Minggu, 21 September 2008

Balada Putra Aji

RPA. Suryanto Sastroatmodjo

(I)
Senyampang lumut-lumut laut. Masih jadi kendala siput
o, hari dilambuk lengut – dan jiwaku berkerut
di kala gamelan penghabisan menuntut geletar runtut
Alangkah silap hadirmu buyung
pada iringan penguburan jenazah
Dan tak menemu Rama Aji yang jumawa



(II)
Sore segra naik ke tlundagan senjakala
bayang hangat berarak lewat. Janji buat berlabuh
laksana himbau yang ditabuh jauh. Wahai, Putra Aji
Canang-canang peradilan bakal ngumandang lagi
Penjaga masjid tiban mendongak tanya
tanpa gelar dukana kuna. Hiring gumulir
Lantas menderu serupa gunung mainan
diletuskan tangan para bocah di kepagian



(III)
Musim pun taffakur di riba makna
selempang kidung bianglala – tertikam carang aking
Sementara itu, gairah tawa Rama Aji
menentramkan sukma Niken Galuh Candrasari
– benteng-benteng bergamit tangan
dengan sisa nestapa poyang. Dingin dan lembut
Wahai, bukit-bukit selatan. Ada di puisi jernih
kurangkum gerak di setugal istirah
Jikalau perahu tiba di muara elok
tolong, redakan alun gelombang masamuda



(IV)
Takluk kini, apakah bukan takluk kelemarin
sesudah tanya menghiba. Kawanan srigala kutub
mengubur bungkal tanah ibu. Satu prasasti terluka muka
Justru bentang ladang remaja terlukis di paru-paru kota
O, Putra Aji, kembangkan layar puspita
barangkali menerjang secara anakan. Lindap
potret si tua belajar tentang Putri Candrasari



(V)
Kini kurebahkan tubuh di ambin coklat yang retak
Sembari menoleh ke dirisendiri. Membaca gejala zaman
hingga kitab tertutup. Dan muara cinta tergenang petaka.

Jumat, 19 September 2008

MELAWAN HEGEMONI SASTRA INDONESIA (?)

Pembacaan atas subyek-obyek dalam puisi penyair Lamongan
Haris del Hakim

Bajaj Bajuri di Trans TV dapat dikatakan sebagai film komedi dengan rating pemirsa yang tinggi, terbukti masih terus diputar meskipun diulang-ulang. Begitu pula dengan OB di RCTI. Kedua film itu bersetting budaya Betawi; zaman dulu adalah Batavia, pusat administrasi VOC Belanda yang imperialis dan kolonial. Dalam film itu kita bisa melihat karakter orang Betawi yang selalu menang sendiri dan tak terkalahkan, berseberangan dengan karakter orang yang selalu naif yang diperankan sebagai orang Jawa (istilah Jawa bagi orang Betawi adalah penduduk Jawa selain mereka); dalam Bajaj Bajuri kita bisamelihat tokoh Emak Etti yang cerdik dan licik berseberangan dengan Mpok Hindun yang kenes dan endel atau Yusuf bin Sanusi sebagai orang Betawi yang paling naif dengan Parti yang mengalah dan tak berdaya menghadapinya bahkan mau diperistri, sementara dalam OB adalah Saodah yang gembrot dan selalu menang berhadapan dengan Sayuti yang Jawa yang lamban dan tidak cerdas.

Gambaran di atas seperti yang dilukiskan dalam Orientalisme karya Edward W. Said tentang hegemonisasi Barat terhadap Timur sebagai pintu gerbang imperialisasi, “Sekelompok orang yang tinggal di satu tempat tertentu akan menciptakan batas-batas antara tanah tempat tinggal mereka dengan lingkungan terdekat dan kawasan luar yang mereka sebut “tanah orang biadab”” (Said: 70).

Proses hegemoni warisan budaya kolonial dan imperial tersebut sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda dan bertahan hingga sekarang. Secara geografis Betawi memang diuntungkan sebagai pusat pemerintahan dari masa kolonial Belanda hingga pemerintahan Republik Indonesia. Kemudian, bagaimana orang-orang non-Betawi menyikapi hal itu? Pembacaan terhadap puisi penyair muda Lamongan dalam antologi Absurditas Rindu terbitan Sastranesia menjadi penting untuk dibahas.
***

Kata ganti “kita” dan “mereka” beserta padanannya merupakan representasi paling sederhana untuk menciptakan batas-batas karakter dan kekuasaan. Padanan kata “kita” adalah “aku” atau “kami” dan selainnya adalah “yang lain”. “Kita” adalah subyek dan “yang lain” adalah obyek. Nafas transenden dan religiusitas melebur dalam jarak subyek-obyek yang bersifat serampangan ini. Kalau diselusuri secara mendalam keberjarakan itu selalu ada, seperti keberjarakan konsepsi kita tentang yang transenden yang selalu berubah seiring pengalaman dan usia. Ketika kanak-kanak gambaran transenden harus berwujud konkret dan mudah dijelaskan dalam logika anak-anak, namun pada usia dewasa lebih cenderung ke arah konsepsional abstrak yang lentur. Akan tetapi, tetap tidak lepas dari keberjarakan dan perbedaan antara subyek dan obyek.

Meskipun demikian, pembacaan ini tidak lantas menahbiskan perlawanan diametral antara daerah dan pusat seperti yang pernah terjadi pada tahun 80-an, namun bukan berarti takut untuk selalu melakukan perlawanan terhadap pusat.

Bagaimana penyair muda Lamongan menggunakan dan mendeskripsikan kata ganti tersebut?
AS. Sumbawi dalam puisi Dia Sedang Terbang menggambarkan “yang lain” bahwa dia sedang terbang//dibawa angin yang tertangkap//dari sinetron ABG dan kisah cinta… dia sudah tak terjangkau malam itu//ketika rinduku lega di ruang tamu//tapi, dia berkata://besok saja, kulihat lukisan itu. Dia sebagai yang lain dilukiskan berkarakter imajinatif dan melayang-layang bebas sekaligus berkuasa dengan gaya birokratisnya yang senang membuat orang lain menunggu, besok saja. Sedangkan aku sebagai subyek yang merespon adalah aku nekat beranjak pergi//dengan sebuah lukisan//—potretnya—tergulung// //ketika rinduku lega di ruang tamu// //ah, lega rasanya//tak sampai tumpah rasa//terbuang dalam keranjang sampah//—yang kubayangkan—//dipunguti dua ekor ayam//yang telurnya hampir//kusantap tiap malam. Aku sebagai subyek berkarakter memberi dan menunggu, apakah pemberiannya diterima atau tidak, serta pasrah atas keputusan sekaligus pandai menghibur diri terhadap apa pun yang terjadi pada dirinya.

Ali Makhmud dalam puisi Cipratan Kata tidak menggunakan kata ganti “kita” dan padanannya, namun bisa dikatakan engkau dalam puisi adalah aku sebagai subyek dan suasana yang dibangun merupakan obyek. Obyek di sini dilukiskan sebagai malam tiba-tiba tak lagi//melukiskan warna//menjaga dengan kerlip//lilin pada cemasnya yang terlelap//sesekali redupnya memunculkan igauan//waktu siang, memaksa engkau. Deskripsi “yang lain” yang suram dan tidak mempunyai harapan itu ternyata masih berkuasa untuk memaksa engkau untuk merangkai kembali cahaya//sebentar-sebentar padam//berharap ia tak terjaga//dalam percikan kata-kata//diam. Subyek itu pun tidak berdaya menghadapi paksaan dan mengeras diatas nyata//ia pun mengelap cipratan kata//yang tak lagi bias. Kata yang tak berbias seperti sebuah keyakinan, namun sayang keyakinan itu masih abstrak dan tak terjelaskan dalam puisi ini.

Anis CH sangat jelas menggunakan kata ganti tersebut sehingga mudah untuk dipahami. Dalam puisi Pada Suatu Hari Di Ujung Subuh dia menggambarkan “yang lain” dengan jelas Kata-katanya terlalu lugas untuk//Kumaknai, betapa pun kamus—//Kamus itu tersaji di hamparan mataku. “aku tak bisa membaca”, kataku//waktu itu yang kemudian telapak//tanganmu menenggelamkan kepalaku//pada hangat ketiakmu// //Awan terlalu tinggi untuk kau bisa//Terbang dan mengambilnya segumpal//Untukku…//Maka latihlah sayapmu agar tak kaku//Dan belajarlah terbang agar kau//Bisa mengambil lebih dari segumpal awan-awan itu// //Agar kau bisa menjadikannya apa saja//Dan tak lagi putih, biru dan kelabu warnanya.// //Katamu, tak perlu gelisahmu kau//Hadirkan sebuah kupu-kupu yang//Terluka sayapnya tak mungkin menyeret//Pintu samudra di kakiku. Subyek benar-benar diliputi rasa kuatir dan ketakutan tidak mampu memahami “yang lain” dan memilih untuk tenggelam dalam rasa aman tanpa resiko berhadapan dengan “yang lain”. Bahkan, subyek berharap agar obyek berlatih dan berusaha agar dapat menguasai dirinya.

Ariandalu S. dalam puisi Cerita Merpati Pada Suatu Pagi menuliskan Lama aku tertegun melihat merpati yang bertengger diantara tumpukan jerami tengah mengusap-usap keringat di kepalanya dengan sayapnya yang pucat, ia semakin merunduk lalu bersimpuh pada sudut pandangan kosong di antara ilalang yang seakan asik berbicara dengan angin// //Tak lama kian kulihat kesendiriannya telah hadirkan iba pada diriku, lalu kuhampiri dengan sejuta tanda Tanya, dan aneh ia malah tersenyum memandangku dengan matanya yang lembut seakan memberi ketenangan pada diriku, lalu ia bicara "hai maukah kau menggantikanku, aku terlalu lelah berkabar pagi, setelah larut dalam arus badai semalam, aku ingin istirahat dan setelah itu aku akan berada disampingmu mendengar kau bercerita tentang cinta pada suatu pagi nanti" dan iapun tertidur pulas sepulas bulunya yang sebagian terbang tertiup angin. Aku hanya terdiam melekat apa yang diucapkan merpati tadi pada suatu pagi. “Yang lain” dalam puisi ini dimetaforkan dalam wujud merpati yang sudah tidak berdaya dan rapuh serta mencari pengganti. Pengganti itu dialamatkan pada aku, subyek. Sayangnya, subyek tidak menerima atau menolak dengan sikap yang tegas tetapi justru terpukau oleh fenomena yang dihadapinya.

Atrap S. Munir dalam puisi Kepada Engkau menyatakan Aku disini hanya menangkap makna//Setiap kepak sayap burung dalam dada//(seperti engkau tebar ridho dengan cinta//dari doa aku berserah)// //Wahai engkau//Mungkin harus tiada tersisa yang kita punya//Untuk mengubah zaman//Sebab dimana engkau hidup harus bisa;//Maka beri arti setiap desah nafas peluh//Pada kesempatan hari untuk memberi roh//Pada mimpi-mimpi. Aku subyek hanya menjadi subyek yang pasif dan berserah sebagai penangkap mimpi yang diberi roh oleh “yang lain”. Obyek meskipun tidak berdaya tetap sebagai yang ideal dan harus bisa berbuat apa saja.

D. Zaini Ahmad dengan puisi Fantasi Sampah menyatakan Dalam sebuah ruang aku terburai dalam//fantasi//Simpuh meratap hidup tiada arti// //Sembari kulihat manik-manik linang//air mata//Dalam sebuah cermin//Wajahku hitam kelam//Tiada setitik sinar putih memancar// //Diriku sadar//Diriku tertimbun di antara bau busuk//sampah dan kerumunan lalat//dalam cakaran pemulung// //Diriku tiada berdaya dalam tumpukan//Sampah//Bersimpuh bersama tarian-tarian lalat//Memohon ampun dan rahmatNya. Subyek di sini bermetafor dengan sampah yang kotor dan buram bersahabat dengan lalat-lalat yang tidak berdaya, bahkan di antara tumpukan sampah sendiri. Sampah yang tidak berdaya karena sampah itu sendiri. Identifikasi terhadap sampah tidak menemukan aspekesensial dari sampah yang dapat membantu proses keberlangsungan alam semesta. Obyek digambarkan sebagai pemilik ampunan dan rahmat yang kepadanya subyek memohonkannya.

Ghaffur Al-Faqqih kelihatan sangat unik dalam puisi Terpedaya. Tanpa kata ganti yang sepadan dengan subyek, digambarkan bagaimana suasana itu seperti air bah yang menghanyutkannya. Obyek telah bermurah hati dengan nikmat, namun subyek justru Semakin tersesat kenikmatan//Pandangan kabur//Berjalan diatas keraguan membuat//mata-mata buta//Terperosok jurang keindahan.//Dimana hitam, putih sama//Roh-roh menawarkan anggur//Menepis keimanan.//Takberdaya atas nikmatMU//Lupa akan daratan//Tenggelam akan nikmat dunia.

Heri Listianto dalam PANGGUNG SENYUM menggambarkan milik subyek yang telah teridentifikasi oleh obyek. Heri menulis Kotak jurnalku terkapar//Mengabsen jari-jari lengking//yang berjalan menggelitik diatas wacana itu,// //Kitapun mulai mendata//partikel-partikel yang berjalan setengah langkah. Puisi ini berbeda dengan sebelumnya, karena subyek telah mengatur langkah untuk entah meskipun baru setengah. Mengapa? Jawabannya ternyata sangat mistis dan terdengar tidak berdaya. Mungkin, malaikat rumput//mulai takluk oleh para kambing//Yang menunjuk para moderator//Dalam sidang para "Hayawan".

Imamuddin SA. seperti judul puisinya, Emanasi, menggambarkan ketergantungan yang erat antara subyek dan obyek, bahkan subyek sebagai bagian obyek; debu-debu jiwaku//adalah kesemestaanmu,//tanpa percik cahayamu kan berlalu. Hal yang unik di sini adalah obyek ternyata dapat terkondisikan oleh “yang lain” bagi obyek, obyek yang sekaligus subyek, seperti dalam bait puisinya Rotasi masa pengubur ari//Dalam legenda misi atau sangsi//Telah membawamu di hening emanasi.

Javed Paul Syatha dengan puisi Absurditas Rindu mendefinisikan obyek itu dengan sangat jelas sebagai samsara rindu; sebuah perjamuan di suatu rumah//dimana kedekatan terus membuat makna//mencoba menetapi pada jalanan waktu. Obyek tersebut memberikan pengaruh yang sangat gamblang pula terhadap subyek dengan membuatku mengenali segenap ruang bagi jiwa//sebagai pengendali yang hebat//diperjalanan beratus abad lampau dan nanti//[melampaui semua rahasia semua misteri]. Sikap subyek terhadap obyek pun menjadi defensif dan mempersembahkan sesuatu yang esensial namun masih belum sempurna, duh, hanya anggur yang akan kusuguhkan//untukmu//dan pergelasnya adalah cahaya//serangkaian cahaya dari ujung ke ujung atau bukalah pintu rumahku secara penuh. Sikap tersebut berasal dari ketulusan rindu yang sangat ideal yang nantinya diharapkan dapat menjadikan subyek menjadi ideal seperti halnya obyek. Subyek adalah perindu obyek yang juga merindukan subyek, sehingga lahirlah keagungan tanpa batas. Subyek ternyata juga waspada apabila rindu tersebut tidak tulus dan mengancamnya dalam hati yang gelisah tanpa langkah yang lebih konkret, yang mengabaikan rindu//namamu tertulis dalam kegelisahan janji//[adalah laksana cermin yang memancar//lantas menghilang engkau dalam kegaiban].

Kadjie Bitheng MM dalam Perjalanan menggambarkan subyek yang tidak jauh berbeda dengan para penyair sebelumnya. Kesadaran subyek adalah kesadaran sebagai yang tersesat yang mengagungkan dirinya, namun hal itu bukan karena kesadaran akan kondisi ketersesatannya melainkan karena obyek yang ideal dan cita-cita subyek untuk setara dengan obyek. Keunikannya justru dengan larut dalam ketersesatan itu dapat memperoleh buah dari obyek. menelusuri perjalanan//tersesat aku//pekat masih menghantarkan rindu//pada spasi spasi perjalanan//dan diantara rongsokan rongsokan kata//kusembah jua diriku//karena Engkau//penghias instalasi instalasi ruang//dan waktu masih kueja sebagai tanda koma//menelusuri belantaramu//terpahat aku//oleh gemerincing ranting dan dahan//melebur ruhnya pada kedalaman dzikir//dan tubuhku gemetar//menyalalah rindu mencakar cakar//dinding relung nuraniku//dan cemburu telah lebur dalam pekat//dan ruhku menggeliat tersesat//dalam kedalaman dzikirmu//dan diantara pohon pohon berjajar rapi//ku petik buahMu di sini. Obyek tersebut adalah penghias instalasi ruang dan waktu.
***

Semua penyair muda yang sangat berbakat tersebut mempunyai pola pikir yang hampir sama antara satu sama lain. Mereka menggambarkan subyek yang cenderung pasif dan tidak berdaya berhadapan dengan obyek. Subyek tetap subordinan dari obyek yang sangat kuat, namun satu hal yang unik adalah sebagian besar mengungkapkan kemuraman dan keputusasaan pada diri obyek. Sikap itu timbul dari konsepsi ideal tentang obyek yang dibarengi konsepsi tidak ideal tentang subyek. Benarkah subyek tidak memiliki apa-apa sehingga sedemikian legawa untuk menjadi subordinan?

Jawabannya pasti tidak dan kita harus bersekutu untuk menemukan dan menjadikannya sebagai mata tombak yang tajam. Sastranesia telah memulai dengan menyodorkan lembaran paling berharga untuk dijadikan batu altar pijakan, semoga altar ini dapat menjunjung manusia-manusia besar yang berpijak di atasnya ….

Surabaya, 7 Agustus 2008

Selasa, 16 September 2008

Puisi Imamuddin SA

SASMITA

dalam lirik-lirik romantika laku
sang pecinta tak luput
bujuk rayu nafsu
melumat jiwa-jiwa suci
mengarang bunga-bunga lalai

sejenak lalu
terlukis melati jangka-jangka itu
menjelajah belantara ruang-waktu
lewat kidung tembangnya yang telah bersatu
rayu
-merayu berseru di daun-daun yang tertuju:

“di pusara hasrat ini
hanyalah setetes suci
bersemayam dalam keprawanan diri,
persetubuhan di tepi jalan
adalah seagung titian
dari dia yang melampaui kalam-kalam tuhan”

tambatlah senandung hati:
beribu nyawa yang beriman
tak kenal yang di-imani
berjuta nafas yang bertuhan
tak menyapa yang dituhani,

sungguh,
ia tak memakrifati diri
bersama asma, sifat dan tarian ilahi
lalai akan jati sendiri

“manungso, manungale roso;
rosene rogo, rosone sukmo
rosone seng moho kuwoso.”

ingatlah
di denyut-denyut nadi
pilihan tak menjelma sebuah jawaban
titian masih berkidung di hening kebohongan
sebab khalifah telah berdansa di pesta kemustahilan
lalai sasmita yang diemban.

Kendalkemlagi, Januari 2007

Senin, 08 September 2008

SASTRA PERLAWANAN TERHADAP LUPA

Kajian atas DAZEDLOVE karya Rodli TL.
Haris del Hakim*

Pengantar
Saya tidak mungkin menjelaskan atau menafsirkan bagaimana isi novel Dazedlove secara keseluruhan. Saya tidak ingin menciptakan satu asumsi tertentu sebelum pembaca membaca novel ini. Karena itu, saya hanya memberikan catatan-catatan yang saya anggap perlu dan menarik bagi saya. Anda pasti memiliki rasa tertarik yang berbeda dari saya dan tidak mungkin saya memaksakan ketertarikan saya kepada Anda, kecuali saya hanya merekomendasikan novel ini sangat penting yang mana nilai pentingnya akan saya jelaskan kemudian.

Belajar Logika
Novel dikenal sebagai salah satu dari karya fiksi di samping puisi, cerpen, naskah drama, dan karya seni lain. Karya fiksi dianggap berlawanan dengan non-fiksi yang diartikan sebagai fakta atau realitas, di antaranya matematika, fisika, biologi, dll. Kedua istilah tersebut beserta pengertiannya masih perlu dipertanyakan, karena dalam perkembangannya kemudian pengetahuan non-fiksi ternyata tidak benar dalam menjelaskan realitas, dalam artian hanya kesimpulan (dalam bidang fiksi biasa disebut sebagai anggapan) sementara. Sebagai contoh, pada zaman dahulu bumi dianggap datar seperti talam, tetapi zaman kemudian merevisinya menjadi bulat. Karena itu, definisi pengkotakan antara fiksi dan non-fiksi sangat kabur. Kedua istilah itu dapat muncul dari seseorang yang kemudian dibenarkan oleh orang-orang setelahnya dan tentu sangat naif apabila kita juga mengamininya.

Sebagai alternatif kita mengakui keduanya sama-sama sebagai penafsir dari realitas yang tidak enggan mengakui kekeliruan dan kebenaran yang datang kemudian. Sebab, akibat dari pengkotakan itu adalah klaim kebenaran dari salah satu pihak.

Seorang ahli fisika dianggap lebih cerdas, bermasa depan cerah, dan selalu berkata benar, padahal tidak menolak kemungkinan di kemudian hari seorang yang pintar fisika harus mangkrak sekolahnya karena tidak ada biaya dan terjerembab sebagai kuli tambak saja. Logika lurus yang terbangun di benak kita adalah bidang non-fiksi lebih mapan, seperti runtutan angka-angka beserta perhitungannya. Dalam logika matematika menyebutkan rangkaian angka 1-2-3-4-5-6-7-8-9, dst, atau a-b-c-d-e-f-g-h-i-j dst, atau 2x2=4, 2x1=2, dst. Ditilik dari sejarah, angka dan abjad itu tidak lain hasil simpulan orang-orang terdahulu untuk memahami sesuatu yang kemudian dikuatkan dengan argumentasi dan pendapat orang-orang setelahnya. Secara tidak langsung, secara turun temurun manusia mendukung satu kesepakatan tertentu. Bukankah bila orang dahulu mengatakan 3-2-1-9-8-7-4-5-6, atau 2x2=6 dan 2+1=5, kemudian orang-orang menguatkannya, pasti terjadi rangkaian alfabetis dan angka yang berbeda dengan yang kita ketahui sekarang?

Sementara itu, seorang yang menggeluti dunia fiksi dianggap semrawut dan tidak beraturan. Logika yang dibangun pun tidak sistematis dan ngawur. Pertama kali yang muncul dalam benak kita ketika disebutkan kata seniman adalah sosok yang awut-awutan dan tidak terawat. Mereka sangat tidak mapan.

Dalam novel Dazedlove hal ini dijelaskan dalam narasi sebagai berikut:
“Kamu orang Lamongan dan aku orang Probolinggo. Tentunya tahu nama kereta api Logawa jurusan Surabaya-Jember. Begini soalnya; Kereta Logawa berangkat dari stasiun Jember jam 05.00 WIB. Kebetulan di pagi itu hanya membawa 25 penumpang. Kereta api berangkat tooot jek jek jek jek. Itulah suaranya, dan sampai pada stasiun Rambipuji kereta api berhenti. 13 penumpang telah siap dengan karcis dan langsung naik ke gerbong kereta api. Ingat-ingat Hima, dan analisa dengan cermat. Kereta api berangkat jam 05.20 jek jek jek jek……tooooooot jek jek jek….tepat pukul 06.00 sampai stasiun Klaka. Di stasiun Klaka penumpang turun 3 dan naik 11. Berangkat lagi jek jek jek…. toooot jek berhenti di stasiun Probolinggo penumpang turun 10 dan naik 7. Berhenti sekitar 15 menit karena menunggu kereta executive lewat. Jek jek jek……berangkat dengan berjalan agak lamban karena jalan menuju stasiun Bangil agak naik. Di stasiun Bangil tidak ada penumpang yang naik dan yang turun sebanyak 5 penumpang. Akan tetapi kelompok pengamen yang berjumlah 5 orang naik dengan membawa beberapa alat musik, diantaranya 2 guitar, 1 ketimpung, 1 bungo, 1 harmonika dan satu kecrek. jek… jek.. tooooot jek… berangkat dengan kecepatan bertambah. 17 menit sudah sampai stasiun Sidoarjo. Penumpang tidak ada yang turun dan tidak ada yang naik. Kereta langsung berangkat dan tepat pukul 09.00 sudah sampai stasiun Gubeng.”
“Sudah aku perkirakan pertanyannya. Yang akan kamu tanyakan adalah berapa jumlah jek jek jek..yang kamu bilang, betul kan?”
“Tentu tidak. Salah weeee…! Pertanyaanya adalah berapa penjual salak di stasiun Klaka yang naik dan berapa kali mereka bilang “laaaak sallaak manieees! laak sallaaak, salaknya maniees lek!” Ayo berapa jumlahnya, bisa menjawab? Pasti tidak bisa. Jadi kesimpulannya benar bahwa kamu tidak pandai dalam ilmu matematika.

Dari sini kita dapat memahami logika seorang fisika adalah berapa jarak yang mereka tempuh, tetapi ternyata pertanyaannya jauh dari itu. Bahkan, usulan yang nyeleneh,
“Sudah aku perkirakan pertanyannya. Yang akan kamu tanyakan adalah berapa jumlah jek jek jek..yang kamu bilang, betul kan?”
pun tidak tepat. Penjual salak yang tidak disebutkan justru menjadi fokus pertanyaan. Ternyata, masing-masing orang mempunyai logika sendiri-sendiri yang tidak cukup tepat bila dipaksakan dalam dua kotak fiksi dan non-fiksi.

Tentang Dazedlove
Novel Dazedlove karya M.Rodli merupakan sepenggal kisah seorang Ibrahima yang lahir dan besar di Lamongan kemudian menjalani masa perkembangan dan kematangan inteletualnya di Jember. Hampir 90% novel ini mengangkat pengalaman dan pergulatan seorang mahasiswi mulai masa perkenalan kampus hingga menjelang semester akhir.

Setting waktu menempati tahun 1998 di mana pada saat itu adalah puncak reformasi. Secara rinci penulis mengungkapkan bagaimana peristiwa reformasi berlangsung di salah satu kawasan yang mungkin tidak terekspos oleh media massa nasional, karena sibuk meliput peristiwa Semanggi dan aksi demonstrasi di ibukota-ibukota provinsi, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, dll. Ibrahima yang digambarkan sebagai gadis cantik itu pun tidak lepas dari realitas itu, bahkan dia terlibat langsung dalam aksi-aksi yang mendebarkan. Trik dan intrik dijalaninya hingga kemudian “Sang Musuh” bersama lengser yang menandai kemenangan reformasi.

Tentu saja, bumbu-bumbu cinta ikut mewarnai novel ini. Akan tetapi, perannya tidak signifikan sehingga kita tidak perlu kecewa bila tidak menemukan bagaimana ending kisah cinta Ibrahima. Siapa pasangan mahasiswi cantik yang memikat itu tidaklah penting untuk dijawab, meskipun tidak menolak adanya tebakan siapa yang mendampingi wisudanya.

Secara bahasa kita diajak untuk lebih dekat dengan bahasa ala Jawa. Novel ini mungkin dimasukkan dalam novel teenlit atau seventeen literatur yang berbau gue-gue banget. Tetapi, gaya bahasa teenlit yang dikuasai oleh orang-orang Jakarta itu tidak berlaku dan berubah menjadi Jawa. Bahkan, tidak kalah keren sebab kita temui beberapa paragraf bahasa Inggris yang biasanya dibanggakan oleh orang-orang pusat kompeni Belanda tempo dulu itu. Penulis lokal dan jauh dari pusat kekuasaan secara geografis tidak kalah dengan orang-orang yang hidup di kawasan pusat (baca: Jakarta).

Momentum kehadiran Dazedlove pada sewindu reformasi merupakan catatan tersendiri. Dunia buku setelah lahirnya reformasi dipenuhi dengan buku yang mengutuk kebobrokan Orde-Baru dan Soeharto sebagai ikon tunggalnya. Penguasa yang dipuja selama tigapuluh tahun itu benar-benar habis dan harus berkali-kali masuk rumah sakit untuk menghindar dari besarnya gelombang reformasi. Hampir semua buku yang mengisi kejayaan Orde Baru masuk dalam loakan berganti dengan sanjungan pada Bung Karno sebagai ikon kemerdekaan bangsa. Akan tetapi, sewindu kemudian arah dunia buku mulai berubah. Pada saat ini mulai bermunculan kembali buku-buku yang hendak mengkultuskan Soeharto beserta keluarganya. Buku-buku yang mengulas kehidupan mereka termasuk buku best-seller.

Fenomena dunia perbukuan tersebut tidak bisa kita anggap keliru. Reformasi yang digembor-gemborkan dapat mencutat bangsa Indonesia dari krisis ternyata nol dan kehidupan semakin sulit saja, sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang, sehingga romantisme masa senang yang semu di masa Orde Baru dicari-cari untuk diangkat sebagai dewa kembali. Kita tidak perlu terjebak untuk membahas mengapa pasca-reformasi menjadi seperti ini yang ujung-ujungnya menyalahkan reformasi itu sendiri.

Dazedlove seakan melontarkan kita kembali ke masa-masa lahirnya reformasi. Pada saat itu tidak ada seorang pun yang berani melawan kebijakan Soeharto yang didukung oleh segenap perangkat hingga ke desa-desa disertai dengan aparat-aparat yang menyelundup ke mana-mana. Para pegawai negara merasa bingung harus berpihak pada Orde Baru yang menghidupinya atau reformasi yang semakin menetas di seluruh nusantara itu. Aparat yang diwakili dengan tentara tentu saja dibawa komando Orde Baru yang masih berkuasa dan bertindak brutal terhadap segala aksi pendukung reformasi. Kebrutalan itu tidak hanya secara fisikal, tetapi juga mental terhadap aktor-aktor pembela rakyat. Karena itu, pada saat itu tidak ada yang paling dibenci oleh bangsa Indonesia selain tentara dan pegawai negeri. Bahkan, di beberapa tempat dikabarkan tentang masyarakat yang berbaris di pinggir jalan setiap pagi agar dapat melemparkan telur busuk kepada pegawai negeri yang berangkat ke kantor. Dazedlove menggambarkan peristiwa reformasi secara apik.

Karena itu, terbitnya Dazedlove adalah pengingat bagi kita agar tidak melupakan sedetik peristiwa yang pernah dialami oleh bangsa yang tidak henti dirundung bencana ini. Kita tidak gampang melupakan dan berubah menjadi pendukung tanpa koreksi pada pihak-pihak yang pernah menghalangi kita untuk menghancurkan kelaliman Orde Baru. Ibaratnya, novel ini seperti rem di atas jalan yang menurun dan mulus. Kita harus mempunyai catatan tentang reformasi sebelum bangsa Indonesia berbalik memuja kembali Orde Baru yang menindas secara sistematis itu. Kita harus jujur tentang kondisi ketika reformasi sebelum reformasi dikutuk dan tidak menemukan pembela, agar kita tidak ikut-ikutan menjadi bebek yang dungu terhadap sejarah kita sendiri.

Penutup
Catatan ini mungkin tidak memuaskan, tetapi saya telah berupaya untuk memotret Dazedlove sebagai novel di tengah arus perbukuan dan kondisi bangsa. Pembacaan yang lebih intens dan matang baru bisa terjadi bila kita sama-sama telah membacanya.

Surabaya, 11 september 2006
*)Dewan redaksi Jurnal Kebudayaan The Sandour

Selasa, 02 September 2008

SAHIBULHIKAYAT ALHAYAT

KRT. Suryanto Sastroatmodjo

Dalam kegaduhan yang menerpa
dalam gemulung alunmu jua
kuabadikan jalinan masa
menjadi si kidung cinta.

Pitra yang baik.
Adakalanya kita menjadi tenang dan teduh, karena merasa ada di tengah keluarga sendiri. Adakalanya menjadi lembut dan pasrah, bahkan narima ing pandum, setelah merasakan dahsyatnya angin puting beliung yang mendera pondok damai kita. Dan adakalanya pula, tatkala perhatian terpusat kepada segala yang terbaik, yang tergumpal, yang kental serta pepal, maka kita menjadi lembek. Mungkinkah aku sekarang berkata begini padamu, karena banyak merasakan hantaman-hantaman dalam kalbu ini? Kalau tergoda untuk mencari jalan-jalan kecil desa-huni-sunyi?

Pitra yang baik.
Banyak di antara kawan dekat berterus-terang, alangkah baiknya apabila kita menciptakan sendiri relung-relung bahagia yang dapat diresapkan serta diabadikan. Relung-relung ini, barangkali berupa sebuah kalung emas berhiaskan batu-batu mulia, semisal jamrut dan mirah delima, atau pending bertahtakan ratna mutu manikam. Di dalamnya tertulis nama-nama dari orang yang dekat dengan diri kita, atau bisa juga rautan wajahnya, bayang-bayangnya, atau ujud apa saja yang kita sanggup mengingatnya selalu. Kukira, dulu dikau memperkirakan soal ini. Kukira, ada dalam dirimu semacam kerinduan untuk memiliki rekaman saat-saat bahagia yang begitu dalam. Tapi, apakah sempat membayangkan suatu Taj mahal dan Taman Bergantung di Babilonia? Inilah yang kembali menyentuh hati kita kini, justru ketika masa yang menggelisahkan (tapi penuh kesan manis) itu terjadi.

Pitra yang baik.
Gumpalan-gumpalan mega dari masalalu ada di jantungku sendiri. Kalau kuingin menguakkannya, aku kan mencoba sekuat daya, yang alangkah pedihnya untuk melakukannya. Kukira, Pitra merasakan pula sesuatu yang menggumpal dalam rabu, tatkala perjalanan kasih pernah kita lalui, kita sentuh dan kita pagut. Sedemikian jauhnya, ngelangutnya gagasan ini, sehingga kancah yang dibentuk serasa di atas bidang tanpa garis. Andaikata dapat mengejawantahkan kembali jelajah terhadap kehidupan, kita bisa mengatakannya dulu, seperti sesuatu yang penuh kekitrang – kendati makin sulit buat memisalkannya pula.

Pitra nan budiman.
Sekiranya percakapan musim – yang pernah kita perkenalkan kepada dunia, dan kini kita singgung sejenak – menjadi bagian dari kenangan tak terlupakan, o, sungguh indah membangkitkannya hangat. Diri kita seakan menjadi hulubalang di tengah medan perang yang kita pergelarkan ulang. Namun demikian, bukan siulnya perang itu sendiri yang jadi obsesi dari hidup yang melingkar-lingkar ini. Melainkan sikap dan geliat laku dari sang hulubalang, yang sekian puluh tahun mengatur suara-suara dari kekuatan yang kokoh. Ataukah justru kokoh, tapi menenggelamkan hingga ke dasar yang sedalam-dalamnya?

Pitra sayang.
Ada titik-singgung dari lantunan kenang dan pengharapan untuk membenahi harikini. Kuyakin, saatnya belum terlambat. Kemarin, di kala hatiku sumpeg dan kembali kuinjak pasir pantai yang lembut keputih-putihan di ujung barat kota, aku menemukan bagian cerah dari segi hidup ini. Ah, bukan sentimental, kalau bicara begini. Hanya sekedar mencuplik hal-hal yang menggembirakan, dan alangkah girangnya, sehatnya, segarnya – karena diri sempat bermain di lingkaran masa silam. Lagi pula, sesekali, kita mempertautkan kembali jasad dan ruh kita kepada alam kedamaian yang pernah kita kagumi, rujuki serta selami cukup lama.

Mengapa manusia membicarakan tentang kubur, padahal jauh di dasar hatinya sesungguhnya dia teramat takut akan kematian? Mengapa manusia berusaha mencuwik sebagian dari tatanilai yang tersuruk di balik ranjang zaman, sementara dirinya enggan untuk dilibatkan kepada peristiwa yang berhubungan dengan kebringasan el-maut yang tanpa ampun itu? Terkadang, ada yang memang musti dinyanyikan, padahal kita benar-benar ngeri untuk memperkatakannya. Terkadang ada yang teramat menyembilu hati, karena itu dirasakan perlunya untuk hidup yang bukanlah hidup itu sendiri – kehidupan yang diancangkan dengan setengah hati ternyata sama sia-sianya. Lebih indah membentangkannya, dengan batin paling siap untuk itu. Atau menjulangkannya, lantaran dirinya menyangga suatu titiwanci.

Pitra yang tersayang.
Apabila seperti keluhanmu kemarin dulu, semakin lama makin mahal kita tersenyum (ah, yang benar…!) – maka di sini pun aku kan bisa memberikan jawaban yang kurang lebih mirip. Begini: pada saat manusia enggan memberikan senyumannya kepada sesama hidup, mahal senyum kepada dunia dan seisinya, yah – pada waktu itupun dia ada merasakan sesuatu himpitan yang terberat. Himpitan, yang kau tahu sendiri, menjadi bagian dari makna hayati itu sendiri. Himpitan, kawan. Himpitan, karena orang dalam keterpanggilannya dengan situasi-situasi jiwani yang sulit ditebak, dia terjempelak. Kadang, diperlukan upaya untuk menerjemahkan penilaian kita terhadap Sang Waktu, karena di situlah terdapat bentangan yang sesungguhnya. Lewat penamaan Waktu yang meletihkan (ataupun juga memperkaya jatidiri!) maka terpenuhi tuntutan yang terbaik. Sebaliknya, manusia terlalu papa untuk penggandaan ilmu.

Pitra yang tersayang.
Dalam hal-hal yang nisbi, kibarkanlah benderamu yang lebar jembar serta perlihatkan kepada dunia, bahwasanya dirimu mampu menjadi pencetus dari katahatimu. Dalam hal-hal yang nisbi – kukatakan hal ini semata-mata buat menekankan betapa dunia terlampau lama dimainkan oleh lagu-lagu kenisbian itu, dan bagaimana kita sendiri lantas tergoyang-goyang antara yang meremang dan yang menimbulkan perkiraan, ikhwal semua, kemajemukan semata. Kemudian dirimu melangkah, seraya bergumam. Dirimu melangkah seraya meragukan temuan-temuan hari muda yang baru saja berlalu. Namun jelas, hal semacam ini pantas direnungkan, sahabatku.

Kauperhatikan, bahwasanya gambaran-gambaran dalam jiwamu adalah milik yang terpatri pada tembok kebaktian yang cukup lama juga. Kita adalah anak dari pengembaraan bakti yang mengandung secuil rasa bahagia. Kita, anak dari keping-keping pengalaman rohani dari masa yang terkadang kurang diperhitungkan jamannya. Karena itu, jangan biarkan airputih yang tenang dalam gelas di depanmu tak terjamah, karena dirimu hanyut dalam lamunan hampa. Coba, teguklah air itu, lantas tenangkan diri di tengah suasana sekeliling. Kemudian, kau akrabi jam-jam yang mendekat itu. Kuyakin, ada yang bakal terselesaikan di kala hari ini menggelayut.

Pitra yang budiman.
Pada waktu helai-helai warkah kaukirimkan padaku dari sebuah kampung nelayan yang sunyi itu, apakah sebenarnya yang tengah kaupikirkan? Kau menyebut kampung itu Jaladriseta, lautan nan putih. Hmm, terdengarnya seperti suatu sindiran yang agak menggelikan. Lautan, di manapun juga, disebut biru karena keluasannya dan kesemestaan yang dipangkunya. Buih-buih yang ditampungnya di kala datang alun-gelombang pasang, niscaya menciptakan percikan warna putih memplak. Bukan putih samudera raya itu, kawan, melainkan hanya luapan busa yang menggarang. Sedangkan sang maha-raya-air-gemair yang membentang dari sini ke suatu cakrawala tanpa watas, meronakan kebiruan nan menggelanggang – dan alangkah menghanyutkan hal itu! Kita bisa menyatu di pusat birunya.

Pitra yang baik.
Kembali kepada pasir yang halus-lembut, bumi memutih dan tatapan serba-lapang di kejauhan. Ada yang hilang dari tubuh dan sukma, kurasakan hal itu berlangsung. Kau masih terlalu remaja saat itu. Kalau kusebut sekarang: sudah berapa kali purnama, berapa kali musim semi, sayangku? Aku sendiri, kalau kuingat pada masa lampau mempunyai nalar serta pemikiran yang belum mantap. Apa yang terlekat di benak, tiada lain hanyalah rautwajahmu yang manis nan belia. Mungkin masih diperlukan proses waktu yang panjang, sebelum putik bersemi merekah, menyerbakkan harumnya. Masih dibutuhkan jangka waktu yang memberikan kekuatan rohani, sebelum bibir ini mengucapkan kepastian kata, bukan sekadar sumpah-sumpah setia yang naif. Sekali lagi, sambil merenungi air muka samudera yang jembarnya tiada terselami. Wahai, dikala segalanya telah jauh di belakang, kini kita seperti menyanyikan lagu duka yang tak tentu nadanya. Dada terasa sesak.

Kampung nelayan itu tentunya masih memiliki gubuk-gubuk beratap ilalang, dinding anyaman daun palma, dan manakala angin senja melolong panjang dalam kembaranya, dia tak lupa mengusap-usap tepian atap pondok yang ringkih. Masa itu, kita sempat bermesraan sejenak di bawah naungan gubuk nan sepi. Di tengah rungsung badai di lautan sana, terdapat badai lain yang tak kalah gemuruhnya. Itulah gelombang darah muda kita, yang payah diteduhkan. Segalanya berlangsung lembut, nyaris tanpa keperihan, apalagi kegetiran. Tapi, sekarang – kala kita coba menyimak kembali bekas-jejak yang lenyap di hamparan pasir. Kegetiran pun singgah di sanubari. Lalu aku duduk, tercenung, dan mencoba mengingat-ingat kembali. Sudah berapa musim panas? Sudah berapa musim hujan? Sudah berapa musim badai? Sudah Gemulung yang menderu-deru masih keras berkumandang, sayangku. Paling kuat deru-dera itu jadi rasa ringkih nan muncul sesekali. Ya, tatkala beberapa helai rambut di pelipis mulai memutih dan pikiran susah ditentramkan, menjelang tidur malam.

Pitra yang baik.
“Kupikir, hari makin gelap dan makin gelap juga…”
“Siapa bilang hari menggelap? Kunang-kunang beterbangan di langit. Ada dua-tiga butir bintang-gemintang di langit beludru biru.”
“Kau mencoba meneduhkan angin kencang yang bertiup?”
“Kau mencoba menyiramkan air ke api unggun dahsyat ini?”
“Bukan, bukan begitu. Tapi aku tiba-tiba merasa sedih…”
“Jangan sedih. Kita berdua menyatukan hati yang gelisah.”
“Tapi, tapi kita belum layak berjalan terlalu jauh…”
“Memang belum. Cuma saja, mustahil diri menghindarinya!”

Sekali lagi, dan sekali lagi, kalimat-kalimat yang pernah meluncur dari bibirmu dan bibirku mengiang bersipongang. Kita takkan lolos dari kepungan peristiwa lampau, betapapun telah mengabut halimun. Karena, dia sebagian dari makna yang terpahat di jantung yang masih kuat berdegup. Menjadi serpihan dari pori-pori kulit denyutan darah hayati.

Pitra yang budiman.
Tentunya, kau ditemani oleh kedua anakmu kini, yang keduanya telah berangkat remaja. Sayang, sayang sekali terlalu cepat kau menemukan batu gelang yang mengakhiri masa bahagia rumahtanggamu. Suamimu yang tua, yang bangsawan berbudi luhur, pergi dinihari sesudah kapalnya yang megah itu hancur berkeping-keping oleh badai di pelayaran musim bunga. Kuharap kau tabah dalam derita senyap tanpa pendamping. Kelak, jika putra-putramu telah menjadi dewasa, niscaya keduanya akan lebih melengkapkan bahagiamu yang terpenggal. Kau akan bermuara di laut pula.
---
*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito