Tragedi
Bocah kecil itu menangis diam-diam
Sesak dadanya sebab belum satu yang datang menolong
Tangisnya pilu dalam keremangan
Kemudian mengerang sebab jarum jam terus berdentang
Bocah kecil itu menangis diam-diam
Tangisnya memecah malam yang beranjak hari pagi
Isaknya membelai bumi untuk kemudian
terserap air mata masuk ke dalamnya
Bocah kecil itu terus menangis dalam diam
Matanya terpejam untuk sewaktu lama
Bocah kecil itu meninggalkan tangisan
Berderai menghentikan hari
Sebab kemudian bersemayam ia di dasarnya.
March,08
Rindu Kekasih…
Kekasih, sekiranya aku menemui dalam jalan buntu
Maka jangan dilepas sebab aku tak sanggup jika
Tanpa sebias saja senyummu
Hari-hari yang terlalui saja, aku mengharap selalu
Kehadiranmu…
Mengisi kisi-kisi hati
Membahana di ruang jiwa
Menjadi perisai segala lara
Tasbih cintaku berkumandang
Melantun namamu di sekian dengung bibirku
Ku kecup mushaf dengan segenap rindu mendalam
Setelah ku tashiq setiap hurufnya..
Kekasih, selalu dekapmu yang terasa
Maka jangan dilepas sebab aku tak sanggup
Jika sendiri di padang nafas
Yang hanya ingin dirimu…
110906
Sesaat Saja
Sebaris senyummu meleleh
Aku ketakutan
Bersembunyi di pojok ruang
Dalam pekat, menghujat
Sebaris senyummu meleleh
Kehabisan kata
Engkau porak poranda
Sebaris senyummu meleleh
Menggeliat, ditikam saat.
Yang aku mau…
Ada kabar yang tak sengaja
Di bawa angin
Di telingaku yang sedikit kabur
Pendengarannya
Lalu kabar itu menjadi manikam manik-manik
Sedikit dendam
Jiwanya
Sebetulnya kalau kau mau…
Aku tunggu kamu di beranda sebelah rumah
Hanya saja angin berbisik lain
Menyapa lantas membawa berlari
Pada sebuah kolam yang lebih dangkal
Menyesal bukan jadi suatu beban
Jika kau renda senyummu
Pada setiap jeda yang hilang
Hidup adalah berjuang
Seperti para tua katakan sebelum saat ada
Melengganglah seperti nelayan di tengan laut
Ketika tsunami menyapa bibir pantai
Ombaknya melahap rupa-rupa…
Yang aku mau
:membuai senyummu agar tak layu.
Rabu, 30 Juli 2008
Selasa, 15 Juli 2008
Catatan Perjalanan "DIA-WALI" dari Balam
Cerita ini bermula saat saya habis ngelayap dari Bandar Lampung, kotanya penyair Opera Kebun Lada (judul antologi puisi Y. Wibowo). Sebelum berkisah jauh mengenai judul, sebaiknya saya mencuplik beberapa perolehan dari pelayaran Bakauheni menuju Merak.
Di tengah selat, dalam kantong kapal laut kelas ekonomi, saya melihat burung elang Jawa menyebrani ubun-ubun gulungan ombak samudera, kelepakan sayapnya seimbang perkasa, perutnya terisi tiada lebih, dan tak kurang di tengah lawatan.
Saya jadi berfikir, kenapa saat diri ini sudah berada dalam perut kapal menuju Merak, elang Jawa itu malah hendak menyebrang ke tlatah Sumatra. Jangan-jangan ada yang tertinggal dari perjalanan saya? Telapak kaki, kabut yang kan menjelma awan rindu. Atau ada sesuatu perjanjian dengan pulau sebrang itu?
Diri merasakan, burung itu kan hinggap di badan kapal yang sedang saya tumpangi sebab kelelahan, namun tak. Ia memilih mengapung di atas ketinggian gelombang sejarak sepuluh meter, sambil senantiasa mengimbangi hembusan angin yang membuatnya kesulitan mencapai tujuan bertempo cepat.
Sang burung telah ketahui bagaimana menguasai desakan bayu serta hasrat dirinya demi mencapai pantai, lawatannya kali itu seperti tak yang pertama. Dirinya tiada gentar keraguan meski menyimpan was-was di tengah tenaganya, yang suatu saat bisa habis ketika tiba-tiba angin kencang datang menghantam kelepakan sayapnya.
Atau mungkin sang elang coklat itu mengisyaratkan diri saya, untuk tandang kembali kepada kepulauan cantik di sana.
Baiklah, persoalan ini saya biarkan mengendap bagi referensi demi isyarat-isyarat lebih jelas ketika realitas dilalui bermata cerlang cemerlang.
Sebuah penerimaan kesadaraan akan pengalaman yang mampu menjadi penentu gerak selanjutnya bagi perhitungan. Saya biarkan segalanya mengalir dalam; apa itu keganjilan, misteri hayat serta realitas tampakan yang beredar di perjalanan.
Semuanya diri anggap harmoni, warna-warni kehidupan menyenangkan bagi sejati kembara.
Kapal saya tumpangi terus mendesak melaju ke Merak, sementara kepakan elang menjauhi kapal menuju Bakauheni. Ini riwayat tanda apa yang kan terjadi nanti?
Semuanya melangkah apa adanya, segalanya memuara pada tujuan masing-masing dengan resiko berbeda. Tubuh kapal menyibak kulit lautan, gelombang menari-nari dengan keindahan deru decak ombak.
Ibarat seluruh isi dunia tak perlu dimaknai, semua berjalan sederhana, nilai-nilai terbangun atas kepala anak-anak manusia. Seolah ocehan musim harus diterima, dan kita mengikuti perubahannya semacam wacana, menggelinding menghabisnya bola salju. Atau semakin membesar pada sebuah persoalan revolusi.
Batas dan puncak, besar dan kecil menuju titik-titik yang semuanya bermakna sama, ketika benar-benar mengiyakan kesadaran perjalanan hayat. Mungkin?
Ketika waktu terus berjalan, saya mengikuti keinginannya berkendaraan masa; dunia berjalan, semua melangkah berkeindahan. Carut-marut hanya milik orang-orang tergesa, berburu-memburu mangsa biasa, atau berlari dari kenyataan hutang berlimpah, sedang bias-bias hutang bangsa-negara dipikul anak-anaknya.
Lalu bathin ini berucap; bangsa maju itu seperti elang tak membawa bekal kecuali dalam perutnya saat hendak kembara, menembus cakrawala harapannya. Terpenting ialah tanggung jawab diri, keluarga serta tradisi, agar senantiasa lestari meski di kepulauan lain; inilah dunianya burung-burung elang.
Mata yang tajam, sanggup mengawasi kedalaman lautan, ada gerak ikan menjadi miliknya buat energi pacuan selanjutnya, demi waktu dan masa depan belulang.
Cerita pembuka saya hentikan di sini, saya turun di pelabuhan Merak. Hari itu dalam bulan suci ramadhan menginjak hari yang ke sepuluh.
Seperti biasa dalam tradisi kembara, tiada kewajiban menjalankan ibadah puasa. Apa yang seorang kembara sandang, bukan sebagai manusia dalam tempat yang sama. Dirinya tidak berada dalam satuan letak, ketika beredarnya matahari menunjukkan masa berbuka atau dimulainya puasa.
Atau ini sekadar alasan-alasan saja yang kurang tebal iman, sehingga gugurlah kewajiban untuk ngelayapkan segala persoalan diri yang diemban, demi lebih nikmat saat menyeruput segelas wedang.
Di pelabuhan Merak, saya berhenti di warung kaki lima yng pernah diri singgahi sewaktu akan ke Bakauheni. Saya terbiasa mengakrabi satu tempat, agar tampak rilek ketika akan menjalankan suatu lanjutan rencana.
Sebenarnya di semua tempat, ada wilayah-wilayah akrab ketika kita benar-benar merasa tak jauh dari rumah. Atau di mana pun tempat ialah bumi tuhan, wilayah kekuasaan kesadaran akan amahan, yang tengah dijalankan seorang kembara.
Dalam ruang-ruang terpencil dan asing, kita akan temukan diri yang tidak asing, ketika benar-benar dalam lingkaran kedekatan mata air nurani sebagai pandangan pejalan. Atau kita memang tidak berada di mana-mana, meski sedang ke mana saja dan jauh dari saudara.
Sebenarnya, saya dari Merak ingin mampir ke Tanara Banten. Namun, terkadang rencana juga perlu diubah, seperti cara elang meringankan tubuh agar tak terdesak hembusan angin kencang.
Teman saya sewaktu di Jombang, yang kini bermukim di Tanara, menyuruh mampir sepulang dari Balam (Bandar Lampung). Tetapi teman lain pernah bercerita, bahwa teman yang ada di Tanara itu, setengah bulan yang lalu pernah ke Jawa Timur, tepatnya Bojonegoro, namun ia tak mampir ke Lamongan.
Jadi seolah impaslah bila diri ini tak datang menuruti rencana ke bumi Tanara. Di Merak, saya memilih bus jurusan Bekasi Timur. Sebuah pilihan tak mampir ke Tanara, tetapi langsung ke teman satunya di Bekasi.
Ketika saya berada atau sampai di terminal Serang. Adzan magrib berkumandang atau waktunya berbuka. Seperti biasa di terminal, para penjual keluar-masuk ke bus yang berhenti, untuk menjajakan makanan ringan.
Para penumpang pada beli untuk melepaskan ikatan puasa, sesua-suap berbuka bagi kewajiban pengganjal perut dari seharian tak termasuki bahan kehidupan.
Saat penjual-penjual itu tawarkan dagangannya pada saya, saya hanya geleng-gelengkan kepala. Semua penjual yang menawarkan pada saya, berkata ke teman-temannya; Diawali (Bermakna saya sudah mengawali berbuka, alis tak berpuasa di hari itu. Atau saya awali buka sebelum waktunya, maka mereka menyebut saya “diawali” atau mendahului).
Karena saya sering main-main dengan kata-kata, kata “diawali” itu saya pisah menjadi “dia” dan “wali” atau para penjual itu menyebut saya Wali, he...
Kata yang saya putus itu mampu menghibur diri ini, yang sudah sakit gigi berhari-hari di Bandar Lampung, juga saat berada di senjakala Serang itu. Inilah salah satu kenang-kenangan sewaktu di terminal Serang dalam bulan suci.
Ketika sopir telah selesai menunaikan sholat magrib, lantas bus di jalankan kembali menuju Bekasi. Kala itu saya menulis sms buat kawan-kawan Balam, begini; “Saya menaiki Merak menuju Bekasi (bekas kekasih), & terimakasih perjamuannya saudara-saudaraku, yang bikin aku lupa rumah, ...ala maak.
Saya teringat selalu di Lampung; sakit gigi, sumur putri, pantai pasir putih, senyum mungil dan wajah-wajah pulau Sumatra yang aduhai…., kawan-kawan di Lada (Lembaga Advokasi Anak Jalanan), di SPL (Serikat Petani Lampung) serta SKL (Sekolah Kebudayaan Lampung).
Ya syukurlah, semua kawan-kawan di sana sudah bikin suara jaringan lembaga-lembaga yang mapan, tetapi saya masih suka keluyuran. Banyak orang berusaha ingin mapan, namun saya malah takut kemapanan, he...
Tidakkah kemapanan itu bisa pula bikin sakit udun, alis terkumpulnya darah kotor dibagian tubuh tertentu yang menyakitkan. Kalau resiko jalan-jalan tentu paling-paling masuk angin, sakit gigi juga pegal-pegal. Itulah hayat, semuanya mendapati resiko serta kenikmatan tersendiri.
Salam bagi kenikmatan dan derita. Saya yang kini menjadi burung elang, terbang di antara dua pulau Dwipa.
*) Nurel Javissyarqi, pengelana. November 2005, Lamongan.
Keterangan: perjalanan kali itu adalah awal penyebaran buku-buku stensilan PUstaka puJAngga ke luar Jawa. Selepas dari Balam, saya membentuk Forum Sastra Lamongan bersama kawan-kawan; Rodli TL, Haris del Hakim, A. Syauqi Sumbawi, Imamuddin SA, dan Javed Paul Syatha.
Di tengah selat, dalam kantong kapal laut kelas ekonomi, saya melihat burung elang Jawa menyebrani ubun-ubun gulungan ombak samudera, kelepakan sayapnya seimbang perkasa, perutnya terisi tiada lebih, dan tak kurang di tengah lawatan.
Saya jadi berfikir, kenapa saat diri ini sudah berada dalam perut kapal menuju Merak, elang Jawa itu malah hendak menyebrang ke tlatah Sumatra. Jangan-jangan ada yang tertinggal dari perjalanan saya? Telapak kaki, kabut yang kan menjelma awan rindu. Atau ada sesuatu perjanjian dengan pulau sebrang itu?
Diri merasakan, burung itu kan hinggap di badan kapal yang sedang saya tumpangi sebab kelelahan, namun tak. Ia memilih mengapung di atas ketinggian gelombang sejarak sepuluh meter, sambil senantiasa mengimbangi hembusan angin yang membuatnya kesulitan mencapai tujuan bertempo cepat.
Sang burung telah ketahui bagaimana menguasai desakan bayu serta hasrat dirinya demi mencapai pantai, lawatannya kali itu seperti tak yang pertama. Dirinya tiada gentar keraguan meski menyimpan was-was di tengah tenaganya, yang suatu saat bisa habis ketika tiba-tiba angin kencang datang menghantam kelepakan sayapnya.
Atau mungkin sang elang coklat itu mengisyaratkan diri saya, untuk tandang kembali kepada kepulauan cantik di sana.
Baiklah, persoalan ini saya biarkan mengendap bagi referensi demi isyarat-isyarat lebih jelas ketika realitas dilalui bermata cerlang cemerlang.
Sebuah penerimaan kesadaraan akan pengalaman yang mampu menjadi penentu gerak selanjutnya bagi perhitungan. Saya biarkan segalanya mengalir dalam; apa itu keganjilan, misteri hayat serta realitas tampakan yang beredar di perjalanan.
Semuanya diri anggap harmoni, warna-warni kehidupan menyenangkan bagi sejati kembara.
Kapal saya tumpangi terus mendesak melaju ke Merak, sementara kepakan elang menjauhi kapal menuju Bakauheni. Ini riwayat tanda apa yang kan terjadi nanti?
Semuanya melangkah apa adanya, segalanya memuara pada tujuan masing-masing dengan resiko berbeda. Tubuh kapal menyibak kulit lautan, gelombang menari-nari dengan keindahan deru decak ombak.
Ibarat seluruh isi dunia tak perlu dimaknai, semua berjalan sederhana, nilai-nilai terbangun atas kepala anak-anak manusia. Seolah ocehan musim harus diterima, dan kita mengikuti perubahannya semacam wacana, menggelinding menghabisnya bola salju. Atau semakin membesar pada sebuah persoalan revolusi.
Batas dan puncak, besar dan kecil menuju titik-titik yang semuanya bermakna sama, ketika benar-benar mengiyakan kesadaran perjalanan hayat. Mungkin?
Ketika waktu terus berjalan, saya mengikuti keinginannya berkendaraan masa; dunia berjalan, semua melangkah berkeindahan. Carut-marut hanya milik orang-orang tergesa, berburu-memburu mangsa biasa, atau berlari dari kenyataan hutang berlimpah, sedang bias-bias hutang bangsa-negara dipikul anak-anaknya.
Lalu bathin ini berucap; bangsa maju itu seperti elang tak membawa bekal kecuali dalam perutnya saat hendak kembara, menembus cakrawala harapannya. Terpenting ialah tanggung jawab diri, keluarga serta tradisi, agar senantiasa lestari meski di kepulauan lain; inilah dunianya burung-burung elang.
Mata yang tajam, sanggup mengawasi kedalaman lautan, ada gerak ikan menjadi miliknya buat energi pacuan selanjutnya, demi waktu dan masa depan belulang.
Cerita pembuka saya hentikan di sini, saya turun di pelabuhan Merak. Hari itu dalam bulan suci ramadhan menginjak hari yang ke sepuluh.
Seperti biasa dalam tradisi kembara, tiada kewajiban menjalankan ibadah puasa. Apa yang seorang kembara sandang, bukan sebagai manusia dalam tempat yang sama. Dirinya tidak berada dalam satuan letak, ketika beredarnya matahari menunjukkan masa berbuka atau dimulainya puasa.
Atau ini sekadar alasan-alasan saja yang kurang tebal iman, sehingga gugurlah kewajiban untuk ngelayapkan segala persoalan diri yang diemban, demi lebih nikmat saat menyeruput segelas wedang.
Di pelabuhan Merak, saya berhenti di warung kaki lima yng pernah diri singgahi sewaktu akan ke Bakauheni. Saya terbiasa mengakrabi satu tempat, agar tampak rilek ketika akan menjalankan suatu lanjutan rencana.
Sebenarnya di semua tempat, ada wilayah-wilayah akrab ketika kita benar-benar merasa tak jauh dari rumah. Atau di mana pun tempat ialah bumi tuhan, wilayah kekuasaan kesadaran akan amahan, yang tengah dijalankan seorang kembara.
Dalam ruang-ruang terpencil dan asing, kita akan temukan diri yang tidak asing, ketika benar-benar dalam lingkaran kedekatan mata air nurani sebagai pandangan pejalan. Atau kita memang tidak berada di mana-mana, meski sedang ke mana saja dan jauh dari saudara.
Sebenarnya, saya dari Merak ingin mampir ke Tanara Banten. Namun, terkadang rencana juga perlu diubah, seperti cara elang meringankan tubuh agar tak terdesak hembusan angin kencang.
Teman saya sewaktu di Jombang, yang kini bermukim di Tanara, menyuruh mampir sepulang dari Balam (Bandar Lampung). Tetapi teman lain pernah bercerita, bahwa teman yang ada di Tanara itu, setengah bulan yang lalu pernah ke Jawa Timur, tepatnya Bojonegoro, namun ia tak mampir ke Lamongan.
Jadi seolah impaslah bila diri ini tak datang menuruti rencana ke bumi Tanara. Di Merak, saya memilih bus jurusan Bekasi Timur. Sebuah pilihan tak mampir ke Tanara, tetapi langsung ke teman satunya di Bekasi.
Ketika saya berada atau sampai di terminal Serang. Adzan magrib berkumandang atau waktunya berbuka. Seperti biasa di terminal, para penjual keluar-masuk ke bus yang berhenti, untuk menjajakan makanan ringan.
Para penumpang pada beli untuk melepaskan ikatan puasa, sesua-suap berbuka bagi kewajiban pengganjal perut dari seharian tak termasuki bahan kehidupan.
Saat penjual-penjual itu tawarkan dagangannya pada saya, saya hanya geleng-gelengkan kepala. Semua penjual yang menawarkan pada saya, berkata ke teman-temannya; Diawali (Bermakna saya sudah mengawali berbuka, alis tak berpuasa di hari itu. Atau saya awali buka sebelum waktunya, maka mereka menyebut saya “diawali” atau mendahului).
Karena saya sering main-main dengan kata-kata, kata “diawali” itu saya pisah menjadi “dia” dan “wali” atau para penjual itu menyebut saya Wali, he...
Kata yang saya putus itu mampu menghibur diri ini, yang sudah sakit gigi berhari-hari di Bandar Lampung, juga saat berada di senjakala Serang itu. Inilah salah satu kenang-kenangan sewaktu di terminal Serang dalam bulan suci.
Ketika sopir telah selesai menunaikan sholat magrib, lantas bus di jalankan kembali menuju Bekasi. Kala itu saya menulis sms buat kawan-kawan Balam, begini; “Saya menaiki Merak menuju Bekasi (bekas kekasih), & terimakasih perjamuannya saudara-saudaraku, yang bikin aku lupa rumah, ...ala maak.
Saya teringat selalu di Lampung; sakit gigi, sumur putri, pantai pasir putih, senyum mungil dan wajah-wajah pulau Sumatra yang aduhai…., kawan-kawan di Lada (Lembaga Advokasi Anak Jalanan), di SPL (Serikat Petani Lampung) serta SKL (Sekolah Kebudayaan Lampung).
Ya syukurlah, semua kawan-kawan di sana sudah bikin suara jaringan lembaga-lembaga yang mapan, tetapi saya masih suka keluyuran. Banyak orang berusaha ingin mapan, namun saya malah takut kemapanan, he...
Tidakkah kemapanan itu bisa pula bikin sakit udun, alis terkumpulnya darah kotor dibagian tubuh tertentu yang menyakitkan. Kalau resiko jalan-jalan tentu paling-paling masuk angin, sakit gigi juga pegal-pegal. Itulah hayat, semuanya mendapati resiko serta kenikmatan tersendiri.
Salam bagi kenikmatan dan derita. Saya yang kini menjadi burung elang, terbang di antara dua pulau Dwipa.
*) Nurel Javissyarqi, pengelana. November 2005, Lamongan.
Keterangan: perjalanan kali itu adalah awal penyebaran buku-buku stensilan PUstaka puJAngga ke luar Jawa. Selepas dari Balam, saya membentuk Forum Sastra Lamongan bersama kawan-kawan; Rodli TL, Haris del Hakim, A. Syauqi Sumbawi, Imamuddin SA, dan Javed Paul Syatha.
Sabtu, 12 Juli 2008
KESUNYIAN SANG PUJANGGA
Dipersembahkan Kepada almarhum Suryanto Sastroatmodjo
Nurel Javissyarqi*
Pujangga itu mendiami lembah pekabutan kemanusiaan
gema suaranya memantul
ke dinding-dinding karang peradaban.
Ia tak kehabisan kehendak, tapi di sanalah telempapnya
kala kita tak sanggup menjangkau kelembutan sukma.
Ia telanjang bagai batu-batu diguyur deras hujan
juga sengatan matahari kesadaran.
Yang lihat langkahnya di tengah kota sekadar wujudnya
kita tiada daya bercakap, manakala anggukan membuyar.
Waktu selalu merawat dirinya beserta alam kelembutan
isyarat angin bagai ibunda mengamatinya penuh takjub
kala ia melantunkan kata-kata menyayat-nyayat bathin
bebatuan kerikil berserak, deru hiruk pikuk keramaian.
Ia mendamba mendayung alam ke muara sentausa
sedekahnya bersandar di gundukan batu besar
kepala berbaring itu mengisi nyanyian renungan
saat berdiri, bencah moyang memberi restu kerelaan.
Tampak kepanditaan hadir tidak butuhkan apa-apa
hanya yang tercurah sedari langit dirinya tengadah
kuasa-Nya dijangkau kalbu terdekat, kasih insani.
Kerinduan merengkuh sesyairan lelaku nasibnya
kangen bermelodi kesegaran air mengucur. Oh...
gemerincing alunan jiwa tak henti melafalkan mantra.
Tetumbuhan memberi petuah
bagi ruh-ruh kepekaan
menceburkan diri
dalam belahan dada ranum menampung rahmah.
Jalan dilalui, dedaun menyapa bebulu sayap mengepak
membisikkan kalimah yang terdapati tak terekam indra.
Dan setiap denyutan darahnya bersimpan peristiwa
aliran-alirannya tampak jernih sebening hatinya.
Padangannya menembus tak hilang kendali
persaksiannya menggedor tanjung-tanjung sukma
pribadinya terkandung unsur-unsur kelembutan
ulet serupa serat pohon mewangi kehidupan.
Rambutnya tergerai memantulkan sinar mahkota
tiadalah terlihat mewah, tampak segar sederhana
benda serta makna itu fitroh teremban hikayat-hayat.
Ia terima serupa mendapati kulit tubuhnya langsat
sentuhan halus bayu pertiwi
senafas bayi menghidupi rumput
tiupan terisi nikmat di kedalaman jiwamu tak tersentuh.
Di sanalah kita temukan diri, arah-arah terpampang
ia perlihatkan pribadi di kala kita mencipta kasih sayang.
Kala berjalan tiada dapati bayangan, dirinya tersembunyi
tertunduk santun mematung merasai cahaya rasa malu
kekhusyukkan menyendiri dalam selubung keduniawian
terpisah sedari bebauan asap dupa pujaan.
Ia bergegas saat orang-orang berbondong meminta
ialah bukan berlari tanggung jawab, tetapi sungguh
sungkan memantul balik dalam diri masing-masing
mendiami sunyi petuah.
Pantulannya seolah angkuh saat melihat penuh iri
tetapi, lagi-lagi nalar buruk terpatahkan
menyelai lelapisan persoalan.
Ia terbiasa mengupas jiwa menjelma pancaran hayat
dengus suara kaki-kaki melangkah pada gumam panjang
bathin bernafas sesama, siuman dari kemabukan bayang.
Yang melihatnya dimaknai menerus ia menegur pelahan.
Oh tubuh telanjang lebur dalam hawa sedap malam
burung-burung melihatnya terbalut sutra kehormatan.
Yang tampak ialah penipuan-penipuan.
Tidakkah niatan jernih takkan terbodohi
merawat kebeningan sampai ujung di balik pandang.
Bergetarlah jiwa-jiwa jujur mendaki cahaya kesadaran
gerak terdalam berkaki pusaran, jenjang ditentukan
pekabutan tidak menyilaukan mata memberi kelegaan.
Yang diidam jiwa ikhlas menerima manis-getir dilalui
ia tak menyangkal ada memberi tempat tak berkenan.
Sungguh lembut memasuki lubang jarum merajut artian
tak bakal miliki sukma pendendam, nyala bukan ambisi
namun menaklukkan air mata menjelma batu permata.
Butiran garam diterjang ombak batin bergelora
karang terbesar menampung ruang-ruang mungkin
hikmah tingginya cakrawakla tabah berlatih kesungguhan.
Huruf-huruf terdiam dalam bathin mengeluarkan dinaya
dari sarang langit mewujud pengajaran
lintang-gemintang cerlangkan mata angin.
Kesemangatan tentram berlabuh pengetahuan,
bukan dalam batok kepala menyimpan kekayaan
tetapi perbendaharaan tersembunyi dalam kalbu insan.
Nurani terbimbing pada keheningan kasih menghujam
kesungguhan tekad ketetapan niat mencemerlangkan akal
menilik tiap-tiap pijakan hati berkaca dibawa jernih fikiran
di balik tanda terdapat ruang-ruang menaggung makna.
Bukan hendak mengisi semua penuh bobot
yang berharga tergali serupa ricik-gemericik
siapa melewatinya mendapati petikan hikmah
bebuah ranum hasil kekangan musim-musim
menyuguhkan pribadi diterima lapang dada.
Mungkin alunan ini kau bilang menjemukan
saat penalaran menjangkau tak berkendara kesucian
atau pencarian sungguh namun tak didasari niatan.
Malam hadir meliuk bertarian unggun penciptaan
ia bakar kesepian, alam rindu gagasan-gagasannya.
Bersiaplah menempa anak-anak di kesenyapan kangen
kadang malam larut jauhkan nyala api rindu penciptaan
diajaknya dahaga dalam kebisuan pencarian keyakinan.
Perenungan lelangkah hening tempaan pelaku hayat
membawanya ke selubung sunyi mewarta kelembutan,
bibir-bibir kabut mengatup dalam rongga-rongga nafas.
Bathin petapa mengombak di lelautan kata-kata mewaktu
ia meringkuk di tepi jalan, sering di luar pintu tertutup.
Ia tak menunggu siapa-siapa, jiwanya tidak tergopoh,
hangat pencariannya menceburkan diri di telaga kasih.
Oh yang berendam di sendang, minumlah seteguk
mengingatkan usiamu dalam perimbangan jiwa
kesaksian hayat terbuhul wewarna pelita rahmat.
Ia tak bermaksud melukis kesenyapan nan gaib,
tapi mengangkat bertangan lembut tak tersentuh.
Lamur mengembun di kulit lenganmu bukan kelalaian
keterjagaan santun antara tak pedulikan malam berbagi
kekuncup abadi, tawarkan rindumu ke peraduan hangat.
Sesekali menghisap batang rokok penuh tarikan dalam
nafas-nafas ingatkan masalalu, menggali ikhwal terlewat.
Pagi terbuka kekayaan, kau bertamu di kediamannya
paling muskil mencipta sunyi memberat serasa ringan,
melantunkan mungkin di kepalamu nan selalu bertaya
akan gaib kehidupan.
Ini percakapan meleburkan setia, yang merindu
mengajak jiwamu terbang ke tlatah ditaksirkan
batas kebekuan memancar, tenggelamkan kenang
menggugah dakian penciptaan.
Lelapisan itu menggubah kesabaran ingatan
kekisah mempercayai mimpi mengajak teridam
kepurnaan waktu lahirnya derajad kehendak sesama,
malam-siang melarut jiwamu mengikuti nafas kehadiran.
Ini sepantun hening memaklumatkan pergumulan,
penyatuan ruh batas alam mengangkat keluputan
menjelma sayap membimbing nafas ke peraduan.
Senjakala melangkahi lika-liku kesuburan, mata batin
mengenyam gending pada lereng pesawahan dwipa.
Berilah kesaksian jasad kalimah ini,
menderas alunan ditabuh waktu-waktu lalu.
Patahan terberi, bukan pemaksaan bathin serampang.
Sejak keteringatan wajah-wajah hampir menyerupaimu,
ketampanan santun bersahabat, maha guru paling bijak.
Jiwa ini tertambat lelangkah paling akrab,
tekat melumurkan waktu di masa-masa intim
meneruskan limpahan berkah tak habis di telan lelah.
Keringat dingin menambah puncak kesaksianmu
langit-lautan hadirkan birunya gelombang ke pantai
berbulir-bulir garam menuju celuk perenungan.
Pedesaan menanti kita, lebur pada kesaksian syahdu
gemintang di cakrawala menandaskan hayat dimaknai,
selendang menari di lengan kasihmu menarik sahabat
bagaikan syairan sampur para penari waktu.
Di kemanakan batas biru memberi keabadian tarian
jiwa-tubuh bergetar, bebulu sayap terangkat sukma
tengadah nafas berhembus menggebu menuruti lagu.
Bukan keinginan semua terhampar, dilewati perjanjian
melumuri tarian tinta mata pena setajam malam terjaga.
Ini titah pujangga, melambari kasihmu berkeyakinan
memandangi lekuk perjalanan terawat setiap penanda
terangkat pemaknaan wewaktu dipersiapkan bagimu.
Usiamu tertelan semangat kata menembus kebisuan
merangsek naluri pada saksi semula, kerinduan kasih.
Tarikan nafasmu perjelas perbedaan mengenyam ragu
merawat kesunyian berabad-abad memperbesarmu.
Keterpisahan tak, masa-masa dilalui tempaan abadi
manakana kegusaran merenggut perjuangan kembali,
kehendak dicitakan itu, dilakoninya bermakna titisan.
Wewaktu mematangkan kulit keriput pepohon jati
tegak mengeras menerobos musim dedaun rontok
kemuncul lestari menandaskan tubuh matang jiwa
serat-serat pohon waru dengan otot-otot terjaga
berbagi pergantian jaman menghujami makna.
Hujan deras menggigit, kebangkitan berulang
bayu bertua berhembus jiwamu meloloskan diri
kepada semburat jingga senjakala
memawarkan rindumu dalam pelukan cakrawala.
Perjumpaan penalaran, mewartakan tekadmu
ditandaskan malam purnama ditarik pelayarnya
menyeberangi wengi pelik melewati nyanyian pesisir.
Antara nafas langgeng, kesantausaan irama imbang
melingkupi dihendaki yang kepada gagasan gemilang.
Mata membaca kalimah berita merasai jiwa
mengeja kehausan kehendak hadir tiba-tiba
kerelaan tersiar-terkembang di pedalaman.
Ketika arungi kesyahduan, keayuan alam bercahaya
keteguhan mengawal jiwamu; para prajurut menjaga
kala sang raja berpelesiran ke negeri jauh tanpa kuasa.
Ia hentikan derap kudanya, menyusuri jalan sendiri
oleh semua penglihatan buyar menjelma kepasrahan.
Kemiskinan itu tangga tingkatan tertinggi kehidupan
serupa rasa demam mencapai kesaksian tak terbantah.
Ini peleburan kenang, terbakar sajak di tungku setia
memperbaharui wujud abu dalam tumbukan sesal,
sengaja mencari-cari butiran halus kelembutan hati.
Kalimah bukan penampung rupa bejana, air tak terukur
saat tak secangkir pengharapan, tapi niatmu manunggal
kata-kata lebur menguap, butirannya di dedaun kalbu
tersuling sedari keraguan ditandaskan sakit berulang.
Kesaksian hadir membaca alamat-alamat berkelebat
raut-raut bertengger di dedahan menanti panggilan
merunduk penuh santun berdaun salam gugur.
Kembang kemuncul ketabahan menunggu, kiranya
buah ranum mewangi, semua tak kuasa tak tengadah
memetiknya bagi lambung kembara.
Keyakinan perbaharui jiwamu pada pagi kebugaran
menelusupi pori-porimu, perjalanan berulang dinilai.
Ditata laiknya batuan candi di pegunungan puja
letak peribadatan bergumul seirama para penyaksi.
Dan keterbatasan membetulkan langkahmu memilih
agar tak terbebani di persimpang batin teridam
hayat memakmurkan sesama.
Manakala demam berkurang pesaksianmu yakin
bergumul kalbu rindu dalam gelayutan mesra
semisal purnama di tengah pencarian wengi.
Malam menjamah gurun pada kulit getarkan jiwamu
terpesona jagad hatimu oleh kesantunan sang resi
dalam menapaki tangga kekabutan menanjak
membebaskan bayang sedari tubuh keraguan.
Yang pantas bertengger di ubun-ubun kesenyapan abadi
tahap dilalui beserta unsur pribadi berkeagungan rasa
kepurnaan gagasan membeletat sesama, tiada terlupa
kaki-kaki tersandung batu, rerumputan terinjak menghijau.
*)Pengelana, 17 Februari 2008, Lamongan, JaTim
Nurel Javissyarqi*
Pujangga itu mendiami lembah pekabutan kemanusiaan
gema suaranya memantul
ke dinding-dinding karang peradaban.
Ia tak kehabisan kehendak, tapi di sanalah telempapnya
kala kita tak sanggup menjangkau kelembutan sukma.
Ia telanjang bagai batu-batu diguyur deras hujan
juga sengatan matahari kesadaran.
Yang lihat langkahnya di tengah kota sekadar wujudnya
kita tiada daya bercakap, manakala anggukan membuyar.
Waktu selalu merawat dirinya beserta alam kelembutan
isyarat angin bagai ibunda mengamatinya penuh takjub
kala ia melantunkan kata-kata menyayat-nyayat bathin
bebatuan kerikil berserak, deru hiruk pikuk keramaian.
Ia mendamba mendayung alam ke muara sentausa
sedekahnya bersandar di gundukan batu besar
kepala berbaring itu mengisi nyanyian renungan
saat berdiri, bencah moyang memberi restu kerelaan.
Tampak kepanditaan hadir tidak butuhkan apa-apa
hanya yang tercurah sedari langit dirinya tengadah
kuasa-Nya dijangkau kalbu terdekat, kasih insani.
Kerinduan merengkuh sesyairan lelaku nasibnya
kangen bermelodi kesegaran air mengucur. Oh...
gemerincing alunan jiwa tak henti melafalkan mantra.
Tetumbuhan memberi petuah
bagi ruh-ruh kepekaan
menceburkan diri
dalam belahan dada ranum menampung rahmah.
Jalan dilalui, dedaun menyapa bebulu sayap mengepak
membisikkan kalimah yang terdapati tak terekam indra.
Dan setiap denyutan darahnya bersimpan peristiwa
aliran-alirannya tampak jernih sebening hatinya.
Padangannya menembus tak hilang kendali
persaksiannya menggedor tanjung-tanjung sukma
pribadinya terkandung unsur-unsur kelembutan
ulet serupa serat pohon mewangi kehidupan.
Rambutnya tergerai memantulkan sinar mahkota
tiadalah terlihat mewah, tampak segar sederhana
benda serta makna itu fitroh teremban hikayat-hayat.
Ia terima serupa mendapati kulit tubuhnya langsat
sentuhan halus bayu pertiwi
senafas bayi menghidupi rumput
tiupan terisi nikmat di kedalaman jiwamu tak tersentuh.
Di sanalah kita temukan diri, arah-arah terpampang
ia perlihatkan pribadi di kala kita mencipta kasih sayang.
Kala berjalan tiada dapati bayangan, dirinya tersembunyi
tertunduk santun mematung merasai cahaya rasa malu
kekhusyukkan menyendiri dalam selubung keduniawian
terpisah sedari bebauan asap dupa pujaan.
Ia bergegas saat orang-orang berbondong meminta
ialah bukan berlari tanggung jawab, tetapi sungguh
sungkan memantul balik dalam diri masing-masing
mendiami sunyi petuah.
Pantulannya seolah angkuh saat melihat penuh iri
tetapi, lagi-lagi nalar buruk terpatahkan
menyelai lelapisan persoalan.
Ia terbiasa mengupas jiwa menjelma pancaran hayat
dengus suara kaki-kaki melangkah pada gumam panjang
bathin bernafas sesama, siuman dari kemabukan bayang.
Yang melihatnya dimaknai menerus ia menegur pelahan.
Oh tubuh telanjang lebur dalam hawa sedap malam
burung-burung melihatnya terbalut sutra kehormatan.
Yang tampak ialah penipuan-penipuan.
Tidakkah niatan jernih takkan terbodohi
merawat kebeningan sampai ujung di balik pandang.
Bergetarlah jiwa-jiwa jujur mendaki cahaya kesadaran
gerak terdalam berkaki pusaran, jenjang ditentukan
pekabutan tidak menyilaukan mata memberi kelegaan.
Yang diidam jiwa ikhlas menerima manis-getir dilalui
ia tak menyangkal ada memberi tempat tak berkenan.
Sungguh lembut memasuki lubang jarum merajut artian
tak bakal miliki sukma pendendam, nyala bukan ambisi
namun menaklukkan air mata menjelma batu permata.
Butiran garam diterjang ombak batin bergelora
karang terbesar menampung ruang-ruang mungkin
hikmah tingginya cakrawakla tabah berlatih kesungguhan.
Huruf-huruf terdiam dalam bathin mengeluarkan dinaya
dari sarang langit mewujud pengajaran
lintang-gemintang cerlangkan mata angin.
Kesemangatan tentram berlabuh pengetahuan,
bukan dalam batok kepala menyimpan kekayaan
tetapi perbendaharaan tersembunyi dalam kalbu insan.
Nurani terbimbing pada keheningan kasih menghujam
kesungguhan tekad ketetapan niat mencemerlangkan akal
menilik tiap-tiap pijakan hati berkaca dibawa jernih fikiran
di balik tanda terdapat ruang-ruang menaggung makna.
Bukan hendak mengisi semua penuh bobot
yang berharga tergali serupa ricik-gemericik
siapa melewatinya mendapati petikan hikmah
bebuah ranum hasil kekangan musim-musim
menyuguhkan pribadi diterima lapang dada.
Mungkin alunan ini kau bilang menjemukan
saat penalaran menjangkau tak berkendara kesucian
atau pencarian sungguh namun tak didasari niatan.
Malam hadir meliuk bertarian unggun penciptaan
ia bakar kesepian, alam rindu gagasan-gagasannya.
Bersiaplah menempa anak-anak di kesenyapan kangen
kadang malam larut jauhkan nyala api rindu penciptaan
diajaknya dahaga dalam kebisuan pencarian keyakinan.
Perenungan lelangkah hening tempaan pelaku hayat
membawanya ke selubung sunyi mewarta kelembutan,
bibir-bibir kabut mengatup dalam rongga-rongga nafas.
Bathin petapa mengombak di lelautan kata-kata mewaktu
ia meringkuk di tepi jalan, sering di luar pintu tertutup.
Ia tak menunggu siapa-siapa, jiwanya tidak tergopoh,
hangat pencariannya menceburkan diri di telaga kasih.
Oh yang berendam di sendang, minumlah seteguk
mengingatkan usiamu dalam perimbangan jiwa
kesaksian hayat terbuhul wewarna pelita rahmat.
Ia tak bermaksud melukis kesenyapan nan gaib,
tapi mengangkat bertangan lembut tak tersentuh.
Lamur mengembun di kulit lenganmu bukan kelalaian
keterjagaan santun antara tak pedulikan malam berbagi
kekuncup abadi, tawarkan rindumu ke peraduan hangat.
Sesekali menghisap batang rokok penuh tarikan dalam
nafas-nafas ingatkan masalalu, menggali ikhwal terlewat.
Pagi terbuka kekayaan, kau bertamu di kediamannya
paling muskil mencipta sunyi memberat serasa ringan,
melantunkan mungkin di kepalamu nan selalu bertaya
akan gaib kehidupan.
Ini percakapan meleburkan setia, yang merindu
mengajak jiwamu terbang ke tlatah ditaksirkan
batas kebekuan memancar, tenggelamkan kenang
menggugah dakian penciptaan.
Lelapisan itu menggubah kesabaran ingatan
kekisah mempercayai mimpi mengajak teridam
kepurnaan waktu lahirnya derajad kehendak sesama,
malam-siang melarut jiwamu mengikuti nafas kehadiran.
Ini sepantun hening memaklumatkan pergumulan,
penyatuan ruh batas alam mengangkat keluputan
menjelma sayap membimbing nafas ke peraduan.
Senjakala melangkahi lika-liku kesuburan, mata batin
mengenyam gending pada lereng pesawahan dwipa.
Berilah kesaksian jasad kalimah ini,
menderas alunan ditabuh waktu-waktu lalu.
Patahan terberi, bukan pemaksaan bathin serampang.
Sejak keteringatan wajah-wajah hampir menyerupaimu,
ketampanan santun bersahabat, maha guru paling bijak.
Jiwa ini tertambat lelangkah paling akrab,
tekat melumurkan waktu di masa-masa intim
meneruskan limpahan berkah tak habis di telan lelah.
Keringat dingin menambah puncak kesaksianmu
langit-lautan hadirkan birunya gelombang ke pantai
berbulir-bulir garam menuju celuk perenungan.
Pedesaan menanti kita, lebur pada kesaksian syahdu
gemintang di cakrawala menandaskan hayat dimaknai,
selendang menari di lengan kasihmu menarik sahabat
bagaikan syairan sampur para penari waktu.
Di kemanakan batas biru memberi keabadian tarian
jiwa-tubuh bergetar, bebulu sayap terangkat sukma
tengadah nafas berhembus menggebu menuruti lagu.
Bukan keinginan semua terhampar, dilewati perjanjian
melumuri tarian tinta mata pena setajam malam terjaga.
Ini titah pujangga, melambari kasihmu berkeyakinan
memandangi lekuk perjalanan terawat setiap penanda
terangkat pemaknaan wewaktu dipersiapkan bagimu.
Usiamu tertelan semangat kata menembus kebisuan
merangsek naluri pada saksi semula, kerinduan kasih.
Tarikan nafasmu perjelas perbedaan mengenyam ragu
merawat kesunyian berabad-abad memperbesarmu.
Keterpisahan tak, masa-masa dilalui tempaan abadi
manakana kegusaran merenggut perjuangan kembali,
kehendak dicitakan itu, dilakoninya bermakna titisan.
Wewaktu mematangkan kulit keriput pepohon jati
tegak mengeras menerobos musim dedaun rontok
kemuncul lestari menandaskan tubuh matang jiwa
serat-serat pohon waru dengan otot-otot terjaga
berbagi pergantian jaman menghujami makna.
Hujan deras menggigit, kebangkitan berulang
bayu bertua berhembus jiwamu meloloskan diri
kepada semburat jingga senjakala
memawarkan rindumu dalam pelukan cakrawala.
Perjumpaan penalaran, mewartakan tekadmu
ditandaskan malam purnama ditarik pelayarnya
menyeberangi wengi pelik melewati nyanyian pesisir.
Antara nafas langgeng, kesantausaan irama imbang
melingkupi dihendaki yang kepada gagasan gemilang.
Mata membaca kalimah berita merasai jiwa
mengeja kehausan kehendak hadir tiba-tiba
kerelaan tersiar-terkembang di pedalaman.
Ketika arungi kesyahduan, keayuan alam bercahaya
keteguhan mengawal jiwamu; para prajurut menjaga
kala sang raja berpelesiran ke negeri jauh tanpa kuasa.
Ia hentikan derap kudanya, menyusuri jalan sendiri
oleh semua penglihatan buyar menjelma kepasrahan.
Kemiskinan itu tangga tingkatan tertinggi kehidupan
serupa rasa demam mencapai kesaksian tak terbantah.
Ini peleburan kenang, terbakar sajak di tungku setia
memperbaharui wujud abu dalam tumbukan sesal,
sengaja mencari-cari butiran halus kelembutan hati.
Kalimah bukan penampung rupa bejana, air tak terukur
saat tak secangkir pengharapan, tapi niatmu manunggal
kata-kata lebur menguap, butirannya di dedaun kalbu
tersuling sedari keraguan ditandaskan sakit berulang.
Kesaksian hadir membaca alamat-alamat berkelebat
raut-raut bertengger di dedahan menanti panggilan
merunduk penuh santun berdaun salam gugur.
Kembang kemuncul ketabahan menunggu, kiranya
buah ranum mewangi, semua tak kuasa tak tengadah
memetiknya bagi lambung kembara.
Keyakinan perbaharui jiwamu pada pagi kebugaran
menelusupi pori-porimu, perjalanan berulang dinilai.
Ditata laiknya batuan candi di pegunungan puja
letak peribadatan bergumul seirama para penyaksi.
Dan keterbatasan membetulkan langkahmu memilih
agar tak terbebani di persimpang batin teridam
hayat memakmurkan sesama.
Manakala demam berkurang pesaksianmu yakin
bergumul kalbu rindu dalam gelayutan mesra
semisal purnama di tengah pencarian wengi.
Malam menjamah gurun pada kulit getarkan jiwamu
terpesona jagad hatimu oleh kesantunan sang resi
dalam menapaki tangga kekabutan menanjak
membebaskan bayang sedari tubuh keraguan.
Yang pantas bertengger di ubun-ubun kesenyapan abadi
tahap dilalui beserta unsur pribadi berkeagungan rasa
kepurnaan gagasan membeletat sesama, tiada terlupa
kaki-kaki tersandung batu, rerumputan terinjak menghijau.
*)Pengelana, 17 Februari 2008, Lamongan, JaTim
Senin, 07 Juli 2008
Menikmati Sastra Lamongan
Judul Buku : Gemuruh Ruh; Antologi Sastra Lamongan
Penulis : Nurel Javissyarqi dkk.
Penerbit : Pustaka Pujangga, Lamongan
Cetakan : I April 2008
Tebal : 140 halaman
Peresensi: Sungatno *
Sumber: Jurnalnet.com
Dalam konteks pariwisata, seni, budaya dan sastra di Indonenesia, Bali, merupakan daerah di kawasan nusantara yang paling di 'anak emas' kan oleh Indonesia. Selain potensi alamiyyahnya yang memang mampu mempengaruhi tinggi rendahnya devisa Indonesia, Bali juga menjadi ikon Indonesia dalam mentransformasikan keIndonesiaannya terhadap masyarakat negara asing. Sehingga, tidak jarang ketika masyarakat asing apabila ditanya tentang Indonesia, mereka akan menyinggung tentang Bali. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, dalam mengenal Indonesia, masyarakat tersebut berangkat dari dikenalnya pulau dewata itu.
Pasca tragedi meledaknya Bom di Bali, 12 Oktober 2003 lalu, dengan gamang dan kekecewaannya, Bali terpaksa menggandeng 'saudara se-Indonesia-nya, yakni Lamongan, sebagai salah satu daerah di Jawa Timur (Jatim) yang patut untuk dikenal masyarakat asing, selain pulau dewata itu sendiri. Pasalnya, dari kasus yang menewaskan ratusan manusia, termasuk masyarakat asing, kala itu, tidak lepas dari peran putera-putera Lamongan, Amrozi bin H. Nurhasyim dan kawan-kawan.
Seiring melambungnya nama-nama putera Lamongan yang terkait dengan kasus tersebut, terlepas dari penilaian sebagai wujud misi jihad maupun menjadi penjahat, putera-putera tersebut mendatangkan sumbangaan masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia untuk sekedar menilai dan mengapresiasi Lamongan. Ironisnya, penilaian dan apresiasi tersebut, mejadikan Lamongan seakan milik Amrozi dan kawan-kawan saja, terbukti setiap masyarakat yang belum begitu mengenal tentang Lamongan.
Dalam membicarakan daearah yang satu ini, tidak luput dari sekedar nyebut atau nyeletuk nama-nama Amrozi dan kawan-kawan. Bahkan, yang lebih mengenaskan, kini citra positif yang dimiliki Lamongan selama ini, "teropeng-i kedok-kedok dan kostum-kostum angker" yang membuat merinding orang-orang yang membicarakannya.
Hal-hal itulah yang memantik keresahan tersendiri bagi putera-putera Lamongan lainnya dan pemerintah daerah tentunya. Meskipun Amrozi dan kawan-kawan tidak secara langsung "menyakiti" fisik masyarakat Lamongan, namun efek dari percikan-percikan api kebenciannya terhadap masyarakat asing yang dikatakan meresahkan dan mengganggu ketentraman hati dan keimanan mereka itulah yang menjadikan spirit masyarakat Lamongan untuk keluar dari kepompong anggapan-anggapan angker yang melilit Lamongan.
Adalah Nurel Javissyarqi dan kawan-kawan dari ribuan putera-putera Lamongan inilah yang mencoba membedah dan keluar dari kepompong-kepompong angker tersebut dengan bekal ketajaman, keindahan, keramahan, keromantisan dan ide-ide brillian mereka yang tertuang dalam karya sastra yang kemudian terbukukan dalam sebuah antologi yang berjudul Gemuruh Ruh; Antolongi Sastra Lamongan ini.
Meskipun antologi sastra ini hanya tertuang dalam 140 halaman yang disajikan oleh tujuh belas kawan-kawan dari Lamongan, namun spirit berjihad mereka dalam mengembalikan dan mengembangkan citra positif Lamongan cukup terasa. Karya sastra yang tidak hanya berkutat kedaerahan itulah yang menjadikan nilai lebih pada mereka, apabila dicocokkan dengan pengakuan mereka sebagai sosok penulis yang tersebar dan lahir didaerah pedesaan (Wong Ndeso) dikawasan Lamongan (hlm. 5).
Namun, walaupun dalam pendahuluan buku tipis ini mereka mengaku sebagai –meminjam istilah yang biasa dimantrakan Tukul Arwana- Wong Ndeso, apabila pembaca mengamati nama-nama yang tergabung dalam ke-17 sastrawan muda ini, pembaca akan mengabaikan pengakuan mereka sebagai Wong Ndeso yang dewasa ini lebih terilustrasikan sebagai sosok orang-orang yang katrok, kuno dan ketinggalan laju arus zaman. Sebab, ke-17 penulis ini sudah tak begitu ketinggalan lagi dalam mengenalkan nama-nama mereka terhadap pembaca melalui media massa, baik lokal maupun nasional, dengan guratan-guratan karyanya yang diakui dan diloloskan oleh redaktur media massa tersebut.
Seperti yang tercermin dalam media massa dan buku atau karya dalam bentuk lain yang mungkin pernah kita baca itulah, para penulis menambatkan karya-karya sastra mereka dalam buku ini. Mulai dari puisi, cerita pendek (cerpen), esei, prosa bahkan naskah drama atau teater.
Selain tema-tema yang dianggkat beraroma isu-isu sastra nasional yang sedang hangat (hlm. 7-36), antologi ini juga mengangkat budaya lokal Lamongan dan hal-hal yang unik yang terdapat pada daerah tersebut (hlm. 37-42).
Begitu juga tentang persaudaraan dan persahabatan dengan penulis karya sastra lainnya, terasa akrab dan saling menghormati dan menyayangi (hlm. 132-138). Dari ke-17 penulis buku ini, antara lain; Masyhuri, Rodli TL, Anis Ceha, Rian Sindu, Pringgo HR, Joko Sandur, Ridwan Rachid, Imamuddin SA, Heri Kurniawan, Herry Lamongan, Haris Del Hakim, M. Bagus Pribadi, Javed paul Syatha, A. Rodhi Murtadho, Ahmad Syauqi Sumbawi, Bambang Kemling dan Nurel Javissyarqi.
Meskipun membaca buku ini terasa asik dan kagum dengan kepedulian penulis terhadap citra Lamongan yang sempat bergolak, pembaca akan digertak Adi Ganteng, sebagai desaigner cover, dengan hasil rancangan kover buku ini yang menampilkan peta Indonesia beserta negara sekitar menjadi terbalik, sementara daerah Lamongan terlihat mengkobarkan api besar dan menjilat-jilat keangkasa.
Apakah artikulasi ilustrasi yang ditampilkan Ade pada kover tersebut? mungkinkah dunia akan gonjang ganjing dan Lamongan terbakar duluan, atau paradigma dunia akan berbalik dan mengelu-elukan Lamongan atas cahaya kobaran api semangat yang dimunculkan putera-putera Lamongan dalam menyadarkan dunia? Teka-teki inilah yang bergelayutan dan hendak dijawab oleh arek-arek asal Lamongan ini.***
*) Aktivis Scriptorium Lintang Satra Yogyakarta.
Penulis : Nurel Javissyarqi dkk.
Penerbit : Pustaka Pujangga, Lamongan
Cetakan : I April 2008
Tebal : 140 halaman
Peresensi: Sungatno *
Sumber: Jurnalnet.com
Dalam konteks pariwisata, seni, budaya dan sastra di Indonenesia, Bali, merupakan daerah di kawasan nusantara yang paling di 'anak emas' kan oleh Indonesia. Selain potensi alamiyyahnya yang memang mampu mempengaruhi tinggi rendahnya devisa Indonesia, Bali juga menjadi ikon Indonesia dalam mentransformasikan keIndonesiaannya terhadap masyarakat negara asing. Sehingga, tidak jarang ketika masyarakat asing apabila ditanya tentang Indonesia, mereka akan menyinggung tentang Bali. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, dalam mengenal Indonesia, masyarakat tersebut berangkat dari dikenalnya pulau dewata itu.
Pasca tragedi meledaknya Bom di Bali, 12 Oktober 2003 lalu, dengan gamang dan kekecewaannya, Bali terpaksa menggandeng 'saudara se-Indonesia-nya, yakni Lamongan, sebagai salah satu daerah di Jawa Timur (Jatim) yang patut untuk dikenal masyarakat asing, selain pulau dewata itu sendiri. Pasalnya, dari kasus yang menewaskan ratusan manusia, termasuk masyarakat asing, kala itu, tidak lepas dari peran putera-putera Lamongan, Amrozi bin H. Nurhasyim dan kawan-kawan.
Seiring melambungnya nama-nama putera Lamongan yang terkait dengan kasus tersebut, terlepas dari penilaian sebagai wujud misi jihad maupun menjadi penjahat, putera-putera tersebut mendatangkan sumbangaan masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia untuk sekedar menilai dan mengapresiasi Lamongan. Ironisnya, penilaian dan apresiasi tersebut, mejadikan Lamongan seakan milik Amrozi dan kawan-kawan saja, terbukti setiap masyarakat yang belum begitu mengenal tentang Lamongan.
Dalam membicarakan daearah yang satu ini, tidak luput dari sekedar nyebut atau nyeletuk nama-nama Amrozi dan kawan-kawan. Bahkan, yang lebih mengenaskan, kini citra positif yang dimiliki Lamongan selama ini, "teropeng-i kedok-kedok dan kostum-kostum angker" yang membuat merinding orang-orang yang membicarakannya.
Hal-hal itulah yang memantik keresahan tersendiri bagi putera-putera Lamongan lainnya dan pemerintah daerah tentunya. Meskipun Amrozi dan kawan-kawan tidak secara langsung "menyakiti" fisik masyarakat Lamongan, namun efek dari percikan-percikan api kebenciannya terhadap masyarakat asing yang dikatakan meresahkan dan mengganggu ketentraman hati dan keimanan mereka itulah yang menjadikan spirit masyarakat Lamongan untuk keluar dari kepompong anggapan-anggapan angker yang melilit Lamongan.
Adalah Nurel Javissyarqi dan kawan-kawan dari ribuan putera-putera Lamongan inilah yang mencoba membedah dan keluar dari kepompong-kepompong angker tersebut dengan bekal ketajaman, keindahan, keramahan, keromantisan dan ide-ide brillian mereka yang tertuang dalam karya sastra yang kemudian terbukukan dalam sebuah antologi yang berjudul Gemuruh Ruh; Antolongi Sastra Lamongan ini.
Meskipun antologi sastra ini hanya tertuang dalam 140 halaman yang disajikan oleh tujuh belas kawan-kawan dari Lamongan, namun spirit berjihad mereka dalam mengembalikan dan mengembangkan citra positif Lamongan cukup terasa. Karya sastra yang tidak hanya berkutat kedaerahan itulah yang menjadikan nilai lebih pada mereka, apabila dicocokkan dengan pengakuan mereka sebagai sosok penulis yang tersebar dan lahir didaerah pedesaan (Wong Ndeso) dikawasan Lamongan (hlm. 5).
Namun, walaupun dalam pendahuluan buku tipis ini mereka mengaku sebagai –meminjam istilah yang biasa dimantrakan Tukul Arwana- Wong Ndeso, apabila pembaca mengamati nama-nama yang tergabung dalam ke-17 sastrawan muda ini, pembaca akan mengabaikan pengakuan mereka sebagai Wong Ndeso yang dewasa ini lebih terilustrasikan sebagai sosok orang-orang yang katrok, kuno dan ketinggalan laju arus zaman. Sebab, ke-17 penulis ini sudah tak begitu ketinggalan lagi dalam mengenalkan nama-nama mereka terhadap pembaca melalui media massa, baik lokal maupun nasional, dengan guratan-guratan karyanya yang diakui dan diloloskan oleh redaktur media massa tersebut.
Seperti yang tercermin dalam media massa dan buku atau karya dalam bentuk lain yang mungkin pernah kita baca itulah, para penulis menambatkan karya-karya sastra mereka dalam buku ini. Mulai dari puisi, cerita pendek (cerpen), esei, prosa bahkan naskah drama atau teater.
Selain tema-tema yang dianggkat beraroma isu-isu sastra nasional yang sedang hangat (hlm. 7-36), antologi ini juga mengangkat budaya lokal Lamongan dan hal-hal yang unik yang terdapat pada daerah tersebut (hlm. 37-42).
Begitu juga tentang persaudaraan dan persahabatan dengan penulis karya sastra lainnya, terasa akrab dan saling menghormati dan menyayangi (hlm. 132-138). Dari ke-17 penulis buku ini, antara lain; Masyhuri, Rodli TL, Anis Ceha, Rian Sindu, Pringgo HR, Joko Sandur, Ridwan Rachid, Imamuddin SA, Heri Kurniawan, Herry Lamongan, Haris Del Hakim, M. Bagus Pribadi, Javed paul Syatha, A. Rodhi Murtadho, Ahmad Syauqi Sumbawi, Bambang Kemling dan Nurel Javissyarqi.
Meskipun membaca buku ini terasa asik dan kagum dengan kepedulian penulis terhadap citra Lamongan yang sempat bergolak, pembaca akan digertak Adi Ganteng, sebagai desaigner cover, dengan hasil rancangan kover buku ini yang menampilkan peta Indonesia beserta negara sekitar menjadi terbalik, sementara daerah Lamongan terlihat mengkobarkan api besar dan menjilat-jilat keangkasa.
Apakah artikulasi ilustrasi yang ditampilkan Ade pada kover tersebut? mungkinkah dunia akan gonjang ganjing dan Lamongan terbakar duluan, atau paradigma dunia akan berbalik dan mengelu-elukan Lamongan atas cahaya kobaran api semangat yang dimunculkan putera-putera Lamongan dalam menyadarkan dunia? Teka-teki inilah yang bergelayutan dan hendak dijawab oleh arek-arek asal Lamongan ini.***
*) Aktivis Scriptorium Lintang Satra Yogyakarta.
Kamis, 03 Juli 2008
Pengusaha Tikus
Haris del Hakim
Seekor tikus berlarian di antara tubuh Donggos dan keluarganya yang sedang terlelap. Kemudian puluhan dan ratusan yang lain mengikutinya. Bunyi cericitnya menggeritik telinga. Donggos membuka mata, mengangkat kepala, melirik kedua anak dan istrinya yang masih tertidur pulas, kemudian berbaring lagi.
Donggos bangun paling pagi. Hanya dia yang tahu bagaimana cara mengundang dan memilih tikus yang paling gemuk untuk ditangkap. Begitu setiap hari. Kalau salah seorang dari anak atau istrinya bangun terlebih dulu darinya, ia akan menggoyang atau mencubit tubuh lelaki berusia empatpuluhan itu. Tikus-tikus itu memang sudah akrab dengan anak dan istri Donggos, tapi mereka tidak mau ditangkap oleh selain Donggos. Bahkan, mereka tidak mau dilihat orang lain bila sedang ditangkap Donggos.
Donggos berdecak. Puluhan tikus mendekat dan berkerumun di sekelilingnya. Pada saat itu tidak boleh seorang pun menyaksikan. Pernah suatu ketika istrinya memergoki, akibatnya selama tiga hari tikus-tikus itu tidak mau dipanggil lagi oleh Donggos.
Pagi harinya semua anggota keluarga bangun seperti biasa. Istri Donggos sibuk di dapur, kedua anaknya bersiap-siap sekolah, dan ia sendiri menguliti tikus yang baru ditangkapnya; setiap hari Donggos menangkap lebih dari seratus ekor tikus untuk memenuhi kebutuhan pelanggan tetap pembeli daging tikusnya, yaitu penjual mie ayam dan pembuat bakso.
Kedua anak Donggos sudah berpakaian rapi. Si Sulung berlari ke arah ibunya yang sedang menanak nasi lalu bergayut di pinggang perempuan yang ramping itu. “Bu, aku mau digoreng saja tikusnya,” katanya dengan manja. Si Bungsu yang hendak langsung berangkat kembali lagi dan berlari ke dapur. Ia mendongakkan kepala ke wajah ibunya yang cantik. “Bu, bagianku disop saja.” Istri Donggos tidak memberikan jawaban dan masih meracik bumbu untuk sayur. “Ya, Bu?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan.
Perempuan bertubuh ramping dengan wajah cantik, dulu ia pernah dinobatkan sebagai remaja tercantik tingkat kabupaten, menjawab dengan nada lembut. “Tanyakan pada bapakmu, apakah ada lebihan?”
Dua anak berseragam sekolah itu berlari ke ayahnya yang sedang duduk berjongkok di atas meja setinggi pinggang lelaki dewasa. Laki-laki yang hanya mengenakan kaos singlet, sehingga memperlihatkan pundaknya yang kekar, tidak memperhatikan kedatangan keduanya. Matanya tidak lepas dari tangan kanannya yang sedang memegang pisau dan tangan kiri yang mencengkeram badan tikus yang tinggal separuh. Sementara di samping kirinya teronggok puluhan tubuh tikus yang baru dikuliti. Dagingnya merah merona dengan ekor dan kepala yang saling bersilang tindih. Di samping kanan teronggok irisan daging tikus. Sedangkan di depannya terkumpul ekor dan kepala tikus yang telah diambil dagingnya.
“Bapak, apakah ada lebihan? Aku ingin sop,” tanya si Bungsu.
“Aku ingin goreng tikus,” tambah yang Sulung.
Donggos tidak berkata apa-apa. Ia melepaskan tikus di cengkeraman tangan kirinya, memilih tikus yang terkuliti di samping kirinya, mencengkiwing bagian ekornya, dan mengulurkannya pada si Bungsu. Tikus gemuk itu bergelantung di tangan Donggos. Matanya yang hitam masih terbuka. Keempat kakinya yang sengaja tidak dikuliti terlihat seperti congolan cakar dari perut yang terbelah. Si Bungsu itu tertawa kesenangan. Tangan kecilnya menyambar pemberian ayahnya, memegang bagian perutnya, dan membawanya berlari ke dapur. Kemudian Donggos mencengkiwing seekor lagi dan mengulurkannya pada si Sulung. Bocah itu kegirangan, “Besar sekali, Ayah?!”
Donggos tersenyum dan membiarkan anaknya pergi. Ia kembali meneruskan pekerjaannya setelah menoleh ke bak hitam besar di bawah meja. Ia mendengus. Di dalam bak itu masih ada puluhan tikus yang belum diapa-apakan. Ia menjawab lirih ketika kedua anaknya berpamitan, “Ayah, kami berangkat ke sekolah.” Ia telah cukup diwakili oleh istrinya yang berpesan kepada anaknya. “Hati-hati dan belajar yang rajin.”
Istri Donggos segera ke belakang setelah selesai di dapur. Donggos memberikan pisau kepada perempuan cantik itu. Ia sendiri mengambil pisau lain di dalam rumah, kembali ke meja kerjanya, menggeret bak besar berisi tikus yang belum diapa-apakan, dan duduk dengan satu kaki jongkok di atas meja. Sedangkan istrinya duduk di kursi sambil mengiris-iris badan tikus. Donggos membungkukkan badan, mengambil seekor wirok, mencantolkannya dengan menusukkan lehernya ke kawat yang dibentuk menyerupai mata kail, setelah itu tangan kanannya meraih pisau dan mulai mengulitinya mulai dari kepala. Ia mengerati kulit di bawah leher, di atas kaki, dan di atas ekornya terlebih dulu. Tangannya bekerja sangat cepat sehingga dalam lima menit saja ia telah berhasil menguliti seekor. Ia lemparkan tikus terkuliti itu ke hadapan istrinya. Kemudian ia bungkukkan badannya dan mengambil tikus di dalam bak hitam besar.
Setiap hari Donggos harus menghasilkan sepuluh kilo daging tikus yang sudah dipotong-potong sebelum pukul 08.00, sepuluh kilo lagi pukul 09.00, dan tigapuluh kilo saat siang hari. Ia tidak perlu susah mengantarkannya, sebab para pelanggannya akan datang sendiri.
“Mas,” kata istrinya. “Pak Renggo panen besar. Sawahnya di desa sebelah menghasilkan padi sepuluh ton.”
“Syukurlah!” jawab Donggos pendek.
“Kemarin istrinya mengatakan kalau akan dibelikan kalung dan gelang. Begitu juga dengan anak-anaknya,” tambah istrinya tanpa menoleh sedikit pun.
“Bohong! Kembali modal saja dia sudah untung.” Donggos membentak.
“Istrinya sendiri yang bilang begitu,” kata istri Donggos meyakinkan.
“Jangan percaya. Dia tidak tahu berapa modal mulai tanam sampai panen. Pak Renggo setiap hari mengeluh di warung. Harga pupuk makin tinggi, biaya air tidak sedikit, upah pekerja juga sangat mahal, sedangkan harga padi tidak bisa bersaing.” Donggos orang yang tidak banyak bicara bila tidak memahami persoalan dengan terperinci, tetapi sedapat mungkin ia mempertahankan pengetahuan yang dikuasainya. Karena itu, ia dikenal sebagai orang keras kepala.
Ia diam sejenak, melemparkan tikus yang telah dikuliti, membungkuk, mengambil seekor tikus besar, dan mencantolkannya di kawat. Kemudian ia melanjutkan bicaranya. “Siapa pun yang panen, kita yang paling beruntung. Tikus-tikus kita gemuk dan pekerjaan bertambah ringan.”
Istri Donggos tidak menimpali ungkapan suaminya itu. Ia mendengar bunyi klakson sepeda motor dari halaman rumah dan bergegas keluar. Tidak lama kemudian ia kembali.
“Pak Warsono,” kata istrinya sambil duduk di kursi dan melanjutkan pekerjaannya.
Donggos menghentikan pekerjaannya. Ia mencuci tangan, melewati ruang tengah, dan ke ruang tamu. Ia memutar kincir di atas meja belajar anaknya. Bunyi gemerincing terdengar seirama putaran kincir. Suara itu cukup mengganggu gendang telinga. Dan Donggos selalu membunyikannya bila ada tamu di rumahnya. Kawanan tikus akan berlarian ke liangnya begitu mendengar bunyi yang memekakkan telinganya. Dengan begitu, Donggos tidak perlu kuatir bila tikusnya akan menyerobot pembicaraan mereka. Meskipun semua orang tahu bila ia memelihara tikus, ia tidak mau mempermalukan dirinya sendiri dengan mempertontonkan binatang piaraannya kepada semua orang. Ia telah mengatur rumahnya sedemikian rapi; sebuah bungker besar, lantai ruang tengah yang selalu dibersihkan oleh air, ruang tamu yang dikelilingi kabel alarm sehingga bila terinjak tikus akan mengeluarkan dering panjang dan mengusir mereka seketika, tidak lupa ac ruangan yang mengeluarkan aroma wangi. Donggos mempelajari semua tehnik mengembangkan tikus itu dari para pemelihara tikus yang terkenal.
Warsono pulang setengah jam kemudian. Donggos ke belakang dan melanjutkan pekerjaannya. Ia hanya melirik istrinya yang sedang memasukkan irisan daging tikus ke dalam plastik dan menimbangnya. Ia melongok ke bak besar dan dibuat tergesa-gesa, karena sadar sebentar lagi seorang pelanggan akan datang mengambil bagiannya.
“Ada perlu apa, Pak Warsono?” tanya istrinya.
“Urusan pajak,” jawab Donggos sambil menguliti tikus. “Dia katakan kita adalah pengusaha tikus yang sukses dan harus membayar pajak usaha.”
“Apakah ada peraturan tentang usaha tikus?”
“Tidak ada. Tapi, Pak Warsono bilang sama-sama tahu saja.”
“Apa maksudnya?”
“Tidak tahu. Dia mengatakan uang kas, uang administratif, atau uang apa tadi. Aku tidak tahu urusan Pak Warsono.”
Donggos tidak berkedip mengelupasi lapisan kulit berwarna coklat kehitaman dari badan yang kemerahan itu. Ia menarik kulit itu hati-hati, kuatir sobek, dan berkali-kali memutar badan tikus yang baru seperempat bagian tanpa kulit. Ia menggunakan pisau saat kulit itu terlalu rekat dengan daging kemudian perlahan-lahan dibesetnya.
“Pak Warsono juga cerita. Di desa kita akan dibangun gudang beras untuk pegawai negeri sekabupaten. Ini kabar bagus. Usaha kita pasti berkembang pesat. Tikus-tikus kita semakin cepat beranak dan gemuk-gemuk. Bagaimana kalau salah satu adik atau keponakanmu bekerja di sini?” tanya Donggos. Ia sudah menguliti seekor tikus.
“Mengapa harus keluargaku?” tanya istri Donggos yang mulai memotong daging tikus kembali. Ia terlebih dulu memotong bagian kepala, keempat kakinya, kemudian memutuskan ekornya. Setelah itu ia membelah perut tikus tanpa kepala, tanpa kaki, dan tanpa ekor itu. Ia mengeluarkan ususnya dan melemparkannya ke pot bekas cat yang diletakkan di samping kaki kirinya.
“Keluargaku sudah pergi ke luar negeri semua,” jawab Donggos. “Mereka tentu menjaga harga diri berdagang tikus kecil-kecilan seperti kita. Lima tahun lagi, saat kita sudah mampu membangun pabrik sarden tikus, baru kita memerlukan mereka.”
Perempuan cantik itu berkata lirih. “Ya, nanti aku telpon mereka. Mudah-mudahan ada yang mau.”
Seperti hari-hari sebelumnya, sekitar pukul 08.00, 09.00, dan 12.00, ada seseorang yang mengambil jatahnya. Donggos berpesan agar mereka menambah jumlah pesanannya, sebab ia akan meningkatkan produksinya dan meyakinkan mereka bahwa besok tikusnya lebih gemuk dari yang mereka bawa selama ini.
Sore hari adalah waktu yang menyenangkan bagi Donggos dan keluarganya. Ia sudah selesai bekerja. Anak-anaknya sudah pulang dari sekolah. Istrinya juga sudah tidak mengerjakan apa-apa. Mereka biasa menghabiskan sore dengan jalan-jalan bersama keluarga keliling desa atau di depan televisi menonton acara hiburan anak-anak. Kali ini mereka menghabiskan sore di rumah saja. Donggos duduk di kursi panjang bersama istrinya, sementara kedua anaknya duduk di lantai yang dialasi kasur tipis berwarna biru. Selama itu tikus-tikus berkeliaran di sekeliling tubuh keduanya. Rupanya mereka sudah bangun dan keluar dari liangnya. Seekor yang besar menabrak kaki si Bungsu. Anak kecil itu menarik kakinya. Matanya belum lepas dari kaca televisi. Satu lagi menabrak pantat si sulung yang ditanggapi dengan bergeser sedikit. Hampir menjelang senja tikus-tikus semakin banyak. Hampir semua lantai dari keramik itu berwarna hitam kecoklatan. Baunya pun menyengat di hidung.
Ketika layar televisi menampilkan iklan, si Bungsu naik ke kursi di antara ayah dan ibunya. Ia berdiri sambil menunjuk salah seekor tikus paling besar seukuran kucing. “Pak, tangkap yang itu. Tentu dagingnya sangat lezat.”
“Mana?” tanya Donggos melongok ke arah yang ditunjuk anaknya.
Donggos melihat si Bungsu yang kecewa tikusnya menyelinap ke balik almari. Ia menghiburnya. Mata anaknya terus mencari-cari barangkali tikus itu akan kembali lagi. Mata kecil itu berbinar-binar dan hendak mengucapkan sesuatu ketika si Sulung berteriak, “Aku yang itu, Ayah.”
“Ya,” jawab Donggos sambil mengusap rambut si Bungsu.
November-maret 2006
Seekor tikus berlarian di antara tubuh Donggos dan keluarganya yang sedang terlelap. Kemudian puluhan dan ratusan yang lain mengikutinya. Bunyi cericitnya menggeritik telinga. Donggos membuka mata, mengangkat kepala, melirik kedua anak dan istrinya yang masih tertidur pulas, kemudian berbaring lagi.
Donggos bangun paling pagi. Hanya dia yang tahu bagaimana cara mengundang dan memilih tikus yang paling gemuk untuk ditangkap. Begitu setiap hari. Kalau salah seorang dari anak atau istrinya bangun terlebih dulu darinya, ia akan menggoyang atau mencubit tubuh lelaki berusia empatpuluhan itu. Tikus-tikus itu memang sudah akrab dengan anak dan istri Donggos, tapi mereka tidak mau ditangkap oleh selain Donggos. Bahkan, mereka tidak mau dilihat orang lain bila sedang ditangkap Donggos.
Donggos berdecak. Puluhan tikus mendekat dan berkerumun di sekelilingnya. Pada saat itu tidak boleh seorang pun menyaksikan. Pernah suatu ketika istrinya memergoki, akibatnya selama tiga hari tikus-tikus itu tidak mau dipanggil lagi oleh Donggos.
Pagi harinya semua anggota keluarga bangun seperti biasa. Istri Donggos sibuk di dapur, kedua anaknya bersiap-siap sekolah, dan ia sendiri menguliti tikus yang baru ditangkapnya; setiap hari Donggos menangkap lebih dari seratus ekor tikus untuk memenuhi kebutuhan pelanggan tetap pembeli daging tikusnya, yaitu penjual mie ayam dan pembuat bakso.
Kedua anak Donggos sudah berpakaian rapi. Si Sulung berlari ke arah ibunya yang sedang menanak nasi lalu bergayut di pinggang perempuan yang ramping itu. “Bu, aku mau digoreng saja tikusnya,” katanya dengan manja. Si Bungsu yang hendak langsung berangkat kembali lagi dan berlari ke dapur. Ia mendongakkan kepala ke wajah ibunya yang cantik. “Bu, bagianku disop saja.” Istri Donggos tidak memberikan jawaban dan masih meracik bumbu untuk sayur. “Ya, Bu?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan.
Perempuan bertubuh ramping dengan wajah cantik, dulu ia pernah dinobatkan sebagai remaja tercantik tingkat kabupaten, menjawab dengan nada lembut. “Tanyakan pada bapakmu, apakah ada lebihan?”
Dua anak berseragam sekolah itu berlari ke ayahnya yang sedang duduk berjongkok di atas meja setinggi pinggang lelaki dewasa. Laki-laki yang hanya mengenakan kaos singlet, sehingga memperlihatkan pundaknya yang kekar, tidak memperhatikan kedatangan keduanya. Matanya tidak lepas dari tangan kanannya yang sedang memegang pisau dan tangan kiri yang mencengkeram badan tikus yang tinggal separuh. Sementara di samping kirinya teronggok puluhan tubuh tikus yang baru dikuliti. Dagingnya merah merona dengan ekor dan kepala yang saling bersilang tindih. Di samping kanan teronggok irisan daging tikus. Sedangkan di depannya terkumpul ekor dan kepala tikus yang telah diambil dagingnya.
“Bapak, apakah ada lebihan? Aku ingin sop,” tanya si Bungsu.
“Aku ingin goreng tikus,” tambah yang Sulung.
Donggos tidak berkata apa-apa. Ia melepaskan tikus di cengkeraman tangan kirinya, memilih tikus yang terkuliti di samping kirinya, mencengkiwing bagian ekornya, dan mengulurkannya pada si Bungsu. Tikus gemuk itu bergelantung di tangan Donggos. Matanya yang hitam masih terbuka. Keempat kakinya yang sengaja tidak dikuliti terlihat seperti congolan cakar dari perut yang terbelah. Si Bungsu itu tertawa kesenangan. Tangan kecilnya menyambar pemberian ayahnya, memegang bagian perutnya, dan membawanya berlari ke dapur. Kemudian Donggos mencengkiwing seekor lagi dan mengulurkannya pada si Sulung. Bocah itu kegirangan, “Besar sekali, Ayah?!”
Donggos tersenyum dan membiarkan anaknya pergi. Ia kembali meneruskan pekerjaannya setelah menoleh ke bak hitam besar di bawah meja. Ia mendengus. Di dalam bak itu masih ada puluhan tikus yang belum diapa-apakan. Ia menjawab lirih ketika kedua anaknya berpamitan, “Ayah, kami berangkat ke sekolah.” Ia telah cukup diwakili oleh istrinya yang berpesan kepada anaknya. “Hati-hati dan belajar yang rajin.”
Istri Donggos segera ke belakang setelah selesai di dapur. Donggos memberikan pisau kepada perempuan cantik itu. Ia sendiri mengambil pisau lain di dalam rumah, kembali ke meja kerjanya, menggeret bak besar berisi tikus yang belum diapa-apakan, dan duduk dengan satu kaki jongkok di atas meja. Sedangkan istrinya duduk di kursi sambil mengiris-iris badan tikus. Donggos membungkukkan badan, mengambil seekor wirok, mencantolkannya dengan menusukkan lehernya ke kawat yang dibentuk menyerupai mata kail, setelah itu tangan kanannya meraih pisau dan mulai mengulitinya mulai dari kepala. Ia mengerati kulit di bawah leher, di atas kaki, dan di atas ekornya terlebih dulu. Tangannya bekerja sangat cepat sehingga dalam lima menit saja ia telah berhasil menguliti seekor. Ia lemparkan tikus terkuliti itu ke hadapan istrinya. Kemudian ia bungkukkan badannya dan mengambil tikus di dalam bak hitam besar.
Setiap hari Donggos harus menghasilkan sepuluh kilo daging tikus yang sudah dipotong-potong sebelum pukul 08.00, sepuluh kilo lagi pukul 09.00, dan tigapuluh kilo saat siang hari. Ia tidak perlu susah mengantarkannya, sebab para pelanggannya akan datang sendiri.
“Mas,” kata istrinya. “Pak Renggo panen besar. Sawahnya di desa sebelah menghasilkan padi sepuluh ton.”
“Syukurlah!” jawab Donggos pendek.
“Kemarin istrinya mengatakan kalau akan dibelikan kalung dan gelang. Begitu juga dengan anak-anaknya,” tambah istrinya tanpa menoleh sedikit pun.
“Bohong! Kembali modal saja dia sudah untung.” Donggos membentak.
“Istrinya sendiri yang bilang begitu,” kata istri Donggos meyakinkan.
“Jangan percaya. Dia tidak tahu berapa modal mulai tanam sampai panen. Pak Renggo setiap hari mengeluh di warung. Harga pupuk makin tinggi, biaya air tidak sedikit, upah pekerja juga sangat mahal, sedangkan harga padi tidak bisa bersaing.” Donggos orang yang tidak banyak bicara bila tidak memahami persoalan dengan terperinci, tetapi sedapat mungkin ia mempertahankan pengetahuan yang dikuasainya. Karena itu, ia dikenal sebagai orang keras kepala.
Ia diam sejenak, melemparkan tikus yang telah dikuliti, membungkuk, mengambil seekor tikus besar, dan mencantolkannya di kawat. Kemudian ia melanjutkan bicaranya. “Siapa pun yang panen, kita yang paling beruntung. Tikus-tikus kita gemuk dan pekerjaan bertambah ringan.”
Istri Donggos tidak menimpali ungkapan suaminya itu. Ia mendengar bunyi klakson sepeda motor dari halaman rumah dan bergegas keluar. Tidak lama kemudian ia kembali.
“Pak Warsono,” kata istrinya sambil duduk di kursi dan melanjutkan pekerjaannya.
Donggos menghentikan pekerjaannya. Ia mencuci tangan, melewati ruang tengah, dan ke ruang tamu. Ia memutar kincir di atas meja belajar anaknya. Bunyi gemerincing terdengar seirama putaran kincir. Suara itu cukup mengganggu gendang telinga. Dan Donggos selalu membunyikannya bila ada tamu di rumahnya. Kawanan tikus akan berlarian ke liangnya begitu mendengar bunyi yang memekakkan telinganya. Dengan begitu, Donggos tidak perlu kuatir bila tikusnya akan menyerobot pembicaraan mereka. Meskipun semua orang tahu bila ia memelihara tikus, ia tidak mau mempermalukan dirinya sendiri dengan mempertontonkan binatang piaraannya kepada semua orang. Ia telah mengatur rumahnya sedemikian rapi; sebuah bungker besar, lantai ruang tengah yang selalu dibersihkan oleh air, ruang tamu yang dikelilingi kabel alarm sehingga bila terinjak tikus akan mengeluarkan dering panjang dan mengusir mereka seketika, tidak lupa ac ruangan yang mengeluarkan aroma wangi. Donggos mempelajari semua tehnik mengembangkan tikus itu dari para pemelihara tikus yang terkenal.
Warsono pulang setengah jam kemudian. Donggos ke belakang dan melanjutkan pekerjaannya. Ia hanya melirik istrinya yang sedang memasukkan irisan daging tikus ke dalam plastik dan menimbangnya. Ia melongok ke bak besar dan dibuat tergesa-gesa, karena sadar sebentar lagi seorang pelanggan akan datang mengambil bagiannya.
“Ada perlu apa, Pak Warsono?” tanya istrinya.
“Urusan pajak,” jawab Donggos sambil menguliti tikus. “Dia katakan kita adalah pengusaha tikus yang sukses dan harus membayar pajak usaha.”
“Apakah ada peraturan tentang usaha tikus?”
“Tidak ada. Tapi, Pak Warsono bilang sama-sama tahu saja.”
“Apa maksudnya?”
“Tidak tahu. Dia mengatakan uang kas, uang administratif, atau uang apa tadi. Aku tidak tahu urusan Pak Warsono.”
Donggos tidak berkedip mengelupasi lapisan kulit berwarna coklat kehitaman dari badan yang kemerahan itu. Ia menarik kulit itu hati-hati, kuatir sobek, dan berkali-kali memutar badan tikus yang baru seperempat bagian tanpa kulit. Ia menggunakan pisau saat kulit itu terlalu rekat dengan daging kemudian perlahan-lahan dibesetnya.
“Pak Warsono juga cerita. Di desa kita akan dibangun gudang beras untuk pegawai negeri sekabupaten. Ini kabar bagus. Usaha kita pasti berkembang pesat. Tikus-tikus kita semakin cepat beranak dan gemuk-gemuk. Bagaimana kalau salah satu adik atau keponakanmu bekerja di sini?” tanya Donggos. Ia sudah menguliti seekor tikus.
“Mengapa harus keluargaku?” tanya istri Donggos yang mulai memotong daging tikus kembali. Ia terlebih dulu memotong bagian kepala, keempat kakinya, kemudian memutuskan ekornya. Setelah itu ia membelah perut tikus tanpa kepala, tanpa kaki, dan tanpa ekor itu. Ia mengeluarkan ususnya dan melemparkannya ke pot bekas cat yang diletakkan di samping kaki kirinya.
“Keluargaku sudah pergi ke luar negeri semua,” jawab Donggos. “Mereka tentu menjaga harga diri berdagang tikus kecil-kecilan seperti kita. Lima tahun lagi, saat kita sudah mampu membangun pabrik sarden tikus, baru kita memerlukan mereka.”
Perempuan cantik itu berkata lirih. “Ya, nanti aku telpon mereka. Mudah-mudahan ada yang mau.”
Seperti hari-hari sebelumnya, sekitar pukul 08.00, 09.00, dan 12.00, ada seseorang yang mengambil jatahnya. Donggos berpesan agar mereka menambah jumlah pesanannya, sebab ia akan meningkatkan produksinya dan meyakinkan mereka bahwa besok tikusnya lebih gemuk dari yang mereka bawa selama ini.
Sore hari adalah waktu yang menyenangkan bagi Donggos dan keluarganya. Ia sudah selesai bekerja. Anak-anaknya sudah pulang dari sekolah. Istrinya juga sudah tidak mengerjakan apa-apa. Mereka biasa menghabiskan sore dengan jalan-jalan bersama keluarga keliling desa atau di depan televisi menonton acara hiburan anak-anak. Kali ini mereka menghabiskan sore di rumah saja. Donggos duduk di kursi panjang bersama istrinya, sementara kedua anaknya duduk di lantai yang dialasi kasur tipis berwarna biru. Selama itu tikus-tikus berkeliaran di sekeliling tubuh keduanya. Rupanya mereka sudah bangun dan keluar dari liangnya. Seekor yang besar menabrak kaki si Bungsu. Anak kecil itu menarik kakinya. Matanya belum lepas dari kaca televisi. Satu lagi menabrak pantat si sulung yang ditanggapi dengan bergeser sedikit. Hampir menjelang senja tikus-tikus semakin banyak. Hampir semua lantai dari keramik itu berwarna hitam kecoklatan. Baunya pun menyengat di hidung.
Ketika layar televisi menampilkan iklan, si Bungsu naik ke kursi di antara ayah dan ibunya. Ia berdiri sambil menunjuk salah seekor tikus paling besar seukuran kucing. “Pak, tangkap yang itu. Tentu dagingnya sangat lezat.”
“Mana?” tanya Donggos melongok ke arah yang ditunjuk anaknya.
Donggos melihat si Bungsu yang kecewa tikusnya menyelinap ke balik almari. Ia menghiburnya. Mata anaknya terus mencari-cari barangkali tikus itu akan kembali lagi. Mata kecil itu berbinar-binar dan hendak mengucapkan sesuatu ketika si Sulung berteriak, “Aku yang itu, Ayah.”
“Ya,” jawab Donggos sambil mengusap rambut si Bungsu.
November-maret 2006
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito