalanan.

Tapi aku juga mewanti-wanti pada kawan-kawan untuk tidak terjebak dengan permainan ini. Jangan sampai terpancing untuk menyalakan apalagi menghujat mereka para pelaku penyerbuan yang bisa jadi mereka adalah masyarakat sekitar kampus yang memang dibayar untuk diadu dengan mahasiswa. “Awas ini politik adu domba yang memposisikan kita sebagai musuh rakyat yang selama ini kita perjuangkan kepentingannya, langkah berikutnya adalah hati-hati. Jangan lakukan perlawanan apalagi mengutuk mereka yang telah mengacaukan gerakan kita. Mereka hanyalah boneka. Ada Orang yang lebih berperan di balik skenario tersebut. Sekali kita mengumpat mereka para pasukan sipil, maka pemilik skenario akan tertawa terbahak-bahak atas keberhasilannya dalam menjebak kita untuk berbelok dari arah perjuangan sebenarnya. Mereka akan merasa berhasil dengan opini baru bahwa kita adalah musuh rakyat.”



SIX

A Snake In The Grass
;meladang hening duri dalam daging

Kawan sendiri bercengkrama dendang tangan
“Indonesia Raya”

kawan sendiri datang lanjutkan
tawa melenggang
wajah putih ibu pertiwi seakan

kau tulang apa duri
kau juang apa curi
lagaknya_kau meladang hening
langkahnya_kau duri dalam daging

mahasiswa bersatu tak bisa dikalahkan!
mahasiswa bersatu rakyat pasti menang!

Aku dan beberapa kawan Teater Tiang yang tergabung dalam sekelompok demonstran masih sangat setia dengan kelompok gerakan yang tidak begitu mempedulikan jumlah massa. Akan tetapi, kerangka strategi perjuangan yang mampu menohok aparat dan pemerintah yang berkuasa dengan gaya aksi kami yang tak pernah mengenal kompromi. Apalagi duduk dalam satu meja untuk membicarakan arah dan semangat perjuangan yang akhirnya terjadi pembelokan. Kelompok gerakannya_kami telah berpengalaman atas sekian godaan, terutama iming-iming uang atau fasilitas untuk membungkam semangat dan arah perjuangan. Seringkali memang, demonstrasi dimanfaatkan beberapa orang yang mengaku sebagai korlap untuk melakukan beberapa kompromi yang ujung-ujungnya untuk kepentingan pragmatis dirinya sendiri, atau kelompok yang justru lepas dari tujuan semula sebagai gerakan yang menyuarakan hati nurani. We are people’s conscience.

Pernah suatu saat kawan seperjuangan yang pada saat itu ditunjuk sebagai kordinator lapangan memanfaatkan dalam melakukan kompromi bentuk gerakan untuk meminta maaf dan mau mengoreksi statement yang dianggap merugikan pemerintah dengan mendapat imbalan sejumlah uang. Hal tersebut terungkap lantaran ada wartawan yang sepertinya memang dipanggil pejabat untuk mempublikasikan peristiwa itu. Maka muncullah berita tentang Demostran yang biasa beraksi di jalanan hanya sekedar untuk mencari uang untuk membayar kost-kostan dan SPP.

Aku dan sekawanan demonstran benar-benar terpojokkan atas peristiwa tersebut. Hampir saja aku mengundurkan diri dari perhelatan aksi jalanan. Reputasi kelompok gerakan aksi jalanannya_kami hancur. Tidak lagi memiliki power untuk menyuarakan kepentingan rakyat. Tiada lagi kawan-kawan sesama aktifis percaya lagi terhadap idealisnya_kami sebagai mahasiswa apalagi sebagai seorang aktifis demonstran.

Suatu kali kami melakukan evaluasi gerakan. Waktu itu aku yang membuka pertemuan gerakan pada suatu malam di ruang perkuliaan Fakultas Sastra. Dalam evaluasi gerakan kali ini aku benar-benar ingin meluapkan kemarahan atas kemunafikan salah satu kawan kami yang menghianati misi gerakan.

“Kawan-kawan mahasiswa seperjuangan yang kami hormati, saatnya kita mengevaluasi diri dalam aktifitas yang kita atas namakan rakyat ini. Kita harus mengkaji ulang tentang motif awal kenapa kita bermalam-malam membahas isu aksi jalanan, berpanas-panas kita berteriak-teriak yang kadang-kadang dengan memberanikan diri mbolos kuliah lantaran kita yakin bahwa kegiatan turun jalan ini lebih suci daripada mengikuti ujian tengah semester yang ujung-ujungnya menghalalkan segala cara untuk sekedar mendapatkan nilai B. Jangan-jangan aktifitas yang selama kita anggap suci ini hanya sebatas pelarian saja, karena kita tidak diterima dilingkungan akademis. Kita turun ke jalanan lantaran kita ingin punya alasan bahwa kita terlambat dalam kuliah karena sibuk memperjuangkan rakyat. Atau kawan-kawan memang punya alasan lain dengan berpikiran materialisme, bahwa kegiatan semacam ini mendatangkan keuntungan yang luar biasa dalam mendapatkan materi karena diantara kita telah memiliki jaringan dengan founding father yang akan membiayai aksi kita dengan titip misi mereka.”

Beberapa kawan bertanya-tanya tentang beberapa kalimatnya_aku yang banyak mempertanyakan kembali tentang motif dan komitmen perjuangan. Evaluasi semakin memanas. Hampir semua yang hadir menyampaikan pendapatnya atau menjadi jalan penengah.

“Interupsi, saudari Hima! aku tidak mengerti dengan prolog saudari Hima yang saudari ungkapkan. Kenapa saudari Hima mulai ragu dengan motif dan bentuk perjuangan ini? Kenapa saudara Hima berubah total malam ini dalam memandang gerakan yang selama ini saudari Hima berkoar-koar untuk membakar semangantnya_kami untuk terus meneriakkan kebenaran atas nama hati nurani rakyat?

“Betul, mulai detik ini aku ragu terhadap komitmen perjuangannya_kita. Aku ragu terhadap bentuk aktifitas yang selama ini kita lakukan lantaran kita tidak mendapatkan apa-apa darinya.”

“Mbak Hima! apa yang mempengaruhi pemikiran mbak Hima sehingga berkata semacam itu. Aku harap pertemuan kali ini kita hentikan sampai sini. Ada setan yang mulai merasuk dalam pikiran kita,” Wita, teman perempuannya_aku yang sering berjalan bersama yang biasanya tidak banyak ngomong dalam rapat-rapat pertemuan ikut terlibat mempertanyakan komitmennya_aku. Ada sesuatu yang aneh kali ini memang, sampai Wita harus memberanikan diri untuk bicara.

“Tidak, kita harus menyelesaikan malam ini juga. Aku menganggap mulai ada penyakit yang sedang meyusup dalam tubuh kita. aku tidak mau ada duri dalam daging yang suatu saat mematikan kita dalam keaniayaan. Aku dan kawan-kawan harus mati malam ini kalau memang duri itu tidak bisa dicabut dari tubuh kita. Dan kita berharap ada generasi pengganti yang lebih baik dalam melakukan perjuangan.”

Anton, baru beberapa bulan terlibat dalam pergerakan terus mendesak untuk mengakhiri pertemuan malam ini. Dengan alasan evaluasi mulai menyimpang dari tujuan dan menganggap aku dalam kondisi labil. Dia meminta dukungan pada kawan-kawan untuk menutup acara evaluasi gerakan.

“Saudari Hima, kita akhiri saja konsolidasi hari ini, karena ada sesuatu yang tidak beres dalam kepala saudari Hima. Toh tidak ada yang mempersoalkan kalau esok kita absent dari aksi jalanan,” dengan bangga Anton mengatakannya.

Darahnya_aku terasa naik mendengar ungkapannya_Anton. “Betul kawan-kawan membenarkan dan mensepakai yang dikatakan Anton? Kalau memang itu yang menjadi kesepakatan, aku akan menghormati keputusan kalian. Tapi izinkan saya untuk menawarkan pilihan untuk menarik duri itu atau mati saat ini juga dihadapan kawan-kawan seperjuangan.”

Kawan-kawan yang lain mendukung Anton saat itu lantaran mereka tidak banyak yang tahu siapa sebenarnya Anton. Mereka mulai membenarkan dan mendukung Anton untuk menutup acara evaluasi.

“Hima, pikirannya_kamu kini tidak sehat malam ini. Jangan-jangan ada persoalan pribadi yang sedang berkecamuk dalam otaknya_Hima, kemudian ingin kamu tumpahkan pada kawan-kawan. Kita istirahat dulu Hima, agar pikiran kita sehat”.

“Mas Patmo, kita saling mengenal sudah hampir satu tahun. Sampean mengenal aku dengan baik bukan?”

“Hima pikirannya_kamu kali ini tidak sehat, benar apa yang dikatakan Mas Patmo. Percayahlah, kita mengenal betul tentang kamu. Tapi bisa jadi malam ini kamu dirundung duka lantaran hatinya_kamu goncang dalam mempertimbangkan sekian cowok yang mengungkapkan cinta pada kamu. Bahwa diantara kawan-kawannya_kamu tidak tulus dalam ikut serta berjuang dengan kamu. Mereka mau terlibat dalam aksi ini lantaran mungkin melakukan pendekatan pada kamu, Hima. Salah satunya adalah teman dekat kamu yang kamu kenal sejak awal menjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi ini. Zuda yang beberapa bulan yang lalu telah meninggalkan kamu lantaran kamu tidak memberikan kepastian atas ungkapan cintanya pada kamu. Menghilangnya Zuda dari perhelatan gerakan demonstrasi dan juga memberanikan diri untuk men-droup out dari studinya adalah salah satu dari sinyalement motif yang sebenarnya. Kita tidak jujur melakukan semua ini. Kita para cowok khususnya melakukan kegiatan ini karena hanya semata-mata memandang Hima seorang mahasiswi yang cantik.”

“Anton, kamu juga mulai gila malam ini, kenapa kamu ungkap hal-hal yang yang tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan gerakan. Sudah kita akhiri pembicaraan malam ini yang mulai tidak sehat. Aku pulang.”

Mas Patmo tersentak dengan apa yang telah diungkap Anton. Patmo anggap bahwa pembicaraan dianggap keluar dari jalur semulah untuk mengevaluasi gerakan menjadi saling menjatuhkan individu dengan membawa-bawa pada persoalan pribadi dalam beradu argumen.

Betul-betul pandai memang Anton dalam mengolah massa untuk berpihak pada dirinya. Kemauannya untuk mengakhiri pertemuan ini mulai menemui kesepakatan. Padahal malam ini aku berencana mengungkap tabiat Anton. Aku sedang menemukan jalan buntu malam ini. Rencananya_aku mulai terganjal karena semua kawan-kawan sepertinya mensepakati pertemuan malam ini diakhiri saja.

Satu-persatu mereka berdiri dan berpamitan pulang. Aku tak mau menyerah kalah untuk menunda rencana aku semula. Aku mengambil megaphone di atas meja lalu melompat ke atasnya dan berteriak-teriak. Seakan kesurupan malam itu memang. Karena kemarahannya_aku yang memuncak atas penghianatan yang dilakukan kawannya_aku sendiri dalam satu kelompok. Kalau sepatu polisi yang mendekap dalam dadanya_aku, mungkin aku masih bisa memakluminya lantaran alasan tugas. Tapi peristiwa ini adalah lantaran tabiat yang mulai kurang ajar yang menganggap rendah nilai perjuangan, maka aku tak mau memberikan ruang bahkan ampun sekalipun atas kekejaman yang dia lakukan pada aku dan kawan-kawan seperjuangan dalam kelompok demonstran.

Inilah peperangan!
yang degup jantung
kabarkan kematian

bulan paro petang
bergeser dari peraduan

kalian saksikan kawan!
mendung berarak-arak
menangisi kepergian
bukan sekedar duka

lantaran kekecewaan
yang amat teraniaya

Kawan, lihat gemintang!
berlarian bersembunyi
ada apa gerangan?
segerombolan kilat
bersahutan berebut tanya
ini musim kemarau bukan?
tentunya tak biasa
mendung berhimpit
langit meledak
tiba angin mendesis
bawa kabar langit
sampaikan pada pucuk cemara
malam ini ada penghianatan
yang luar biasa diantaranya!

Beberapa kalimat yang mengecam tindakan-tindakan penghianatan itu tak bisa dibendung. Terus saja keluar bersama degub jantungnya_aku, lantaran kedongkolan yang membara atas perlakuan seorang kawan seperjuangan.

Anton berteriak-teriak memerintah kawan-kawan menangkap untuk mengamankan aku. Betul-betul seperti komandan Anton melakukan instruksi untuk melakukan pengamanan atas apa yang aku lakukan

“Kawan-kawan, menghentikan langkahnya! Ambil megaphonnya! jangan biarkan dia berteriak! Amankan dia!”

“Anton, kamu lelaki bukan? Kamu sendiri kemari! Kita berdiri di atas meja dengan disaksikan kawan-kawannya_kita sendiri. Kita mainkan saja sandiwara di atas meja ini seperti sekelompok teater mahasiswa. Atau kita undang ratusan penonton, lalu kita berapresiasi setelah pertunjukan. Kamu dan aku mempertanggunghjawabkan keaktoran yang kita mainkan. Anton cepatlah kemari! Malam ini kita buat pertunjukan tanpa sutradara!”

“Ayo kawan-kawan, amankan dia! Jiwanya mulai tidak seimbang, ini berbahaya!” Anton terus berteriak pada kawan-kawan yang justru bertambah diam menyaksikan aku.

“Kawan-kawan, kalian lebih percaya pada aku dari pada Anton bukan? Kalau kalian lebih percaya pada aku, biarkan Anton yang datang kemari naik ke atas meja. Aku akan memberikan pencerahan lewat pertunjukan kenyataan teater malam ini.”

Aku bergerak berwibawa layaknya sosok kleopatra yang mulai menemukan titik awal kemenangan atas Julius Caesar. Aku betul-betul mampu menghipnotis kawan-kawan sebagaimana sorang aktor kawakan menghipnotis penontonnya pada sebuah pertunjukan.

“Anton, hari ini aku mencium bau busuk dari mulutnya_kamu. Bukan lantaran kamu tidak peduli pada giginya_kamu, melainkan kamu tidak bisa menjaga lidah, Anton. Aku dan semua kawan-kawan sadari bahwa kita adalah manusia yang setiap nafasnya butuh energi untuk menghirup udara dan mengeluarkannya. Kita butuh air untuk menghilangkan dahaga yang terasa di tenggorokan, kita butuh sesuap nasi untuk menjaga pencernaan agar gesekan lambung tidak saling melukai.”

“Malam ini aku memanggil kamu dengan sebutan musuhnya_aku. Karena penghianatan terhadap perjuangan ini begitu nyata. Ya, musuhnya_ku Anton! Kalau hanya lantaran kepentingan yang pragmatis dalam melakukan aktifitas jalanan, kita adalah orang-orang yang amat bodoh bahkan lebih bodoh dari binatang yang paling bodoh.”

“Diam Hima, omongannya_kamu sangat tidak mendasar. Kamu mulai membuat fitnah yang akan menghancurkan organ kita untuk bergerak. Kamu mulai tanamkan ketidak_percayaan diantara kita.”

“Ini fakta musuhnya_aku! Aku dan kawan-kawan mempercayai kamu menjadi korlap dalam gerakan aksi jalanan ini, lantaran kami yakin bahwa kamu memiliki kapasitas dalam menkoordinir gerakan ini. Kamu memiliki tingkat kecerdasan ungkap yang mampu untuk menjelaskan pada wartawan tentang isu-isu yang setiap kali kita usung. Tapi keyakinan itu bukan saja kamu hapus, lebih dari kamu aniaya. Kamu lakukan kompromi gerakan dengan berbicara satu meja yang muara akhirnya kamu membuat kesepakatan dengan oknum pejabat yang menawarkan sekian uang.”

“Itu adalah konsekuensi positif dari sebuah perjuangan. Mereka memeras rakyat maka kita harus memeras pejabat.”

“Enak saja kamu bicara. Dari mana mereka mendapatkan uang? Dari mesin cetak atau dari dukun yang dengan bim sala bim kertas putih tiba-tiba berubah jadi uang. Berfikirlah panjang tentangnya. Pejabat bukan orang bodoh. Mereka tidak gratis menjadi seorang pejabat. Apalagi yang sedang menjabat tentunya tidak semata-mata dia mengeluarkan uang dari sakunya tanpa mempertimbangkan keuntungan dia mendapat apa selanjutnya. Dia tak pernah berfikir apa baik untuk orang umum. Mereka para birokrat adalah materialistik"

“Kawan Hima, kita membutuhkannya lantaran dalam setiap aksi kita butuh air minum, dan dalam setiap evaluasi kita butuh rokok dan makanan ringan. Aku pikir itu adalah sah. Anggap sajalah mereka adalah simpatisan yang memberikan yang memberikan dukungan yang mereka bisa. Uang adalah kemampuanya dalam mendukung kita. karena mereka tidak mungkin ikut berteriak-teriak turun jalan.”

“Anton musuhnya_aku, sekali lagi perlu kamu ingat. Mereka melakukannya itu dalam rangka membelokkan tujuan gerakan. Anton, sebelum kamu berada dalam kelompok ini, tak pernah kita melakukan seperti yang kamu lakukan. Ternyata kepandaian kamu dalam mengkordinir gerakan hanya itu. Kamu memang benar-benar generasi politikus Indonesia. Politikus masa depan yang setiap saat ada kesempatan menghisap darah rakyatnya dengan alasan pengabdian pada bangsa. Kini aku telah menghadapi orang-orang seperti para menteri yang menjabat untuk menjilat. Anton, kamu memang betul-betul belut, tapi sayang kamu masuk sarang yang penuh dengan abu, maka terperangkaplah kamu. Kamu tidak diperkenankan bergerak berlama-lama.”

Dari gugatan-gugatan itulah aku telah banyak mengungkap penghianatan yang dilakukan kawannya_aku seperjuangan. Kawan-kawan yang lain menjadi tahu betul apa yang sebenarnya terjadi pada evaluasi malam ini yang nada bicaranya_aku seringkali meninggi. Badanya_aku tiba-tiba genetar dan aku menagis.

“Sekarang aku serakan pada kalian kawan-kawan. Kini aku telah membongkar kenyataan. Terserah kalian punya pikiran apa pada Anton. Kalau kalian berfikir bahwa yang dilakukan Anton adalah kecerdasan, maka aku tidak bisa melarang kalian untuk berpihak padanya. Tetapi kalau itu merupakan kekerdilan, langkah berikutnya kawan-kawan sendiri silakan bertindak untuk memberikan sikap pada orang macam dia. Entah apa sebutannya, musuh dalam selimut atau duri dalam daging.”

Malam ini si Belut Anton benar-benar terperangkap pada abu yang masih panas. Dia mati kutu, tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan dirinya. Kadang-kadang bergerak pun tak memilki arti. Hampir semua kawan-kawan mulai emosi terhadap perlakuan Anton. Ada beberapa diantara mereka yang melemparkan bogemnya pada wajah Anton. Akan tetapi kawan-kawan yang lain cepat mencegahnya. Memang tidak harus diselesaikan dengan kekerasan walaupun kesalahan tersebut lebih besar dari sakit dan hancurnya reputasi gerakan. Karena kalau kelompok aksi jalanan mati maka secara tidak langsung rakyat juga mati. Yang hidup hanyalah mereka para penguasa yang dengan leluasa membodohi rakyatnya sendiri.

Kami tidak memaafkan dan melepaskan begitu saja atas kesalahannya_Anton. Aku meminta Wita membuat surat pernyataan yang harus ditandatangani Anton untuk mengakui kesalahannya atas penghianatannya pada sekelompok aksinya_kami dengan menjual opini pada beberapa instansi daerah, dan meminta maaf secara tertulis untuk tidak melakukannya lagi. Dan pernyataan tersebut harus dipublikasikan lewat media cetak dan elektronik lokal. Tentunya dengan kesepakatan bersama Anton tidak boleh lagi terlibat dalam setiap aksi yang kami lakukan.

Sejak peristiwa itulah kami sangat berhati-hati dalam melakukan gerakan. Kami kaji betul muatan gerakan dan tetap konsisten pada jumlah gerakan. Tidak menerima begitu saja simpatisan yang mau terlibat di dalamnya. Kami harus betul-betul mengenal dan harus berkomitmen untuk selalu menjunjung kepentingan rakyat dalam melakukan aksi tanpa tendensi apapun kecuali keadilan harus benar-benar terjadi untuk semua.

Memang konsekuensi perjuangan pasti ada yang menjadi korban dan pasti ada yang diuntungkan, bahkan juga ada orang yang memanfaatkanya. Anton adalah salah satu fenomena yang pasti terjadi pada setiap perjuangan dalam bentuk apapun. Tapi diantara kita telah bersepakat, bahwa pahlawan dalam masa apapun adalah dia yang menjadi korban. Maka konsekuensi yang harus diterima adalah siap tidak menjadi orang terkenal apalagi imbalan materi atau kedudukan.



SEVEN

Tragedy On Friday
;menggores luka tubuh di jiwa sendiri

terhuyung kawan melaknat lawan
menggores luka tubuh di jiwa sendiri

kau mahasiswa aku tentu
pejuang ataukah pedagang dengan jargon
“rakyat sekawanan”

pahlawan yang kita kejar
terus bersusah-payah lari meninggal dalam medan-juang

sedang pelarian ini sebatas aku-akuan

ayo, kita berhadap-hadapan!
beradu, siapa yang lebih pantas bergelar pejuang
kau atau aku?

kau bajingan!

“Jangan lewatkan besok malam ada pertunjukan teater dengan judul Menggugat Balairung karya Anggiat Tornado. Adalah peristiwa sejarah, melewatinya sama dengan melewati masa satu generasi dengan sia-sia. Ayo berduyun-duyun menyaksikan pementasan teater yang akan digelar teater tiang sebagai ungkapan berontak terhadap upayah kekuasaan dalam menyelesaikan masalah dengan sikap menakut-nakuti rakyat dan kekerasan dengan kekuatan militernya. Saksikanlah pergolakan seorang dalang dengan keponakannya yang diasuhnya mulai kecil. Dengan sebutan Ujang bibinya memanggil namanya. Dia harus melaksanakan perintah atasannya untuk menangkap pamannya yang dianggap memprovokasi penontonnya dalam memainkan lakon dalam pewayangannya.”

Kebiasaan yang acap kali dilakukan oleh kelompok teater mahasiswa dalam mempublikasikan acara pementasan yang kami selenggarakan. Sekelompok mahasiswa Teater Tiang berjalan dari Fakultas ke Fakultas, dari sekolah ke sekolah yang ada di wilayah perkotaan sekitar Perguruan Tinggi. Kawan-kawan melakukannya berkostum dan bermake-up seperti teater jalanan Jepang. Memang itulah cara mempublikasikan yang efektif dan paling mengena pada masyarakat penontonnya. Selain gaya dan strategi menejemen marketing yang amat efektif untuk menarik perhatian penonton juga berdampak yang positif pada mental kader yang terlibat.

Tidak disangkah dan tidak dinyana, pada tengah perjalanan tiba-tiba muncul umpatan-umpatan dari sekelompok mahasiswa yang sedang demo kelihatannya. Berjas almamater Perguruan Tinggi, tapi tak jelas apa tuntutannya_mereka. Oratornya tiba-tiba berteriak-teriak

rapatkan barisan!
ada demonstran bayaran!
jangan sampai mereka menyusup
yang merusak gerakan!
mereka adalah preman bayaran
mau mengacaukan gerakan kita
hati-hati, ayo kita terus sumpahi!

Mereka berjalan dalam satu jalan dengan arah yang berhadap-hadapan. Mahasiswa yang seakan demonstran itu terus berjalan dengan merapatkan barisan. Sekelompok publisher jalanan dari Teater Tiang pun terus berjalan dengan membagi-bagikan selebaran pengumuman pertunjukan teater. Teriakan-teriakan orator yang seakan-akan demonstran itu terus memaki-maki dengan menuduh bahwa sekelompok Teater Tiang adalah sekelompok demonstran bayaran yang saat ini sedang bergerak bertujuan mengacaukan domnstrasi yang sedang mereka lakukan.

Mas Patmo, salah satu diantaranya menanyakannya, kenapa mereka para kelompok mahasiswa beralmamater itu menuduhnya seperti itu, apa alasannya? Tapi diantara mereka tidak ada yang memberikan jawaban, apalagi alasan atas tuduhan itu. Aku menyaksikan debat kusir antara Mas Patmo dengan korlap seakan demonstran itu. Tapi seakan mereka saling tidak menemukan titik temu. Orator semakin menjadi-jadi berorasi sambil memaki-maki. Kawan-kawan Teater Tiang pun tak mau kalah. Dengan beberapa alat musik kenong dan kentongan mereka bernyanyi-nyanyi. Nyaris bentrokan saat itu.

Teater Tiang meneruskan perjalannya dan terus berteriak-teriak mengumumkan rencana kegiatan pentas. Sedang sekelompok mahasiswa yang berdemo tersebut berjalan menuju halaman fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Hampir semua Fakultas Teater Tiang singgahi, maka mereka pulang kembali ke sanggarnya. Hari ini mereka tidak melakukan jalan ke sekolah-sekolah SMA sekitar kampus lantaran hari jum-at. Tepat pukul sepuluh pagi mereka kembali ke sanggar yang berada di depan kantor Dekanat FKIP. Sekelompok mahasiswa yang menamakan dirinya dengan Senat Mahasiswa tersebut terus berorasi dan mengarakan tudingan ke sekelompok anggota Teater Tiang yang terlihat capek lantaran bermain dan berteriak-teriak keliling kampus mempublikasikan kegiatan pementasan teater yang akan diselenggarakan di gedung PKM UNEJ.

Mas Patmo dadanya merasa mendidih lantaran korlap demonstran tersebut terus memaki kelompoknya yang Mas Patmo menganggap tidak beralasan. Mas Patmo mengajak kawan-kawannya untuk mendekati barisan demonstran sambil bermain musik dan menyanyikan beberapa lagu pertunjukan teater yang mereka ciptakan. Juga memainkan beberapa dialog tokoh dalam naskah. Para demonstran merasa suara-suara orasinya terdandingi oleh suara-suara pukulan kentongan dan kenong dengan nyanyian-nyanyian yang kompak. Juka ketepatan sekelompok Teater Tiang berkostum dan bermake-up yang menarik perhatian orang-orang yang sedang berlalu-lalang, maka orang-orang yang sedang lewat lebih suka memperhatikan tingkah anggota Teater Tiang yang bergerak lucu dan unik sambil bernyanyi ca ca riah.

Tiba-tiba salah satu demonstran masuk ke kerumunan Teater Tiang dan langsung menendang alat musik yang sedang dimainkan salah satu anggota. Hampir saja si Jo yang merupakan crew yang sedang memainkan kentongan itu melakukan perlawanan dan memukul pelaku. Lahaula wa la quawa illa billah, lewat perantara satpam yang siap siaga segera melerai. Dari arah yang lain salah satu anggota Teater Tiang dikeroyok beramai-ramai oleh sekelompok demonstran dari Senat Mahasiswa. Mereka terus mengejar dan menghajar Suto namanya. Dia berusaha membelah diri. lantaran tubuhnya yang besar dan tenaga yang biasa digunakan bercangkul dia mampu memegang lehernya salah satu pengeroyok. Hampir saja kenong yang dibawahnya menghancurkan wajah salah satu klompotan itu. Nasibnya masih baik dia, tiba-tiba satpam datang dan dengan cepat memegang tangannya_Suto dan melerainya. Dari arah yang lain si Tou berduel dan telah mendaratkan satu pukulan tepat pada mata seorang anggota demonstran Senat, dan memojokkannya ke dinding. Hanya ada tiga personel Satpam bertugas mengamankannya mulai kualaan melerai perkelaian antara dua organisasi intra kampus itu. Walau jumlahnya sangat minim, mereka para Satpam itu tetap berupaya menjalankan tugas sebagai petugas keamanan. Salah satu anggota satpam menarik Si Tou dan meminta sekelompok Teater Tiang untuk meninggalkan tempat. Dengan mata merah nanar seorang demonstran anggota Senat tersebut mengancam akan mengerahkan masa yang lebih besar untuk membalas dendam.

Takut awalnya kawan-kawan anggota Teater Tiang dengan ancaman tersebut. Tapi aku memberikan penjelasan, bahwa tidak masuk akal kalau sekelompok mahasiswa dengan alasan yang tidak jelas menyerang kawan mahasiswa sendiri. Apalagi mereka juga aktifis kampus yang pemikirannya lebih dewasa dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak pernah terlibat dalam organisasi. Sudahlah tidak ada yang perlu ditakutkan. Insiden yang barusan saja terjadi itu lantaran emosi sesaat. Pasti kalau kalian bertemu lagi akan bertegur sapa dan bergurau lagi. Jangn takut! Mahasiswa menyandang gelar yang sangat mulya “moral force” masak harus diganti dengan bogem force. Tidak lucu kan?

Suara yang sedang memanggil-manggil dari setiap masjid untuk mengajak menghadap Sang Kholik. Kawan-kawan cowok Teater Tiang melupakan kejadian yang mereka anggap memalukan itu dengan berkemas-keMasuntuk melakukan sholat jum’at. Kawan-kawan sengaja memilih masjid AL_Hebron kawan-kawan Teater Tiang menamainya, yang terletak persis dibelakang Fakultas Pertanian. Karena masih asli kemasan jaman Nabi yang khutbanya selalu menggunakan Bahasa Arab. Paling lama sepuluh menit sudah selesai. Masjid yang lain baru memulai kutbah, jama’ah masjid AL-Hebron sudah mengakhiri sholat jum’atnya dengan salam tahiyat akhir .

Aku dan kawan-kawan cewek Tiang menyiapkan makan yang memang menjadi tradisi tiap hari jum-at. Kami masak-masak dan makan-makan bersama. Kawannya_aku Wita yang paling suka dengan acara memasak seperti ini. Dia mendapatkan kebahagian tersendiri apabila masakannya dinikmati orang banyak. Mungkin itu nilai yang terkandung dari filosofi bahwa seorang wanita memiliki sorga untuk suami dan anak-anaknya. Siapapun yang dibesarkan oleh ibu kandungnya sendiri pasti dia akan mengatakan bahwa masakan ibunyalah yang paling enak walaupun dibandingkan dengan menu restoran manapun yang berkelas dunia. “aku ingin menjadi wanita yang mampu menciptakan surga untuk calon suaminya_aku dan anak-anaknya_kami kelak, minimal dalam istananya_kami sendiri,” ujar Wita ketika ditanya kawan-kawan tentang alasan kesukaannya memasak.

Usai kawan-kawan berjama’ah sholat jum’at, kami kemudian makan bersama seperti keluarga sendiri. Salah satu membangun kekeluargaan dalam sebuah organisasi sering mengadakan acara seperi itu adalah strategi yang paling tepat untuk menyatukan emosianal yang kemudian saling mengerti, menjaga dan mengembangkan silaaturrahmi yang diajarkan agama-agama samawi.

“Alangkah bahagianya seorang lelaki yang memiliki istri seperti Wita,” Mas Patmo memujinya.

“Ah Mas Patmo, paling pintar memuji orang, apalagi cewek.”
“Bukan memuji Dik Wita, tapi ini pernyataan yang bisa diuji kebenaranya. Coba saja tanya Hima, pasti dia mengiyakan. Bukankah begitu, Hima?”
“Pokoknya pas seorang istri seperti Wita. Pas di dapur dan pas di kasur.” Spontan kawan-kawan tetawa terbahak-bahak atas ungkapan Rota yang pasti ada unsur humornya.

“Be be… nyaman ongguh kanak, sedang makan bersama.” Mendengar ucapan dari seseorang yang tiba-tiba masuk ruang sanggar itu, spontan Mas Patmo mempersilakan gabung bersama untuk menikmati makanan yang berajang daun pisang. Mas Patmo merangkulnya dan meminta kawan-kawan untuk bergeser memberi tempat pada orang yang Mas Patmo sepertinnya sudah mengenalnya. Kawan Mas Patmo itu tidak mau, tapi Mas Patmo terus membujuknya.

“Betul kawan, ini kandang para seniman? Kandang Teater Tiang yang katanya jagoaan. boleh kan kita tahu sampai sejauh mana kebolehannya dalam ilmu kanuragan. Hutang uang bayar uang, hutang darah tentunya harus dibayar dengan darah juga!”

“Begitulah aktifis mahasiswa bayaran. Makan bersama dari jerih payah diatas penderitaan orang lain. Lihat dengan lahapnya mereka makan tanpa mereka sadari ada orang yang lebih menderita karena ulahnya.”

“Sangat sayang, kesenian sangat mudah digerakkan mereka yang berduit. Mana jargon seni untuk seni. Mereka Teater Tiang adalah kelompok teater mahasiswa boneka pejabat. Teater yang berpolitik praktis!”

Sedikit terpesona dengan kehadiran para tamu yang tidak diundang. Kawan Mas Patmo yang disambutnya dengan baik adalah bagian dari mereka. Ternyata mereka sangat banyak jumlahnya, lebih dari dua puluh. Wajahnya masih terlihat berseri lantaran baju kokokhnya dan sarung yang masih diselendangkan di pundaknya. Apalagi mereka juga masih banyak yang memakai kopyah. Wah tentunya cukup sejuk hatinya. Kesan yang seakan terungkap dari balik penampilannya, tapi sepintas itu nampak tabiat perusak itu tiba-tiba muncul dengan membanting alat-alat musik, pintu, pagar dan semua benda yang ada di sekeliling sanggar yang bisa mereka pukul dan tendang.

Di luar dugaan, predikat mahasiswa sebagai moral force yang selama ini aku banggah-banggkan sebagai kekuatan yang masih dipercaya oleh rakyat memperjuangkan kepentingannya ternyata tidak sepenuhnya terjadi. Kali ini aku melihat dengan mata kepala aku sendiri sikap premanisme yang paling aku benci dalam menelesaiakana masalah. Ancaman yang tadi mereka teriakkan tadi pagi benar-benar terjadi kali ini. Mereka datang tidak hanya dengan jumlah yang lebih besar melainkan mereka banyak yang bersenjata tajam. Dan beberapa kawan anggota Teater Tiang tidak luput dari amukan mereka.

Sejam berlangsung penyeranngan aktifis Teater kampus dengan cara pengrusakan dan pengroyokan. Walau tidak ada korban jiwa tapi ini adalah tindakan yang sangat memalukan ketika terjadi dilingkungan akademis dan civitasnya sendiri yang melakukannya. yaitu mahasiswa. Sudah tidak adahkah kekuatan intelektual yang memiliki daya analisa yang cukup tinggi dalam usaha untuk menyelesaikan persoalan yang merupakan ciri masyarakat kampus. Kalau mhasiswa mulai suka berantem lalu kepada siapa lagi rakyat akan memberikan kepercayaan untuk memperjuangkan keadilan dengan aksi-aksi damainya yang hanya dengan kekuatan kata-kata melalui diskusi, orasi atau pembacaan puisi sudah memiliki kekuatan untuk mengungkap kebobrokan sistem pemerintahan yang harus secepatnya dibenahi, dan menawarkan solusi keadilan untuk segera dilakukan dalam segala bidang.

Tindakan premanisme adalah tindakan peradaban primitif dalam menyelesaikan masalah yang pasti akan terus-menerus melahirkan masalah baru yang memungkinkan dendam berkepanjangan. Aceh adalah bagian darinya, Tanjung Priok juga tidak akan pernah terlupakan, dan beberapa bentrokan antar kampong yang acap-kali terjadi di beberapa bagian di Negeri ini. Akankah masa depan bangsa ini di bangun oleh generasi yang masih punya dendam dengan kawan-kawannya sendiri yang juga merupakan bagian terpenting dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa? Jangan-jangan masa depan bangsa kita ini akan tumbuh kelompok-kelompok yang memperjuangkan sesuatu lantaran sakit hati di masa lalu atau sekarang. Hancurlah Indonesia yang sekarang ini kita berada sebagai warganya.

Satu jam berlangsung upaya sekelompok mahasiswa yang mengatasnamakan dirinya dengan Senat Mahasiswa FKIP dalam upaya menyelesaikan masalah dengan Teater Tiang. Satu-persatu mereka meninggalkan sanggar yang berantakan lantaran upaya pengrusakannya, dan beberapa mahasiswa yang kepalanya berdara lantaran beberapa pukulan yang membekas luka yang sangat panjang. Tentunya tidak akan menyelesaikan masalah tindakan yang sedang berlangsung ini. Mereka meninggalkan tempat kejadian lantaran beberapa Satpam dan Pejabat Perguruan Tinggi datang.

Usai maghrib Ketua Senat Mahasiswa datang ke sanggar Teater Tiang dengan tujuan untuk membicarakan yang kedua organisasi mahasiswa intra kampus ini sama-sama tidak mengakui kesalahannya.

“Aku juga anggota Teater Tiang. Tentunya banyak hal yang aku mengerti apa dan bagaimana misi sebuah organisasi ini didirikan. Maka hari ini aku mempertanyakan kepada beberapa kawan anggota teater yang menurut penilaiannya_aku selaku pimpinan Senat Mahasiswa yang membawai semua organisasi mahasiswa yang berada dilingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan termasuk salah satunya adalah Teater Tiang yang pernah membesarkan aku untuk mengerti apa itu kesenian.”

“Alhamdulillah, Tenyata kamu masih punya perhatian pada organisasi yang sempat memberikan kesempatan pada kamu untuk belajar berjalan dan berbicara bersama anggota-anggota lain yang salah satunya adalah aku.”

“Itu tidak pernah aku lupakan Patmo, akan tetapi kehadirannya_aku kemari hanya mempertanyakan arah kesenian kawan-kawan yang aku anggap sudah melenceng dari tujuan semula yang duluh sempat aku tahu.”

“Kami cukup berterima kasih kalau Fahri kemari adalah usaha untuk menyelamatkan caranya_kami berkesenian dari hal-hal yang mungkin kamu anggap membelok dari tujuan semula.”

“Patmo, selama kepengurusan aku dalam Senat Mahasiswa, Teater Tiang tidak banyak membantu dalam menjalankan program kerja Senat, bahkan seringkali Teater Tiang tidak sefaham dengan rencananya_kami ketika kami mau mengadakan kegiatan. Dan kali ini kalian mengganggu aksinya_kami yang sudah kami konsep dengan matang untuk memperjuangkan mahasiswa baru untuk tidak membayar uang yang aku anggap pungli. Aku mempertanyakan pada kalian kawan-kawan Teater Tiang tentang siapa sebenarnya Teater Tiang? Aku telah mencurigai kawan-kawan bahwa organisasi yang pernah aku ikuti kini telah menjadi boneka birokrat kampus. Kalian merusak aksi kami lantaran kalian dibayar oleh mereka. Kalian telah menjadi preman birokrat kampus yang telah merusak aksi kami.!”

Kawan Fahri, kamu beserta kawan-kawan kamu sudah tidak mencurigai kami lagi, akan tapi sudah menuduh organisasi Teater Tiang adalah preman bayaran kampus. Kita mahasiswa bukan, mari kita sekarang bicara dengan daya intelektual mahasiswa. dari aspek mana kamu Fahri melakukan tuduhan itu? Kamu punya data yang membuktikan apa yang kalian tuduhkan pada kami, bahwa kami adalah preman bayaran. Bisa kawan Fahri membuktikannya?”

“Buktinya adalah kalian tadi pagi telah merusak aksinya_kami yang kami lakukan”
“Fahri, semoga aku tidak salah dengar tentang ungkapan kamu yang pernah menjadi anggota Teater Tiang. Kalau itu benar, seharusnya kamu tahu betul apa yang menjadi kebiasaan kawan-kawan Teater pada umumnya dan Teater Tiang pada khususnya ketika mau mengadakan pementasan. Ribuan mahasiswa dan pelajar se Jember saja banyak tahu tentang strateginya_kami untuk mempublikasikan pementasan dengan cara berkeliling. Lalu kenapa kamu tidak mengerti atau pura-pura barangkali? Padahal kamu bilang sendiri, bahwa kamu adalah anggota Teater Tiang, juga Ketua Senat Mahasiswa Fakultas FKIP yang juga kamu sendiri bilang organisasi yang umurnya belum genap satu tahun itu membawai organisasi kami yang sudah berumur tiga tahun. Aku justru semakin heran dengan kamu dan pernyataannya_kamu itu,”

“Pintar kamu berkelit Patmo. Ini adalah dendam lama antara organisasi yang aku pimpin dengan organisasi Teater Mahasiswa ini. Aku telah mendengar banyak sejarah dua organisasi di lingkungan Fakultas ini yang bersebrangan. Walau kalian bukan dibayar tapi paling tidak kalian tidak mau melihat kami baik dimata mahasiswa. kalian memang sengaja menghalangi langkah kami untuk bergerak.”

“Ini bukan kepintaran aku Fahri untuk berkelit. Akan tetapi ketledoran kamu yang sekarang menjadi orang nomor satu di tingkatan mahasiswa FKIP yang sembarangan mengungkapkan pernyataan yang seenaknya tanpa menilik lebih jauh persoalan yang sebenarnya. Daya analisanya_kamu tidak kamu gunakan sebagaimana mestinya sebagai seorang mahasiswa. Ketika aku mempertanyakan kembali tentang alasannya_kamu dengan disertai data atas tuduhan itu, kamu malah bicara yang bukan-bukan tentang sejarah yang kamu anggap luka lama yang mungkin masih tumbuh dalam hati dan kepala kader-kader organisasinya_kamu.

“Sudahlah Patmo, jangan banyak berkelit! Apa tujuan yang kalian lakukan tadi dalam usaha mengacaukan aksi yang kami lakukan, kalau bukan lantaran kalian dibayar atau memang kalian tidak suka karena menyimpan dendam?”

“Kamu bilang bahwa kami adalah pengacau dalam aksi yang kalian lakukan. Kami adalah preman dalam umpatan yang kalian tuduhkan pada kami, yang mungkin ucapan kamu besok akan dipublikasikan media masa. Maka aku pun jujur mengatakan pada kalian bahwa aku yang mengajak kawan-kawan Teater Tiang masuk pada lingkaran kalian hanya dengan tujuan untuk mempertanyakan pernyataan itu. Aku saat itu emosional mungkin lantaran kalian menuduh kawan-kawan yang melakukan publikasi yan kepentingannya untuk mensukseskan pentas teater semata kamu tuduh mereka adalah preman yang dibayar. Teater Tiang yang mengajarkan aku untuk mengerti untuk hidup kalian lecehkan di depan banyak mahasiswa baru dan mungkin besok akan dibaca orang banyak. Aku berdiri untuk mengutuk tuduhan yang melecehkan organisasinya_kami. Dan sekarang kami Tetaer Tiang ingin bukti atas tuduhan kalian pada kami!

“Aku menyayangkan kamu Patmo, ternyata kau temperamen juga. Kamu emosional dalam mensikapi masalah.”

“Jangan-jangan kali ini aku bicara dengan orang yang sedang mabuk. Selalu apa yang dia ungkap tidak sama dengan apa yang telah dilakukannya. Aku bertanya lagi, bukankah diantara kalian yang memulai menendang alat musik yang sedang dimainkan kawan-kawan, bukankah juga kalian yang melakukan pengroyokan terhadap kawan kami yang ujungnya teman kalian matanya kena bogem karena usaha pembelaan kawan kami dalam pengroyokan, yang kemudian kalian melanjutkan pengrusakan dan pengroyokan beberapa kawan siang tadi setelah sholat Jum’at.”

“Lantaran kalian telah mengganggu konsetrasi aksi kami dengan cara kalian yang bermain musik dan bernyanyi-nyayi dekat dilingkaran aksi yang sedang kami lakukan.”

“Kalian yang memulai menyulut kemaharahan kami, dan sama sekali kami tidak melakukan tindakan yang anarki, justru kamu dan kelompoknya_kamu yang melakukan tindakan premanisme. Bukankah kami sedang hanya bertahan, dan kalau ada diantara teman kalian yang terluka itu pun bukan kehendak kami untuk melakukannya, kami hanya membela diri dari penganiayaan.”

Tiba-tiba beberapa kawan yang sempat tadi siang aku lihat kakinya terluka karena menendang pagar sanggar. Juga beberapa kawan mahasiswa yang tadi siang berteriak-teriak balas dendam, mencari kawan-kawan yang dianggap telah melukai kawannya ketika aksi tadi pagi. Mereka berdatangan ketika perdebatan Mas Patmo selaku ketua Teater Tiang dan MasFahri selaku ketua Senat Mahasiswa sedang sengit. Keduanya saling tak mau mengalah mempertahankan kebenaran yang masing-masing mereka yakini dan anggap bahwa lawannya adalah selalu pada posisi yang salah.

Mereka pun langsung angkat bicara dan beberapa ancaman diungkapkan saling bergantian. Ada yang bilang ini bukan lagi persoalan organisasi melainkan persoalan individu. Luka yang terjadi harus mendapat ganti setimpal. Mereka menanyakan beberapa kawan yang dianggap telah melakukan pemukulan yang menampar mata kawannya yang bernama Luckin.

“Masdia orangnya yang tadi pagi memukul matanya_aku. Dia tadi pagi memakai topeng”
Aku hampir tertawa dan mau ikut angkat bicara lanataran aku tahu persis orang yang ditunjuk Luckin pagi tadi tidak memakai topeng atau memberikan warna cat pada wajahnya. Yang aku tahu temannya_aku yang bernama Suto itu justru dalam kondisi terhimpit dikeroyok beberapa mahasiswa kelompok mereka. Dan juga aku tahu persis siapa sebenarnya temannya_aku yang memukul mata Luckin. Orangnya tidak memakai topeng melainkan mewarnai wajahnya dengan cat yang berwarna hitam dan putih dan berkostum hitam layaknya memerankan setan-setanan.

“Ho… salah hoi, yang memukul luckin bukan Suto. Sumpah, aku yang melakukannya, we kecelek he he he….” Sambil cengengesan kawannya_aku yang bernama Tou berterus terang. Sama sekali tidak meresa bersalah dan justru terlihat merasa senang dengan keterusterangan yang dia lakukan. Para hadirin pun terpingkal-pingkal atas ula Tou yang terlihat lugu dan nekat itu. Memang semacam itu kebiasaannya_kawannya_aku yang bernama Tou. Tidak pernah memandang sesuatu itu dengan serius. Dia selalu hadir dengan kelucuhan-kelucuhannya ketika dalam suasana rapat apapun yang sedang pada puncak ketegangan.



EIGHT

Dazed Love
;Seberkah kata cinta

hati berdebat, kata-kata tertambat
pada dia yang punya rasa, berkelebat

hanya tersenyum dia menatap

mata, jangan kau penjarakan aku melawat
pada biru langit
yang menerbangkan jiwanya_aku yang berhasrat

aku berkehendak menyapa
tuk selesaikan seberkah kata cinta

Di tengah riuh teriakan-teriakan panggung pertunjukan dan hinggar-bingar demonstran, dadanya_aku sering berdebar ketika menyaksikan kelebat Mas Patmo dengan wajah bersih dan rambut gondrongnya. Apalagi ketika naik mimbar orasi dan membacakan beberapa bait puisi. Dia kelihatan kharismatik menghipnotis aku yang sedang menatapnya.

Aku tidak boleh gegabah dalam persoalan yang satu ini. Aku berharap pada dirinya_aku sendiri untuk senantiasa bersabar. Walau debar rasa ini lebih dasat dari gelombang laut. Apalagi kalau imajinasinya_aku sedang berlayar, luar biasa gelombang sejuta hasrat untuk segera bertemu dan mengungkap.

Semoga ini adalah rindu yang senantiasa mempertemukan aku dengan-Nya lewat perantara dia, ciptaan yang paling sempurna. Aku sangat berharap untuk selalu terjaga dari sikap yang grusa-grusu apalagi dalam persoalan rasa yang satu ini. Ini adalah puncaknya_iman yang siap terhempas angan yang berangin, paling sensitive.

Mulai terasa kecamuk perasaannya_aku yang tidak karuan pada Mas Patmo. Kadang terasa surga itu ada bila aku sedang ditatap olehnya. Juga kadang aku merasa cemburu setengah mati tatkala aku lihat dia sedang bergurau dengan cewek walau dia adalah kawannya_aku sendiri. Sungguh aku jujur, seringkali aku merindukan Mas Patmo untuk senantiasa di sampingnya_aku. Aku tidak tahu, ini cinta semacam sesuatu yang menggoda atau memang berkah dari Tuhan.

Hampir dua tahun aku menjadi anggota Teater Tiang, namun getar luar biasa itu baru mulai terasa beberapa bulan terkhir ini. Pada dia yang Innocent wajahnya, namun dia memiliki kecerdasan yang lumayan. Dia kutu-buku, karenanya banyak refrensi teori yang dia miliki. Juga ketika memainkan lakon dalam pertunjukan teater yang wajahnya disinari lampu panggung, dia memiliki kharismatik yang luar biasa. Mas Patmo orangnya kelihatan cuwek dengan orang-orang yang belum dikenalnya terlalu jauh. Tapi kalau sudah banyak bergaul dengannya, dia mempunyai perhatian yang lebih.

Cowok berkacamata ini mahasiswa Sejarah angkatan 1988. Asli Jember yang rumahnya sekitar tujuh kilo meter dari kampus. Tepatnya di Jl. Gajah Mada dekat pusat perbelanjaan kota. Tapi dia lebih banyak berada di sanggar teater kampus dari pada di rumah. Setiap aku ke sanggar seringkali bertemu dengannya. Dia sering menyendiri untuk menulis atau paling tidak membaca buku. Tapi dia sangat toleran dengan keadaan. Dia pasti meluangkan waktu untuk diskusi dengan adik-adik sanggarnya dan memberikan bantuan apabila ada orang yang membutuhkanya.

“Hima tidak pulang ke kost-kostan?”
“Ya, mau pulang,” dadanya_aku berdebar, bukan deb, tapi mak nyess orang Jember bilang.
“Mau diantar?”
Aku tersenyum saja lantaran bingung aku mau bilang apa. Sungguh aku tak banyak kata yang bisa aku ungkap.

“Kok tersenyum? Lesung pipitnya_kamu lebih nampak kalau kamu tersenyum seperti itu.” pasti terungkap kata pujian dari mulutnya_mas Patmo yang membuat aku menjadi nyes lagi.

Tidak tahu kenapa aku tiba-tiba tersenyum. Aku betul-betul gugub bicara dengan cowok yang menawari mengantarkan pulang. Bersanding dengan Mas Patmo, aku mulai seringkali mati kutu, Tidak bisa berbicara panjang apalagi bergurau. Tidak seperti dulu-dulu yang seringkali aku bergurau dengannya. Juga bicara cinta, akupun sangat leluasa waktu itu.

“Ada yang sedang Hima tunggu?”
“Tidak.”
“Ayo, aku antar. Aku juga mau ngopi di Cak Sardan.”

Berjalan Kami berdua sambil diskusi apa saja. Tentang kesenian, politik, sejarah tokoh-tokoh demonstran. Malam yang indah dalam benaknya_aku. Berjalan dengan orang yang sedang aku damba. “Alangkah bahagia.syiih,” pikiranya_aku. Sialan cepat betul perjalanan ini. Padahal aku belum banyak menjawab pertanyaan Mas Patmo. Juga banyak isi hati yang sebenarnya mau aku sampaikan.

“Sudah nyampek, Hima.”
“Tidak mampir, Mas?”
“Takut dimarahi ibu kost-nya_kamu. Sudah jam sembilan.”
“Assalamualaikum. Selamat mimpi yang indah!”

Sebenarnya aku mau menjawab semoga aku bertemu Mas dalam mimpinya_aku. Tapi luar biasa sulitnya bibirnya_aku untuk diajak kompromi.

Banyak peluangnya_aku untuk menanyakan pada Mas Patmo tentang keberadaanya_aku dalam hati Mas Patmo. Seringkali Mas Patmo sampaikan kalimat-kalimat yang romantis yang sebenarnya kesempatan bagi aku untuk melanjutkan saja tentang kalimat-kalimat itu untuk mengetahui isi hatinya_Mas Patmo tentang aku. Kenapa ya, aku kok hanya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya saja? Padahal aku punya segudang jebakan-jebakan untuk mengorek isi hatinya. Aku hanya bisa beredebat dalam hati kalau sedang di kamar sambil membayangkan sejuta peristiwa romantis.

“Assalamualaikum, Hima ada?” suara dari luar kost-an yang membuyarkan angan.
“Siapa?” tanya kawannya_aku di luar yang sedang duduk berduaan dengan pacarnya.

“Hima, ada temannya_kamu yang sedang mencari kamu!”
Aku pakai kembali kerudung yang belum lima menit aku lepas. Aku berjalan menujuh pintu utama kost-an. Bajingan si Yusta, cowok yang baru dua hari kemarin katakan cinta pada aku. Aku benci pada dia yang sok aktifis. Dia bilang hampir semua kegiatan mahasiswa pernah dia ikuti. Mulai dari organisasi Ekstra Kampus HMI, PMII, GMNI sampai juga pernah menajadi anggota PMKRI. Orang macam apa dia yang sangat jarang aku temui dalam setiap aksi yang aku lakukan bersama kawan-kawan mahasiswa. Tapi selalu punya alasan kalau aku tanya kenapa kok tidak muncul. Dengan gayanya seperti pahlawan dia beralasan, ”kawan-kawan melarang aku untuk langsung terlibat dalam setiap aksi langsung turun jalan. Aku diminta menjadi konseptor gerakan saja dalam organisasinya_kami.”

“Tai kucing,” umpat kami dalam hati.
“Ada apa Mas Yusta, malam-malam kok datang kemari?”
“Di samping ingin ketemu sama Adik Hima juga ada keperluan mau pinjam buku puisi.”

Seperti anak SMA saja, dengan alasan mau pinjam catatan kalau pingin bertemu dengan cewek yang ditarget, lalu mengembalikannya dengan diisi surat cinta. Dasar Play Boy kuno. Tidak punya strategi yang lebih up to date.

“Tumben, kok butuh buku puisi?”
“Ya, gak tahu kok tiba-tiba tertarik dengan puisi sekarang.”
“Karangan siapa Mas?”
“Karangan yang Adik Hima suka”
“Lho kok yang aku suka?”
“Terserah Dik Hima, pasti pilihannya cocok buat Mas Yusta”

Tanpa banyak basa-basi aku lansung berdiri dan membalikkan badan mengambil buku. Aku ambilkan saja buku yang berbahasa Arab yang judulnya Sholawat Barzanji. Aku tidak peduli apa bisa atau tidak untuk memahaminya. Tapi aku yakin tidak bisa, lah wong sesekali aku tanya arti asshomad yang ada dalam surat Al-Ikhlas saja tidak tahu, apalagi memahami syair dalam bahasa arab.

“Ini Mas, puisinya! Tapi maaf ya, aku pingin tidur cepat malam ini, lagian sudah jam sembilan. Lain kali saja ya kita ngobrol panjang tentang puisi.”
“Baik, aku bawah duluh ya puisinya?”
“Ya, jangan lupa mengembalikan! Biasa mahasiswa suka pinjam buku tapi malas mengembalikannya.”
“Jangan Kuwatir, paling lama dua hari. Besok lusa Adik Hima setelah maghrib ada di kost-kost-an kan?”

“Tidak tahu ya Mas, soalnya setengah tujuh malam aku ada latihan sama kawan-kawan teater. Tapi tidak apa-apa, bisa dititipkan pada kawan-kawan kost-nya_aku.”
“Maksudnya_aku sekalian kita diskusi puisi.”
“Ya, itu bisa diatur,” sambil bermalas-malasan aku menimpali pertanyaan-pertanyaan Mas Yusta.

“Adik Hima kelihatan capek malam ini, kelihatan sering menguap. Aku balik dulu, assalamualaikum! Selamat memimpikan Mas Yusta!”

“Semoga,” semoga tidak maksudnya_aku dalam hati.
Tiba-tiba aku ingat sesuatu yang aku rencanakan besok malam. Aku bermaksud mencari dukungan dari kawan-kawan yang aku kenal.
“Oh ya Mas Yusta, besok malam aku ada waktu. Silakan bertandang kemari ya!”

Ya, besok malam aku berencana mengundang kawan-kawan yang beberapa minggu dalam bulan terakhir ini telah mengungkapkan kata cinta pada aku. Mas Ogi Ketua Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang sempat aku tolak tawarannya untuk meminta aku sebagai pengurus bidang sastra dan teater. Udin kader PMII yang satu ankatan dengan aku. Orangnya ganteng sebenarnya tapi tidak tahu kenapa aku kok tidak suka. Padahal dia juga pandai dalam kelas. Mungkin karena dia suka omong besar dan kelihatan punya potensi untuk nggedabrus yang membuat aku tidak bersimpati padanya. Juga kawannya_aku seorganisasi HMI yang tidak ganteng amat, tapi banyak perhatian pada aku terutama ketika ada kajian setiap malam sabtu di komisariat. Dia sering menjemput aku. Namanya adalah Mas Ifan. Dan juga Mas Yusta yang pura-pura mau menjadi penyair itu.

Aku tidak bermaksud jahat pada mereka, hanya saja aku ingin mempertemukan mereka yang sedang senasib, yaitu sedang jatuh cinta pada aku. Juga bukan aku ingin membuat kompetisi untuk merebutkan dan mendapatkan aku. Sekali lagi, hanya saja aku ingin tahu seperti apa bila mereka bertemu.

Aku siapkan makanan ringan dan minuman yang cukup untuk mengobati rasa dahaga mereka. Aku ingin mereka diskusi panjang tentang dunia kemahasiswaan. Dari persolanan akademis, persoalan politik mahasiswa sampai pada persoalan cinta.

Aku ajak juga Wita untuk menemani aku agar aku tidak menjadi titik fokus objek pandangan mereka. Aku harus ditemani kawan cewek. Sebelumnya Wita sempat tidak mau, tapi berkat rayuannya_aku. Wita harus bersama aku untuk menemui mereka. Supaya tidak terlihat canggung aku menemui orang-orang yang menaruh hati pada aku. Kehadirannya_Wita pasti akan bisa menetralisir kegrogiannya_aku. Sebab aku tidak cewek sendirian yang sedang dikerubungi kumbang-kumbang yang ingin merebut sari-sari bunganya_aku.

“Hima, kamu ini macam-macam saja. Tidakkah kamu ciptakan peristiwa yang lain yang lebih bermanfaat dari pada peristiwa yang akan kamu rencanakan ini. Resikonya terlalu besar Hima, bila mereka nanti tidak dewasa dalam mensikapi pertemuan nanti.”

“Tenang saja kawannya_aku Wita! Ini kesempatan bagi aku untuk meluruskan mereka pada kehidupan yang ideal sebagai mahasiswa.”

“Terus apa keuntungan mereka dengan kehidupan yang menurut kamu ideal itu? Toh mereka sudah punya cara pandang yang menurut mereka baik.”

“Mereka sedang falling in love with me. Tentunya mereka dalam posisi yang bisa aku kendalikan. Aku seperti bunga, kemana aku bergerak maka para kumbang itu pasti mengikuti aku. Kemana aku berkehendak tentunya cowok-cowok itu akan terbang menghampiri aku.”

“Terus apa yang menjadi kehendaknya_kamu, Hima?”
“Penasaran?”
“Tidak, tapi atas kemauan_kamu Hima, tentunya alangkah baiknya aku tahu, agar tidak seperti kambing congek yang inga-ingi”
“Rupanya kamu pandai berkelit dari rasa penasaran itu.”
“Sudah, jangan banyak berpidato.”

“Mereka kan sama-sama aktifis organisasi yang juga sama-sama punya masa yang jumlahnya cukup banyak. Dan organisasinya_kita kan punya rencana untuk mengadakan aksi teatrikal mensikapi kecendrungan pemerintah daerah yang tidak peduli lagi dengan tradisi dan kebudayaan yang kita anggap memiliki akar dengan masyarakatnya.”

“Lantas?”
“Kita ajak mereka diskusi tentang itu. Kalau punya pemahaman yang sama, tentunya isu lokal akan lebih mempertajam aksi kita untuk mengawal Reformasi”

“Secara pribadi aku sepakat, tapi ini perlu didiskusikan dengan kawan-kawan Teater. Jangan-jangan kawan-kawan Teater Tiang tidak sepakat dengan keberadaan mereka.”

“Mereka tidak masuk dalam barisan aksi yang kita lakukan. Cukup mereka kita minta melakukan aksi dengan bendera organisasi mereka masing-masing, tetapi isu yang kita tawarkan sama, yaitu revitalisasi budaya lokal sebagai identitas masyarakat yang utuh dan yang bermartabat. Tentunya mereka bisa mensikapi dari sektor yang berbeda-beda yang mereka lebih menguasainya. Akan tetapi muara akhirnya ngomong persoalan identitas daerah dan bangsa yang berbhineka.”

“Untuk sementara aku mendukung, akan tetapi bila ada perkembangan lain dukungan yang aku berikan ini sangat mungkin aku tarik.”

“Seperti kader anggota Legislatif saja kamu ini. Bila kepentingannya tidak tertampung maka menjadi oposisi, tanpa mempertimbangkan idealisme semula untuk kepentingan orang banyak.”

“Harus dong, bila tidak dengan seenaknya orang-orang akan menjadikan kita sebagai tunggangannya untuk memperjuangkan kepentingan mereka yang sama sekali kita tidak menikmatinya”

“Aku mengerti calon anggota DPR dari partai merah kuning hijau di langit yang biru. Dan jangan lupa besok kamu harus menemani aku, ya aku Capres, dan kamu Wita, sebagai konsultan dalam merencanakan untuk penggodokan Kepres nomor dada tahun 1998.”

“Sebagai Anggota Legislatif dan dalam rangka bagi-bagi kekuasaan aku akan menghadiri undangan Ibu Presiden. Oh ya, Ibu Presiden, jam berapa pertemuan akan berlangsung dan di mana tempatnya?”

“Jam setengah delapan, di istana kost-annya_aku.”
“Interupsi calon Ibu Presiden. Tentunya undangan harus disampaikan secara tertulis yang dibuat oleh Sekretaris Negara yang ditandatangani Presiden.”
“Sudah, kita kok malah nggombal”
“Lho katanya Reformasi, kenapa tidak?” Wita menutup pembicaraan.

Jam setengah delapan tepat, mereka ternyata datang in time. Biasa atas undangannya_gadis yang mereka idamkan. Karena kepentingan cinta dalam benaknya_mereka. Mereka selalu menciptakan kesan yang baik. Satu-persatu mereka datang. Selang tiga menitan mereka datang bergiliran. Padahal belum sempurna aku berdandan. Biar terlihat mempesona. Maklum aku juga dalam rangka ingin mendapatkan simpati untuk mendukung rencananya_aku, maka aku harus tampil lebih menarik dibandingkan hari-hari lain, apalagi juga dalam rangka menghormati ungkapan cinta mereka pada aku, maka aku harus membuka ruang imajinasinya_mereka bahwa aku menerima ungkapan hatinya_mereka.

Malam ini aku memakai pakaian berwarna merah mudah supaya terlihat melankolis, dan bersinar terlihat anggun wajahnya_aku yang terbungkus dengan mode yang sedikit gaul. Aku semprot beberapa bagian tubuhnya_aku dengan minyak wangi yang beraroma terapi. Seakan wanita yang menyambut suaminya di malam pertama. Kalau aku berpenampilan yang lebih mempesona tentunya mereka akan merasa lebih terhormat dari pada lansung aku sambut dengan penampilan yang apa adanya. Ini juga aku rencanakan untuk memberi kesempatan pada mereka untuk ngobrol, agar mereka terlihat akrab dan berbaik hati dengan sesama yang hatinya lagi kasmaran.

Sambil menunggu Wita, aku terus melenggak-lenggok di depan cermin milik teman kost-annya_aku yang kamarnya berhadapan dengan kamarnya_aku. Maklum aku tidak punya cermin sebesar yang kawan kost-an punya. Cukup berukuran kertas folio miliknya_aku. Kurang rasanya melihat kemodisan penampilannya_aku kalau aku lihat dengan ukuran cermin sekecil itu.

Jam telah menunjukkan pukul tujuh seperempat. Tapi Wita belum juga terlihat batang hidungnya. Jangan-jangan dia tidak bisa datang, atau memang mengerjai aku agar aku menemui sendiri para cowok itu. Oh ya, aku lupa. Dia kan calon anggota DPR, tentunya harus membiasakan kebiasaanya. Lihat-lihat dulu urusannya, kalau mau datang sesuai dengan jadwal. Dasar calon anggota DPR, sudah terlihat tanda-tanda malas rapat kalau kepentingan Rakyat. Coba kalau kepentingan kenaikan Gaji dan kesejahteraan diri sendiri, dia pasti datang sebelum pintu gerbang dibuka.

“Hima, aku datang!” Wita datang berteriak dengan tak merasa berdosa. Tapi keceriaanya terlihat dipaksakan malam ini.
“Belum jadi anggota DPR sudah bertabiat tidak disiplin!”

“Walah walah….ada apa gerangan kok berpenampilan seperti bidadari yang mau menyambut para nabi?”
“Seperti pernah ke sorga saja.”
“Ya seperti…”
“Tidak seperti siapa-siapa, yang penting terlihat aduhai bukan?”
“Hima, aku tidak salah melihat kamu malam ini, bukan?”
“Ada yang aneh dengan aku?”

“Luar biasa keanehannya, Hima. Ini sesuai dengan settingan semula kan? Bukan persoalan lelaki dan perempuan kan? Bukan persoalan muda-mudi yang lagi gandrung hatinya kan? Aku akan menarik dukungannya_aku loh apabila rencana tidak seperti semula.”

“Aku harus menjawab apa kan, kantoooot?”
“Rencananya_kita kan berkaitan dengan pencalonannya_kamu sebagai Presiden dan beberapa orangnya_aku untuk menjadi menteri kan?”
“Presiden lagi, DPR lagi!”
“Reformasi bukan?”

“Seperti rencana semula kawanya_aku, Wita! Tak akan pernah meleset dari skenario yang telah kita rancang. Tidak boleh melakukan interupsi calon anggota DPR! Interupsi hanya boleh dilakukan di ruang sidang. Sekarang mari kita menuju ke ruang sidang”

“Tapi aku sekarang tidak percaya diri, Hima. Kamu perpakaian seperti itu yang warnanya membuat orang melayang ke bulan sedang aku biasa-biasa saja.”

“Tanpa kamu berpenampilan seperti aku sekarang ini, kamu sudah terlihat cantik dan mempesona yang terpancar dari kesederhanaanya_kamu. Yakinlah, andaikata para lelaki yang sedang menunggu kita itu tidak sedang jatuh cinta pada aku, dan kamu serahkan dirinya_kamu pada mereka tentu mereka dengan suka hati akan menerima kamu.”

“Gombal, kamu pintar merayu aku, Hima!”
“Sudah, kita sekarang tidak ada waktu untuk berdebat terlalu lama. Kita bicarakan nanti persoalan ini. Mereka sudah lebih sepuluh menit menunggu kita. Jangan kecewakan mereka hanya persoalan kebosanan menunggu. Aku berpakaian seperti ini, karena aku ingin membahagiakan mereka malam ini dengan memberikan hormat dengan cara perpakaian yang tidak biasanya aku lakukan. Supaya mereka malam ini merasa diistimewakan.”

“Kalau aku gimana? Tidakkah aku juga diperkenankan untuk berkeinginan yang sama seperti kamu malam ini?”

“Waktu yang melarang kamu untuk berdandan seperti aku. Kamu bisa membayangkan, berapa lama waktu yang mereka butuhkan untuk menunggu kamu, apabila kamu ganti pakaian, berbedak, berlipstik dan lain sebagainya?”

“Kalau kita tunda besok malam bagaimana?”
“Wita, mereka sudah menungguh kita. Bagaimana aku mengatakannya untuk menunda pertemuan malam ini?”
“Aku yang akan mengatakannya pada mereka dengan alasan kamu kurang enak badan malam ini.”

“Wita, kawanya_aku, tidakkah malam ini kamu mau membantu aku. Terserah keputusan kamu sekarang. Aku tidak bisa memaksa kamu malam ini. Aku turuti keinginannya_kamu sekarang. Kita tunda atau kamu bersolek duluh yang mungkin membutuhkan waktu satu jam lebih, dan mereka akan pulang dengan hati yang dongkol sebelum kamu selesai berdandan.”

“Ternyata orang yang benar-benar membutuhkan kita itu memang mudah dikendalikan. Siapapun mungkin. Siapa yang berkuasa maka dia pasti dengan mudahnya menyetir orang yang dikuasai dan senantiasa dikondisikan membutuhkannya. Maka kemudian dengan mudah Penguasa itu akan mengendalikannya. Sebagaimana kekuasaan yang dirancang Presidennya_kita yang sedang berkuasa selama 32 tahun lebih yang menkondisikan kita rakyatnya. Salah-satunya adalah kebijakan KTP bagi setiap warga negara harus memilikinya. Kita harus punya, lantaran banyak resiko yang kita dapat apabila kita tidak memilikinya. Dengan cara melalui birokrasi yang amat rumit dengan terpaksa kita mengeluarkan biaya yang jumlahnya itu belum tentu kita dapatkan dengan bekerja selama seharian. Bukankah begitu, Hima?

“Ya, itu akan kita bicarakan nanti. Sekarang ayo ke ruang tamu menemui mereka yang telah lama menunggu kita. Siap kan Wita? Ayo berdiri, bersemangatlah Wita, please help me!”
“Hima, aku minta maaf sebelumnya”
“Sudahlah, jangan bersandiwara lagi, Wita!”

“Him…” Wita kemudian merunduk diam. Sesekali menatap ke arah wajahnya_nya_aku. Matanya mulai berkaca-kaca, dia pun memalingkan wajahnya sambil tangannya mengusap satu dua air mata yang mulai merembet pada pipinya yang mungil. Dia tersentak berdiri dan langsung merangkul tubuhnya_aku samberi meluapkan isi hatinya dengan isakan yang mulai menjadi-jadi. Aku mulai penasaran dengan sesuatu yang terjadi pada Wita. Aku yakin, kini dia punya masalah yang amat membebani. Aku takut, jangan-jangan ada ucapan atau tingkah laku yang tidak aku sadari menyinggung perasaanya dia.

“Maaf Hima, malam ini memang benar-benar aku tidak bisa membantu kamu. Ada persoalan yang nanti kamu akan tahu sendiri alasannya. Tapi tidak sekarang kamu untuk menegetahuinya. Karena aku tidak mau menggagalkan rencana yang telah kamu rencanakan semula. Tapi sungguh Hima, aku malam ini tidak bisa membantu kamu. Sungguh aku tak memiliki kekuatan dalam menghadapi persoalan ini. Aku pun tidak tahu. Mungkin ini adalah memang sifatnya_aku yang telah digariskan oleh Tuhan”

“Wita, kenapa kamu menangis?”
“Aku sendiri juga sedang bertanya pada dirinya_aku sendiri, kenapa aku cengeng seperti ini?”
“Wita, katakan pada aku sejujurnya. Kenapa kamu seperti ini, ada apa dengan kau Wita, atau apa yang salah dengan aku?”

“Hima, sudah hampir setengah delapan, alangkah baiknya kamu temui mereka dengan ditemani kawannya_kamu satu kost-an. Sungguh aku akan lebih bersalah kalau rencananya_kamu semula gagal gara-gara aku. Yakinlah, aku pasti akan menjelaskan nanti. Tapi izinkan aku untuk pulang ke kostannya_aku. Aku malam ini ingin menyendiri dan menikmati sesuatu yang lagi berkecamuk dalam dada ini dengan sendiri.”

“Wita, aku gak mau kamu seperti ini. Lebih baik rencananya_aku gagal daripada kamu menderita. Kamu butuh aku kan sekarang, Wita?”

“Belum, tapi pasti aku akan sangat membutuhkan kamu untuk menjelaskan persoalan ini. Sungguh, jangan kamu bikin aku lebih bersalah apabila rencananya_kamu gagal malam ini. ”
“Wita…”

“Hima, maafkan aku harus pulang. Aku bersumpah pasti akan menjelaskannya kepada kamu nanti.”
“Wita, jangan…”
“Aku pulang Hima, assalamualaikum Him…..”

Sungguh aku tidak tahu kenapa Wita kawannya_aku yang biasa banyak bersama aku tiba-tiba seperti itu. Tidak biasa memang, pasti ini ada kaitannya dengan aku. Aku masih ingat rona wajahnya yang sangat ceria kemarin ketika aku meminta untuk menemani aku untuk menemui mereka yang sedang menunggu di ruang tamu. Sungguh aku tak pernah melihat dia menangis sebelumnya selama hampir satu setengah tahun aku berteman. Dia tak pernah menangis seperti ini walau sedang dirundung kesedihan. Aku malah semakin bingung, pasti ada apa-apa yang ada kaitannya dengan aku. Ya, aku harus selesaikan duluh dengan mereka yang sedang menunggu aku. Aku batasi sampai setengah sembilan menemui mereka. Aku harus datang ke kost-annya_Wita malam ini juga. Aku takut terjadi apa-apa pada dia. Aku tidak mau terlambat menunggu besok.

Tapi persoalannya sekarang dengan siapa aku menemui mereka? Waduh benar-benar bingung aku kali ini. Siapa teman kost-an yang aku ajak untuk menemani aku. Kalau aku ajak kawan kost-an, tentunya aku butuh waktu lagi untuk menjelaskan rencananya_aku semula. Itu pun untung kalau mengerti dan mau? Terlalu banyak kemungkinan yang justru kenyataan akan lebih menyimpang dari rencana semula. Apalagi kawan-kawan kost-an tidak banyak yang terlibat dalan dunia demonstrasi. Dari pada gagal, aku harus memberanikan diri untuk menghadapinya sendiri. Apapun resikonya. Dengan menyebut nama Allah aku berdo’a Robbisyrokhlii sadrii wa yasyirlii amrii wahlulukdatammillisani yafqohu qouli. Ya Tuhan aku pemelihara semesta. Terangkan hatiku, lapangka dadaku agar mudah aku untuk menyelesaikan urusan ini.

Aku tarik nafas dalam-dalam dan langsung melangkah keluar dari pintu utama kost-an menuju ruang yang disediakan untuk tamu cowok. Empat pasang mata itu memandang aku dengan pandangan yang bersemangat. Aku lontarkan senyum yang telah aku poles dengan lipstik berwarna pink yang aku minta dari kawan kost-an aku. Warna bibirnya_aku yang terpancar pada wajah dan bagian-bagian kain yang membalut wajah benar-benar menyembul libidonya_mereka. Aku meminta Kawan Ifan untuk duduk satu kursi dengan Udin yang kebetulan duduk di kursi yang panjang. Aku kemudian menempati kursi yang tadinya ditempati Ifan. Sambil aku ucapkan salam aku sedikit memutar badannya_aku agar aroma terapi yang telah aku semprotkan pada sekujur tubuhnya_aku merambat pada indra lubang hidung mereka lalu merasuk pada kediaman jiwa yang menggelora.

Apapun kondisi jiwanya_aku. Terutama sedikit terganggu peristiwa yang telah terjadi yang berkaitan dengan Wita. Aku harus bisa menjaga dan bersikap layaknya tidak ada pikiran lain selain menyambut kedatangannya_mereka. Untuk memberikan kesempatan berfikir, dengan senyum warna dan aroma yang aku tebar, aku perpamitan masuk kost-an untuk mengambil minuman dan makanan ringan.

“Tidak usah repot-repot, Dik Hima”
“Ya, cukuplah kamu menemani kita di sini!”
“Tidak apa, hanya air putih dan sedikit makanan ringan. Ya, paling tidak sebagai pemanis suasana dan penghilang dahaga. Tentunya Mas-Mas dan kawan-kawan datang kemari kan pingin senang. Boleh kan aku sedikit memberikan kesenangan pada kalian?’

“Terimakasih, tapi dengan caranya_Adik Hima perpenampilan menyembut kami, kami sudah merasa senang. Maklum laki-laki kodratnya suka melihat perempuan cantik.”

“Ah, Mas Yusta, paling pintar menggoda wanita. Oh ya kok….” Hampir saja aku keceplosan bicara yang akan menyulitkan posisinya_aku dalam melanjutkan pembicaraan berikutnya. Kalau aku menanyakan maksud kedatangan mereka kemari tentunya dengan serentak mereka akan menjawab atas undangan aku. Tentunya juga mereka akan bertanya apa maksud undangan itu. Padahal sebelumnya aku mengundang mereka itu dengan kata-kata yang ambigu yang memungkinkan munculnya persepsi undangannya_aku adalah sebagai tanda aku menyambut ungkapan romantis mereka. Tapi rencana yang sebenarnya ini mereka tidak boleh tahu. Aku berharap mereka perpikir bahwa kehadirannya_mereka bersama-sama ini adalah kebetulan belaka.

“Aku datang! Ya, ini makanan yang sederhana. Silakan dinikmati! Dan ini telah aku buatkan kopi lantaran aku tahu kalian kan suka kopi.”

“Kok sepertinya sudah disiapkan?”
“Oh, kebetulan ada air hangat. Maka agak lumayan cepat aku menyeduhnya. Biasa punya bakat aku untuk menjual kopi. Ya, paling tidak sebagai modal dasar untuk menyenangkan suami.”

Aku kadang-kadang membesarkan hatinya_mereka, pasti frase “calon suami” memilki kekuatan yang luar biasa saat ini. Pasti mereka beranggapan bahwa beberapa kata yang aku sebut itu adalah diri mereka masing-masing.

Memang harus hati-hati menghadapi mereka pada saat seperti ini. Belum satu paragraf aku berbicara pada mereka. Aku sudah hampir terpeleset dua kali pada jebagan yang aku buat sendiri. Jalan yang sedang aku lalui ini benar-benar licin. Sedikit terpeleset pasti mereka akan berebut menolong aku. Dan pada saat itu juga mereka akan saling mengetahui bahwa orang-orang yang sedang berada di hadapannya adalah saingan untuk mendapatkan cinta dari gadis yang sekarang sedang berada di hadapannya_mereka.

‘Maaf ya, nunggu terlalu lama, sedikit ada persoalan dengan kawanya_aku.”
“Tidak apa.”
“Wah kebetulan, kalian datang kemari. Mas Eko, Udin, Ifan dan Mas Yusta sudah dengar rencana kawan-kawan sanggar?”

“Rencana apa itu?”
“Biasa, gerakan kepentingan bersama.”
“Wah belum. Apa isu yang akan diusung?”
“Persoalan identitas kita sebagai warga yang tinggal di Negerinya sendiri”

“Aku pikir itu persoalan individu. Kita mengenal atau tidak, itu kan tergantung keinginan, kemampuan dan sikap untuk memahami bangsanya.”

“Juga tidak bisa disimpulkan semacam itu dong Mas Eko, artinya bahwa setiap individu itu hidup dalam masyarakat, tentunya dia dan mereka itu komunal. Persoalan individu pasti ada kaitannya dengan persoalan orang banyak,” Ifan menyelanya.

“Beberapa hal aku sepakat Ifan, akan tetapi ada juga beberapa hal yang aku tidak sefaham. Persoalan kecerdasan misalkan. Kita tidak bisa mempersalahkan kalau seseorang itu memiliki tingkat kecerdasan yang rendah”

“Kalau dia menjadi milik publik, tentunya patutlah kita mengkritisinya. Kenapa pada tingkatan yang rendah dan dampak berikutnya seperti apa kalau kita memiliki pelayan publik yang lomot. Contoh konkrit adalah banyaknaya birokrat pemerintah yang tidak memiliki kemampuan menjalankan tugasnya sebagai pelayan masyarakat. Penyebabnya adalah sistem KKN itu mentradisi.”

“Maaf, aku agak kurang nyambung, mungkin dalam kondisi yang kalian ungkapkan tadi. Dalam posisi tingkat kecerdasan yang rendah. maksudnya_aku apa hubungannya dengan identitas masyarakat sebagai bagian dari daerah atau bangsa.”

Aku mulai senang, rencana aku mulai jalan. Mereka tidak lagi mempertanyakan motif kehadirannya kemari yang memang sengaja aku undang pada waktu yang sama. Mereka diskusi panjang lebar tentang persoalan yang sebenarnya aku secara pribadi merasakannya sebagai warga RT sampai Negara. Kita berbhineka Tunggal Ika katanya. Tapi sisi Bhineka-nya itu yang mana? Aku tidak menemukannya. Kita setiap daerah memiliki budaya dan kesenian yang berbeda dengan daerah lain, tapi aku hampir tidak pernah menikmatinya. Yang sering aku tonton adalah pertunjukan dangdut yang aku yakin ada dan sama disetiap daerah. Aku sering nonton senetron yang pasti orang Bali juga nonton dalam bentuk dan kemasan yang sama. Kalimat semangat Bhineka Tunggal Eka itu jangan-langan pemberian dari Negara tetangga yang diantar oleh burung garuda, atau mungkin Burung Garuda yang mencengkeram kalimat Bhineka Tunggal Eka itu menemukan di hutan dari puing-puing pesawat milik Negara Eropa yang jatuh? Kalau dua prasangka itu benar diantaranya, tentunya sangat patut setiap warga Negara Indonesia bahkan orang yang bertanggung-jawab sebenarnya dalam pemerintahan itu apatis dengan jerih paya Burung Garuda yang bertahun-tahun mencenkeram kalimat itu.

“Hima, kok melamun? Apa yang bergelayut dalam benaknya_kamu?” teguran Mas Yusta itu membuat aku terjaga dari lamunannya_aku. Mas Yusta tidak banyak berkomentar dalam persoalan yang sedang didiskusikan kawan-kawan. Jangan-jangan dia bukan aktifis, tapi sok aktifis yang kemudian tidak connect dengan persoalan-persoalan penderitaannya_rakyat. Atau munkin karena dia bilang hampir menjadi anggota semua OMEK, akibatnya dia setengah-setengah bahkan tidak dapat apapun dari semua organisasi tersebut.”

“Hima, Kok melamun terus sih. Ayo ceritakan apa yang sedang kamu lamunkan, sesuatu yang indah atau yang menyedihkan?” Jadikanlah Mas Yusta ini bagian hati kamu yang akan menghadapi dan meringankan persoalannya_kamu bersama.”

Ah Mas Yusta, diskusi kawan-kawan kan lebih menarik, berikan sumbangsih pendapat! Katanya Mas Yusta aktifis?”
“Terlalu kecil persoalannya.”
“Siapa nama sampean? Oh ya, Mas Yusta. Jurusan Sejarah. Wah tentunya banyak faham tentang budaya dan peradaban.”
“Itu sudah kita pelajari di Sekolah Dasar”

“Ya, minimal sebagai pengingat. Tolong dong sampaikan apa itu materi tentang budaya dan apa kaitannya dengan Bhineka Tunggal Ika?”
“Kalu gak faham, ngulang saja mata kuliah Ilmu Kebudayaan Dasar!”

“Mas Yusta, kok kelihatan angkuh gitu. Jangan-jangan Mas Yusta ini salah satu mahasiswa sejarah yang sama sekali tidak faham sejarah. Atau paling tidak Mas Yusta adalah orang asing di dunianya.”

“Ngenyek, kalau mau tahu datang ke kost an_aku, akan aku ajari kalian tentang sejarah yang kalian inginkan!”
“Kenapa harus ke kost-an sampean. Aku butuh sekarang.”
“Aku belajar sejarah itu mahal bung. Harus kuliah yang kuliah itu aku bayar dengan uang, mahal!”

“Repot, mahasiswa Sejarah tapi tidak tahu filsafat ilmu. Ilmu didifinisikan dengan uang. Salah ambil jurusan Mas, sampean. Sampean seharusnya mengambil Fakultas Teknik Jurusan Akuntansi”

Obrolan mulai keluar dari tema semula. Menjadi debat kusir antara Mas Yusta dengan Udin yang mulai pada persoalan Egoisme pribadi masing-masing dalam berargumen dan menyerang.

“Mas-mas dan kawan-kawan! Maaf, sebenarnya pembicaraan kita masih banyak yang belum tuntas apalagi berkaitan dengan aksi Budaya yang akan dilakukan kawan-kawan Teater Tiang besok. Tapi aku berharap lain kali kita diskusi banyak tentang persoalan yang barusan kita diskusikan. Maaf, sungguh aku minta maaf, bukan bermaksud aku mengusir, tapi lantaran jam sudah setengah sembilan dan aku harus ke kost-annya_Wita malam ini juga. Aku harus sudah sampai di kosta-nya sebelum jam sembilan. Bisa memaklumi kan?”

Mungkin agak kecewa mereka, lantaran banyak waktu yang sia-sia dengan rencana yang masing-masing rancang. Targetnya_aku sendiri juga tidak tercapai untuk menggerakkan massa mereka untuk ikut turun jalan. Tapi tidak apa, yang penting mereka tidak saling tahu, bahwa kehadiran mereka atas undangannya_aku yang memang aku sengaja untuk saling mempertemukan. Apalagi persoalan yang mereka sama-sama dalam satu bulan ini mengungkapkan cintanya yang sampai detik ini belum aku jawab.

Alhamdulillah, sedikit lega aku. Mereka sudah pulang dan aku harus pergi untuk menemui Wita secepatnya. Aku takut terjadi apa-apa dengan dirinya. Aku juga penasaran, ada persoalan apa yang sepertinya ada kaitannya dengan aku. Apa salah aku pada dia. Selama ini aku tidak merasa menyakiti hatinya. Mulai kami kenal, aku dan dia sering bergurau yang memang tidak ada batasan dalam guraunnya_kami. Belum pernah merasa tersinggung diantara kami atas gurauan-guraun itu.

“Hima, kemana kamu berjalan sendirian? Kok kelihatannya tergesa-gesa. Sekali lagi, dari mana mau kemana?”

“Inalillahi” Kaget aku, Seorang lelaki mencolek pundaknya_aku dari belakang. Di tempat mangkalnya cowok-cowok lagi nyangkruk. Tapi aku sudah menduga pasti banyak kawan Teater Tiang yang lagi cangkruan di warung Cak Sardan depan Gedung PKM. Biasa kawan-kawan pasti berada di sana kalau sekitar jam delapan bila tak ada acara pementasan teater atau latihan. Tapi aku tak berani melihat ke arah kerumunan orang-orang yang sedang asyik ngobrol sambil menikmati kopi itu. Takut tidak ada yang kenal. Kalau aku melempar pandangan, takut dibilang cewek murahan dengan mata jelalatan. Kekagetannya_aku malah menjadi-jadi. Rasanya debar hatinya_aku lain dari semula. Kalau debaran awal membuat spontan bisa bicara, akan tetapi debaran berikutnya ketika tahu yang mencolek adalah Mas Patmo getaran itu menyumbat mulutnya_aku. Tingkah-lakunya_aku juga menjadi gugup.

“Ehm Mas Patmo, Mau ke kost-annya_Wita mas.”
“Kok tidak tanya sedang apa kita di sini?”
“Maksud aku begitu Mas Patmo, tapi…”
“Tapi grogi?”
“Mas Patmo..”

“Sedang ngopi sama teman-teman. Itu mereka, ada Setya, Rahma, Mulya, Oldy, Surya, Iyos dan kawan kawan lainnya. Ada apa jam segini kok ke kost-annya_Wita?”

“Ya itu Mas, Hima juga gak tahu. Wita tadi nangis mas.”
“Kenapa kok diam, Mas sudah tahu?”
“Sudah hampir jam sembilan, diantar kawan-kawan ya? Biar cepat, nanti terburu ditutup kost-annya. Yos, antarkan mbak Hima ke kost-an_Wita.” Mas Patmo langsung memanggil iyos dan meminta dia untuk antarkan aku.

“Oke Mas” si Iyos yang rambutnya banyak ubannya dan berkaca mata itu langsung berdiri dan menghampiri motornya. Aku mengikutinya dan langsung naik setelah dia menstarter sepeda motornya.

“Terima kasih Mas, assalamualaikum semua!” Sepeda motor langsung melaju cepat. Tidak sampai lima menit sudah sampai di kost-annya_Wita yang berada di Jl. Kalimantan XII. Aku turun dan langsung aku ucapkan terimakasih pada Mas Iyos. Dia pun langsung membalikkan sepedanya dan langsung berpamitan menghilang.

Alhamdulillah, pintu gerbang kostannya_Wita masih terbuka. Bentuk kost-kostan yang berderet kamar-kamar letter L membuat aku leluasa langsung nylonong masuk dan menuju ke kamar Wita. Apalagi suasana malam ini terlihat sepi. Teman-teman kostan_Wita rata-rata mahasiswa Pertanian angkatan lanjut. Jadi rata-rata mereka sedang repot garap laporan praktikum atau skripsi.

“Wita, maaf aku segera datang kemari.”
“Him, sebenarnya malam ini aku ingin menyendiri. Menikmati sesuatu yang lagi bergelut dalam hatinya_aku.”

“Tapi aku segera ingin tahu Wita, ada apa dengan kamu?”
“Baiklah, silakan duduk dan nikmati kripik ini,” ungkapnya_wita.
“Ada kaitannya dengan kamu Him, tapi kamu jangan marah ya!”
“Wita, seperti kita baru kenal saja.”
“Masalah yang satu ini mungkin kita belum saling mengenal terlalu jauh.”

“Masalah apa Wita? Ayo cepat ceritakan! Kamu semakin membuat aku penasaran dengan beberapa pernyataan kamu yang memang aneh malam ini.”
“Hima, kita ngobrol banyak selama ini kan hanya masalah demonstrasi, teater, puisi, dan kadang-kadang cowok tapi tidak pernah serius.”

“Oh kamu ingin bicara serius malam ini? Seperti anggota Legislatif dan Pejabat Ekskutif yang sedang membicarakan pembagian kekuasaan, begitu maksudnya_kamu?”

“Ya kan, tidak bisa serius. Kita mulai mengenal dan bergaul pasti dengan gurauan semacam ini. Sesekali menciptakan suasana lain. Biar tidak bosan kita berteman.”

“Maksud kamu, perkawanannya_kita ini masuk ke tingkat yang lebih serius. Lebih dari sekedar kawan. Maksud aku pasangan lesbi begitu?”
“Hi, nggilani. Ngomong apa kamu ini Hima? Mendengar saja aku risih, apalagi melakukannya.”
“Terus maksud kamu apa, Wita sayang?”

“Aduh Hima, jangan sayang-sayang begitu ah! Aku risih mendengarkannya. Kamu kok tambah ganjeng gitu, Hima?”
“Biar suasananya tidak membosankan.”
“Mau serius kan Hima untuk malam ini?”
“Ya nyonya!”
“Hima, pulang duluh deh, aku ingin menyendiri daripada kamu tidak mau serius!”

Tiba-tiba Wita diam. Sejenak kemudian dia memanggil aku dengan suara yang agak berat. Dia meneteskan air mata lagi. Suaranya_Wita mulai tersengal-sengal. Dia ingin mengeluarkan beberapa pernyataan tapi tak keluar sempurna. Aku pun lansung mendekap Wita dan mengusap air matanya.

“Mafkan aku Wita. Ada apa? Ayo ceritakan apa adanya! Kalau memang aku bisa membantu untuk menyelasaikan masalahnya_kamu, aku akan membantu kamu Wita untuk bisa keluar dari beban yang sedang kamu tanggung.”

Wita terus menangis, jegukannya makin terasa menggerakkan tubuhnya_aku yang sedang mendekapnya. Kadang-kadang keluar kata menyebut namanya_aku dengan tersengal-sengal, lalu diam.

“Tenangkan diri duluh Wita! Aku akan menemani di sini malam ini. Nanti kalau sudah tenang, baru kamu ceritakan masalahnya.”

Aku semakin erat mendekapnya. Tiba-tiba dia bangun dari pangkuanya_aku lalu berusaha untuk berbicara.

“Hima, ini ada kaitannya dengan kamu. Jangan marah ya Hima! Sungguh aku minta maaf. Aku tidak tahu Hima. Tapi bagaimanapun juga, aku tetap salah. Untung dia tidak menerima. Andaikata dia menerima aku sebagai pacarnya, pasti persahabatan ini retak. Dan aku sangat tidak bahagia karena ada orang yang lebih menderita mungkin.”

“Apa maksudnya_kamu, Wita?”
“Aku mencintai seseorang yang dia sedang merindukan hehadirannya_kamu di sisinya, Wita.”
“Hayo, siapa ini yang ngajak bergurau, kamu kan? Aku serius kamu bercanda.”
“Aku serius, Hima!”
“Kamu mencintai orang yang merindukan aku? Terus kenapa, tidak ada yang salah kan?”

“Hima, sebelum aku datang ke kost-annya_kamu. Aku mampir ke sanggar Teater Tiang dan bertemu dengan Mas Patmo. Kami ngobrol bersama dia. Aku jujur pada kamu malam ini Hima. Beberapa bulan ini aku merasa senang kalau ngobrol dengan Mas Patmo. Semakin lama ada getaran yang terasa di dada. Rasa rindu pun tiba-tiba muncul. Kalau seharian tidak ketemu dengan Mas Patmo. Aku menganggap perhatiannya kepada aku selama ini karena dia juga merasakan apa yang sedang aku rasakan. Kamu tahu sendiri kan, beberapa bulan terakhir ini aku sering ke sanggar, dan aku pasti menemui Mas Patmo. Dia memberikan perhatian pada aku dengan selalu mau menemani aku cari makan, mengantarkan pulang ke kost-an dengan meminjam sepedanya_kawan. Dan banyak dia membantu aku, mengetikkan tugas-tugas mata kuliah. Sungguh Hima, dia baik sekali layaknya seorang cowok yang jatuh cinta pada seorang cewek. Hampir semua kesan yang baik muncul dari kepribadianya.”

“Dan tidak salah kan kamu kalau kamu mencintainya?” aku mempertegas untuk memberikan dukungan pada Wita.
“Justru aku salah besar dan merasa berdosa pada kamu, Hima!”

Semakin deras air matanya_Wita membasahi pipinya. Hampir saja aku larut mengikuti emosinya_Wita yang sedang berkecamuk mengungkapkannya. Memang Wita betul-betul serius. Aku merasakannya dia mengatakan dengan jujur, apa adanya. Aku juga menjadi salah tingkah dengan isi hatinya_Wita yang malam ini diluapkan pada aku. Karena aku sebenarnya juga menaruh hati pada Mas Patmo. Tapi Wita adalah kawannya_aku yang lebih dekat dibandingkan dengan kawan-kawan yang lain yang ada di kampus. Aku tak tidak boleh mengorbankan persahabatan ini gara-gara persoalan yang satu ini. Bagaimanapun juga, Wita adalah kawan baiknya_aku yang aku berharap tidak akan terpisah selamanya.

“Him, tadi sebelum aku ke kostnya_kamu, aku sempat ngobrol sama Mas Patmo dan dia jurhat pada aku tentang kamu Hima. Mas Patmo ternyata sedang jatuh cinta pada kamu Hima. Dia meresa takut kehilangan apabila tidak mengatakan secepanya. Tapi dia sadar posisi, dia tidak mau melanggar peraturan yang ada dalam sanggar. Dia pun tak mau mengambil jalan pintas dengan menghianati Sanggarnya yang kini sedang dia pimpin yang selama ini banyak membesarkannya.”

“Kamu jangan mengada-ada, Wita” Telinganya_aku merasa bergetar mendengar deretan kalimat-kalimat yang diucapkan Wita. Aku seperti dalam dunia yang sangat asing malam ini. Imajinasinya_aku melayang tidak terkendali. Aku bingung membalas percakapannya_Wita.

“Kalau aku bohong pada kamu kenapa aku sambil menangis mengatakan ini semua pada Kamu, Hima?”
“Wita, kamu sangat mencintai, bukan?”
“Ya Hima, tapi aku harus mengerti, bahwa ada orang yang lebih berhak dari aku untuk mendapatkan cintanya, yaitu kamu Hima.”
“Kalau aku tidak mencintai dia, bagaimana Wita?”
“Kamu akan sangat rugi. Sungguh sangat rugi Hima.”

Ternyata malam ini aku dihadapkan pada persoalan yang amat rumit. Yang terus-terang aku sebenarnya juga merasakan apa yang Wita rasakan dan juga Mas Patmo rasakan pada aku. Mas Patmo memang punya banyak perhatian pada siapa saja yang dia kenal, lebih-lebih pada Adik-adiknya seorganisasi. Akan tetapi, perhatiannya_Mas Patmo yang semacam itu menciptakan perangkap tersendiri pada setiap cewek seperti aku atau Wita. Bukan, Mas Patmo bukan bermaksud untuk memasang perangkap, akan tetapi kami para cewek yang sedang dekat dengan Mas Patmo merasakan bahwa setiap perhatian yang diberikannya pada kami seakan memberikan signal bahwa dia suka sama kami. Kami yang tidak mengerti dengan sebenarnya karakter Mas Patmo. Kami seringkali salah mengartikannya, kemudian menuntut banyak pada dia untuk memberikan yang lebih.

Mas Patmo, kamu memang ganteng, tapi tidak hanya itu yang membuat kamu terlihat istimewa di depan cewek-cewek yang pernah mengenal kamu. Kamu baik, perhatian, romantis dan terlihat sangat bertanggungjawab. Apalagi kalau kamu sedang menyutradarai sebuah pertunjukan, kamu kelihatan menjadi pimpinan yang sangat kharismatik. Kamu Cowok yang paling ideal dari kebanyakan cowok yang pernah aku kenal. Kamu sangat berpengertian pada siapapun dalam keadaan apapun.

“Maaf Wita, aku sedikit melamun.”
“Hima, aku merasa bahagia bila orang yang aku cintai juga bahagia.”
“Dan kamu tidak merasa menderita kalau temannya_kamu sedang menderita, Wita?”
“Maksud kamu, Hima?”
“Kalau aku tidak mencintainya, apa kamu akan memaksa aku untuk mencintainya?”
“Sungguh pikirkan lagi perkataannya_kamu itu, Hima!” balas Wita dalam meenjawab pertanyaanya_aku.

“Wita, aku juga ingin seperti kamu. Aku tidak mau melihat kamu menderita. Kamu mencintai kan? Aku akan membantu kamu. Sekali lagi, aku akan membantu kamu Hima. Sekali lagi Hima aku bersumpah. Sama sekali aku tidak akan memanfaatkan dengan bermain di belakang kamu Wita dalam persoalan ini. Mas Patmo harus menyambut kerinduannya_kamu yang sedang bergojolak di hatinya_kamu!”

“Hima, aku tidak mau Hima!”
“Wita, aku juga tidak mau kamu menderita selagi aku masih bisa menolong kamu untuk lepas dari penderitaan itu!"
“Hima, Aku mau Mas Patmo bahagia dengan kamu Hima!”
“Tapi aku mau kamu Wita!”

Aku pun lansung memeluk tubuh Wita dengan erat tanpa aku sadari, aku merasakan matanya_aku berkaca-kaca dan mengeluarkan air mata. Aku tak bisa bohong kali ini pada Wita bahwa aku juga menangis.

“Wita. Kalau Jodoh itu bukan takdirnya_Tuhan. Aku akan sekuat tenaga untuk mentakdirkan Mas Patmo adalah jodoh kamu.”

“Dan aku selalu berdo’a pada Tuhan, semoga Tuhan senantiasa menjodohkan kamu Hima dengan Mas Patmo.”

Pikiranya_aku tiba-tiba tidak karuan. Sesekali aku ingat Rota yang media masa telah memberitakan kehilangannya yang misterius itu. Juga wajahnya_Mas Patmo yang kharismatik itu. Sungguh ini pergolakan batin yang kadang menjadi penjara. Tapi aku selalu berdo’a semoga ini senantiasa berkah.



NINE

Graduate, March, 27th 1998
;membuang stock yang tak terukur

ini perayaan kemenangan atas nama Pasar Bebas
adalah stock barang yang telah terkemas

dari industri akademis

money breeding money istilahnya
berfikir apa layak dijual dengan strategi pasar yang dirancang

ada barang yang tidak memenuhi standart ukuran
controlling stock harus dilakukan
yang tidak layak harus didaur ulang


kalau merepotkan dibuang saja
ke tempat sampah

profitable harus didapat dan devident harus dibuat.

Ini working capital
semuanya harus terukur

mahasiswa apa barang kemasan?

Kini aku telah lewati susah-payahnya menjadi mahasiswa semester terakhir. Menulis skripsi yang merupakan kerja keras untuk menutup diri menjadi mahasiswa telah berhasil aku rampungkan. Faktor kemalasan yang membuat skripsinya_aku ngadat beberapa tahun. Itu terjadi lantaran banyak ide yang aku miliki dalam menyelesaikan tugas akhir kesarjanaan terbuang sia-sia lantaran aku dianggap tidak bisa memberikan argumen atas idenya_aku yang telah aku tulis. Juga sulitnya Dosen Pembimbing ditemui untuk konsultasi karena banyak urusan dengan penelitian dan melanjutkan program doktornya. Maklumlah kebutuhan karir akademis, kita harus mau mengikuti apa yang menjadi kemauan Bapak Ibu Dosen dalam urusan menulis skripsi. Mulai dari jadwal bertemu sampai pada persoalan ide yang telah kita tulis.

Kita tidak bisa seenaknya menulis apa saja tentang persoalan yang kita anggap menarik yang berkaitan dengan. Kalau Bapak Ibu Dosen tidak menguasai persoalan yang sesungguhnya kita kuasai dan yang kita anggap menarik untuk ditulis, ya tentunya kita harus mengalah untuk menaggukannya dan mengganti dengan persoalan yang benar-benar Bapak Ibu Dosen menguasainya. Makanya jarang kita temukan skripsi mahasiswa yang monumental.

Banyak kita temukan skripsi yang pokok masalah yang sama dan cara penulisanya juga sama persis. Njiplak kanan kiri itu lebih selamat daripada dimarahi atau berdebat dengan Dosen Pembimbing yang ujung-ujungnya kita dianggap merendahkan superioritas seorang pengajar kalau kita punya argumentasi lebih bagus.

Skripsi sekedar syarat untuk memenuhi tugas akhir seorang mahasiswa untuk meraih gelar sarjana dan dokumentasi pribadi. Tidak banyak yang disumbangkan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang dijadikan pencerahan masyarakat. Tapi paling tidak, aku beruntung dengan pengalaman proses itu yang semoga ke depan aku bisa menulis. Berbekal gemblengan mental dan intelektual juga spiritual. “Syih spiritual” dari Bapak Ibu Dosen yang semoga senantiasa dirahmatai Tuhan.

Ritual acara Wisuda Sarjana yang berlangsung besok itu harus aku ikuti. Karena aku menginginkan Emak-Bapak bahagia di hari itu untuk menyaksikan anaknya diwisuda. Aku ingin Emak-Bapak juga merasakan kebahagiaan yang selama ini banting tulang untuk mebiayai aku kuliah. Aku ingin mereka juga merasakan yang seperti orang-orang kaya rasakan, menghadiri acara besar wisuda sarjana anaknya.

Undangan telah aku kirim pada Emak-Bapak di kampong halaman untuk menghadiri acara besok pagi. Mereka bilang akan datang bersama rombongan keluarga. Mbak pertama, yang kedua, dan adik perempuannya_aku akan ikut serta. Disamping mereka ingin melihat aku diwisuda mereka juga ingin tahu istana kecil Puger yang merupakan asal-muasal kota Jember. Emak-Bapak dan beberapa anggota keluarga yang lain telah berangkat hari ini dengan nyarter mobil. Mereka bilang berangkat jam tiga sore tadi, sampai kota Jember kira-kira jam sepuluh malam nanti. Rasa bahagia pada aku karena sedikit banyak orang-tuanya_aku akan merasa senang ketika melihat anaknya dipanggil ke hadapan Rektor untuk disematkan titel sarjana.

Sambil menunnggu kehadiran keluarga dari kota kelahirannya_aku Lamongan. Aku bersama kawan-kawan aktifis intra-kampus akan merencanakan menggelar aksi untuk mensikapi surat keputusan perguruan tinggi tentang masa studi. Perguruan Tinggi berhak mengeluarkan mahasiswa dari kampus apabila mahasiswa tersebut belum menyelesaikan studinya selama empat belas semester dan satu semester perpanjangan.

Kami beranggapan keputusan itu adalah mempersempit ruang gerak mahasiswa untuk mencari pengalaman lain selain kemampuan akademis yang berkaitan dengan pengembangan potensi yang dimiliki masing-masing mahasiswa untuk terlibat langsung dengan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan.

Gejala dampak negatif atas keputusan itu mulai nampak dan terasa pada organisasi mahasiswa baik yang ekstra maupun intra kampus dalam melakukan kaderisasi. Dan juga kegiatan-kegiatan yang sedang dilangsungkan hampir tidak mendapatkan respon kebanyakan mahasiswa. Mahasiswa banyak disibukkan dengan tugas-tugas mata kuliah yang mengkondisikan njiplak kanan kiri. Disibukkan dengan ujian-ujian yang menciptakan tradisi ngerpek dan nyontek. Nilai dan kecepatan waktu dalam menyelesaikan studi adalah ukuran kesuksesan seorang mahasiswa.

Kampus tidak peduli lagi dengan mahasiswa yang telah banyak berkarya baik dalam penulisan maupun prestasi-prestasi lain yang tidak bisa dipungkiri mengharumkan nama lembaga. Itu bukan ukuran keberhasilan dalam menyelengggrakan pendidikan. Dan yang menjadi ukuran semata adalah Indeks Prestasi Komulatif dan masa study. semakin cepat semakin baik, tanpa peduli bagaimanapun proses yang dilakukan.

Pendidikan yang seharusnya menyiapkan generasi yang siap berkarya dan bertanggungjawab justru berbalik dikebiri dengan sistem dan peraturan yang mempersempit langkah peserta didiknya. Telah banyak mahasiswa yang telah menulis banyak artikel disurat kabar nasional yang telah diuji ribuan pembaca harus hengakang dengan predikat mahasiswa gagal oleh ukuran kampus. Puluhan mahasiswa Pencinta Alam yang telah banyak menyelamatkan kerusakan alam dari tindakan oknum yang tidak bertanggungjawab harus gigit jari, karena sudah tidak ada yang mau membimbing skripsinya. Ratusan Sutradara Teater Kampus yang telah berkeliling se-Indonesia untuk menyelamatkan keterpurukan peradaban, terpaksa harus dibentak-bentak oleh Ketua Jurusan karena dianggap malas. Dan beberepa kawan demonstran yang menyelamatkan Negara dari Para pemimpin yang otoriter, pejabat yang korup, pembodohan terhadap rakyat, dan ketidakadilan dalam menyelenggarakan pemerintahan untuk rakyat dianggap mahasiswa yang berkhianat pada orang-tua dan almamaternya.

Sama sekali tidak ada Lembaga Pendidikan yang memberikan penghargaan pada mereka yang telah banyak menorehkan karya besar untuk lembaga dan bangsanya. Justru seringkali muncul cemoohan yang menganggap bahwa mereka adalah sampah masyarakat. Jangan-jangan itu adalah sistem yang disengaja untuk menjadikan kita sebagai generasi masa depan bangsa yang konsumtif dengan produk apapun yang ditawarkan dari Negara tetangga. Kita tidak boleh bisa berkarya.

Beberapa hal di ataslah yang menjadi dasar pijakan kenapa kami harus mengadakan aksi. Karena ruang-ruang untuk duduk bersama membicarakan persolan-persoalan yang seharusnya terjadi dalam budaya akademis telah ditutup rapat. Maka berdemo mengadakan aksi turun jalan adalah satu-satunya cara kami untuk menyuarakan hak-hak sebagai mahasiswa dan sebagai generasi bangsa dengan tujuan mengingatkan para birokrat yang telah banyak lupa dalam menyiapkan generasi mudah yang merupakan tulang-punggung negara dimasa yang akan datang.

Pertemuan yang dihadiri kurang lebih dua puluh lima mahasiswa yang merupakan perwakilan beberapa organisasi intra dan ekstra di lingkungan Perguruan Tinggi Jember. Isu yang diusung lebih banyak mengungkap dampak negatif dari keputusan masa studi dan mempertanyakan nasib mahasiswa yang benar-benar berprestasi dengan banyak karya yang dihasilkan. Yang muara akhirnya pada persoalan penciptaan generasi yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional.

Dari kesepakatan materi sebagai isu yang akan digulirkan lewat demonstrasi kemudian kami membahas strategi gerakan. Beberapa kesepakatan telah dihasilkan yang menggunakan three lines of struggle atau tiga garis perjuangan yang secara bersama-harus bergerak. Dalam strategi gerakan itu membutuhkan tiga kordinator yang ditempatkan di setiap garis, dan minimal masing-masing beranggotakan minimal tiga aktifis. Beberapa garis perjuangan itu adalah pertama garis lapis luar diisi juga oleh massa solid tiga anggota yang bergerak lewat aksi langsung turun jalan. Gerakan pertama kali dari lima anggota tersebut mencari simpati dari beberapa mahasiswa dan undangan wisuda. Yang kedua adalah Garis Lapis Opini, kelompok ini adalah kelompok yang mengarakan respon orang-orang sekitar pada opini matari isu yang sedang diperjuangkan dengan cara dia hadir pada kerumunan orang-orang yang berada pada jalan-jalan yang dilalui demonstran. Anggotanya disebar ke segala penjuru untuk mengrucutkan opini dan dukungan. Dan yang terakhir adalah Lapis Paling Dalam, kelompok ini harus diisi orang-orang yang komitmennya sudah tidak bisa diragukan lagi. Memiliki kecerdasan berorasi dan berargumen apabilah terjadi perdebatan dengan siap menanggung resiko yang amat besar. Kelompok ini akan berhadapan lansung dengan orang-orang yang sebagai pemegang power decision. Mereka harus berada diantara peserta wisuda dan undangan yang jumlahnya ribuan orang. Aktifis yang ditempatkan pada Outline of Struggle yang tarakhir ini harus berani melakukan interupsi pada waktu pembacaan surat keputusan peserta wisuda dan pembacaan mahasisa yang diputuskan berprestasi. Resiko yang paling ringan dihadapi adalah diseret keluar karena dianggap pengacau dalam acara. Awalnya garis lapis dalam ini ditempatkan berada di sekitar undangan. Akan tetapi dirasa kurang kuat dan sangat terlihat posisinya sebagai orang luar yang menyusup pada acara untuk merusak. Kebetulah Aku sebagai peserta yang akan diwisuda maka aku menawarkan diri untuk berada dikelompok ini. Aku yang akan melakukan interupsi.

“Hima, Jangan kamu. Resepsi Wisuda sekarang ini adalah peristiwa yang sangat berharga bagi kamu. Kamu tidak usah terlibat langsung. Kamu telah berperan dalam merumuskan konsep gerakan ini saja kami sudah banyak berterimakasih.”

“Aku juga ingin melakukan yang sangat istimewa pada acara yang dianggap sakral oleh ribuan mahasiswa dan semua orang”

“Kamu harus lebih mengkonsentrasikan pada hari terakhir kamu menjadi mahasiswa, Hima”

“Kawan-kawan seperjuangan, kita telah berhasil membuat keputusan tentang strategi perjuangan yang tentunya besok harus kita lakukan. Keputusan terakhir tentang Lapisan Garis Terdalam Pergerakan adalah kunci dari kekuatan strategi yang akan kita perjuangkan. Kita menempatkan orang-orang diantara peserta wisuda yang terdapat dalam gedung Soetarjo. Sekarang tidak mungkin lagi kalau orang yang berada diantara peserta tanpah menggunakan toga dan pakaian juba kebesaran wisudawan atau wisudawati. Tentunya sangat konyol, belum melakukan apa-apa sudah barang tentu akan diseret oleh Satpam atau MENWA untuk keluar ruangan. Atau kita menyewa toga dan baju wisuda. Itu juga sangat sulit untuk kita dapat dengan model dan warna yang sama. Atau bisa jadi kita tidak akan mendapatkan karena kita sudah tidak punya waktu yang panjang untuk mencarinya. Mulai dari sekarang kita hanya mempunyai waktu sepuluh jam, sedang sama sekali kita tidak punya informasi tentang toga dan baju itu yang bisa kita pinjam. Maka tepatlah kalau aku yang menawarkan diri untuk menempati posisi lapis dalam pergerakan yang bertugas melakukan interupsi pada acara pembacaan keputusan calon wisudawan dan wisudawati.”

Kawan-kawan aktifis kampus pada akhirnya menspakati tawarannya_aku untuk menempati pos perjuangan pada third line of struggle yang sangat besar resiko yang pasti akan aku tanggung. Aku sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Ketka Prosesi sedang berlangsung dan pada waktu pembacaan surat keputusan aku akan mengeluarkan megaphone untuk melakukan interupsi. Para anggota rapat senat terbuka yang langsung diketuai Rektor, peserta wisuda dan undangan orang tua mahasiswa pasti pandangan mata mereka akan merespon tertuju pada aku. Maka pada saat itulah aku akan memoncongkan megaphone untuk meneriaakan intrupsi ulang yang kemudian aku lanjutkan dengan mengungkap beberapa kebobrokan pendidikan yang hanya menciptakan generasi pembohong pada diri sendiri dan bangsanya pada umumnya. Generasi yang akan menggunakan segala cara untuk mengejar masa depannya. Mereka telah siap menadi generasi yang akan melanggengkan tradisi kolusi dan muara akhirnya mengkorupsi uang Negara dengan cara menindas rakyatnya.

Terlihat dari tabiat yang kebanyakan para wisudawan-dan wisudawati selama menjadi mahasiswa tak luput dari kegiatan ngerpek dan nyontek dalam ujian, serta menjadi plagiat ketika menggarap tugas mata kuliah dan tugas akhir dalam penulisan skripsi. Beberapa tradisi yang hampir berkembang disemua Perguruan Tinggi itu tak luput dari sistem pendidikan. Salah satunya adalah berkaitan dengan cara memberikan evaluasi.

Pertemuan Aktifis mahasiswa telah usai kami lakukan, dan menghasilkan beberapa keputusan. Sebelum menutup pertemuan kami bersama-sama mengucapkan sumpah mahasiswa yang berbunyi;

SUMPAH MAHASISWA

Kami mahasiswa Indonesia
Bertanah air satu tanah air tanpa penindasan
Kami mahasiswa Indonesia
Berbangsa satu bangsa anti kekerasan
Kami mahasiswa Indonesia
Berbahasa satu bahasa kejujuran.

Selesai mengumandangkan sumpah mahasiswa, kami melanjutkannya dengan menyanyikan lagu. gugur bunga untuk mengenag para pahlawan yang telah gugur dalam memperjuangkan bangsa ini demi masa depan generasi mudanya. Sebagai motivasi untuk terus setia pada cita-cita perjuangan para pahlawan dan diakhiri dengan lagu Padamu Negeri.

Aku berpamitan pada kawan-kawan sambil berjabat tangan dengan memekikan kata “merdeka.” Tepat pukul sembilan kami menyelesaikan pertemuan aku pun langsung pulang ke kostnya_aku yang berada di Jl. Kalimantan IV. Sesampai di kost-an, aku akan menyiapkan beberapa kamar di bagian luar yang kosong yang beberapa hari yang lalu telah aku pesan pada ibu kost untuk menginap kelurganya_aku semalam yang esoknya menghadiri wisuda.

Tepat setengah sepuluh ada suara mobil yang berhenti di depan pintu gerbang kost-kostan. Aku berfikir itu adalah rombongan mobil keluarganya_aku. Aku melihat keluar, ternyata betul seorang kernet yang tidak aku kenal mengatakan bahwa mobil itu yang mengantarkan keluarganya_aku dari Lamongan. Kini keluarganya_aku sedang mencari makan di warung yang berada di alun-alun. Sopir dan kernet itu diminta keluarganya_aku untuk menjemput aku di kost. Spontan aku pun berfikir Emak-Bapak dan beberapa anggota dalam keadaan capek dan merasa lapar. Maka aku langsung memenuhi ajakan kernet itu untuk secepatnya bertemu dengan keluarganya_aku. Yang pasti mereka sedang menunggu kedatangannya_aku.

“Tunggu sebentar ya mas, aku akan ganti pakaian. Mungkin juga emak-bapak ada pesan yang perlu saya bawa?”
“Tidak ada mbak, agak cepat ya biar orang tua mbak tidak menunggu terlalu lama.”

“Baik mas,” aku pun bergegas membalikkan badan dan segera ganti pakaian. Aku tutup pintu gerbang kost-an dan langsung masuk mobil yang aku tak banyak memperhatikan warna dan bentuknya, sepintas kijang berwarna hitam. Tapi itu bisa jadi karena gelap yang menyelimuti mobil. Kemudian warnanya berubah. Pintu mobil segera ditutup dan bergegas jalan, karena memang mesin mobil tidak dimatikan selama menunggu aku. Tidak sampai tiga menit mobil itu sudah sampai Jl. Raya Kalimantan dan belok setengah melingkar di bundaran Mastrip menujuh Jl. Raya Pagah yang jaraknya sekitar dua ratus meter dari bundaran Mastrip yang melewati jembatan sungai bedadung. Tepat pada pertigaan lampu merah berhenti sekitar satu menit menunggu lampu hijau menyalah. Pertigaan itu adalah jalan yang menghubungkan Kota Jember dan Bondowoso, ke arah kanan jurusan alun-alun kota Jember dan ke kanan jurusan ke arah Arjasa dan terus ke Kalisat dan Bodowoso.

Setelah satu menit menuggu lampu hijau menyalah, aku serentak kaget dan bertanya-tanya. karena kernet yang sekarang duduk di sampingnya_aku tadi bilang keluarganya_aku sedang di warung yang berada di alun-alun. Tapi kenapa mobil ini belok ke kanan melewati Jl. Raya Patrang menujuh entah keman aku tidak tahu.

“Nang endi iki mas? Jarene mak bapak ndok alun-alun kok mlaku mrene? sing nag alun-alun yo iki kesasar mas!”
“Alon-alon Jember kan neng ngarep kono kan, mbak?”
“Salah mas, mestine sampean mau kudu belok kiri waktu neng pertigaan lampu merah mau!”
“Mosok salah mbak?”
“Aku neng Jember wes pitung tahun setengah mas. Aku wis apal daerah Jember, opo mane daerah kene neng isek sekitar kampus.”
“Yo wis, engko muter neng ngarep kono.”

Aku pun mengikuti apa yang menjadi kemauan pak sopir. Mungkin dia mencari belokan yang sepi untuk berbalik arah. Tapi lumayan jauh mobil ini melaju. Dan sebelum sampai terminal Arjasa mobil yang aku tumpangi belok ke kanan dan melewati Jembatan yang merupakan jalan besar yang menghubungkan ke arah Kecamatan Kalisat.

“Sampean kesasar uadoh, mas!
Sopir dan kernet itu diam saja, mobil digas dan melaju semakin kencang. Aku mulai curiga, pasti akan terjadi sesuatu yang tidak beres yang memang direncanakan sopir dan kernet yang sama sekali tidak aku kenal selain pengakuannya sebagai sopir yang mengantarkan keluarga aku dari Lamongan. Aku terus bertanya-tanya dan mulai marah-marah. Mereka tetap membisu dengan seribu bahasa.

“Masini ate nandi mas? Ini mau ke mana pak, ini bukan jurusan alun-alun. Pak sebenarnya siapa sih sampean iki. Wah sampean ini gak beres. Turunkan aku, cepat!” aku ambil bangku kayu kecil yang berada di depan aku. Aku angkat dan berusaha untuk memukulkan ke kepala seorang laki-laki yang berada di samping aku. tiba-tiba ada tangan yang menangkap bangku itu dan memegang tangannya_aku dari belakang. Aku berusaha berontak untuk melepaskan tangannya_aku. Aku memutar tubuhnya_aku dan mengamati wajahnya. Ternyata orang yang sedang memegangi tangannya_aku sepertinya pernah aku melihatnya. Aku berusaha mengingat-ingat. Ya betul, aku pernah tahu wajah itu. Dia adalah seseorang yang tadi ikut pertemuan yang aku lakukan dengan kawan-kawan aktifis untuk membahas aksi besok pagi dalam acara wisuda.

“Bajingan! Siapa kamu sebenarnya, dan untuk apa kau melakukan ini, kamu mahasiswa bukan? Oh ternyata kalian adalah orang yang menyusup pada pertemuan yang kami adakan tadi. Kamu ternyata mata-mata. Mau apa kalian, mau menculik aku?” Tenyata benar, bahwa lelaki yang memegang tangannya_aku itu adalah yang ikut pertemuan yang tadi aku lakukan bersama kawan-kawan. Diantara kami sama sekali tidak mencuriganya. Aku berfikir bahwa orang ini adalah juga mahasiswa angkatan tua yang nasibnya perlu diperjuangkan.

“Kalian mau menculik aku? Atau hanya sekedar menakut-nakuti untuk mengurungkan rencana kami besok? Kalian mau membungkam aku, atau mau membuang aku ke tempat yang lebih jauh yang kemudian besok aku tidak bisa menghadiri wisuda, dan tidak ada interupsi pada pembacaan keputusan besok. Kemudian kawan-kawan akan menganggap aku menghianati kesepakatan yang kami buat bersama dalam melanjutkan perjuangan. Aku akan dianggap oleh kawan-kawan seperjuangan tidak melaksanakan apa yang menjadi kesepakatan bersama. Aku akan dianggap pengecut dan munafik oleh kawan-kawan seperjuangan, begitu? Cukup pandai kalian mengatur strategi untuk menggagalkan rencana perjuangannya_kami. Tapi perlu kalian ingat, kalian bunuh pun sekarang aku, tidak akan pernah mampu membunuh semangat kawan-kawan untuk terus berjuang. Strategi yang kami rencanakan bersama kawan-kawan tidak akan berhenti. Kami memilki komponen gerakan yang berlapis-lapis. Ada banyak kawan yang akan melakukannya. Kalian membunuh satu orang seperti aku, akan muncul ribuan mahasiswa pejuang yang terus-menerus menegakkan keadilan dan menentang keras tindakan-tindakan pembodohan dan penindasan ini!”

“Hima, masih seperti duluh kamu. Semangat kamu tak pernah pudar untuk bicara perlawanan. Kamu adalah si betina yang jantan, selalu berkokok membangunkan orang-orang yang terlalu lelap dalam tidurnya.” suara pemuda yang duduk di depan samping sopir yang membelakangi aku dan sebelumnya terus diam itu pernah akrab di telinganya_aku. “Hima, aku sungguh bangga pada kamu. Walau kamu perempuan kamu punya keberanian yang lebih dibandingkan seorang lelaki dalam menyuarakan keadilan, dan walau kamu sangat pemberani kamu tetap mengerti dengan kodratnya_kamu sebagai seorang perempuan. Kamu tahu diri Hima atas rahmatnya_Tuhan yang diberikan kepada kamu sebagai perempuan yang cantik.”

Pemuda yang bicara itu memiliki wajah yang juga sepertinya pernah akrab dengan aku. Ya, aku bisa memastikan bahwa dia adalah Rota. Tapi kenapa pipinya tidak nampak nggoplem seperti duluh. “Berhenti di Warung lesehan Pak!” Pemuda yang masih aku anggap misteri itu meminta sopir memarkirkan mobilnya di depan warung lesehan di pertigaan Jl. Raya Kec. Kalisat.

“Ayo kita turun, dan obrolan kita lanjutkan sambil ngombe es ne warung lesehan itu!”
Dengan rasa penasaran, aku ikuti kemauannya_dia. Aku turun dan langsung mengikuti duduk di lesehan.

“Masih kenal dengan aku kan?”
Bajingan, dia benar-benar Rota. Aku langsung berteriak surprise menyebut namanya.

“Alhamdulillah, kamu masih ingat. Cukup panjang perjalannya_aku paska kerusuhan itu. Awalnya aku memang dikejar beberapa preman itu dan sepertinya ada oknum aparat juga. Alhamdulillah, aku selamat dengan bersembunyi di kostan kawannya_aku. Hampir seharian aku mendekam di kamar, dan malamnya aku minta kawannya_aku mengantarkan ke luar kota Jember. Hampir semua tempat yang aku singgahi itu seperti hantu. Aku selalu curiga pada orang-orang yang aku temui. Jangan-jangan dia mau menangkap aku. Tapi aku semakin bangga dengan berita hilangnya aku karena aksi kawan-kawan semakin besar dan orang-orang semakin yakin bahwa penindasan yang kita ungkap benar-benar terjadi di Negara kita. Makanya aku semakin memantapkan diri untuk terus bersembunyi. Aku terus berlari dari kota ke kota dengan nggandol truck. tanpa aku sadari truck itu membawa aku ke kotanya_kamu yang semalaman aku tertidur lelap. Karena aku yakin merasa aman maka aku pun memutuskan mencari pekerjaan menjadi buruh tambak di kotanya_kamu Lamongan, tepatnya di desanya_kamu Candi Tunggal. Hampir sepuluh bulan aku bersembunyi dari perhelatan hingar-bingar kota untuk menenangkan diri di sebuah perkampungan.”

Semakin lama semakin jelas, bahwa dia bukan seseorang yang mengaku sebagai Rota. Dari gaya bicaranya, dia semakin lebih meyakinkan bahwa dia adalah Rota asli bukan ehok, sebuah kata yang biasa dia ucapkan. Dia adalah benar-benar kawanya_aku yang telah dikabarkan hilang dalam kerusuhan yang terjadi di kampusnya_kami beberapa bulan yang lalu, tepatnya pada bulan juli.

TAMAT

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito