Senin, 25 Agustus 2008

Perjuangan Mengangkat Sastra Pinggiran

Musfi Efrizal*

Puisiku bukan batu Rubi ataupun Zamrud, Puisiku adalah debu, namun debu Karbala (Fuzuli, 1556)

Sastra jurnal memang jarang diperbincangkan oleh masyarakat pengkaji dan penikmat sastra. Hal ini dikarenakan sastra lebih populer lewat media koran atau buku (baca : sastra koran dan sastra buku). Tidak mengherankan jika muncul pernyataan “jangan sebagai seorang pengarang/pujangga/penyair apabila karyanya belum dimuat di koran”. Hal ini jelas sangat mendeskreditkan sekaligus melecehkan beberapa penulis yang berada di daerah pedalaman atau pinggiran.

Polemik sastra kota dan sastra pinggiran memang sempat didengungungkan, namun yang penting untuk disoroti adalah kualitas karya yang dihasilkan. Sastra pinggiran dengan segala kekurangannya bukan berarti kualitasnya rendahan, pun demikian meskipun sastra kota dengan segala hal yang dapat dijangkaunya dan didukung oleh upaya saling mengangkat nama di antara para penulis belum tentu karya mereka berkualitas.

Jurnal Kebudayaan The Sandour yang sudah menerbitkan edisi III merupakan salah satu upaya untuk mengangkat sastra pinggiran tersbut. Sarat lelah letih kadang memang harus dirasakan untuk mengais remah-remah karya para penulis kecil yang tidak pernah bermimpi karyanya akan dipublikasikan apalagi sampai dibukukan meskipun lewat jurnal.

Secara garis besar Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III ini dipilah menjadi lima bagian. Bagian pertama memuat puisi, puisi-puisi yang ditampilkan yaitu karya dari Budhi Setyawan, Raudal Tanjung Banua, S. Yoga, Kirana Kejora, Alfiyan Harfi, Jibna Sudiryo, Dadang Ari Murtono, Saiful Bakri, Suyitno Ethexs, Jr Dasamuka, Dody Kristianto, Ach. Muchtar Ansyori, dan A. Ginanjar Wilujeng.

Bagian kedua memuat esai dari Hamdi Salad, Gugun El-Guyanie, Y. Wibowo, Fahruddin Nasrullah, Liza Wahyuninto, Achmad Muchlish Amrin, dan Sri Wintala Achmad. Bagian ketiga berisikan cerpen dari naskah Hardjono WS, Azizah Hefni, A. Rodhi Murtadho, dan Salman Rusydie Ar.

Bagian keempat adalah halaman khusus yang dipersembahkan untuk mengenang KH. Zainal Arifin Thoha (5 Agustus 1972-16 Maret 2007) dan KRT. Suryanto Sastroatmodjo (22 Februari 1957-17 Juli 2007) yang diberi topik In Memoriam Suryanto Sastroatmodjo yang ditulis oleh Herry Lamongan. Dan bagian terakhir pada jurnal ini memuat novelet dari Suryanto Sastroatmodjo.

Memang sengaja ada penulis-penulis kenamaan yang diambil naskahnya untuk disejajarkan dengan beberapa penulis lokal. Selain sebagai motivasi juga untuk menghapuskan senioritas dalam sastra. Tidak ada istilah sastrawan junior, tidak ada sastrawan senior, bahwa semuanya ditentukan oleh kualitas karyanya.

Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III ini juga bercerita perihal miskinnnya kritikus sastra di Indonesia. Di tengah karya sastra yang terus membludak, tidak ada kawalan dari para kritikus sastra yang akan menilai dan membuatkan genre-genre terhadap karya-karya yang dihasilkan. Akibatnya, Indonesia kaya akan sastrawan, kaya kaya sastra tapi minim kualitas. Hal ini dituturkan oleh Liza Wahyuninto dalam esainya yang bertajuk “Kritik “Sakit” Sastra Indonesia”.

Jurnal Kebudayaan The Sandour ini cocok dibaca bagi kalangan manapun, dan dikhususkan bagi pengkaji sastra (baik komunitas sastra maupun akademisi sastra), pegiat budaya dan pelajar yang menginginkan literatur baru mengenai sastra, terutama berkenaan dengan sastra pinggiran.

Judul: Jurnal Kebudayaan The Sandour
Dewan Redaksi: Nurel Javissyarqi, dkk.
Edisi: III, 2008
Halaman: 155 Halaman
Penerbit: PUstaka PuJAngga & Forum Sastra Lamongan
Peresensi: Musfi Efrizal*)
dijumput dari http://koranpendidikan.com

*) Mahasiswa Fak. Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Bergiat dalam Komunitas Sastra Pusat Pengkajian Jalaluddin Rumi Kota Malang dan peneliti sastra pada Lembaga Kajian, Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa (LKP2M) UIN Malang.

Minggu, 24 Agustus 2008

Di Balik Kemegahan Kota Terlarang

Judul Buku: Empress Orchid
Penulis : Anchee Min
Penerbit : Hikmah Jakarta
Cetakan : I, Januari 2008
Tebal : xvii + 595 Hal
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*

Cerita fiksi (novel) tak melulu merekam kehidupan hampa. Selain menimbun nilai estetis, novel juga berseru lirih ihwal kekejaman hidup. Anchee Min lewat karyanya, Empress Orchid ini cakap bertutur perkara ‘kekuasaan’ di era Dinasti Ch’ing.

Syahdan, Dinasti Ch’ing sudah tak dapat diselamatkan lagi sejak Cina dikalahkan Inggris Raya dan sekutunya dalam perang Candu. Lahirlah seorang gadis desa di tahun Kambing dari klan Yehonala yang hidupnya ditakdirkan memiliki kekuatan meski ia lebih awal kudu taklukkan rintangan. Para peramal menujumkan gadis yang lahir di tahun Kambing akan tumbuh besar menjadi kambing yang keras kepala dan berakhir menyedihkan. Untuk menepis nasib sial gadis itu, peramal memberinya nama Anggrek.

Anggrek adalah wanita menawan serta lentur. Berkat kemenawanannya, saat Kaisar Hsien Feng mengaudisi selir muda yang diikuti ribuan wanita cantik, Anggrek terpilih menjadi salah satu istri dari tujuh istri Kaisar Hsien Feng. Sejak menjadi selir muda, Anggrek meninggalkan keluarganya dan bermukim di Istana Anggrek yang berada di Kota Terlarang. Disamping itu Kaisar menyiapkan istana-istana khusus bagi istri-istrinya, misalnya, Istana Nuharoo, Istana Putri Soo, Istana Ibu Suri, Istana Putri Mei, Istana Putri Hui, Istana Putri Yun, serta Istana Putri Li.

Di balik tekstur dan warna megah Kota Terlarang, Anggrek ditemani kasim An-te-hai. Kasim An-te-hai memberitahu seluk-beluk serta mengajari tindak-tanduk Anggrek di Kota Terlarang. Bukannya tanpa alasan kasim An-te-hai dipilih Anggrek untuk mendampinginya. Kasim An-te-hai yang lincah, cerdik, piawai, dan berpengalaman luas tentang keadaan Kota Terlarang menjadi pertimbangan Anggrek memilihnya. Berbekal kecerdikan, An-te-hai berjasa besar atas popularitas Anggrek di Kota Terlarang. Strategi mapan dan rapi dari An-te-hai, Anggrek mendapat perhatian lebih dari Kaisar Hsien Feng menyaingi ratu Nuharoo. Yang pada akhirnya, Maharani Anggrek menjadi kaisar perempuan yang paling lama berkuasa di Cina. Seorang gadis desa, Putri Yehonala yang cantik itu manapaki kekuasaan lewat rayuan, intrik politik, serta pembunuhan. Saat Cina terancam oleh musuh dari luar, tampaknya hanya Maharani Anggrek yang mampu menyatukan negeri tersebut. Seorang perempuan yang berhasil bertahan dan akhirnya mendominasi dunia laki-laki.

Semakin keujung menikmati cerita novel ini, ternyata para lelaki di istana berusaha mengesankan satu sama lain atas kecerdesan mereka. Titah perintah Maharani Anggrek dalam istana mengalami pertarungan tiada henti dengan para penasihat yang ambisius, dan para menteri yang penuh tipu muslihat.

Kisah Maharani Anggrek berkonotasi kisah kelam. Di Cina, anak-anak belajar bahwa runtuhnya setiap Dinasti selalu disebabkan kesalahan seorang selir. Hukuman mati yang dijatuhkan pada seorang selir menjadi justifikasi kesalahannya. Misalkan, kisah Madame Mao yang dihukum mati, sementara suaminya dianggap sebagai George Washingtonnya Cina. Kisah yang melekat hingga kini, sang Maharani harus bertanggung jawab atas kehancuran peradaban Kekaisaran Cina yang berumur dua ribu tahun.

Anchee Min lewat karyanya ini tampak presisif betul menampilkan detail kisah nyata. Beragam riset dilakukan, misalnya, Min meneliti tak melulu dokumen yang ada di Kota Terlarang, pun juga catatan medis, keuangan, dan data kepolisian, seperti halnya riset yang luas untuk bukunya, Becoming Madame Mao yang bestseller itu.

Selain itu, sebelum menggubah novel ini, Min menekuni bacaan tentang kehidupan para kasim, pelayan, guru-guru istana, para sedadu Kekaisaran, dan buku panduan sang Maharani tentang makanan serta tetumbuhan obat. Min mengaku, dirinya bisa mengakses dokumen-dokumen asli yang dijaga ketat pejabat Beijing itu dibantu oleh segelintir orang lewat “jalan belakang”. Al-hasil, buku inipun akhirnya dinobatkan sebagai A san Francisco chronicle best book of the year.

Jumat, 22 Agustus 2008

Belajar Sejarah dari Timbunan Cerita

Judul Buku : Rahasia Meede (Misteri Harta Karun VOC)
Penulis : E. S. Ito
Penerbit : Hikmah
Cetakan : I, Oktober 2007
Tebal : 675 Hal
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*

Dalam jagad fiksi belakangan ini -baik itu novel, cerpen, maupun puisi-, tak sedikit pengarang memanjakan imanijasi untuk selalu bertanya. Misalnya, Dan Brown yang piawai mengkait-kelindankan konstruksi ceritanya dengan alur hidup seniman besar, Leonardo Da Vinci, hingga novelis itu berhasil melahirkan karya adiluhung The Da Vinci Code yang menggemparkan itu. Begitu juga dengan Matthew Pearl yang membingkai kisahnya dengan kepeloporan penyair, Dante Alighieri (1265-1321), hingga sukses menggubah The Dante Club, novel yang telah melambungkan namanya dalam kancah sastra dunia.

Novel karya Es ito ini, Rahasia Meede (Misteri Harta Karun VOC), juga tidak bertolak dari semangat membingkai kisah dengan gagasan besar sebagaimana dilakukan Dan Brown dan Matthew Pearl. Pengarang muda ini, mengemas rapi kisahnya lewat sejarah kartel dagang Belanda, VOC, sejak masa awal, masa kejayaan, hingga fase kebangkrutannya, tahun 1799. Jantung tutur kisah dalam novel ini, berkisar di seputar perburuan harta karun VOC yang bermula dari kedatangan laki-laki misterius ke penginapan delegasi Indonesia untuk Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Syahdan, para juru runding Indonesia sedang dihadapkan pada pilihan sulit. Pihak Belanda menyodorkan klausul tentang pengalihan utang Hindia Belanda sebesar 4,3 miliar gulden kepada Indonesia. Bung Hatta sudah mencari jalan tengah, tapi para perunding tak berhasil mencapai mufakat. Orang asing itu memberikan selembar kertas lusuh pada seorang delegasi, Ontvangen maar die onderhandeling. Indonesie heeft niets te verliezen! (Terima itu perundingan! Indonesia tak akan rugi!), begitu ia berbisik. Tentu saja Indonesia tak bakal rugi, sebab yang diserahkan laki-laki itu adalah dokumen rahasia berisi petunjuk tentang lokasi penyimpanan emas batangan milik VOC. Celakanya, dokumen itu raib, tak ditemukan di dalam peti dokumen KMB yang dibawa delegasi Indonesia. Itulah basis problem setiap rangkaian cerita dalam novel setebal 675 halaman ini.

Namun, pengarang tidak langsung menukik pada perburuan harta karun yang tertimbun selama lebih dari tiga abad itu. Es Ito malah membuka cerita dengan kasus pembunuhan berantai yang meninggalkan sejumlah tanda tanya besar.

Dalam waktu kurang lebih lima bulan, ditemukan lima mayat yang semuanya terbilang orang penting. Mayat Saleh Sukira (ulama) ditemukan Bukittinggi, Santoso Wanadjaya (pengusaha) dibunuh di Brussels, Nursinta Tegarwati (anggota DPR) dibunuh di Bangka, JP Surono (birokrat) dibunuh di Boven Digoel dan Nono Didaktika (peneliti) dibunuh di Banda Besar. Satu selubung misteri belum terungkap, pengarang sudah merancang keterkejutan baru. Batu Noah Gultom (wartawan koran Indonesiaraya) dipusingkan oleh penculikan Cathleen Zwinckel, mahasiswi universitas Leiden yang sedang melakukan penelitian tentang sejarah ekonomi kolonial di Jakarta.

Sebelum diculik, Cathleen dititipkan oleh Prof. Huygens (pembimbingnya) di lembaga penelitian partikelir, Central Strategic Affair (CSA). Redaktur senior Indonesiaraya, Parada Gultom, juga hilang entah ke mana. Batu hampir memastikan bahwa dalang semua peristiwa itu adalah gerakan bawah tanah yang menyebut dirinya ; Anarki Nusantara. Sebelumnya, kelompok pengacau yang dipimpin Attar Malaka itu juga dituduh sebagai otak penyerangan bersenjata dan perusakan gedung di sebelah utara Jakarta.

lewat karyanya ini, Es Ito dengan leluasa menggiring pembaca ke dalam suasana Batavia di masa gubernur jenderal Cornelis J Spellman (1682) dan sepak terjang Monsterverbond (persekutuan rahasia yang mengendalikan VOC), lalu dengan sangat tiba-tiba ia mengungkap penemuan terowongan bawah tanah (De Ondergrondse Stad) di Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah). Terowongan itu diduga berujung di tempat penyimpanan dokumen rahasia tentang harta karun VOC yang hilang sejak 1949.

Pada saat yang sama, Es Ito memotret suasana Jakarta hari ini, ia menyebut ‘Bis Transjakarta’, Mikrolet S-11 jurusan Pasar Minggu-Lebak Bulus dan KRL Bojongggede Ekspress. Realitas yang sangat ‘menyehari’ bagi warga Jakarta hari ini. Terjebak pada suasana mencekam dalam cerita novel ini, ternyata Batu Noah Gultom bukanlah wartawan biasa, ia anggota intelijen militer yang menyusup di Indonesiaraya guna melacak persembunyian Attar Malaka (sebelum buron ia bekerja di sana).

Saat menyelamatkan Cathleen dari penculikan, Batu mengaku polisi bernama Roni, padahal ia adalah Batu August Mendrofa, intelijen militer dengan nama sandi ‘Lalat Merah’. Sebenarnya, Batu tahu pelaku penculikan Parada Gultom. Redaktur senior itu ‘diambil’ oleh orang-orang suruhan Darmoko, jenderal purnatugas, pemimpin ‘Operasi Omega’ untuk membasmi antek-antek Anarki Nusantara. Parada diinterogasi untuk mengorek informasi perihal keterlibatan Attar Malaka dalam penyerangan bersenjata, perusakan gedung, pembunuhan berantai dan penculikan Cathleen.

ES Ito, pengarang buku ini, membingkai kompleksitas cerita dengan detail sejarah Batavia Tempoe Doeloe. Ada dua pilihan bagi pembaca novel ini; cerita atau sejarah? Jangan-jangan kita memang lebih gampang membangun kesadaran sejarah bila diumpan dengan sederet cerita. Belajar sejarah lewat novel sejarah. Apa boleh buat…

Kamis, 21 Agustus 2008

Sakralitas Al-Qur'an Terkoyak

Judul Buku : Al-Qur’an Bukan Da Vinci’s Code
Penulis : Khulqi Rashid
Penerbit : Hikmah (PT Mizan Publika)
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal : 151 Hal
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*

Meski al-Qur’an diyakini sebagai kitab suci umat Islam yang diakui kesahihannya, akan tetapi masih banyak dari kalangan Barat menolak dan kemudian menggiring kepada pemahaman kita bahwa al-Qur’an tidak orsinil lagi. Anehnya, mereka (Barat) dalam berargumentasi penolakannya terhadap orisinalitas al-Qur’an berdasarkan cara-cara ilmiah dan penelitian.

Banyak buku-buku dari hasil penelitian kalangan Barat yang cukup representatif untuk mengandaskan logika keimanan umat Islam. Misalkan, buku karya dari Christoph Luxenberg, Die Syro-Aramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschlϋsselung der Koransprache atau Qira’ah Syriak-Aramaik: Upaya Menjelaskan Bahasa al-Qur’an. Buku itu diterbitkan untuk edisi pertamanya tahun 2000 dalam bahasa Jerman oleh penerbit Das Arabische Buch yang berkedudukan di Berlin. Dalam buku itu, juga memakai bahasa Romawi hingga halaman ix, dan berbahasa Arab hingga halaman 306. Untuk bibliografi dicantumkan dihalaman 307 hingga 311. Buku itu ber-ISBN 3-86093-2748, paperback.

Ada empat poin besar dan penting dari buku itu. Pertama, buku itu menyajikan tesis, sumber-sumber, metode, dan contoh-contoh aplikasinya dalam delapan belas bab. Bab satu sampai delapan meliputi latar belakang, metode, dan aplikasi metode tersebut untuk mengungkap etimologi dan makna kata Qur’an, yang menurut Luxenberg merupakan kunci untuk memahami keseluruhan naskah. Bab sebelas sampai delapan belas membahas kesimpulan-kesimpulan yang dipaparkan dalam separuh pertama buku dengan mengajukan solusi untuk beberapa ungkapan bermasalah di sepanjang naskah al-Qur’an. Itu mencakup masalah-masalah leksikal, morfologi dan sintaksis. Selanjutnya, Luxenberg mengurai dalam bukunya itu tentang prinsip-prinsip yang mendasari banyak ketidaktepatan dalam riwayat al-Qur’an pada hal. 11-14. Dan pengembangan metode untuk mengkaji masalah-masalah yang menciptakan kekeliruan pemahaman materi tematik di seluruh naskah al-Qur’an pada hal. 15-16.

Kedua, pada kata pengantarnya, Luxenberg menyajikan rangkuman tentang peran penting bahasa Syriak tertulis dari sudut pandang budaya dan linguistik bagi bangsa Arab dan al-Qur’an. Pada masa Muhammad Saw., bahasa Arab bukanlah bahasa tertulis. Syro-Aramaik atau Syriak adalah bahasa komunikasi tertulis di Timur-Dekat dari abad ke-2 hingga ke-7 M. “Yang terpenting adalah bahwa literatur Syriak Aramaik dan lingkungan budaya tempat literatur berada hampir seluruhnya Kristen.” Jadi pengaruh Syriak terhadap mereka yang menciptakan bahasa Arab tertulis disampaikan melalui media Kristen, yang pengaruhnya sangat besar.

Ketiga, Luxenberg memaparkan tradisi Islam tentang riwayat penyampaian awa al-Qur’an. Menurut tradisi itu, Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M) adalah yang kali pertama mengumpulkan catatan-catatan tertulis dari ujaran-ujaran Muhammad (570-632 M) menjadi satu kitab tunggal.

Keempat, disajikan dalam bukunya (Luxenberg) tentang perkembangan tulisan Arab dan peran pentingnya dalam sejarah penyampaian al-Qur’an. Ia juga menunjukkan bahwa aslinya hanya terdapat enam huruf untuk membedakan sekitar dua puluh enam bunyi. Huruf-huruf itu sedikit demi sedikit dibedakan dengan titik-titik yang ditulis di atas atau di bawah setiap huruf. Abjad Arab yang digunakan dalam al-Qur’an dimulai sebagai sistem tulisan cepat (short hand) untuk membantu pengingatan (mnemonic device) dan tidak dimaksudkan sebagai kunci lengkap ke bunyi-bunyi bahasa itu.

Buku ini, Al-Qur’an Bukan Da Vinci’s Code karya dari Khulqi Rasyid ingi “beroposisi” dengan buku karya Christoph Luxenberg, Die Syro-Aramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschlϋsselung der Koransprache, tersebut. Penulis (Khulqi Rasyid) dalam karyanya itu berusaha menambat kekeliruan arus laju penemuan dari Luxenberg. Ia mengungkapkan bahwa al-Qur’an pure adalah firman Tuhan, tidak berasal dari bahasa Syriak-Aramaik. Lebih jauh ia paparkan, bahwa kitab suci al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT. kepada utusan-Nya, Nabi Muhammad SAW., selama 22 tahun 2 bulan 22 hari secara mutawatir (berangsur-angsur).

Periode turunnya wahyu (al-Qur’an) tersebut ada dua, yaitu periode Makkah yang berlangsung selam 13 tahun dan periode Madinah yang berlangsung selam 10 tahun. Ayat-ayat yang turun di Makkah kemudian disebut ayat-ayat Makkiyah dan ayat-ayat yang diturun di Madinah disebut ayat-ayat Madaniyah. Sedangkan total dari seluruh ayat tersebut terhimpun dalam 114 surat, dan kemudian keseluruhan ayat tersebut dibagi-dibagi dalam 30 juz (hal.50).

Jumlah surat yang terdapat dalam al-Qur’an, yaitu 114 surat, berikut nama-nama surat dan batas-batas tiap-tiap surat, serta susunan ayat-ayatnya adalah berlandas ketentuan yang ditetapkan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW. sendiri (tawqifi). Sementara itu, pembagian al-Qur’an menjadi 30 juz sudah dilakukan sejak zaman sahabat Nabi. Pembagian itu sekadar untuk hafalan dan amalan dalam tiap-tiap hari semalam atau di dalam sembahyang (Shalat).

Dalam bukunya Luxenberg, Profesor bahasa Semitik, dinyatakan bahwa versi al-Qur’an yang ada saat ini salah salin dan berbeda dengan teks aslinya, jelas itu mengundang kontroversi akut oleh kalangan umat Islam. Menanggapi hal demikian, Taufik Adnan Amal, pakar tafsir al-Qur’an, menjelaskan “Tanpa argumentasi-argumentasi teologis, siapapun harus mengalah dan mengakui bahwa al-Qur’an telah membuktikan diri sebagai sesuatu yang mampu menciptakan peradaban dan tradisi menulis yang sangat tinggi.”

Sedangkan menurut Ali-Syari’ati, “Umat manusia membutuhkan al-Qur’an sebagaimana mereka membutuhkan matahari, lepas dari masa sejarah, pertimbangan-pertimbangan genealogis atau keadaan budaya, pertanian, ekonomi, dan politik. Lebih jauh lagi, al-Qur’an tidak boleh dibandingkan dengan kata-kata seorang pengarang, penyair, filsuf, ataupun sosiolog..”

Membaca buku ini, diharapkan bagi siapa pun, khususnya mahasiswa yang bergelut dalam bidang tafsir, dan bagi umat Islam umumnya. Karena, dengan membacanya akan memukau nalar dan memperkokoh Iman. Dan juga, buku ini memiliki daya pikat yang tinggi, karena cover depan match dengan isi buku. Namun sayangnya, penulis terkesan linear mengkaji counter text, karena posisi kajiannya didudukkan secara terpisah. Kendati pun, buku ini tetap memberikan kontribusi dahsyat dalam cakrawala dan khasanah keislaman.

Puisi-Puisi Javed Paul Syatha

DE JAVU

kenangku pada senja
meliukkan lilin yang terbakar
labirin waktu

mungkin ingatanku tertidur panjang
tentang risalah hidup
ataukah jejak sekawanan mimpi
yang kau kirim pada kesunyian
lorong jiwa yang begitu sunyi

aku
seperti pernah mengenangmu
sebuah cermin terbias segurat
bayang matahari

ada cerita yang sama
sehabis
daun gugur pagi kemarin

bukan semayam mimpi
menghampar sebait do’a
tapi kisah itu mewujud kilasan
bayang semesta
hanya aku yang tau
diselembar waktu
sebabak cahaya ataukah luka
tengah bermain dengan realitas
kesadaranku tentangMU.

Lamongan, 2006-2007



SECANGKIR SEPI

hanya sepi tersaji
lantas aku
segala yang luruh
dan angin kembali terhunus
atas beku nafasmu
hitam

bersamamu
aku diam menepi
segala
yang datang
telah pergi
lunaskan hikayah tak terurai
laiknya secangkir sepi
pada peribadatan
seonggok embun perjamuan

hatimu hening
seperti titik cahaya tanpa persemayaman
mencari segala altar
mendoa
segala yang datang dan pergi darimu

jiwajiwa melesat jadi gerimis
menjadi angin dan tanah
menjadi kutub

sekadar secangkir sepi
lantas aku
segala yang luruh
dan angin kembali menggores
atas beku nafasku
keluh.

Lamongan, 2005



ANGIN YANG MENULIS PINTU

bila kau tangkap aku dalam napas
hanyalah sedikit napas yang membakar
doa malamku
api
bulan yang menyala dalam hati
lantas kurenangkan di bening telaga

kuciptakan malam di tubir bukit
bersama
gagak
dan anjing
cinta dan
sesat
seperti surga
dan
dusta

telah
kukirim
selembar
angin
yang
menulis
pintu

dzat
yang agung
yang bertahta di altar cinta
karena kekasihmu lebih tinggi
dari kekasihku yang sunyi.

Lamongan, 2006

Rabu, 20 Agustus 2008

SARKASME

Imamuddin SA

Tak ada salahnya jika hari ini aku menghampiri adikku. Aku yang kebetulan baru pulang dari pasar menemui sahabat karibku. Ah tidak, aku lupa. Ia bukan sekedar sahabat karib. Tetapi saudara abadi. Saudara yang akan bersatu di kehdupan esok hari.

Ini sudah jadi kebiasaanku. Setiap pasar Pahing dan Wage, aku kerap menemuinya. Itu jika aku tidak ada aktifitas lain di rumah. Biasalah, ada saja yang aku omongkan dengannya di pasar. Dari masalah pribadi. Dagangan. Pergolakan hidup. Agama. Dan bahkan ketauhidan. Yang paling senang adalah ketika aku memperhatikan karakter pembeli yang cukup variatif. Aku bisa mempelajari psikologi seseorang dari caranya membeli dan menawar barang dagangan.

Aku yang masih awam akan hal itu, mencoba menimba darinya. Meskipun aku sudah lulusan S1, tapi aku masih membutuhkan pengetahuan lain yang belum pernah aku dapatkan di bangku perkuliahan. Dan belajarku hanya pada seorang lulusan SMA. Atau bahkan tidak jarang aku belajar pada orang yang tidak pernah sekolah. Toh pada dasarnya tidak hanya kampus atau sekolah saja tempat menimba pengetahuan. Pasar pun bisa jadi. Atau lokalisasi juga bisa. Tinggal aku, bisa tidak memanfaatkannya dengan sebaik mungkin? Aku juga yakin, orang pandai itu tidak hanya dosen. Tidak hanya guru di sekolah. Orang pandai itu relatif. Tentunya disesuaikan dengan bidangnya masing-masing.

Dalam hati kecilku, aku tidak ingin menimba pengetahuan dari orang pandai. Sebab aku takut dipinteri mereka. Aku sudah bosan. Aku telah nekek dipinteri orang. Meski aku waktu kuliah kerap menimba pengetahuan dari dosen-dosenku yang pandai. Tapi tidak usa dibahas, kenapa aku kok tetap kuliah? Aku ingin menimba ilmu dari orang yang mengerti saja. Biar aku tak dipinteri orang lagi. Dan aku telah menemukan orangnya. Sahabat karibku. Eat…maaf lupa. Saudara abadiku. Ia terlalu sempurna di mata hatiku. Ia tak pernah membohongiku. Apalagi minteri aku. Tentu tidak. Yang aku herankan adalah kata-katanya. Semua yang diujarkanya benar. Tak pernah meleset dari kejujuran realitas.

Saat itu matahari berada tepat di atas ubun-ubunku. Bayangan tubuhku pun tidak terlukis olehnya. Aku berhentikan motor bututku di depan sebuah sekolah yang cukup besar di daerahku. Di bawah rindang pohon yang sesekali dihempas angin yang cukup kencang. Aku silakan kaki kiriku di jok motorku. Dan yang satunya aku tambatkan di tanah. Kuambil hand phoneku dari saku celana. Kubuka. Ku cari nama adikku. Pun kukirimkan pesan untuknya.

“Apa pean mau pulang sekolah bareng aku? Pean dimana? Aku tunggu di sebelah barat kantor. Di tepi jalan raya.”

Dasar sial. Aku sudah cukup lama menunggu adikku tapi belum juga ada kabar darinya. Aku perhatikan hand phoneku berkali-kali tetap juga tidak ada pesan masuk untukku darinya. Aku sempat mengeluh. Dan ingin meninggalnya pulang. Tapi beberapa saat kemudian, tubuhnya mengisi kehampaan kedua mataku. Ia perlahan mendekatiku.

Aku sedikit heran dan aneh saat melihat raut mukanya. Tidak seperti biasanya yang selalu menunjukkan keceriaan. Ia kecut dan berlukiskan kesedihan. Dari jarak yang cukup dekat ia mengeluh padaku.

“Cak, hand phonku disita guruku!” berat terbata tuturnya.
“Kok bisa begitu? Memangnya kamu pakai hand phone di kelas?” tanyaku dengan pelan. Aku tak mau menambahi kesedihanya saat itu.

“Tadi aku pas buka pesan dari pean. Dan ingin membalasnya. Cak, bagaimana nih?” rengeknya manja.
“Kamu temui saja guru yang merampas hand phonemu sekarang juga. Coba kamu sedikit mengiba kepadanya. Barangkali akan lain ceritanya.”

“Aku tidak berani Cak, Takut!”
“Memangnya apa yang mesti kamu takutkan? Lekas masuk kantor. Dan temui dia!” desakku tegas.

Memang hal itu segaja aku lakukan kepada adikku. Karena aku punya tujuan lain di balik semua itu. Aku ingin adikku berani menghadapi siapa pun demi pemecahan masalah. Harapanku adikku agar bisa membebaskan jiwanya dari segala tekanan ketakutan dalam diri pribadinya. Paling tidak dia bisa menuangkan aspirasinya. Adapun hasilnya belakangan. Entah berhasil mengambil hand phone atau tidak? Yang penting keberanian harus tumbuh di dalam dirinya.

Dan itu benar. Atas desakku, ia memberanikan diri menghadap guru itu. Meskipun dengan perasaan gontai. Laksana nyiur melambai. Sejenak kuperhatikan langkah kaki adikku. Aku pun merasa iba padanya. Aku merasa semua ini juga tidak lepas dari kesalahanku. Mengapa aku menghubunginya saat itu? Kenapa tidak aku tunggu saja ia sampai keluar dari lokasi sekolah? Ah semuanya tidak perlu ada penyesalan. Sesuatu yang telah terjadi biarlah terjadi. Biar jadi kenangan yang patut dipelajari. Berorientasi saja kedepan. Semoga adikku mengantongi keberhasilan.

Dari kaca jendela yang putih bening, kuterawang adikku dari luar. Ia terlihat gugup menyampaikan maksudnya kepada guru itu. Sesekali ia mendongakkan wajahnya ke arahku yang berada di motor. Sungguh tak kuasa aku melihatnya. Entah, di dalam kantor itu dia ngomong apa saja. Aku tidak terdengar. Yang jelas adikku terlihat begitu mengiba. Dan guru itu bersikap masa bodoh.

Adikku keluar dari kantor itu membawa hasil yang hampa. Ia tidak dapat mengambil hand phonenya kembali. Wajahnya terlihat semakin muram. Purnamanya tak lagi mempesona. Ia semakin bingung di buatnya.

“Bagaimana, dapat hand phonenya?”
“Tidak Cak! Tetap tidak boleh. Aku bingung.” lirih keluhnya.
“Tadi dirampasnya di mana?”
“Di jalanan. Tepatnya di depan kelas. Waktu itu buyaran sekolah. Dan tema-temanku sudah pulang semua. Tinggal beberapa orang saja. Aku berjalan dengan tiga orang temanku yang lain dan mencoba mebalas pean. Tapi tiba-tiba……? Aku takut dimarahi bapak dan ibu di rumah! Bagaimana Cak?”
“Ya sudah. Aku coba memintanya kembali. Barangkali bisa. Tapi tidak janji. Sekarang kamu tunggu saja di sini.”

Hatiku tak kuasa melihat adikku yang terus mengiba kepadaku. Aku pun menurunkan kakiku. Dan beranjak dari motorku. Namun aku juga tahu jika itu sulit buatku. Aku harus berusaha demi adikku. Hasilnya terserah. Nihil atau………! Yang penting berusaha dulu.

Aku masuk ke kantor. Menemui guru itu. Aku mengutarakan tujuanku menghadap padanya. Aku mengulas kembali perkataan adikku beberapa waktu yang lalu yang sempat terujar kepadanya.
“Pak, maaf. Saya sejenak mengganggu istirahat siang Bapak kali ini.”
“Ya, tidak apa-apa.” jawabnya ketus seolah telah tahu maksud kedatanganku. Mungkin saja ia telah tahu keberadaanku sebelumnya.

“Saya ingin konsultasi masalah hand phone adik saya yang bapak sita beberapa saat yang lalu.”
“Benar, hand phonenya memang saya sita. Memangnya kenapa?” sekali lagi ketus jawabnya.
“Saya mohon dengan amat sangat kepada bapak, agar bapak berkenan memberikanya kembali.” ibaku padanya.
“Tidak bisa Mas. hand phone yang sudah disita tidak bisa di kembalikan. Ini sudah jadi kesepakatan dalam rapat wali murid.”

“Memangnya kesepakatanya bagaimana?” tanyaku mendesak.
“Setiap siswa tidak diperkenankan membawa hand phone ke sekolah. Sebab mampu mengganggu konsentrasi belajarnya. Dan ini sudah kami sosialisasikan kepada siswa juga” jawab tegasnya.
“Maaf Pak, saya kurang paham jika ada kesepakatan semacam itu. Tapi saya mohon belas kasih Bapak untuk kali ini saja, Bapak berkenan memberikan hand phone itu.” ujarku semakin merendahkan diri.

“Tidak bisa. Ini sudah paten dalam keputusan rapat.”
“Saya mohon Pak. Saya bertanggung jawab atas semuanya. Saya jamin adik saya tidak akan membawa hand phone ke sekolah lagi. Jika adik saya melanggar untuk yang kedua kalinya, semuanya terserah Bapak. Lagi pula adik saya masih baru di sekolah ini. Saya mohon kali ini beri kesempatan.”

“Tetap tidak bisa!” bentaknya keras.
“Tolong beri keringanan untuk adik saya yang masih baru di sini.”
“Masih baru saja sudah berani melanggar peraturan. Apalagi kelak!” sekali lagi ia membentak dengan keras. Penuh emosi.

“Justru masih baru itu Pak, dia belum paham akan adanya peraturan semacam itu. Saya berharap ada sedikit toleransi dan belas kasih dari Bapak.”
“Tidak bisa! Sekali kesepakatan tetap kesepakatan. Semuanya harus dijalankan dengan seksama. Tidak ada toleransi. Setiap hand phone yang telah disita akan dihancurkan. Titik!”

Aku yang dulu juga alumni sekolah itu, telah sedikit banyak paham karakter guru tersebut. Ia memang keras kepala. Kadang juga egois. Dan suka memaksakan kehendak pribadinya. Ia tidak bisa menempatkan porsi yang pas dengan situasi dan kondisi siswanya. Ia seolah berpandangan bahwa konsepnyalah yang paling benar. Dan paling berhasil jika diterapkan kepada semua siswa.

Pernah suatu ketika ia menyumpah teman sekelasku. Menyumpah agar temanku itu setiap harinya wajib belajar tidak kurang dari empat jam. Sementara ia sendiri tidak tahu, bagaimana kondisi keluarga temanku. Sungguh memprihatinkan. Semua kebutuhan keluarga harus ia sendiri yang menanggungnya. Begitu juga biaya sekolah adik-adiknya. Sehabis sekolah ia bekerja bangunan paruh waktu. Dan kalau malam ia juga sempatkan diri untuk ikut bekerja di penggiligan padi. Bagaimana bisa belajar……?

Anehnya, meski sudah dijelaskan kondisi temanku saat itu, guru tersebut tetap saja memaksakan kehendaknya. Wajib belajar empat jam. Padahal tidak didoktrin semacam itu pun temanku setiap hariya sudah meluangkan diri untuk belajar. Walau hanya sebentar. Namun hari itu memang naas baginya sehingga ia disumpah sedemikian rupa. Kesalahanya hanya sederhana, ia ngantuk waktu jam pelajaran. karena semalam suntuk ia bekerja di penggilingan padi. Dan pas ditanya masalah belajar, ia jawab; “Semalam saya tidak belajar Pak!”.

Itulah sedikit kesalahan temanku. Tiap pelajaran guru itu, temanku ditanya terus masalah sumpah belajar empat jam. Temanku memang polos. Ia tidak bisa mendustai diri sendiri. Apalagi orang lain. Untuk menghindari hukuman atas pertanyaan itu, ia membuat tulisan dalam buku pelajaranya; ”Aku sudah belajar empat jam”. Pas ditanya; “Apa kau kemarin sudah belajar empat jam penuh”? Ia selalu membaca tulisan dalam bukunya itu. Dan menjawab; “Sungguh Pak, aku sudah belajar empat jam. Ini benar”.

Sungguh ia sangat cerdik. Maksudnya “ini benar” adalah benar menurut tulisan yang ada di bukunya. “Aku sudah belajar empat jam”. Bukan benar secara realiats. Ia belajar empat jam dalam keseharianya. Ia memang tidak bohong. Yang salah gurunya. Ia salah tangkap dan salah paham akan maksudnya. Ia pun lolos dari hukuman yang lebih berat dari guru itu. Guru yang sejak kecil selalu dalam kecukupan dan kemewahan. Tak pernah merasakan kesusahan. Waktu itu aku juga sempat mengumpat dalam batinku. Andai saja Tuhan suatu saat menjadikanya susah dan hidup dalam kekurangan, mungkin ia baru sadar akan realitas kehidupan ini.

Kembali pada persoalan hand phone adikku. Guru itu omonganya sombong benar. Baginya hand phone seolah-ilah tak berharga. Mentang-mentang kaya, ia main hancurkan saja. Melihat gaya bicaranya yang semakin congkak, hatiku tergigit. Darahku mendidih. Detak jantungku mengeras. Dan mataku memerah. Aku larut dalam emosiku. Aku terpancing dengan nada bicara yang sedikit keras.

“Jika keputusan Bapak demikian, tidak apalah. Saya tidak akan menuntut banyak dari bapak. Tapi perlu Bapak ketahui bahwa adik saya tidak mengaktifkan hand phone dalam ruang kelas. Toh itu dilakukanya ketika jam sekolah sudah usai. Dan semua siswa sudah pada pulang. Jadi, seharusnya dia sudah terlepas dari aturan tersebut. Saya juga lulusan sekolah ini pak. Dulu sewaktu sekolah saya sempat dibilang oleh salah seorang guru bahwa saya adalah orang bodoh dan katrok. Sebab saya pada waktu itu diperintahkan mengaktifkan hand phone di kelas, saya tidak bisa. Katanya saya tolol. Dalam era global mengoperasionalkan hand phone saja tidak bisa. Tapi nyatanya sekarang bagaimana. Hand phone sudah menjamur dan menjadi salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, malah dikekang pemakainya. Ini sungguh perbuatan munafik. Ini perbuatan orang tolol.”

“Tapi ini beda mas. ini sudah permasalahan lain.” selanya membela.
“Saya tahu pak tujuannya. Sekolahan ini tidak ingin siswanya membudidayakan pornografi dalam hand phonenya bukan? Lihat Pak, hand phone adik saya. Mana bisa mengakses gambar-gambar porno. Harga hand phonenya saja tidak lebih dari dua ratus ribu perak Pak. Coba pikir! Dan lain kali kalau menentukan sanksi itu seharusnya disesuaikan dengan permasalahanya Pak. Tidak main pukul rata seperti ini.”

“Bukan itu masalahnya Mas. Tapi ini demi lancarnya proses pembelajaran di kelas.” jelasnya lirih.
“Apalagi hal itu Pak. Itu sungguh imposibel. Bisakah bapak menjamin, dengan tidak berhand phone siswa menjadi pandai? Tidak mungkin bukan? Sebab semuanya itu bertumpu pada pola pikirnya. Serta bagaimana cara pengolahanya dalam realitas kehidupanya. Kapasitas otak manusia itu tidak sama Pak. Di dalamnya tertanam bakat-bakat yang berbeda-beda dalam setiap individu. Tugas guru adalah mengantarkan anak didiknya menggapai cita yang sesuai dengan bakatnya. Guru adalah sugestor. Adik saya juga tidak mengaktifkan hand phonenya saat proses belajar mengajar. Bapak tadi kan menyitanya saat ia dalam perjalanan pulang, bukan? Jadi apanya yang harus dikekang dalam pribadi adik saya? Apanya Pak? Toh membuat aturan itu seharusnya tidak serta merta langsung difonis dihancurkan seperti itu Pak. Tentunya harus melalui tahap peringatan terlebih dahulu.” desakku bertubi-tubi.

“Apapun alasanya, Mas tidak bisa mengambil kembali hand phone adik Mas. Hand phone harus dihancurkan. Ini sudah aturan. Dan saya konsekuen dengan aturan yang telah disepakati. Ini tidak bisa dimanipulasi.”
“Tidak bisa dimanipulasi kata Bapak?”
“Ya, benar!”

“Dulu Pak, ketika saya dan teman-teman yang lain, Bapak perintahkan mengerjakan tugas pribadi Bapak di ruang ini. Tepatnya di meja itu. Bapak malah menyediakan kami sebungkus rokok. Padahal Bapak tahu bukan, larangan merokok telah tergantung di papan atas dalam aturan sekolah untuk siswa. Bapak juga sempat bilang kalau rokok itu Bapak sediakan biar menggarap tugasnya lebih bersemangat. Ini aneh dan munafik bukan? Ini hanya manipulasi belaka bukan? Ini aturan yang mana Pak?”

“Tapi……” sedikit menyela.
“Aturan mana yang harus dipegang Pak? Jika dibandingkan dengan kesalahan adik saya, ini tidak sebanding dengan apa yang Bapak terapkan kepada saya dan teman-teman waktu itu. Justru Bapak yang seharusnya dikenakan sanksi yang lebih berat.”

“Kau………!”
“Saya sudah memohon belas kasih Bapak. Dan mengiba dengan begitu rendah diri. Tapi bentakan yang justru Bapak berikan. Ingat Pak, Tuhan saja pasti memberi cinta kasih-Nya kepada hamba-Nya yang telah memohon dengan penuh hikmat. Dan rendah diri. Tetapi mengapa tidak dengan Bapak? Kecongkakan diri yang Bapak berikan.”

“Apa maksudmu? Kau mengataiku congkak? Jangan bandingkan masalah ini dengan Tuhan. Ini urusan kemanusiaan. Ini urusan siswa dengan pihak sekolah.” tanyanya kaget.
“Tuhan memerintahkan agar manusia senantiasa memberi cinta kasih, kemurahan, dan pintu maaf kepada sesamanya. Tuhan yang maha segala-galanya saja tidak pernah menunjukkan kecongkakannya. Mengapa manusia yang hanya sedikit dikaruniai cahayanya saja sudah berani menunjukkan kecongkakannya? Dan mengapa hal ini juga tidak boleh disangkut-pautkan dengan Tuhan, Pak? Jangan-jangan dalam diri Bapak sudah tidak ada lagi nama Tuhan! Dengan sejenak mengatakan hal itu, Bapak telah melupakan perintah agama. Dan bahkan nama Tuhan.”

“Coba kau ulangi sekali lagi kata-katamu.”
“Tentunya sebagai guru agama, Bapak juga tahu bahwa Tuhan mempunyai sifat Welas Asih. Pemurah. Pemaaf. Pengasih. Dan Penyayang. Semua sifat itu ternyata tidak ada dalam diri Bapak. Berarti eksistensi Tuhan tidak hadir dalam diri Bapak. Benar bukan? Dengan menanggalkan sifat-sifat itu, sama halnya Bapak dengan meninggalkan Tuhan. Bapak telah lalai dengan Tuhan. Tuhan tidak hadir dalam diri Bapak. Dan Bapak pasti juga tahu jabatan apa yang disandang bagi orang yang semacam itu……”

“Kau berarti mengataiku kafir? Atheis? Kau yang kafir.” bentaknya penuh dengan emosi.
“Tidak Pak. Aku tidak mengatai Bapak demikian. Ini sebatas wacana. Tidak berhak seseorang mengafirkan sesamanya. Bapak pikirkan saja. Instropeksi diri lebih utama. Renungkan dengan baik Pak! Menudinglah pada diri sendiri jangan kepada orang lain. Pasti ketemu jawabannya. Dan bukannya saya mendurhakai Bapak sebagai guru saya. Apalagi menggurui. Saya hanya meluruskan permasalahan Pak.”

“Aku setiap hari sholat. Atheis itu orang yang tidak sholat! Karena tidak sholat berarti dia tidak ingat dan tidak pernah menghadapkan diri kepada Tuhan. Jadi ya……”
“Bapak salah besar kalau begitu. Toh nyatanya Bapak juga belum melaksanakan sholat dengan hakekat sholat yang sebenarnya. Ritual sholat yang Bapak lakukan hanya sebatas kulitnya saja. Mana eksistensi sholat Bapak yang bisa mencegah perbuatan keji dan munkar? Mana kerendahan hati yang merupakan buah dari pelaksanaan sholat? Sholat itu menghadapkan diri dengan sepenuh hati kepada Tuhan, Pak. Bukan sekedar jungkir balik gerakan tanpa makna. Dengan melakukan itu, Bapak samahalnya dengan menipu Tuhan. Bapak hanya sekedar pura-pura ingat Tuhan. Dan pura-pura menghadap Tuhan. Ini bisa jadi manipulasi manusianya sendiri dengan jalan pembodohan terhadap diri sendiri dan juga Tuhan. Tapi ingat Pak, Tuhan tidak dapat dibodohi.” potongku dengan tegas.

“………” ia diam terpaku.
“Maaf Pak, jika Bapak benar-benar telah menghadapkan diri kepada Tuhan, kemana letak posisi penghadapan diri Bapak yang sebenarnya kepada-Nya?” sedikit tanyaku.
“Ke kiblat!” jawabnya tegas dan pasti.
“Di mana kiblat Bapak?” tanyaku memburu.
“Di………” ia tidak meneruskan jawabanya. Diam memikirkannya.

“Meski tidak Bapak ungkapkan, saya tahu jawaban Bapak. Itu hanya simbol kesatuan dan kebersamaan lahiriah manusia. Tuhan tidak ada di tempat itu. Begitu juga dengan gerakan sholat Pak. Itu juga hanya sebatas simbol untuk kerukunan dan kebersamaan antar manusia. Simbol itu aktualisasinya lewat penerapan perilaku sehari-hari dalam lingkungan bermasyarakat. Sebenarnya simbol lewat gerakan dan bentuk fisik itu penerapannya pada ruhaniah manusia. Itu hanya sebatas pengingat laku batin. Selaraskan antara yang lahir dan yang batin.”

“Simbol katamu! Lantas bagaimana pemaknahannya?”
“Bapak renungkan saja tiap gerakan itu. Saya tidak banyak waktu untuk mengungkapnya. Lagipula Bapak guru saya. Tentunya Bapak lebih pintar dari saya. Apalagi agama adalah bidang Bapak yang selama ini telah tertekuni. Maaf Pak, saya pamit. Terima kasih atas penjelasan dan sambutan Bapak. ” jelasku mengakhiri pembicaraan.

Amarah lahan-perlahan aku redam. Aku berpaling dari guru itu. berjalan menuju pintu. Lantas beranjak menghampiri adikku yang telah lama menunggu di motorku. Sungguh, tidak ada ramah-tamah yang mengenakkan kepadaku. Saat menemui guru itu tadi, aku tidak dipersilahkan duduk di kursi. Aku berdiri sampai pembicaraan usai. Padahal semua tempat duduk di ruang guru itu kosong. Ah, itu bagiku tidak masalah.

Adikku memandangi langkahku yang semakin mendekatinya. Hatinya penuh dengan tanya. Jantungnya bergemuruh menyesakkan jiwanya. Sayu sapanya hinggap di telingaku.
“Bagaimana Cak, dapat hand phonenya?”
“Tidak bisa diambil!”

“Lantas bagaimana Cak? Aku pasti dimarahi bapak di rumah. Cak……?” ujarnya terbata. Hampir meneteskan air mata.
“Ya, kita pulang saja. Paling-paling dimarahi hanya beberapa menit saja. Paling lama ya sehirian lah.”
“Cak……!” ungkapnya penuh ketakutan.

Kunaiki motor bututku. Sambil meghimbau adikku agar segera naik. Dan menabahkan hati. Menegarkan jiwa untuk menghadapi amarah bapak di rumah. Naik lah ia. Aku pun memacu motorku. Aku beranjak pulang.

Kehawatiran adikku ternyata benar terjadi. Sesampainya di rumah, aku ditanya orang tuaku masalah perangai adikku yang sedikit aneh. Dan menunjukkan kesedihan yang begitu kuat. Aku yang tidak bisa membohongi diri sendiri, pun menceritakan kejadian yang sebenarnya menimpa adikku. Awalnya orang tuaku mengira, adikku mengalami kecelakaan. Mereka hawatir betul kepadanya. Tapi setelah aku jelaskan semuanya, kehawatira itu seketika berubah menjadi amarah yang luar biasa. Mereka menumpukkan semua kesalahan kepada adikku. Maklum, orang tuaku marah karena hand phone yang disita itu bukan milik pribadi adikku. Hand phone itu milik pamanku yang beberapa hari lalu dipinjam adikku. Sebab baru beberapa hari ini, adikku bisa mengoperasionalkan hand phone. Wajar kalau orang tuaku sedikit emosi. Dan naik darah.
Adikku matanya nanar. Dan lari ke kamarnya. Melinangkan air mata. Menghujankan kesedihanya.

Puisi-Puisi Javed Paul Syatha

ALIENASI KEHENINGAN

sampai aku di republik itu
merampungkan perjalanan
menghadirkan diri atas cinta
atas segenap kekasih
maka di jasad doa secarik cahaya bergolak
membentangkan jalan kebenaran
menahbiskan semesta dalam keheningan
lantas aku menziarahi embun yang beku
menjadikannya kristal
air mata di makrifat kesejatian
melebur dalam dahaga rindu yang membakar
seluruh sukma;
- aku menolak panggilan langit.

(lamongan, 2005)



METAMORFOSA SUATU LANGIT

jiwajiwa kering itu diterbagkan angin;
adakah tangantangan tak kasat mata
mengantarnya pada darah
cinta di ketinggian mencari cahaya
[dan tak dapat dimaknai hakikatnya]

jiwajiwa itu mengering terlalu cepat
menyangkal jasad tak bersalah
melayang di atas pengingkaran ruang cosmos
menjumpaiku pada kebisuan kebekuan yang menggigil

“duh, apa yang ku ingin di ketinggian sana?
bukankah ini kerinduan telah lama aku benci
pada setiap jejak pengembaraan mencari diri”

o, aku mengutuk waktuku yang hilang
menandai kematian hari
seperti burung bangkai
betapa letih aku menyayat tubuhku sendiri
di ketinggian; metamorfosa suatu langit.

aku cemburu pada formalin
pada virus paling menakutkan
aku cemburu pada tanah, pada air
dan batubatu
aku cemburu pada telinga yang tak mendengarku
aku cemburu pada ketinggian yang terbuka
pada gerimis yang membebaskan matahari.

astaga, apa aku ini!
menghujat langit hari esok
mematahkan sayapsayap burung terbang
menjadi teror menjadi badai
bagi pohonpohon pegunungan.

“hai, siapa menjaga keagungan harapan tertinggiku”

(lamongan, 2006)

Puisi-Puisi Imamuddin SA

KEDAI JAMU

Sungguh, gala pasak bertegak
Sangga singgahsana suci
Di kedalaman hati
Ukir saksi misi diri sejari.

Kala padanya kau seru
“datanglah di kedai jamuku”
Dan segala hasrat tarik mengerat
Lukiskan parede arwah raya
Dalam hening romansa.

Saat itu, kau saji secawan anggur
Pesan, pada roh sendiri,
Hanya ia tak kau perciki.

Tapi, sona membawanya terketuk
Bertentang sedu
Lampaui tawarmu
Dan kau tembang syair termerdu:
“tidak-kah aku jati kasihmu” Ia pun merayu
“ya! Segala cinta tertebar hanya untukmu
tiada antara perajut kembaraku
adalah sembah setiaku.”

Sayang! Seserpi debu tak memadu
Bersama, tiada sapa sang pesona dalam kelana
Sumpah tak terindah.

O, sang kekasih
Panggil ia di nuansa saksimu
Biar purna tabur titian laku.

Lamongan, 2006



SAKSI MUARA

Lalu bagaimana ia
Bisik padamu,
Bibir lidahnya tiada
Kau buka
Hingga kekuncup nada tak tebar seminya
Di sona saksi muara.

Sungguh kala ia cumbu
Sepucuk tembang tunjukku
Sendiri kan terseru:
“tapi inilah sejujur arti
sebab gemulai lekuknya perajut sutra kelabu
dalam rotasi waktu
dan bersama restumu
lirik lagu berdayu
lewat ujung lentik liatku
bagai penyapa seru
tanyamu.”

Lamongan, 2006

Puisi-Puisi Haris del Hakim

SAYAP KUNANG-KUNANG
: buat SBB

tubuh yang berkepala, bertangan dan berkaki ini, kupinjamkan sayap pada kunang-kunang yang malu bermain dengan cahaya di siang hari; agar sekejap terbang meninggalkan pematang dan membakar diri dalam bara rindu matahari, lalu kata-kata, surga dan keabadian saling kelebat dalam sukma yang lenyap…

“kerakusan hendak menjamah tanah lapang berumput,” jawab penggiring kerbau atas pertanyaan ibu-ibu berkebaya yang dibasahi lumpur dengan tangan menancapkan batang padi di sepanjang jidar; lenguh lelah dan panas yang memeras keringat serasa rintik hujan yang menyingkirkan mendung di wajah anak-anak mereka

sementara para remaja berseragam belajar
menyusun puisi:
malaikat-malaikat yang mengintip
kata-kata bijak tak berpijak di atas lincak
atau bermain sayap rayap-rayap menelan harap
daripada:
mencatat bau tanah yang kerontang
kehilangan subur
sebab dipaksa memerah kekuatan bumi
demi limpah ruah sesaat
oleh para pelacur yang sibuk dengan gincu

di sekolah taman kanak-kanak di samping sekolah dasar: anak-anak berlatih main sandiwara; ibu guru mengajarkan tari penyambutan para tokoh; penjual kue melengking-lengkingkan sirine; beberapa anak
SD bermain sepak bola; guru bujang merayu gadis penjual makanan ringan…

nun, dari lubuk rahim semesta kudengar guruh suara yang membakar sayap kunang-kunangku;
“mengapa kau tolak aku dengan sejengkal tanah di antara sepasang nisan, sebelum aku puas melihat kau bergelut dengan lumut.”

dan, aku pulang mengelupas kulit yang kering sambil merebah di atas tanah subur yang sejuk: ibu bagi anak-anakku

lamongan, 20/07/05



TIGA EKOR RAYAP DAN BURUNG PELATUK

seekor rayap berkepala kecil berkata pada pelatuk yang hampir saja mencucuk tubuhnya, “aih! selalu kau pura-pura tidak tahu adaku.”

burung pelatuk berhenti sebentar kemudian mematuk di tempat lain. seekor rayap berkaki ganjil muncul di balik kulit yang dikelupasnya dan berseru, “apakah kau pura-pura tidak tahu adaku lagi?!”

burung pelatuk tertegun sejenak lantas mematuk di bagian lain. seekor rayap yang kehilangan dua kaki depan menyembulkan kepalanya di balik serat kayu yang terkelupas dan berteriak, “tidak adakah pohon lain lagi?!”

burung pelatuk mengangkat kepalanya lalu secepat kilat mematuk ketiga rayap satu per satu. “aku masih belum kenyang,” bisiknya seraya mematuk lagi.

surabaya-lamongan, 26/06/05

Selasa, 19 Agustus 2008

Nekromansi

A Rodhi Murtadho

Nekromansi menggejala. Banyak orang percaya akan perkataan Ilyas. Masa depan. Ketertarikan pengetahuan membuat pasien mendatanginya. Terutama mengenai jodoh, rezeki, bahkan kematian. Ihwal yang seharusnya hanya diketahui Tuhan. Keberanian Ilyas sudah melebihi batas. Mendahului Tuhan. Banyak Kyai, pendeta, biksu, dan banyak tokoh agama bersatu mengenyahkannya. Memusnahkan perbuatan Ilyas bahkan bisa jadi Ilyas sendiri yang akan dipancung.

Orang-orang terus berbondong-bondong mendatangi Ilyas. Ingin mengatahui nasibnya. Pemberitaan miring mengenai Ilyas seakan menjadi ajang promosi bagi Ilyas untuk menjadi terkenal. Lantaran tak ada tindakan tokoh agama untuk menghakiminya. Cuma omong kosong, gembar-gembor Ilyas pada setiap pasiennnya.

Banyak paranormal lain yang merasa tersaingi. Segala macam teluh dikirim. Bahkan berebutan untuk mencengkeram Ilyas. Namun semua juga berebut cepat-cepat ingin pulang kembali pada majikannya. Teluh-teluh kalah dengan aura pengaruh dari tubuh Ilyas. Berbagai macam teror dilakukan namun hasilnya juga nihil. Ilyas tetap hidup dan makin kokoh.

Ketentraman sudah hilang. Mencekam. Banyak teluh yang nyasar. Memang datang kepada Ilyas namun kembalinya banyak yang nyasar. Akibatnya banyak yang terkena teluh. Malah pasiennya bertambah. Banyak yang datang juga minta diusirkan teluh yang menempel pada diri mereka. Tentu saja hal ini makin membuat gemas para paranormal yang lain. Orderan mereka sepi. Mereka yang menggantungkan hidup pada profesi paranormal harus mencari peluang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ijasah yang mereka punyai, yang sempat dianggurkan lama, dipergunakan lagi. Ada yang menjadi kuli bangunan, kernet bus, pemulung, tukang servis, tukang becak, atau menjadi karyawan pabrik. Banyak yang kembali lagi pada profesi mereka sebelum menjadi paranormal.

Seloroh Ilyas semakin membumi. Ia layaknya artis atau pejabat negara yang terkenal dalam waktu singkat. Ukiran-ukiran perkataannya menancap begitu dalam. Seperti dewa yang mengeluarkan petuah. Semua menurut. Tak ada protes. Tarifnya makin mahal. Hanya kalangan menengah ke atas saja yang bisa menjangkaunya. Terutama artis yang banyak datang untuk menanyakan kepopulerannya. Atau pejabat yang ingin menanyakan kesuksesannya. Bahkan hartawan yang terlau sibuk mencari uang hingga lupa jodohnya, datang dan menanyakan calon pasangannya. Yang lebih tidak dimengerti, presiden-presiden dari berbagai negara menanyakan mengenai negaranya dan akhir karir mereka. Menjadi pecundang, menjadi penjahat, atau menjadi semakin populer.

“Mbah Ilyas, bagaimana saya bisa mewujudkan kemakmuran negeri kami? Juga kemakmuran saya pribadi seusai menjabat. Tolong carikan jalan hingga saya bisa menjadi seorang pahlawan bagi negeri. Bukan sebagai pecundang di masa pensiun dalam usia tua,” ungkap penerjemah bapak presiden manca negara.

Ilyas tertunduk sebentar. Memang ia hanya mengerti bahasa negerinya. Komat-kamit mulutnya disertai gerakan yang tak teratur. Matanya seperti hilang kesadaran. Wajah terlihat memucat. Tak ada degup jantung sepertinya atau pun nafas yang menyertai kehidupannya. Ilyas seperti mati. Badan tampak kaku. Namun masih duduk bersila dengan tangan tergeletak di paha.

Ilyas ingat istrinya yang pergi meninggalkannya. Sebelum menjadi sepopuler saat ini, Ilyas adalah seorang penganggur. Sumini, istrinya, tak betah hidup melarat tercekik hutang. Ia pergi dengan laki-laki lain. Wajah Sumini terus saja melekat pada ritualnya kali ini. Di hadapan presiden manca negara Ilyas tiba-tiba menangis. Bisikan-bisikan halus yang hanya didengarnya sendiri membuatnya semakin tak bisa menahan air matanya.

“Sumini meninggal,” lamat-lamat Ilyas mendengarnya.

Tak seperti biasannya. Ilyas menanyakan masalah pasien dan akan ada jawban untuk si pasien. Namun jawaban yang didapat mengenai Sumini, masalahnya sendiri.
***

Sumini yang sumringah dengan senyumnya terus saja membangkitkan gairah. Tak ada yang mampu menolaknya. Laki-laki yang berbirahi normal tentu tak akan melewatkannya. Lesung pipi seakan mengundang Ilyas untuk segera menggumulinya. Dada yang mendongkol membuat Ilyas enggan melepaskan gairah. Melepaskan kepenatan bekerja sebagai buruh pabrik. Penghasilan yang jelas tak cukup memenuhi segalanya dalam gemerlap kehidupan.

Ilyas bertambah panas. Dalam matanya hanya ada Sumini. Segala kekuatan tertuju pada istrinya. Menancapkan gairah yang kian membara. Mengumpat segala kenikmatan. Jerit ranjang menerbangkan segala peluh yang mengucur. Mulus dan licin kulit makin mengencangkan lingkar tangan. Lidah yang halus saling mereguk kesegaran. Menyatu. Tangan tak pernah sekali pun berhenti mengendus setiap lekuk. Memainkannya. Degup jantung mengencang tak terkontrol makin mempercepat deru nafas. Mata yang terpejam tak juga membuat tidur. Saling lunglai dalam kepasrahan. Ilyas dan Sumini kemudian bersatu dengan malam.

Keadaan terus saja berubah. Ilyas tiba-tiba dipecat dari pabrik. Pengurangan karyawan. Ilyas mulai menganggur. Tak ada penghasilan. Hutang makin menumpuk. Kegelisahan makin menjadi. Tak ada modal untuk buka usaha sendiri. Atau tak ada tempat untuk menerimanya hanya sekadar menggaji seharga enam piring makanan sehari. Jalan buntu di depan. Segala malu membebani dalam setiap kerdipan mata.

Kegelisahan dalam kesendirian ditinggal Sumini terus melayangkan pikiran. Perut yang makin berdendang dengan nada saling menggesek perih tak juga membuat Ilyas sekejab bisa memejamkan mata. Pikirannya memancar ke segala arah. Mencuat tak henti. Berlompatan. Ada yang datang dan ada yang segera pergi. Sumini pergi dengan laki-laki lain.

Awalnya Ilyas selalu menepis segala bisikan yang menyertainya. Tak mau menjadi gila dengan kesedihannya. Tak mau menuruti ajakan suara. Namun perihnya perut menjadikannya penurut. Ilyas selalu menang taruhan. Seakan tahu masa depan. Berceramah layaknya dai. Beraksi menemukan segala kemegahan dengan pembacaan peluang yang tepat. Hutangnya terbayar. Hidupnya serba kecukupan. Hasil ramalannya membuat orang-orang tak segan membayarnya mahal ketika mereka menang togel.

Bisikan itu terus saja mengajak Ilyas untuk melakukan upacara malam hari. Ritual dengan kemenyan. Memperkuat naluri. Menambah ilmu kadikjayaan. Ilyas tak bisa melepaskan cengkraman suara. Sebenarnya pun Ilyas enggan untuk membuangnya. Satu-satunya sumber penghasilan. Orang membayarnya ketika dirinya menjadi gila dengan menuruti perkataan suara itu.

Mantra-mantra terus berdatangan tak diundang. Lekat dalam otak tanpa menghafal. Tak tahu kini Ilyas menyembah siapa. Asalkan bisa melanjutkan hidup dengan gelimang harta. Tak peduli sebutan orang-orang. Paranormal. Namun seolah menjadi bangga dengan sebutan itu. Semua orang menjadi takut. Tak berani menyentuh atau mendekat. Semakin sakti. Yang tak kasat mata mulai menampakkan diri dalam ritualnya. Mengkomunikasikan apa yang ditanya atau memberitahu yang terjadi atau yang akan terjadi.

Sakit hati kepada laki-laki pembawa Sumini membuat Ilyas kalap. Meminta mantra yang mujarab. Ajaib. Tak bisa disembuhkan. Teluh. Segera mengirimnya. Rambut dan pakaian Sumini yang tertinggal dijadikan alat. Meminang beberapa penyakit dan menjatuhkannya tepat pada laki-laki yang membuatnya kehilangan istri.
***

Kucuran deras air matanya membuat ngeri presiden manca negara dan penerjemahnya. Tak mengetahui atau berani menanyakannya pada Ilyas. Hanya menunggu apa yang akan diucapkannya. Perasaan was-was terus menggelayut di setiap aliran darah. Membuat mereka terus berpikir tak karuan.

Ilyas tak pernah menyangka. Teluh yang dikirimkan pada laki-laki pembawa Sumini sangat manjur hingga membuatnya meninggal. Namun kesetian macam apa yang dilakukan Sumini. Mengapa ia ikut mati bersama laki-laki itu. Padahal ia tak pernah menunjukkan kesetiaan semacam itu kepadanya. Mungkin kalau ia mau kembali pada Ilyas, akan menjadi perempuan dengan gelimang harta. Tak seperti dulu. Ia semakin tak mengerti akan apa yang diinginkan Sumini. Air matanya terus mengucur. Apa mungkin suara yang didengarnya mulai bohong kepadanya. Namun Ilyas tahu, suara itu tak sekalipun pernah berbohong.

“Pak presiden, maafkan saya! Istri saya meninggal dunia di sana bersama laki-laki yang membawanya kabur. Saya baru saja diberitahu.”

“Oleh siapa Mbah?” suara penerjemah menyambung lidah majikannya menyahuti pernyataan Ilyas.

“Suara yang selau mengikuti saya. Suara yang selau memberi tahu masa depan. Suara yang menjadikan saya paranormal. Suara yang menjadikan saya sukses dan terkenal sampai saat ini.”

“Jadi, suara itu yang menjadikan Mbah seorang paranormal. Karena Mbah percaya dengan suara itu?”

“Bagaimana saya harus menghindar. Kalau ada tempat yang bisa membebaskan saya dari suara itu tentu saya akan ke sana dan akan hidup di sana. Saya tahu hanya kematian pintunya. Itu pun saya diberitahu suara itu.”

Rasa tak percaya semakin membingungkan presiden dan penerjemahnya. Tak tahu apa yang sebenarnnya yang terjadi. Tak tahu pula mengapa parnormal seterkenal Ilyas membuka rahasianya. Sekilas tebersit dalam benak yang mulai ragu. Mungkinkah paranormal, dukun, yang terkenal sampai manca negara merupakan orang gila. Namun bagaimana orang-orang bisa yakin dan mempercayainya. Bagaimana mungkin setiap perkataannya menjadi kenyataan?

“Bagaimana dengan pertanyaan kami tadi Mbah? Apa sudah ada jawaban? Berapa lama lagi kami harus menunggu?”

Ilyas hanya diam. Seakan ditepisnya perkataan orang nomor satu di negerinya. Hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Air matanya tak bisa berhenti. Mulutnya terus berkomat-kamit. Tangannya terus saja membakar kemenyan. Menjaga wangi yang memang sudah tercipta. Diambilnya setangkup kembang yang sudah tersedia. Dimasukkan dalam bara kemenyan yang mengepul. Seakan meleleh dan menghilang.

“Semoga kau menerimanya, Dik!” ucap Ilyas dengan nada pilu bercampur haru.

Ditatapnya dua orang yang berada tepat di depannya. Belum juga berkutik. Bertahan meminta jawaban. Tak dilepaskan tikaman matanya pada dua orang itu. Mereka terdiam. Saling memandang. Tak juga bergerak. Kecuali degup jantung dan hembusan nafas pelan. Semakin terbawa penasaran yang makin menjadi-jadi.

“Tolong kau katakan pada majikanmu, kalau pertanyaannya tak bisa kujawab sekarang. Mungkin juga nanti, tidak. Saya tak bisa meramal diri sendiri. Katakan juga kalau saya akan berhenti menjadi paranormal dan hidup sewajarnya. Kalau nanti suara itu terus datang, lebih baik saya akan masuk rumah sakit jiwa. Saya sudah gila.”

Diam menyentak. Tak ada tutur yang lebih berarti selain merenung. Ilyas memejamkan mata. Kedua orang yang ada di hadapannya hanya menyiratkan kebingungan dan penasaran yang dalam. Tak ada senyum. Bahkan pandangan Ilyas tak mengantar mereka keluar dari pintu.

Air mata yang sudah lama tak keluar kembali menetes. Mengucur deras. Retasan penyesalan kembali merangsek dalam jajaran gelap pandang. Bayang-bayang kenangan datang. Mendesak dan meracau. Mengumpat di sela-sela kebimbangan.

Sepi dirasa. Tawa sudah sirna. Harapan takkan pernah membuka kesempatan lagi. Hidup takkan ada sinar dengan kemewahan yang didapat. Tambatan hati untuk berbagi takkan pernah kembali. Salah diri. Ilyas hanya memaki.

“Tenanglah Ilyas. Relakan Sumini pergi. Kau bisa mendapatkan banyak perempuan yang kau mau dengan kemewahanmu,” suara tiba-tiba memunculkan diri tanpa ada panggilan dari Ilyas.

“Tak usah kau menghiburku. Aku bukan anak kecil yang mudah kau rayu. Aku tak menginginkan perempuan lain lagi selain Sumini. Itu mengapa aku kirimkan teluh kepada suaminya yang baru. Aku berharap Sumini akan kembali lagi padaku. Bukan seperti ini. Kau tak pernah mengatakan kalau akibat teluh yang kukirimkan bisa menyebabkan Sumini bunuh diri,” Ilyas menampakkan kemarahan.

“Jangan kau salahkan aku! Kau sendiri tak bertanya padaku. Aku takkan memberi tahu. Sesuai perjanjian. Kau bertanya, aku menjawab.”

“Bangsat kau! Pergi saja dariku. Aku sudah muak mendengar ocehanmu.”

Ilyas kembali meratap. Tak menemukan diri lagi ketika kuasa suara terus saja membuntuti. Sumini telah berpulang. Kesetiaan yang sungguh luar biasa. Ilyas ingin melakukan kesetiaan yang sama kepada Sumini. Ilyas ingin berpulang.

Lamongan, 11 Juli 2006

Selasa, 12 Agustus 2008

Puisi-Puisi Kirana Kejora

CINTA DUNGU

Kau kini jadi matahari
Dan aku ikhlas menjadi embun

Ketika ku ingin menjamahmu
Saat kau terbit
Aku harus meluruh

Karena garisku sebagai embun
Hanya bisa merasakan hangatmu
Mengintipmu dari batang perdu rerumputan
Yang segera membhumikanku
Akhirnya
Aku hanya bisa menikmatimu dari celah bhumi
Padahal
Perlu kau tahu
Deburan rasaku
Adalah sebuah cinta yang sungguh
Meski tersebut
Hanya sebuah cinta yang dungu!

---
Bhumi apartemen permata ex. 210608



KAMU TAK SENTUH AKU

Ku penuhi janjiku padamu
Hanya keterpaguan yang keluar dari bibirku
Ketika kau lontarkan kalimatmu
Itu membuatku terpagut
Makin membuat kalut
Hatiku berkabut

Segera kuhapus bayanganmu yang melekat
Yang memaskeri wajahku begitu pekat
Makin luruh menuruni hatiku yang terpikat
Memita jantungku begitu erat

Ternyata
Keberadaanmu begitu kuat
Sesadarnya aku merasa tak terjerat
Aku merasa tak terikat

Hingga
Tak ada beban berat
Karena
Ternyata
Kau tak sentuh aku
Tepatnya ragaku
Meski jiwaku
Sebenarnya telah kau sentuh
Kuat!
Erat!
Ikat!
Dengan kedinginanmu sebagai elang kutub!

---
Kamarku, Permata Ex. 210608



NIRWANA CINTA SELAMANYA

Perempuan itu menyipukan malunya dengan senyum
Dan berkata kepada kekasihnya
”Lelaki adalah elang, pantang baginya buat mundur!
Inginku, jadilah engkau elang yang bukan pemangsa
Namun elang sang dewa angin
Yang siap meminangku sang dewi bhumi”

Kemudian sang lelaki menjawab
Begini,
”Perempuan adalah eidelweis, pantang baginya menangis
Tegar kelopakmu yang tetap menyimpan kelembutan
adalah lambang keabadian abdimu kepadaku”

Setelah mantra hati mereka termantap
Dalam sebuah kitab
Perempuan dan lelaki itu menikah

Abadilah cinta kita, tersimpan selamanya
Dalam hati DIA Sang Pemilik Abadi
Begitu,
Kalimat surga perempuan dan lelaki itu di atas pelaminannya

---
Bhumi Menteng Dalam, 200308

Senin, 11 Agustus 2008

Puisi-Puisi Mashuri

http://mashurii.blogspot.com
Asbak

di asbak, peluru masih saja mengepulkan asap
aku ingat lisong yang baru dihisap
kau memungutnya satu dan kau pasang di jantungmu
aku pun bertanya: “kenapa kau pasang bom waktu”
tapi senyummu bagai malaikat yang baru terbangun
dari tidur panjang; membuatku bebal dan kikir
untuk merapal tafsir
“aku hanya asbak,” jawabmu. “muasal jejak
tapi aku ingin kalis dari arang, dari pembakaran”
kini, aku yang tersenyum
diam-diam aku pasang peluru itu di mataku, di hatiku
juga di seisi kepalaku
aku pun berbisik kepadamu: ‘maaf, serdadu, kita
telah salah sangka; ini hanya pena
bukan peluru, dan asbak itu adalah sabak
tempat kita parkir sejenak, lalu melupa pada jejak”

Surabaya, 2007



Giri

di malam likuran, di dekat gapura, di ujung tangga berpuluh
di dekat penjual gambar, foto, ayat-ayat, di dekat lampu neon
10 watt, di dekat orang-orang bersamalam, makan, berjabat untuk
saling mengingat, di dekat para santri yang ngaji, di dekat pengemis
yang mengais-ngais hati peziarah, di atas tanah, di dekat arca angsa-naga,
di dekat nisan-nisan tua, di dekat masjid tua, di dekat mihrab, di tengah
ratap, di ujung gelap, di antara papan peringatan: jangan memotret, di dekat
tulisan Sunan Giri, Sunan Giri I, Sunan Giri III, di samping luka
yang menganga di tubuh waktu; sejarah mulai lupa, ada tanggal yang tanggal
dari almanak; dadal; tapi ada yang menghitung 21, 23, 25, 27, 29, tapi
angka-angka itu bukan tahun-tahun suram, bukan bukti pembantaian
itu sebuah malam lain; di malam likuran, di dekat gapura, di ujung tangga….

Surabaya, 2007

* Malam likuran: 10 malam terakhir dalam bulan Ramadan



Tongseng

obat hati yang kau tawarkan kepadaku adalah bir
dengan gambar yang selalu kutuju: perempuan
tapi perempuan itu tak kunjung telanjang
meski sejak 17 tahun, aku memelotinya dengan
segenap pandangku; kini, di usiaku yang ke-41
perempuan itu masih saja mengenakan pakaian
malah aku yang sering telanjang begitu menenggak
isi botolnya: ah, dasar keparat juga
bir cap perempuan ini; aku selalu bergelap
untuk menguji nyali tentang kesabaran
dan kepastian menunggu; aku pun sering mengigau
“hai perempuan di gambar, jika kamu tak kunjung
melepas pakaian, bagaimana bisa aku mengupas
tubuhmu
jangan biarkan aku menunggu, dengan mengompas
anak-anak di gang, agar aku bisa mereguk dan memeloti
tubuhmu yang selalu saja utuh”
dan obat hati yang kau tawarkan kepadaku membuat
hatiku semakin tak tentu; patah hatiku semakin parah
dan dalam kurun 17-41 tahun, aku hanya menemukan
diriku bergumul dengan ingatan-ingatan retak
pada perempuanku yang luka dan sengak
pada dadaku yang koyak
juga pada rinduku yang boyak
dan ingin kembali ke rahim bunda
: “O, bunda, masihkah rahimmu bisa menerimaku
aku kini telanjang dan ingin kembali kepadamu”
sungguh, obat hati yang kau tawarkan kepadaku
selalu membuatku selalu seperti kanak-kanak
: kencing di jalan, di got, ambruk di lorong-lorong gelap
menuju rumah, menuju kepulanganku yang indah

Surabaya, 2007

Sabtu, 09 Agustus 2008

Sastra, Olahraga, dan Penghargaan

Beni Setia*

SEBAGAI orang yang pernah mendapatkan Anugerah Seniman Jawa Timur dan sekaligus bekerja di dua ranah kesusastraan, Indonesia dan (etnik) Sunda, rasanya saya cukup pantas untuk menanggapi tulisan terkarib, Bonari Nabonenar --lihat ''Menyoal Sastra Satu Kamar'' (JP, 27/7/08). Sebuah tulisan yang menandaskan bahwa kesejahteraan para pekerja sastra di ranah (bahasa) Indonesia lebih tinggi dari pekerja sastra di ranah (bahasa) Jawa. Benarkah begitu?

Belum lama ini saya menerima e-mail dari kawan yang kebetulan bekerja sebagai redaktur di sebuah harian di luar Jawa, yang mengatakan korannya menyediakan tiga halaman untuk karya sastra dan seni-budaya, tapi tak seperti koran-koran di Jawa yang menyediakan honor lumayan, korannya cuma mampu menyediakan honor Rp 50.000 untuk puisi, cerpen atau esei dan artikel termuat --meski berkali-kali dia minta agar ada peningkatan honor. Sebuah permintaan maaf agak nJawani.

Tapi, apa kita menulis untuk honor semata? Ada kalanya kita ingin berpendapat dan butuh orang yang mau mendengar pendapat kita, lalu berbagi pendapat dalam diskusi terbuka di media massa atau yang terselubung via e-mail atau HP. Ada hal-hal mendesak yang harus dikatakan dan butuh tempat untuk berkata. Persis seperti petani gunung yang berjalan ke sana-kemari sambil membawa timba dan gentong untuk mencari sumur dan air. Sekaligus kita terkadang menulis karena terlalu banyak membaca --dan bacaan tak pernah ada putusnya di internet-- dan karena itu banyak kawan yang lalu memilih membuat blog pribadi agar senantiasa bisa menampung unek-unek dan ada yang membacanya.

Keterikatan pada budaya dan bahasa daerah yang mendorong seseorang menulis dalam bahasa ibu dengan intensitas yang sama dengan saat menulis dalam bahasa Indonesia --kadang malah lebih tinggi. Hal yang nilainya bukan pada ukuran besar-kecilnya honorarium yang diterima, tapi pada aura kepuasan bat�n mampu dan masih bisa menggunakan bahasa ibu. Persis seperti yang dirasakan ketika saya menulis sekian sajak Sunda, dimuat, dan mendapatkan honor Rp 15.000 --padahal bila saya tulis dalam bahasa Indonesia bisa dihargai 10�-20 kali lipat. Celakanya, sajak yang selesai tertulis dalam bahasa Sunda tak pernah bisa diterjemahkan, tanpa merusak otentisitas, ke bahasa Indonesia --karena itu bermakna menulis sajak baru.

Lantas apa arti sebuah cerpen dibayar Rp 1.000.000 bila itu ternyata hanya karena terbit di koran A di Jawa dan bukan koran B di luar Jawa yang cuma bisa membayar Rp 50.000. Saya pikir besaran honor tak menceritakan apa-apa, hanya menceritakan kalau koran A, Z, atau Q di Jawa itu sudah sangat mapan dan karenanya mau menghargai karya sastra sesuai margin keuntungannya yang tinggi; dan koran B, W, dan E di luar Jawa ingin melakukan hal yang sama tapi mereka tak punya margin laba yang besar.

Besaran honor tidak identik dengan kualitas karya, pengabdian sastrawan di zona kering dan seterusnya, tapi berkaitan langsung dengan kapitalisasi industri pers. Koran yang sukses secara finansial, yang berpangkal pada besaran kue iklan yang didapat, bisa menghargai karya sastra. Apa ini tak berkaitan dengan snobisme konglomerat sukses macam Rockefeller atau Ford?

Karena itu, soal apakah Anugerah Seniman Jawa Timur akan diteruskan atau tidak, sesungguhynya tak berkaitan dengan siapa yang akan menjadi gubernur pengganti Imam Utomo. Tapi, berhubungan dengan birokrasi yang mengatur agar pos anggaran untuk penghargaan seniman itu tetap tersedia di RAPBD Jawa Timur nanti. Hal itu sekaligus menunjukkan bagaimana para wakil rakyat mau memikirkan kesejahteraan seniman Jawa Timur sehingga berani meloloskan pos anggaran itu pada APBD 2009 tanpa dirangsang dengan uang pansus, panmus, atau gratifikasi.

Akan menarik kalau Pemprov Jawa Timur mau menenggok ke Pemprov Jawa Barat yang berani membuat terobosan dengan menyediakan dana miliaran untuk membeli buku-buku sastra berbahasa Indonesia maupun Sunda untuk melengkapi koleksi perpustakaan-perpustaan di Jawa Barat. Motivasi yang bisa mendinamisasi industri buku (sastra) di Jawa Timur.

Meski terlambat --Jawa Barat baru tiga tahun terakhir memberi anugerah seniman model Jawa Timur-- berani melakukan terobosan yang lebih radikal dan dahsyat. Dan, itu terlihat signifikan dalam lonjakan penerbitan buku sastra berbahasa Indonesia dan Sunda pada 2008. Bersediakah para birokrat Jawa Timur membuat anggaran untuk itu? Beranikah para wakil rakyat membuat terobosan yang tidak populer tapi akan besar artinya bagi dunia sastra di Jatim dengan memasukkan anggaran penghargaan kepada para seniman dalam APBD 2009 nanti?

Pada dasarnya Anugerah Seniman Jawa Timur tak menekankan kualitas karya tapi lebih menggarisbawahi pada daya tahan dan kapasitas kesenimanan seseorang. Tak heran kalau seniman yang bergerak dengan semangat idealistik dan di bidang seni minoritas bisa bersanding dengan seniman pop-hiburan yang berkesenian untuk menyenangkan banyak orang. Seniman wayang klitik berbaur dan dianggap setaraf dengan seniman gambus; pematung yang kering berbaur dengan pelukis populer yang selalu sold out pada setiap pamerannya; pekerja teater berdampingan dengan seniman seni pertunjukan yang berbasis ritual macam reog Ponorogo; dan seterusnya. Tak heran bila kesenimanan seseorang terkadang dikaitkan dengan kemauan untuk membangkitan motivasi kreatif kepada para seniman yang sebenarnya. Dahlan Iskan, meski dibiaskan, mendapat penghargaan dalam level seniman, tapi bukan dari kualitas karya dan intensitas saat berkarya yang total, melainkan dari komitmennya dalam menggerakkan tangan-tangan kreatif para seniman daerah ini.

Lucu juga sebenarnya. Tapi lebih lucu lagi saat dibandingkan dengan para atlet yang dihargai Pemprov Jawa Timur bukan berdasarkan keatletannya tapi dari berapa banyak ia mampu merebut medali emas di PON. Seperti pada PON XVII/2008 Kalimantan Timur kemarin. Ada seorang atlet yang mendapatkan bonus lebih dari Rp 600.000.000 (ENAM RATUS JUTA RUPIAH!). Sebuah ''penghargaan'' yang setara dengan 5 tahun Anugerah Seniman Jawa Timur (yang diberikan kepada 10 seniman terpilih).

Lucu ya! Tapi ars longa vita brevis, karena sampai kini orang masih menyenandungkan tembang Tombo Ati dan memainkan lakon pakem atau sempalan pakem epos Mahabarata. Tak seorang pun yang ingat pada prajurit yang berlari ke Roma untuk mengabarkan kemenangan dalam perang. Dan, kita mengingat William Tell bukan karena jago memanah apel di kepala anaknya, sebagai tantangan pada otoritarian penguasa, tapi karena ia berani melawan kesewenangan aristokrasi dari si feodal. Memang!***

Jawa Pos, 10 Agustus 2008
*)Pengarang bukan sastrawan, tinggal di Caruban.

Selasa, 05 Agustus 2008

DI UJUNG WAKTU

Mala M.S

“Anggi jangan lupa obatnya diminum” Itulah kata-kata yang selalu diucapkan oleh Mama selama dua bulan terakhir ini, setiap aku bertanya kenapa kau harus minum obat; Mama selalu menjawab “Kamu kan sering pusing makanya mama nyuruh kamu minum obat itu biar kamu nggak pusing.” Jawaban yang sama sekali tidak membuatku puas. Dan tiap kali aku bertanya ke Papa; Papa hanya diam seribu bahasa, tapi seketika rasa penasaranku terhadap obat-obat itu hilang dikala aku bersama Rendy. Bila berada di dekatnya aku merasa tenang. Rendy adalah cowokku.

Aku sudah menjalin hubungan dengan Rendy selama tujuh bulan. Kami saling terbuka. Tak ada satupun masalah yang aku sembunyikan pada Rendy termasuk soal obat itu. Sebaliknya, Rendy juga demikian. Rendy sangat khawatir dengan keadaanku. Dia menyarankanku pergi ke Dokter Iwan. Dokter Iwan adalah dokter yang memberikan resep obat yang aku minum selama dua bulan terakhir ini. Pernah sekali aku bermaksud menanyakan penyakitku. Tapi dr. Iwan selalu menjawab “Adek tidak kenapa-napa apa, obat itu hanya sebagai penghilang rasa pusing.” Jawaban itu membuatku sedikit lega tapi belum sepenuhnya tenang. Seperti ada yang beliau sembunyikan dari aku.
***

Dua minggu kemudian.
“Bi, Mama sudah pulang belum?” tanyaku pada Bibi.
“Sudah Non, mungkin sekarang Nyonya lagi istirahat di kamar”
Aku kemudian pergi ke Kamar Mama.
“Ma, ke mall yuk! Anggi kan pengen beli baju baru.”
“Iya. Ini juga Mama baru mau mandi. Kamu tunggu aja bentar!”
Aku lihat meja Mama berantakan.“Meja Mama Anggi rapiin ya?!”
“Boleh”

Akupun menghampiri meja yang berantakan itu, sementara Mama beranjak ke kamar mandi. Satu persatu buku juga majalah aku rapikan. Tiba-tiba dalam majalah yang ada di tanganku; secarik kertas terjatuh tanpa sengaja. Ketika aku mengambil secarik kertas itu dan iseng membacanya ternyata surat itu dari Rumah Sakit yang ditandatangani oleh dr. Iwan yang menyatakan kalau aku mengidap penyakit leukimia dan umurku hanya tinggal enam bulan lagi.
“Anggi!!” teriak Mama.

Mama yang baru selesai mandi langsung menghampiriku.
“Ma… apa ini bener Ma?” ucapku tak kuasa menahan tangis sambil menunjukkan surat itu.
“Anggi, maafin Mama Nak!” kata Mama sambil matanya berkaca-kaca dan memelukku erat sekali seakan-akan Mama tidak mau kehilangan aku.
“Kenapa Mama merahasiakan semua ini pada Anggi Ma?!” aku melepas pelukan Mama.
“Kenapa Ma? kenapa?”
“Mama, Papa dan Dokter sengaja merahasiakan ini semua; karena kita tidak ingin melihat kamu bersedih sayang.”
Aku tertunduk dan air mataku terus mengalir.

Setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk pergi ke Surabaya. Aku pergi tanpa memberitahu Rendy. Aku juga melarang Papa dan Mama untuk memberitahukan keberadaanku pada siapapun termasuk Rendy.

Tidak terasa aku sudah di Surabaya selama tiga bulan. Pagi ini Mama datang ke Surabaya untuk melihat keadaanku. Mama di Surabaya tidak lama, hanya satu jam. Sebelum pulang Mama memberikan secarik surat kepadaku. Setelah Mama pulang, aku membaca surat itu dengan hati tergetar.

Teruntuk
Kekasihku Anggi

aku nggak tahu kenapa kau pergi meninggalkanku
aku juga nggak tahu kemana kau pergi
aku selalu mencoba menghubungimu, mencarimu,
bahkan aku juga menanyakan pada orang tuamu
tapi semua sia-sia
namun aku tetaplah aku
meskipun kau jauh, aku selalu mencintaimu

Anggi…
“bila aku harus mencintai
dan berbagi hati itu hanya denganmu
namun bila ku harus tanpamu
akan tetap ku arungi hidup tanpa bercinta1”
sebait lagu itu telah mewakili hatiku.

Anggi…
i hope our love will last forever.

yang selalu mencintaimu
Rendy

Tanpa terasa, air mataku sudah sampai di pipi. Aku tak kuasa membaca surat dari Rendy. Dia begitu mencintaiku. Ingin rasanya aku memberitahukan semuanya pada Rendy tapi aku tak ingin melihat dia bersdih karena mengetahui keadaanku yang sebenarnya. ‘Rendy, maafkan aku. Andai saja kau tau keadaanku, kau pasti akan ikut bersedih’ ucapku dalam hati.
***

Lima bulan sudah aku berada di Surabaya. Itu berarti umurku hanya tinggal satu bulan. Aku kemudian memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Aku ingin sekali menemui Rendy. Tapi aku merasa belum siap bertemu dengannya. Akupun menelfon sahabat karib Gita.
“Hallo” terdengar suara Gita.
“Git, ini aku Anggi”
“Anngi, kamu sudah kembali?”
“Iya, aku sudah kembali. Kamu sekarang ke rumahku ya?!”
“Iya, aku akan datang ke rumahmu”

Beberapa menit kemudian, Gita sampai di rumahku dan aku mengajaknya pergi ke taman dekat lapangan basket.
“Nggi, selama ini kamu kemana aja. Sejak kepergianmu, Rendy sering melamun. Dia sangat terpukul atas keperginmu.”
“Aku pergi ke rumah saudaraku di Surabaya untuk menenangkan diri”
“Menenangkan diri?”
“Iya karena aku mempunayai masalah yang sangat berat”
“Masalah, Masalah apa? kenapa kamu nggak pernah cerita ke aku?”

Ketika aku hendak menceritakan semuanya pada Gita, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara cowok memanggilku. Dan akupun menoleh.
“Rendy!” ucapku kaget. Ternyata Rendy sudah berdiri di belakangku. Akupun kemudian berdiri dan bermaksud untuk pergi. Namun seketika langkahku terhenti karena Gita memegang tanganku.
“Lepasin Git! Biarkan aku pergi” Pintaku seraya mencoba melepaskan tanganku dari tangan Gita.
“Please Nggi, kamu jangan pergi! kasihan Rendy.”

Akupun kembali duduk.
“Anggi maafkan aku. Akulah yang memberitahu Rendy kalau kamu sudah kembali ke Jakarta. Aku melakukan ini semua karena aku kasihan sama Rendy. Sebaiknya kalian selesein masalah kalian berdua. Aku permisi.” Gita pun pergi meninggalkan aku dan Rendy.

“Nggi, kenapa selama ini kamu pergi meninggalkan aku? Dan kenapa kamu nggak pernah ngasih kabar ke aku?” tanya Rendy yang sekarang berdiri tepat di belakangku. Namun aku tidak bisa berbuat banyak hanya diam dan menangis.
“Anggi, jawab donk! aku butuh penjelasan.”

Dengan pipi penuh air mata, aku mencoba untuk bicara.
“Please Ren, tinggalin aku!”
“Enggak Nggi, aku nggak akan ninggalin kamu.” Ucap Rendy tulus.
“Ren, aku nggak pantes buat kamu. Di luar sana masih banyak cewek yang lebih bisa kamu harapkan dari pada aku.”
“Jangan bicara seperti itu Nggi”
“Tidak Ren, aku hanya akan mengecewakanmu.”

Dengan berlinangan air mata aku berlari meninggalkan Rendy.
“Anggi, tunggu! aku sangat menyayangimu.” Teriak Rendy. Namun aku tak menghiraukannya sama sekali.

Setelah kejadian itu, Rendy berkali kali datang ke rumahku. Namun sekalipun aku tak pernah mau menemuinya. Dan tiap dia menelfonku. Aku pun tak pernah mengangkatnya.
***

“Anggi” Panggil mama.
“Iya Ma”
“Jadi ikut Mama ke super market nggak?”
“Iya Ma, tunggu bentar!” Akupun keluar kamar dan turun.
“Ayo Ma, kita berangkat.” ajakku

Baru sampai di depan pintu tiba-tiba aku pingsan. Mama lalu membawaku ke Rumah Sakit. Keadaanku sangat kritis. Setelah beberapa hari aku terbaring lemah di kamar ICU bertahan melewati masa kritis, aku pun sadar. Kulihat di sampingku ada kedua orang tuaku.

“Ma….” Ucapku tersendat-sendat.
“Sayang, kamu sudah sadar.” Sahut Mama dan Papa bahagia. Aku berusaha bicara meskipun terputus-putus.
“Ma… Pa… maa..fin Anggi. Tolong berikan surat ini pada Rendy.” Aku berusaha berkata sambil memberikan surat pada Mama.
“Laa… illaa… ha.. illa… llah….” Setelah itu aku merasakan tubuhku begitu hampa dan pandanaganku begitu gelap dan aku pun tak sanggup untuk tidak menutup mata dalam diam. Mengikhlaskan segalanya di ujung waktu nan abadi.
***

Untuk Kekasihku,
Rendy

Ren, ketika kau membaca surat ini
mungkin aku telah tiada
kita telah terpisah ruang dan waktu
Tuhan telah menata taqdir setiap hambahNya
aku harap kau tak merasa kehilangan atas kepergianku
dan aku berdoa semoga kau mendapat pendamping hidup
yang lebih baik dariku
yang setia mencintaimu sampai ajal menjemputmu

Yang slalu menyayangimu
Anggi

Setelah membaca surat dari Anggi, Rendy terdiam merenungi semuanya.“adakah selamanya cinta berakhir dengan kepedihan.” Dan Rendy pun berdoa dalam derai air mata yang terburai oleh duka yang sangat dalam.**

Lamongan, 2008

*)Salah satu lirik dalam lagu dari Band ElEmEn

UTLAH

Ahsanu Nadia

Liburan tahun lalu, Rahmadina ikut ayahnya pergi ke bank. Di sana Rahmadina melihat banyak orang. Ayahnya berada di barisan loket tabungan. Di barisan loket tabungan ada yang mengambil uang ada pula yang menyimpan uang. Di loket yang lain, orang-orang juga sedang antre menunggu giliran.

Ada juga beberapa petugas bank yang duduk di luar barisan, mereka melayani orang-orang yang bertanya mengenai cara-cara menabung atau hal-hal lain. Rahmadina juga bertanya kepada petugas bank tentang cara-cara transaksi yang lain di bank. Diusianya yang masih belia Dina memang menjelma sebagai anak yang cerdas.

Rahmadina mununggu ayahnya dengan hati yang sabar di ruang tunggu, ruang yang memang sengaja disiapkan oleh pengelolah bank untuk para nasabah. Sambil menunggu ayahnya, Rahmadina mengamati setiap orang yang masuk silih berganti. Rahmadina melihat beberapa orang yang masuk ke bank melewati pintu masuk, dan segera menuju ke loket yang dituju. Adapula yang masih menunggu giliran sambil mengecek barang dan uang yang dibawa, ada pula yang menunggu sambil bercakap-cakap dengan teman atau petugas. Sekedar untuk mengisi waktu.

Tiba tiba Rahmadina melihat seorang gadis kecil seusianya masuk bersama seorang wanita. Rahmadina tersenyum kepadanya. Gadis tersebut membalas senyum Dina kemudian berbisik kepada wanita tadi. Gadis itu menghampiri Dina. Mereka berkenalan lalu bercakap-cakap seru.

Mereka menunggu dengan sabar. Pembicaraan mereka terus berlanjut. Dina betah sekali berlama lama bersamanya. Para petugas yang ada di loket, melayani para pengunjung dengan ramah. Beberapa waktu kemudian, ayah Rahmadina mengajak Rahmadina pulang. Rahmadina dan ayahnya pulang dengan perasaan gembira.
***

Pada hari yang lain, Rahmadina bersama keluarganya berlibur mengunjungi rumah kakek dan neneknya di desa. Mereka mengendarai mobil yang disetir ayah Rahmadina sendiri. Sepanjang perjalanan, Rahmadina menikmati pemandangan yang begitu indah. Rahmadina tak bosan-bosannya melihat pemandangan lewat kaca jendela mobil.

"Subhanallah! Yah, Ayah rasakan deh, udara di sini sejuk banget. Ditambah dengat hamparan padi yang menguning. Subhanallah, menakjubkan sekali!" ayah Rahmadina hanya tersenyum kecil melihat glagat anak manisnya.
"Ah andai saja di kota banyak di tumbuhi pohon dan tanaman, pasti seru. Kalau saja di dunia ini diadakan hari tanpa polusi udara; bisa nggak ya?!" Rahmadina bertanya pada dirinya sendiri.

Rahmadina tak henti-hentinya mengucapkan kalimat thoyyibah.
Sesampainya di rumah Kakek dan Nenek, Rahmadina langsung turun dari mobil dan melesat kepelukan Kakek dan Neneknya kemudian mencium tangan dan kembali memeluknya manja. Rahmadina memang sudah kangen sekali dengan mereka, hampir setahun lamanya tidak bersua, makanya ketika ada kesempatan berlibur maka kesempatan itu tidak disia-siakannya untuk mengunjungi Kakek dan Nenek yang sangat mereka sayangi itu.

Setelah puas kangen-kangenan Rahmadina, Ayah dan Ibunya lantas menikmati makanan ringan yang dibuat oleh sang Nenek yang memang sudah disiap-siapkan sejak mereka mengabari akan berkunjung ke rumah. Karena perjalanan yang lumayan jauh Rahmadina beristirahat sebentar, sekedar untuk melepas penat. Setelah itu, Rahmadina akan ikut Kakeknya pergi ke ladang; karena ingin melihat langsung bagaimana cara menanam biji jagung yang baik biar tumbuh dan bisa dipanen hasilnya. Diam-diam Rahmadina tertarik juga untuk ikut membantu Kakeknya menanam biji jagung di ladang yang gembur.
***

Beberapa hari kemudian, tanaman jagung yang ditanam sendiri oleh Rahmadina sudah tumbuh subur, tapi Rahmadina harus pulang karena masa liburannya telah habis dan harus masuk sekolah lagi, dan sebelum Rahmadina pulang, Rahmadina menitipkan pesan kepada Kakeknya agar merawat dan menjaga baik-baik tanaman jagung yang ditanamnya. Dengan sedikit bercanda kepada Kakeknya “Kek, nanti kalau jagungnya sudah dipanen Dina dikirimi ya, Kan Dina yang tanam!?” kontan semua yang mendengar tertawa dengan hati yang riang.
***

Keesokan harinya, Rahmadina dan keluarga berpemitan untuk kembali pulang. Dalam perjalanan Dina selalu teringat tanaman jagung miliknya. Bahkan bayangan itu pun terbawa sampai di rumah.

Tiga bulan kemudian, Rahmadina mengirim surat kepada Kakeknya. Yang isinya menanyakan tentang tanaman jagung miliknya. Sebulan kemudian Rahmadina mendapat surat balasan dari Kakek. Lantas Kakek pun menceritakan dalam surat balasannya bahwa jagung Rahmadina sudah dipanen dan dijual di pasar, sebagian disisihkan untuk kebutuhan di rumah dan untuk dikirim ke Rahmadina. Rahmadina sangat senang mendengar berita tentang tanaman jagungnya itu.

Di rumah, Rahmadina punya ide untuk menanam tanaman di pekarangan sekitar rumah. Selain untuk menambah keindahan rumah, menanam tanaman juga bisa membuat udara menjadi segar. Mula-mula Rahmadina menanam tanaman hias, lalu ia menenam buah-buahan di depan rumah. Ia juga menanam tanaman obat-obatan. Ia senang karena meskipun ia tinggal di kota, ia dapat menanam bunga dan tanaman-tanamannya tumbuh dengan subur dan memanjakan mata.

Ayah dan ibunya bangga sekali karena selama liburan ini Rahmadina mendapat beberapa pelajaran yang begitu berharga. Kini, ia sudah mengerti cara-cara menabung di bank. Ia juga sudah mengerti cara-cara menanam serta merawat tanaman dengan baik agar tumbuh dengan subur. Bahkan secara tidak langsung Dina juga telah berperan aktif untuk turut menyukseskan program menanam sejuta pohon yang sedang digalakkan oleh pemerintah untuk menanggulangi dampak global warming. Seandainya saja banyak anak-anak yang berpikiran seperti Rahmadina.

Sekarang setiap pagi dan sore hari, Rahmadina sekeluarga dapat menikmati indahnya kicau burung-burung di pekarangan rumahnya yang menambah ceria suasana hari.**

Lamongan, 2008

KEJUTAN BUAT MAMA

Aini Aviena Violeta

Foto hitam putih itu aku temukan ketika sedang asyik membersihkan kamar Mama. Gambarnya masih lumayan jelas. Di foto itu kulihat Mama sedang menggendongku ketika aku masih bayi dengan penuh kasih sayang. Tak terasa air mataku meleleh di pipi. Aku rindu kasih sayang itu.

“Tok… tok… tok…” Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Aku pun langsung menuju pintu depan rumahku. Ku buka pintu perlahan. Ternyata Mama berdiri bersama adik. Mereka baru datang dari rumah nenek.

“Risty, kamu tadi kemana aja? Dari tadi Mama nunggu di sini, kamu belum nongol-nongol. Kan kasihan adik kepanasan” Mama mulai ngomel-ngomel.

“Uuuh… Kenapa sih adik terus yang dipikirin? Mama ga’ tahu apa, aku ini capek. Aku kan baru selesai bersih-bersih rumah. Aku kira Mama akan senang ngeliat aku mau bersih-bersih. Tapi ternyata itu jauh di luar dugaanku” Aku segera berlari menju kamar dan menutup pintu dengan sekeras mungkin. Aku memandangi foto Mama yang terpampang di sudut kamarku,M ama terlihat seperti bidadari. Tapi kenapa, di hari ibu ini Mama tidak lagi memberikan senyum indahnya? Mama tak lagi seperti dulu… semua ini gara-gara adik! Kenapa dulu aku mendambakan seorang adik? Kini Mama menjadi lebih sayang kepada adik daripada aku.

“Nina bobo oh nina bobo.” Aku mengintip Mama lewat lubang-lubang ventilasi kamarku. Mama membelai adik dengan penuh kasih sayang.

“Tidurlah tidur anakku sayang.” Terdengar lagi suara Mama yang merdu. Dulu, Mama menyanyikan lagu itu untukku. Tapi sekarang aku benar-benar telah kehilangan kasih sayang. Kasih sayang itu sekarang telah beralih ke adikku. Aku sangat sedih. Apa jangan-jangan aku anak tiri? Pikirku dalam hati.

“Mama jahat…!” Aku berteriak sekeras mungkin. Air mataku diam-diam telah menetes. Tapi, cepat-cepat ku seka air mataku.

“Risty, kenapa kamu teriak-teriak? Kamu sengaja membuat adik kamu bangun?” aku menoleh ke arah Mama yang berdiri tepat dibelakangku. Aku hanya bisa diam dan langsung ngelonyor pergi ke rumah Erra tetanggaku. Pasti air mataku tadi sudah menetes kalau aku tidak cepat-cepat pergi. Aku membuka kamar Erra tanpa permisi.

“Risty, kamu itu ngagetin aku aja sih! Ga’ sopan tau, masuk kamar orang tanpa permisi!” Erra memprotes kelakuanku.
“Sorry, gue cuma lagi kesel aja!”
“Emang kamu kesel sama siapa? Kok sampai kepala loe ada tanduknya?”
“Iiiiih… gua ini lagi kesel? Bukannya di Arem-arem,tapi malah di ledekin!”
“Ya ga’ gitu kaleee! Emang loe ada masalah lagi sama Mama loe?”

Belum sempat menjawab pertanyaan Erra, tiba-tiba Mama Erra masuk sambil membawa segelas susu hangat untuk Erra.
“Eh… nak Risty, udah lama?”
“Baru aja kok tante.”

Tidak lama kemudian, Mama Erra keluar dari kamar. Sepertinya aku iri pada Erra, ia mempunyai Mama yang selalu perhatian padanya.
“Oh… Iya, elo kan belum jawab pertanyaaan gue. Kenapa elo tiba-tiba kesel? Apa gara-gara Mama loe?”
“E..ee..eeenggak kok! Aku Cuma pengen main aja.”

Bicaraku gugup setengah takut. Terus terang saja, aku tidak berani bicara apa-apa tentang Mama pada Erra.
“Oh… Iya! Sekarang kan hari ibu. Risty, anterin aku ke supermarket dong! Aku mau kasih sureprize buat Mamaku.”

Aku bingung… Terlintas dibenakku untuk memberi sebuah kado pada Mama. Tapi, buat apa? Pasti ujung-ujungnya aku dapat marah dari Mama. Soalnya, itu kan uang tabunganku. Tapi, tak apalah aku harus mencobanya.
“Ockey Ra… Kita ke supermarket. Aku juga mau beli’in Mama hadiah.”

Erra segera memesan taxi. Setibanya di supermarket, aku bingung. Sejuta tanya menghantuiku, pertanyaan-pertanyaan terlintas di benakku.
“Ris, ngapain bengong?” Tanya Erra sambil menepuk bahuku.
“Aku bingung, kejutan apa yang pantas buat Mama? Dia udah punya segalanya.”
“Beli’in itu aja!” Erra menunjuk sebuah boneka barbie sambil senyum simpul.
“Ga’ ok lo, emang Mama gue ABG”
“Ngga’ papa lagi”

“Gimana kalau aku beli’in bunga aja, trus aku rangkai sendiri? Lumayan kan bisa ngirit dikit.”
“Ya udah, aku beli baju dan kamu beli bunga.”
“Kasidaaahh!” hampir terlontar bersamaan.

Erra pun pergi menuju stand baju. Aku mulai mencari bunga yang Mama suka. Setelah mendapatkan bunga yang aku cari, aku pergi menghampiri Erra dan segera menuju ke kasir. Jarum jam menunjukkan pukul 19.00 WIB. Aku dan Erra cepat-cepat kembali ke rumah Erra untuk merangkai bunga. Hatiku sungguh senang. Lalu, aku berdo’a ‘Semoga ketika Mama terima bunga ini aku mendapatkan kembali kasih sayang Mama yang hilang’ tapi, aku tidak yakin do’aku akan terkabul.

“Tok… tok… tok…” Sesampainya dirumah, Erra cepat-cepat mengetuk pintu sambil memandangi jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 19.45 Wib. Akhirnya pintu terbuka. Terlihat Mama Erra yang begitu khawatir.
“Erra sayang, kamu dari mana saja jam segini kok baru pulang? Mama kan khawatir.”
“Sorry Mama, soalnya aku mau beri sureprize ke Mama.” Erra memberikan bingkisan yang baru ia beli dari supermarket sambil tersenyum riang.
“Hhmm… apa ini sayang?”
“Mama buka aja sekarang!”
“Iya tante buka aja!”

“Aduh, bagus banget, terima kasih sayang.” Mama Erra begitu senang. Dipeluknya Erra dengan rasa sayang. Wajahnya tenggelam pada bahu Mamanya. Aku begitu terharu. Aku juga ingin merasakan hangatnya pelukan Mama. Pelukan yang hanya pernah aku rasakan sesaat.

“Ma, aku bantu Risty dulu ya, mau buatin rangkaian bunga untuk Mamanya.”
Erra melepas pelukan Mamanya. Lalu menarik tanganku menuju ruang keluarga yang cukup nyaman.

“Risty, kamu mau buatin Mama kamu bingkisan yach,” suara Mama Erra begitu lembut dan seketika mampu meluluhkan hatiku yang sedang kacau balu.

“Tapi, aku masih ragu Tan. Aku takut kalo-kalo aja Mama malah marah-marah. Mama kan nggak sayang sama aku.”

"Siapa bilang? Mama kamu sangat sayang kok sama kamu."
"Masak sih tante? Buktinya tiada hari tanpa kemarahan Mama."
"Kalau mama marah, mungkin kamu bandel." Mama Erra mengambil sesuatu di dalam almari tuanya dan memberikannya padaku.
"Apa ini tante ?" Tanyaku penasaran.
"Buka aja !"
Sepucuk surat berwarna biru iu kubuka perlahan lahan karena surat iu sudah lumayan kusut.

13 Agustus 1994


Ku ucapkan segala puji syukur kepada Engkau Ya Allah. Engkau telah mengaruniai kepadaku seorang bayi kecil nan mungil. Kini aku tak lagi kesepian. Si kecil selalu menjadi pelipur lara. Meskipun sering nakal tapi kadang lucu dan nyenengin. Aku berharap dia menjadi anak yang sholihah. Amien…….

Tanpa terasa, air mataku meleleh membasahi pipi. Kini aku sadari, aku memang yang salah. Aku tak bisa menjadi anak yang sholihah seperti yang Mama harapkan.
"Risty, udah malam, kamu harus cepet-cepet nyelesaikan rangkaian bungamu trus pulang, nanti Mama kamu khawatir nyariin kamu!"

Aku segera menghapus air mataku dan kembali merangkai bunga satu per satu dengan dibantu Erra dan Mamanya. Jarum jam menunjukkan pukul 21.00. dan aku harus segera pulang. Rangkaian bunga sudah siap untuk mengawali malam Hari Ibu. Sesampai di rumah degup jantungku semakin kencang. Aku nggak sanggup.

"Tok… tok… tok…"
Pintu depan rumah ku ketuk berulang kali. Pintu pun terbuka. Mama, dengan mata sayunya seperti ingin marah-marah padaku.
"Risty, dari mana? jam segini baru pulang. Mama kan bingung mikirin kamu, jangan-jangan terjadi apa-apa!."

Aku hanya merunduk tak berani menatap Mama. Aku diam sesaat.
"Selamat Mari Ibu." Dengan senyum tipis, aku memberikan rangkaian bunga yang dari tadi ku sembunyikan di balik punggung. Tiba-tiba air mata Mama menetes berlahan. Ia terdiam sejenak, kemudian memeluk dan mencium keningku dengan lembut. Pelukan itulah yang slalu ku rindu selama ini.

"Mama minta ma'af ya Ris jika selama ini kurang memperhatikanmu?" Mama menangis terisak isak.
"Risty juga minta ma'af Ma. Risty janji mulai sekarang Risty akan jadi anak yang baik dan nurut apa kata Mama."

Mama menghapus air mataku yang tengah menetes. Dalam hati aku berjanji akan menjadi anak halal untuk dibanggakan dan aku akan membuat Mama bahagia. Hari ini adalah hari yang menyatukan aku dan Mama kembali seperti dulu.**

Lamongan, 2008

USTADZ HAKIM

Mala M.S

Arif cowok tampan dan kaya. Namun sayang, di pesantren dia dan teman temannya (atau biasa disebut gank) terkenal nakal. Itu yang menyebabkan banyak Ustadz yang nggak terlalu suka pada Arif. Tapi tidak dengan Ustadz Hakim, beliau amat perhatian dengan Arif. Dibandingkan dengan Ustadz-Ustadz lainnya. Ustadz Hakim termasuk Ustadz yang paling muda dan dekat dengan para Santri.

Ustadz Hakim ingin sekali bisa merubah sifat Arif. Berbagai cara dia lakukan agar bisa dekat dengan Arif namun semuanya sia-sia. Hati Arif terlalu keras untuk ditaklukkan. Di sisi lain, banyak Santri yang iri karena Ustadz Hakim sangat perhatian pada Arif.

“Maaf Tadz, apa saya boleh bertanya sesuatu pada Ustadz?”
“Tentu saja boleh.” Jawab Ustadz Hakim lembut
“Em…kalau boleh saya tahu, kenapa Ustadz begitu perhatian pada Arif? Padahal, Arif kan anaknya…” Karena takut menyakiti hati Ustadz Hakim, Santri itu tidak meneruskan ucapannya

Ustadz hakim terdiam sejenak, lalu berkata, “Pada suatu saat nanti, kalian akan tahu kenapa aku sangat perhatian pada Arif.”
***

Hari ini pesantren mengadakan ziarah ke Wali Songo. Semua Santri mengikuti acara ini. Tidak terkecuali Arif. Ustadz Hakim juga ikut dalam ziarah tersebut.

Ketika perjalanan sampai di Sunan Kudus, Arif memisahkan diri dari rombongan. Istighosah pun dimulai. Ustadz Hakim mengedarkan pandangannya, tapi dia tidak juga menemukan sosok Arif. Karena khawatir, Ustadz Hakim pergi keluar untuk mencari Arif.
Dalam perjalanan mencari Arif, Ustadz Hakim melihat sekelompok preman sedang mengeroyok seseorang. Karena kasihan, Ustadz Hakim menolong orang itu. Ustadz Hakim sangat kaget karena ternyata orang yang beliau tolong adalah Arif. Tanpa berpikir lama, Ustadz Hakim membawa Arif ke rumah sakit. Sesampai di rumah sakit, Ustadz Hakim menghubungi rombongan dan keluarga Arif untuk memberi kabar tentang sesuatu yang telah menimpa Arif.

Setelah menjenguk Arif, para rombongan segera melanjutkan ziarah. Sedangkan Arif, masih harus dirawat di rumah sakit karena keadaannya masih lemah akibat pengeroyokan tadi. Ustadz Hakim memutuskan untuk menemani Arif di rumah sakit. Sedangkan orang tua Arif, mereka belum bisa datang karena masih harus menyelesaikan bisnisnya di Luar Negeri.

Pada malam itu, Ustadz Hakim mencoba untuk berbicara dengan Arif dari hati ke hati.
“Rif, kenapa para preman itu menghajar kamu?” Tanya Ustadz Hakim dengan nada halus. Namun Arif tak menjawab pertanyaan Ustadz Hakim. Ia malah menatap mata Ustadz Hakim tajam-tajam seperti hendak memangsanya.

“Apa kamu berbuat salah pada mereka?” Tanya Ustadz Hakim lagi
“Udalah, Ustadz nggak usah pura-pura perhatian dan sok baik pada saya. Semua orang di dunia ini sama. Semuanya egois dan nggak mau ngertiin perasaan orang lain.”
Kali ini agaknya Ustadz Hakim sedikit kaget mendengar ucapan Arif yang begitu kasar dan sarkas tidak seperti biasa-biasanya.

“Tidak Rif, Ustadz tidak pernah pura-pura perhatian atau sok baik pada kamu dan juga tidak semua orang di dunia itu egois.”
“Tapi buktinya, orang tuaku dan teman-temanku, mereka semua egois.”
“Ustadz faham semua itu. Karena Ustadz juga pernah merasakannya. Bahkan jauh lebih menyakitkan dari pada kamu. Dan Ustadz tidak ingin kamu mengalami hal seperti yang Ustadz alami.”

“Maaf, Ustadz bisa tinggalkan saya? Karena saya ingin sendiri.”
“Baik, Ustadz akan keluar. Kalau kamu ada perlu apa-apa, kamu panggil saja Ustadz. Assalamualaikum.”
“Waalaikum Salam.” Jawab Arif dengan nada pelan dan sekenanya.
Setelah percakapan singkat itu, ternyata secara diam-diam Arif merenungi apa yang dikatakan oleh Ustadz Hakim ‘Ustadz hakim nggak ingin aku mengalami hal seperti yang beliau alami. Apa maksudnya?’ Ucap Arif dalam hati.
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit dan kondisi Arif juga mulai membaik, Arif pun diperbolehkan pulang oleh dokter.
***

Seperti hari-hari biasa, pengajian pagi berlangsung di Pesantren tempat Arif belajar. Dan seperti biasa, Arif nggak pernah ikut pengajian. Tidak hanya pengajian pagi saja, pengajian malam pun dia nggak pernah ikut mengaji. Dia selalu keluar pada jam mengaji atau diniyah. Kadang, dia pergi sendiri. Kadang juga bersama ganknya.
Setelah pengajian, Ustadz Hakim pergi ke kantor. Beberapa saat kemudian, terdengar suara orang mengetuk pintu yang disusul dengan ucapan salam.

Tok… tok… tok…
“Assalamualaikum.” Suara itu terdengar sangat pelan
“Waalaikum Salam.” Jawab Ustadz Hakim seraya membuka pintu. Betapa terkejut Ustadz Hakim; dilihatnya Arif dengan memakai peci putih berdiri di depan pintu. Tapi perasaan itu disimpannya dalam-dalam.

“Eh, Arif. Ayo masuk! Ustadz Hakim mengajak Arif masuk ke ruangan kamarnya.
“Ada apa Rif ?” Tanya Ustadz hakim setelah mempersilahkan Arif duduk
“Saya mau minta maaf Ustadz. Karena kemarin waktu di rumah sakit, saya sudah berkata kasar pada Ustadz dan saya juga mau ngucapin terima kasih karena waktu saya dirawat di rumah sakit, Ustadz sudah jagain saya. Dan ini, sebagai tanda terima kasih saya pada Ustadz.” Ucap Arif seraya memberikan amplop pada Ustadz Hakim.

“Tidak perlu Rif.” Ustadz Hakim mengembalikan amplop itu pada Arif.
“Lalu, saya harus membalasnya dengan apa?”
“Cukup dengan kamu belajar dengan serius dan mau merubah sifat-sifat buruk kamu, maka Ustadz akan sangat bahagia. Bahkan tidak hanya Ustadz saja, orang tua kamu, teman-teman kamu juga akan sangat bahagia.”
“Orang tua? Mana mungkin! Mereka tidak pernah mempedulikan saya.” Ucap Arif sedikit emosi.

“Rif, sekarang Ustadz mau tanya. Kamu paham tidak dengan omongan Ustadz waktu di rumah sakit?” Tanya Ustadz Hakim meredakan emosi Arif
“Em… yang Ustadz nggak ingin saya mengalami seperti yang Ustadz alami?”
“Iya. Kamu paham tidak?”
Arif menggelengkan kepala. Ustadz hakim menyandarkan tubuhnya ke dinding kamar yang tampak kumal karena mulai rapuh.

“Rif, Ustadz ngerti kok kenapa sifat-sifat kamu seperti ini. Ustadz dulu juga seperti kamu. Jangankan dapat perhatian, bertemu saja cuma setahun sekali. Karena nggak tahan, Ustadz kabur dari rumah. Ustadz bergabung dengan preman-preman jalanan. Suatu hari, Ustadz ketahuan mencuri. Dikejar massa, Ustadz lari hingga bertemu dengan seorang petani yang baik hati menyembunyikan Ustadz. Akhirnya petani tadi menjadikan Ustadz menjadi anak angkatnya. Ustadz sangat bahagia karena beliau sangat menyayangi Ustadz. Sejak saat itu, Ustadz memutuskan untuk berubah dan pergi ke pesantren. Ya… pesantren inilah pilihan Ustadz. Namun sayang, ketika Ustadz baru tinggal 2 bulan di pesantren, Ayah angkat Ustadz telah meninggal. Setelah Ustadz kembali ke pesantren, beberapa bulan kemudian Ustadz resmi diangkat menjadi Ustadz di pesantren ini sampai saat ini.”

“Terus, bagaimana dengan orang tua Ustadz?”
“Sebenarnya, mereka sangat sayang pada Ustadz. Ketika Ustadz kabur, mereka semua mencari Ustadz. Dan setelah mereka tahu kalau Ustadz ada di pesantren ini, mereka datang ke sini dan mengajak Ustadz pulang. Tapi Ustadz tidak mau karena Ustadz lebih senang tinggal di pesantren ini. Setelah itu orang tua Ustadz kembali ke Malaysia sebagai TKI. Dan setiap tengah bulan sekali mereka pulang ke Indonesia. Biasanya kalau mereka pulang, Ustadz juga pulang. Atau kadang mereka yang datang menjenguk Ustadz ke pesantren.”
Setelah mendengar cerita panjang dari Ustadz Hakim, Arif akhirnya sadar dan berjandi akan berubah lebih baik.
***

Ustadz Hakim sangat senang melihat perubahan Arif. Ustadz Hakim mencoba memberitahu orang tua Arif agar mereka lebih memperhatikan Arif. dan Alhamdulillah. Mereka mau mengerti akan keberadaan Arif; yang sebenarnya masih sangat membtuhkan perhatian, belaian kasih sayang dan perhatian orang tuanya. Karena semua itu tidak akan pernah didapatkan seorang anak di pesantren.

Arif sangat senang karena mamanya memutuskan untuk tinggal di kampung halaman. Dan hampir setiap tiga bulan bulan sekali, Papanya pun menyempatkan diri pulang ke Indonesia untuk melihat perkembangan pendidikan anaknya dan menjalin tali silaturrahmi kepada sanak saudara dan tetangga.

Dan Arif pun menyadari bahwa kurangnya perhatian orang tua bukanlah alasan untuk menjadi anak yang nakal, tidak bisa diatur, cenderung merasa bebas dan melakukan tindakan semaunya. Karena dibalik itu semua sebenarnya Allah telah menakar kadar keimanan seorang hamba.**

Lamongan, 2008

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito